You are on page 1of 11

1.

Hemostasis
a. Sistem fibrinolisis
Fibrinolisis penting untuk menyingkirkan deposit fibrin yang
berlebihan. Sistim fibrinolisis juga merupakan suatu sistem multikomponen
yang terdiri dari proenzim, aktifator plasminogen dan inhibitor-inhibitor.
Plasminogen, adalah suatu glikoprotein rantai tunggal dengan amino terminal
glutamic acid yang mudah dipecah oleh proteolisis menjadi bentuk
modifikasi dengan suatu terminal lysine, valine atau methionin.
Pada tempat jaringan yang rusak ( tissue injury), fibrinolisis dimulai
dengan perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin mempunyai
banyak fungsi seperti degradasi dari fibrin, inaktifasi faktor V dan faktor VIII
dan aktifasi dari metaloproteinase yang berperan penting dalam proses
penyembuhan luka dan perbaikan jaringan ( tissue-remodeling).
Aktifator-aktifator plasminogen memecah peptide dari plasminogen
dan membentuk plasmin rantai dua. Aktifasi menjadi plasmin dapat terjadi
melalui tiga jalur yaitu :
1. Jalur intrinsik, melibatan aktifasi dari proaktifator sirkulasi melalui faktor
XIIa.
2. Jalur ekstrinsik, dimana aktifator-aktifator dilepaskan ke aliran darah dari
jaringan yang rusak, sel-sel atau dinding pembuluh darah ( semua aktifator
juga protease).
3. Jalur eksogen, dimana plasminogen diaktifasi dengan adanya obat
trombolitik, seperti streptokinase.
Dalam keadaan fisiologik, aktifasi plasminogen terutama oleh tissue
plasminogen activator yang disintesis dan dilepas dari sel-sel endotelium
pembuluh darah dalam respons terhadap trombin dan pada kerusakan sel.
Setelah distimulasi t-PA release oleh exercise, statis, atau desmopressin
(DDAVP), masa paruhnya dalam sirkulasi sangat pendek ( sekitar 5 menit),
berhubungan dengan inhibisi oleh PAI-1 dan clearance dihati.
Aktifator lain, urokinase-type plasminogen avtivator (u-PA),
diproduksi diginjal dan ditemukan terutama dalam urine. Akan tetapi
sejumlah kecil prourokinase plasma atau single-chain u-PA ( scuPA) dapat
dirobah menjadi bentuk aktif melalui sistim kontak oleh kallikrein.
Proses fibrinolitik diatur pada tiap-tiap tahap enzimatik oleh inhibitor-
inhibitor protease spesifik. Aktifitas plasminogen diatur oleh inhibitor-
inhibitor plasmin seperti a-2 antiplasmin, a2- makroglobulin, dan juga oleh
plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1), yang merupakan inhibitor fisiologi
dari tPA dan uPA.
Plasmin mempunyai fibrinogen dan fibrin sebagai substrat utamanya
yang terpenting untuk produksi fragmen-fragmen spesifik yang secara
kolektif disebut fibrinogen-fibrin degradation product (FDP)23 Plasmin jug
memecah faktor V dan faktor VIII:C. Ledakan fibrinolisis dihambat oleh
inhibitor poten a-2 antiplasmin dan oleh a-2 makroglobulin.14,23 Plasmin
bebas dalam plasma segera di inaktifkan oleh a- 2 antiplasmin, sedangkan
plasmin yang terikat fibrin dalam plug hemostasis lokal terlindungi dari a-2
antiplasmin dan dapat memecah fibrin menjadi FDP. Inhibitor dari aktifator
plasminogen juga memegang peranan penting dalam mengatur fibrinolisis
dan membatasinya pada bagian luka.
Bain BJ, Bates I, affan MA, Lewis SM. Dacie and Lewis Practical
Haematology, 11ed , Elsevier, Churchill Livingstone; 2011.
2. Hemofilia
a. Manifestasi klinis
1) Hemartomosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi
berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki,
bahu, pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel sering
mengalami hemartomosis dibandingkan dengankan dengan sendi
peluru, karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan
menyudut pada saat gerakan volunteer maupun involunter,
sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut
karena fungsinya.
2) Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor besar,
khususnya pada otot betis, otot-otot region iliopsoas (sering pada
panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan
kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf
dan kontraktur otot.
3) Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat
terjadi spontan atau sesudah trauma.
4) Perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal yang membahayakan
jalan nafas dapat mengancam kehidupan.
