You are on page 1of 22

REFERAT

Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler

Penyusun :
Bernadetha Mayang
030.13.038

Pembimbing :
dr. Arief Tjatur Prasetyo, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
PERIODE 4 JUNI – 20 JULI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Bernadetha Mayang


NIM : 030.13.038
Universitas : Universitas Trisakti
Fakultas : Fakultas Kedokteran
Program Studi : Program Studi Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit THT
Periode : 2 Juni 2018 – 20 Juli 2018
Judul : Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler
Pembimbing : dr. Arief Tjatur Prasetyo, Sp. THT-KL

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL:

Bagian Ilmu Penyakit THT


RSAL Dr. Mintohardjo
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, Juli 2018


Pembimbing,

dr. Arief Tjatur Prasetyo, Sp. THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Obstructive Sleep
Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan
penyelesaian referat ini, terutama kepada dr. Arief Tjatur Prasetya, Sp. THT-KL
selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga
referat ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari kesalahan
dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi kritik, saran dan
masukan untuk perbaikan selanjutnya dimasa yang akan datang. Akhir kata, penulis
berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi
semua pihak yang membutuhkan, baik dalam bidang kedokteran, khususnya untuk
bidang ilmu penyakit THT.
Kritik dan saran penulis hargai demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa
yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga referat ini dapat bermanfaat dan
dapat bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, Juli 2018

Bernadetha Mayang
030.13.038

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 1
2.1 Fisiologi tidur................................................................................................ 2
2.2 Sistem respirasi saat tidur.............................................................................. 2
2.3 Klasifikasi OSA............................................................................................ 4
2.4 Epidemiologi OSA........................................................................................ 5
2.5 Gejala klinis OSA......................................................................................... 5
2.6 Diagnosis OSA.............................................................................................. 7
2.7 Penyakit kardiovaskuler................................................................................ 9
2.8 Hubungan OSA dengan penyakit kardiovaskuler......................................... 10
2.8.1 OSA dan hipertensi............................................................................... 12
2.8.2 OSA dan aterosklerosis......................................................................... 13
2.8.3 OSA dengan acute coronary syndrome dan aritmia.............................. 13
2.8.4 OSA dan gagal jantung kongestif.......................................................... 14
2.9 Terapi OSA dan penyakit kardiovaskuler...................................................... 14
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis dimana hampir
sepertiga masa hidup kita dihabiskan dalam kondisi ini. 1 Akan tetapi, kondisi
fisiologis ini dapat terganggu dengan adanya sindrom henti napas saat tidur atau
obstructive sleep apnea (OSA). Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu
kondisi medis terpenting yang ditemukan sejak 50 tahun yang lalu, menjadi penyebab
terbesar morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, serta lebih sering ditemukannya
keadaan tertidur di sepanjang waktu ketika orang normal seharusnya tidak tertidur
pada waktu tersebut.2
OSA ialah terhentinya aliran udara di hidung dan mulut pada saat tidur dan
lamanya lebih dari lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat mencapai 20-60
2,5
kali per jam, dan disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%. Secara
konvensional, sindrom tersebut dibagi menjadi tipe obstruksi, tipe sentral, dan tipe
campuran. Tipe sentral ditemukan pada penderita usia tua dan berhubungan dengan
faktor ko-morbid lain seperti gagal jantung, sedangkan tipe obstruksi terjadi pada usia
yang lebih muda. Henti napas obstruksi (OSA) ialah penghentian airan udara namun
usaha napas tetap ada, sedangkan henti napas sentral (CSA) adalah penghentian aliran
2
udara dan usaha napas secara bersamaan.
Selama beberapa dekade terakhir, OSA muncul sebagai suatu faktor penyebab
potensial beberapa penyakit kardiovaskuler. Kondisi ini mencakup antara lain
hipertensi, penyakit arteri koroner, infark miokard, gagal jantung, dan stroke. 1,3,4
Pengakuan terhadap peran OSA di bidang kardiologi klinis juga meningkat pesat di
seluruh dunia.
Referat ini diharapkan dapat menjelaskan hubungan antara OSA dengan penyakit
kardiovaskuler dan bagaimana peran bidang ilmu penyakit telinga hidung tenggorok
dalam mengantisipasi hubungan tersebut.

