You are on page 1of 16

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Fakultas Kedokteran

REFERAT

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Pembimbing :

dr. Tantri Kurniawati, Sp. THT-KL., M.Kes

dr. Zulrafli, Sp. THT-KL

Disusun Oleh:

Kiki Puspitasari (112016077)

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG


ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
KEPALA DAN LEHER
KEPANITERAAN KLINIK

Periode 26 November 2016 s/d 2 Januari 2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, dengan
prevalensi yang tinggi akan meningkatkan morbiditas, mortalitas, biaya kesehatan serta risiko
keselamatan.1 Obstructive sleep apnea mempengaruhi sekitar 5% di penduduk negara bagian
barat, akan tetapi 80% kasus tidak terdiagnosis. Prevalensi OSA meningkat sejalan dengan usia
dan puncaknya terjadi pada usia 60 tahun. Meskipun 1 dari 5 orang dewasa memiliki OSA
derajat ringan, hanya 1 dari 15 orang dewasa yang memiliki OSA derajat sedang sampai berat.
Obesitas merupakan faktor risiko signifikan dari OSA. Peningkatan berat badan 10% saja akan
meningkatkan risiko OSA sebesar enam kali. Dilaporkan insidens OSA meningkat di Amerika
yang diakibatkan oleh obesitas.2 Obstructive sleep apnea merupakan salah satu bentuk
sleepdisordered breathing (SDB). Sekitar 40 juta orang di Amerika menderita OSA dengan
prevalensi 3%-7% pada laki-laki dan 2%-5% pada perempuan.4 Penderita OSA yang tidak
ditangani dapat terjadi berbagai kondisi antara lain hipertensi, penyakit jantung koroner
(termasuk infark miokard), diabetes melitus, gagal jantung, stroke dan gangguan fungsi
kognitif.3

Obstructive sleep apnea ditandai oleh episode berulang obstruksi saluran napas atas yang
bersifat komplit (apnea) atau parsial (hipopnea) saluran napas atas selama tidur. Kondisi ini
disertai dengan desaturasi oksigen dan terbangun dari tidur (arrousal). Apnea didefinisikan
sebagai penghentian komplit saluran napas minimal 10 detik. Hipopnea didefinisikan sebagai
pengurangan dalam aliran udara (30%-50%) yang diikuti oleh episode bangun dari tidur
(arrousal)atau penurunan saturasi oksigen (3%-4%). Derajat keparahan sleep apnea dinilai
dengan menggunakan apnoea-hypopnea index (AHI) yaitu jumlah apnea/hipopnea yang terjadi
per jam selama tidur. Berdasarkan AASM, OSA didefinisikan apabila nilai AHI >5. Klasifikasi
OSA dibagi atas OSA ringan apabila AHI 5-15, OSA sedang apabila nilai AHI 15-30 dan OSA
berat apabila nilai AHI >30.5

2
BAB II

PEMBAHASAN

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara
selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan
hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi
oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan
desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi
secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran
udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat
tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.9,10

Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas yang
menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Sleep
apnea juga dapat didefinisikan sebagai episode apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam,
lamanya paling sedikit 10 detik dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM)
dan non rapid eye movement (NREM). Terdapat istilah apnea index (AI) dan hypopnea index
(HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam yang dapat digunakan sebagai indikator berat
ringannya OAS.9

Kejadian OSAS terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus. Pada masa neonatus
insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram dan 84% pada
bayi dengan berat badan lahir < 1000 gram. Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun
karena pada usia ini sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSAS
tidak berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa lelaki lebih sering
dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1.10

Anamnesis
Sleep apnea memiliki gejala saat tidur malam dan harian. Keluhan tersering adalah rasa
kantuk harian dan ternganggunya tidur malam. Gejala klasik pada pasien dengan OSA selain
mendengkur saat tidur adalah excessive daytime sleepiness yaitu sering tertidur saat melakukan
kegiatan sehari-hari terutama siang hari, saat mengendarai mobil, berbincang-bincang,

