You are on page 1of 13

BAB.

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, Allah menciptakan manusia untuk
beribadah kepada-Nya dan untuk melakukan hal-hal yang baik kepada sesama manusia dan
untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Beribadah adalah suatu perbuatan yang dilakukan pada
manusia untuk menyembah tuhan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Dalam bagimana manusia ber-Tuhan, kalian bisa melihat dalam dunia ini, ada manusia yang ber-
Tuhan tapi tidak ber-Agama, begitu juga sebaliknya ada manusia yang ber-Agama tetapi tidak
ber-Tuhan. Sementara itu, dalam masalah ber-Tuhan dan ber-Agama menjadi masalah utama
dalam keimanan dan keislaman, keimanan kepada tuhan itu lah yang akan menjadi dasar orang
dalam memeluk Agama
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut :

 Apa Pengertian Manusia?


 Apa Pengertian Tuhan?
 Bagaiman Manusia Bertuhan?
 Bagaimana Cara Manusia Meyakini & Mengimani Tuhan?
1.3 Tujuan Masalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan:

 Berbagai Pengertian Manusia


 Pengertian Tuhan dan Sifat Tuhan
 Manusia Bertuhan
 Penerapan Bagaiman Manusia Bertuhan
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna menjadi penambah wawasan mengenai
Bagaimana Manusia Bertuhan. Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca bila suatu saat berkecimpung di Masyarakat.
1.5 Prosedur Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan
adalah metode noninteraktif. Melalui metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang
dibahas secara jelas dan komprehnsif. Data teorits dalam makalah ini dikumpulkan dengan
menggunkan hasil kajian pustaka.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manusia
Manusia selain berperan sebagai khalifah di bumi memiliki kedudukan lainnya di alam
ini, yaitu sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah swt. (QS. Adz-Zariat, 51:56). Al-
Maraghi menjelaskan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia agar mereka dapat mengetahui
atau mengenal Tuhannya, mereka tidak hanya mengenal wujud Tuhannya saja, namun mereka
juga dapat meyakini keberadaannya. Itulah konsekwensi logis dari kedudukan manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang selalu bergantung dan berlindung kepada-Nya.
Esensi dari ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu hanya
layak diberikan kepada Tuhan. Ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan akan senantiasa berlaku
pada manusia dan makhluk ciptaan lainnya, oleh karena itu manusia terikat oleh hukum-hukum
Tuhan yang telah menjadi kodrat pada setiap makhluk ciptaannya. Namun sebagai makhluk yang
memiliki kemuliaan dan kelebihan dibanding yang lainnya, manusia tidak sepenuhnya terikat
pada hukum alamiah saja, karena dengan kemampuan akalnya ia mampu untuk mengolah
potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya, sehingga kemudian
manusia terikat oleh hukum-hukum berfikir dalam upaya mengembangkan dan mewujudkan
pemikirannya.
Jika pengertian ibadah dihubungkan dengan pengertian khalifah maka dapat dijelaskan
bahwa manusia sebagai khalifah yang berarti penguasa alam semesta memiliki kekuasaan dan
kebebasan untuk berfikir dan menggunakan akalnya, sedangkan manusia sebagai ‘abd adalah
seorang yang tidak memiliki wewenang untuk menentukan pilihan, tidak memiliki kebebasan
untuk berkehendak. Jadi dapat disimpulkan bahwa esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan
kreatifitas, sedangkan sebagai ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian manusia selain sebagai khalifah yang mengelola dan memelihara alam
semesta ini dengan segala potensi-potensi yang dimilikinya, juga sebagai ‘abd yang seluruh
aktifitasnya harus berdasarkan ibadah kepada Allah. Jika hal ini terlaksana dengan baik, maka
manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat kemungkaran, korupsi dan perbuatan yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi ke-khalifahan dan
ibadah dengan baik, maka manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pelatihan,
keterampilan, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan demikian secara tersirat
menunjukan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan
pendidikan.