11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Tidur


Tidur merupakan suatu proses yang bersifat pasif dan dianggap sebagai keadaan
dorman dari kehidupan kita. Pendapat ini dianut oleh para ahli sampai tahun 1950-an.
Saat ini diketahui bahwa saat manusia sedang tidur aktifitas otak sangat aktif.
Perubahan fisiologis pada saat tidur antara lain perubahan pola pernapasan,
penurunan ventilasi semenit, tersebut berbeda-beda sesuai dengan fase tidur.7
Secara garis besar tidur dibagi menjadi 2 tahap yaitu fase rapid eye movement
(REM) atau disebut juga active sleep, dan fase nonrapid eye movement (NREM) atau
disebut juga quiet sleep.6 REM (Rapid Eye Movement) merupakan suatu keadaan jeda
dengan periode aktivitas autonomik dan fungsi jantung yang ireguler, terjadi pada
sekitar 25 persen dari periode tidur. Pada REM, tidak terdapat termoregulasi, aktivitas
simpatis dan frekuensi denyut jantung meningkat, variabilitas menurun, serta tekanan
darah meningkat.1,6,7
NREM (Non Rapid Eye Movement) terjadi pada sekitar 75 persen dari periode
tidur, dibagi dalam empat fase; kontras dengan REM, terdapat aktivitas autonomik
dan regulasi jantung yang stabil. Simpatis menurun, predominasi parasimpatis,
penurunan nilai ambang batas baroreseptor, begitu juga dengan frekuensi denyut
jantung, tekanan darah, curah jantung dan tahanan vaskuler sistemik.1,6,7

2.2 Sistem respirasi saat tidur


Saat ini diketahui bahwa pada keadaan tidur seluruh tubuh tidak seluruhnya
beristirahat tetapi terdapat aktivitas pada fase – fase tidur. Sistem respirasi, esofagus,
kardiovaskular dan fisiologi otak menunjukkan perubahan selama tidur.7 Pada orang
normal sistem respirasi akan menurun selama tidur yaitu terjadi hipoventilasi
alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi semenit akan menurun selama slow
wave sleep dan pada umumnya bertambah cepat, dangkal dan tak menentu pada

22
REM. 8 Penurunan pengurangan fungsi respirasi selama tidur yang terutama terjadi
pada fase REM adalah akibat kolapsnya sebagian saluran napas atas yang disertai
penurunan tonus otot interkostal dan genioglosus. Penurunan refleks batuk dan
bersihan mukosilier (mucocilliary clearance) selama kedua fase tidur yang akan
menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh terhadap orang
normal tetapi merupakan keadaan darurat yang mengancam jiwa pada penderita
asma, PPOK, OSA atau keadaan kelainan respirasi yang lain. Kontrol pernapasan
selama REM bukan melalui reflek vagal seperti pada fase terjaga dan pada tidur
NREM. Fase REM dianggap berasal dari penghambatan homeostatic feedback
regulation hipotalamus. Penelitian menunjukkan bahwa kelainan pernapasan pada
penderita OSA yang dipengaruhi oleh defek pada mekanisme perangsangan secara
sentral.8,9

Saat mulai tidur gambaran EEG terlihat perlambatan gelombang serta penurunan
ventilasi semenit. Pada pasien dengan obstructive sleep apnea, penurunan atau
penghentian aliran udara disebabkan oleh kolaps jalan napas atas yang progresif yang
menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin (O2 saturation) serta terjadi
stimulasi kemoreseptor perifer carotid bodies. Stimulasi kemorefleks terjadi melalui
sistem saraf pusat sehingga meningkatkan sympathetic neural activity (SNA) yang
ditandai dengan lonjakan microneurographic. Saat terbangun dari tidur, ventilasi akan
normal kembali dan saturasi oksihemoglobin akan kembali normal serta terjadi

33
hambatan terhadap SNA oleh aferen yang berasal dari mekanoreseptor toraks yang
bersinaps pada batang otak8 seperti terlihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kejadian patofisiologis pada OSA 8

