You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Pelayanan gizi menyediakan makanan sesuai dengan jumlah dan macam zat gizi, yang
diperlukan konsumen secara menyeluruh. Makanan yang dipersiapkan dan disajikan
bercitarasa tingi, yang memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi. Untuk mendapatkan
makanan tesebut, diperlukan pengembangan resep terhadap menu yang telah ada.
Pengembangan resep bisa melalui pembuatan masakan (makanan) baru, yang masih
menggunakan bahan makanan yang sama, sehingga tercipta menu yang lebih bervariasi
(Aritonang, 2014).
Modifikasi resep sebagai salah satu cara untuk meningkatkan citarasa makanan. Menu
yang telah ada dimodifikasi, sehingga dapaxt mengurangi rasa bosan/jenuh pasien terhadap
masakan yang sering disajikan. Demikian pula pengembangan resep untuk meningkatkan
nilai gizi masakan, sekaligus meningkatkan daya terima pasien. Modifikasi resep dapat
berupa modifikasi bahan pendukungnya, modifikasi bentuk, atau cara pengolahannya.
Dengan demikian, modifikasi resep dimaksudkan untuk : (1) Meningkatkan
keanekaragaman masakan bagi pasien ; (2) Meningkatkan nilai gizi pada masakan; dan (3)
Meningkatkan daya terima pasien terhadap masakan (Aritonang, 2014).
Depkes (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga fase dalam proses pengobatan gizi buruk
baik kwashiorkor, marasmus, maupun marasmik-kwashiorkor yaitu fase stabilisasi, fase
transisi, dan fase rehabilitasi. Berdasarkan tahapan fase makanan rujukan dari Depkes
RI (2003) yang terdiri dari fase stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi yaitu
makanannya berupa formula WHO ( F-75, F-100, F-135). F -75 diberikan pada saat fase
stabilisasi (1-7 hari) artinya pemberian Formula F-75 ke pasien sesuai dengan tabel
petunjuk pemberian F-75 yaitu pemberiannya sesuai dengan berat badan anak dan kondisi
anak, sedangkan pemberian F-100 diberikan pada fase transisi artinya pemberian F-100
ke pasien sesuai dengan tabel petunjuk pemberian F-100 yaitu pemberiannya sesuai dengan
berata badan anak dan kondisi anak.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam praktikum ini adalah bagaimana membuat formula untuk gizi
buruk fase stabilisasi.

1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Dapat membuat formula makanan bagi penderita balita gizi buruk dengan zat gizi
yang tepat agar dapat meningkatkan status gizi balita pada fase stabilisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian KEP


Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit
–penyakit tertentu. Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang
dari 80 % indek berat badan/umur baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES RI,1997).
Kurang energi protein (KEP) yaitu seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi protein dalam makan sehari-hari dan atau gangguan penyakit
tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Kurang energy protein
merupakan keadaan kuang gizi yang disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Depkes 1999).
KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP tanpa gejala klinis dan KEP dengan gejala
klinis. Secara garis besar tanda klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan
Marasmus-Kwashiorkor.
Sedangkan menurut Jellife (1966) dalam Supariasa, I.D.Nyoman (2002) dikatakan
bahwa KEP merupakan istilah umum yang meliputi malnutrition, yaitu gizi kurang dan gizi
buruk termasuk marasmus dan kwashiorkor.
KEP merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan
energi maupun protein dalam proporsi yang berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai
berat. Beberapa pengertian Kurang Energi Protein (KEP):
a. KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Disebut KEP apabila berat badannya kurang
dari 80 % indeks berat badan menurut (BB/U) baku WHO-NCHS.
b. Istilah Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik
berspektrum luas yang berkisar antara sedang sampai berat. KEP yang berat
memperlihatkan gambaran yang pasti dan benar (tidak mungkin salah) artinya pasien
hanya berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila berjalan bagaikan tengkorak
(Daldiyono dan Thaha, 1998).
c. KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh
kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk itu sendiri adalah bentuk terparah
(akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat.
Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan
kombinasi marasmus kwashiorkor (Soekirman (2000).
d. KEP terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori dan protein atau keduanya tidak
tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun
salah satu lebih dominan ketimbang yang lain.
Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua jenis
kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di
Indonesia.
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi
buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-
anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya
mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis
disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.
Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan kwashiorkor,
masing-masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan marasmik ditengah-
tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan
disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi KEP
digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat derajat
beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di daerah tersebut
(Pudjiadi, 2005).

2.2 Etiologi KEP


Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan berbagai
gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat banyak sehingga penyakit ini
sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan
dengan waktu pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan tambahan setelah disapih.
Selain itu, KEP merupakan penyakit lingkungan, karena adanya beberapa factor yang
bersama-sama berinteraksi menjadi penyebab timbulnya penyakit ini, antara lain yaitu factor
diet, factor social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain. Peran diet
menurut konsep klasik terdiri dari dua konsep. Pertama yaitu diet yang mengandung cukup
energy, tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor,
sedangkan konsep yang kedua adalah diet kurang energy walaupun zat gizi (esensial)
seimbang akan menyebabkan marasmus. Peran factor social, seperti pantangan untuk
menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun temurun dapat mempengaruhi
terjadinya KEP. Ada pantangan yang berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan yang
berdasarkan tradisi yang sudah turun temurun, tetapi kalau pantangan tersebut berdasarkan
agama, maka akan sulit untuk diatasi. Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau
tradisi, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan dengan terus-menerus hal ini
akan dapat diatasi.
KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh 2 faktor. Factor-faktor yang secara
langsung dapat mempengaruhi terjadinya KEP pada balita adalah makanan dan ada atau
tidaknya penyakit infeksi. Kedua factor ini dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan
yang dimakan oleh seorang anak, antara lain ditentukan oleh beberapa factor penyebab tidak
langsung, yaitu: a) zat-zat gizi yang terkandung di dalam makanan, b) daya beli keluarga,
meliputi penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran keluarga untuk kebutuhan lain
selain makanan, c) kepercayaan ibu tentang makanan serta kesehatan, d) ada atau tidaknya
pemeliharaan kesehatan termasuk kebersihan, dan e) fenomena social dan keadaan
lingkungan.
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam tata buku pedoman Tata Laksana KEP pada
anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP
ringan, sedang, dan berat (gizi buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang
ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar
dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
Salah satu sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus adalah kehamilan berturut-
turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu marasmus juga disebabkan
karena pemberian makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan
yang terlalu encer dan jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga
kandungan protein dan kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan
lingkungan yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan
kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran pencernaan. Pada
keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yang berulang sehingga
menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga anak menjadi kurus
serta turun berat badannya.
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam
jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti anggota
keluarga yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan
makan yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti anak-anak dilarang
makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga
laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor. Selain itu tingkat
pendidikan orang tua yang rendah dapat juga mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena
berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah.
Menurut Ngastiyah, 1997 faktor-faktor penyebab kurang energi protein dibagi menjadi
dua, yaitu
a. Primer
1. Susunan makanan yang salah
2. Penyedia makanan yang kurang baik
3. Kemiskinan
4. Ketidaktahuan tentang nutrisi
5. Kebiasan makan yang salah.
b. Sekunder
1. Gangguan pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak baik, kelainan struktur
saluran).
2. Gangguan psikologis.