2.2 Menurut Pola Pemikiran Biologis


Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur
fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa
kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-
kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia
yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat
ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya.
Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia
yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya.
Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini,
manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang
menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan
sesamanya.
2.3Manusia Menurut Pola Psikolgis
Kekhasan Pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu
pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada
pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger
mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud.
Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan
bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual.
Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek
budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut Binswanger,
memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan dorongan-dorongan
alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk memberi arah pada hidupnya.
Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan manusia untuk mengatasi dirinya sendiri
dalam penggunaan kebebasannya yang menghasilkan keputusan-keputusan dasar. Freud dengan
psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan
dari dalam dirinya yang bersifat instinktif
Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula
memang sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas
“nasibnya” sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan
dan instink biologisnya. Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang
manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia
pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap “nasib”
dirinya sendiri.

Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya adalah Rogers mengatakan
bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal dapat menentukan
“nasibnya” sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Pandangan behavioristik pada dasarnya
menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol
atau dikendalikan oleh faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku
manusia adalah lingkungan.
Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada
hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukumhukum belajar
seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari pandangan ini adalah
Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3) Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat
disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia,
sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan
psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik
karena pengaruh faktor internal maupun eksternal.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu
tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja
ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat,
tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan
itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau
otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat
mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan desakan faktor
eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak
lain.
2.4 Manusia Menurut Pola Pemikiran Sosial-Budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya,
dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuksejarah. Menurut pola ini, kodrat
manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu
tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami
kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional
dan melalui mitos-mitos.
Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu
kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang
melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung.
Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan
mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan
pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer (1990: 39-40) seorang
filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk
yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni
zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan
ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia sebaai animal rationale dianggap tidak
memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami bentuk- bentuk kehidupan budaya
manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya.
Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni
makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol(1990: 40) Pada bagian
lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik
atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan
manusiawilah yang menentukan dan membatasi dunia.
2.5 Manusia Menurut Pola Pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu
tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono
dalam buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat, 1982:38). Menurut Eliade,
homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan
nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam
materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia.
Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi,
membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo
religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia
modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya,
yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang nonreligiosus, kehidupan ini
tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Menurut Soerjanto Poespowardojo sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga
Rampai tentang Filsafat Manusia (1978: 3) bahwa untuk memahami manusia bukan dari
kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi
perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang
sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan
yang riil.
Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren
Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku
tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati:
semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah
kehidupannya. Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat manusia
sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu
memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah,
maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan sehat. Ia membutuhkan hiburan
agar hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik dan rohani.
Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang
belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan berkarya.
Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang manusiawi. Dalam kerjalah
tercermin mutu serta martabat manusia.
2.6 Pengertian Tuhan
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang
Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan
Hakim bagi semesta alam.
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa
(tauhid ). Dia itu wahid dan Esa (ahad ), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut Al-Quran
terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya:"nama-nama yang paling baik") yang
mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah,
nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal
dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-
rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan
kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan
menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul di mana
pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang
Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang
personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia
menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di
atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.
Dalam membahas pengertian Tuhan, setidaknya kita harus mencakup 5 hal. 5 hal itu
merupakan suatu gambaran kesatuan yang dapat memperjelas tentang gambaran Tuhan secara
lengkap, 5 hal tersebut adalah:

