You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem endokrin meliputi sistem dan alat yang mengeluarkan hormone.


Yang termasuk kelenjar endokrin adalah hipotalamus, kelenjar hipofisis anterior
dan posterior, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, pulau langerhans pancreas,
korteks dan medula anak ginjal, ovarium, testis, dan sel endokrin dijalan cerna
yang disebut sel amine precursor uptake and dearboxylation (sel APUD).1
Bedah endokrin membahas pemeriksaan dan pengendalian keadaan bedah
pada kelenjar endokrin. Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang
terbatas. Kelenjar endokrin dapat menghasilkan hormon secara berlebihan
misalnya penyakit graves, yaitu hiperfungsi kelenjar tiroid, atau menghasilkan
terlalu sedikit hormon, misalnya pada miksudem akibat hipofungsi kelenjar
tersebut. Kelenjar endokrin dapat juga menjadi besar atau menjadi kecil. Keadaan
tersebut dapat juga terjadi bersama-sama.1
Struma atau gondok atau goiter adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar
tiroid oleh sebab apapun. Pembesaran dapat bersifat difus, yang berarti bahwa
seluruh kelenjar tiroid membesar, atau nodosa yang berarti bahwa terdapat nodul
dalam kelenjar tiroid. Pembesaran nodosa dapat lagi dibagi menjadi uninodosa,
bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular bila terdapat lebih dari satu
nodul.1 Penyebab paling sering dan utama dari struma di seluruh dunia adalah
defisiensi yodium. Apabila lebih dari 10% populasi pada suatu daerah menderita
struma yang diakibatkan oleh defisiensi yodium, maka hal ini disebut endemic
goiter.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KELENJAR TIROID
2.1 Embriologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid atau glandula tiroidea muncul sebagai suatu proliferasi
epitel di dasar faring antara tuberkulum impar dan kopula di suatu titik yang
kemudian menjadi foramen sekum. Selanjutnya tiroid turun di depan usus
faring sebagai suatu diverticulum berlobus dua. Selama migrasi ini, tiroid
tetap berhubungan dengan lidah melalui sebuah saluran sempit, duktus
tiroglosus. Duktus ini kemudian lenyap.3
Dengan perkembangan selanjutnya, kelenjar tiroid turun didepan os
hioideum dan kartilago-kartilago laring. Tiroid mencapai posisi tetapnya di
depan trakea pada minggu ke tujuh. Pada saat ini, tiroid telah memiliki sebuah
ismus kecil di medial dan dua lobus lateral. Tiroid mulai berfungsi pada
sekitar akhir bulan ketiga, saat mulai tampak folikel-folikel pertama yang
mengandung koloid. Sel folikular menghasilkan koloid yang berfungsi sebagai
sumber tiroksin dan triiodotironin. Sel parafolikular atau sel C yang berasal
dari korpus ultimobrankiale berfungsi sebagai sumber kalsium. 3

Gambar 2.1 Embriologi Kelenjar tiroid

2
2.2 Antomi Kelenjar Tiroid

Gambar 2.2 Anatomi kelenjar tiroid


Kelenjar tiroid terletak di anterior trakhea dan di inferior kartilago
tiroid. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus. Kelenjar tiroid
melekat pada trakhea dan melingkari trakhea dua pertiga bahkan sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tiroid. 1

