You are on page 1of 28

Laporan Kasus

Congestive Heart Failure


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian / SMF Kardiologi Rumah Sakit TK II Putri Hijau Fakultas
Kedokteran UISU

Disusun oleh:

Nimas Anggun Tri Astini (71170891195)


Nur Eliana Ritonga (71170891079)
Rika Sarianti (71170891217)

Pembimbing:

Dr. Agustina, Sp. JP

BAGIAN /SMF KARDIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM
SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus
ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad
Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.

Adapun tugas laporan kasus ini berjudul “Congestive Heart Failure”.


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Rumah Sakit Putri Hijau Medan. Penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada Dr. Agustina, Sp. JP yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Medan, 13 Juli 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Jantung merupakan organ yang terpenting dalam sistem sirkulasi. jantung


berfungsi dalam memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolism tubuh pada setiap saat, baik saat beristirahat maupun saat bekerja atau
menghadapi beban.[ CITATION Sit08 \l 1033 ] Faktor – faktor tersebut seperti
kontraktilitas miokard, denyut jantung, beban awal dan beban akhir.[ CITATION
Pan06 \l 1033 ] Keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik
masih normal disebut gagal jantung.[ CITATION Sit08 \l 1057 ]
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan dimana gagal jantung kiri
dalam jangka panjang yang diikuti oleh gagal jantung kanan atau sebaliknya.
Secara klinis hal ini tampak sebagai suatu keadaan dimana penderita mengalami
sesak napas disertai gejala – gejala bendungan cairan di vena jugularis,
hepatomegali, splenomegali, asites, dan edema perifer. [ CITATION Sit08 \l
1057 ]
Diperkirakan terdapat sekitar 26 juta orang hidup dengan gagal jantung
diseluruh dunia. European Society and Cardiology 2014 menyatakan gagal
jantung meningkat seiring usia. Di Eropa dan Amerika kejadian gagal jantung
muali terjadi pada usia 50 tahun atau dibawahnya, dan lebih dari 80% pada usia
65 tahun. Pada negara berkembang seperti Amerika latin dan Asia kejadian gagal
jantung juga meningkat. Faktor yang menyebabkan kejadiannya yaitu gaya hidup
dan keadaan kondisi penyakit sistemik seperti diabetes mellitus. Penyulit
penanganan gagal jantung pada negara berkembang berhubungan dengan faktor
sosial-ekonomi.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Indonesia masih
menjadi negara dengan angka penyakit gagal jantung masih tinggi. Gagal jantung
meningkat seiring bertambah usia. Rentang usia paling tinggi terjadi gagal jantung
yaitu 65 – 74 tahun yaitu 75% untuk yang terdiagnosa oleh dokter. Di Indonesia
prevalensi gagal jantung yang belum terdiagnosa dokter masih tinggi pada
masyarakat dengan pendididikan rendah.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama :Tn.A

Umur : 49 tahun

Alamat : Medan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Suku : Batak

No. Rekam Medik : 04-66-33

Tanggal Masuk : 02 Juli 2018

Tanggal Pemeriksaan : 06 Juli 2018

2.2 Anamnesis

 Keluhan Utama

Sesak napas

 Keluhan Tambahan

- Terbangun tengah malam

- Mudah lelah

- Perut dan kaki bengkak


 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 4 bulan
yang lalu dan memberat dalam 2 minggu terakhir ini. Sesak dirasakan tidak
hanya pada saat pasien beraktivitas sehari - hari, namun juga dirasakan pada
saat beraktivitas ringan. Sesak napas seringkali mengganggu tidur dan pasien
mengaku tidur dengan bantal yang lebih tinggi sejak belakangan ini, dan sering
terbangun tengah malam karena tiba – tiba sesak. Pasien juga mengeluhkan
mudah lelah walau hanya beraktivitas ringan seperti ke kamar mandi. Tidak
ada riwayat penurunan kesadaran ataupun pingsan. Keluhan sering berdebar-
debar dan nyeri dada tidak dirasakan pasien. Pasien mengeluhkan adanya
riwayat bengkak pada kaki dan perut. Mual (+) dan muntah (+) . Pasien juga
mengeluh BAK dan BAB lancar.
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien sudah mengeluhkan hal yang sama sejak 4 bulan yang lalu.
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada di keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama
dengan pasien.
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat penyakit jantung (+)
- Riwayat diabetes mellitus (-)

 Riwayat Pengobatan
Pasien sering menggunakan obat untuk keluhan sakitnya.

