You are on page 1of 17

Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016

P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658

Profil Kepatuhan Minum Obat Antihipertensi Pada


Pasien Hipertensi Di Lingkungan Universitas Tarumanagara
Periode Juli-Desember 2015
Alfindra Sepalawandika1 dan Shirly Gunawan 2

ABSTRACT: 2013 World Health Statistics showed mortality rate of age 30-70 is 876 among
100.000 Indonesia population. Cardiovascular disease and diabetes are the leading cause of
death, accounting for 308 deaths per 100,000 population. Hypertension is the most common
cardiovascular disease. Inappropriate management of hypertension will cause serious
complication, including death. Drug treatment is compulsory to achieve a blood pressure goal.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007 showed only 0.4% hypertensive patients
who took medication. Based on 2005 World Health Report, uncontrolled hypertension caused
seven million deaths among productive ages and 64 million morbidities. Patient’s compliance
becomes one important success key of the treatment. The aim of the study is to know the profile
of hypertensive patient’s compliance in Tarumanagara University. A descriptive cross-sectional
study is conducted between July to December 2015 among 48 hypertensive Tarumanagara
University employee who was getting medication from phycisian. Study sample was gained by
using non-random sampling design. This study used a Morisky 8-Item Medication Adherence
Questionnaire for reviewing patient’s compliance. The result showed among 48 respondents,
4.2% had good compliance and 95.8% with poor compliance. All patients with good
compliance had controlled blood pressure whereas 78.3% with poor compliance had
uncontrolled blood pressure.
Keywords: hypertension, antihypertension, medication compliance; profile

ABSTRAK: World Health Statistics tahun 2013 menunjukkan angka kematian (mortality rate)
usia 30-70 tahun sebesar 876 per 100.000 populasi di Indonesia. Penyebab kematian terbanyak
adalah penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus yaitu sebesar 308 per 100.000 populasi.
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum terjadi. Penyakit
ini jika tidak mendapatkan tata laksana yang tepat, dapat menyebabkan komplikasi berat hingga
kematian. Pengobatan hipertensi wajib diberikan hingga mencapai target tekanan darah
terkontrol. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007 menunjukkan hanya 0,4%
penderita hipertensi yang minum obat antihipertensi. Berdasarkan World Health Report 2005,
hipertensi tidak terkontrol mengakibatkan 7 juta kematian di usia produktif dan 64 juta
kecacatan. Salah satu faktor penentu keberhasilan pengobatan hipertensi ialah kepatuhan minum
obat penderita. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui profil kepatuhan
minum obat antihipertensi karyawan Universitas Tarumanagara. Penelitian merupakan
penelitian deskriptif cross-sectional yang dilakukan pada Juli 2015 hingga Desember 2015
dilakukan terhadap 48 orang karyawan Universitas Tarumanagara yang menderita hipertensi
dan sedang menjalani pengobatan. Sampel penelitian diperoleh dengan melakukan teknik
consecutive non random sampling. Responden diberikan kuesioner berdasarkan Morisky 8-Item
Medication Adherence Questionnaire untuk menilai kepatuhan dalam minum obat. Hasil
penelitian menunjukkan hanya 4,2% responden yang memiliki kepatuhan minum obat yang
tinggi, sedangkan 95,8% responden memiliki kepatuhan yang rendah, sedangkan dari 100%
responden yang memiliki kepatuhan tinggi dalam minum obat, semuanya memiliki tekanan
darah yang terkontrol. Dari 78,3 % responden yang memiliki kepatuhan rendah memiliki
tekanan darah yang tidak terkontrol.
Kata Kunci: hipertensi, antihipertensi, kepatuhan minum obat, profil

1
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara (alfindra271293@gmail.com)
2
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara (shirlyg@fk.untar.ac.id)

C-638
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Pendahuluan

Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu kedokteran dan perubahan gaya


hidup yang terjadi saat ini, telah mendorong perubahan pola penyakit yang sebelumnya
merupakan penyakit infektif menjadi penyakit degeneratif dan salah satunya adalah
penyakit kardiovaskular (cardiovascular disease). Penyakit kardiovaskular adalah
penyakit yang disebabkan oleh gangguan dari jantung dan pembuluh darah, termasuk di
dalamnya coronary heart disease, stroke, peripheral artery disease, rheumatic heart
disease, congenital heart disease, heart failure dan hypertension. Penyebab utama dari
penyakit kardiovaskular ini adalah penggunaan rokok, alkohol berlebihan, makanan
tidak sehat, aktivitas fisik, dan stres (Yogiantoro, 2014).
Berdasarkan World Health Statistics tahun 2013, angka kematian (mortality
rate) usia 30-70 tahun secara global adalah 764 per 100.000 populasi, 987 per 100.000
populasi di Asia Tenggara, dan 876 per 100.000 populasi di Indonesia. Penyumbang
terbesar angka kematian pada usia 30-70 tahun adalah akibat penyakit cardiovascular
and diabetes, secara global tercatat angka kematian akibat cardiovascular disease and
diabetes adalah 245 per 100.000, 322 per 100.000 populasi di Asia Tenggara,
sedangkan di Indonesia adalah 308 per 100.000 populasi (WHO, 2013).
Hipertensi termasuk penyakit degeneratif dan merupakan penyakit
kardiovaskular yang paling lazim (Katzung, 2001). Hipertensi bila tidak ditangani
secara cepat dan tepat akan berdampak rusaknya pembuluh-pembuluh darah jantung,
otak, dan ginjal yang dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi dan dapat
menyebabkan kematian. Hipertensi juga sering disebut “Silent Killer”, hal ini perlu
diwaspadai karena setiap saat penyakit ini dapat menjadi pembunuh yang tak terduga.
Data mengenai hipertensi sampai saat ini sebagian besar hanya berasal dari
negara maju. National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) yang
dilaksanakan dari tahun 1988-1991 membuktikan bahwa 24% populasi orang dewasa
Amerika Serikat mengalami hipertensi (Katzung, 2001). Pada survei yang sama dari
tahun 1999- 2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang
berarti terjadi peningkatan insiden hipertensi sekitar 5-7%.5 Menurut WHO prevalensi
kenaikan tekanan darah (SBP ≥140 mmHg atau DBP ≥90 mmHg) pada usia 25 tahun
dari tahun 1980- 2008 di Asia Tenggara adalah 20% pada tahun 1980 dan meningkat
menjadi 25% pada tahun 2008 (WHO, 2012, Sudoyo et al., 2009).
Dengan meningkatnya prevalensi hipertensi, telah banyak dilakukan berbagai
study dan penelitian guna melakukan tindakan preventif terhadap penyakit hipertensi.
Namun seharusnya, penatalaksanaan kuratif pada pasien hipertensi juga perlu dikontrol
dengan cermat mengingat hipertensi merupakan salah satu faktor risiko cardiovascular
disease yang merupakan penyumbang terbesar angka kematian pada usia 30-70 tahun
Obat antihipertensi yang pemberiannya dilakukan secara rutin bertujuan agar
obat ini selalu berada dalam sirkulasi darah untuk melakukan fungsinya yaitu
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan terkontrol (Gunawan et al., 2012).
Namun, hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2007 menunjukkan hanya 0,4%
penderita hipertensi yang minum obat antihipertensi. Berdasarkan World Health Report,
hipertensi tidak terkontrol mengakibatkan 7 juta kematian di usia produktif dan
mengakibatkan 64 juta kecacatan (WHO, 2005; US Department of Human & Health
Sevice, 2003) dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Rohman dan kawan-kawan
pada tahun 2005 di Indonesia menunjukkan bahwa di antara pasien yang datang ke
poliklinik, hanya 39,3% yang mencapai target tekanan darah.

