You are on page 1of 12

Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.

1, Maret 2015 

PENGARUH TERAPI SOSIODRAMA TERHADAP KETERAMPILAN KOMUNIKASI NON


VERBAL PADA ANAK RETARDASI MENTAL RINGAN
DI SLB X KOTA CIREBON

Dwi Putri Parendrawati 1, Santi Wahyuni 2, Rd Solihin MS3


1,2,3)Dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Tasikmalaya
Email : dwiputri_70@yahoo.com

ABSTRACT

Mental retardation with children experiencing developmental retardation mental barriers


and far below the average so the difficulty in performing academic tasks, and social
communication. Approaches to improve the communication skills that can be given to
children with mental retardation include play therapy. This therapy is conducted by giving
lessons, sosiodrama or counting play buy sell. The purpose of this research was to
determine the influence of non verbal communication with children with mental retardation
in sosiodrama was light at SLB X City of Cirebon. This type of research is quasi
eksperiment with design time (time series design). The number of sample are 21 research,
that determination of the sample by means of purposive random sampling. Instruments
used include the observation sheet. The results showed there are differences in non verbal
communication with sosiodrama therapy in children with mental retardation lightweight {p =
0.001; α = 0.05}. The conclusions of the study results that the influential sosiodrama
therapy in non verbal communication skills in children with mental retardation lightly.
Advice for sosiodrama therapy is applied in the process of learning activities in schools in
order to improve the communication skills non verbal children with mild mental retardation.
Keywords: Non verbal communication, mental retardation, sosiodrama therapy

ABSTRAK
Anak dengan retardasi mental mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan
mental jauh dibawah rata-rata sehingga kesulitan dalam melakukan tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial. Pendekatan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
yang dapat diberikan kepada anak retardasi mental diantaranya adalah terapi bermain.
Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan pelajaran berhitung, sosiodrama ataupun
bermain jual beli. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh komunikasi non verbal
dengan sosiodrama pada anak retardasi mental ringan di SLB X Kota Cirebon. Jenis
penelitian yang digunakan adalah quasi eksperiment dengan rancangan waktu (time
series design). Jumlah sampel sebanyak 21 siswa dipilih secara purposive random
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan komunikasi non verbal dengan terapi sosiodrama pada
anak retardasi mental ringan {p= 0,001; α= 0,05}. Kesimpulan dari hasil penelitian bahwa
terapi sosiodrama berpengaruh dalam meningkatkan keterampilan komunikasi non verbal
pada anak-anak retardasi mental ringan. Saran agar terapi sosiodrama diaplikasikan
dalam proses kegiatan belajar di sekolah guna meningkatkan kemampuan komunikasi non
verbal anak dengan retardasi mental ringan.
Kata kunci: Komunikasi non verbal, retardasi mental, terapi sosiodrama