3
Kelenjar tiroid pada dewasa memiliki berat antara 25-30 gram dan
dilapisi oleh suatu kapsula jaringan ikat. Kelenjar tiroid memiliki bentuk
khusus menyerupai kupu-kupu atau “butterfly” shape, karena terdiri atas dua
lobus (kiri dan kanan), yang dihubungkan di bagian anteriornya oleh suatu
ismus. Kedua lobus dari kelenjar tiroid berwarna kemerahan, karena kaya
akan vaskularisasi. Pembuluh darah vena pada kelenjar tiroid, juga berperan
untuk mengangkut hormon tiroid masuk ke sirkulasi.4
Kelenjar tiroid kaya vaskularisasi yang berasal dari empat sumber,
arteri karotis superior kanan dan kiri yang merupakan cabang arteri karotis
eksterna kanan dan kiri, kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri dan
cabang arteri brakhialis. Adapun sistem venanya terdiri atas vena tiroidea
superior yang berjalan bersama arterinya, vena tiroidea media yang berada di
lateral dan berdekatan dengan arteri tiroidea inferior, dan vena tiroidea
inferior. Terdapat dua saraf yang mensarafi laring dan pita suara (plica
vocalis), yaitu nervus rekurens (cabang N. Vagus) dan cabang nervus
laringeus superior.4
2.3 Histologi Kelenjar Tiroid
Pada tingkat histologis, kelenjar tiroid terdiri dari beberapa struktur yang
disebut folikel. Dinding dari masing-masing folikel dibentuk oleh epitel
kuboid selapis atau dikenal juga dengan sel folikuler. Sel folikuler ini
mengelilingi suatu lumen sentral yang berisi cairan koloid kaya protein. Sel
folikel memiliki bentuk yang bervariasi dari skuamosa hingga kolumnar
rendah dan folikel memiliki diameter yang cukup bervariasi. Di ruang
intersisium diantara folikel terselip sel parafolikuler atau sel C yang
menghasilkan hormon kalsitonin, yang berperan dalam metabolisme kalsium
dan tidak berhubungan dengan hormon tiroid.5

4
Gambar 2.3 Histologi kelenjar tiroid

2.4 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Sel folikuler adalah instrumen yang memproduksi hormon tiroid.
Hormon tiroid terdiri dari tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin
(T3). Bahan dasar untuk membentuk hormon tirid adalah tirosin dan iodium.
Tirosin adalah suatu asam amino yang dibentuk dalam jumlah memadai oleh
tubuh, sehingga bukan suatu zat esensial dalam makanan. Sebaliknya, iodium
harus diperoleh dari makanan. Hampir semua iodium di tubuh disimpan di
tiroid untuk membentuk hormon tiroid.5
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar
berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung
dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna
merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang
terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin
(DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang
disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid. 6
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya
menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin,

5
globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin
pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA).1
Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh kadar hormone TSH yang
dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis dan terhadap sekresi hormone
pelepasan tirotropin (TRH) dari hipotalamus. Hormon tiroid mempunyai
pengaruh yang bermacam-macam terhadap jaringan tubuh yuang berhubungan
dengan metabolisme sel. Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin yang
menurunkan kadar kalsium serum.7

Pengaturan faal tiroid :


Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :7
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-
TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada
tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid: 6


1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik

6
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Regulasi dari sekresi hormon tiroid diatur oleh sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid
:
1. Adanya suatu stimulus (seperti temperatur tubuh yang rendah, atau
penurunan kadar hormon tiroid dalam darah) menstimulasi sinyal ke
hipotalamus untuk memproduksi thyrotropin-releasing hormon (TRH).
2. TRH berjalan pada sistem portal hipotalamo-hipofiseal untuk
menstimulasi sel tirotropik di hipofisis anterior, sehingga
menyebabkan sintesis dan pelepasan thyroid-stimulatng hormon
(TSH).
3. Peningkatan kadar TSH menstimulasi sel folikuler dari kelenjar tiroid
untuk melepas hormon tiroid kedalam aliran darah.
4. Hormon tiroid menstimulasi sel target (banyak sel target di tubuh), jadi
metabolisme selular di sel tersebut meningkat. Sebagai hasil dari
stimuasinya, temperatur basal tubuh juga meningkat.

7
5. Produksi panas sebagai produk dari meningkatnya metabolisme yang
menaikkan temperatur tubuh, dapat menghambat pelepasan TRH oleh
hipotalamus. Selain itu hormon tiroid juga memblok reseptor TRH di
hipofisis anterior, sehingga hubungan hipotalamus-hipofisis anterior
teragnggu, dan hipofisis anterior berhenti memproduksi TSH, dan
kelenjar tiroid berhenti memproduksi hormon tiroid.1