C-639
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepatuhan minum obat
antihipertensi pada karyawan Universitas Tarumanagara dikaitkan dengan
terkontrolnya/ tidaknya penyakit serta mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi
kepatuhan. Dengan diketahuinya gambaran ini, maka akan dapat diupayakan
pengendalian penyakit para penderita hipertensi di lingkungan Universitas
Tarumanagara melalui peningkatan kepatuhan minum obat antihipertensi.

Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif cross-
sectional dan dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara pada bulan
Juli-Desember 2015 dengan perkiraan besar sampel sebanyak 97 karyawan Universitas
Tarumanagara yang menderita hipertensi dan mengonsumsi obat antihipertensi.
Digunakan teknik consecutive non-probability sampling untuk proses pengambilan
sampel.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah responden telah didiagnosis oleh
seorang dokter sebagai penderita hipertensi dan minum obat antihipertensi yang
diresepkan oleh seorang dokter. Cara kerja penelitian yang dilakukan adalah peneliti
mencari responden yang memenuhi kriteria inklusi dan diberikan kuesioner untuk diisi,
lalu dilakukan wawancara dan pengukuran tekanan darah. Variabel yang dinilai dalam
penelitian ini adalah tekanan darah, kepatuhan minum obat, usia, jenis kelamin, status
pernikahan, tingkat pendidikan, kepercayaan, motivasi, sikap negatif, hubungan dokter-
pasien, melek kesehatan, konsumsi rokok, konsumsi alkohol, lupa, kompleksitas obat,
durasi pengobatan, efek samping obat, derajat perubahan pola hidup, rasa obat,
pelayanan kesehatan, efektifitas waktu, dukungan sosial, finansial, dan perburukan
penyakit. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner (Morisky 8-Item
Medication Adherence Questionnaire) (Morisky et al., 1986), stethoscope, dan
sfigmomanometer.
Pengumpulan dan pengolahan data dilaksanakan dengan menanyakan kesediaan
responden untuk mengikuti penelitian lalu dilakukan pengukuran tekanan darah dan
wawancara. Hasilnya terdiri dari responden yang menderita hipertensi dan telah minum
obat, dan yang menderita hipertensi dan tidak minum obat. Pada responden yang
menderita hipertensi dan minum obat akan diberikan kuesioner untuk menilai kepatuhan
dan faktor-faktor yang ada dalam kepatuhan minum obat. Pada responden yang tidak
minum obat diberikan edukasi mengenai hipertensi. Analisis data dilakukan
menggunakan perhitungan statistika dan hasilnya berupa frekuensi dan persentase
(proporsi) yang disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil Dan Pembahasan

Keadaan Umum
Dalam proses pencarian sampel yang dilakukan sejak Juli hingga Desember
2015 di Universitas Tarumanagara pada 214 karyawan, dengan menggunakan
sphygmomanometer untuk menilai keadaan tekanan darah didapatkan sebanyak 78
karyawan menderita hipertensi. Namun, hanya 48 karyawan yang mengonsumsi obat
dan sebanyak 30 karyawan sisanya sama sekali tidak mengonsumsi obat antihipertensi.

C-640
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Pada karyawan yang tidak mengonsumsi obat antihipertensi didapatkan
sebanyak 22 responden (73,3%) menderita hipertensi derajat satu dan 8 responden
(26,7%) menderita hipertensi derajat dua.

Tabel 1: Hasil pengukuran tekanan darah karyawan hipertensi yang tidak minum
obat antihipertensi

Klasifikasi Tekanan Darah Jumlah (%) (n=30)


Hipertensi derajat 1 22 (73,3%)
Hipertensi derajat 2 8 (26,7%)

Pada karyawan yang mengonsumsi obat antihipertensi selanjutnya disebut


sebagai responden karena memenuhi kriteria inklusi, didapatkan sebanyak 12 responden
(25%) memiliki tekanan darah terkontrol dan 36 responden (75%) memiliki tekanan
darah tidak terkontrol.

Tabel 2: Hasil pengukuran tekanan darah karyawan hipertensi yang minum obat
antihipertensi (responden)

Keadaan Tekanan Darah Jumlah (%) (n=48)


Terkontrol 12 (25%)
Tidak terkontol 36 (75%)

Dengan menggunakan kuesioner untuk menilai tingkat kepatuhan minum obat


antihipertensi (Morisky 8-item Medication Adherence Scale) pada 48 responden
tersebut, diketahui sebanyak 46 responden (95,8%) memiliki kepatuhan rendah dan dua
responden (4,2%) memiliki kepatuhan tinggi.