3
membaca. Dengkuran yang terjadi biasanya cukup keras dengan frekuensi suara berubah-ubah.
Laporan teman tidur pasien yang menyaksikan langsung apnea nokturnal merupakan gejala
terpenting. Gejala khas lainnya adalah pada pagi hari terdapat keluhan sakit kepala, lelah saat
bangun tidur, mulut kering dan sakit tenggorokan, refluks asam lambung, episode seperti
tercekik atau terengah-engah di malam hari, nokturia hingga gejala berat seperti gangguan
kognitif dan ingatan.6

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal facies,
midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya, obesitas, gagal
tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau lipatan horizontal hidung. Patensi pasase
hidung harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran lidah,
integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan ukuran
uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan
auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal
misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan.
Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status
perkembangan.9

Pemeriksaan fisis juga dapat ditemukan normal namun peningkatan lingkar leher > 17
inchi lebih spesifik dibandingkan dengan IMT. Faktor risiko menjadi pertimbangan dalam
diagnosis yaitu obesitas, ukuran leher, hipertrofi adenoid atau tonsil, palatum mole yang
rendah, orofaring yang sempit, besar uvula dan lidah, deviasi septum nasi, retrognathia,
mikrognathia, gangguan endokrin, alkohol, sedatif, hipnotis, jenis kelamin ( laki-laki >
perempuan).6

Pemeriksaan Penunjang
A. Polisomnografi
Gold standard untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur semalam
dengan alat polysomnography / PSG). Parameter-parameter yang direkam pada
polysomnogram adalah electroencephalography (EEG), electrooculography
(pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG), electromyography (pergerakan
rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas pernapasan dan saturasi oksigen.
Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG adalah penurunan saturasi oksigen

4
berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari jalan napas atas (kadang-kadang pada
kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai dengan ≥ 50% penurunan
amplitudo pernapasan, peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan
stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen. Sebelum dilakukan
PSG, pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi kuesioner Berlin, bertujuan
untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini
terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendeng kur,
seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian
kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan
pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi,
berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang
dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas.
Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi. Seseorang dikatakan menderita OSA
jika terdapat:

1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.

2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa
kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang
hari dan gangguan konsentrasi.

3. Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea


per-jam selama tidur (AHI ≥ 5).

4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.

Saat ini sudah banyak terdapat alat Polisomnografi yang sifatnya po rtable atau
bergerak, kemudahan alat ini mampu mengurangi biaya serta mempermudah bagi
pasien yang akan melakukan pemeriksaan polisomnografi, akan tetapi alat ini
mempunyai keterbatasan.

Screening OSA dapat dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan untuk
menjaring pasien terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama
berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah
sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tid ur,
seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian

5
ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin
dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila
memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang
tinggi. Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur ringan
dengan AHI 5–15, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidur sedang
dengan AHI 15–30, saturasi oksigen 80–85% dan keluhan mengantuk dan sulit
konsentrasi, apnea tidur berat dengan AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80% dan
gangguan tidur. 7

B. Uji tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan
belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain sebagai
uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner ,
metode ini menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat diprediksi
dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83


• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan
OSAS berdasarkan nilai:
• Skor < -1 bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS


meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor >3,5
untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti dapat
menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak men yetujuinya. 7

C. Observasi selama tidur


Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di suruh
tidur di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis dengan

6
melakukan review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah. 5 Beberapa
variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan selama tidur,
frekuensi terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan mulut. Cara tersebut
mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai prediksi po sitif 83%, dan
nilai prediksi negatif 88%. 7
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry.
Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri.
Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan sebagai tes
skrining dan dapat memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik
suatu OSAS, tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan
hipoksia. Dengan menggunakan metode di atas nilai prediksi posi tif sebesar 97% dan
nilai prediksi negative 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi
selama tidur maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak
terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan
polisomnografi. 7