Gambar 2.4 Regulasi dari sekresi hormone tiroid

8
B. STRUMA
2.5 Definisi Struma
Struma atau gondok atau goiter adalah pembesaran dari kelenjar tiroid.1
Kelenjar tiroid normal memiliki ukuran sebesar dua buah ibu jari tangan yang
didekatkan berdampingan membentuk huruf V.8 Pada penderita struma,
fungsi kelenjar tiroid bisa normal, mengalami overaktifitas, atau
underaktifitas.9
2.6 Epidemiologi Struma
Penyebab paling sering dan utama dari struma di seluruh dunia adalah
defisiensi yodium. Apabila lebih dari 10% populasi pada suatu daerah
menderita struma yang diakibatkan oleh defisiensi yodium, maka hal ini
disebut endemic goiter.2
Prevalensi struma difus menurun seiring bertambahnya usia, prevalensi
terbesar adalah pada masa pra-menopause wanita, dan rasio wanita terhadap
pria setidaknya 4: 1 . Terdapat peningkatan frekuensi nodul tiroid seiring
bertambahnya usia. nodul tiroid klinis terlihat hadir pada 6,4% wanita dan
1,5% pria. Prevalensi nodul tiroid tunggal adalah 3% dan goiter multinodular
adalah 1%.10
2.7 Klasifikasi Struma
Secara morfologis, struma atau pembesaran kelenjar tiroid dapat
bersifat diffus yang berarti pembesaran terjadi secara merata pada seluruh
kelenjar tiroid (Struma Diffusa), atau nodosa yang berarti pembesaran kelenjar
tiroid yang diakibatkan karena terdapatnya nodul di dalam kelenjar tiroid
(Struma Nodusa). Struma nodosa dapat dibagi lagi menjadi uninodosa / soliter
bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular bila terdapat lebih dari satu
nodul pada kelenjar tiroid.1,9
Secara fisologis, struma dapat dibedakan menjadi :9
a. Struma Toksik, apabila pembesaran kelenjar tiroid disertai dengan
peningkatan sekresi hormon tiroid.
b. Struma Non Toksik, apabila pada pembesaran kelenjar tiroid produksi
hormon tiroid tetap dalam batas normal.

9
Menurut American society for Study of Goiter membagi : 9
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Struma Toxic Nodusa
4. Stuma Toxic Diffusa

2.7.1 STRUMA TOKSIK


2.7.1.1 STRUMA DIFUSA TOKSIK (GRAVE’S DISEASE)
2.7.1.1.1 Definisi
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s
terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang
merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri.1
2.7.1.1.2 Etiologi
Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya
terdapat peran dari suatu antibodi pada reseptor TSH yaitu TSH-R Ab (Thyroid
Stimulating Hormon-Receptor Antibodi) di kelenjar tiroid, yang menstimulasi
peningkatkan produksi hormon tiroid.1
2.7.1.1.3 Patofisiologi
Grave’s disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai
Thyroid Stimulating Hormon-Receptor Antibodies (TSH-R Ab). Zat ini
menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham,
sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan mengakibatkan kadar
hormone tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.1

10
Gambar 2.5.Skema patogenesis penyakit Grave

2.7.1.1.4 Gambaran klinis


Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan.7
Gejala klinis yang sering ditemukan pada grave’s disase adalah pembesaran
kelenjar tiroid, dan terkadang manifestasi pada mata berupa exophthalmus. Gejala
hipertiroid seperti keringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhadap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan
menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ) juga
bisa ditemukan. Penyakit grave’s ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi
yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.1
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan

11
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis.1
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/
cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah; penderita akan mengalami
takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom
dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium,
dan fibrilasi ventrikel.1 Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat
sehingga sering timbul polidefekasi dan diare. 1
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita
sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan
emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang
sangat menggangu.1
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea
yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian
proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal
ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroid
tersebut.1
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat
dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar
dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan
kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan
strabismus.1

