You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus


Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai
teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan
sinusitis paranasal, serta kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali dianjrkan oleh
Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan kennedy dengan sebutan Functional
Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran mukosilier di
suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek osteomeatal (KOM).
Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah , nyeri kepala, gangguan
penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat berbahaya.1

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke 25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit.1 Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan bagian THT RSCM
mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi.1 Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang
dilakukan operasi.1 Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan
tindakan FESS pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi sinusitis, 33
kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum
koreksi atas indikasi sinusitis dan septum deviasi.1

Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung.2 salah satu
etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa
hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur sampai sekitar 59
tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.

1
Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam
penatalaksaan sinusitis. Tersedianya alat diagnosis CT Scan telah membuat pencitraan sinus
paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk
opersi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih
tuntas.

BSEF saat ini merupakan teknik terbaik penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut
berulang. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang pada umumnya radikal dengan
morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah.

2
BAB II

BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL

2.1 Definisi BSEF2

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus


Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop
yang bertujuan memulihkan “mucocilisry clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka
dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembail melalui ostium alami.

Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal
seperti operasi caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF
merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun
1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di
Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di
Indonesia.

Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat
diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap
berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostium-
ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk
sinusitis kronik dan bervariasi dari yang ringgan yaitu hanya membuka drenase dan ventilasi
kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka
seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini kemudian
berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi hidung, sinus
dan serah sekitar seperti mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran
liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan
posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan
kongenital (atresia koana) dan lainnya.

3
Keuntungan dari teknik BSEF, dengan menggunakan beberapa alat endoskop
bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus, dan
daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan adekuat dan
operasi lebih bersih atau teliti, shingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga
diuntungkan karena morbiditas pasca opersi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga
menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan
komplikasi bedah.3

2.2 Indikasi

Indikasi umunya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut yang
berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.

Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan
perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif
dan neoplasma.4

Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor
hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor
dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita,
dekompresi nervus optikus, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya.

2.3 Kontraindikasi

Terdapat beberapa kontra indikasi dalam melakukan bedah sinus endoskopik


fungsional (BSEF) antara lain:

1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.


2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil atau hipoplasi.5
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes melitus, kelainan hemostatis yang
tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.

4
2.4 Pesiapan Pra-operasi

2.4.1 Persiapan kondisi pasien

Pada pra-operasi kondisi pasien perlu disiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada
inflamasi atau oedem, harus dihilangkan terlebih dahulu, demikian pula jika terdapat polip,
sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (popipektomi medikamentosa). Perlu diperhatikan
juga pada pasien yang memiliki penyakit hipertensi, pasien yang memakai obat-obatan
antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya.

2.4.2 Pemeriksaan

Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan


variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan
variasi dinding lateral misalnya meatus sempit karena deviasi septum, konka media bulosa,
polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator bisa
memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat
operasi.

Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan


perluasan serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan
hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke
dalam orbita dan intra kranial seperti konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media
beserta kompleks osteomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius,
adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula
lokasi a. Etmoid anterior, n. Optikus dan a. Karotis interna penting diketahui.

Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT Scan tersebut operator dapat mengetahui daerah-
daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga
tidak terjadi komplikasi operasi.

Untuk menilai tingkat keparah inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi
antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara
rutin dan didasrkan pada skor angka hasil gambaran CT Scan.

5
Laund-MacKay radiologic Staging System6

Lokasi Gradasi* Radiologik *Gradasi radiologik dari 0-2


Gradasi 0 : Tidak ada kelainan
Sinus Maksila
Gradasi 1 : Opasifiksi parsial
Gradasi 2 : Opasifikasi komplit
Etmoid Anterior

Etmoid Posterior

Sfenoid

Frontal

Komplek osteomeatal Gradasi 0 dan 2 saja

2.4.3 Instrumen bedah dan operasi

Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai.
Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Teleskop 4mm 00
2. Teleskop 4 mm 300
3. Light source (sumber cahaya)
4. Cable light
5. Sistem kamera plus CCTV
6. Monitor
7. Teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)

Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:
1. Jarum panjang (FESS/septum neddle, angular 0,8mm, Luer-lock)
2. Pisau sabit (sickle Knife 19 cm)
3. Respatorium (MASING elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5 cm)
4. Suction lurus
5. Suction bengkok

6
6. Cunam Blakesley lurus (Blakesley Nasal Forceps)
7. Cunam Blakesley upturned (Blakesley-Wilde Nasal Forceps)
8. Cunam Cutting-through lurus (Blakesley Nasal Forceps Cutting Straight)
9. Cunam Cutting-through upturned (Blakesley Nasal Forceps Cutting Upturned)
10. Cunam Backbiting (Backbiter Antrum Punch)
11. Ostium seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (antrum curette oval)
14. Kuhn Curette (sinus frontal curette oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe Forceps dbl. Act, jaws 3mm)
16. Cunam Jamur 9Stammberger Punch)

2.5 Tahapan Operasi


Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan
endoskopi dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara
alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan
jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus
terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maqka
BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah.
Teknik operasi BSEF adalah dengan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan
yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi
disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi.
Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini di jelaskan
tahapan-tahapan operasi.

2.5.1 Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksilaris


Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum,
konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi
septum harus dikoreksi, kecuali disuga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan
mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar
instrumen besar bisa masuk.
Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara
mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya
ostium dinilai, apakah perlu diperlrbar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan

7
membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila
pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di
dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Thap
operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.

2.5.2 Eksenterasi sinus maksila


Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar
dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus
maksila yang diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukan cunam melalui meatus
inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukan bedah Caldwell-Luc, tetapi
prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal
agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius dianjurkan untuk
dilakukan disini.

2,5,3 Etmoidektomi retrograde


Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus
dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai
sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi (BSEF
Mini), sebaiknya menggunakan teleskop 00, dinding anterior bila etmoid ditembus dan
diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel
etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada
dibelakang sinus lateralis ini.
Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan,
lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior.
Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada
kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak
diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah
penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.
Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan
secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas
superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah
lamina papiresia dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300.
Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan cara
lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.

8
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar
otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi
sebagai tulang keras yang letaknya agak horizontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih
kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otak lebih vertikal.

Arteri etmoid anterior


Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar
otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang di batas belakang atap resesus
frontal. Hindari trauma pada arteri ini.

Sel Onodi
Sel onodi tampak pada gambar CT Scan dan menurut Sethi akan ditemukan 1 : 2-3
pada spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel onodi adalah kemungkinan melekatnya n.
Optikus dan a. Karotis Interna pada dinding lateranya. Saat diseksi di sinus etmoid posterior,
harus ingat adanya sel onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi,
berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel onodi. Perhatikan
apakah ada penonjolan n. Optikus dan atau a. Karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada
organpenting ini, terutama trauma pada a. Karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.

2.5.4 Sinus Frontal


Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus
frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakanb cunam Blakesley
upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium
biasanya langsung tampak, Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan
superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita, maka drenase dan
lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar
otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada di sebelah lateral perlekatan. Panduan
ini terutama diperlukan jika osteum tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi
anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial, terutama jika pada gambar CT Scan ditemukan
lamina lateralis kribriformis yang panjang (kesos tipe III), hindari ujung cunam menghadap
daerah ini.
Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan oedem, polip
atau popipoid, sisa prosesus uncinatum di bagian superior, variasi anatomi seperti sel=sel
anger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra orbital sangat

9
cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan
cunam blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan atau
70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT Scan, serta mengingat
lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari.
Adanya gelembung udara atau turunya sekret menunjukan lokasi ostium yang sebenarnya.
Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang
dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam
jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung
lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai
dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif
yang menutup ostium juga merupakan kontaindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi
trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan yang baik.
Setelah resesus frontal dn infundibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan
maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainanpatologik di kedua sinus
tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan
didalamnya.
Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a. Etmoid anterior dan
dasar otak antaranya Intact Bulla dan Axillary Flap.

