You are on page 1of 12

SEPSIS

1. Definisi
Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah
hasil konferensi American Collage of Chest Physician/Society of Critical
Care Medicine pada tahun 1992, yang menghasilkan suatu konsensus :
a. Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan
adanya invasi terhadap jaringan normal/sehat/steril oleh
mikroorganisme atau hasil produk dari mikroorganisme tersebut
(toksin).
b. Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu
fokus infeksi yang disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos
ke dalam sistem sirkulasi.
c. SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon
inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis
yang berat. Respon ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala
berikut :
1) demam (suhu tubuh > 38 oC) atau hipotermia (< 36 oC)
2) takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
3) takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32
torr (< 4.3 kPa)
4) leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia
(jumlah leukosit < 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang
immature > 10%.
d. Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.
e. Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai
disfungsi organ, hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak
disertai keadaan asidosis laktat, oliguria, gangguan status
mental/kesadaran) atau hipotensi.
f. Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan
tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah
dilakukan resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status
mental/kesadaran).
g. Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah
sistolik < 90 mmHg atau adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan
darah dasarnya.
h. MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan
perubahan fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostasis tidak
dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.
i. MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya
sistem organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan
tindakan stabilisasi homeostasis.
2. Patogenesis
Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir
area yang cedera atau destruksi jaringan yang bertujuan merusak,
mengencerkan, atau membatasi penyebab trauma dan kerusakan jaringan
tersebut. Pada tahap awal reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang
berbeda) selalu melibatkan aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes
expressing cytokines intraseluler dan mediator-producing enzymes).
Respon inflamasi ditandai dengan :
a. Aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin,
fibrinolisis
b. Respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis,
makrofag, sel mast. Tipe sel efektor yang pertama kali diaktivasi sangat
tergantung pada tipe pemicu cedera (perdarahan, iskemia, kontaminasi
bakteri). Sel efektor melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals,
histamin, eicosanoid, faktor koagulasi.
Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme
peningkatan (up-regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi
(down-regulatory mechanism) yang sangat komplek. Walaupun pemicunya
berbeda, tetapi patofisiologinya tidak lepas dari penyebabnya adalah infeksi
atau non-infeksi dan bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu saat ini
mekanisme seperti itu disebut sebagai common pathway of inflamatory
respons.
Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai
aktivasi lokal respon inflamasi tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di
jaringan tersebut. Intensitas dari respon inflamasi tersebut merupakan
refleksi biologik yang bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang
terjadi atau berat-ringannya infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma
atau infeksi ringan menyebabkan respon inflamasi lokal terbatas atau LIRS
(Local Inflamatory Respon Syndrome). Namun apabila luka traumatik
tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi respon
inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS).
Respon inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada organ jauh
(remote organ) akibat dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi
sistemik akan mengakibatkan terjadinya MODS (Multiple Organ
Dysfunction Syndrome).
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan
organ melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :
a. Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil
masuk ke sirkulasi sistemik.
b. Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil
masuk ke dalam sirkulasi sistemik walaupun mikroorganisme
terlokalisir.
c. Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi
intensitas respon lokal sangat hebat mengakibatkan terlepas dan
terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik
(sitokin kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF,
interleukin 1,6,8,12,18, interferon-g, sitokin antiinflamatory :
interleukin 4,10; komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit
(PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO),
eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events (activators),
yaitu :
a. Mikroorganisme
Mekanisme pertahanan normal tubuh terhadap infeksi terdiri dari
pertahanan fisik (kulit-membran mukosa), pertahanan kimia, sistem
fagosit (PMNs, makrofag, monosit), humoral immunity (sistem
antibodi, komplemen) dan cellular immunity.
Faktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh
mikroorganisme pada individu adalah patogenitas mikroorganisme,
status pertahanan tubuh host, lingkungan dan benda asing.
b. Endotoksin dan eksotoksin
Endotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif,
yang terdiri dari lapisan membran dalam dan luar. Pada lapisan luar
terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang mempunyai efek
toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor,
seperti pemicu lepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor
(mediator primer). Target sel utama atau efektor utama yang dipicu
endotoksin adalah sel endotel dari pembuluh darah.
Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara
langsung atau melalui aktivasi bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi
dengan membran sel sel makrofag melalui terjadinya reaksi reseptor-
antigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam
sitokin.
c. Jaringan nekrotik
Merupakan aktivator untuk aktifnya makrofag. Memberikan
lingkungan baik bagi pertumbuhan maupun invasi kuman
d. Trauma jaringan lunak
Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan
pelepasan mediator sekunder atau sinyal pada sel efektor.
e. Ischaemic-reperfusion
Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga
oksigenisasi jaringan akan berkurang, yang berakibat timbulnya
perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob di tingkat seluler.
Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi
disertai dengan oksigenisasi yang baik pada sel/jaringan pasca iskemia.
Aktivator-aktivator tersebut akan memicu aktivasi
5 inisiator inflamasi. Inisiator tersebut akan memicu pula pelepasan
mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung
jawab sebagai elemen-elemen dari komponen respon inflamasi. Kelima
inisiator tersebut akan saling mempengaruhi dan saling meningkatkan
