You are on page 1of 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cardiac Arrest


2.1.1 Pengertian
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2015).
Kematian jantung mendadak atau cardiac arrest adalah berhentinya
fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui
menderita penyakit jantung. Waktu dan kejadiannya tidak diduga-duga, yakni
segera setelah timbul keluhan. Kejadian cardiac arrest yang menyebabkan
kematian mendadak terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak
berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal.
yaitu hantaran listrik jantung menjadi cepat (ventricular tachycardia) atau tidak
beraturan (ventricular fibrillation). Irama denyut jantung yang tidak teratur
(arrhythmia) menyebabkan jantung berhenti berdenyut secara mendadak. Namun
ada beberapa kejadian cardiac arrest disebabkan karena perlambatan denyut
jantung yang berlebihan (bradycardia) (Subagjo, 2011).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak
untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen
ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif.

2.1.2 Faktor predisposisi


Faktor risiko cardiac arrest adalah: Laki-laki usia 40 tahun atau lebih,
memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest satu berbanding delapan orang,
sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin tua seseorang,
semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor risiko untuk
penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan merokok memiliki
peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest (Krisanty, 2009).

5
Menurut American Heart Association (2015), seseorang dikatakan
mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
1. Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain;
jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu
cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam
bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode
risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit
jantung atherosclerotic.
2. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya
karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang
cenderung untuk terkena cardiac arrest.
3. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa
kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru
merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi
seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa
mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah
(misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang
mengancam jiwa dan cardiac arrest.
4. Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal
seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
5. Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri
koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa
muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik
yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai
kelainan tadi.
6. Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya
cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada
organ jantung.

2.1.3 Tanda-tanda cardiac arrest

6
Tanda- tanda cardiac arrest menurut American Hearth Association (2015)
yaitu:
1. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara, tepukan di
pundak ataupun cubitan.
2. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan
pernafasan dibuka.
3. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
2.1.4 Proses terjadinya cardiac arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia (Perki,
2016) yaitu:

1. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak,
pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung
hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera
dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.
2. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian
ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga
berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi
henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan
menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.
3. Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR
adalah tindakan yang harus segera dilakukan.

4. Asistole

7
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan
pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

henti jantung pada arithmia

8
2.1.5 Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka
waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi
tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi
segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak),
untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung
paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami
henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar
30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan
defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara,
dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan
(defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi
korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion, 2015).

2.2 Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation


2.2.1 Pengertian
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Tindakan RJP ini tidak
hanya berlaku dalam ruangan operasi, tapi dapat juga diluar jika terdapat suatu
kejadian dimana ada seorang pasien atau korban, dalam usaha mempertahankan
hidupnya dalam keadaan mengancam jiwa (Ganthikumar, 2014).
Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama
pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. Resusitasi
jantung paru (RJP) ini bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang
menyempit atau tertutup sama sekali. Pertolongan seperti ini sangat dibutuhkan bagi
orang tenggelam, terkena serangan jantung, sesak napas karena syok akibat
kecelakaan, terjatuh, dan sebagainya (RSPJN Harapan Kita, 2018).
2.2.2 Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation
Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan
hidup (chin of survival); cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus
diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian ini
terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang,

9
sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar
untuk bisa bertahan hidup. Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien
secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas, pastikan
nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien (Krisanty.
dkk,2009).
Tata laksana Resusitasi Jantung Paru memerlukan pengaturan yang sistematis
untuk menentukan keberhasilan resusitasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan:
a) Segera tentukan kasus henti jantung dan hubungi sistem kegawatan
b) Lakukan RJP yang terfokus pada kompresi jantung
c) Defibrilasi segera
d) Tindakan advance life support yang efektif
e) Penanganan pasca cardiac arrest yang terintegrasi