2.7 Wujud
Percaya akan ada atau tidak Tuhan sangat mempengaruhi cara dan pola kehidupan yang
dijalani manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi berusaha keras mencari jawaban yang
argumentatif dan meyakinkan akan keberadaan Tuhan. Kuat atau tidaknya argumen tersebut
tergantung pada bukti- bukti yang ditemukan. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.Dalil Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan melalui ayat Al-Qur’an atauwahyu ilahi.
b.Argumen Aqli, yaitu argumen yang dikemukakan lebih merupakan produk pemikiran rasio
akal manusia. Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah:
1.Dalil Gerak
2.Sebab Akibat
3.Dalil Wahyu
c.Dalil Empiris
Merupakan bukti yang didapat dari hasil pengamatan inderawi secara langsung terhadap
fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu sendiri. Diantara bukti tersebut adalah:
1.Dalil Kosmologi
2.Dalil Teologi
d.Dalil Psikofisik
Argumen yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia misteri jiwa atau ruh dapat
mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui penempaan spiritual, mampu melalui daya-
daya imajinatif kreatifnya untuk menggapai realitas ilahiyah, atau melalui fenomena ini
sebagaimana dialami oleh para nabi dalam menerima wahyunya.
e.Argumen Moral
Argumen tentang nilai baik buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata ini. Tuhan
menjadi sumber kebaikan dan kasih sayang serta disembah oleh orang dengan satu sembahan
yang berisi cinta dan keimanan.
2. Dzat Tuhan
Pembahan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan pemikiran
jernih dan mendalam. Penalaran secara umum dilarang membahas dzat Tuhan. Dengan demikian
larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak, namun melihat keadaan pemikiran
seseoarang. Adapun pemikiran filsafat tentang dzat Tuhan adalah sebagai berikut:
a. Ada yang menyatakan bahwa hakekat dzat Tuhan adalah akal yang bersifat murni
metafisik.
b. Ada yang mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah cahaya.
3. Sifat
Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu Aliran
Antrophomorfisme dan Teophomorfisme. Yang pertama disebut sebagai tasybih, yaiti
menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang dapat dikenali secara mudah oleh
manusia. Yang kedua, tanzih, yaitu ketidak serupaan sama sekali sifat Tuhan dengan sifat
manapun makhluknya dan hanya Tuhan sendiri yang tahu hakikat sifatnya. Tasybih merupakan
sikap imanensi Tuhan, dan tanzih sikap mentrandensikan Tuhan.
4. Nama-Nama Tuhan
Nama adalah sebutan yang bersifat simbol, tertanda yang dinisbahkan kepada suatu
realitas. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjuk kepada realitas
Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan sifatnNya. Oleh karena itu,nama-nama Tuhan adalah
kesatuan dari realitas Tuhan secara keseluruhan.
5. Af’al, Perbuatan Tuhan
Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan semesta
ini. Perbuatan Tuhan, juga tudak lepas dari maujud, dzat, nama, dan sifatnya.
2.8 Manusia Sebagai Makhluk Bertuhan
1.Pengertian
Manusia adalah makhluk ber-Tuhan, pola pemikiran ini bertolak dari pandangan
manusia sebagai makhluk homo religious. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan
Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimesional:
Sebuah renungan filsafat,(1982:38). Menurut Eliade,homo religius tipe manusia yang hidup
dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas
yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan,dan manusia.
Sebagai makhluk religius manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan supranatural dalam
dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusia disebut Tuhan.
Sebagai mahluk Tuhan, manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.Mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan yang diwujudkan dengan berbagai cara.
b.Menyadari bahwa dunia serta isinya adalah ciptaan Tuhan
c.Manusia dianugerahi akal dan budi yang dapat dikembangkan secara maksimal
d.Manusia memiliki keterbatasan yang kadang sukar dijelaskan
Ciri-ciri tersebut dapat kita amati dalam berbagai perilaku manusia dalam kesehariannya.
Keyakinan akan adanya Tuhan membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan
dengan cara menghambakan diri, yaitu:

 menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari
Tuhan
 menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal
dari bahasa Sanskerta,āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan
konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-
ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Émile Durkheim
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebagai orang yang beragama, manusia
meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia pilihan yang disebt dengan rasul
yang dengan wahyu Tuhan tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna
dan lebih bertaqwa.
2. Hubungan kebudayaan dengan agama
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, agama sumbernya adalah wahyu
dari Tuhan. Tuhan mengutus Rasul untuk menyampaikan agama kepada umat. Dengan
perantaraan malaikat, Tuhan mewahyukan firman-firman-Nya di dalam kitab suci kepada
pesuruh-Nya. Isi kitab suci itu berasal dari Tuhan, disampaikan oleh malaikat, diucapkan oleh
Rasul, sehingga dapat ditangkap, diketahui, dipahami dan selanjutnya diamalkan oleh umat.
Contoh: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Dari pembahasan di atas jelas terlihat bahwa agama
bersumber dari Tuhan sedangkan kebudayaan sumbernya dari manusia. Jadi, agama tidak dapat
dimasukkan ke dalam lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tak
dapat dimasukkan ke dalam hasil ciptaan manusia.
Orang-orang Atheis umumnya beraggapan bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia yang
timbul dari perasaan takutnya. Semuanya bersumber pada materi, jadi Tuhan juga hasil
perkembangan-perpautan materi-materi akal manusia. Oleh golongan ini agama dipandang
sebagai cabang kebudayaan, karena agama merupakan cara berpikir dan merasa dalam
kehidupan: suatu kesatuan sosial mengenai hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agama ini
dapat diistilahkan dengan: “agama budaya”, seperti misalnya animisme, dinamisme,
naturalisme,spritualisme, agama Kong Hucu, agama Sinto.
Bagi orang yang ber-Tuhan adalah sebaliknya. Alam semesta ini menurut mereka adalah
ciptaan Tuhan. Dengan demikian agama dapat ikut mempengaruhi terciptanya kebudayaan,
sedang kebudayaan tak dapat mencipta agama. Sebagaimana halnya Tuhan dapat mempengaruh
manusia, tetapi manusia tidak dapat mempengaruhi Tuhan. Jadi jelas bahwa agama bukan bagian
dari kebudayaan, tetapi berasal dari Tuhan. Kebudayaan mengatur hubungan manusia dengan
manusia dan alam nyata. Sedang agama selain mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
alam nyata, juga mengatur hubungan dengan alam gaib, terutama dengan Yang Maha Esa.
3.Pengaruh Agama Terhadap Kebudayaan
Akulturasi dalam lapangan agama dapat mempengaruhi isi iman dan budi yang tinggi.
Akulturasi dalam lapangan agama tersebut dinamai: “syncrotisme”(perpaduan antara dua
kepercayaan) misalnya agama Jawa terdiri dari Islam bercampur dengan Budha.
Menurut Prof. Koesoemadi SH: Pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan
Indonesia itu bersifat “penetration pasifique e suggestive” artinya bersifat damai dan mendorong.
Sebab datangnya kebudayaan Hindu bersifat menggiatkan dan meninggikan kebudayaan
Indonesia-Kuno dengan tiada melepaskan kepribadian, dan setelah kebudayaan Hindu hilang,
kebudayaan Indonesia tetap kaya dan tetap tinggal dalam kepribadiannya.
Menurut Yosselin de Yong: Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Indonesia bersifat
penetration pasifique dan tolerante et constructive (damai dan membangun). Jadi tidak hanya
damai dan mendorong saja, tetapi juga membangun. Seperti pengaruh-pengaruh Islam dalam
perkawinan, warisan, hak-hak wanita dan lain-lain. Pengaruh Islam tidak hanya pada
kepercayaan dan adat istiadat sehari-hari, bahkan sampai pada bidang hukum dan upacara-