2.5.5 Sfenoidektomi
Biasa yang dilakukan buka sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka sinus
sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n. Optikus dan a. Karotis,
sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran liquor atau perdarahan
hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang.
Anatomi rincinya harus diperhatikan dengan seksama dan CT Scan potongan koronal bahkan
kalau perlu potongan aksial dan MRI. Perhatikan letak n. Optikus, a. Karotis dan apakah
ujung septum intersfenoid melekat pada a. Karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan
ruptur arteri yang patah.
Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n. Optikus dan a.
Karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi dibagian medial dan inferior
saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisense di kanal tulang a. Karotis.
Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut
pada a. Karotis interna dan n. Optikus.

10
Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa
dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan
lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan
mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forceps)

2.6 Perawatan Pasca Operasi


Secara teoritis walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk
membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta dan devitalisasi tulang yang bila
tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia dan osteitis. Perawatan
operasi sebaiknya dilakukan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas
jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit
iatrogenik.
Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal
mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari
secara teratur. Fernandes pada suatu studi prospektif melaporkan pada 55 pasien yang
dilakukan BSEF 95,5% pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinik sekitar 50% lebih
pada perawatan pasca operasi hanya dengan irigasi larutan salin hiertonik setelah hari ke-10
postoperatif. Beberapa ahli menyebutkan menggunakan antibiotik profikaktif pada semuah
pasien, dimana ahli yang lain menggunakan hanya pada kasus adanya infeksi. Sementara itu
pada suatu penelitian prospektif acak, tersamar ganda oleh Annys dan Jorrisen dikutip dari
Schlosser9 menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan pada gejala klinik setelah pemberian
cefuroksim postoperasi..

2.7 Komplikasi2
Semenjak diperkenalkannya teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat
oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai
komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenannya para ahli segera
melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari
cara untuk mencegah dan menghindarinya serta mengobatinya. Pemahaman yang mendalam
tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli
dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi BSEF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, preorbital/orbital,
intrakranial, vaskular dan sistemik.8

11
2.7.1 Komplikasi intranasal
2.7.1.1 Sinekia
Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luas yang saling berdekatan,
umunya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger dkk melaporkan
insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan gangguan sumbatan.
Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media
dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan
inferior dari konka media harus dipertahankan.

2.7.1.2 Stenosis ostium sinus maksila


Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2%. Pembukaan
ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat menghasilkan drenase fisiologik.
Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium secara melingkar dapat menyebabkan
timbulnya jaringan parut dan stenosis ostium sinus maksila. Metode terbaik memperlebar
ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior,
posterior dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan denga timbulnya gejala maka revisi
bedah mungkin diperlukan.

2.7.1.3 kerusakan duktus nasolakrimalis


Kompilasi ini sangat jarang karena duktus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal
keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat
pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan Parson dkk melakukan studi terhadap
pasien yang mengalami perlukaan duktus nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala
dakriosistisis atau epifora. Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran
ostium sinus maksila terutama dari arah posterior dan atau posterior.

2.7.2 Komplikasi Periorbital/orbital


2.7.2.1 Edema kelopak mata atau ekimosis atau emfisema
Edema kelopak mata, ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak
langsung terjadi akibat trauma pada lamina papiresia. Proyeksi medial lamina papiresea pada
rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papiresea mudah
trauma selama prosedur bedah dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papiresea sekitar 0,5-

12
1,5% di tangan ahli yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5
hari tanpa diperlukan pengobatan khusus.

2.7.2.2 Perdarahan retrobulbar


Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah
proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan
subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan
intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan, midriasis dan
defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam
pandangan operator.

2.7.2.3 Kerusakan nervus optikus


Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang
adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan, serta
buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada
n. Optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.

2.7.2.4 Gangguan pergerakan otot bola mata


Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot
rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang
menginervasinya.

2.7.3 Komplikasi Intrakranial


Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang seringf terjadi pada pemula.
Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT Scan
preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan cerebrospinal
selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi, insidensi komplikasi ini
dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan
menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan septum. Jika terjadi pasca
operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat menutup sendiri.

2.7.4 Komplikasi sistemik


Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus adalah

13
pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini
ditandai dengan adnya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50C, deskuamasi dan
hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan oleh strain
Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah 16/100.000 kasus yang
dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon setelah operasi, direkomendasikan
untuk memberikan becitrasin yang merupakan agen yang efektif melawan Stafilokokus
aureus.