5) Hematuria masif sering ditemukan dan dapat menyebabkan kolik
ginjal tetapi tidak mengancam kehidupan.
Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi V.
Jakarta: InternaPublishing. 2009.Hal 1308
b. Edukasi
Walaupun mudah untuk menyarankan orang tua agar
menghindarkan anak mereka dari trauma, pada praktiknya saran ini
tidak berguna. Balita begitu aktif , ingin tahu banyak hal, dan melukai
dirinya dengan mudah. Tindakan yang efektif adalah dengan
menggunakan pengaman seperti penggunaan sabuk pengaman ketika
menggunakan mobil, helm ketika bersepeda, dan pentingnya
menghindari aktivitas resiko tinggi. Anak laki-laki ketika lebih besar
harus dinasehati untuk menghindari olahraga yang mengunakan
kekerasan., namun inilah tantangannya. Anak laki-laki dengan
hemophilia berat sering mengalami pendarahan yang terus menerus
tanpa trauma yang diketahui. Intervensi psikologis dapat membantu
keluarga untuk mencapai keseimbangan antara overproteksi dan hal-hal
yang diperbolehkan. Pasien dengan hemophilia harus menghindari
aspirin dan NSAID lain yang mempengaruhi fungsi platelet. Anak-anak
dengan gangguan pendarahan harus mendapat vaksinasi hepatitis B
melalui produk rekombinan yang dapat menghindari penularan penyakit
yang ditransmisikan melalui transfuse. Pasien yang mendapat transfuse
produk derivate plasma harus diskrining secara periodic untuk hepatitis
B, C, HIV, dan abnormalitas fungsi hepar.
Kliegman, R. M., Stanton, B. F., St. Geme, J. W., Schor, N. F.,
Behrman,R. E. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition.
Philadelphia: ElsevierSaunders; 2011.

3. von Willebrand (FvW)


a. Manifestasi klinis (TIDAK ADA KETEMU YANG VALID) 
b. Tatalaksana
Pentalaksanaan berupa pengelolaan segera dan jangka panjang.
Pentatalaksanaan jangka pendek berupa menghentikan obat yang
menghambat fungsi trombosit, memberikan VWF sebagai terapi empiris, dan
transfusi trombosit normal tergantung pada beratnya perdarahan. Cara-cara
ini sebenernya kurang tepat, tetapi cukup efektif. Kelainan fungsi trombosit
baik didapat atau kongenital harus segera diatasi dengan kontrol perdarahan
secara tepat.
Pada penatalaksanaan jangka panjang, banyak edukasi yang harus
diberikan kepada pasien dengan VWD. Misalnya seperti menghindari obat-
obatan yang memicu perdarahan, sebagai contoh adalah aspirin dan analgesik
nonsteroid. Pemberian VWF untuk pasien dengan rendahnya kadar VWF,
kemudian pengembalian jumlah trombosit jika menurun. Pemberian obat,
misalnya desmopresin (dengan merk dagang DDAVP-Desmopressin: 1-
desamino-8-D-arginine vasopressin, stimate, atau manirin) akan berespon
baik pada pasien dengan VWD defek yang didapat secara sekunder.
Desmopresin merupakan analog sintetis hormon antidiuretik,
vasopresin. Pemberian desmopresin biasanya dengan intravena karena
dengan pemberian secara intravena akan merangsang sekresi VWF dari sel
endotel dan FVIII, sehingga cepat meningkatkan kadar VWF dan FVIII
dalam plasma. Pasien yang paling berespon baikn dengan pemberian
desmopresin adalah pasien dengan VWD tipe 1. Pasien dengan VWD tipe 2A
dan 2M juga berespon baik terhadap pemberian desmopresin. Sedangkan
pasien dengan VWD tipe 2N tidak berespon terhadap pemberian
desmopresin. Pasien dengan VWD tipe 3 tidak akan bersepon juga dengan
pemberian desmopresin karena tidak ada cadangan VWF di endotel. Maka
dari itu, pasien dengan VWD tipe 2N dan tipe 3 harus diberikan transfusi
FVW dan FVIII.
Pemberian desmopresin tidak boleh kepada pasien dengan VWD tipe
2B karena perangsangan pengenluaran VWF akan meningkatkan agregasi
trombosit dan hal ini akan semakin mengurangi jumlah trombosit pasien
sehingga keadaan trombosipenia akan semakin parah. Penanganan yang tepat
pada pasien dengan VWD tipe 2B adalah dengan pemberian transfusi VWF
dan trombosit.