2.3 Penyebab KEP


Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak
hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan
menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan
mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah
diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang
gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga
(household food security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu,
perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya
secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah
tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap
keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab
tidak langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan
keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik
tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak
keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil
produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga,
serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu (ASI) adalah
makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi.
Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut sehinggatidak perlu dibeli.
Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh karena berbagai
masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam
jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI
(MP-ASI). Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan
dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan
demikian, dapat dikatakan ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak mampu
memberikan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi menderita gizi buruk.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih
sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan
(fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang
pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-
hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh
anak.
Pelayanan kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap
upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta
sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah
sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan
atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala
masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal
ini dapat berdampak juga pada status gizi anak.
Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan dengan
pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok
masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga
mengatasi masalah kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak
yang baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia.

2.4 Jenis-jenis KEP


a. Kwashiorkor
Kwashiorkor merupakan keadaan kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein.
Umumnya keadaan ini terjadi akibat kurangnya asupan gizi yang sering terjadi di negara
berkembang atau pada daerah yang mengalami embargo politik. Daerah yang sangat
terpencil juga merupakan salah satu faktor terjadinya kondisi kwashiorkor.
Individu yang mengalami kwashiorkor dapat mengalam berbagai macam
manifestasi atau gejala antara lain: penurunan berat badan, penurunan massa otot, diare,
lemah lesu, perut buncit, bengkak pada tungkai, perubahan warna rambut, dan lain-lain.
Seperti yang kita ketahui protein berfungsi dalam pembentukan enzim-enzim penting
dalam tubuh. Kurangnya protein mengakibatkan kurangnya enzim tersebut. Pada anak
kecil seringkali terjadi intoleransi laktosa akibat enzim pencernaan yang kurang dan hal
ini mengakibatkan terjadinya diare pada anak-anak kurang energi protein.
Pada individu yang mengalami keadaan ini, pemberian makanan haruslah
dilakukan.secara bertahap. Zat makanan pertama yang perlu diberikan adalah karbohidrat
karena karbohidrat merupakan sumber utama pembentukan energi oleh tubuh. Setelah itu
barulah lemak dan protein diberikan. Penatalaksanaan yang baik akan menyelamatkan
nyawa anak tersebut namun efek gangguan perkembangan anak yang telah terjadi belum
tentu akan pulih dan umumnya akan menetap. Keadaan kwashiorkor merupakan suatu
keadaan bahaya yang dapat menyebabkan kematian oleh karena itu usaha promotif dan
preventif adalah yang utama.
Pencegahan agar anak terhindar dari kwashiorkor adalah cukup mudah, tidak perlu
ada obat-obatan yang wajib dikonsumsi. Pemberian makanan dengan komposisi yang
baik sudah dapat “menjamin” bahwa anak tersebut tidak akan jatuh ke keadaan
kwashiorkor. Karbohidrat harus merupakan sumber energi yang utama selain lemak (10%
asupan), dan protein (12%).
b. Marasmus
Kekurangan energi marasmus merupakan suatu keadaan kekurangan energi protein
akibat rendahnya asupan karbohidrat. Keadaan ini acapkali ditemukan dan angka
kejadiannya mencapai 49% pada kurang lebih 10 juta anak di bawah 5 tahun yang
mengalami kematian di negara berkembang, sedangkan di negara maju angka
kejadiannya tidak begitu tinggi.
Adanya kondisi fisik yang tidak baik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
kekurangan karbohidrat pada anak-anak. Kondisi fisik tersebut antara lain adalah
penyakit jantung bawaan, retardasi mental, penyakit kanker, infeksi kronis, keadaan yang
mengharuskan anak dirawat lama di rumah sakit. Anak akan tampak lesu dan tidak
bersemangat, diare kronis, berat badan tidak bertambah.
Pemeriksaan untuk mengetahui apakah anak menderita marasmus dapat dilakukan
melalui pengukuran tebal lipat lemak pada lengan atas, perut. Pemeriksaan ini memiliki
keterbatasan karena rata-rata anak berusia di bawah 5 tahun memiliki tebal lipat lemak
pada lengan atas yang tidak jauh berbeda.
Penelitian di Nigeria menunjukkan hal yang menarik dimana kadar kolesterol anak
yang menderita marasmus lebih tinggi daripada anak yang menderita kwashiorkor.
Alasan mengapa hal ini dapat terjadi masih belum dapat dijelaskan dengan baik.
Kekurangan energi protein pada anak-anak merupakan suatu keadaan bahaya yang
perlu dilakukan tindakan segera. Kekurangan energi protein ini mengakibatkan perubahan
komposisi tubuh, perubahan anatomi dan metabolisme tubuh yang bisa permanen jika
tidak ditatalaksana dengan segera.
c. Marasmus Kwashiorkor
Pada kekurangan energi marasmus kwashiorkor terdapat kekurangan energi kalori
maupun protein. Mengapa ada anak yang jatuh ke dalam keadaan kwashiorkor,
marasmus, atau marasmus kwashiorkor masih belum jelas dan masih membutuhkan
penelitian yang lebih lanjut. Namun semua bentuk kekurangan energi protein pada anak-
anak ini disebabkan oleh asupan makanan bergizi yang tidak adekuat atau adanya kondisi
fisik tubuh yang mengakibatkan makanan yang dikonsumsi tidak dapat diserap dan
digunakan oleh tubuh selain adanya keadaan metabolisme yang meningkat yang
disebabkan mungkin oleh penyakit kronis atau penyakit keganasan.