Revisi Prosedur Resusitasi Jantung Paru (RJP) menurut American Hearth


Association (2015), adalah:
a) C-A-B sebagai pengganti A-B-C untuk RJP dewasa, anak dan bayi.
Pengecualian hanya untuk RJP neonatus
b) Tidak ditekankan lagi looking, listening, feeling. Kunci untuk menolong
korban henti jantung adalah aksi (action) tidak lagi penilaian (assesment)
c) Tekan lebih dalam. Dulu antara 3-5 cm. Saat ini AHA menganjurkan
penekanan dada sampai 5-6 cm
d) Tekan lebih cepat. Untuk frekuensi penekanan, dulu AHA menggunakan
kata-kata sekitar 100x/m. Saat ini AHA menganjurkan frekuensi 100-120x/m.
e) Untuk awam, AHA tetap menganjurkan: Hands only CPR untuk yang tak
terlatih
f) Kenali tanda-tanda henti jantung akut
g) Jangan berhenti memompa/ menekan dada semampunya, sampai AED
dipasang dan menganalisis ritme jantung. Bila perlu memberikan ventilasi mulut
ke mulut, dilakukan dengan cepat dan segera kembali menekan jantung
Kembalinya sirkulasi spontan / ROSC(Return of Spontaneous Circulation)
a) Adanya pulsasi dan terukurnya tekanan darah
b) Meningkatnya PetCO2, biasanya > 40 mmHg
c) Adanya gelombang tekanan arteri yang spontan pada pemantauan tekanan intra
arterial
Tindakan defibrillator apabila:

10
a) Bifasik: sesuai rekomendasi alat 200 joule. Kalau tidak diketahui gunakan yang
terbesar. Kejutan kedua dan seterusnya menggunakan energi yang sama. Energi
yang lebih besar bisa dipertimbangkan.
b) Monofasik: 360 Joule.

REKOMENDASI AHA 2015

Dewasa Anak Bayi

Deteksi .................Tidak ada respons (semua usia).........................

Tidak bernafas
Bernafas tidak normal (nafas satu-satu)
Palpasi 10 detik, tidak ada pulsasi (hanya pada RJP oleh tenaga
kesehatan)

Urutan RJP C-A-B C-A-B C-A-B

Frekuensi 100-120 x/menit

Kedalaman 5-6 cm 5 cm 4 cm
kompresi

Recoil dinding Recoil sempurna setelah setiap kompresi dada


dada

RJP oleh tenaga kesehatan: rotasi setiap 2 menit

Dewasa Anak Bayi

Gangguan pada Perkecil gangguan pada kompresi dada


kompresi Gangguan pada kompresi dibatasi kurang dari 10 detik

Jalan nafas Head tilt – chin lift


bila tenaga kesehatan mencurigai trauma cervical lakukan jaw thrust

11
Ratio K-V sampai 30 – 2 30 – 2 30 – 2
jalan nafas seorang penolong seorang penolong
advance 15 – 2 15 – 2
terpasang lebih dari lebih dari seorang penolong
seorang penolong
Ventilasi Bila penolong tidak terlatih: hanya kompresi tanpa ventilasi

Ventilasi dengan 1 nafas setiap 6 – 8 detik ( 8 – 10 pernafasan/ menit )


jalan nafas Tidak perlu sinkron dengan kompresi
advance (hanya Sekitar 1 detik setiap nafas
oleh tenaga Dinding dada terangkat
kesehatan)
Defibrilasi Gunakan AED bila tersedia
Kurangi gangguan pada kompresi sebelun dan setelah defibrilasi
Lanjutkan RJP segera setelah setiap defibrilasi

12
CIRCULATION

13
Gambar 1. Pijat jantung (separuh bawah dari sternum)
Tangan pertama diletakkan ditengah sternum separuh bawah dari sternum.
Tangan kedua diletakkan diatas tangan pertama, sehingga kedua tangan overlapping
dan pararel.

Gambar 2. kompresi jantung


Melakukan pijat luar dengan :
a) Kecepatan 100-120x/menit
b) Frekuensi 30 kompresi : 2 ventilasi
c) Kedalaman 5-6 cm
d) memberikan dada kesempatan untuk recoil sempurna
e) Rotasi pemijat jantung setiap 2 menit
f) Interupsi minimal selama kompresi (<10 detik)
g) Periksa nadi setiap 2 menit (5 siklus)

AIRWAY MANAJEMEN

Gambar 3. Head tilt dan chin lift

14
Gambar 4 : Cara melakukan napas buatan mouth to mouth

Cara napas buatan :


a. posisi bebas jalan nafas
b. jepit hidung
c. buka mulut
d. tiup 1,5 – 2 detik
e. lepas / ekshalasi
Bila napas buatan kurang efektif :
a. bersihkan dari sumbatan
b. head tilt – chin lift à benar
c. coba 5 x nafas buatan
Bantuan alat sederhana : Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal airway
(NPA)
Bantuan alat lanjutan : Laryngeal mask airway, Combitube, Intubasi dg ETT.

Gambar 5. Jaw thrust

(DEFRIBILLATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan
jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang

15
disebut dengan fibrilasi ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk
defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut
Automatic External Defibrillation (AED), di mana alat tersebut dapat
mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak. Jika
perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong
untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasi saja.