Formulasi DDAVP adalah dalam bentuk intravena dan intranasal.
Dosis intraven adalah 0,3 ug/kgBB, diencerkan dalam 30-50 mL salin dan
diberikan dalam 10-20 menit untuk meminimalkan efek samping, misalnya
takikardia dan hipotensi. Efek samping lain bisa berupa pusing, nyeri kepala,
nausea, dan muka kemerahan pada pasien. Nasal spray sangat pekat diberikan
pada perempuan dengan VWD tipe 1 yang memiliki keluhan menoragia, atau
pasien lain dengan VWD ringan saat ekstraksi gigi dan pembedahan minor.
Dosis intranasal DDAVP adalah 300 ug, diberikan dengan aplikasi 100 uL
dari larutan 1,5 mg/mL ke lubang hidung akan meningkatkan VWF 2 sampai
3 kali lipat.
Terapi DDAVP paling baik adalah untuk pembedahan minor
dikarenakan efek yang dicapai sangat singkat. Peningkatan VWF hanya
berlangsung selama12-24 jam. Pemberian dosis ulangan harus hati-hati
karena risiko anafilaksis. Kebanyakan pasien memberikan respons terhadap
2 atau 3 dosis dalam interval 24 jam tetapi ada beberapa kasus yang
diperlukan interval 48-72 jam di antara 2 dosis untuk perbaikan. Apabila
pemberian DDAVP tidak cukup, direkomendasikan untuk juga diberikan
transfusi VWF. Pemberian VWF bisa dengan tranfusi plasma segar atau
konsentrat plasma yang mengandung VWF-FVIII.
Selain itu juga bisa diberika kriopresipitat yang merupakan konsentrat
yang mudah didapat dan efektif. Sama halnya dengan DDAVP, kriopresipitat
akan segera meningkatkan kadar VWF, terutama kadar multimer VWF besar.
Namun pemberian kriopresipitat ini hanya efektif dalam 6-12 jam melalui
infus. Setelah itu, kriopresipitat dan multimer VWF : Ag akan rusak kembali.
Pada saat yang sama kadar FVIII akan meningkat selama 24 jam berikutnya.
Peningkatan kadar FVIII ini akan memberikan faktor protektif. Dosis
kriopresipitat yang diberikan sangat empiris.
Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu bentuk konsentrat
FVIII atau VWF bisa diberikan. Syaratnya adalah konsentrat mengandung
multimer VWF besar agar efektif. Sediaan yang bisa dipakai isalnya Humate
P dan Alphanate. Dosis FVIII 50 U/kgBB tiap 12 jam. Pada pasien dengan
VWD tipe 3 yang kadar rasio VWF : Ag dan FVIII sangat rendah mempunyai
risiko timbulnya antibodi setelah pemberian transfusi sediaan plasma
tersebut. Bisa saja untuk transfusi berikutnya memiliki risiko anafilaksis dan
kurang efektif. Untuk mengatasinya bisa diberikan antihistamin dan steroid
yang mengurangi risiko anafilaksis. Bisa juga diberikan imunoglobulin
intravena dosis 1 gram/kgBB sehari selama 2-3 hari untuk mengurangi kadar
antibodi anti-VWF sementara. Jika terdapat alloantibodi, maka dapat dipakai
transfusi trombosit.
Obat-obat lain yang bisa diberikan adalah Premarine yang memiliki
efek positif pada fungsi trombosit, Epsilon Aminocaproic Acid (EACA)
sebagai inhibitor fibrinolitik, Estrogen untuk membantu meningkatkan
produksi VWF oleh sel endotel, dan IgG intravena yang akan membantu
mempertahankan efek terapi utama yang diberikan.
1. Sugianto. Penyakit Von Willebrand. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B.,
Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia. 2007; pp: 763-6.
2. US Department of Health and Human Services - National Institute of Health
– National Heart, Lung, and Blood Institute. The Diagnosis, Evaluation, and
Management of von Willebrand Disease. US: NIH Publication; 2007.
4. Jelaskan mengenai Vitamani K?
Vitamin K merupakan golongan vitamin yang larut dalam lemak yang
secara alamiah banyak terdapat dalam sayur dan buah-buahan dan dapat
disintesis oleh flora bakteri dalam usus.Vitamin K penting untuk sintesis
prokoagulan faktor II, VII, IX dan X serta antikoagulan protein C dan S.