2.5 Klasifikasi KEP


Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang berat
badan anak dibanding dengan umur dan menggunakan KMS dan tabel BB/U Baku Median
WHO – NCHS.
a. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita kuning
b. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis
Merah ( BGM ).
c. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku median WHO-NCHS.
Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk dan KEP sedang, sehingga
untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan tabel BB/U Baku median WHO-
NCHS.
1. Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah dapat terhindar dari kekeliruan
interpretasi karean baku WHO-NCHS sudah dapt membedakn jenis kelamin dan lebih
memperhatikan keadaan masa lampau. Kelemahannya adalah apabila umur tidak
diketahui dengan pasti maka akan sulit digunakan, kecuali untuk indeks BB/TB.
2. Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score(simpang baku) sebagai
batas ambang. Kategori dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB/U
atau BB/TB dibagi menjadi 3 golongan dengan batas ambang sebagai berikut:
 Indeks BB/U
1. Gizi lebih, bila Z-score terletak > +2SD
2. Gizi lebih, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD
3. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d <-2SD
4. Gizi buruk, bila Z-score terletak > -3SD
 Indeks TB/U
1. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD
2. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD
 Indeks BB/TB
1. Gemuk, bila Z-score terletak < -3SD
2. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD
3. Kurus, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d <-2SD
4. Kurus sekali, bila Z-score terletak > -3SD
(sumber: WNPG VII, 2000)
Pertimbangan dalam menetapkan Cutt Off Point gizi didasarkan pada asumsi resiko
kesehatan:
a. Antara -2SD sampai +2SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk menderita
masalah kesehatan.
b. Antara -2SD sampai -3SD atau antara +2SD sampai +3SD memiliki resiko cukup tinggi
untuk menderita masalah kesehatan.
c. Di bawah -3SD ata di atas +2SD memiliki resiko tinggi untuk memderita masalah
kesehatan.

2.6 Gejala Klinis Balita KEP Berat/Gizi Buruk


Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak
kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor atau marasmickwashiokor.Tanpa mengukur/melihat BB bila disertai
oudema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.
a. Kwashiorkor
1. Oudema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki (dorsum pedis )
2. Wajah membulat dan sembab
3. Pandangan mata sayu
4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit,rontok
5. Perubahan status mental, apatis dan rewel
6. Pembesaran hati
7. Otot mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas
9. Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan diare.
b. Marasmus
1. Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit
2. Wajah seperti orang tua
3. Cengeng rewel
4. Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pakai celana
longgar )
5. Perut cekung
6. Iga gambang
7. Sering disertai penyakit infeksi( umumnya kronis berulang), diare kronis atau
konstipasi/susah buang air.
c. Marasmus Kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus, dengan BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS disertai oedema yang tidak
mencolok.(DEPKES RI. 1999).
Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein ) dalam waktu besar dapat
mengakibatkan menurunya status gizi individu dalam waktu beberapa hari atau minggu
saja yang ditandai dengan penurunan berat badan yang cepat.Keadaan yang diakibatkan
oleh kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi kurang atau gizi
buruk.Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi badan) pada tingkat sedang dan
berat pada anak kecil maupun kekurusan pada individu yang lebih tua dapat mudah
dikenali dengan mata . Demikian pula halnya dengan kasus kekurangan energi berat
(marasmus) dan kekurangan protein berat(kwasiokor) serta kasus kombinasi marasmik-
kwashiokor dapat dikenali tanda- tandanya dengan mudah (Soekirman, MPS. 1998).
Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada anak balita selalu
berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam pembangunan social ekonomi.
Kekurangan gizi tidak terjadi secara acak dan tidak terdistribusi secara merata ditingkat
masyarakat, tetapi kekurangan gizi sangat erat hubungannya dengan sindroma
kemiskinan. (Gopalan, C. 1987).
Tanda – tanda sindroma, antaralain berupa : penghasilan yang amat rendah
sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, kuantitas
dan kualitas gizi makanan yang rendah sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber air
bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan kesehatan yang amat terbatas, jumlah
anggota keluarga yang terlalu besar, dan tingkat buta aksara tinggi (Gopalan, C. 1987).
Status gizi terutama ditentukan ketersediaan dalam jumlah yang cukup dandalam
kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh
untuk pertumbuhan, perkembangan, dan berfungsi normal semua anggota badan. Oleh
karena itu prinsipnya status gizi di tentukan oleh dua hal – terpenuhinya dari makanan
semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, dan peranan faktor-faktor yang menentukan
besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut. Terhadap kedua hal
ini, faktor genetik dan faktor sosial ekonomi berperan. (Martorell, R, and Habicht, 1986).