12
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

PENDAHULUAN intelektual dibawah rata-rata disertai


Keluarga adalah dua atau lebih individu ketidakmampuan fungsi adaptasinya.
yang hidup dalam satu rumah tangga Anak tidak mampu untuk mandiri
karena adanya hubungan darah, sebagai individu yang mampu
perkawinan atau adobsi. Mereka saling melakukan aktivitas sehari-hari sendiri
berinteraksi satu dengan yang lainnya, (motorik), keterbatasan dalam
mempunyai peran masing-masing dan memahami perilaku sosial dan
perkembangan keterampilan sosial.
menciptakan serta mempertahankan
Selain itu perkembangan anak yang
suatu budaya Duvall dan Logan (1896)
dalam Murwani (2007). Keluarga inti mengalami retardasi mental akan
terdiri dari bapak, ibu dan anak. Anak membawa pengaruh pada kemampuan
dalam keluarga merupakan pusat anak dan keterlibatan anak untuk
berfungsi dalam lingkungan seperti
perhatian yang diberikan oleh seluruh
anggota keluarga. kehidupan belajar, bermain, sosialisasi,
dan interaksinya (Wenar & Kerig, 2000).
Anak merupakan titipan untuk
orang tua. Kehadiran anak merupakan Taraf retardasi mental ada
kebahagiaan seluruh anggota keluarga, empat berdasarkan kriteria psikometrik
anak diharapkan sebagai penerus bagi menurut skala Wechsler salah satunya
anggota keluaraga lainnya serta adalah retardasi mental ringan.
memberikan kebaikan bagi keluarga. Retardasi mental ringan merupakan
Memiliki anak yang normal baik fisik bagian terbesar dari retardasi mental.
maupun mental adalah harapan bagi Golongan ini termasuk mampu didik,
semua orang tua, namun tidak semua artinya selain dapat diajarkan baca tulis
pasangan dikaruniai anak yang normal. bahkan bisa sampai kelas 4 – 6 SD, juga
Sebagian orang tua dikaruniai anak bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai
dengan retardasi mental. Anak yang bekal hidupnya kelak dan mampu
redardasi mental adalah anak yang mandiri seperti orang dewasa yang
mengalami kelainan (fisik,mental- normal. Retardasi mental ringan memiliki
intelektual,social dan ekonomi) dalam tingkat kemampuan intelektual 50 – 55
proses perkembangannya dibandingkan sampai kira-kira 70 dengan karakteristik
dengan anak-anak lain seusianya perkembangan dapat mengembangkan
sehingga mereka memerlukan keterampilan sosial dan komunikasi (usia
pelayanan pendidikan khusus remaja 13 – 18 tahun), dapat belajar
(Lombanotobing, 2001). keterampilan akademik samapai kira-kira
kelas enam pada usia remaja dan dapat
Retardasi mental adalah anak dibimbing untuk menyesuaikan diri
yang secara nyata mengalami hambatan dengan sosial (usia remaja 13 – 18
dan keterbelakangan perkembangan tahun) (Efendi, 2006).
mental jauh dibawah rata-rata
Menurut Kepala Bidang
sedemikian rupa sehingga mengalami
kesulitan dalam tugas-tugas akademik, Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan
Cirebon, terdapat sebanyak ± 3000 anak
komunikasi maupun sosial dan
berkebutuhan khusus usia 4 – 5 tahun
karenanya memerlukan layanan
pendidikan khusus (Anonim, 2008). yang sudah bersekolah di 58 Sekolah
Retardasi mental ditandai dengan fungsi Luar Biasa (SLB) yang tersebar di Jawa
anak dalam capabilities yaitu fungsi Barat. Jumlah anak retardasi mental

13
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

yang bersekolah di SLB yang tersebar di sejumlah 1000 sikap yang berbeda pula
Jawa Barat tahun 2008/2009 ± 1982 (Niven & Neil, 2000).
orang. Jumlah ini belum termasuk yang
Berdasarkan hasil observasi
tidak bersekolah maupun yang tidak di
yang dilakukan pada anak retardasi
data (Kedaulatan Rakyat, 2009).
mental didapatkan data yang berbeda
Hasil penelitian membuktikan dari setiap anak, masih banyak yang
bahwa pengaruh komunikasi non verbal malu-malu belum ada kontak mata, ada
cukup besar terhadap keberhasilan yang senyum dan masih banyak pula
komunikasi, yaitu 65 -70%. Bahkan yang menunjukkan sikap diam serta
dalam penelitian Ilmu Manajemen bisa menunduk. Hasil wawancara dengan
berpengaruh lebih dari 93% (Birdwhistell, kepala sekolah bahwa di sekolah belum
1983). Menurut Birdwhistell, 30% sampai pernah dilakukan terapi sosiodrama
dengan 35% makna sosial percakapan terhadap siswa didiknya.
atau interaksi dilakukan dengan kata-
METODE PENELITIAN
kata, sisanya dilakukan secara non
verbal. Bahkan Mehrabian Desain penelitian yang digunakan dalam
memperkirakan 93% dampak pesan penelitian ini adalah “quasi eksperiment”
adalah diakibatkan oleh pesan non dengan rancangan Time Series Design.
verbal. Hasil penelitian bahwa makna Populasi penelitian ini adalah seluruh
setiap pesan komunikasi dihasilkan dari siswa-siswi dengan retardasi mental
fungsi-fungsi, 7% pernyataan verbal, ringan di SLB X Kota Cirebon dengan
38% bentuk vokal, 55% ekspresi wajah. jumlah 21 siswa. Instrumen yang
Dengan demikian non verbal merupakan digunakan adalah lembar kuesioner dan
aspek penting dalam komunikasi lembar observasi. Metode analisis data
manusia. Hasil penelitian psikolog univariat untuk mendapatkan distribusi
diperkirakan gerakan dan mimik wajah frekuensi tiap variabel dan analisis
manusia mampu menghasilkan 20.000 bivariat dengan uji parametrik yaitu
ekspresi yang berlainan. Disamping itu menggunakan uji T berpasangan (Paired
7.777 isyarat/gesture yang berbeda dan Sample).