upacaranya misalnya: hari besar Islam, upacara kematian, selamatan-selamatan, mengubur
mayat, doa, wakaf, warisan, letak mesjid, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat diambil beberapa pengaruh agama terhadap kebudayaan.
Contohnya ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi
perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap
masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri
timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun
kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius.
Contoh lain adalah pengaruh agama terhadap kebudayaan masyarakat Banjarmasin yang
terlihat pada tradisi Baayun Maulid. Baayun asal katanya “ayun” yang diartikan”melakukan
proses ayunan”. Asal katamaulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad
SAW. Sebelum mendapat pengaruh Islam, maayun anak udah dilaksanakan ketika masyarakat
masing menganut kepercayaan nenek moyang. Tradisi asalnya dilandasi oleh kepercayaan
Kaharingan.
Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama,
akhirnya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Dengan demikian, baayun anak adalah salah
satu tradisi simbol pertemuan antara tradisi dan pertemuan agama. Inilah dialektika agama dan
budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya.
2.9 Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan
Mengingat Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden dan Gaib (ghā`ibul ghuyūb), maka manusia
tidak mungkin sepenuhnya dapat mempersepsi hakikat-Nya. Manusia hanya mampu merespon
dan mempersepsi tajalliyāt Tuhan. Dari interaksi antara tajalliyāt Tuhan dan respon manusia,
lahirlah keyakinan tentang Tuhan. Tajalliyāt Tuhan adalah manifestasi-manifestasi Tuhan di
alam semesta yang merupakan bentuk pengikatan, pembatasan, dan transmutasi yang dilakukan
Tuhan agar manusia dapat menangkap sinyal dan gelombang ketuhanan.
Dengan demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap penampakan
(tajalliyāt) dari-Nya. Dengan kata lain, meyakini atau memercayai Tuhan artinya pengikatan dan
pembatasan terhadap Wujud Mutlak Tuhan yang gaib dan transenden yang dilakukan oleh subjek
manusia melalui kreasi akalnya, menjadisebuah ide, gagasan, dan konsep tentang Tuhan. Tajallī
Tuhan yang esa akan ditangkap oleh segala sesuatu (termasuk manusia) secara berbeda-beda
karena tingkat kesiapan hamba untuk menangkapnya berbeda-beda. Kesiapan (isti’dād) mereka
berbeda-beda karena masing-masing memiliki keadaan dan sifat yang khas dan unik.
Karena penerimaan terhadap tajallī Tuhan berbeda-beda kualitasnya sesuai dengan
ukuran pengetahuan hamba, maka keyakinan dan keimanan pun berbeda satu dengan yang lain.
Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek, yaitu keyakinan dan indikator praktis.
Apabila mengacu pada penjelasan di atas, keyakinan dapat dimaknai sebagai pembenaran
terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep tentang Tuhan) sehingga ia menjadi aturan dalam
hati yang menunjukkan hukum sebab akibat, identitas diri, dan memengaruhi penilaian terhadap
segala sesuatu, serta dijalankan dengan penuh komitmen.
Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku yang
dilakukan manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus dibuktikan dengan
amal saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman tersebut. Indikator keimanan yang
praktis dan terukur inilah yang bisa dijadikan patokan bagi seseorang untuk menilai orang lain,
apakah ia termasuk orang baik atau tidak baik. Nabi mengisyaratkan bahwa indikator keimanan
minimal ada 73, dari yang paling sederhana seperti menyingkirkan duri di jalan umum sampai
indikator yang abstrak seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada yang lain.