Tabel 3: Tingkat kepatuhan responden

Kepatuhan minum obat Jumlah (%) (n=48)


Kepatuhan rendah 46 (95,8%)
Kepatuhan tinggi 2 (4,2%)

Karakteristik Demografi Responden


Dari penelitian yang dilakukan sejak Juli hingga Desember 2015 di Universitas
Tarumanagara pada 48 responden didapatkan usia <40 tahun sebanyak 0 (0%), usia 40-
55 tahun sebanyak 34(70,8%), dan usia >55 sebanyak 14 (29,2%) yang terdiri dari 34
responden (70,8%) laki-laki dan 14 responden (29,2%) perempuan. Seluruh responden
sudah menikah. Tingkat pendidikan responden dibagi berdasarkan pendidikan terakhir
yang dimilikinya yaitu SMA sebanyak 18 responden (37,5%), D3 sebanyak 2 responden
(4,2%), S1 sebanyak 12 responden (25%), S2 sebanyak 12 responden (25%), dan S3
sebanyak 4 responden (8,3%).

C-641
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Tabel 4: Karakteristik demografi responden

Jumlah (%)
Karakteristik
(n=48)

Usia
< 40 tahun 0 (0%)
40-55 tahun 34(70,8%)
> 55 tahun 14 (29,2%)
Jenis kelamin
Laki-laki 34 (70,8%)
Perempuan 14 (29,2%)
Status pernikahan
Menikah 48 (100%)
Belum menikah 0 (0%)
Tingkat pendidikan
SMA 18 (37,5%)
D3 2 (4,2%)
S1 12 (25%)
S2 12 (25%)
S3 4 (8,3%)

Karakteristik Faktor-faktor yang Ada Pada Kepatuhan Responden


Dari penelitian ini didapatkan 34 responden (70,8%) percaya terhadap efektifitas
obat antihipertensi, 32 responden (66,7%) memiliki motivasi untuk patuh dalam
pengobatan antihipertensi, 34 responden tidak merasa cemas/takut/ depresi terhadap
pengobatan antihipertensinya, 44 responden (91,7%) memiliki presepsi yang baik
terhadap dokter yang merawatnya, 36 responden (75%) dapat membaca/ memahami/
mengingat pentunjuk pengobatan dan bertindak atas informasi kesehatan, 42 responden
(87,5%) tidak mengonsumsi rokok, seluruh responden tidak mengonsumsi alkohol, 26
responden (54,2%) tidak lupa minum obat antihipertensinya, 40 responden (83,3%)
tidak mengeluhkan kompleksitas pengobatan, 30 responden (52,5%) tidak mengeluhkan
durasi pengobatan yang panjang, seluruh responden tidak mengeluhkan adanya efek
samping obat yang mengganggu, 26 responden (54,2%) merasa repot dengan perubahan
pola hidup yang dianjurkan, 46 responden (95,5%) tidak mengeluhkan rasa dari obat
antihipertensi, 40 responden (83,3%) merasa puas pada prgoram pelayanan kesehatan,
42 responden (87,5%) merasa efektifitas waktunya tidak terganggu, 42 responden
(87,5%) mendapat dukungan sosial atas pengobatannya, 44 responden (91,7%) tidak
keberatan terhadap pembiayaan pengobatannya, 42 responden (87,5%) tidak merasakan
ada perburukan terhadap hipertensinya.

Tabel 5: Karakteristik faktor-faktor yang ada pada kepatuhan responden

Jumlah (%)
Karakteristik
(n=48)
Faktor Pasien
Kepercayaan
Percaya 34 (70,8%)
Tidak percaya 14 (29,2%)
Motivasi

C-642
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658

Memiliki motivasi 32 (66,7%)


Tidak memiliki motivasi 16 (33,3%)
Sikap negative
Iya 14 (29,2%)
Tidak 34 (70,8%)
Hubungan dokter-pasien
Baik 44 (91,7%)
Tidak baik 4 (8,3%)
Melek kesehatan
Iya 36 (75%)
Tidak 12 (25%)
Konsumsi rokok
Iya 6 (12,5%)
Tidak 42 (87,5%)
Konsumsi alcohol
Iya 0 (0%)
Tidak 48 (100%)
Lupa
Iya 22 (45,8%)
Tidak 26 (54,2%)

Jumlah (%)
Karakteristik
(n=48)

Faktor Pengobatan

Kompleksitas obat
Iya 8 (16,7%)
Tidak 40 (83,3%)
Durasi pengobatan
Iya 18 (37,5%)
Tidak 30 (52,5%)
Efek samping obat
Iya 0 (0%)
Tidak 48 (100%)
Derajat perubahan pola
hidup
Iya 26 (54,2%)
Tidak 22 (45,8%)
Rasa obat
Iya 2 (4,2%)
Tidak 46 (95,5%)

Faktor Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan
Puas 40 (83,3%)
Tidak puas 8 (16,7%)

C-643
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658

Faktor Sosial Ekonomi


Efektifitas waktu
Terganggu 6 (12,5%)
Tidak terganggu 42 (87,5%)
Dukungan sosial
Didukung 42 (87,5%)
Tidak didukung 6 (12,5%)
Finansial
Iya 4 (8,3%)
Tidak 44 (91,7%)

Faktor Penyakit
Perburukan penyakit
Iya 6 (12,5%)
Tidak 42 (87,5%)

Gambaran Tingkat Kepatuhan Berdasarkan Data Demografi Responden


Pada penelitian ini ditemukan 100% responden usia >55 tahun memiliki
kepatuhan rendah 100% responden perempuan memiliki kepatuhan rendah, seluruh
responden sudah menikah sehingga tidak bisa dinilai, 16,7% dari responden yang
memiliki pendidikan terakhir S2 memiliki kepatuhan yang tinggi.

Tabel 6: Gambaran tingkat kepatuhan berdasarkan data demografi responden

Kepatuhan
Kepatuhan
Rendah
Karakteristik Tinggi
n= 46
n=2 (4,2%)
(95,8%)
Usia
< 40 tahun 0 (0%) 0 (0%)
40-55 tahun 32 (94,1%) 2 (5,9%)
> 55 tahun 14 (100%) 0 (0%)
Jenis kelamin
Laki-laki 32 (94.1%) 2 (5,9%)
Perempuan 14 (100%) 0 (0%)
Status pernikahan
Menikah 46 (95,8%) 2 (4.2%)
Belum 0 (0%) 0 (0%)
menikah

Tingkat pendidikan
SMA 18 (100%) 0 (0%)
D3 2(100%) 0 (0%)

C-644
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658

S1 12(100%) 0 (0%)
S2 10(83,3%) 2 (16,7%)
S3 4 (100%) 0 (0%)

Gambaran Tingkat Kepatuhan Berdasarkan Faktor-faktor yang ada.