 Riwayat Kebiasaan Sosial

Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Sehari – hari masih mengkonsumsi


rokok sebanyak 3 bungkus selama kurang lebih 5 tahun ini.

2.3 PemeriksaanFisik

a) Status Present

Keadaan Umum : Sakit sedang


Kesadaran : E4M6V5
TekananDarah : 183/95 mmHg
Frekuensi nadi : 76 x/menit
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Temperatur aksila : 36,8 ’C
b) Status Generalisata

1) Kulit

Warna : Hitam
Turgor : Kembali cepat
Sianosis : Tidak dijumpai

2) Kepala

Bentuk : Normosefali
Wajah : Simetris
Mata : Edema palpebra (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
tak langsung (+/+), pupil isokor bulat (3mm/3mm)
Telinga : Normotia, serumen (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)

3) Mulut

Bibir : Sianosis (-)

4) Leher

KGB : Pembesaran KGB (-/-)


TVJ : 5 + 2 cmH2O

5) Thoraks

Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran organ
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronki basal paru (-/-),

whezing(-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavicula sin
Perkusi : Batas-batas jantung
Batas atas : ICS III linea mid klavicularis sinistra
Batas kiri : ICS V 1 cm mediallinea aksilaris anteriorsinistra

Batas kanan: ICS IV linea parasternal dekstra


Auskultasi : S1 > S2, irregular (+), bising (-)

6) Abdomen

Inspeksi : Simetris ,distensi abdomen (-)


Palpasi : Soepel (+), hepar/lien/renal tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik 5x/menit, kesan normal

7) Genetalia

Tidak dilakukan pemeriksaan

8) Ekstremitas

Superior : Ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral hangat,


CRT<3 detik
Inferior :Ikterik (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral hangat,

CRT <3 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

Jenis pemeriksaan 2/7/2018 4/7/2018 Satuan


Hematologi
- Hemoglobin 3,8 5,7 g/dl
- Hematokrit 13.6 19.1 %
- Eritrosit 4,7 4,1 10 /mm3
6

- Leukosit 9.000 15.900 103/mm3


- Trombosit 225.000 183.000 103/mm3

Elektrolit
- Natrium 131 133 135-145 mmol/L
- Kalium 5.8 4.5 3.5-5.5 mmol/L
96-105 mmol/L
- Klorida 110 108

Imunoserologi
Hepatitis Non reaktif Non reaktif
- HbsAg rapid Non reaktif Non reaktif
- Anti HCV rapid Non reaktif Non reaktif
- HIV
Diabetes
- Gula darah sewaktu 141 mg/dl

Ginjal Hipertensi
- Ureum 314 mg/dl
- Kreatinin 12.2 mg/dl

2.4.2 Foto Thorak PA


Foto Thorak PA pada 4/7/2018
a. Cor/Aorta : CTR 67%, membesar

b. Lung : tidak tampak infiltrate

c. Soft tissue dan skeletal : normal

d. Sinus costoprenicus tumpul (d)

e. Sinus cardioprenicus tampak tumpul

Kesimpulan : kardiomegali

2.4.3 EKG
 EKG (4 Juli 2018)

(9 Maret 2018)
Irama : sinus,
Rate :70 bpm
Axis : Normoaxis
P : normal, jarak P ke P tidak sama
PR interval : 0,20 s normal
QRS : 0,08 s, PVC Bygeminy
Q patologis : (-)
T inverted : pada sadapan
ST elevasi/ depresi : (-)
LVH : (-)
RVH : (-)
Infark : (-),
Kesimpulan : Irama sinus, rate 70 x, irreguler, normoaxis, disertai
adanya PVC Bygeminy