Perubahan sistem mekanik pernapasan selama fase NREM menyebabkan


peningkatan tahanan saluran napas terutama pada saluran napas bagian atas.
Peningkatan tahanan saluran napas atas berhubungan dengan penyempitan saluran
napas di sekitar faring yang terjadi akibat hipotoni dari otot faring. Penurunan
aktivitas otot saluran napas atas seperti genioglosus nampak pada fase NREM lebih
jelas terlihat pada OSA.2,5,8 Pada orang yang mendengkur saat tidur (snoring), tahanan
saluran napas bagian atas meningkat 10 kali lipat dibandingkan pada orang normal
yang hanya meningkat 2 – 4 kali lipat. Pada keadaan tidur sistem respirasi mendapat
tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran napas
atas.2,5,7 Secara ringkas dapat dilihat pada tabel 1 yaitu pengaruh fisiologis tidur
terhadap organ pernapasan berdasarkan fase REM dan NREM.

Tabel 1. Pengaruh fisiologis tidur terhadap sistem pernapasan 15

2.3 Klasifikasi OSA


Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index (AHI) yaitu
rerata kejadian apnea dan hipopnea dalam waktu satu jam tidur yang diukur

44
menggunakan polisomnografi. Derajat beratnya OSA dibagi menjadi: 1) ringan AHI

5-14; 2) sedang AHI 15-29; 3) berat AHI ≥30.6

2.4 Epidemiologi OSA


OSA berhubungan erat dengan obesitas dan terdapat hubungan langsung antara
indeks massa tubuh (IMT) dengan indeks AHI. Prevalensi sesungguhnya dari OSA
sulit diketahui, karena sebagian besar penderita OSA tidak menjalani pemeriksaan
polisomnografi sehingga tetap tidak terdiagnosa. Beberapa studi berbasis populasi
memperkirakan bahwa 1 dari 5 dewasa usia menengah dengan indeks massa tubuh
(IMT) 25-28 kg/m2 menderita OSA, dimana 1 dari 20-nya adalah asimptomatik.
Kelainan ini juga terdapat lebih dari 40% pada mereka yang mempunyai IMT diatas
30, dan umumnya pada individu dengan IMT 40. Selain itu hubungan erat OSA
dengan kelainan metabolik multipel termasuk diantaranya obesitas abdominal,
diabetes, dislipidemia, dan terutama sindrom metabolik sudah lama diketahui.10-12
Obesitas dapat mengubah volume dan bentuk anatomi, lidah dapat terangkat
sehingga mengurangi volume saluran napas atas. Demikian juga kelainan anatomi
seperti hipertrofi tonsil, deviasi septum, hipertrofi konka dan anomali maksilofasial
seperti mikrognatia, retrognatia, hipertrofi adenoid dan tonsil, makroglosia dan
akromegali.13,14

2.5 Gejala klinis OSA


OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala OSA
dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala utama OSA
adalah daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif
karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir
30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI >5x/jam mengeluh tidak segar
saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita dewasa mengeluh mengalami rasa
mengantuk yang berlebihan di siang hari.13-15

55
Gambar 2.2 airway yang normal: tidak terdapat obstruksi yang berarti pada
saluran pernapasan atas

Gambar 2.3 Obstruksi jalan napas pada OSA; aliran udara melalui saluran
pernapasan atas terhalang sehingga pasien mengalami deprivasi dalam menerima
oksigen yang dibutuhkan untuk menjalani fungsi tubuh normal.

Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah
kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini tidak
berhubungan secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytime
hypersomnolence adalah karena adanya tidur yang terputus-putus, berhubungan
dengan respons saraf pusat yang berulang karena adanya gangguan pernapasan saat
tidur.13-15

66
Tabel 2. Gejala klinis pada OSA14
Nokturnal (N)/ Daytime
Gejala klinis Insidensi (%)
(D)
Mendengkur 95 D
Mengantuk 75 D
Restless sleep 99 D
Mental abnormal 58 -
Perubahan kepribadian 48 D
Impotensi 40 -
Sakit kepala 35 D
Nokturia 30 N
Enuresis Tidak diketahui N/D
Nocturnal choking Tidak diketahui N