Dari penelitian ini didapatkan 100% dari responden yang percaya terhadap
efektifitas obat antihipertensi memiliki kepatuhan rendah, 93,8% dari responden yang
memiliki motivasi untuk patuh dalam pengobatan antihipertensi memiliki kepatuhan
rendah, 94,1% dari responden yang tidak merasa cemas/takut/ depresi terhadap
pengobatan antihipertensinya memiliki kepatuhan rendah, 100% dari responden
memiliki presepsi yang tidak baik terhadap dokter yang merawatnya memiliki
kepatuhan rendah, 100% dari responden yang dapat membaca/ memahami/ mengingat
pentunjuk pengobatan dan bertindak atas informasi kesehatan memiliki kepatuhan
rendah, 100% dari responden yang mengonsumsi rokok memiliki kepatuhan rendah,
seluruh responden tidak mengonsumsi alkohol sehingga tidak dapat dinilai, 100% dari
responden yang terbiasa lupa minum obat antihipertensinya memiliki kepatuhan rendah,
100% dari responden yang mengeluhkan kompleksitas pengobatan memiliki kepatuhan
rendah, 100% dari responden yang mengeluhkan durasi pengobatan yang panjang
memiliki kepatuhan rendah, seluruh responden tidak mengeluhkan adanya efek samping
obat yang mengganggu sehingga tidak dapat dinilai, 100% dari responden yang tidak
merasa repot dengan perubahan pola hidup yang dianjurkan memiliki kepatuhan rendah,
100 % dari responden yang mengeluhkan rasa dari obat antihipertensi memiliki
kepatuhan rendah, 100% dari responden yang tidak puas terhadap program pelayanan
kesehatan memiliki kepatuhan rendah, 100% dari responden yang merasa efektifitas
waktunya terganggu memiliki kepatuhan rendah, 100% dari responden yang tidak
mendapat dukungan sosial atas pengobatannya memiliki kepatuhan rendah, 100%
responden yang keberatan terhadap pembiayaan pengobatannya memiliki kepatuhan
rendah, 100% dari responden yang merasakan ada perburukan terhadap hipertensinya
memiliki kepatuhan rendah.

Tabel 7: Gambaran tingkat kepatuhan berdasarkan faktor-faktor yang ada

Karakteristik Kepatuhan Rendah Kepatuhan Tinggi


n= 46 (95,8%) n=2 (4,2%)
Faktor Pasien
Kepercayaan
Percaya 34 (100%) 0 (0%)
Tidak percaya 12 (85,7%) 2 (14,3%)
Motivasi
Memiliki 30 (93,8%) 2 (6,2%)
motivasi
Tidak 16 (100%) 0 (0%)
memiliki
motivasi
Sikap negative
Iya 14 (100%) 0 (0%)
Tidak 32 (94,1%) 2 (5,9%)

C-645
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658

Hubungan dokter-pasien
Baik 42 (95,5%) 2 (4.5%)
Tidak baik 4 (100%) 0 (0%)
Melek kesehatan
Iya 36 (100%) 0 (0%)
Tidak 10 (83,3%) 2 (16,7%)
Konsumsi rokok
Iya 6 (100%) 0 (0%)
Tidak 40 (95,2%) 2 (4,8%)
Konsumsi alcohol
Iya 0 (0%) 0 (0%)
Tidak 46 (95,8%) 2 (4,2%)
Lupa
Iya 22 (100%) 0 (0%)
Tidak 24 (92,3%) 2 (7,7%)
Faktor Pengobatan
Kompleksitas obat
Iya 8 (100%) 0 (0%)
Tidak 38 (95%) 2 (4,2%)
Durasi pengobatan
Iya 18 (100%) 0 (0%)
Tidak 28 (93,3%) 2 (6,7%)
Efek samping obat
Iya 0 (0%) 0 (0%)
Tidak 46 (95,8%) 2 (4,2%)
Derajat perubahan pola hidup
Iya 24 (92,3%) 2 (7,7%)
Tidak 22 (100,0%) 0 (0%)

Karakteristik Kepatuhan Rendah Kepatuhan Tinggi


n= 46 (95,8%) n=2 (4,2%)

Rasa obat
Iya 2 (100%) 0 (0%)
Tidak 44 (95,7%) 2 (4,3%)

Faktor Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan
Puas 38 (95,8%) 2 (5%)
Tidak puas 8 (100%) 0 (0%)

Faktor Sosial Ekonomi


Efektifitas waktu
Terganggu 6 (100%) 0 (0%)
Tidak 40 (95,2%) 2 (4,8%)
terganggu
Dukungan social
Didukung 40 (95,2%) 2 (4,8%)

C-646
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658

Tidak 6 (100%) 0 (0%)


didukung
Finansial
Iya 4 (100%) 0 (0%)
Tidak 42 (95,5%) 2 (4,5%)

Faktor Penyakit
Perburukan penyakit
Iya 6 (100%) 0 (0%)
Tidak 40 (95,2%) 2 (4.8%)