Gambar 6. Tindakan Defibrilasi dengan AED

Penilaian Ulang/Evaluasi

Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi (+ 2 menit) kemudian korban


dievaluasi kembali

a) Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan


bantuan napas dengan rasio 30 : 2.

b) Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban


pada posisi mantap.

c) Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan


napas sebanyak 8-10 kali permenit dan monitor nadi setiap saat.

d) Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta


nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka kemudian korban / pasien
dibaringkan pada posisi mantap (recovery position).

16
Gambar 7. Posisi sisi mantap (Recovery Position)

2.2.3 Pengelolaan Jalan Napas Tingkat Lanjut


1. Supraglottic advanced airway (LMA) atau intubasi trakea
2. Kapnografi dengan grafik gelombang untuk memastikan dan memantau posisi
intubasi trakea.
3. Frekuensi 8 – 10 x/menit dengan kompresi jantung kontinyu

2.2.4 Terapi Obat


5. Epinefrin IV/IO : 1 mg setiap 3-5 menit
6. Vasopressin IV/IO : 40 unit dapat menggantikan dosis pertama dan kedua
epinefrin
7. Amiodaron IV/IO : dosis I 300mg bolus, dosis II 150mg pada kasus ventricular
takikardi ataupun ventrikular fibrilasi

17
2.3 Konsep Kesiapan
2.3.1 Pengertian
Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap untuk
memberi respon atau jawaban dengan cara tertentu terhadap suatu situasi.
Penyesuaian kondisi pada suatu saat akan berpengaruh atau kecenderungan untuk
memberi respon(Slameto,2003).
Wolff, et, all (2010), dalam International Journal of Nursing menyatakan
bahwa penggunaan kata kesiapan (readiness) dalam literature keperawatan tidaklah
didefinisikan dengan pasti dan dikembangkan sebagai suatu konsep. Terdapat
beberapa perspektif yang berbeda, tergantung dari sisi mana mereka memaknai
kesiapan (readiness) tersebut. Kesiapan dibagi menjadi empat tema pokok yaitu:
mempunyai kemampuan dasar umum dan kemampuan untuk menangani hal-hal
yang bersifat khusus, memberikan perawatan yang aman kepada klien, mampu
menghadapi atau bertahan dengan kenyataan sekarang dan kemungkinan-
kemungkinan kedepan, serta mempunyai keseimbangan antara pelaksanaan,
pengetahuan dan berpikir.
a. Mempunyai kemampuan dasar umum dan kemampuan untuk menangani hal-hal
yang bersifat khusus. Kemampuan dasar yang dimaksudkan adalah kemampuan
bantuan hidup dasar bagi pasien yang mengalami henti jantung serta
kemampuan yang bersifat khusus seperti penanganan henti jantung
menggunakan peralatan seperti cardioversi atau DC Shock. Perawat dituntut
tidak hanya siap dalam kondisi stabil dan sesuatu yang sudah biasa saja, tetapi
juga dalam hal-hal bersifat khusus yang memerlukan konsentrasi tinggi dan
keadaan yang sedang berubah dan baru.
b. Memberikan perawatan yang aman kepada klien. Pemberian perawatan yang
aman kepada klien merupakan suatu komponen yang penting dari praktek
keperawatan. Seorang perawat yang dikatakan siap mempunyai alasan yang
menyakinkan kenapa dia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan
keperawatan dan mendemonstrasikan kemampuan untuk melaksanakan praktek
keperawatan sesuai dengan etika, penuh kehatihatian, dan aman. Perawatan
yang aman bagi klien adalah dengan memperhatikan kondisi tertentu seperti
posis kepala klien dan kedalaman resusitasi atau penggunaan defibrillator juga
harus hati untuk mencegah terjadi luka bakar

18
c. Mampu menghadapi atau bertahan dengan kenyataan sekarang dan
kemungkinan-kemungkinan kedepan. Perawat harus bisa menunjukkan bahwa
mereka mampu bekerja (berfungsi) dengan realitas yang ada sekarang, dengan
segala keterbatasannya, dan mereka juga harus bisa beradaptasi terhadap suatu
yang baru dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia kesehatan.
Perawat mempunyai dasar pengetahuan yang baik untuk mengenali situasi yang
sedang terjadi dan mampu memutuskan kapan mereka memerlukan bantuan jika
dibutuhkan.
d. Mempunyai keseimbangan antara pelaksanaan, pengetahuan dan berpikir.
Critical Thinking yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang pasti dan
hati-hati tentang kondisi klien, adalah komponen kunci dari kesiapan.
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus didasari dengan kemampuan untuk
berpikir kritis berdasarkan pengetahuan yang cukup dari perawat. Berpikir kritis
yang didasarkan atas pengetahuan yang baik akan menghasilkan sebuah
keputusan yang tepat.
Kesiapan perawat dalam penanganan henti jantung menurut Nawaningrum
(2015) yaitu berpikir kritis, focus melindungi diri, memperhatikan keamanan
perawat dan pasien, memulai persiapan, memperhatikan kondisi pasien sebelum
melakukan kompresi dada, menyiapkan dan mengeset defibrillator, dan
menghubungi dokter penanggung jawab serta mempersiapkan obat-obatan.
Berdasarkan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan perawat adalah
kemampuan perawat untuk bisa berfikir kritis berdasarkan ilmu yang dimilikinya,
bisa beradaptasi dengan kondisi sekarang dan perkembangan dunia kesehatan,
mampu memberikan asuhan keperawatan yang aman bagi klien, dan siap
menghadapi kondisi pasien baik yang stabil maupun yang memerlukan perhatian
khusus.