2.5 Diagnosis Kerja

1. CHF NYHA III


2. Anemia
3. Dysentri

2.6 Penatalaksanaan
Terapi Suportif :
1. Pemberian oksigen sungkup nasal kanul 2-4 liter/menit dengan target
saturasi >95%
2. Diet jantung 1700 kkal

Terapi Farmakologi :
1. O2 4 L/menit (k/p)
2. IVFD RL 20 gtt
3. Transfuri PRC
4. Inj. Ozid 1 fls/12 jam
5. Inj. Ondansentron 1 amp/12 jam
6. Inj. Transamin 250 mg/12 jam
7. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
8. Inj. Furosemid 2 ampul/24 jam
9. Inj. Omeperazole 40 mg/12 jam
10. NR 2 x 30 mg
11. Ramipril 1x5 mg
12. Bisoprolol 1x5 mg

Edukasi
1. Ketaatan berobat
2. Pemantauan berat badan
3. Asuapan cairan
4. Pengurangan berat badan
5. Latihan fisik

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad fuctionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia

Follow up pasien

Tanggal S O A P
03-07-2018 Sesak, TD 130/80 mmHg Anemis+Dys IVFD RL 10
lemas, HR:88x/menit entri gtt/menit
lidah RR;20x/menit O2 3l/menit
terlipat Temp; 38.0ºC PCT fls/8 jam
keatas

04-07-2018 Sesak, TD: 130/80 mmHg CHF III + IVFD RL 10


badan HR:78x/menit Anemia + gtt/menit
lemas RR:20x/menit Dysentri O2 3l/menit
Temp: 37ºC Micardipin drip
0,5 u/mg

05-07-2018 Sesak TD;159/81 mmHg CHF III + IVFD RL 10


napas HR:68x/menit Anemia + gtt/menit
berkuran RR:24x/menit Dysentri O2 3l/menit
g Temp:36,8ºC Micardipin drip
0,5 u/mg
Koesartan 1x30
mg
Amlodipine
1x10 mg
Bisoprolol
1x2,5 mg
NR 2x2,5 mg

06-07-2018 TD :137/82 mmHg CHF III + IVFD RL 10


Sesak HR:105x/menit Anemia + gtt/menit
napas RR:36 X/menit Dysentri O2 3l/menit
berkuran Micardipin drip
g 0,5 u/mg
Koesartan 1x30
mg
Amlodipine
1x10 mg
Bisoprolol
1x2,5 mg
NR 2x2,5 mg
BAB III
ANALISA MASALAH
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan gejala
gagal jantung seperti nyeri dada, sesak nafas atau lelah bila beraktivitas, pada
keadaan yang berat gejala juga dirasakan saat beristirahat. Tanda retensi cairan
seperti kongesti paru atau bengkak pergelangan kaki, serta bukti objektif kelainan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.3
Gagal jantung kongestif adalah gagal jantung yang memenuhi setidaknya
satu gejala mayor dan dua gejala minor dari kriteria framingham.4
Kriteria Mayor:
1. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. S3 gallop
7. Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O
8. Hepatojugular reflux

Kriteria Minor:
1. Edema ekstermitas
2. Batuk pada malam hari
3. Dyspnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Takikardi ≥ 120x/menit

Pasien mengeluhan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang menjalar ke


punggung belakang dan lengan kiri yang dirasakan sejak ± satu bulan dan
memberat satu hari sebelum masuk rumah sakit, juga disertai dengan keluhan
sesak nafas yang memberat saat beraktifitas, saat malam hari, dan berkurang
dengan menggunakan 2-3 bantal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pelebaran
batas jantung kiri di ICS V linea mid clavikula sinistra dua jari kearah lateral yang
menunjukkan adanya pembesaran jantung (kardiomegali) dan didapatkan gejala
lain seperti adanya edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Hal ini sesuai
dengan teori yang telah di jelaskan diatas, adanya dua gejala mayor dan dua gejala
minor yang didapatkan dari anamnesa dapat mengarahkan pada diagnosis gagal
jantung kongestif,
Keluhan nyeri dada pada pasien berhubungan dengan oksigenasi
miokardium yang tidak adekuat. Umumnya ini menunjukkan adanya
aterosklerotik koroner yang mengenai setidaknya 50% diameter lumen sehingga
mengurangi aliran darah saat beraktivitas, ketika beraktivitas terjadi peningkatan
denyut jantung, kontraktilitas, dan stres dinding pembuluh darah untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh yang berakibat peningkatan kebutuhan oksigenasi otot
jantung. Kaskade iskemik ini ditandai dengan ketidakseimbangan perfusi yang
pada akhirnya berujung pada disfungsi sistolik dan diastolik baik regional maupun
global.5