Pembahasan
Berdasarkan keingintahuan peneliti, dilakukan pengukuran tekanan darah pada
seluruh karyawan yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan didapatkan sebanyak 30
dari 78 karyawan yang memiliki hipertensi dan sama sekali tidak mengonsumsi obat
antihipertensi. Hal ini sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2007
menunjukkan memang sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum
terdiagnosis. Penderita hipertensi harus mengonsumsi obat antihipertensi secara rutin
agar mencapai tekanan darah yang terkontrol. Bagaimana dengan pasien yang sama
sekali tidak mengetahui bahawa ia mengidap hipertensi dan sama sekali tidak
mengonsumsi obat antihipertensi? Peneliti amat menyayangkan hal ini, dengan ilmu
kedokteran yang sudah sedemikian maju pesat, bahkan masih saja ada penderita
hipertensi yang belum terdiagnosis. Hal ini mungkin akibat penderita sendiri yang
kurang waspada dan perduli terhadap kesehatannya ataupun dapat juga akibat
kurangnya sosialisasi secara intensif dari seluruh tenaga-tenaga kesehatan (Depkes RI,
2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 48 orang penderita hipertensi yang
mengonsumsi obat antihipertensi di Universitas Tarumanagara didapatkan bahwa hanya
4,2% yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap pengobatan antihipertensi. Menurut
teori, salah satu penyebab hipertensi resisten adalah ketidakpatuhan pasien dalam
penggunaan obat antihipertensi. Sebuah penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh
Alfredo et al dengan menggunakan kuesioner kepatuhan yang sama dengan penelitian
ini (Morisky 8-Item Medication Adherence Questionnaire) didapatkan bahwa hanya
19,7% yang memiliki kepatuhan tinggi. Interaksi berbagai faktor turut berperan
mempengaruhi kepatuhan dari program pengobatan hipertensi, faktor-faktor tersebut
secara garis besar dibagi menjadi faktor dari dalam diri pasien sendiri, faktor terapi,
faktor pelayanan kesehatan faktor sosial ekonomi, dan faktor penyakit (Jin et al, 2008;
Mohani et al, 2014; Oliveira-Filho, et al, 2012).
Tekanan darah penderita hipertensi harus selalu dijaga untuk selalu berada
dalam batasan yang terkontrol. Konsep pengobatan hipertensi terdiri dari pencegahan
primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Ketika seseorang telah
didiagnosis mengidap hipertensi berarti sudah harus dilakukan suatu pencegahan
sekunder dimana tekanan darah harus diturunkan sampai 140/90 mmHg pada semua
hipertensi yang tidak berkomplikasi, penurunan sampai 130/80 mmHg pada penderita
dengan diabetes dan penyakit ginjal kronik, dan penurunan tekanan darah sampai
125/75 mmHg pada penderita proteinuria > 1g/hari. Pada penelitian ini didapatkan
seluruh responden yang memiliki kepatuhan minum obat yang rendah memiliki tekanan
darah yang tidak terkontrol. Oliveira dalam penelitiannya yang menghubungkan

C-647
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
kepatuhan minum obat yang dinilai menggunakan Morisky 8-Item Medication
Adherence Questionnaire dengan keadaan tekanan darah pasien mendapatkan hubungan
yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan keadaan tekanan darah yang
terkontrol. (Yogiantoro M., 2014; Oliveira-Filho, et al., 2012)
Dalam penelitian ini usia dikekompokkan menjadi < 40 tahun (kelompok usia
muda), 40-55 tahun (kelompok usia menengah), dan > 55 tahun (kelompok lansia).
Berdasarkan data demografik yang didapatkan peneliti pada penelitian ini didapatkan
semakin tua usia, kepatuhan minum obat antihipertensi semakin rendah. Beberapa
penelitian justru mendapatkan sebaliknya seperti yang didapatkan oleh Krousel-Wood
et al pada penelitiannya yang melihat faktor kunci untuk mencapai kontrol tekanan
darah dan hasil klinis yang baik pada pasien hipertensi. Pada penelitian ini didapatkan
hasil yang berbeda mungkin diakibatkan perbedaan jumlah proporsi umur responden.
Jumlah responden yang berusia > 55 tahun sebanyak 14 orang sedangkan yang berusia
40-55 tahun sebanyak 32 orang. Dengan perbedaan hampir setengahnya ini, menurut
peneliti hal ini tidak dapat dibandingkan. Namun beberapa penelitian lain menyebutkan
tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan usia pasien seperti yang dilakukan oleh
Wai CT et al pada pasien yang mengalami hepatitis kronis. (Krousel-Wood, et al., 2004;
Wai, et al., 2005)
Horne dan Weinman dalam penelitiannya yang melihat tentang kepercayaan
pasien pengidap penyakit kronis terhadap obat-obatan yang diresepkan pada mereka
tidak menemukan hubungan antara jenis kelamin dan kepatuhan dalam pengobatan.
Beberapa penelitian mendapatkan perempuan lebih patuh dibanding laki-laki namun ada
juga yang mendapatkan sebaliknya. Pada penelitian ini didapatkan laki-laki memiliki
kepatuhan lebih tinggi dibanding perempuan. Namun, penelitian yang dilakukan oleh
Vic et al mengatakan bahwa mereka belum menemukan pengaruh jenis kelamin
terhadap kepatuhan seseorang. Hal ini menandakan bahwa jenis kelamin sebenarnya
bukan merupakan prediktor yang baik dalam kepatuhan minum obat pasien (Fodor, et
al., 2005; Horne, et al., 1999; Vic, et al., 2004)
Pada penelitian ini, seluruh responden sudah menikah sehingga faktor ini tidak
dapat dinilai atau dijadikan prediktor untuk menentukan kepatuhan. Namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Cooper et al. yang melakukan studi di 11 negara untuk
melihat kepatuhan pada orang dewasa yang lebih tua didapatkan bahwa „sudah
menikah‟ dapat mempengaruhi kepatuhan pasien menjadi lebih baik (Cooper, et al.,
2005).
Pada penelitian ini didapatkan seluruh jenjang pendidikan terakhir yang
diperoleh responden tidak menjamin kepatuhannya, hanya 16,7% dari yang
berpendidikan terakhir S2 yang memiliki kepatuhan tinggi, selebihnya memiliki
kepatuhan yang rendah. Sama halnya dengan jenis kelamin, tingkat pendidikan ini tidak
dapat dijadikan indikator dalam kepatuhan minum obat, mengingat pada berbagai
penelitian hasilnya sangat beragam. Studi yang dilakukan oleh Okuno et al. yang
melihat apakah kerusakan kognitif merupakan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
kepatuhan minum obat pada masyarakat lansia di Jepang menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan yang lebih tinggi memiliki kepatuhan yang lebih tinggi, namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Kyngas dan Lahdenpera yang menilai kepatuhan pasien
hipertensi didapatkan pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah
memiliki kepatuhan yang lebih tinggi. Sedangkan beberapa study tidak menemukan
hubungan, contohnya pada penelitian yang dilakukan oleh Horne dan Weinmann.
(Horne et al., 1999; Vic, et al., 2004)

