You are on page 1of 7

Tinjauan Pustaka

Bioetika Kedokteran, Pemberian Obat Secara Rasional, dan


Meningkatkan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru
Maria Lorensia
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. Telephone: (021)5694-2051. Email: marialorensia31@gmail.com

Pendahuluan

Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk menetapakn
diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, dan menyembuhkan penyakit, luka, atau
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, serta dapat memperelok badan
atau bagian tubuh manusia. Di samping menyembuhkan penyakit, obat juga dapat
menimbulkan dampak negatif, baik pada pasien maupun pada masyarakat umumnya. Jika
tidak digunakan dengan baik dan bijaksana, obat dapat menimbulkan bahaya terjadinya
reaksi-reaksi yang tidak diingankan berupa efek samping dan efek toksik yang dapat
berakibat serius dan mematikan. 1

Dari survei penggunakan obat-obatan, terutama antibiotika di rumah sakit dan pusat
kesehatan masyarakat, banyak dijumpai penggunaan obat yang tidak rasional. Penggunaan
antibiotika yang tidak rasional ini dapat memberikan berbagai dampak negatif, antara lain
timbulnya efek samping atau toksisitas, mempercepat terjadinya resistensi, menyebarluaskan
infeksi, terjadinya resiko kegagalan terapi, bertambah beratnya penyakit pasien, dan
bertambah lamanya pengobatan yang akan meningkatkan biaya pengobatan. Oleh karena itu,
WHO telah memprakarsai penggunaan obat yang rasional. 1

1. Etika dalam Pemberian Obat


- Etika Kedokteran
Etik (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat
kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, etika adalah: (a) Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan

1
tentang hak dan kewajiban moral, (b) Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, (c) Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat. Menurut Kamus Kedokteran, etika adalah pengetahuan tentang
perilaku yang benar dalam suatu profesi. 2
Yang dimaksud dengan etika adalah ilmu yang mempelajari azas akhlak,
sedangkan etik adalah seperangkat asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak
seperti dalam Kode Etik. Istilah etis biasanya digunakan untuk menyatakan sesuatu
sikap atau pandangan yang secara etis dapat diterima (ethically acceptable) atau tidak
dapat diterima (ethically unacceptable, tidak etis). 2
Pekerjaan profesi (professio berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang
memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam
masyarakat, seperti ahli hukum (hakim, pengacara), wartawan, dosen, dokter, dokter
gigi, dan apoteker. Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam
memberikan pelayanan kepada publik. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku
anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain. Pengalaman etika membuat
kelompok menjadi baik dalam arti moral. 2
Tujuan pendidikan etika dalam pendidikan kedokteran adalah untuk
menjadikan calon dokter lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual
dan emosional. Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter
dan dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman
sejawat, dan mitra kerja. Kode Etik tenaga kesehatan mengacu pada Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI). 2
- Bioetika Kedokteran
Bioetika berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan ethos yang berarti
norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang
biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang. 2

2. Pemberian Obat yang Rasional


WHO telah memprakarsai penggunaan obat yang rasional. Konsep penggunaan
obat yang rasional pertama kali dicetuskan dalam konferensi tentang pengobatan rasional
di Nairobi pada tahun 1985. Kerangka konsepsional tentang penggunaan obat yang
rasional itu dirumuskan berdasarkan kenyataan bahwa dari hasil-hasil survei penyediaan

2
dan pengguanaan obat diberbagai negara terdapat masalah penyediaan dan penggunaan
obat yang meliputi betambah banyaknya jenis dan jumlah obat baru yang beredar
(pertumbuhan pasaran obat), harga obat yang tidak terjangkau, penggunaan obat yang
berlebihan dan tanpa indikasi yang jelas, beredarnya obat-obat yang tidak efektif dan
tidak aman, distribusi obat yang tidak merata, promosi obat yang berlebihan, dan
pengetahuan serta sikap tentang pengadaan dan penggunaan obat yang kurang memadai. 2
Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional
(POR) adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis
pasien, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan
dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Penggunaan obat
yang rasional harus tepat secara medik dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Penggunaan
obat yang rasional mencakup tentang pasien yang tepat, pemilihan obat yang tepat,
indikasi yang tepat, dosis, pemberian dan durasi pengobatan yang tepat, pasien yang tepat
serta kepatuhan terhadap pengobatan, termasuk biaya dan informasi yang tepat. 3
Tepat pasien artinya obat hanya diberikan berdasarkan ketepatan tenaga kesehatan
dalam menilai kondisi pasien dengan mempertimbangkan: (a) Adanya penyakit yang
menyertai, misalnya pasien dengan kelainan ginjal atau hati tidak boleh mendapatkan
obat yang dapat mempengaruhi ginjal (nefrotoksik) atau hati (hepatotoksik); (b) Kondisi
khusus seperti hamil, menyusui, balita, lansia; (c) Pasien dengan riwayat alergi; (d)
Pasien dengan riwayat psikologis. 2-5
Tepat indikasi artinya apabila ada indikasi yang benar untuk penggunaan obat
tersebut sesuai diagnosa dan telah terbukti manfaat terapinya. Prinsip tepat indikasi
adalah tidak semua pasien memerlukan intervensi obat. Di beberapa negara berkembang,
persentase peresepan antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara
52% sampai 62%. Data yang terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan
YOP mencatat sedikitnya 47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak diperlukan.
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan masalah baru, yaitu
resistensi kuman. 2-5
Tepat obat adalah ketepatan pemilihan obat dengan mempertimbangkan: (a)
Ketepatan kelas terapi dan jenis obat sesuai dengan efek terapi yang diperlukan, (b)
Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti, baik resiko efek sampingnya maupun
adanya kontraindikasi, (c) Jenis obat paling mudah didapat, (d) Sedikit mungkin jumlah
jenis obat yang dipakai, (e) Pemilihan obat harus disesuaikan dengan efek klinik yang
diharapkan. 2-5