Etiologi

Etiologi terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat hipertrofi adenoid dan
tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas.9,10 Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan
yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding
lurus dengan berat ringannya OSAS. Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan
penyulit pada anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak OSAS
membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan menetap setelah
dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak dengan OSAS yang telah berhasil diatasi
dengan operasi adenotonsilektomi kemudian mengalami rekurensi gejalanya selama masa
remaja.10

Anak dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur saluran nafas
yang nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami OSAS. Pada anak dengan
disproporsi kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas meskipun tanpa disertai
hipertrofi adenoid.9

Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa obesitas merupakan
penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai penyebab utama.

7
Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian
atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran
nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahang. Penentuan obesitas dapat dilakukan
dengan cara menghitung body mass index (BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk
penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI. Telah
diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan
peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan mendengkur
dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran nafas
atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang
besar mempunyai velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat
mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur.10

Epidemiologi

Insidensi OSA diperkirakan 1–4% populasi umum. Penderita OSA dengan kebiasaan
mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan saturasi oksihemoglobin
sewaktu tidur dibandingkan tanpa mendengkur. Enam puluh persen pasien OSA adalah
kelebihan berat badan (berat badan lebih dari 20 persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal
faring dan indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea.1 Apnea dapat didefinisikan
sebagai hilangnya aliran udara sedikitnya 10 detik. Penurunan volume tidal melebihi 50%
tetapi di bawah 75% dari nilai dasar dengan terhentinya aliran udara sedikitya 10 detik disebut
hipopnea. Gabungan apnea/hipopnea merupakan patofisiologi obstructive apnea. Pada dewasa
muda normal, sampai dengan 5 apnea/hipopnea perjam saat tidur adalah fisiologis, frekuensi
ini meningkat sesuai umur.1 Obstructive sleep apnea umumnya terjadi pada dewasa muda,
biasanya antara umur 40–50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak–anak dan remaja.
Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan, tidak semua obesitas meskipun demikian
peningkatan berat badan mempengaruhi peningkatan frekuensi apnea/hypopnea dan penurunan
berat badan mempengaruhi penurunan apnea/hypopnea index (AHI).11

Patofisilogi

Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga aposisi dengan
dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Sewaktu tidur
oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran udara meskipun pernapasan masih
berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia sampai proses terbangun yang singkat dari tidur

8
dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan
kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya
terulang kembali. Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi
melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita
dengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropi adenotosilar,
magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan complaince saluran
napas atas meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif. Obesitas juga
berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang berlebihan pada dinding dada dan
disfungsi diafragma mengganggu upaya ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan
lidah menurunkan diameter saluran napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan
prematur saat jaringan otot relaksasi waktu tidur.7

Saat bangun, aktiviti otot saluran napas atas lebih besar dari normal, kemungkinan
kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi. Aktiviti otot yang
menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas atas sewaktu inspirasi. Reduksi
fisiologis aktivitas saluran napas atas terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif
menyebabkan depresi aktiviti otot saluran napas atas sehingga terjadi kolaps.1 Beberapa
penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi merupakan predisposisi kolaps saluran
napas atas karena tekanan negatif meningkat di faring saat inspirasi menyebabkan kontraksi
diafragma meningkat untuk mengatasi tahanan aliran udara di hidung. Akhir obstructive apnea
tergantung proses terbangun dari tidur ke tingkat tidur yang lebih dangkal dan diikuti oleh
aktiviti otot dilator dan abduktor saluran napas atas dan perbaikan posisi saluran napas.9

9
Gambar 2.1 Kelainan yang menyebabkan OSA sesuai letak anatomis

Klasifikasi

Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan
AHI 5–15, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidur sedang dengan AHI 15–30,
saturasi oksigen 80–85% dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat
dengan AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.7