2.7 Faktor-faktor yang Memengaruhi Sosial Ekonomi terhadap Balita KEP


a. Pendapatan Keluarga Perkapita
Konsumsi makanan yang berkurang sering dialami oleh penduduk yang
berpendapatan rendah.Hal ini disebabkan oleh daya beli keluarga yang rendah.
Pendapatan keluarga akan mempengaruhi pola pengeluaran komsumsi keluarga. Tingkat
pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang
diperoleh (Suhardjo,1989).
Masalah komsumsi pangan, rata- rata komsumsi energi dan protein secara nasional
meningkat dengan tajam. Pada tahun 1984 rata – rata komsumsi energy perkapita 1798
kalori, meningkat menjadi 1905 kalori pada tahun 1990 dan menjadi 1962 kalori pada
tahun 1995. Sedangkan dalam kurun waktu yang sama rata – rata komsumsi protein
meningkat menjadi dari 43,3 gram,45,4 dan 49,2 perkapita/ hari. (SKPG. 1998)
b. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup
dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain
(Siagian,1991). Pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh sangat kuat terhadap
kelangsungan anak dan bayinya. Pada masyarakat dengan rata –rata pendidikan rendah
menunjukan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang
pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah( Abunain,1988).
Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah makanan untuk
keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan factor
selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya yang mengatur dan menentukan
segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga (Suhardjo,1986).
Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai pengertian yang lebih
baik akan kesehatan gizi dengan menangkap informasi dan menafsirkan informasi
tersebut guna kelansungan hidupnya lebih – lebih pada jaman kemajuan ilmu
tehnologi.Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang ibu akan lebih banyak
memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi.Dengan
demikian mereka dapat memilih serta menentukan aternatif lebih baik untuk kepentingan
rumah tangganya termasuk dalam menentukan pemberian makanan bagi balita yang ada
dirumah tangga tersebut (Biro Pusat Statistik,1993).
c. Pekerjaan
Anak nelayan tradisional mempunyai resiko menjadi kurang gizi tiga kali lebih
besar dibanding pada anak peternak, petani pemilik lahan, ataupun tenaga kerja terlatih.
Hal penelitian ini juga menunjukan bahwa pengelompokan pekerjaan yang terlalu umum
misalnya nelayan saja bisa mengatur pertumbuhan peranan factor pekerjaan orang tua
terhadap resiko anak mereka untuk menderita kurang gizi, resiko kurang gizi pada anak
nelayan tradisional tiga kali lebih besar dibanding anak nelayan yang punya perahu
bermotor. Efek ganda ( interaksi ) dari berbagai faktor sosial ekonomi dalam
menyebabkan jatuhnya seorang anak pada keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan (Mc
Lean, W.1984).
d. Keadaan Sanitasi Lingkungan
Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga kesehatan orang
dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang aman. Semua ini bukan saja
penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia,tetapi juga sangat membantu bagi
eman sipasi kaum wanita dari beban kerja berat yang mempunyai dampak yang merusak
terhadap anak – anak, terutama anak- anak perempuan. Kemajuan dalam kesehatan anak
tidak mungkin dipertahankan jika sepertiga dari anak- anak didunia ketiga tetap tidak
menikmati sarana sanitasi yang layak.
Berdasarkan pengalaman pada dasa warsa yang lalu,termasuk inovasi yang
banyak jumlahnya dalam tehnik dan tekhnologi-tekhnologi yang sederhana dan murah
untuk menyediakan air bersih dan sarana sanitasi yang aman didaerah pedesaan dan
perkampungan kumuh dikota,kini patut dan layak melalui tindakan nasional bersama dan
kerjasama internasional untuk menyediakan air minum yang amam dan sarana
pembuangan kotoran manusia yang aman untuk semua (DEPKES RI,1990).
Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak
hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan
menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah
dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan
mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat
menderita kurang gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola
pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan
pangan di keluarga (household food security) adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar
dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor
ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan
tingkat pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.

2.8 Ambang Batas Masalah Gizi sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat


Penilaian masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat di suatu
wilayah dilakukan dengan membandingkan jenis dan besaran masalah
gizi dengan ambang batas (cut off ) yang telah disepakati secara universal.
Bila besaran masalah gizi di suatu wilayah berada diatas ambang batas
yang ditentukan, maka masalah tersebut dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Untuk mengetahui seorang anak menderita gizi buruk perlu dihitung status gizinya.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian status gizi secara langsung antara lain dengan antropometribiokimia,
klinik, biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengukuran yang sering
digunakan adalah pengukuran dengan antropometri. Ditinjau dari sudut pandang gizi,
maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuhdan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.Berat badan
merupakan antropometriyang paling banyak digunakan karena parameter ini mudah
dimengerti sekalipun oleh mereka yang buta huruf. Standar baku yang dianjurkan untuk
menilai status gizi anak di bawah lima tahun di Indonesia adalah baku World Health
Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Indeks antropometri yang
sering digunakan untuk mendeteksi gizi buruk adalah berat badan menurut umur (BB/U) dan
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan ambang batasmemakai standar deviasi
unit (SD) yang disebut Z-Skor dan dibandingkandengan Klasifikasi Status Gizi Anak. Untuk
menghitung status gizidiperlukan tabel baku rujukan WHO-NCHS.
2.9 Program Penanggulangan KEP
Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya setiap balita yang berobat atau dirujuk ke
rumah sakit dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan dan lila untuk menentukan
status gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium. Penentuan status gizi
maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut :
a. Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di
rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi
umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3 tahun.
b. Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan
vitamin serta teruskan ASI dan pantau terus berat badannya. (b) Penderita rawat inap :
diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50% diatas
kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan
penyakitnya.
c. Balita KEP berat : harus dirawat inap di RS dan dilaksanakan sesuai pemenuhan
kebutuhan nutrisinya.

Kegiatan penanggulangan KEP balita meliputi :


a. Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradsarkan
berat badan dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat
itu.Cara penjaringan yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan
bulan, balita ditimbang berat badannya dengan menggunakan timbangan dacin,
berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB tersebut tentukan status
gizi dengan KMS atau standar antropometri.
b. Kegiatan penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah program intervensi
bagi balita yang menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi
balita gar meningkat status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS),
pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya sehingga balita KEP
tidak semakin berat kondisinya, asuhan kebidanan/keperawatan yaitu untuk memberikan
bimbingan kepada keluarga balita KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat
mencapai status gizi yang baik melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga
agar bisa dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/ paket pertolongan gizi hal ini
diberikan untuk jangka pendek. Suplementasi gizi meliputi : pemberian sirup zat besi;
vitamin A (berwarna biru untuk bayi usia 6-11 bulan dosis 100.000 IU dan berwarna
merah untuk balita usia 12-59 bulan dosis 200.000 IU); kapsul minyak beryodium, adalah
larutan yodium dalam minyak berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium diberikan
1x dalam setahun.
c. Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di
rumah (bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi
umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3 tahun.
d. Balita KEP sedang;
Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan
ASI dan pantau terus berat badannya.
Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan
energi 20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet
sesuai dengan penyakitnya.