C-648
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Penelitian ini menemukan 100% dari responden yang memiliki kepercayaan
terhadap efektifitas obat antihipertensi memiliki kepatuhan yang rendah hal ini sangat
bertentangan dengan penelitian Krousel-WoodMA yang melihat faktor kunci untuk
mencapai kontrol tekanan darah dan hasil klinis yang baik pada pasien hipertensi
menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat akan meningkat saat pasien percaya bahwa
terapi akan efektif dan merasakan manfaatnya, hal ini mungkin diakibatkan karakteristik
demografi yang berbeda antara sampel yang digunakan, jumlah sampel pada penelitian
ini yang tidak mencukupi, atau pendekatan skala kepatuhan yang berbeda. Loffr et al
pada tahun 2003 yang melakukan penelitian pada pasien skizofrenia mendapatkan
bahwa pada pasien yang percaya bahwa komplikasi penyakitnya dapat memberi
konsekuensi yang berat bagi kesehatannya memiliki kepatuhan dalam pengobatan yang
baik dan hal ini juga bertentangan dengan penelitian yang peneliti lakukan (Jin et al.,
Loeffler et al., Krousel_wood, et al.)
Dalam penelitian ini didapatkan 100% dari responden yang tidak memiliki
motivasi untuk patuh dalam pengobatan hipertensi memiliki kepatuhan yang rendah, hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Malaysia oleh Lim dan Ngah pada tahun
1991 untuk melihat penyebab putus obat pada pasien hipertensi dan mendapatkan pada
85% pasien hipertensi didapatkan kurangnya motivasi sebagai alasan untuk
ketidakpatuhan dalam pengobatan. (Lim & Ngah, 1991)
Dari hasil penelitian ini diketahui sebanyak 100% responden yang memiliki
sikap negatif memiliki kepatuhan yang rendah. Sikap negatif itu sendiri merupakan rasa
depresi, cemas, ketakutan, atau tidak bisa menerima keadaan penyakitnya. Hasil ini
sejalan dengan studi yang dilkukan oleh Gascon et al yang mencari tahu mengapa
pasien hipertensi tidak patuh terhadap pengobatan. (Gasco, et al., 2004)
Hasil studi yang dilakukan oleh Moore et al mengenai faktor psikososial yang
menyebabkan pasien menghindar dari perawatan medis menunjukkan bahwa kepatuhan
meningkat ketika dokter mendukung secara emosional, memberikan jaminan atau rasa
hormat, dan mengobati pasien sebagai mitra yang sejajar. Hasil studi yang dilakukan
Moore sejalan dengan penelitian ini karena didapatkan 100% responden yang tidak
memiliki hubungan baik dengan dokter yang merawatnya memiliki kepatuhan yang
rendah (Moore, et al., 2004).
Penelitian Nichols-Inggris dan Poirier mengenai faktor yang mempengaruhi
kepatuhan terapi menyebutkan pasien yang tidak melek akan kesehatan memiliki
kepatuhan yang rendah. Namun pada penelitian yang peneliti lakukan, didapatkan 100%
dari responden yang melek kesehatan justru memiliki kepatuhan yang rendah.
Perbedaan ini mungkin diakibatkan perbedaan karakteristik demografi, jumlah sampel
yang kurang, atau skala kepatuhan yang digunakan berbeda (Jin, et al., 2008).
Pada penelitian ini tidak didapatkan responden yang mengonsumsi alkohol
sehingga tidak dapat dinilai. Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko
penyakit hipertensi yang sebaiknya dihindari, namun ternyata dalam pelaksanaannya
masih didapatkan penderita hipertensi yang merokok secara aktif. Didapatkan 12,5%
responden merokok dan seluruhnya memiliki kepatuhan yang rendah. Hal ini sejalan
dengan beberapa penelitian yang dilakukan di tempat yang berbeda oleh Fodor, Cooper,
dan Balbay tentang kepatuhan dan menemukan bahwa pasien yang merokok dan minum
alkohol lebih mungkin untuk tidak patuh terhadap pengobatan (Mohani et al.; Fodor et
al.; Cooper et al.; Balbay et al.).

C-649
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Berdasarkan penelitian ini, ditemukan ada 100% responden yang mengeluhkan
kompleksitas dari pengobatan dan memiliki kepatuhan rendah. Iskedjian et al
berdasarkan bukti meta-analisis dalam penelitiannya menyebutkan kepatuhan tidak
berkorelasi dengan jumlah obat yang diresepkan melainkan lebih berkorelasi dengan
frekuensi perharinya. Hasil studi Cramer et al. menyebutkan bahwa peningkatan
ketidakpatuhan berhubungan dengan frekuensi minum obat perhari: 20% untuk sekali
sehari; 30% untuk 2 kali sehari; 60% untuk tiga kali sehari 70% utuk empat kali sehari.
Walaupun penelitian mengenai faktor ini memiliki hasil yang sama dengan penelitian
lain, namun pengertian kompleksitas obat yang digunakan peneliti adalah jumlah obat
dalam resep bukan frekuensi minum obat perhari (Iskedjian, et al., 2002; Cramer, et al.,
1989).
Sebanyak 100% dari responden mengeluhkan durasi pengobatan antihipertensi
memiliki kepatuhan minum obat yang rendah. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Dhanireddy et al., yang menyebutkan bahwa lebih lama durasi
pengobatan, kepatuhan pasien akan meningkat. Perbedaan ini mungkin diakibatkan oleh
perbedaan pemahaman. Menurut peneliti durasi pengobatan antihipertensi yang lama
adalah jangka waktu minum obat yang harus dihadapi pasien. Sedangkan pada
penelitian lain, durasi pengobatan yang dimaksud adalah pasien telah minum obat
dalam jangka waktu lama sehingga memiliki toleransi dalam pengobatannya
(Dhanireddy et al., 2005).
Pada penelitian ini, seluruh responden tidak mengeluhkan adanya efek samping
obat yang mengganggu sehingga faktor ini tidak dapat dinilai oleh peneliti. Namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Dusing et al di Jerman menyebutkan bahwa alasan
paling umum kedua untuk ketidakpatuhan dengan terapi antihipertensi adalah efek
samping (Dusing, et al., 1998).
Program tatalaksana hipertensi tidak hanya dengan mengonsumsi obat
antihipertensi, namun harus disertai perubahan pola hidup sesuai dengan guideline yang
berbeda pada tiap negara. Pada penelitian ini didapatkan 100% dari responden yang
merasa tidak terganggu dengan perubahan pola hidup memiliki kepatuhan yang rendah.
Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Vincez et al. yang berkata bahwa tingkat
perubahan perilaku yang diperlukan terkait dengan motivasi pasien untuk patuh
terhadap terapi, hal ini mungkin diakibatkan perbedaan karakteristik demografi, jumlah
sampel yang kurang, atau skala kepatuhan yang digunakan berbeda. (Chobanian, et al.,
2003;Vince, et al., 2004)
Dalam penelitian ini, 100% dari responden yang mengeluhkan rasa obat
antihipertensi memiliki kepatuhan yang rendah. Dalam literatur dikatakan salah satu
faktor terapi yang berperan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obat adalah
rasa dari obat (Jin, et al., 2008).
Seluruh responden yang mengaku tidak puas dengan proses pelayanan kesehatan
di tempat mereka biasanya melakukan kontrol memiliki kepatuhan yang rendah. Dan
seluruh pasien yang puas terhadap proses pelayanan kesehatan seluruhnya patuh untuk
minum obat, sejalan dengan itu pada penelitian yang dilakukan oleh Haynes et al. yang
menilai simple clinical measurements dalam mendeteksi ketidakpatuhan pasien
diketahui bahwa pada pasien yang merasa puas saat kunjungan klinik memiliki
kepatuhan yang baik (Haynes, et al., 1980).
Didapatkan seluruh responden merasa efektifitas waktunya terganggu dan
seluruhnya memiliki kepatuhan minum obat yang buruk, hal ini sejalan dengan studi
yang dilakukan oleh Siegal dan Greenstein yang menyebutkan bahwa pasien kerah putih