2.8 Penyulit selama prosedur bedah berlangsung dan penanganannya


2.8.1 Penyulit infundibulotomi
Penyulit yang dapat terjadi ditahap awal ini adalah kesulitan insisi infundibulotomi
jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau ada konkamedia yang paradoksikal. Insisi
sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. Hal ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke
media menggunakan ujung bengkok ostium seeker, kemudian potong dengan backbiting.
Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke orbita.

2.8.2 Penyulit pelebaran ostium


Penyulit dapat juga terjadi jika pasca infundibulotomi ostium tidak langsung tampak.
Sering kali akibat infundibulotomi yang tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus
yang menutupi ostium. Keadaan ini diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan
backbiting. Jika ostium tetap tidak dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus,
lakukan palpasi dengan kuret J di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan
terlalu atas karena dapat menembus orbita.

2.8.3 Penyulit etmoidektomi


Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan menembus lamina basalis.
Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau variasi anatomi misalnya adanya
sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan lamina basalis atau adanya sel etmoid
anterior yang luas ke belakang dan menekan dinding lamina basalis menjadi berbenjol-benjol.
Seringkali atap etmoid diduga sebagai lamina basalis. Operator harus yakin betul identifikasi
lamina basalis sebelum menembusnya agar tidak terjadi kebocoran cairan otak.

14
2.8.4 Mencegah penetrasi intrakranial
Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial.
Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian antro-medial paling tipis hanya 1/10 bagian
lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral
agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan atap etmoid (fovea etmoidales)
dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis
yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis
ini, Krose membaginya dalam empat tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial
etmoid mempunyai banyak dehiscence dan celah-celah. Daerah pertautan konka media pada
dasar otak dan aspek antro-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan
tembus. Jika bekerja di daerah media, dianjurkan selalu menghadapkan cunam agar ke atas.

2.8.5 Mencegah penetrasi orbita


Penyulit lain adalah mencegah penetrasi ke orbita. Ini dapat terjadi pada saat
membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita karena mungkin ada dehiscence
sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja di sini arahkan cunam ke vertikal. Kadang-
kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika
diangkat maka terjadi penetrasi dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha
memasukkan kembali karena akan menambah trauma orbita. Lemak ini akan masuk kembali
tertekan oleh tampon hidung yang dipasang pasca operasi. Yang penting adalah mengetahui
bahwa jaringan yang diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan
berbentuk gelembung bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip
atau jaringan rongga hidung lainnya akan tenggelam.
Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari,
jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anastesi dan pasien dilarang
menyingsring ingus selama 1-2 minggu pasca operasi.

2.8.6 Perdarahan saat operasi


Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahan mukosa. Perdarahan ini ringan
namun dapat mengganggu kelancaran bahkan menggagalkan operasi bila operator tidak dapat
melihat dengan jelas. Tindakan vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh
disini di samping faktor-faktor lain.

15
Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan
operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan dengan
anastesi umum, dianjurkan anastesi kendali hipotensi.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan
lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram karena darah. Perdarahan
yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang oedem atau radang, polip luas atau
pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan juga dapat terjadi pada pasien koagulopati,
pasien dengan menggunakan jangka lama obat-obatan yang memanjangkan masa perdarahan
seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi nonsteroid, persantin, dll. Obat dihentikan
sekurang-kurangnya sebelum operasi.
Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan
lakukan operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan perdarahan,
polip yang besar diangkat dulu tanpa menggunakan endoskop. Setelah perdarahan berkurang,
tindakan dilanjutkan dengan endoskop. Dengan alat bantu yang sangat menguntungkan yaitu
alat debrider yang dapat memotong langsung serta menghisap polip sehingga perdarahan
sangat minim.