Adapun penanggulangan lainnya pada penderita KEP yaitu :


a. Jangka pendek
1. Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di posyandu
2. Rujukan kasus KEP dengan komplokasi pengakit di RSU
3. Pemberian ASI Eklusif untuk bayi usia 0-6 bulan
4. Pemberian kapsul vitamin A
5. Pemberian makanan tambahan (PMT)
6. Pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian 3 bulan
7. Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia6-
12 bulan
8. Promosi makanan sehat dan bergizi
b. Jangkah menengah
1. Revitalisasi Posyandu
2. Revitalisasi Puskesmas
3. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
c. Jangkah panjang
1. Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
2. Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program penanggulangan kemiskinan dan
ketahanan pangan.
Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) juga dapat dilakukan dengan
meningkatkan asupan protein. Secara umun dikenal dua jenis protein yaitu protein yang
berasal dari hewan dan protein nabati yang berasal dari tumbuhan. Protein hewani dapat
diperoleh dari berbagai jenis makanan seperti ikan, daging, telur dan susu. Protein nabati
terutama berasal dari kacang-kacangan serta bahan makanan yang terbuat dari kacang (Elly
Nurachmah, 2001:15).
Protein kacang-kacangan mempunyai nilai gizi lebih rendah dibandingkan dengan
protein dari jenis daging (protein hewani). Namun, kalau beberapa jenis protein nabati
dikombinasikan dengan perbandingan yang tepat, dapat dihasilkan campuran yang
mempunyai nilai kualitas proteinlengkap. Selain itu, sumber protein nabati juga lebih murah
harganya dibandingkan dengan sumber protein hewani, sehingga dapat terjangkau oleh daya
beli sebagian masyarakat (Achmad Djaeni, 1999:120).
Tempe adalah makanan khas Indonesia. Menurut Anggrahini (1983) dalam Novalia
Anggraini (2007), tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai nilai gizi yang
tinggi daripada bahan dasarnya. Tempedibuat dengan cara fermentasi yaitu dengan
menumbuhkan kapang Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya.
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar
banyakmakanan. Kedelai kering mengandung protein 34,9% tiap 100 gr, sedangkan kedelai
basah mengandung protein sebanyak 30,2% tiap 100 gr (Achmad Djaeni, 1999:121). Tempe
dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dengan konsumsi rata-rata per hari per orang 4,4
gr sampai 20,0 gr. Tempe dapatdiperhitungkan sebagai sumber makanan yang baik gizinya
karena mempunyai kandungan protein, karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin dan
mineral (Novalia Anggraini, 2007).
Sedangkan Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh. Makanan yang
tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan
protein dapat menimbulkan masalah lain, terutama pada bayi. Kelebihan asam amino
memberatkan ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan
nitrogen. Kelebihan protein akan menimbulkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak
darah, kenaikan ureum darah dan demam(Sunita, 2003:104).

2.10 Fase Stabilisasi


Fase stabilisasi biasanya terjadi selama 1-2 hari. Pada awal fase stabilisasi perlu
pendekatan yang sangat hati-hati, karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas
homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisma basal
saja.
Formula khusus seperti Formula WHO 75/modifikasi/Modisco ½ yang dianjurkan
dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai
prinsip tersebut diatas dengan persyaratan diet sebagai berikut :
a. Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa
b. Energi : 80-100 kkal/kgBB/hari
c. Protein : 1-1.5 gr/kgBB/hari
d. Cairan : 130 ml/kgBB/hari (jika ada edema berat 100 ml/kgBB/hari)
e. Bila anak mendapat ASI teruskan, dianjurkan memberi Formula WHO
75/pengganti/Modisco ½ dengan menggunakan cangkir/gelas, bila anak terlalu lemah
berikan dengan sendok/pipet
f. Pemberian Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ atau pengganti dan jadwal
pemberian makanan harus disusun sesuai dengan kebutuhan anak.
Keterangan :
1. Pada anak dengan selera makan baik dan tidak edema, maka tahapan pemberian
formula bisa lebih cepat dalam waktu 2-3 hari (setiap 2 jam)
2. Bila pasien tidak dapat menghabiskan Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½
dalam sehari, maka berikan sisa formula tersebut melalui pipa nasogastrik
(dibutuhkan ketrampilan petugas)
3. Pada fase ini jangan beri makanan lebih dari 100 Kkal/kgBB/hari
4. Pada hari 3 s/d 4 frekwensi pemberian formula diturunkan menjadi setiap jam dan
pada hari ke 5 s/d 7 diturunkan lagi menjadi setiap 4 jam
5. Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke 7 (akhir minggu 1)

Pemantauan pada fase stabilisasi :


a. Jumlah yang diberikan dan sisanya
b. Banyaknya muntah
c. Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja
d. Berat badan (harian)
e. Selama fase ini diare secara perlahan berkurang pada penderita dengan edema , mula-
mula berat badannya akan berkurang kemudian berat badan naik