Molekul-molekul faktor II, VII, IX dan X disintesa pertama kali dalam sel
hati dan belum memerlukan vitamin K serta disimpan dalam bentuk
prekursor tidak aktif. Vitamin K dibutuhkan untuk konversi prekursor tidak
aktif menjadi faktor pembekuan yang aktif. Proses konversi ini terjadi pada
tahap postribosomal dimana radikal karboksil dengan vitamin K sebagai
katalis akan menempel pada residu asam glutamat dari prekursor molekul
untuk membentuk g'carboxyglutamic acid yang mampu mengikat Ca2+.
Faktor pembekuan yang memiliki kemampuan mengikat Ca2+ ini
memegang peranan dalam mekanisme hemostasis fase plasma.
Keadaan yang berhubungan dengan defisiensi faktor pembekuan yang
bergantung pada vitamin K adalah:
a. Prematuritas
Kadar faktor pembekuan yang tergantung pada vitamin K pada
waktu lahir berbanding lurus dengan umur kehamilan dan berat pada
waktu lahir. Pada bayi prematur fungsi hati masih belum matang dan
respons terhadap vitamin K subnormal.
b. Asupan makanan yang tidak adekuat
c. Terlambatnya kolonisasi kuman
d. Komplikasi obstetrik dan perinatal
e. Kekurangan vitamin K pada ibu
Suatu keadaan khusus yang dikenal sebagai Hemorrhagic Disease ofthe
Netubom (HDN), merupakan suatu keadaan akibat dari kekurangan vitamin
K pada masa neonatus. Terdapat penurunan kadar faktor II, VII, IX dan X
yang merupakan faktor pembekuan darah yang tergantung kepada vitamin K
dalam derajat sedang pada semua neonatus yang berumur 48 jam dan kadar
faktor-faktor tersebut secara berangsur-angsur akan kembali normal pada
umur 7-10 hari. Keadaan transien ini mungkin diakibatkan karena kurangnya
vitamin K pada ibu dan tidak adanya flora normal usus yang bertanggung
jawab terhadap sintesis vitamin K.
Pada keadaan obstruksi biliaris baik intrahepatik maupun ekstrahepatik
akan terjadi kekurangan vitamin K karena tidak adanya garam empedu pada
usus yang diperlukan untuk absorpsi vitamin K, terutama vitamin K1 dan K2
Obstruksi, yang komplit akan mengakibatkan gangguan proses pembekuan
dan perdarahan setelah 2-4 minggu.
Obat yang bersifat antagonis terhadap vitamin K seperti coumarin,
menghambat kerja vitamin K secara kompetitif, yaitu dengari cara
menghambat siklus vitamin K antara bentuk teroksidasi dan tereduksi
sehingga terjadi akumulasi dari vitamin K23epokside dan pelepasan g-
karboksilasi yang hasil akhirnya akan menghambat pembentukan faktor
pembekuan.
Pemberian antibiotik yang lama menyebabkan penurunan produksi
vitamin K dengan cara menghambat sintesis vitamin K2 oleh bakteri, atau
dapat juga secara langsung mempengaruhi reaksi karboksilase.Kekurangan
vitamin K dapat juga disebabkan penggunaan obat kolestiramin yang efek
kerjanya mengikat garam empedu sehingga akan mengurangi absorpsi
vitamin K yang memerlukan garam empedu pada proses absorpsinya.
Manifestasi perdarahan pada neonatus sedikit berbeda dari anak yang
lebih besar dan dewasa. Pada neonatus perdarahan dapat timbul dalam bentuk
perdarahan di scalp, hematoma sefal yang besar, perdarahan intrakranial,
perdarahan dari tali pusat, perdarahan pada bekas sirkumsisi, oozing pada
bekas suntikan dan kadang-kadang perdarahan gastrointestinal.Pada HDN
terdapat 3 macam bentuk klinis yaitu: bentuk dini, klasik dan lambat.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya
kekurangan vitamin K, meliputi pemeriksaan: waktu perdarahan, waktu
pembekuan, PTT, PT, TT (thrombin time), jumlah trombosit, kadar
hemoglobin, morfologi darah tepi. Pemeriksaan faktor-faktor pembekuan
darah yang bergantung kepada vitamin K, fibrinogen, faktor V dan VII dapat
pula dilakukan.