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur
yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi,
mendengkur merupakan gejala awal yang timbul. Dengkuran pada anak dapat t erjadi
secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Riwayat
dengkuran lebih dari 3 malam dalam seminggu meningkatkan kecurigaan OSA. Pada
OSAS, pada umumnya anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras
terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan
gerakan badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur

10
yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan nafas, noisy breathing (nafas
berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur
biasanya tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan
patensi jalan nafas bahkan didapatkan anak berkeringat, gelisah,sering terbangun,
sampai sianosis. biasanya disertai keluhan sakit kepala pagi hari, kelelahan sepanjang
hari, iritabilitas, gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Akibat OSA yang sering
muncul saat fase REM menyebabkan seringnya timbul mimpi buruk seperti mimpi
tenggelam atau tercekik. Biasanya orang tua juga mengeluhkan kesulitan
membangunkan anak saat pagi hari serta anak sering mengeluhkan mulut kering,sakit
kepala, disorientasi, kelelahan dan rasa tidak nyenyak setelah tidur cukup. Anak sering
sulit konsentrasi di sekolah dan sering mengantuk saat membaca, menonton televisi
atau saat di mobil. Biasanya terjadi penurunan prestasi, mood berubah, dan
kecerobohan. 7
The Epworth sleepiness scale digunakan untuk menilai ngantuk pada
siang. OSA disuspek pada pasien dengan skor diatas 10. 7
Situation Chance of dozing

Sitting and reading ____________

Watching TV ____________

Sitting inactive in a public place (e.g a theater or a ___________


meeting)

As a passenger in a car for an hour without a break ____________

Lying down to rest in the afternoon when ____________


circumstances permit

Sitting and talking to someone ____________

Sitting quietly after a lunch without alcohol ____________

In a car, while stopped for a few minutes in traffic

______

11
Penilaian skor Epworth sleepiness scale
0 = no chance of dozing

1 = slight chance of dozing

2 = moderate chance of dozing

3 = high chance of dozing

Terapi dan Pencegahan

Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan bedah
dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat
berupa diet pada anak dengan obesitas dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway
Pressure ).8

1. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi


merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar. Tingkat
kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%. Pada anak dengan etiologi hipertrofi
adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi apabila disertai dengan risiko lain
seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS.
Meskipun demikian, karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran nafas atas
relatif kecil dibandingkan dengan ukuran absolute dari tonsil dan adenoid, maka para ahli
berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada keadaan di
atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan dengan
polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang gejala masih ada dan dalam beberapa
minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya seperti penanganan obesitasnya
tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.8

2. Continuous positive airway pressure (CPAP)

Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi, anak
obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Pada kelompok usia

12
anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan pasien dengan OSAS yang
menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Sebenarnya indikasi
pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien
masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut
memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.8

Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau dengan
tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Efek samping
CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar selang masker.
Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit.
Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan
menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.

3. Penurunan berat badan

Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan penurunan
berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata. Penurunan berat badan
merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi obesitas.
Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari pada dewasa.
Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan berat badan secara drastis tidak
dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam
yang menangani pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara
perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama.

Selain memperbaiki diet pada obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain
yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu sambil
menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus digunakan
sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan berat badan akan
memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat menurunkan gejala OSAS. Dalam hal
penanganan obesitas termasuk di dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga
(exercise), dan obatobatan. Pada pasien OSAS yang berat dan member komplikasi yang
potensial mengancam hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.8

4. Obat-obatan

13
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya
OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau steroid inhaler.
Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada pasien anak dengan obesity
hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian obat-obat tersebut kurang bermakna
sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang mengandung alkohol harus
dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.8

Komplikasi

Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep


fragmentation.