respon fisiologik yang spesifik dalam bentuk berbagai elemen komponen
inflamasi, yaitu :
a. Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).
Merupakan prinsip, bahkan yang terpenting sebagai inisiator
inflamasi. Cedera pada jaringan dan pembuluh darah kecil akan
merangsang terjadinya kaskade pembekuan(coagulation
cascade) untuk mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein
koagulasi akan menghasilkan produk yang dapat merangsang
terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII(juga dikenal sebagai Faktor
Hageman) yang aktif adalah suatu mediator penting untuk terjadinya
perubahan mikrosirkulasi pada luka. Walaupun efek langsungnya
minimal, namun faktor ini sangat berpengaruh dalam stimulasi dan
penguatan inisiator yang lain.
b. Platelet aktif.
Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya
diasosiasikan dengan proses trombosis dan hemostasis. Platelet yang
aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon inflamasi.
Larutan platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten
bila disuntikkan pada jaringan hewan percobaan. Peran vasoaktif
produk platelet telah diketahui, terutama tromboxan A2 sebagai
vasokonstriktor yang poten.
c. Sel mast
Mast sel yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet
merangsang dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain.
Histamin yang khas dari mast sel akan segera merelaksasi otot polos
pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada
jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan
peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran darah dan
penurunan kecepatan aliran darah.
d. Contact activating system.
Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan
menunggu aktivasi oleh stimulus yang tepat. Keberadaan faktor XII
yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein menjadi kalikrein.
Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan
bradikinin dari kininogen berat molekul tinggi. Bradikinin adalah kode
yang poten yang akan terikat pada endotel reseptor dan merangsang
pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini akan
berdifusi ke otot polos pembuluh darah dan akan menyebabkan
relaksasi. Efek yang terjadi sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi dengan mekanisme
yang unik dan berbeda dengan histamin.
e. Kaskade komplemen (complement cascade).
Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara
konvensional dan cara alternative. Aktivasi ini akan menghasilkan
suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel patogen. Lebih
penting lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan
menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif
dan chemoattractant. Hal yang menarik adalah aktivasi protein
komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, mast sel
dan secara tidak langsung produksi bradikinin.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu
inisiator akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah
: peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, peningkatan aliran
mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan edema
jaringan lunak. Yang terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim
protein yang dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini menciptakan situasi lokal
disekitar trauma yang kaya akan chemoattracttant.
Menurut teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang
terjadinya MOF (Multiple Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka
trauma sederhana atau infeksi jaringan lunak yang tampak tenang
diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk terjadinya SIRS
maupun sekuele-nya.
3. Gejala klinis
Dalam suatu penelitian yang melibatkan sejumlah besar pasien
dengan respon septik (yaitu SIRS), Siegel et al. mengidentifikasi adanya
empat tahap perubahan patofisiologi hemodinamik dan metabolik.
Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap sepsis,
namun data ini bias, dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini
dengan teliti menunjukkan bahwa SIRS adalah suatu yang berkelanjutan
tergantung respon pasien terhadap suatu rangsang dan kemampuan
cadangan fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan fisiologis umum
yang terjadi.
a. Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)
Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti
operasi berat, trauma atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan
ringan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan COP yang sepadan.
Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti keadaan
normal.
Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan
kebutuhan oksigen yang sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap
stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal ini merupakan
respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma
berat atau operasi besar.
Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini
menggambarkan efek sistemik dari reaksi inflamasi. Reaksi ini akan
kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan penyakit.
b. Tahap B (Fase MODS)
Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi
penurunan tajam dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang
jantung untuk meningkatkan COP. Akibat dari keadaan tersebut, maka
dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload jantung
(sebaiknya dengan cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka
pasien akan mengalami hipotensi. Sementara itu selisih antara kadar
oksigen arteri dan vena mulai menyempit, yang diikuti dengan
meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena
abnormalitas enzim metabolisme sel.
Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat
meningkat dan terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum
mulai meningkat diatas nilai normal. Pada masa sebelum penggunaan
metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa
lambung menunjukkan cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan
berdarah. Kadar serum kreatinin mulai naik diatas 1,0 mg/dL.
c. Tahap C (Fase Dekompensasi)
Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara
kemampuan kompensasi jantung tidak mampu lagi mempertahankan
tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload yang sangat drastis.
Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan
tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat
dipertahankan lagi. Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan preload
mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut septik syok
atau keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini
menunjukkan suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi
namun tetap teraba hangat.
d. Tahap D (Fase Terminal)
Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre
terminal. Keadaan sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac
output yang rendah, dimana hal ini akan menyebabkan respon
vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan
tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal.
Konsumsi oksigen sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan
pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac output yang tidak
adekuat dan vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi
sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian akibat
fase ini.