1. Formula 75
Makanan formula atau bahan makanan campuran merupakan kombinasi dari
berbagai bahan yang memungkinkan penambahan kekurangan sesuatu zat gizi dalam
sesuatu bahan dalam bahan lain sehingga menjadi sesuatu bahan yang mengandung zat-
zat gizi dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan.
Makanan formula memiliki syarat sebagai berikut : Bernilai gizi tinggi, dapat
diterima baik citarasanya dan dibuat dari bahan makanan setempat. Formula 75 atau F-
75 adalah formula yang diberikan pada penderita gizi buruk fase stabilisasi yang
diberikan secara bertahap dengan tujuan memberikan makanan awal agar anak dalam
kondisi stabil. Formula 75 (F-75) ini terdapat 2 variasi yaitu formula 75 (F-75) tanpa
tepung dan formula 75 (F75) dengan tepung, cara membuatnya sama hanya saja
terdapat perbedaan pada pemberian tepung. Formula 75 (F-75) diberikan untuk
penderita gizi buruk dengan diare karena memiliki osmolaritas yang lebih rendah.
Bahan yang diperlukan untuk membuat makanan formula 75 ini adalah gula, susu
skim bubuk, minyak sayur dan larutan elektrolit. Sedangkan untuk formula 75 dengan
tepung ada penambahan tepung beras.
a. Gula Pasir
Gula pasir adalah jenis gula yang paling mudah dijumpai, digunakan sehari-
hari untuk pemanis makanan dan minuman. Gula pasir juga merupakan jenis gula
yang digunakan dalam penelitian ini.Gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah
dikristalkan, sari tebu akan mengalami kristalisasi dan berubah menjadi butiran
gula berwarna putih bersih atau putih agak kecoklatan (raw sugar). Gula pasir
merupakan karbohidrat sederhana yang dibuat dari cairan tebu. Gula pasir dominan
digunakan sehari – hari sebagai pemanis baik di industri maupun pemakaian rumah
tangga.
Menurut Darwin (2013), gula adalah suatu karbohidrat sederhana karena
dapat larut dalam air dan langsung diserap tubuh untuk diubah menjadi energi.
b. Susu Skim Bubuk
Susu skim adalah susu yang kadar lemaknya telah dikurangi hingga berada
dibawah batas minimal yang telah ditetapkan. Susu skim merupakan bagian susu
yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim
mengandung zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin – vitamin yang larut
dalam lemak. Susu skim memiliki rasa yang asin, berebeda dengan susu segar yang
normalnya memiliki rasa yang agak manis dan tidak asin. Hal ini berasal dari
garam-garam mineral flourida dan sitrat. Warna pada susu skim yaitu putih.
Kebanyakan susu bubuk berwarna putih kekuningan, namun berbeda dengan susu
skim yang berwarna putih saja, hal ini dikarenakan tidak adanya kandungan lemak
pada susu tersebut. Aroma atau bau pada susu skim ini adalah beraroma manis
dikarenakan tidak adanya penyimpangan pada susu skim. Untuk ukuran rumah
tangga pada susu skim per sendok makannya ialah rata-rata 9,5 gr. URT pada susu
skim kurang lebih sama dengan URT pada susu bubuk instant.
c. Minyak Sayur
Minyak sayur/minyak nabati adalah sejenis minyak yang terbuat dari
tumbuhan. Digunakan dalam makanan dan memasak. Beberapa jenis minyak nabati
yang biasa digunakan ialah minyak kelapa sawit, jagung, zaitun, kedelai bunga
matahari dll (Wikipedia, 2009).
Berdasarkan kegunaannya, minyak nabati terbagi menjadi dua golongan.
Pertama, minyak nabati yang dapat digunakan dalam industri makanan (edible oils)
dan dikenal dengan nama minyak goreng meliputi minyak kelapa, minyak kelapa
sawit, minyak zaitun, minyak kedelai dan sebagainya. Kedua, minyak yang
digunakan dalam industri non makanan (non edible oils) misalnya minyak kayu
putih, minyak jarak (Ketaren, 1986).
d. Larutan Elektrolit
Larutan Elektrolit adalah larutan untuk membuat formula WHO. Bahan untuk
membuat 2500 ml larutan elektrolit mineral, terdiri atas :
KCL 224 g
Tripotassium Citrat 81 g
MgCL2.6H2O 76 g
Zn asetat 2H2O 8,2 g
CuSO4.5H2O 1,4 g
Air sampai larutan menjadi 2500 ml(2,5 L)
Ambil 20 ml larutan elektrolit, untuk membuat 1000 ml Formula WHO-75,
Formula WHO 100, atau Formula WHO 135. Bila bahan-bahan tersebut tidak
tersedia, 1000 mg Kalium yang terkandung dala 0 ml larutan elektrolit tersebut bisa
didapat dari 2 gr KCL atau sumber buah-buahan antara lain sari buah tomat (400
cc)/jeruk (500cc)/pisang (250g)/alpukat (175g)/melon (400g).
e. Tepung Beras
Tepung beras terdiri dari tepung beras pecah kulit dan tepung beras sosoh.
Tepung beras banyak digunakan sebagai bahan baku industri seperti bihun dan
bakmi, macaroni, aneka snacks, aneka kue kering (“cookies”), biscuit, “crackers”,
makanan bayi, makanan sapihan untuk Balita, tepung campuran (“composite
flour”) dan sebagainya. Tepung beras juga banyak digunakan dalam pembuatan
“pudding micxture” atau “custard”. Makanan bayi yang terbuat dari tepung beras,
sudah dapat diberikan kepada bayi yang berumur 2-3 bulan, sedangkan kepada bayi
yang berumur 5 bulan dapat diberikan dalam bentuk nasi tim.
Standar mutu tepung beras ditentukan menurut Standar Industri Indonesia
(SII). Syarat mutu tepung beras yang baik adalah : kadar air maksimum 10%, kadar
abu maksimum 1%, bebas dari logam berbahaya, serangga, jamur, serta dengan
bau dan rasa yang normal. Di Amerika, dikenal dua jenis tepung beras, yaitu tepung
beras ketan dan tepung beras biasa. Tepung ketan mempunyai mutu lebih tinggi
jika digunakan sebagai pengental susu, pudding dan makanan ringan.
Proses pembuatan tepung beras dimulai dengan penepungan kering
dilanjutkan dengan penepungan beras basah (beras direndam dalam air semalam,
ditiriskan, dan ditepungkan). Alat penepung yang digunakan adalah secara
tradisional (alu, lesung, kincir air) dan mesin penepung (hammer mill dan disc
mill).
Pada F-75 tanpa tepung cara membuatnya yaitu campurkan gula dan minyak
sayur, aduk sampai rata dan tambahkan larutan mineral mix, kemudian masukkan
susu skim sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Encerkan
dengan air hangat sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan volume
menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung diminum. Masak selama 4 menit, bagi
anak yang disentri atau diare persisten. Sedangkan pada F-75 dengan tepung cara
membuatnya yaitu campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan
tambahkan larutan mineral mix, kemudian masukkan susu skim dan tepung sedikit
demi sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Tambahkan air sedikit demi
sedikit sambil diaduk sampai homogen sehingga mencapai 1000 ml dan didihkan
sambil diaduk-aduk hingga larut selama 5-7 menit.
FORMULA WHO
Bahan Per 100 ml F 75
Susu skim bubuk g) 25
Gula pasir g 100
Minyak sayur g 30
Lar.elektrolit mL 20
Tambahan air s/d 1000

NILAI GIZI F 75
Energi Kalori 750
Protein g 9
Lactosa g 13
Potasium Mmol 36
Sodium Mmol 6
Magnesium Mmol 4.3
Seng Mg 20
Copper Mg 2.5
% energi protein – 5
% energi lemak – 36
Osmolality Mosm/l 413