2.6 Diagnosis OSA


Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA.13
Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana kebiasan
tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan SSS untuk
mengetahui seberapa mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut. Multiple sleep
latency testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif untuk
mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari.
Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang pengalaman terbangun dari
tidur karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan bangun
dari tidur dengan badan terasa tidak segar.13,14

Hal-hal yang harus dinilai pada pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran lingkar
leher, keadaan rongga hidung (apakah terdapat deviasi septum, hipertrofi konka,
polip, adenoid), perasat Mueller (untuk menilai penyempitan velo-orofaring),

77
penilaian Friedman tounge position (modifikasi Mallampati), bentuk palatum mole,
bentuk uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan penyempitan peritonsil
lateral. Populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi OSA >50%.
Perlu diketahui bahwa penilaian IMT dan lingkar leher tidak memiliki predictive
abilities pada wanita. Mendengkur memiliki positive predictive value (PPV) 63% dan
negative predictive value (NPV) 56% pada OSA. Pemeriksaan dengan pulse
oxymetry pada saat tidur malam hari dapat dilakukan dalam skrining OSA dan
memiliki sensitivitas sebesar 31%. Kombinasi dari semua faktor di atas dapat
meningkatkan predictive abilities antara 60-70%.13,14
Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan
diagnosis OSA. PSG merupakan uji diagnostik untuk mengevaluasi gangguan tidur
yang dilakukan pada malam hari di laboratorium tidur, digunakan untuk membantu
pemilihan terapi dan evaluasi hasil terapi. Ada tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu
pertama, sinyal untuk mengkonfirmasi keadaan stadium tidur seperti
elektroensefalogram (EEG), elektrookulogram (EOG) dan submental elektromiogram
(EMG). Sinyal kedua adalah sinyal yang berhubungan dengan irama jantung, yaitu
elektrokardiogram (ECG) dan sinyal ketiga yang berhubungan dengan respirasi
seperti airflow (nasal thermistor technique), oksimetri, mendengkur, kapnografi,
EMG interkostal, balon manometri esofageal, thoraco-abdominal effort, nasal
pressure transducer, pneumotachography face mask dan kadar PCO2.14,17

88
Gambar 2.2 Rekaman polysomnography terdiri dari elektrookulogram (EOG),
elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokardiogram (EKG),
sympathetic nervous system activity (SNA), respirasi (RESP), dan tekanan darah (BP)
selama tidur periode REM pada pasien OSA. BP meningkat pada akhir periode apnea,
mencapai puncak selama arousal (sebagai indikasi adanya peningkatan tonus
muskulus.6

2.7 Penyakit kardiovaskuler


Penyakit kardiovaskuler atau cardiovascular disease (CVD) adalah istilah yang
digunakan untuk gangguan fungsi pada jantung dan pembuluh darah. Terdapat tiga
bentuk penyakit kardiovaskuler, yaitu penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler dan penyakit vaskuler perifer. Banyak faktor predisposisi dan faktor
risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya CVD, seperti umur, obesitas, jenis
kelamin, ras, pola hidup, rokok, dan makanan. Penyakit diabetes melitus dan OSA,
dianggap sebagai faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya CVD. Faktor
risiko yang sama-sama ada pada OSA maupun CVD diduga sebagai faktor
penghubung antara keduanya.18

2.8 Hubungan OSA dengan penyakit kardiovaskuler


CVD merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di berbagai negara.
Penelitian mengenai hubungan OSA dengan CVD termasuk hipertensi, gagal jantung,
infark miokard dan stroke sudah mulai banyak dilakukan. Penelitian tersebut

