Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke 25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit.1 Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan bagian THT RSCM
mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi.1 Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang
dilakukan operasi.1 Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan
tindakan FESS pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi sinusitis, 33
kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum
koreksi atas indikasi sinusitis dan septum deviasi.1
Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung.2 salah satu
etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa
hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur sampai sekitar 59
tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
1
Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam
penatalaksaan sinusitis. Tersedianya alat diagnosis CT Scan telah membuat pencitraan sinus
paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk
opersi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih
tuntas.
BSEF saat ini merupakan teknik terbaik penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut
berulang. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang pada umumnya radikal dengan
morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah.
2
BAB II
Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal
seperti operasi caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF
merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun
1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di
Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di
Indonesia.
Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat
diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap
berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostium-
ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk
sinusitis kronik dan bervariasi dari yang ringgan yaitu hanya membuka drenase dan ventilasi
kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka
seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini kemudian
berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi hidung, sinus
dan serah sekitar seperti mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran
liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan
posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan
kongenital (atresia koana) dan lainnya.
3
Keuntungan dari teknik BSEF, dengan menggunakan beberapa alat endoskop
bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus, dan
daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan adekuat dan
operasi lebih bersih atau teliti, shingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga
diuntungkan karena morbiditas pasca opersi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga
menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan
komplikasi bedah.3
2.2 Indikasi
Indikasi umunya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut yang
berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan
perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif
dan neoplasma.4
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor
hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor
dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita,
dekompresi nervus optikus, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya.
2.3 Kontraindikasi
4
2.4 Pesiapan Pra-operasi
Pada pra-operasi kondisi pasien perlu disiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada
inflamasi atau oedem, harus dihilangkan terlebih dahulu, demikian pula jika terdapat polip,
sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (popipektomi medikamentosa). Perlu diperhatikan
juga pada pasien yang memiliki penyakit hipertensi, pasien yang memakai obat-obatan
antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya.
2.4.2 Pemeriksaan
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT Scan tersebut operator dapat mengetahui daerah-
daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga
tidak terjadi komplikasi operasi.
Untuk menilai tingkat keparah inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi
antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara
rutin dan didasrkan pada skor angka hasil gambaran CT Scan.
5
Laund-MacKay radiologic Staging System6
Etmoid Posterior
Sfenoid
Frontal
Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai.
Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Teleskop 4mm 00
2. Teleskop 4 mm 300
3. Light source (sumber cahaya)
4. Cable light
5. Sistem kamera plus CCTV
6. Monitor
7. Teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)
Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:
1. Jarum panjang (FESS/septum neddle, angular 0,8mm, Luer-lock)
2. Pisau sabit (sickle Knife 19 cm)
3. Respatorium (MASING elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5 cm)
4. Suction lurus
5. Suction bengkok
6
6. Cunam Blakesley lurus (Blakesley Nasal Forceps)
7. Cunam Blakesley upturned (Blakesley-Wilde Nasal Forceps)
8. Cunam Cutting-through lurus (Blakesley Nasal Forceps Cutting Straight)
9. Cunam Cutting-through upturned (Blakesley Nasal Forceps Cutting Upturned)
10. Cunam Backbiting (Backbiter Antrum Punch)
11. Ostium seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (antrum curette oval)
14. Kuhn Curette (sinus frontal curette oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe Forceps dbl. Act, jaws 3mm)
16. Cunam Jamur 9Stammberger Punch)
7
membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila
pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di
dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Thap
operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.
8
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar
otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi
sebagai tulang keras yang letaknya agak horizontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih
kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otak lebih vertikal.
Sel Onodi
Sel onodi tampak pada gambar CT Scan dan menurut Sethi akan ditemukan 1 : 2-3
pada spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel onodi adalah kemungkinan melekatnya n.
Optikus dan a. Karotis Interna pada dinding lateranya. Saat diseksi di sinus etmoid posterior,
harus ingat adanya sel onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi,
berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel onodi. Perhatikan
apakah ada penonjolan n. Optikus dan atau a. Karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada
organpenting ini, terutama trauma pada a. Karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.