12
2.7.1.1.5 Tatalaksana
Terapi penyakit graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksikosis/ hipertiroidisme dengan antitiroid, seperti propiltiourasil (PTU)
atau karbimazol. Terapi definitive dapat dipilih antara pengobatan antitiroid
jangka – panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau tiroidektomi.
Pembedahan terhadap tiroid pada keadaan hipertiroidisme dilakukan terutama jika
terapi medikamentosa gagal dan ukuran tiroid besar. Pembedahan yang baik
biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
adanya hipotiroidisme dan komplikasi yang minimal.
Tabel 2.1 Pembedahan Tiroid
Jenis Contoh indikasi
Biopsi insisi Struma difus pradiagnosis
Biopsi eksisi Tumor (nodul) terbatas pradiagnosis
Tiroidektomi Hipertiroid (graves)
Subtotal Struma nodusa benigna
Hemitiroidektomi Kelainan unilateral ( adenoma)
Tiroidektomi total Keganasan terbatas tanpa kelainan kelenjar limfe
Tiroidektomi radikal Keganasan tiroid dengan kemungkinan metastasis ke
kelenjar limfe regional

2.7.1.2 STRUMA NODUSA TOKSIK


2.7.1.2.1 Definisi
Struma noduka toksik adalah pembesaran pada kelenjar tiroid akibat adanya
nodul tunggal atau multipel didalam kelenjar yang disertai dengan peningkatan
sekresi hormon tiroid. Salah satu contoh struma nodosa toksik yang paling sering
adalah Plummer’s Disease yang ditandai dengan struma multinodular dengan
peningkatan produksi hormon tiroid dan jarang disertai dengan eksophtalmus
pada mata.12

13
2.7.1.2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari Plummer’s disease belum diketahui. Namun dikatakan
Plummer’s disease dapat berasal dari simple goiter atau struma non toksik yang
sudah ada sebelumnya tanpa gejala hipertiroid. 13
2.7.1.2.3 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis struma nodusa toksik antara lain intoleransi panas,
hiperaktif, tremor, penurunan berat badan, lemah, pengecilan otot, peningkatan
nafsu makan, denyut jantung cepat.13
2.7.1.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung
oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat.12
2.7.1.2.5 Tatalaksana
Struma multinodular toxic dapat diobati dengan obat antitiroid seperti
propilthiouracil atau methimazole, yodium radioaktif, atau dengan operasi.
Pilihan pengobatan lain adalah injeksi etanol ke dalam nodul. 14
2.7.2 STRUMA NON TOKSIK
2.7.2.1 Definisi
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien
eutiroid, yang tidak disebabkan oleh proses autoimun, inflamasi atau neoplastik
Struma non toksik dapat bersifat diffus yang berarti pembesaran terjadi secara
merata pada seluruh kelenjar tiroid, atau nodosa yang berarti pembesaran kelenjar
tiroid yang diakibatkan karena terdapatnya nodul di dalam kelenjar tiroid. Struma
nodosa dapat dibagi lagi menjadi uninodosa / soliter bila hanya terdapat satu
nodul, dan multinodular bila terdapat lebih dari satu nodul pada kelenjar tiroid.15
2.7.2.2 Etiologi
Struma non toksik biasanya merupakan dampak dari defisiensi yodium
pada seseorang. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di
daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium,
misalnya daerah pegunungan. Di daerah nonendemik, etiologi struma
multifaktorial dengan kecenderungan wanita.15

14
2.7.2.3 Manifestasi Klinis
Biasanya penderita struma non toksik tidak mempunyai keluhan karena tidak
mengalami gangguan fungsi kelenjar tiroid. Pertumbuhan struma terjadi secara
perlahan, sehingga struma dapat membesar tanpa memberikan gejala. Keluhan
utama pasien pada penyakit ini adalah karena alasan kosmetik sehubungan dengan
benjolan di leher penderita.15
Pada struma nodosa, nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia
lanjut. Secara umum, walaupun ukuran benjolan di leher penderita besar, struma
nodosa benigna tidak menyebabkan gangguan. Keluhan yang sering timbul adalah
rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu menelan, dan
alasan kosmetik. Penderita biasanya tenang, tidak sakit dan tidak sesak napas.16
Sebagian besar struma nodosa tumbuh ke arah lateral dan anterior, sehingga tidak
mengganggu pernafasan. Namun, pembesaran bilateral dapat menyebabkan
penyempitan pada trakhea. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan
gangguan pernafasan dengan gejala stridor inspiratoar. Struma nodosa unilateral
dapat menyebabkan pendorongan trakhea ke arah kontralateral tanpa
menimbulkan gangguan obstruksi pernafasan. 15
Struma dapat meluas sampai ke mediastinum anterior superior, terutama pada
bentuk nodulus yang disebut struma retrosternum. Umumnya struma retrosternum
ini tidak turun naik pada gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit.
Seringkali struma ini berlangsung lama dan asimptomatik, sampai terjadi
penekanan pada organ atau struktur disekitarnya. Penekanan ini akan memberikan
tanda dan gejala penekanan esofagus atau trakhea. Diagnosis ditentukan dengan
pemeriksaan foto rontgent polos toraks. 15
2.7.2.4. Diagnosis
Evaluasi diagnostik pasien dengan struma nodular nontoksik dimulai
dengan riwayat dan pemeriksaan fisik. Serum thyrotropin (TSH) dan kadar
tiroksin bebas harus diukur untuk mengidentifikasi (subklinis) hipertiroidisme.
Pasien yang memiliki gejala dan tanda kompresi trakea (stridor inspirasi dan
dyspnea) harus memiliki radiograf yang diambil dari trakea atau CT atau MR