Adenosin yang dihasilkan pada saat iskemik di miokardium dianggap


sebagai pencetus utama timbulnya nyeri dada. Stimulasi adenosin pada reseptor
A1 pada ujung saraf aferen kemudian disampaikan ke kornu distal neuron
spinalis. Aferen kardiak tersebar dari neuron spinal T1-T4 bersama neuron
spinalis lainnya menuju thalamus dan kemudian ke korteks untuk dilakukan
penafsiran sesuai faktor fisik, emosi dan lainnya. Bagian aferen yang terletak pada
pembuluh darah koroner dan miokardium ini sensitif terhadap regangan dan iritasi
yang dipicu oleh stimulasi kimia local.5

Keluhan sesak nafas pada pasien diakibatkan oleh disfungsi sistolik


ataupun diastolik ventrikel kiri. Setelah terjadinya infark miokard, daerah miokard
setempat akan memperihatkan penonjolan sistolik yang mengakibatkan penurunan
stroke volume. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri mengakibatkan peningkatan
tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan atrium kiri yang lama menyebabkan
transudasi cairan ke jaringan intersisium paru.2

Karena ventrikel kanan yang masih sehat terus memompa darah sesuai
jumlah darah yang masuk ke atrium kanan, maka dengan cepat tekanan hidrostatik
di kapiler paru akan menjadi begitu tinggi (diatas 18 mmHg). Pada saat tekanan di
arteri pulmonalis dan arteri bronkialis meningkat terjadi pula transudasi cairan di
jaringan intersisial bronkus yang menyebabkan oedem, dan mengurangi besarnya
lumen bronkus.2
Gagal jantung kogestif dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko
seperti :
a. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun gagal

jantung dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua

seseorang maka akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung

karena kekuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya

penyakit jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor resiko gagal

jantung.8 Menurut penelitian Siagian di Rumah Sakit Haji Adam Malik (2009)

proporsi penderita gagal jantung semakin meningkat sesuai dengan


bertambahnya usia yaitu 9,6% pada usia≤ 15 tahun, 14,8% pada usia 16-40
tahun dan 75,6% pada usia >40 tahun.6
b. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung daripada

perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai hormon

estrogen yang berpengaruh terhadap bagaimana tubuh menghadapi lemak dan


kolesterol.6

c. Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner dalam Framingham study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung 46% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.6
d. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan
darah yang tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus di atas 140/80,
jantung akan semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah
waktu yang lama, risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko
terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu
aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan
hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung.6
e. Penyakit katup jantung
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis
aorta. Regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan beban
volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload).6
f. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang
terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung
pada fase awal perkembangan janin.11 Penyakit jantung bawaan bisa
terdiagnosis sebelum kelahiran atau sesaat setelah lahir, selama masa anak-
anak, atau setelah dewasa. Penyakit jantung bawaan dengan adanya kelainan
otot jantung akan mengarah pada gagal jantung.6
g. Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD)
adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa
berupa penyempitan, atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup
mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam Rematik. Demam rematik
akut dapat menyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung. Peradangan
endokardium biasanya mengenai endotel katup, dan erosi pinggir daun katup.
Bila miokardium terserang akan timbul nodular yang khas pada dinding
jantung sehingga dapat menyebabkan pembesaran jantung yang berakhir pada
gagal jantung.6

h. Aritmia
Aritmia adalah berkurangnya efisiensi jantung yang terjadi bila
kontraksi atrium hilang (fibrilasi atrium, AF). Aritmia sering ditemukan pada
pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural
termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi.8
i. Kardiomiopati

Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang bukan


disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit jantung
kongenital, ataupun penyakit katup jantung. Kardiomiopati ditandai dengan
kekakuan otot jantung dan tidak membesar sehingga terjadi kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) dan menghambat fungsi ventrikel.8
j. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung. Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam
membawa dan mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C (kolesterol
baik) di dalam darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel
penggumpalan darah. Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung,
terutama jika sudah ada endapan kolesterol di dalam arteri. Alkohol dapat
berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut
maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi
alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit
otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari
kasus.8

Karakteristik diatas sesuai dengan pasien dimana pasien berusia 51 tahun


yang dapat meningkatkan resiko sebesar 75.6%, jenis kelamin laki-laki karena
tidak memiliki hormon esterogen untuk mengelola lemak dan kolesterol, merokok
yang dapat merendahkan kemampuan jantung dalam membawa dan mengirimkan
oksigen, menurunkan level HDL-C di dalam darah, serta menyebabkan
pengaktifan platelet, obesitas, riwayat hipertensi selama 20 tahun yang dapat
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, serta riwayat penyakit jantung koroner 2
tahun yanglalu.6,8
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
New York Heart Association.7
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:8
 Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
 Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
 Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
 Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Pembahagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan
fungsional jantung yaitu:1
 Kelas I : tidak ada batasan aktivitas fisik
 Kelas II : sedikit batasan saat beraktivitas (rasa lelah, dipsneu)
 Kelas III: batasan aktivitas bermakna (nyaman saat istirahat namun sedikit
aktivitas menyebabkan gejala
 Kelas IV : gejala saat istirahat

Dari teori diatas didapatkan klasifikasi yang dapat ditegakkan pada pasien,
yaitu klasifikasi Forrester kelas II (B) yaitu basah dan hangat dimana didapatkan
tanda kongesti dan tidak terjadi gangguan perfusi pada pasien. Menurut klasifikasi
New York Heart Association pasien berada di kelas IV yaitu ditemukan gejala saat
istirahat yang diketahui dari anamnesis pasien mengeluhkan sesak saat berbaring
merasa lebih enak dengan menggunakan dua bantal
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan pada pasien denga gagal
jantung kongestif
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah: darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada
pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut: (1) untuk mendeteksi
anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau
hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur
brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).8
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan
tidak ada terjadi gangguan elektrolit, terdapat peningkatan SGOT, SGPT, ALP,
ureum dan kreatinin, hal ini dapat menunjukkan adanya kerusakan hati dan ginjal,
dapat terjadi karena komplikasi chf yang lebih lanjut.

Pemeriksaan Elektrokardiogram

Elektrokardiografi pada penderita gagal jantung memperlihatkan beberapa


abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%), antara lain: 4
 Gelombang Q yang menunjukkan adanya infark miokard dan kelainan
gelombang ST-T menunjukkan adanya iskemia miokard.
 LBBB (left bundle branch block), kelainan ST-T dan pembesaran atrium
kiri menunjukkan adanya disfungsi bilik kiri
 LVH (left ventricular hypertrophy) dan inverse gelombang
T menunjukkan adannya stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi
 Aritmia jantung

Pada pasien didapatkan kelainan dari elektrokardiogram berupa


Q patologis (+) lead II, gelombang Q-S di lead III, aVF yang menunjukkan
adanya serangan old miocard infark pada bagian inferior jantung dan juga terdapat
kelainan left ventrikel hypertrophy, hal ini sesuai dengan faktor resiko dan
patofisiologi terjadinya gagal jantung kongestif yang didahului oleh adanya gagal
jantung kiri (disfungsi diastolik).
Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
Penatalaksanaan Farmakologis9
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF < 40%. Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
 LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
 Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
 Riwayat adanya angioedema
 Stenosis bilateral arteri renalis
 Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
 Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
 Stenosis aorta berat
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang
tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB,
kecuali telah mendapat antagonis aldosteron.
Pasien yang harus mendapatkan ARB:
 Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
 Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
 Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.4
β-bloker / Penghambat sekat-β (BB)

Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah
adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat
memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak
ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan
dengan LVEF < 40%.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
 Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard.
 Meningkatkan LVEF
 Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
 LVEF < 40%
 Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
 Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
 Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada
pasien yang baru saja masuk rawat karena gagal jantung akut, selama
pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat
inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24
jam setelah dimulainya terapi BB.
Kontraindikasi :
 Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
 AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).4
Diuretik

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :


 Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
 Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Dosis harus
disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah tercapai,
hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal
ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
 Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu
disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini
diperlukan edukasi pasien.4
Antagonis Aldosteron
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
 LVEF < 35%
 Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
 Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
 Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Hydralizin & Isosorbide Dinitrat (ISDN)

Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak


uji klinis adalah
 Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
 Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi.
 Manfaat pengobatan lebih jelas ditemukan pada keturunan Afrika-
Amerika.4
Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal
ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Glikosida Jantung (Digoxin)

Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :


 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
vagal tone.
 Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit,
dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
 Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,
beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.4
Antikoagulan (Antagonis Vit-K)
Temuan yang perlu diingat :
 Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis
acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan
dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
 Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding
terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang
lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
 Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali
pada mereka yang memiliki katup prostetik.
 Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa
risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang
mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.4

Berdasarkan pertimbangan diatas, pasien di berikan beberapa obat-obatan


seperti :
- Inj Furosemid 1 amp/8 jam, furosemid merupakan antihipertensi golongan
loop diuretik dan Spironolakton merupakan golongan antihipertensi hemat
kalium yang diberikan atas indikasi hipertensi yang diderita pasien dan adanya
ronki basah basal di kedua paru pasien yang menandakan terjadinya
penumpukan cairan di paru.10
- Isosorbit dinitrat 3x5mg, suatu obat golongan nitrat yang digunakan secara
farmakologis sebagai vasodilator (pelebar pembuluh darah), khususnya pada
kondisi angina pektoris, juga pada CHF (congestive heart failure), yakni
kondisi ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.11
Dengan beberapa telaah yang jelah dijelaskan terdapat beberapa rekomendasi
obat-obatan yang harus diberikan pada pasien tersebut yaitu :
1. Duretik  telah diberikan (furosemid)
2. Golongan ACE Inhibitor : seperti kaptopril, enalapril, fosinopril dll,
Obat-obatan penghambat ACE (ACE inhibitor) adalah golongan obat yang
menghambat kinerja angiotensin-converting enzyme (ACE), yakni enzim
yang berperan dalam sistem renin-angiotensin tubuh yang mengatur volume
ekstraseluler (misalnya plasma darah, limfa, dan cairan jaringan tubuh), dan
vasokonstriksi arteri.
ACE memiliki dua fungsi utama di tubuh, fungsi pertama adalah sebagai
katalisator angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan
senyawa vasokonstriktor kuat. Sedangkan fungsi ACE yang kedua adalah
sebagai pengurai bradikinin, yang merupakan vasodilator kuat
Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding
ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen miokard,
menurunkan konsumsi oksigen miokard, dan menigkatkan curah jantung.1
3. Digoxin
Pada gagal jantung kongestif, obat ini menghambat pompa Na/K ATP0-ase
yang bekerja dengan meningkatkan pertukaran natrium-kalsium intraselular
sehingga meningkatkan kadar kalsium intraseluler dan meningkatkan
kontraktilitas.1

4. Penyekat beta (β-bloker): seperti atenolol, bisoprolol dll

Penyekat β-adenoreseptor biasanya dihindari karena kerja inotropik


negatifnya. Namun, stimulasi simpatikjangka panjang yang terjadi ada gagal
jantung menyebabkan reguasi turun pada reseptor β jantung. Dengan
memblok beberapa aktivitas simpatik, penyekat β dapat meningkatkan
densitas reseptor β dan menghasilkan sensitifitas jantungbyang lebih tinggi
terhadap stimulasi inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi
aritmia dan iskemik miokard.1