9
cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan
cunam blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan atau
70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT Scan, serta mengingat
lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari.
Adanya gelembung udara atau turunya sekret menunjukan lokasi ostium yang sebenarnya.
Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang
dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam
jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung
lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai
dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif
yang menutup ostium juga merupakan kontaindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi
trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan yang baik.
Setelah resesus frontal dn infundibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan
maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainanpatologik di kedua sinus
tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan
didalamnya.
Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a. Etmoid anterior dan
dasar otak antaranya Intact Bulla dan Axillary Flap.
2.5.5 Sfenoidektomi
Biasa yang dilakukan buka sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka sinus
sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n. Optikus dan a. Karotis,
sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran liquor atau perdarahan
hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang.
Anatomi rincinya harus diperhatikan dengan seksama dan CT Scan potongan koronal bahkan
kalau perlu potongan aksial dan MRI. Perhatikan letak n. Optikus, a. Karotis dan apakah
ujung septum intersfenoid melekat pada a. Karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan
ruptur arteri yang patah.
Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n. Optikus dan a.
Karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi dibagian medial dan inferior
saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisense di kanal tulang a. Karotis.
Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut
pada a. Karotis interna dan n. Optikus.
10
Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa
dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan
lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan
mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forceps)
2.7 Komplikasi2
Semenjak diperkenalkannya teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat
oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai
komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenannya para ahli segera
melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari
cara untuk mencegah dan menghindarinya serta mengobatinya. Pemahaman yang mendalam
tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli
dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi BSEF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, preorbital/orbital,
intrakranial, vaskular dan sistemik.8
11
2.7.1 Komplikasi intranasal
2.7.1.1 Sinekia
Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luas yang saling berdekatan,
umunya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger dkk melaporkan
insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan gangguan sumbatan.
Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media
dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan
inferior dari konka media harus dipertahankan.
12
1,5% di tangan ahli yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5
hari tanpa diperlukan pengobatan khusus.
13
pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini
ditandai dengan adnya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50C, deskuamasi dan
hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan oleh strain
Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah 16/100.000 kasus yang
dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon setelah operasi, direkomendasikan
untuk memberikan becitrasin yang merupakan agen yang efektif melawan Stafilokokus
aureus.
14
2.8.4 Mencegah penetrasi intrakranial
Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial.
Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian antro-medial paling tipis hanya 1/10 bagian
lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral
agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan atap etmoid (fovea etmoidales)
dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis
yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis
ini, Krose membaginya dalam empat tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial
etmoid mempunyai banyak dehiscence dan celah-celah. Daerah pertautan konka media pada
dasar otak dan aspek antro-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan
tembus. Jika bekerja di daerah media, dianjurkan selalu menghadapkan cunam agar ke atas.
15
Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan
operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan dengan
anastesi umum, dianjurkan anastesi kendali hipotensi.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan
lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram karena darah. Perdarahan
yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang oedem atau radang, polip luas atau
pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan juga dapat terjadi pada pasien koagulopati,
pasien dengan menggunakan jangka lama obat-obatan yang memanjangkan masa perdarahan
seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi nonsteroid, persantin, dll. Obat dihentikan
sekurang-kurangnya sebelum operasi.
Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan
lakukan operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan perdarahan,
polip yang besar diangkat dulu tanpa menggunakan endoskop. Setelah perdarahan berkurang,
tindakan dilanjutkan dengan endoskop. Dengan alat bantu yang sangat menguntungkan yaitu
alat debrider yang dapat memotong langsung serta menghisap polip sehingga perdarahan
sangat minim.
16
mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan
komplikasi terhindar, di samping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja
lebih baik dan tenang.
Namun demikian hpitensi kendali ini mempunyai resiko pada beberapa pasien
misalnya pasien geriatri. Di samping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat
menimbulkan resiko iritabilitas jantung.
17
BAB III
KESIMPULAN
18
Daftar Pustaka
19