15
pencitraan leher dan toraks atas. Agen kontras iodinasi harus dihindari karena
risiko menginduksi hipertiroidisme. Tes fungsi paru berguna untuk mengevaluasi
hambatan jalan napas. Biopsi aspirasi jarum halus bisa membantu bila dicurigai
adanya tiroid. Sitologi harus diperoleh dari nodul dominan dan yang memiliki
konsistensi lebih kuat di dalam kelenjar tiroid.15
2.7.2.5 Penatalaksanaan
Indikasi utama untuk pengobatan pasien dengan nontoxic, struma
nodular adalah kompresi dari trakea atau esofagus dan obstruksi aliran keluar
vena. Indikasi lainnya adalah pertumbuhan gondok, ketidaknyamanan leher, dan
masalah kosmetik. Ada tiga pilihan pengobatan: tiroidektomi, terapi penekanan
dengan L-tiroksin, dan pemberian yodium radioaktif. 15
2.8 Langkah-Langkah Penegakan Diagnosis Struma
a. Anamnesis1,9
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala
hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di
leher, maka harus digali lebih jauh dibagian mana leher tepatnya benjolan itu
berada, berapa jumlah benjolannya, apakah benjolan yang terasa bagi pasien
keras atau lunak, apakah benjolan terasa nyeri atau tidak, apakah benjolan ikut
bergerak pada saat pasien menelan atau menjulurkan lidah, apakah
pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan
menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan
ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Yang
termasuk gejala hipertiroid seperti : keringat berlebihan, tremor pada tangan,
menurunnya toleransi terhadap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan
emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering
buang air besar ). Sedangkan yang termasuk gejala hipotiroid seperti :
peningkatan berat badan, tidak tahan dingin, perasaan depresi, kulit kering dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan bagaimana pola diet pasien sehari-hari,
apakah pasien sering mengkonsumsi bahan-bahan yang dapat menghambat
produksi hormon tiroid, tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk

16
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Pada pasien
dengan grave’s disease perlu juga ditnyakan apakah ada keluhan pada mata
pasien.
b. Pemeriksaan Fisik1,9
Pada pemeriksaan fisik status lokalis yang paling pertama dilakukan
adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut
benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada
saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan
akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus
dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran
yang teraba harus dideskripsikan :
- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
1. Status Generalis :
 Keadaan umum pasien : Agitasi, anxietas
 Pemeriksaan tangan pasien : tremor, kulit kering atau telapak tangan
eritema
 Denyut nadi : frekuensi, ritme
 Wajah : berkeringat, kulit kering
 Mata : retraksi kelopak mata, eksophthalmus, lid lag
2. Status lokalis leher
a. Inspeksi
 Perubahan pada kulit : eritema