5. Antikoagulan  warfarin direkomendasikan pada semua pasien chf untuk


menurunkan rate emboli sistemik sekunder dari thrombus kardiak 2.
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien datang dengan keluhan utama nyeri dada yang menjalar ke kiri dan
ke punggung yang sudah dialami ±1 bulan yang memberat 1 hari sebelum masuk
RS. Pasien juga mengatakan mudah cepat lelah yang dirasakan selama 1 tahun
terakhir, sesak nafas pada malam hari, kaki bengkak. pemeriksaan fisik
didapatkan Tekanan darah 140/90 mmHg, TVJ H+4 cm H 20, Batas jantung kiri di
ICS V linea midclavicula sinistra 2 jari lateral, ronki basah basal paru, pitting
edema pada kedua kaki. Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan peningkatan
fungsi hati dan ginjal. EKG didapatkan LAD,LVH, OMI inferior. Pasien di
diagnosis dengan CHF Fc NYHA III ec 1.HHD 2.DCM. diberikan terapi Inj
Furosemid 20mg/8 jam, Sc lovenox 0,6 cc/12 jam, Spironolacton 2 x 100mg,
Isosorbit dinitrat 3x5mg, Aspilet 1 x 80 mg, Atorvastatin 1 x 20 mg dan di
prognosis dengan dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gray. H.H. Dawkins K.D. Morgan. J.M dkk 2002. Gagal jantung. Lecture
notes kardiologi. Edisi IV. Erlangga. Jakarta. Halaman 80-97

2. Sugeng J. I. 2004. Gagal jantung. Buku ajar kardiologi. Edisi II. Balai
penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. Jakarta. Halaman 132-140

3. Suwito. B. B. 2012. Gagal jantung. Dalam Penyakit kardiovaskular (PKV) 5


rahasia. Editor Lily. Balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia.
Jakarta. Halaman

4. Ghanie. A. T. 2009. Gagal jantung kronik. Dalam Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. Edisi 5. Editor Sudoyono AW,Setiyohadi, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M dan Setiati S. Interna publishing jakarta. Halaman1586-1602

5. Irawan B, 2009. Kelainan Katup Pulmonal-Kardiologi.Dalam Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW,Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing,Jakarta, halaman 1671-1678

6. Mariyono H. 2007. Gagal Jantung. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK


Unud/ RSUP Sanglah, Denpasar. 8(3)

7. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. Halaman 561-80

8. Price, Sylvia A 1994. Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan


Sirkulasi. Dalam :Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC.
Jakarta. Halaman 582 – 593)

9. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A


national clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines
Network: 2007. Halaman; 10-13.
10. Suryadipraja, R.M., 2004, Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya, dalam
Moehadsjah., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi III. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 976,981-2
DAFTAR PUSTAKA
x

1. Sitompul B, Sugeng JI. Gagal Jantung. In Rilantono LI, Baras F, karo SK,
editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008. p. 115.
2. Panggabean MM. Gagal Jantung. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1513.
3. Simon H. Heart Failure. Melbourne:; 2012.
4. Davies MK, Hobbs FD, Davis RC. Prevelance of left-ventricular systolic
dysfunction and heart failure in the echocardiographic heart of England screening
study : a population based study. The Lancet. 2006; 358: p. 439-444.
5. Majeed A, Williams J. Management of heart failure in primary care after
implemention of the national service framework for coronary heart diases : a
cross-sectional study. Public Health. 2005; 119: p. 105-111.
6. CDC. Risk Factors of Heartt Failure. 2015. 2015 August 10.
7. Aroson P, Ward J. At a glance : Sistem Kardiovaskular Jakarta: EGC; 2013.
8. Gopal, Murarilikhsna; Karnath, Bernath MD. Clinical Diagnosis of Heart Failure.
Hospital Physichian. 2009 November: p. 9-15.
9. M, John J.V; Adamopoulus, Stamatis; Anker, Stefan D; Auricchio, Angelo. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012. Journal. London: European Society and Cardiology; 2012.
10. Siswanto, Bambang Budi; Hersunarti, nani; Erwinanto; Barack, Rosana.
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 1st ed. Jakarta: PERKI; 2015.
11. Gray H , Dawkins K , Morgan J. Kardiologi Jakarta: Erlangga Medical Series;
2005.
12. Prince S, Wilson L. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit Jakarta:
EGC; 2005.
x

You might also like