99
mengindikasikan bahwa OSA merupakan salah satu faktor yang secara independen
dapat memicu gangguan pada sistem kardiovaskuler. Dilaporkan bahwa terapi CPAP
yang merupakan terapi OSA, dinyatakan dapat menurunkan insiden kematian dan
morbiditas dari penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler.6,10,17
Selama tidur fase NREM, laju metabolisme, aktivitas saraf simpatis, tekanan
darah dan heart rate semuanya menurun, sedangkan tonus vagal kardiak meningkat.
OSA mengganggu aktivitas jantung selama tidur, dengan cara memacu suatu jalur
hemodinamik, fungsi autonom, efek kimiawi, inflamasi dan metabolik yang (jika
berlangsung kronik) dapat berisiko kardiovaskuler.6
Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida akibat OSA akan menimbulkan efek
terhadap parasimpatis dan simpatis kardiak sehingga berpengaruh terhadap heart
rate. Ketika parasimpatis dominan, heart rate menjadi lambat. Sebaliknya jika
simpatis dominan, heart rate akan meningkat.6,19 Gejala hipoksia akibat apnea dan
retensi karbon- dioksida yang berulang selama tidur, meng- akibatkan usaha bernafas
menjadi tidak efektif dan terbentuk tekanan intrathorakal negatif. Hal tersebut
menyebabkan peningkatan per- bedaan tekanan intrakardiak dengan ekstrakardiak,
meningkatkan tekanan transmural ventrikel kiri.19
Tekanan intratorakal yang negatif mengakibatkan aliran balik ke toraks
meningkat, preload ventrikel kanan juga meningkat, sedangkan hipoksia akibat apnea
menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dan peningkatan afterload ventrikel kanan.
Keadaan ini menghasilkan distensi ventrikel kanan, dengan hasil akhir gangguan
pengisian ventrikel kiri dan penurunan stroke volume. Hipoksia yang terjadi selama
OSA secara langsung mengakibatkan gangguan kontraktilitas kardiak dan relaksasi
diastolik. Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida tersebut berpengauh terhadap
saraf simpatis, terjadilah vasokonstriksi perifer, meningkatkan afterload dan
peningkatan tekanan darah.19
Ketika terminasi apnea, asfiksia memicu terjadinya usaha bangun dari tidur
(arousal) yang meningkatkan aktivitas simpatis dan menekan tonus vagal
(meningkatkan tekanan darah dan heart rate). Efek akut ini dipertahankan selama
keadaan bangun penuh, dengan peningkatan tekanan darah dan gangguan vagal

1010
(variabilitas heart rate). Leukosit yang teraktivasi memiliki peran penting pada
respon inflamasi endotel vaskuler terhadap kerusakan seluler akibat hipoksia atau
reoksigenasi. Hal ini, mungkin akan mengubah reaktivitas endotel dan menyebabkan
proses aterogenesis. Namun, belum terdapat bukti yang nyata OSA menyebabkan
aterosklerosis secara langsung.20
Pasien OSA juga menunjukkan peningkatan stres oksidatif (reactive oxygen
spesies pada monosit dan neutrofil. Peningkatan stres oksidatif dihubungkan dengan
peningkatan molekul adhesi, seperti ICAM-1 (Intracellular Adhesion Molecule-1),
VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecule-1) dan E-selectin. Mediator inflamasi
seperti CRP (C- Reactive Protein), begitu juga dengan stres oksidatif mem- punyai
peran penting dalam proses aterogenesis dan pembentukan trombus arteri.20
Hipoksia intermiten dapat memicu produksi radikal bebas oksigen, aktivasi jalur
inflamasi yang menggangu fungsi endotel vaskuler dan peningkatan tekanan darah
secara tidak langsung akibat aktivitas simpatis tersebut. Pasien dengan OSA memiliki
konsentrasi plasma nitrit yang rendah, menunjukkan bioavaibilitas nitric oxide yang
rendah juga. Didapatkan peningkatan ekspresi molekul adhesi monosit CD15 dan
CD11c, serta monosit pasien OSA memiliki adhesi yang lebih tinggi dibandingkan
orang normal. OSA juga mengakibatkan oksidasi lipoprotein, peningkatan ekspresi
molekul adhesi, perlekatan monosit pada endotel vaskuler dan proliferasi otot polos
vaskuler. Efek-efek ini, ditambah dengan aktivitas vasokonstriksi simpatis dan
inflamasi dapat mengakibatkan hipertensi dan aterosklerosis.6,20
Mekanisme fisiologi akut maupun kronis yang terjadi selama OSA berupa :
aktivasi simpatis, peningkatan stres pada dinding ventrikel kiri, peningkatan
afterload, disfungsi diastolik akut, left atrial stretch, pembesaran atrium kiri,
resistensi insulin, hiperleptinemia, hiperkoagulabilitas, inflamasi sistemik, stres
oksidatif maupun disfungsi endotel dapat berkaitan dengan risiko beberapa penyakit
kardiovaskuler; di antaranya, hipertensi, disfungsi diastolik dan sistolik, sinus pause
atau arrest, AV block, atrial fibrillation, ventricular ectopic, nocturnal angina, CAD
(coronary artery disease), penyakit serebrovaskuler, maupun sudden cardiac death.6