Tabel 1. Distribusi Responden HASIL


berdasarkan Usia (n=20) Karakteristik Responden
Usia n Persen Karakteristik responden meliputi usia,
(%) jenis kelamin, pendidikan, dan
Prasekolah (3-6 tahun) 1 5 kemampuan komunikasi non verbal.
Data tersebut disajikan dalam bentuk
Usia sekolah 6 30 distribusi frekuensi.
(7-12 tahun)
Usia remaja 9 45 Sebagian besar rata-rata
(13-18 tahun) responden berada pada usia 13 sampai
Usia dewasa 4 20 18 tahun yaitu 9 orang (45%). Sehingga
(18 tahun ke atas) dapat disimpulkan bahwa responden
termasuk dalam usia remaja
Jumlah 20 100

14
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

Tabel 2. Distribusi Responden Tabel 4. Distribusi Komunikasi Ekspresi


berdasarkan Jenis Kelamin (n=20) Wajah Sebelum Intervensi (N=20)

Persen Tidak Cukup Baik


Jenis Kelamin n Ekspresi
(%) baik
Wajah
Laki-laki 14 70 n % n % n %
Perempuan 6 30 Senyum 0 0 17 85 3 15
Jumlah 20 100 Cemberut 7 35 11 55 2 10
Ketakutan 8 40 7 35 5 25
Malu 6 30 10 50 4 20
Tabel 3. Distribusi Responden Kesedihan 6 30 8 40 6 30
berdasarkan Pendidikan (n=20)
Kemarahan 0 0 13 65 7 35
Pendidikan n Persen (%) Kebosanan 2 10 13 65 5 25
SDLB 10 50 Kekaguman 9 45 11 55 0 0
SMPLB 3 15
SMALB 7 35 Tabel 5. Distribusi Komunikasi Ekspresi
Jumlah 20 100 Wajah Sesudah Iintervensi di SLB X Kota
Cirebon (n=20)

Berdasarkan tabel 2 diketahui Tidak


Ekpresi Cukup Baik
bahwa sebagian besar responden baik
Wajah n % n % n %
berjenis kelamin laki-laki (70%).
Senyum 0 0 0 0 20 100
Berdasarkan data tabel 3 dapat Cemberut 0 0 6 30 14 70
diketahui bahwa setengahnya (50%) Ketakutan 1 5 7 35 12 60
responden memiliki tingkat pendidikan Malu 1 5 6 30 13 65
SDLB. Kesedihan 0 0 6 30 14 70
Berdasarkan tabel 4, dapat Kemarahan 0 0 0 0 20 100
diketahui bahwa 85% responden Kebosanan 0 0 5 25 15 75
memiliki ekspresi wajah senyum dalam Kekaguman 0 0 8 40 12 60
kategori cukup (senyum hanya
mengangkat 1 cm), 55% responden wajah bosan dalam kategori cukup
memiliki ekspresi wajah cemberut dalam (masih suka melihat obyak yang
kategori cukup (pipi sedikit terangkat ke ditampilkan), dan 55% responden
atas), 40% responden memiliki ekspresi memiliki ekspresi wajah kagum dalam
wajah ketakutan dalam kategori tidak kategori cukup (mengangkat mulut dan
baik (mengalihkan pandangan), 40% melebarkan mata).
responden memiliki ekspresi wajah sedih Berdasarkan tabel 5, dapat
dalam kategori cukup (mata berkaca- diketahui bahwa 100% responden
kaca seperti mau menangis), 65% memiliki ekspresi wajah senyum dalam
responden memiliki ekspresi wajah kategori baik (senyum terbuka
marah dalam kategori cukup menunjukkan gigi), 70% responden
(mendekatkan alis dan mengkerutkan memiliki ekspresi wajah cemberut dalam
dahi), 65% responden memiliki ekspresi kategori baik (tidak ada ekspresi