C-650
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
memiliki kepatuhan yang kurang karena mereka memiliki prioritas lain. Pada penelitian
yang dilakukan di Malaysia oleh Chuah mendapatkan bahwa ibu rumah tangga dengan
TB lebih patuh dalam pengobatan, hal ini dikarenakan mungkin waktu yang dimiliki ibu
rumah tangga lebih mudah beradaptasi (Chuah, 1991; Siegal & Greenstein, 1999).
Dari hasil penelitian ini seluruh responden yang tidak mendapat dukungan dari
keluarga maupun kerabat memiliki kepatuhan yang rendah. Hasil ini sesuai dengan
dapatan DiMatteo yang mengatakan bahwa pasien yang memiliki dukungan emosional
dan bantuan dari anggota keluarga dan kerabat memiliki kepatuhan yang lebih. (Di
Matteo, 2004)
Dalam penelitian ini, seluruh responden yang mengeluhkan masalah biaya dan
memiliki kepatuhan rendah. Shaw et al. mengatakan biaya merupakan masalah penting
dalam kepatuhan pasien terutama untuk pasien penyakit kronis dengan masa pengobatan
bisa sampai seumur hidup. Masalah biaya pengobatan ini sebenarnya relatif untuk tiap-
tiap orang karena bergantung dari pendapatan orang tersebut, jadi dua hal ini adalah
saling terkait. Jika pasien memiliki pendapatan relatif besar seharusnya biaya kesehatan
tidak menjadi suatu masalah. Jika dihubungkan dengan kepatuhan, menurut penelitian
Shea et al. mengatakan bahwa individu yang memiliki pendapatan rendah, lebih
mungkin untuk patuh dalam pengobatan (Shaw, et al., 1995; Shea, et al., 1992).
Pada tahap awal gejala hipertensi sering berfluktuasi atau bahkan tidak tampak
dan hal ini mungkin menyebabkan penderita hipertensi tidak patuh terhadap
pengobatan. Namun, perlu diketahui bahwa penyakit hipertensi jika tidak terkontrol
dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dan kerusakan organ
target baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini didapatkan
seluruh responden yang merasa penyakitnya memberat memiliki kepatuhan yang
rendah. Hal ini bertentangan dengan penelitian Wild et al. pada tahun 2004 yang
membuktikan bahwa subyek dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih besar
berdasarkan evaluasi klinis memiliki kepatuhan yang lebih tinggi dibanding yang sehat
(Mohani, 2014; Vlasnik & Aliotta, DeLor, 2005; Wild, et al., 2004).

Simpulan

1. Dari seluruh responden didapatkan 95,8% memiliki kepatuhan rendah dalam


minum obat antihipertensi sedangkan hanya sebesar 4,2% yang memiliki
kepatuhan tinggi.
2. Faktor-faktor yang ada pada kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi di
lingkungan Universitas Tarumanagara adalah motivasi, sikap negatif, hubungan
dokter pasien, konsumsi rokok, kompleksitas pengobatan, rasa obat, pelayanan
kesehatan, efektifitas waktu, dukungan sosial, dan masalah finansial
3. Seratus persen dari responden yang memiliki kepatuhan tinggi dalam minum obat
antihipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol, 78,3 % dari responden
yang memiliki kepatuhan rendah memiliki tekanan darah yang tidak terkontrol.

Daftar Pustaka

Balbay O., Annakkaya A.N., Arbak P. (2005). Which patients are able to adherence to
tuberculosis treatment? A study in a rural area in the nothwest part of Turkey.
Jpn J Infect Dis., 58,152-158.