1111
Gambar 2.3 Patofisiologi OSA terhadap CVD ; PNA = Parasympathetic Nervous
System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO2 = Partial Pressure of
Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR = Heart Rate. BP
= Blood Pressure. LV = Left Ventricular. 6

2.8.1 OSA dan hipertensi


Hubungan antara OSA dengan hipertensi didapatkan melalui sejumlah studi kohort
serta studi populasi yang telah dilakukan. Dari studi-studi tersebut dilaporkan terdapat
hubungan yang linier antara hipertensi dengan tingkat keparahan OSA, dimana setiap
terdapat pertambahan satu episode apnea, akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya hipertensi sekitar 1%.6,17 Penelitian Wisconsin Sleep Cohort Study
mendapatkan hubungan independen antara OSA dan peningkatan tekanan darah pada
siang hari. Penelitian tersebut menyatakan bahwa orang dewasa dengan AHI ≥15
memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk menjadi hipertensi dalam empat tahun ke
depan.17
2.8.2 OSA dan aterosklerosis

1212
Pasien-pasien dengan OSA pada umumnya memiliki persamaan fitur klinis yakni
sindrom metabolik, yang di dalamnya atermasuk hipertensi sistemik, obesitas sentral,
dan resistensi insulin. Skor AHI berkorelasi dengan IMT, waist-to-hip ratio,
hipertensi, dan diabetes dimana biasanya terdapat kadar HDL yang rendah dan
peningkatan kadar trigliserida pada pasien OSA yang berusia <65 tahun. Pelepasan
vasoaktif dan kerusakan fungsi endotelial yang disebabkan oleh OSA mengakibatkan
terjadinya proses arteriosklerosis pada pembuluh darah besar termasuk pembuluh
darah koroner.
2.8.3 OSA dengan acute coronary syndrome dan aritmia
Risiko terjadinya angina atau acute coronary syndrome (ACS) umumnya akan
meningkat dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Pada pasien dengan OSA,
variasi siklik dalam denyut nadi dan tekanan darah terjadi secara dramatik. Selain itu
akibat peningkatan aktivitas saraf simpatis perifer (peripheral sympathetic nerve
activity) saat tidur dua kali lebih besar dari nilai normal dapat meningkatkan risiko
terjadinya ACS.17 Pada penelitian juga dilaporkan pada OSA terdapat cetusan iskemik
yang diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen, juga terjadi penurunan isi
sekuncup ventrikel kiri sehingga terjadi perubahan ST segmen yang sesuai dengan
iskemik jantung.14
Segmen ST depresi lebih sering pada pasien OSA berat dan terjadi keluhan
nocturnal angina. Episode iskemik berhubungan dengan desaturasi oksigen dan
peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah yang memprovokasi keluhan angina
sehingga pasien terbangun. Pasien Jantung koroner yang mempunyai OSA
merupakan faktor prognostik yang buruk.Berbagai jenis aritmia jantung telah
dihubungkan dengan OSA termasuk sinus pause, blok jantung, dan ventricular
tachycardia. Kondisi aritmia tersebut merupakan implikasi penyebab kematian
mendadak malam hari (sudden nocturnal death) pada pasien dengan OSA.14
2.8.4 OSA dan gagal jantung kongestif
Penderita gagal jantung kongesti biasanya memiliki faktor sentral sleep apnea atau
obstructive sleep apnea. Beberapa penelitian menyatakan 50% penderita gagal
jantung diastolik memiliki nilai AHI yang abnormal. Beberapa penelitian