Pendekatan diagnosis gangguan pembekuan darah akibat kekurangan
vitamin K dilakukan melalui tahap anamnesis, pemeriksaan fisis dan
laboratorium. Pada neonatus, anamnesis terutama mengenai keadaan umum
bayi, saat mulainya timbul perdarahan, lokasi perdarahan, riwayat pemberian
air susu ibu atau susu formula, riwayat pengobatan ibu yang meminum obat
anti konvulsan atau antikoagulan. Pada anak yang lebih besar perlu juga
ditanyakan mengenai asupan makanan terutama yang berhubungan dengan
asupan vitamin K, riwayat pengobatan, riwayat menderita penyakit yang
berhubungan dengan keadaan malabsorpsi. Perlu juga ditanya mengenai
adanya riwayat dalam keluarga yang mempunyai penyakit darah dan
anamnesis yang menyingkirkan ke arah diagnosis banding.
Pada pemeriksaan fisik dapat diketahui keadaan umum penderita,
lokasi dan bentuk perdarahan yang timbul. Pada bayi/anak yang menderita
kekurangan vitamin K biasanya keadaan umum penderita baik, tidak tampak
sakit.Pada pemeriksaan laboratorium dari gangguan pembekuan darah karena
kekurangan vitamin K menunjukkan:
a) Waktu pembekuan memanjang
b) Penurunan aktivitas faktor II, VII, IX dan X
c) PT dan FIT memanjang
d) TT normal
e) Jumlah trombosit, waktu perdarahan, fibrinogen, faktor V dan VIII,
fragilitas kapiler serta retraksi bekuan normal.
Bayi dan anak yang mengalami perdarahan akibat kekurangan vitamin
K harus segera mendapatkan vitamin K. Vitamin K tidak boleh diberikan
secara intramuskular karena di tempat suntikan akan terbentuk hematoma,
sebaiknya diberikan secara subkutan karena absorpsinya cepat dan efeknya
hanya sedikit lebih lambat dibandingkan dengan pemberian secara sistemik.
Bila diberikan secara subkutan, dosis yang diberikan sebesar 5-10 mg
subkutan dengan dosis tunggal biasanya membonkan perbaikan PT dalam
waktu 12-24 jam. Pemberian secara inrravena dapat juga diberikan, tetapi
harus hari-hari karena dapat terjadi reaksi anatilak dan bila diberikan secara
inrravena dosis vitamin K sebesar 1 mg untuk 2-3 kali pemberian dengan
interval waktu 6-8 jam. Jenis vitamin Kyang diberikan sebaiknya vitamin K1
karena lebih aman dan efek sampingnya lebih kecil dibandingkan vitamin
K3.Apabila terjadi perdarahan hebat, di samping pemberian vitamin K juga
harus segera diberikan fresh frozen plasma dengan dosis 10-15 ml/kg berat badan.
Pernomo BH. Sutaryo, Ugrasena IDG, Endang W, Abdulsalam M. Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010.h.174-175.
5. Transfusi darah
a. Efek samping
1) Reaksi hemolitik
Reaksi yang terjadi biasanya adalah penghancuran sel darah
merah donor oleh antibodi resipien dan biasanya terjadi karena
ketidakcocokan golongan darah ABO yang dapat disebabkan oleh
kesalahan mengidentifikasikan pasien, jenis darah atau unit transfusi.
Pada orang sadar, gejala yang dialami berupa menggigil, demam, nyeri
dada dan mual. Pada orang dalam keadaan tidak sadar atau terbius,
gejala berupa peningkatan suhu tubuh, jantung berdebar-debar, tekanan
darah rendah dan hemoglobinuria. Berat ringannya gejala tersebut
tergantung dari seberapa banyak darah yang tidak cocok ditransfusikan.
2) Reaksi non hemolitik
Reaksi ini terjadi karena sensitisasi resipien terhadap sel darah
putih, trombosit atau protein plasma dari donor. Gejalanya antara lain
demam, urtikaria yang ditandai dengan kemerahan, bintik-bintik merah
dan gatal tanpa demam, reaksi anafilaksis, edema paru, hiperkalemia
danasidosis.
3) Infeksi
Resiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah
bergantung pada berbagai hal antara lain, angka kejadian penyakit di
masyarakat, keefektifan skrining yang dilakukan, kekebalantubuh
resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Beberapa infeksi yang
biasa terjadi adalah virus hepatitis, HIV, Cytomegalovirus, bakteri
stafilokokus, yesteria dan parasit malaria.
Busch, MP. Advaces in Transfusion Safety-Volume IV, Devlopments
in Biologicals, 2007, vol 127, pp 87-112

You might also like