2.9 Anastesi dan Analgesi


Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anastesi lokal atau umum. Umumnya anatesi
lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BESF mini atau lainnya.
Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan
menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi menurut
kepustakaan, tidak terbukti anastesi lokal lebih aman dibanding anastesi umum dengan teknik
hipotensi terkendali pada operasi endoskopi.6
Diperlukan teknik anastesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang baik.
Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain, pantokain, atau xylokain 2% dicampur
epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini, diperas
kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan aggernasi dengan panduan endoskop dan
dibiarkan selama 10 menit. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor kuat seperti Co-
phenylcaine Forte spray. Anastesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2% dan epinefrin
1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang diatas perlekatan konka media,
prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.
Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi
yang paling populer baik di negara barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan

16
mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan
komplikasi terhindar, di samping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja
lebih baik dan tenang.
Namun demikian hpitensi kendali ini mempunyai resiko pada beberapa pasien
misalnya pasien geriatri. Di samping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat
menimbulkan resiko iritabilitas jantung.

17
BAB III
KESIMPULAN

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan teknik operasi atau


pemebedahan yang dilakukan pada penyakit hitung dan sinus paranasal, misalnya sinusitis,
polip dan lainnya dengan bantuan alat endoskopi. Dengan menggunakan alat endoskopi
tersebut, rongga sempit pada hidung dan sekitarnya yang sulit dilihat dengan mata secara
langsung akan tampak dengan jelas, sehingga kelainan sekecil apapun dapat diketahui.
Sebelum dilakukan BSEF atau FESS, penderita akan dilakukan pemeriksaan mulai dari
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaaan foto rontgen, dan CT-Scan. Penderita
diberikan terapi pendahuluan untuk persiapan operasi. Sedangkan keberhasilan pasca operasi
BSEF atau FESS juga ditentukan perawatan pasca operasi minimal 4 kali yaitu pada minggu
pertama, kedua, keempat, dan minggu keenam. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk
membersihkan luka bekas operasi dan mencegah perlengketan luka operasi. Kelebihan teknik
BSEF adalah dapat melihat dengan jelas struktur anatomi dan kelainan di dalam rongga
hidung dan sinus paranasal, dapat pula menentukan lokasi penyakit dengan tepat, luka operasi
minimal, proses penyembuhan lebih cepat dan lebih nyaman, fungsi hidung dan paranasal
dapat dipertahankan.11

18
Daftar Pustaka

1. Orluh, 2008, Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. (online),


(http://www.orluh2008.wordpress.com/category/uncategorize. diunduh tanggal 30
Januari 2011).
2. HTA Indonesia, 2006, Fungsional Endoscopy Sinus Surgery, (online),
(http://www.yanmedik-depkes.net/.../Functional%20Endoscopic%20Sinus%20
Surgery%20di%20Indonesia.doc, diunduh tanggal 30 Januari 2011)
3. Stack R, Bates G. Fungsional Endoscopic Sinus Surgery. Am Fam Phys, 1998.
4. Kennedy DW. Fungsional Endoscopic Sinus Surgery. Concepts, Surgycal, Indication
adn instrumentation. In: Kennedy DW, Bloger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the
sinuses, Diagnosis and Managenent. London Halmiton; 2001
5. Iraini AH, WidiantoroR, Afandy RB. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
Tanpa Tampon. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter
Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (Perhati), Batu Malang: 1996.
6. Mackay IS, Lund VJ. Imaging and Staging, in: Mygind N. Lildholt T. Nasal
Polyposis: An Inflamatory Disease and its Treatment Copenhagen: Munksgaard;
1997;137-44.
7. Schosser RJ, Kountakis S, Gross CW. Postoperative Management of Endoscopic
Sinus Surgery. Curr Opin in Otol Head Neck Surg, 2002; 10; 36-9.
8. Neurman, Thomas R, Turner, Wiliam J. Complications of Endoscopic Sinus Surgery,
Ear Nose Throat J, 1994, 73(8).
9. American Academy of Pediatric. Clinical Practise Guidelines for the Management of
Rhinosinusitis. London; Microwatch Meditech Media Limited, 2002
10. Herbert RI, Bent JP. Meta-Analysis of Pediatric Fungsional Endoscopic Sinus
Surgery, Laringoscopic, 1998;108(6); 796-9
11. Qiqi, 2007, Bahas Tentang THT Sebab Akibat dan Penaggulangannya. (online),
(http://ligagame.com/lg_smf/index.php?topic=48956.25;wap2, diunduh tanggal 30
januari 2011.

19

You might also like