3
Efek obat yang maksimal diperlukan penentuan dosis, cara dan lama pemberian
obat yang tepat. Besarnya dosis, cara dan frekuensi pemberian obat umumnya didasarkan
pada sifat farmakokinetik dan farmakodinamik obat serta kondisi pasien. Sedangkan lama
pemberian obat berdasarkan pada sifat penyakit, apakah penyakit akut atau kronis,
kambuhan berulang, dan sebagainya. Tepat dosis adalah ketepatan jumlah obat yang
diberikan pada pasien, dimana dosis berada dalam range dosis terapi yang
direkomendasikan serta disesuaikan dengan usia dan kondisi pasien, misalnya pasien
anak > 60 kg biasanya disarankan menggunakan dosis dewasa. Usia lanjut atau pasien
dengan kerusakan ginjal dan hati biasanya memerlukan penyesuaian dosis. Tepat cara
pemberian obat adalah ketepatan pemilihan bentuk sediaan obat yang diberikan sesuai
dengan diagnosa, kondisi pasien dan sifat obat, misalnya per oral (melalui mulut), per
rektal (melalui dubur), per vaginal (melalui vagina), parenteral (melalui suntikan, bisa
intravena, intramuskular, subkutan) atau topikal (dioleskan di kulit, seperti krim, gel,
salep). Jika obat masih bisa diberikan melalui oral, hindari pemberian melalui parenteral.
Jika terapi cukup secara lokal melalui obat-obat topikal, tidak perlu diberikan melalui
oral. Tepat frekuensi atau interval pemberian obat adalah ketepatan penentuan frekuensi
atau interval pemberian obat sesuai dengan sifat obat dan profil farmakokinetiknya,
misalnya tiap 4 jam, 6 jam, 8 jam, 12 jam atau 24 jam. Jika obat dalam tubuh akan habis
dalam waktu 8 jam, sebaiknya obat diberikan 3 kali sehari. Tepat lama pemberian obat
adalah penetapan lama pemberian obat sesuai dengan diagnosa penyakit dan kondisi
pasien, apakah obat cukup diminum hingga gejala hilang saja, atau obat perlu diminum
selama 3 hari, 5 hari, 3 bulan, dll. Tepat saat pemberian obat adalah ketepatan
menentukan saat terbaik pemberian obat sesuai dengan sifat obat dan kondisi pasien,
apakah obat diberikan sebelum makan, sesudah makan, saat makan, sebelum operasi atau
sesudah operasi, dll. 2-5
Tepat biaya artinya mengutamakan untuk meresepkan obat-obat generik
dibandingkan obat paten yang harganya lebih mahal. Biaya terapi (harga obat dan biaya
pengobatan) hendaknya dipilih yang paling terjangkau oleh keuangan pasien. Pemilihan
biaya diharapkan agar disesuaikan dengan keadaan ekonomi dari masing-masing pasien.
2-5

Yang terakhir adalah tepat informasi. Kejelasan informasi tentang obat yang harus
diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan
keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi

4
bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti
minum obat walaupun urinnya berwarna merah. 2-5