Tabel 3.1 Tahapan SIRS


Fase COP SVR Laktat
Transien ↑ ↓ N
MODS ↑↑↑ ↓↓ ↑
Dekompensasi N ↓↓↓ ↑↑
Terminal ↓↓↓ ↑↑↑ ↑↑

Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan


klinis pasien dengan sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan
hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis) atau dalam keadaan
hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).

Tabel 3.2 Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan


hipodinamik (Syok septik)
Hiperdinamik Hipodinamik
Suhu ↑, Menggigil ↑/↓
Kulit Kering, hangat Dingin
Jantung Takikardi Takikardi
Klinis Paru Takipneu Takipneu
Tekanan darah ↓ ↓
Status mental Berubah Obtudansi
Produksi urin Variabel Oliguri
Lekosit ↑ ↑ / ↓, geser ke kiri
Keasaman Asidosis Asidosis metabolik
metabolik
Laboratorium
Gula darah Hiper/Hipoglikemia
Laktat 1,5 – 2,0 mM/L > 2,0 mM/L
Trombosit Trombositopenia
VO2 ↑ ↓
(A-V) O2 Normal / ↓ ↓
Tekanan baji Normal / ↓ Bervariasi
COP ↑ Tidak adekuat
SVR ↓ ↑
Fisiologi
Mikrovaskuler Kerusakan Kerusakan lokal
lokal

Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik


(terjadi sindrom sepsis). Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat
itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik, yang membutuhkan
penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan DO2 dan
tekanan perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali
nilai normal yang diiringi dengan penurunan tahanan vaskuler yang
disebabkan oleh produk a dan β agonist. Hal ini akan mengakibatkan
hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai terjadi.
Bila gangguan aliran darah tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke
organ vital akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Perubahan status
neurologis juga terjadi dimana pasien menjadi letargi.
Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak
dapat dipertahankan dan terjadi penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh
pada keadaan hipodinamik syok (syok septik) dan keadaan ini mempunyai
angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.
Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang
esensial sehubungan dengan tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan
tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi organ harus segera
dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi.
Dengan demikian penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan
progresifitas kerusakan organ dapat segera dihentikan.
4. Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu
setelah insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah
meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi
dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi
untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan,
pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :
a. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat
b. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
c. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik
Daftar Pustaka

Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ
Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE
(Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.

Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction


Syndrome : Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure
Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds).
Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.

Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ
Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE
(Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:92-100.

Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J
Med2003, 348; 138-50.

Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have
They Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and
Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York,
2000:14-22.

Martin GS, Mannino, DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the
United States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003, 348; 1546-54.

Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment of


Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77.

You might also like