1. Komplikasi neurobehavioral

Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal dan sleep


fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang berlebihan dilaporkan terjadi pada 31%
- 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain yang dapat menyertai OSAS adalah keterlambatan
perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang baik, hiperaktifitas, sikap yang
agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang
lebih ringan dapat sering terjadi. Suatu penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat
menyebabkan perbaikan yang nyata pada fungsi kognitif.8

2. Gagal tumbuh

Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan OSAS
kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS adalah anoreksia, disfagia
sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil, peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia.
Pertumbuhan yang cepat terjadi setelah dilakukan adenotonsilektomi.8

3. Komplikasi kardiovaskular

Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat


mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab kematian pasien
OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal. Prevalensi hipertensi
pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui. Dilaporkan kor pulmonal terjadi pada 55%
dari 22 anak dengan OSAS dan adanya cardio respiratory failure pada 20% dari 50 pasien.8

14
4. Penyakit respiratorik

Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari respiratorik atas yang
dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan terjadinya infeksi
respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil yang besar mengalami disfagia atau merasa
sering tercekik dan mempunyai risiko untuk mengalami aspirasi pneumonia.8

5. Gagal nafas dan kematian

Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan OSAS yang
berat atau akibat komplikasi perioperatif.8

BAB III

KESIMPULAN

Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya episode apnea atau
hipopnea pada saat tidur. Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi
adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, dan obesitas.

Diagnosis OSAS secara definitif menggunakan polisomnografi yaitu adanya indeks


apnea atau hipopnea lebih dari lima. Sebagai alternatif diagnosis adalah menggunakan skor
OSAS, observasi tidur dengan menggunakan pulse oksimetri dan pemeriksaan laboratorium.

Tata laksana OSAS pada anak adalah pengangkatan adenoid (adenoidektomi dan/atau
tonsilektomi). Angka keberhasilannya cukup tinggi yaitu sekitar 75%. Selain itu diet untuk
penurunan berat badan pada obesitas, serta pengunaan CPAP (continuous positive airway
pressure).

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gangguan tingkah laku, kelainan kardiovaskular,
dan gagal tumbuh.

Diharapkan dengan penanganan yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka
mortalitas dan angka kecacatan yang ditimbulkan oleh OSAS.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Quan SF, Wright R, Baldwin CM, Kaemingk KL, Goodwin JL, Kuo TF, et al. Obstructive
sleep apnea–hypopnea and neurocognitive functioning in the sleep heart health study. Sleep
Medicine.2009;7:498-507.

2. Felmet KA, Petersen M. Obstructive sleep apnea and cognitive dysfunction. JAAPA.
2010;11:16-20.

3. Wiadnyana IPGP, Susanto AD, Amri Z, Antariksa B. Prevalensi kemungkinan obstructive


sleep apnea dan faktor-faktor yang berhubungan pada pengemudi taksi X di Jakarta. J Respir
Ind. 2010;30(1):1-13.

4. Punjabi NM. The epidemiology of adult obstructive sleep apnea. Proc Am Thorac Soc.
2008;5:136-43.

5. Thorpy MJ, Broughton RJ, Cohn MA, Czeisler CA, Dement WC, Ferber R, et al. Obstructive
Sleep Apnea Syndrome. In: International classification of sleep disorders, editors. Diagnostic
and coding manual. Westchester: American Academy of Sleep Medicine;2010.p.52-61.

6. Kryger MH, Roth T, Dement WC. Principles and Practice of Sleep Medicine. 4th edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2011. p. 1252-9. 21

7. Bambang Supriyatno. Buku ajar respirologi anak. Dalam: Obstructive Sleep Apnea
Syndrome (OSAS) pada anak. Cetakan ketiga. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012.

8. Committee Advisory. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep


Apnea in Adult. 2005.

9. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors obstructive sleep
apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system as diagnostic prediction. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.

10. Supriyanto Bambang, dkk. Obstructive Sleep Apnoe Syndrome pada anak. Sari pediatrik,
Volume 7. Jakarta; 2005.

11. Omidvari K. Sleep disorders. In: Ali juzar, Summer Warren, Levitzky Michael, editors.
Pulmonary pathophysiology. New york: McGraw-Hill; 2000. p.283-90.

16

You might also like