2. Modisco
Modisco merupakan singkatan dari Modified Dried Skimmed Milk and Coconut.
Modisco pertama kali dtemukan oleh May dan Whitehead pada tahun 1973. Modisco
merupakan makanan atau minuman bergizi tinggi yang pertama kali dicobakan pada
anak-anak yang mengalami gangguan gizi berat di Uganda (Afrika) dengan hasil yang
memuaskan. Manfaat modisco yang paling utama adalah untuk mengatasi gizi buruk
padamanusia dengan cepat dan mudah. Karena modisco mempunyai kandungan kalori
yang tinggi serta mudah dicerna oleh usus manusia. Modisco juga dapat membantu
mempercepat penyembuhan penyakit sehingga biaya pengobatan menjadi lebih ringan
(Sudiana & Acep, 2005).
Kombinasi MPT komposisinya antara lain: agar-agar dengan variasi rasa, putih
telur ayam, gula pasir, susu skim dengan berat 80 gr. Tujuan utama MPT digunakan
untuk meningkatkankadar albumin dalam darah. MPT diberikan pada pasien-pasien
bedah yang hypoalbumin (<3gr/dl) dengan waktu pemberian 2x perhari (pk.10.oo dan
16.00 wib) selama 7 s/d 10 hari. Pembuatan Modisco Putih Telur ( MPT ) sesuai
standar pelayanan gizi di RSUP Dr. Kariadi dilakukan oleh tenaga SMKKBoga dan
produksi dilaksanakan di Instalasi Gizi RSUP Dr. Kariadi, sedangkan distribusi MPT
ke pasien oleh tenaga pramusaji IRNA bedah. Namun sampai sekarang belum ada
pembuktian peningkatan kadar albumin dalam darah sesuai yang diharapkan.(Sumber:
Standar Pelayanan Instalasi Gizi RSUP. Dr. Kariadi Semarang).
a. Bahan baku Modisco
Susu, gula pasir, minyak goreng atau margarin.
b. Sifat Modisco
Berkalori tinggi, Murah, Mudah dibuat , Dapat diolah dengan beraneka ragam
makanan.
c. Yang Membutuhkan Modisco
Penderita penyakit infeksi menahun, Orang yang sembuh dari penyakit berat,
Mereka yang sulit makan karena infeksi bawaan, Anak yang sehat tapi kurus.
d. Keuntungan Modisco
Mempercepat penyembuhan, pengobatan lebih ringan.
e. Modisco Tidak Boleh Diberikan Kepada
Anak gemuk, Bayi dibawah usia 6 tahun, Penderita penyakit ginjal, hati, dan
jantung.
f. Cara Memberikan Modisco
Dapat diberikan sebagai bahan minuman untuk diet penuh, Dapat diberikan
sebagai campuran bahan makanan lain, misalnya minuman dicampur coklat atau
buah-buahan, Dicampur pada bubur kacang hijau atau kolak pisang.

3. Makanan Formula
a. Pengertian Makanan Formula
Makanan formula atau bahan makanan campuran merupakan kombinasi dari
berbagai bahan yang memungkinkan penambahan kekurangan suatu zat gizi dalam
suatu bahan dalam bahan lain sehingga menjadi sesuatu bahan yang mengandung
zat-zat gizi dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan.
b. Syarat Makanan Formula
1. Bernilai gizi tinggi
2. Dibuat dari BM setempat
3. Dapat diterima baik citarasanya

2.11 Fase Transisi


a. Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara berlahan-lahan untuk
menghindari risiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan
dalam jumlah banyak secara mendadak.
b. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam
jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan
dengan kandungan energi dan protein yang sama.
c. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa,
biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian (200 ml/kgbb/hari).

Pemantauan pada fase transisi:


a. Frekwensi nafas
b. Frekwensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 kali/menit dan denyut nadi > 25 kali
/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.
Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.
c. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan

Setelah fase transisi dilampaui, anak diberi:


a. Formula WHO 100/pengganti/Modisco 1 dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
b. Energi : 150-220 Kkal/kg bb/hari
c. Protein 4-6 gram/kg bb/hari
d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula WHO
100/Pengganti/Modisco 1, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh-kejar.

2.12 Fase Rehabilitasi


a. Formula WHO-F 135/pengganti/Modisco 1½ dengan jumlah tidak terbatas dan sering
b. Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari
c. Protein 4-6 g/kgbb/hari
d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah dengan makanan Formula
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
e. Secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga

Pemantauan fase rehabilitasi


Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan badan :
a. Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
b. Setiap minggu kenaikan bb dihitung.
c. Baik bila kenaikan bb ³ 50 g/Kg bb/minggu.
d. Kurang bila kenaikan bb < 50 g/Kg bb/minggu, perlu re-evaluasi menyeluruh.

