You are on page 1of 3

Entah bagaimana awalnya, aku bergabung dengan grup Line mahasiswa baru salah

satu fakultas di kampus. notification grup tersebut aku silent dan hanya menyimak atau
Sesekali ikut nimbrung dengan obrolan khas mahasiswa baru yang riweuh dan penuh dengan
tanya. aku tentu gak bisa nimbrung dengan bahasan mereka, maklum mahasiswa tua sudah
disibukan dengan skripsi. Uppss.... salah, maksudnya kita lahir dizaman yang berbeda gaya
pergaulan pun sudah beda, jadi sedikit agak tidak nyambung.

Pada hari pengumuman penetapan UKT tiba, grup yang biasanya berisi canda tawa dan
emoticon “melet” berubah serius dengan penuh emoticon “nangis”. Hmmm... sudah kuduga
pasti UKT yang muncul diweb tidak sesuai dengan harapan dan keadaan. Ternyata dugaanku
benar, banyak yang menulis;

“waduh gimana bayarnya ya, aku daftar bidikmisi tapi kok malah kena UKT 4.5 juta”

“bapakku buruh kok UKT-nya 6 juta”

“temenku anak orang kaya kok kena 3 juta sih, gak adil”

“uang pangkalnya aku isi berapa ya kak, Boleh gak dikosongin?”

“gimana ya mas turuninnya? Apa bisa dibanding? Aku kena UKT 6 juta”

“kak bisa bantu gak? Tolongin dong kak ?”

Dan semua chatnya berakhir dengan Emoticon nagis baaaanyaaakkkk...kaliiii

Ya, begitulah setiap tahunnya, masih banyak yang mendapat UKT tidak sesuai dengan
kondisi perekonomian keluarga. Sungguh sangat melenceng dari tujuan awal ditetapkan
sistem pembayaran UKT pada tahun 2013. Tujuan diterapkannya sistem UKT adalah untuk
meringankan beban mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan dengan menggunakan
sistem Subsidi Silang. Sebagai umpama, Si A yang keluarganya berpenghasilan dua miliar
rupiah per hari membayar SPP sebesar 8 juta, sementara Si B yang keluarganya
berpenghasilan 1 juta rupiah per bulan membayar SPP sebesar 100 ribu saja per semester.
Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat menikmati pendidikan lebih murah sesuai dengan
kemampuannya tanpa harus memikirkan pungutan yang selalu besar saat diawal
perkuliahan.dan dipastikan tidak ada biaya tambahan lain-lain lagi.

Namun apa boleh dikata, harapan tak sesuai realita UKT seringkali dalam
penerapannya tidak tepat sasaran Seperti, yang kita lihat dalam percakapan diatas. Seseorang
yang seharusnya mendapat UKT murah justru kenyataannya berkebalikan. UKT sebenarnya
masih menyimpan sejumlah tanda tanya besar, karena fakta dilapangan kita sering
dihadapkan dengan ketidakjelasan penentuan besaran UKT oleh pihak birokrat dalam
menghitung besaran yang akan di bebankan kepada mahasiswa baru. Ya, karena sistem UKT
dari sononya emang ga jelas, indikator ekonomi dalam penerapan UKT memang tak jelas
arahnya. Tentu ini akan berdamapak pada anak buruh, tani, serta kaum marginal kota.

Contohnya kita ambil studi kasus buruh di kota Yogyakarta. Keritera atau standar
minimum hidup layak (KHL)“seorang buruh” di kota Yogyakarta versi dewan Pengupahan
adalah Rp. 1.429.845. perlu diingat disini adalah KHL SEORANG BURUH, tidak termasuk
keluarganya ataupun tanggungan lainnya. Sementara, Upah Minimum Kota (UMK)
Yogyakarta adalah Rp.1.572.200. artinya bahwa sisa upah si buruh dalam sebulan hanyalah
Rp. 142.355. pertanyaannya adalah bagaimana dia menghidupi anak atau istrinya?. Ok,
istrinya juga bekerja berarti sisa pendapatan keluarganya sebulan hanyalah Rp.284.710.
apakah cukup mereka menghidupi anaknya apalagi menyekolahkan anaknya dengan Rp.
284.000/bulan?.

Kita asumsikan si anak dapat UKT golongan I Rp.500.000 dengan, uang jajannya
(termasuk buku, bensin, dan kebutuhan kuliah lainnya) Rp. 10.000/hari atau 300.000/bulan.
Rp. 284.000/bulan sisa upah bapak ibunya berarti tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan si
anak dalam satu bulan, berarti si anak mesti melakukan hutang sebesar Rp.15.290/bulan atau
91.740/semester ditambah UKT golongan 1 menjadi Rp.591.741/semester. Pendapatan
keluarga tiap tahunnya minus.

Simulasi pengeluaran diatas menggunakan standart yang sangat rendah, kalau kita
pakai standart World Bank 2 dollar/hari, tentu lebih banyak hutang yang mesti ditanggung
keluarga/bulannya. Belum lagi kalau dia dapat UKT diatas golongan I atau seperti dalam
percakapan diatas 6 juta/semester, atau pengeluaran lain yang merupakan kebutuhan
keluarga/bulannya, atau harga bahan pokok yang terus fluktiatif setiap harinya. Keluarga si
anak pasti mati tertimbun hutang.

Bagaimana dengan petani dan kaum marginal kota?. Jelas lebih tidak jelas nasibnya,
karena mereka hidup bergantung pada alam, dan spekulasi para penguasa.

Contoh diatas hanya untuk anak yang kuliah di PTN, dan beruntung dapat UKT
rendah. Bagaimana kalau dia kuliah di PTS (swasta)?, jelas lebih besar pengeluarannya dan
ngutang lagii. Fakta menunjukkan bahwa biaya pendidikan di Indonesia terus mengalami
peningkatan terus setiap tahunnya, berdasarkan analisa finansial.detik.com biaya pendidikan
di Indonesia meningkat sebesar 15% tiap tahunnya atau berdasarkan data Bank Indonesia
menyebutkan bahwa biaya pendidikan meningkat 3,5 kali lebih mahal, dibandingkan dengan
pertumbuhan biaya umum sebesar 2,3 kali.

Hmmmm .... ”lebih baik ditinggal pacar, dari pada hidup ditinggal utang”

Akses terhadap pendidikan yang semakin mahal ini mengakibatkan semakin sedikitnya orang
yang dapat mengakses dunia pendidikan. Ditahun 2017 berdasarkan data yang dirlis dikti
angka drop out sebesar 2,8 % atau sekitar 195.176 orang akibat ketidakmampuan membayar
UKT. Jika kita asumsikan disini bahwa penduduk usia kuliah adalah 19-24 tahun maka,
hanya hanya 24,77 % atau sekitar 4,5 juta dari sekitar 19 juta penduduk usia 19-24 yang bisa
menikmati pendidikan tinggi. Sungguh sangat disayangkan.

Dari fakta yang telah disebutkan diatas dapat dilihat bahwa UKT telah gagal menjadi
solusi bagi persoalan pendidikan Indonesia. UKT justru mempersempit akses masuk
perguruan tinggi, bahkan melahirkan semakin tingginya ketimpangan sosial karena semakin
banyak rakyat yang menimbun hutang, sementara Upah masih rendah, panen masih murah,
penganguran belum di beri pekerjaan, dan kaum marginal kota masih dianggap sampah
perkotaan.

Solusi kita hanya satu, WUJUTKAN PENDIDIKAN GRATIS !!!

You might also like