1313
mengindikasikan bahwa OSA merupakan predisposisi gagal jantung yang mungkin
disebabkan oleh mekanisme edema pada saluran napas atas. Gaziano et al 21 mengutip
dari Mansfield menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien
dengan gagal jantung dan OSA, menemukan bahwa penggunaan CPAP pada malam
hari selama tiga bulan, secara signifikan berhasil meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel
kiri.14
Selain itu hipoksia yang terjadi pada OSA menurunkan hantaran oksigen yang
akan meyebabkan iskemia miokard. Hipoksia juga mengganggu diastolik dan
kontraksi jantung. Kombinasi hipoksia dengan usaha inspirasi dan retensi CO2
memicu fase arousal OSA yang akan menstimulasi aktifitas simpatik. Jika hal ini
berlangsung terus menerus, maka akan terjadi kardiomiopati hipertrofik, hipertensi
dan gagal jantung.14

2.9 Terapi OSA dan penyakit kardiovaskuler


Terapi yang bertujuan memperbaiki aktivitas simpatis akan memberikan perbaikan
penyakit kardiovaskuler. Beberapa penelitian memberikan terapi CPAP (Continous
Positive Airway Pressure) selama satu bulan pada pasien OSA dengan gagal jantung,
didapatkan penurunan aktivitas saraf simpatis pada otot jantung, tekanan darah, dan
denyut jantung dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi.6,22
Pemberian CPAP pada pasien OSA juga dapat mengurangi stres oksidatif,
meningkatkan oksida nitrat endotelial dan mediator vasodilatasi endotel. CPAP juga
mengurangi frekuensi depresi ST dan angina selama tidur. 17 CPAP bekerja dengan
cara mempertahankan patensi jalan napas saat tidur dengan cara menstabilkan jalan
napas dengan tekanan positif melalui masker naso-oral, nasal, maupun nasal
pillow.6,17 Terapi CPAP yang efektif disarankan dilakukan sekitar rata-rata 4 jam per
malam. Meskipun CPAP merupakan terapi yang efektif untuk penderita OSA,
beberapa pasien tidak dapat menoleransi terapi ini serta beberapa menyatakan
kesulitan finansial dalam membeli mesin ini. Terapi alternatif untuk pasien OSA yang
tidak dapat menoleransi CPAP termasuk pemasangan mandibular advancement splint
(MAS) dan intervensi bedah.17

1414
Gambar 2.4 Terapi CPAP (Continous Positive Airway Pressure) untuk pasien dengan
OSA dapat mempertahankan patensi jalan napas saat tidur sehingga terjadi perbaikan
hemodinamik.

Gambar 2.5 Terapi MAS (Mandibular Advance Splinting) sebagai terapi alternatif
OSA untuk pasien yang tidak dapat menoleransi terapi CPAP.
BAB 3
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko bersama yang ada

pada OSA dan juga penyakit kardiovaskuler, dan dari berbagai penelitian dinyatakan

bahwa   OSA   memiliki   hubungan   yang   kuat   dengan   penyakit   kardiovaskuler.

1515
Pemeriksaan   polisomnografi   merupakan   baku   emas   untuk   menegakkan   diagnosis

OSA.   Terapi   OSA   terbagi   menjadi   terapi   bedah   dan   non­bedah.   Terapi   CPAP   ,

perubahan pola hidup dan penurunan berat badan efektif untuk tatalaksana OSA pada

penderita kardiovaskuler. Terapi pembedahan dapat dipikirkan sebagai pilihan untuk

mengatasi kelainan anatomi saluran napas atas. 

Penting bagi tenaga medis untuk memiliki pengetahuan tentang henti napas saat

tidur serta dampak yang diakibatkannya pada jantung sehingga dapat memberikan

tatalaksana   yang   lebih   baik.   Penelitian   jangka   panjang   tentang   epidemiologis,

diagnosis   serta   tatalaksana   OSA   dengan   penyakit   kardiovaskuler   juga   masih

diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

1616
1. Drager LF, McEvoy RD, Barbe D, Lorenzi-Filho G, Redline S. Sleep Apnea and
Cardiovascular Disease : Lessons From Recent Trials and Need for Team Science.
Circ J. 2017;136:1840-1850. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.117.029400
2. Gami AS, Somers VK. Sleep Apnea and Cardiovascular
Disease. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP (eds).
Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular
Medicine. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. pp:
1915-21.
3. Somers VK, White DP, Amin R, Abraham WT, Costa F, Culebras A, et al.
Sleep apnea and cardiovascular disease: an American Heart
Association/American College of Cardiology Foundation Scientific Statement
from the American Heart Association Council for High Blood Pressure
Research Professional Education Committee, Council on Clinical Cardiology,
Stroke Council, and Council on Cardiovascular Nursing. J Am Coll Cardiol.
2008;52(8):686-717.
4. Kato M, Adachi T, Koshino Y, Somers VK. Obstructive sleep apnea and
cardiovascular disease. Circ J. 2009(8):1363-70.
5. Kliam C. Sleep Apnea: pathophysiology, assessment, and treatment. Medicine
Digest. 1995;142:435-9.
6. Purwowiyoto SL. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler.
CDK. 2011;38(3): 199-201
7. Moorre CA, Karacan I, Wieten RL. Basic science of sleep. In: Kaplan HI,
Sadock BJ, ed. Comprehensive textbook of psychiatry, 10th ed. Baltimore:
William & Wilkins, 2007:533 – 534.
8. Caples SM, Gami AS, Somers VK. Obstructive sleep apnea. In: Ausiello DA,
Benos DJ ed. Physiology in medicine: A series of articles linking medicine
with science. Ann Int Med 2005;142;187-97.
9. Arifin AR, Ratnawati, Burhan E. Fisiologi Tidur dan Pernapasan. Available
from:http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/Fisiologi%20tidur
%20010210%20sken%20rev%201.pdf. Accessed June 26, 2018
10. Parati G, Lombardi C, Narkiewicz K. Sleep apnea: epidemiology,
pathophysiology, and relation to cardiovascular risk. Am J Physiol Regul
Integr Comp Physiol;293(4):R1671-83.
11. Gami AS, Hodge DO, Herges RM, Olson EJ, Nykodym J, Kara T, et al.
Obstructive sleep apnea, obesity, and the risk of incident atrial fibrillation. J
Am Coll Cardiol. 2007;49(5):565-71.
12. Kapur V, Strohl KP, Redline S, Iber C, O'Connor G, Nieto J. Underdiagnosis
of sleep apnea syndrome in U.S. communities. Sleep Breath. 2002;6(2):49-54.
13. Madani   M.   Snoring   and   obstructive   sleep   spnea.   Arch   of   Iranian   Med   2007;
10(2):215­ 26. 
14. Antariksa B. Patogenesis, diagnostik dan skrining OSA (obstructive sleep apnea).
Available   from:  http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA%   20.   Accessed
June,26,2018. 

1717
15. Welch KC, Goldberg AN. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor. Current diagnosis
& treatment, otolaryngology head and neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-
Hill Companies LANGE; 2008. p.535-47.
16. W alker RP . Snoring and obstructive sleep apnea. In: Bailey JB, Johnson JT, editors.
Head & neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincontt Williams &
Wilkins; 2006. p.645-64.
17. Lattimore et al. OSA and Cardiovascular Disease. J Am Coll Cardiol 2003;41:1429-
37
18. Gaziano T, Reddy KS, Paccaud F, Horton S, Chaturvedi V . Cardiovascular Disease.
In: Gaziano T, Reddy KS, Paccaud F, Horton S, Chaturvedi V , editors.
Cardiovascular disease. New Y ork: Oxford University Press; 2006. p.845-62.
19. Xie A, Skatrud JB, Puleo DS, Morgan BJ. Exposure to Hypoxia Produces Long-
Lasting Sympathetic Activation in Humans. J Appl Physiol 2001: 91 (4): 1555-62.
20. Lavie P, Lavie L, Dyugovskaya L. Increased Adhesion Molecules Expression and
Production of Reactive Oxygen Species in Leukocytes of Sleep Apnea Patients. Am J
Respir Crit Care Med 2002; 165: 934-39.
21. Gaziano T, Reddy KS, Paccaud F, Horton S, Chaturvedi V . Cardiovascular Disease.
In:   Gaziano   T,   Reddy   KS,   Paccaud   F,   Horton   S,   Chaturvedi   V   ,   editors.
Cardiovascular disease. New Y ork: Oxford University Press; 2006. p.845-62.
22. Somers VK, Gami AS, Olson LJ. Treating sleep apnea in heart failure patients. JACC
2005; 45(12):2012-4.

1818

You might also like