Keimanan seseorang bertingkat-tingkat dan mengalami pasang surut seperti sinyal


handphone. Ada kalanya seseorang dapat mencapai tingkat keimanan yang tinggi seperti sinyal
handphone yang baru dicharge, namun ada kalanya seseorang memiliki keimanan yang rendah
seperti baterai handphone yang ngedrop.
Selama seseorang memiliki indikator keimanan walaupun ibarat sinyal HP hanya tinggal
segaris saja, ia tetap dikatakan beriman. Meskipun dikatakan masih beriman, ia memiliki juga
indikator-indikator kekufuran. Apabila si pendosa ini terus-menerus melakukan
indikatorindikator kekufuran dan sampai puncaknya ketika ia berani secara terang-terangan
melawan Tuhan dan rasul-Nya, maka ketika itu ia dikatakan telah terjerumus dalam kekufuran
(yang bersifat mutlak).
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka menilai seseorang kafir atau tidak kafir, bukan
dilihat dari keyakinannya, sebab keyakinan tidak bisa dilihat. Yang dijadikan patokan untuk
menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah amalnya, sebagai indikator praktis yang bisa
diukur. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan gampang menuduh orang kafir, apalagi
penilaian tersebut hanya dilandasi oleh asumsi dan persepsi sepihak. Iman terbentuk karena
peran Tuhan dan manusia. Peran Tuhan dalam pembentukan iman terletak pada karunia-Nya
berupa akal dan potensi kebertuhanan yang disebut dengan roh.
Karena adanya akal dan roh inilah, manusia mempunyai potensi keimanan kepada Allah.
Namun, mengingat potensi tersebut harus dipersepsi dengan cara tertentu sehingga menjadi
keyakinan, maka iman pun membutuhkan peran manusia. Proses pembelajaran, pembiasaan,
pengalaman, dan indoktrinisasi yang dilakukan oleh guru, orang tua, orang-orang di lingkungan
sekitar, dan kebiasaan sosial juga bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi pembentukan
iman. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan iman identik dengan
pembentukan karakter. Orang yang beriman adalah orang yang berkarakter. Beriman kepada
Allah berarti memiliki karakter bertuhan.
Dalam bahasa agama, karakter identik dengan akhlak. Menurut Imam Ghazali, akhlak
adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap dan perilaku secara spontanitas dan disertai
dengan perasaan nikmat dan enjoy ketika melakukannya. Oleh karena itu, orang beriman kepada
Tuhan atau memiliki karakter bertuhan adalah seseorang yang meyakini Tuhan sebagai sumber
kebenaran dan kebajikan tertinggi, mengidentikkan diri dengan cara banyak meniru akhlak
Tuhan dalam bersikap dan berperilaku, dan memiliki komitmen kepada nilai-nilai tersebut.
2.10 Iman Kepada Allah
Iman kepada allah merupakan sebuah kewajiban bagi pemeluk agama islam. Bisa
dikatakan ini merupakan sebuah pondasi dimana kita akan menjalani dan mengikuti segala
perintah dan larangan yang telah disebutkan di dalam Al-quran dan Al-hadist. Dengan adanya
iman kepada Allah, maka kita akan dengan senantiasa berada di jalan yang lurus.
Arti dari beriman kepada allah sebenarnya sangat simple, yaitu dengan meyakini bahwa
Allah itu ada dan mengikuti segala perintahnya. Jika kamu benar-benar yakin bahwa Allah itu
ada, maka normalnya kamu akan mengikuti segala perintah dan menjauhi larangannya. Dan
apabila tingkat keyakinanmu mencapai seuatu level tertentu, maka kamu akan selalu
mengingatnya setiap saat. Inilah yang disebut dengan mencintai Allah SWT.
Meyakini akan eksistensi Allah memang bukan sebuah bakat yang sudah ada sejak kita
lahir. Sebagai makhluk yang berakal dan diberi kebebasan berkehendak, sudah sepatutnya kita
berfikir bagaimana kita tercipta, siapa pencipta alam semesta, atau kemana kita akan pergi
setelah mati nanti. Inilah yang akan membawa kita kepada jawaban yang akan menghasilkan
iman kepada Allah.
Setiap orang memiliki tipe dan cara berbeda bagaimana ia dapat meyakini akan eksistensi
Allah SWT. Ada 4 tipe berbeda yang menyebabkan mengapa orang akan meyakini akan
keberadaan Allah. Diantaranya adalah:
1. Iman yang disebabkan oleh akal sehat
Di tipe ini orang akan beriman kepada Allah hanya dengan berfikir dengan menggunakan
akal sehatnya. Seperti berfikir tentang manusia yang dari dulu hingga sekarang pasti ada
penciptanya. Manusia tidak mungkin dapat menciptakan dirinya sendiri. Seperti yang disebutkan
pada firman Allah:
Apakah mereka ini diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri) (QS; At-Thur:35)
2. Iman yang disebabkan reward/hadiah
Sewaktu kecil mungkin kita biasa mendengar kalimat yang mengatakan bahwa jika kita
melakukan suatu perbuatan baik, maka kita akan mendapatkan pahala dan masuk surga. Ternyata
bagi sebagian orang ini dapat membuat mereka
seketika mempercayai eksistensi tuhan mereka dan termotivasi untuk selalu berbuat baik agar
dapat masuk surga
3. Iman yang disebabkan oleh hukuman
Kebalikan dari reward, hukuman juga dapat membuat sebagian orang takut dan akhirnya
beriman kepada Allah. Hukuman yang diberikan ketika masih berada di dunia hingga panasnya
api neraka dapat membuat sebagian orang berfikir dua kali untuk tetap melakukan larangan-
larangannya. Semoga kita semua terhindar dari hukuman di dunia dan azab api neraka.
4. Iman yang disebabkan oleh logika
Bagi sebagian orang, ketiga hal yang disebutkan diatas tidak dapat membuat mereka
yakin begitu saja dengan keberadaan Allah s.w.t. Biasanya ini adalah orang-orang yang biasa
menggunakan logikanya dalam berfikir. Orang-orang yang memiliki tipe seperti ini harus mau
mempelajari lebih dalam tentang islam dan mencari kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan
mereka. Logika seperti apakah yang akan membuat orang-orang ini akan beriman kepada Allah?
Salah satunya ialah logika tentang kebenaran akan isi Al-quran yang membantu para ilmuan
untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta. Di luar sana ada beberapa
pemuka islam yang juga memiliki tipe seperti ini, salah satunya adalah Zakir Naik dan Ahmed
Deedad.