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan


Kolaborasi yang efektif dan kreatif dari sektor pendidikan, praktik klinik dan
pembuat kebijakan sangat diperlukan untuk membentuk perawat yang siap, sesuai
dengan standar kompetensi dan penampilan kerja yang diharapkan (Wolff dkk,
2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan terdiri dari pengetahuan,

19
pengalaman, peraturan/protokol yang jelas, sarana dan suplai yang cukup, serta
pelatihan/training (Wolff.dkk,2010).
1. Pengetahuan
Sektor pendidikan bertanggung jawab menyiapkan perawat yang siap secara
teori dan akademi. Membekali perawat dengan ilmu-ilmu keperawatan yang
memadai dan menjadikannya siap untuk terjun ke dunia praktik klinik.
2. Pengalaman
Sektor klinik berperan dalam memberi kesempatan atau tugas kepada staff
perawat dengan hal-hal baru dan penanganan situasi yang bersifat khusus guna
memperoleh pengalaman-pengalaman baru.
3. Peraturan/protokol yang jelas (SOP)
Pembuat kebijakan (Rumah Sakit), mempunyai tanggung jawab untuk membuat
kebijakan, peraturan dan protokol yang jelas untuk dijalankan oleh setiap staff
perawat dalam menjalankan tugasnya.
4. Sarana dan suplai yang cukup
Pembuat kebijakan bertanggung jawab terhadap ketersediaan sarana dan suplai
yang cukup.
5. Pelatihan/training
Pembuat kebijakan (Rumah sakit) mempunyai tanggung jawab untuk
pengembangan staff dengan pelatihan dan training untuk meningkatkan respon
staff perawat terhadap berbagai situasi (kegawatan pasien).
2.4 Penelitian yang Relevan
1. Penelitian Nawaningrum (2014) tentang pengalaman perawat dalam
penanganan cardiac arrest di instalasi gawat darurat RSUD Karanganyar.
Penelitian menggunakan metode kualitatif fenomenologi. Teknik pengambilan
sampel menggunakan purposive sampling yang melibatkan 3 partisipan.
Pengumpulan data menggunakan teknik in depth interview. Teknik analisa data
yang digunakan adalah metode Colaizzi. Hasil penelitian diperoleh bahwa
pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest sangat ditentukan oleh
pengetahuan dan kesiapan perawat dengan hambatan sarana dan prasarana.
2. Penelitian Aminudin (2013) tentang analisis faktor yang berhubungan dengan
kesiapan perawat dalam menangani cardiac arrest di ruangan ICCU dan ICU
RSU Anutapura Palu. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik cros

20
sectional dengan pengambilan sampel total sampling menggunakan
kuesioner dan ceklist. Uji statistik menggunakan chi-square. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan
kesiapan perawat dalam menangani cardiac arrest (p = 0,001), tidak ada
hubungan bermakna antara fasilitas dengan kesiapan perawat dalam menangani
carsdic arrest (p = 0,301), ada hubungan bermakna pelatihan dengan
kesiapan perawat dalam menangani cardiac arrest (p = 0,025). Pengetahuan dan
pelatihan berhubungan dengan kesiapan perawat dalam menangani cardiac
arrest. Fasilitas tidak berbubungan dengan kesiapan perawat dalam menagani
cardiac arrest.
3. Penelitian Turangan (2017) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
pengetahuan perawat dalam menghadapi cardiac arrest di RSUP Prof R. D.
Kandou Manado. Desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan Cross
Sectional dengan sampel 49 perawat yang didapat dengan teknik purposive
sampling.dan data dikumpulkan dari responden menggunakan lembar kuesioner.
Hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara pendidikan dan pelatihan
dengan pengetahuan perawat. terdapat hubungan yang signifikan nilai p 0,001
(<α 0,05) antara pengalaman dan pengetahuan perawat dalam menghadapi
cardiac arrest.

21

You might also like