C-651
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Chobanian A.V., Bakris H.R. (2003). Seventh report of the joint national commite on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure.
Hypertension, 42, 1206-1252.
Chuah S.Y. (1991). Factors associated with poor patient compliance with
antituberculosis therapy in Northwest Perak, Malaysia. Tubercle, 72,261-264.
Cooper C., Carpenter I., Katona C. (2005).The AdHOC study of older adults adherence
to indication in 11 countries. Am J Geriatry Psychiatry, 13,1067-1076.
Cramer J.A., Mattson R.H., Prevey M.L. (1989). How often is medication taken as
prescribed? A novel assessment technique. JAMA, 261, 3273-3237.
Culig J., Marcel L. (2014). Morisky to Hill-Bone: self-report scales for measuring
adherence to medication. Antropol., 1, 55-62.
Depkes RI. Riset kesehatan dasar 2007. Diperoleh tanggal 15 Agustus 2016 dari
www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1909
Dhanireddy K.K., Maniscalco J., Kirk A.D. (2005). Is tolerance induction the answer to
adolescent non-adherence? PediatrTransplant., 9, 357-363.
Di Matteo M.R. (2004). Social support and patient adherence to medical treatment: a
meta-analysis. Health Psychol., 23, 207-218.
Dusing R., Weisser B., Mengden T. (1998). Changes in antihypertensive therapy-the
role of adverse effects and compliance. Blood Press, 7, 313-315.
Fodor G.J., Kotrec M., Bacskai K. (2005). Is interview a reliable method to verify the
compliance with antihypertensive therapy? An international central-European
study. J Hypertens., 23, 1261-1266.
Gascon J.J., Sanchez-Ortuno M., LIor B. (2004). Treatment compliance in hypertension
study group. Why hypertensive patients do not comlply with the tratment: result
from a qualitative study. Fam Pract., 21, 125-130.
Gunawan S.G., Rianto S., Nafrialdi, Elysabeth. (2012). Farmakologi dan Terapi (5th
ed.). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Haynes R.B., Taylor D.W., Sackett D.L. (1980). Can simple clinical measurements
detect patient noncompliance? Hypertension, 2, 757-764.
Hertz R.P., Unger A.N., Lustik M.B. (2005). Adherence with pharmacotherapy for type
2 diabetes: a retrospective cohort study of adults with employer-sponsored
health insurance. Clin Ther., 27,1064-1073.
Horne R., Weinman J. (1999). Patient‟s belies about prescribed medicines and their role
ini adherence to tratment in chronic physical ilness. J Phychosom Res., 47, 555-
567.
Iskedjian M., Einarson T.R., MacKeigan L.D. (2002). Relationship between daily dose
frequency and adherence to antihypertensive pharmacotherapy: evidence from
meta-analysis. Clin Ther., 24, 302-316.
Jin J, Grant E.S., Vernon M.S.O., Shu C.L. (2008). Factors affecting theurapeutic
compliance: A review from the patient‟s prespective. NCBI, 4(1), 269-286.
Katzung B.G. (2001). Farmakologi dasar dan klinik buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Krousel-Wood M.A., Thomas S., Munther P. (2004). Medication adherence: a key
factor in achieving blood pressure control and good clinical outcomes in
hypertensive patients. CurrOpin Cardiol., 19, 357-62.
Kyngas H., Lahdenpera T. (1999). Compliance of patients with hypertension and
associated factors. J Ad Nurs., 29, 832-839.
Lim T.O., Ngah B.A. (1991). The Mentakab hypertension studyproject. Part II- why do
hypertensives drop out of treatment? Singapore Med J., 32,249-51

C-652
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
Loeffler W., Kilian R., Toumi M. (2003). Schizophrenic patients‟ subjective reaseon for
compliance and noncompliance with neuroleptic treatment.
Pharmacopsychiatry, 36, 105-12.
Mahan L. K. , Stump S.E. (2008). Krause’s Food & Nutrition Therapy International
Edition (12th ed.). Canada: Saunders Elsevier.
Martin J. Hypertention guidelines: (2008). Revisiting the JNC 7 recommendations. The
journal of Lancaster General Hospital, 3(3), 91-97.
Mohani C.I. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (6th ed.). Jakarta: Interna
Publishing.
Moore P.J., Sickel A.E., Malat J. (2004). Physcosocial factors in medical and
psychological treatment avoidance: the role of the doctor-patient relationship. J
Health Psychol., 9, 421-433.
Morisky D.E., Green L.W., Levine D.M. (1986). Concurrent and predictive validity of
self-reported measure of medication adherence. Med Care, 24, 67-74.
Okuno J., Yanagi H., Tomura S. (2001). Is cognitive impairement a risk factor for poor
compliance among Japanese elderly in the community? Eur J Clin Pharmacol.,
57, 589-94.
Oliveira-Filho A.D., Barreto-Filho J.A., Neves, S.J.F., de Lyra Junior D.P. (2012).
Association between the 8-item Morisky Medication Adherence Sale (MMAS-8)
and Blood Presure Control. Diperoleh tanggal 15 Agustus 2016,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22688844
Seo M.A., Min S.K. (2005). Development of a structural model explainingmedication
compliance of persons with schizophrenia. Yonsei Med J., 46, 331-40.
Shaw E., Anderson J.G., Maloney M. (1995). Factors associated with noncompliance of
patients taking antihypertensive medication. Hosp Pharm., 30, 201-207.
Shea S., Misra D., Ehrlich M.H. (1992). Correlates of non adherence to hypertension
treatment in an inner-city minority population. AmJ Public Health, 82, 1607-
1612.
Siegal B., Greenstein S.J. (1999). Compliance and noncompliance in kidney transplant
patients: cues for transplant coordinators. TransplCoord., 9, 104-108.
Sudoyo A.W., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. (2009). Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II (5th ed.). Jakarta: Interna Publishing.
United States Departement of Health and Human Service. (2003). The seven report of
the join national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment
of high blood pressure. United States: NIH Publication.
Vic S.A., Maxwell C.J., Hogan D.B. (2004). Measurement, corelates, and health
outcomes of medication adherence among seniors. Ann Pharmacoter., 38, 303-
312.
Vince G., Barner J.C., Lopez D. (2004). Factors associated with adherence to self-
monitoring of blood glucose among persongs with diabetes. Diabetes Educ., 30,
112-125.
Vlasnik J.J., Aliotta S.L., DeLor B. (2005). Medication adherence: factors influencing
compliance with prescribed medication plans. Case Manager, 6, 47-51.
Wai C.T., Wong M.L., Ng S. (2005). Utility of the health belief model predicting
compliance of screening in patients with chronic hepatitis B. Aliment Pharmacol
Ther., 21, 1255-1262.
Wild M.R., Eugleman H.M., Douglas N.J. (2004). Can phychological factors help us to
determine adherence to CPAP? A prospetive study. Eur Respir J., 24, 461-465

C-653
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016
P-ISSN: 2356-3176
E-ISSN: 2527-5658
World Health Organization. World health statistics 2012. Diperoleh tanggal 15 Agustus
2016, dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44844/1/9789241564441_eng.pdf
World Health Organization. World health statistics 2013. Diperoleh tanggal 15 Agustus
2016, dari
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/EN_WHS2013_Ful
l.pdf.
Yogiantoro M. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (6th ed.). Jakarta: Interna
Publishing.

C-654

You might also like