Kesimpulan
Dari hasil uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa cara manusia bertuhan itu berbeda-
beda, ada yang bertuhan ada yang menerima segala kepastian yang menimpa diri dan saekitarnya
dan yakin berasal dari tuhan, ada juga yang menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang
diyakini berasal dari tuhan. Bahkan ada manusia yang hanya bertuhan saja ada juga yang
beragama saja, yang dimaksud bertuhan saja manusia itu hanya mengakui keberadaan tuhan saja,
mengakui kebesarannya tetapi dia tidak mengikuti perintah Tuhan-Nya, sedangkan yang
beragama saja dia hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh agamanya, tetapi dia tidak
mengakui keberadaan Tuhan-Nya. Jadi lebih baik kita beragama dan juga bertuhan, itu akan
lebih baik dari pada hanya bertuhan saja atau hanya beragama saja, sebab kita akan bisa
mengenal lebih dekat dengan Agama dan Tuhan kita.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://eprints.uny.ac.id/285/1/URGENSI_MEMAHAMI_HAKEKAT_MA NUSIA.pdf

2. file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-
SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
4. http://www.entrepreneurmuslim.com/4-tipe-sebab-orang-beriman-kepada-allah
5. Prasetya, Joko Tri. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
6. Abid Al-Jabiri, Muh. 2000. Binyah al-Aql al-Araby. Tanpa kota: Markaz Dirasat al-
Wahdah al-Arabiyah.
7. Al-Khatib, Sulaiman. Tanpa tahun. Al-Falsafah al-‘Aammah waalAkhlaaq. Minia:
Jami‟ah Minia.
8. Aman, Saifudin. 2013. Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Jakarta: Ruhama.
9. Hossein, Nasr Seyyed. 1994. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Generasi
Muda Muslim. Bandung: Mizan.
10. Mubarok, Achmad. 2002. Pendakian Menuju Allah. Jakarta: Khazanah Baru.
11. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Dian Rakyat.
12. Sauq, Achmad. 2010. Meraih Kedamaian Hidup Kisah Spiritualitas Orang Modern.
Yogyakarta: Sukses Offset.
13. Sukidi. 2002. Kecerdasan Spiritual. Jakarta: Gramedia.

You might also like