You are on page 1of 11

efinisi

1. Menurut Brown CV, Weng J, Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung
kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak.
2. Menurut Morton (2012), trauma capitis merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak.
3. Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada kulit kepala, tulang
tengkorak dan pada otak. (Brunner and Suddarth Medikal Surgical Nursing).
B. Tujuan
Craniotomy adalah jenis operasi otak. Ini adalah operasi yang paling umum dilakukan untuk
otak pengangkatan tumor. Operasi ini juga dilakukan untuk menghilangkan bekuan darah
(hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma
serebral), untuk memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah),
untuk menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk melakukan
biopsi, atau untuk memeriksa otak.
C. Etiologi
Etiologi dilakukannya Craniotomy karena :
a. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak. Misalnya pukulan-
pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul
b. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak. Misalnya membentur
tanah atau mobil.
c. Kombinasi keduanya.
capitis berat : Trauma tidak langsung disebabkan karena
tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma
langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan
pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan
itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
D. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya
cadangan oksigen. Jadi kekurangan aliran darah keotak tidak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
menyebabkan timbulnya metabolic asidiosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF)
adalah 50 – 60 ml/ menit /100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah jantung (CO).
E. Mekanisme cedera
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat-ringannya
konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena
terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur
objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung,
seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan
pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukan otak,
laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
F. Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah, dan
e. Pembenahan organ-organ intrakranial.
f. Tumor otak
g. Perdarahan (hemorrage)
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak
G. Teknik Operasi
Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup kurang lebih 15 derajat
(pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma.
Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di
bahu kiri dan sebaliknya.
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada
di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek
steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan melihat CT
scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari
perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII
( kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung
lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung

- Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.

- Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya
diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahayanekrosis pada kulit
kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek.

- Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah
yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.

- Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan.
- Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudsons Brace) kemudiandengan mata bor
yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.

- Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.

- Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorholedengan kapas
basah/ wetjes.

- Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde.Masukan
penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai
menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten
memfixir kepala penderita

- Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara

- Tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudianmiringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.

- Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dansuctioning
sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bonewax.

- Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.

- Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari
dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawahtulang yang merembes
tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlutambahkan spongostan di bawah tulang.
Bila perdarahan profus dari bawah tulang(berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari
sumber perdarahan kecualidicurigai berasal dari sinus.

- Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpuldengan jarak
kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan denganspoeling berulang-ulang.

H. Manifestasi klinis

Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi
gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, dan
perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori,
kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena
cedera SSP sendiri tidak meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan
cedera multisistem.

1. Trauma capitis ringan

a. Cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak pingsan, tidak muntah, tidak ada
tanda-tanda neurology.

b. Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah, nyeri kepala, tidak ada
tanda-tanda neurology.

c. Trauma capitis sedang

Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda neurology.

d. Trauma capitis berat

1) Laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan, kelumpuhan anggota
gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.

2) Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar lagi namun
beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi, tekanan darah dan suhu
meningkat.

3) Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK meningkat, lumpuh.

I. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien post operasi craniotomy, antara lain :

a. Edema cerebral
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
c. Hypovolemik syok
d. Hydrocephalus
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran
darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini.
g. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering
menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah
perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
h. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ
dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan.
J. Pemeriksaan penunjang
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :

a. Tomografi komputer (pemindaian CT)

Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel,

dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.

Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak

terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.

b. Pencitraan resonans magnetik (MRI)

Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain.

c. Electroencephalogram (EEG)

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.

d. Angiografy Serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,

perdarahan trauma

e. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah

(karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang.

f. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak

g. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak

h. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid

i. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat

meningkatkan TIK

j. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan

TIK/perubahan mental

k. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan

kesadaran

l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif

untuk mengatasi kejang.


K. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Perawatan
Penatalaksanaan Perawatan pada pasien post operasi Craniotomy :
1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2) Mempercepat penyembuhan
3) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4) Mempertahankan konsep diri pasien
5) Mempersiapkan pasien pulang
b. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada pasien post craniotomy antara lain :
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringanya trauma
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi
3) Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol
5) Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
6) Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube
(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
7) Pembedahan.
c. Penatalaksanaan konservatif
Penatalaksanaan konservatif pada pasien post craniotomy, antara lain :
1) Bedrest total
2) Pemberian obat-obatan
3) Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

You might also like