2.13 Uji Organoleptik melalui Uji Hedonik


Penilaian organoleptik adalah suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk
mengungkap, mengukur, menganalisa dan menafsir reaksi indera penglihatan, perasa,
pembau dan peraba ketika menangkap karakteristik produk. Uji organoleptik dilakukan
oleh panelis berdasarkan faktor kesukaan.
Karakteristik pengujian organoleptik menurut Bambang Kartika, (1988) adalah
penguji cenderung melakukan penilaian berdasarkan kesukaan, penguji tanpa melakukan
latihan, penguji umumnya tidak melakukan penginderaan berdasarkan kemampuan seperti
dalam pengujian inderawi, pengujian dilakukan di tempat terbuka sehingga diskusi
kemungkinan terjadi.
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses penginderaan.
Bagian organ tubuh yang berperan dalam penginderaan adalah mata, telinga, indera
pencicip, indera pembau dan indera perabaan atau sentuhan. Kemampuan alat indera
memberikan kesan atau tanggapan dapat dianalisis atau dibedakan berdasarkan jenis kesan.
Luas daerah kesan adalah gambaran dari sebaran atau cakupan alat indera yang menerima
rangsangan. Kemampuan memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan alat
indra memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut meliputi
kemampuan mendeteksi (detection), mengenali (recognition), membedakan
(discrimination), membandingkan (scalling) dan kemampuan menyatakan suka atau tidak
suka (hedonik). Perbedaan kemampuan tersebut tidak begitu jelas pada panelis. Sangat sulit
untuk dinyatakan bahwa satu kemampuan sensori lebih penting dan lebih sulit untuk
dipelajari. Karena untuk setiap jenis sensori memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda,
dari yang paling mudah hingga sulit atau dari yang paling sederhana sampai yang komplek
(rumit).
Pengujian organoleptik atau sensory test didefinisikan sebagai metode untuk
mengukur, menganalisa dan menginterprestasikan reaksi dari karakteristik bahan pangan
yang diterima melalui penglihatan, bau, rasa, sentuhan dan pendengaran atau suara.
Penilaian atau uji organoleptik dikenal juga dengan penilaian sensori atau penilaian
inderawi dimana secara tradisional sudah berkembang sejak zaman dahulu, yakni di saat
manusia sudah mulai memperhatikan kualitas lingkungan disekitarnya. Uji sensori
merupakan suatu cara penilaian subjektif tertua yang sangat umum digunakan untuk
memilih hampir semua komoditi terutama hasil pertanian dalam arti luas, seperti buah –
buahan, ikan, rempah – rempah, minyak dan lain – lain.
Penilaian organoleptik dimanfaatkan oleh industri terutama industri pangan dan juga
penelitian unutuk pengukuran atribut – atribut mutu dengan menggunakan manusia sebagai
alat pengukuran. Berdasarkan kemampuan penginderaannya (mata, hidung, telinga, lidah
dan kulit). Tujuan organoleptik adalah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan –
pertanyaan menyangkut mutu produk yang berkaitan dengan pembedaan (untuk
membedakan mutu organoleptik baik satu atau beberapa atribut organoleptik maupun
secara keseluruhan), afektifitas (untuk mengukur preferensi dan penerimaan) dan deskriptif
(untuk mendeskripsikan atribut – atribut organoleptik).
Pada prinsipnya terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembedaan
(discriminative test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (affective test). Pada
praktikum ini dilakukan uji organoleptik melalui uji afektif. Uji afektif digunakan untuk
mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat organoleptik.
Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau ditolak), kesukaan (tingkat
suka/tidak suka), pilihan (pilih satu dari yang lain) terhadap produk. Metode ini terdiri atas
Uji Perbandingan Pasangan (Paired Comparation), Uji Hedonik dan Uji Ranking. Dan uji
afektif yang digunakan adalah uji hedonik.
Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk mengukur
tingkat kesukaan terhadap produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya
sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan lain-lain.
Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang
dikehendaki. Dalam analisis datanya, skala hedonik ditransformasikan ke dalam skala
angka dengan angka manaik menurut tingkat kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat
kesukaan). Dengan data ini dapat dilakukan analisa statistik.
2.14 Uji Fisik
Uji Fisik adalah uji dimana kualitas produk diukur secara objektif berdasarkan hal-
hal fisik yang nampak dari suatu produk. Prinsip uji fisik yaitu Pengujian dilakukan
dengan cara kasat mata, penciuman, perabaan dan pengecapan dan alat-alat tertentu yang
sudah di akui secara akademis. (Kartika, 1998).
Pertama, menggunakan indera manusia, dengan cara menyentuh, memijit, menggigit,
mengunyah, dan sebagainya, selanjutnya kita sampaikan apa yang kita rasakan. Ini yang
disebut dengan analisa sensori. Karena reaksi kita sebagai manusia yang menguji berbeda-
beda, maka diperlukan analisa statistik untuk menyimpulkan skala perbedaan ataupun
tingkat kesukaan penguji terhadap produk tersebut. Cara uji kedua dengan pendekatan
fisik, menggunakan instrument atau peralatan tertentu, (Kartika, 1998).
Uji morfologi adalah uji yang dilakukan terhadap produk pangan seperti bentuk,
ukuran dan warna atau faktor-faktor luaran dari produk pangan. (Prabaningtyas 2003).

2.15 Uji Kimia dengan Metode Luff Schoorl (Uji Kadar Karbohidrat)
Uji Kimia adalah uji dimana kualitas produk diukur secara objektif berdasarkan
kandungan kimia yang terdapat dalam suatu produk. (Kartika, 1998). Uji kimia yang
dilakukan adalah menggunakan uji Luff Schoorl . Metode Luff Schoorl adalah berdasarkan
proses reduksi dari larutan Luff Schoorl oleh gula-gula pereduksi (semua monosakarida,
laktosa dan maltosa). Hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida yang dapat
mereduksikan Cu2+ menjadi Cu1+.

2.16 Uji Biologis


Pengujian dilakukan dengan pemberian perlakuan uji coba pada makhluk hidup,
biasanya pada hewan seperti tikus atau mencit.

2.17 Uji Mikrobiologi


Prinsip dari metode hitungan cawan atau Total Plate Count (TPC) adalah
menumbuhkan sel mikroorganisme yang masih hidup pada media agar, sehingga
mikroorganisme akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung
dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop.
Pada metode ini, teknik pengenceran merupakan hal yang harus dikuasai. Tujuan dari
pengenceran sampel yaitu mengurangi jumlah kandungan mikroba dalam sampel sehingga
nantinya dapat diamati dan diketahui jumlah mikroorganisme secara spesifik sehingga
didapatkan perhitungan yang tepat. Pengenceran memudahkan dalam perhitungan koloni
(Fardiaz, 1993). Setelah dilakukan pengenceran, kemudian dilakukan penanaman pada
media lempeng agar. Setelah diinkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan diamati dan
dihitung. Koloni merupakan sekumpulan mikroorganisme yang memiliki kesamaan sifat
seperti bentuk, susunan, permukaan, dan sebagainya. Selanjutnya perhitungan dilakukan
terhadap cawan petri dengan jumlah koloni bakteri antara 30-300. Perhitungan Total Plate
Count dinyatakan sebagai jumlah koloni bakteri hasil perhitungan dikalikan faktor
pengencer. Keuntungan dari metode TPC adalah dapat mengetahui jumlah mikroba yang
dominan. Keuntungan lainnya dapat diketahui adanya mikroba jenis lain yang terdapat
dalam contoh.

You might also like