17
 Scars : pernah tiroidektomi
 Massa : struma, limponodi
- Minta pasien menelan : lihat pergerakan massa di leher
- Minta pasien menjulurkan lidah : lihat pergerakan massa di
leher
b. Palpasi
 Raba isthmus kelenjar tiroid tepat dibawah kartilago krikoid dan
palpasi isthmus serta masing-masing lobus di kiri dan kanan
isthmus
 Sambil di palpasi minta pasien menjulurkan lidah dan rasakan
apakah ada pergerakan dari massa
 Sambil di palpasi, minta pasien untuk menelan dan nilai
pergerakan massa, nilai juga kesimetrisan lobus kiri dengan
kanan
 Palpasi juga limfoodus lokal untuk melihat limpodenopati
 Lihat juga deviasi trakhea
Klasifikasi struma berdasarkan palpasi dan imaging
 Stage 0 : tidak ada temuan struma ( non palpable dan invisible)
 Stage 1 : leher membesar sebagai akibat pembesaran kelenjar
tiroid, teraba, tapi tidak terlihat pada leher jika dalam posisi
normal. Massa bergerak pada saat menelan. Termasuk juga
struma nodular apabila pembesaran tiroid tidak terlihat.
 Stage 2 : leher membesar, terlihat pada saat leher dalam posisi
normal dan massa teraba.

18
Index Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami
eutiroid, hipotiroid atau hipertiroid

Gejala subjektif Angka Gejala objektif Ada Tidak


Dispneu d’ effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruit tiroid +2 -2
Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -
Suka panas -5 Lid retraksi +2 -
Suka dingin +5 Lid lag +1 -
Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Tangan basah +1 Nadi
Tangan panas -1 <80x/m - -3
Nafsu makan ↑ +3 80-90x/m -
Nafsu makan ↓ -3 >90x/m +3
BB ↑ -3 < 11  eutiroid
BB ↓ +3 11-18  normal
Fibrilasi atrium +3 > 19  hipertiroid
Jumlah

c. Pemeriksaan Penunjang16
1. Pemeriksaan laboratorium.
Dua buah pemeriksaan laboratorium yang paling umum digunakan untuk
mengevaluasi fungsi dari kelenjar tiroid adalah kadar T4 bebas dan kadar Thyroid
stimulating Hormon (TSH). Karena lebih dari 99% hormon tiroid yang dilepaskan
terikat pada protein di dalam darah, dan dipercaya bahwa mengukur kadar hormon
tiroid bebas lebih akurat untuk menentukan kadar hormon tiroid yang sebenarnya.
Pemeriksaan untuk mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering
menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau
plasma darah.

19
 Pemeriksaan TSH : TSH atau thyrotropin diproduksi oleh kelenjer
hipofisis anterior dan berfungsi untuk mengontrol produksi hormon tiroid.
Apabila kadar TSH rendah dalam darah maka hal tersebut
mengindikasikan keadaan hipertiroidisme pada pasien. Dan sebaliknya.
 Pemeriksaan T4 bebas : lebih dari 99% t4 yang dilepaskan dalam darah
berikatan dengan protein. Apabila kadar T4 bebas dalam darah meningkat
hal tersebut menunjukka keadaan hipertiroidisme, dan sebaliknya.
 Pemeriksaan T3 bebas : Pemeriksaan kadar T3 tidak selalu dilakukan.
Pemeriksaan kadar T3 bebas dilakukan apabila pada gejala klinis pasien
menunjukkan gejala hipertiroid namun hasil pemeriksaan kadar T4
normal.
2. Pemeriksaan kadar antibodi
Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada
serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
3. Pemeriksaan radiologis
 Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran
struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga.
Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.
 USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan
antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang
tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.
 Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 121 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk
lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam
kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid
dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang
dari normal dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan
fungsi yang rendah dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua
adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan
fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot

20
nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang
pada neoplasma.
 FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat
agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja.
d. Penatalaksanaan
Pada grave’s disease:
Terapi penyakit graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksikosis/ hipertiroidisme dengan antitiroid, seperti propiltiourasil
(PTU) atau karbimazol. Terapi definitive dapat dipilih antara pengobatan
antitiroid jangka – panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid pada keadaan hipertiroidisme
dilakukan terutama jika terapi medikamentosa gagal dan ukuran tiroid besar.
Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai adanya hipotiroidisme dan komplikasi yang
minimal.1
Pada struma akibat defisiensi yodium :
Struma akibat intake yodium yang kurang dapat dicegah dengan
subtitusi yodium. Pada awalnya pertumbuhan struma multinodosa dapat
dihambat dengan pemberian hormon tiroksin. Struma nodosa yang
berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh pengobatan
hormon tiroid. Penanganan struma lama adalah dengan tiroidektomi subtotal
atas indikasi yang tepat. Berikut adaalah indikasi tindakan bedah struma
nontoksik :
a. Kosmetik (tiroidektomi subtotal)
b. Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas)
c. Struma multinodular yang berat
d. Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher yang
lain
e. Struma retrosternal yang menyebabkan kompresi trakhea atau struktur
lain, biasanya pembedahan pada kasus ini dilakukan melaui insisi di

21
leher dan tidak torakotomi karena perdarahan berpangkal di pembuluh
di leher.
Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna.
Berbagai tanda keganasan dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk,
pertumbuhan (lebh cepat), tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan
seitarnya, serta fiksasi dengan jaringan sekitar. Dapat terjadi penekanan
atau infiltrasi ke nervus rekurens (perubahan suara), trakhea (dispnea),
atau esofagus (disfagia). Nodul maligna sering ditemukan terutma pada
pria usia muda dan usia lanjut. 1
Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain
yang belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma.

22
BAB III
KESIMPULAN

Struma atau gondok atau goiter adalah pembesaran dari kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid normal memiliki ukuran sebesar dua buah ibu jari tangan yang
didekatkan berdampingan membentuk huruf V. Pada penderita struma, fungsi
kelenjar tiroid bisa normal, mengalami overaktifitas, atau underaktifitas.
Secara morfologis, struma atau pembesaran kelenjar tiroid dapat
bersifat diffus yang berarti pembesaran terjadi secara merata pada seluruh
kelenjar tiroid (Struma Diffusa), atau nodosa yang berarti pembesaran kelenjar
tiroid yang diakibatkan karena terdapatnya nodul di dalam kelenjar tiroid
(Struma Nodusa). Struma nodosa dapat dibagi lagi menjadi uninodosa / soliter
bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular bila terdapat lebih dari satu
nodul pada kelenjar tiroid.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat
untuk menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan
menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang
tepat bagi struma yang dialami oleh pasien. Apakah memerlukan tindakan
pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC;


2010.
2. Elamin, Ali Ibrahim., Mahmoed, Muhammad E.T. Epidemiology of goiter in
Elfigaiga, River Nile state, Sudan. 2016 Apr;3(4):977-981
3. Sadler, T.W. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 10. Embriologi kelenjar
tiroid. Jakarta: EGC; 2010
4. Michael P McKinley; Valerie Dean O'Loughlin; Elizabeth Pennefather.
Human anatomy. Mc.Graw-Hill Education. New York:2015.
5. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 6.
Jakarta. EGC
6. Sachdova R. K., Tiroid : CatatanIlmuBedah, Editor Erlan, EdisiKelima,
Hipokrates, 1996 : 85 – 86.
7. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.,FKUI., Jakarta
8. Yang Duh Quan. Goiter and thyroid noduls. Endocrines surgery.
California;2016.
9. American Tiroid Assosiation. Goiter. United States : 2016
10. Vanderpump ,Mark P. J. The epidemiology of thyroid disease. Department of
Endocrinology, Royal Free Hampstead NHS Trust, Pond Street, London. 2011
11. Adam, Ron D, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; Edisi Ketiga,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
12. Reid, JR; Wheeler, SF. "Hyperthyroidism: diagnosis and treatment". American
family physician. 72 (4): 623–630. 2005
13. A.D.A.M. "Toxic nodular goiter". U.S. National Library of Medicine. 2012
14. al.], senior editors, J. Larry Jameson, Leslie J. De Groot ; section editors,
David de Kretser . Endocrinology : adult and pediatric (6th ed.). Philadelphia:
Saunders/Elsevier. 2010
15. Nieuwlaat, Willy-Anne MD et all. Nontoxic, Nodular Goiter: New
Management Paradigms. pp 31-37. 2003
16. American Assosiation of endocrine Surgeons. Non Toxic Multinodular Goiter.
America;2016.

24

You might also like