3. Cara Meningkatkan Kepatuhan Berobat


TBC merupakan penyakit menular yang memerlukan pengobatan dengan rentang
waktu yang lama. Hal tersebut memungkinkan terjadi ketidakpatuhan terhadap terapi
yang diprogramkan. TB Paru dapat disembuhkan dengan patuh terhadap pengobatan
selama enam bulan, tetapi banyak pasien gagal untuk menyelesaikannya karena obat
memiliki efek samping yang tidak menyenangkan dan aturan pakai obat yang rumit.
Selain itu, pasien merasa sudah sembuh setelah memulai pengobatan sehingga pasien
berhenti minum obat sebelum waktu yang ditetapkan oleh petugas kesehatan. 6,7
Putus obat bukannya tidak menimbulkan resiko. Kuman yang penyebab
tuberculosis akan bangun lagi dan menjadi lebih ganas. Seringkali penderita tuberculosis
yang putus obat, datang kembali dengan gejala yang lebih berat beberapa bulan
kemudian. Bahkan sampai tidak dapat diatasi dengan pengobatan standar karena kuman
menjadi resisten dengan obat-obatan. Penderita tuberculosis tentunya tidak bisa berhenti
dalam pengobatan. Pengobatan tuberculosis akan berhenti bila gejala dan penyebab mulai
menghilang dan tidak menunjukkan kemunculan kembali, tentunya atas izin dan tetap
dalam pengawasan dokter, tetapi hal ini juga tergantung dengan pola hidup penderita. 6,7
Berdasarkan penelitian dari salah satu jurnal dapat dijelaskan bahwa ada beberapa
faktor penunjang yang dapat meningkatkan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru,
yaitu: 6,7
a. Motivasi ingin sembuh dari penyakit TBC
Motivasi merupakan respon dari suatu tujuan. Pada penderita TBC paru,
tujuan yang ingin dicapai adalah sembuh dari penyakit TBC. Kesembuhan ini yang
mendorong mereka untuk menyelesaikan dan mematuhi pengobatan yang
diprogramkan. Selain itu, petugas kesehatan dan keluarga juga berperan aktif dalam
mengembangkan motivasi pasien untuk sembuh. 6,7
b. Dukungan dari keluarga
Keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi pasien yang dapat
memberi motivasi dan membimbing pasien untuk patuh pada pengobatan
tuberculosis. 6,7

5
c. Pengawasan dari PMO (Pengawas Menelan Obat)
Penderita TBC paru perlu didampingi seorang PMO untuk meningkatkan
keteraturan minum obat, terutama pada awal pengobatan dimana penderita sering
lupa. Bila tahap ini dapat dilalui dengan baik maka kemungkinan besar penderita
dapat disembuhkan. Sebagaimana yang diketahui bahwa tugas PMO yaitu mengawasi
penderita. 6,7
d. Penyuluhan/informasi dari petugas kesehatan
Penyuluhan kesehatan dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan
penderita. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan
penderita terhadap pengobatan TBC. Penyuluhan perorangan oleh petugas kesehatan
juga sangat membantu penderita. Petugas kesehatan dapat memberikan informasi
kepada pasien akan manfaat dan pentingnya kepatuhan untuk mencapai keberhasilan
pengobatan, mengingatkan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang harus
dilakukan demi keberhasilan pengobatan melalui telepon atau alat komunikasi
lainnya, menunjukkan kepada pasien kemasan obat yang sebenarnya, memberi
keyakinan kepada pasien akan efektivitas obat dalam penyembuhan, memberikan
informasi resiko ketidakpatuhan, dan memberikan layanan kefarmasian (dengan
observasi langsung, mengunjungi rumah pasien dan memberikan konsultasi
kesehatan. Pemberian informasi oleh petugas kesehatan sebaiknya dilakukan dengan
melihat latar belakang pendidikan pasien dan dijelaskan sesederhana mungkin agar
pasien dapat memahami tentang pengobatan dan dapat melindungi keluarga dari
penularan penyakit TBC paru. 6,7

Kesimpulan

Perlu adanya kerjasama dari petugas kesehatan, pasien, dan keluarga untuk
mendukung keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru. Petugas kesehatan bertanggung
jawab untuk memberikan dukungan terhadap pasien, seperti dengan memberikan konsultasi
dan informasi tentang pengobatan TBC kepada pasien serta mengingatkan pasien untuk
teratur minum obat. Sedangkan keluarga pasien sebaiknya memberikan dukungan kepada
pasien dan mengingatkan pasien untuk teratur minum obat. Perlu juga adanya motivasi dalam
diri pasien sendiri untuk sembuh serta patuh terhadap pengobatan yang diberikan.

6
Daftar Pustaka

1. Raharjo R. Kumpulan kuliah farmakologi. Ed ke-2. Jakarta: EGC; 2008.h.10-2.


2. Hanafiah J, Amir A. Etika kedokteran & hokum kesehatan. Ed ke-4. Jakarta: EGC;
2008.h.2-4.
3. World Health Organization. The persuit of responsible use of medicine. Edition: March
2013. Upload from: http://www.who.int, October 25th 2016.
4. Aminah S. Evaluasi penggunaan obat antituberculosis pada pasien tuberculosis Multi
Drugs Resistant di Rumah Sakit X periode Januari-Juni 2013. Edisi: 18 Januari 2014.
Diupload dari: http://eprints.ums.ac.id, 25 Oktober 2016.
5. Dokter Anak Indonesia. Penggunaan obat tidak rasional dan dampaknya. Edisi: 19
Oktober 2014. Diupload dari: www.penyakitmenular.com, 25 Oktober 2016.
6. Erawatyningsih E, Purwanta, Subekti H. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru. Berita Kedokteran Masyarakat
2009; 25(3):117-24.
7. Lestari S, Chairul HM. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan penderita TBC
untuk minum obat anti tuberkulosis. Edisi: 2013. Diupload dari:
download.portalgaruda.org, 25 Oktober 2016.

You might also like