15
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

(tidak saling bertatap mata) dan kategori


Tabel 6. Distribusi Komunikasi Gestur
Sebelum Intervensi (n=20) cukup (bola mata selalu ke kanan dan ke
kiri), 55% responden memiliki gesture
tetap rileks dalam kategori cukup (tidak
Tidak
Cukup Baik selalu menggerak-gerakkan badan), 55%
Gestur baik
responden memiliki gesture gerakan
n % n % n %
tangan dalam kategori cukup
Berhadapan 2 10 13 65 5 25 (meletakkan tangan pada dagu), 45%
Kontak mata 8 40 8 40 4 20 responden memiliki gesture gerakan kaki
dalam kategori baik (kaki selalu dalam
Tetap rileks 5 25 11 55 4 20 keadaan diam), 35% responden memiliki
Gerakan 1 5 11 55 8 40 gesture gerakan kepala dalam kategori
tangan tidak baik (selalu menunduk) dan
Gerakan kaki 3 15 8 40 9 45 kategori baik (selalu fokus pada obyek),
Gerakan 7 35 6 30 7 35 55% responden memiliki gesture posisi
kepala duduk dalam kategori cukup (badan
Posisi duduk 2 10 11 55 7 35 maju ke depan), 70% responden
memiliki gesture posisi kaki dalam
Posisi kaki 0 0 6 30 1 70
4 kategori baik (kaki selalu rapih di
Tepuk 4 20 10 50 6 30 bawah), 50% responden memiliki
tangan gesture tepuk tangan dalam kategori
cukup (gerakan tangan lembut).
cemberut), 60% responden memiliki
ekspresi wajah ketakutan dalam kategori
Tabel 7. Distribusi Komunikasi Gestur
baik (tidak ada ekspresi ketakutan), 65% Sesudah Intervensi (n=20)
responden memiliki ekspresi wajah malu
Tidak
dalam kategori baik (tidak ada ekspresi Cukup Baik
Gesture baik
malu), 70% responden memiliki ekspresi
n % n % n %
wajah sedih dalam kategori baik (tidak
ada ekspresi sedih), 100% responden Berhadapan 0 0 2 10 18 90
memiliki ekspresi wajah marah dalam
kategori baik (tidak ada ekspresi Kontak mata 0 0 9 45 11 55
kemarahan), 75% responden memiliki Tetap rileks 0 0 7 35 13 65
ekspresi wajah bosan dalam kategori
baik (tidak ada ekspresi kebosanan), dan Gerakan
0 0 2 10 18 90
tangan
60% responden memiliki ekspresi wajah
kagum dalam kategori baik (tatapan Gerakan kaki 0 0 5 25 15 75
fokus pada obyek). Gerakan
0 0 6 30 14 70
Berdasarkan tabel 6, dapat kepala
diketahui bahwa 65% responden Posisi duduk 0 0 0 0 20 100
memiliki gesture berhadapan dalam
kategori cukup (berhadapan tetapi badan Posisi kaki 0 0 2 10 18 90
tidak tegap lurus), 40% responden
Tepuk tangan 0 0 5 25 15 75
memiliki gesture mempertahankan
kontak mata dalam kategori tidak baik

16
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

Berdasarkan tabel 7, dapat duduk dalam kategori baik (posisi tegap


diketahui bahwa 90% responden lurus ke depan pada obyek), 90%
memiliki gesture berhadapan dalam responden memiliki gesture posisi kaki
kategori baik (badan berhadapan tetapi dalam kategori baik (kaki selalu rapih di
tegap lurus), 55% responden memiliki bawah), 75% responden memiliki
gesture mempertahankan kontak mata gesture tepuk tangan dalam kategori
dalam kategori baik (mampu baik (gerakan tangan keras).
mempertahankan kontak mata selama 3
Signifikansi peningkatan kete-
menit), 65% responden memiliki gesture
rampilan komunikasi non verbal dengan
tetap rileks dalam kategori baik (selalu
terapi sosiodrama pada anak retardasi
dalam keadaan teang dan tidak grogi),
mental ringan.
90% responden memiliki gesture
gerakan tangan dalam kategori baik Hasil perhitungan dengan
(tangan disilang di atas meja), 75% menggunakan uji T Test ekspresi wajah
responden memiliki gesture gerakan kaki sesudah intervensi, rata-rata
dalam kategori baik (kaki selalu dalam peningkatan ekspresi wajah sesudah
keadaan diam), 70% responden memiliki intervensi diperoleh p value < α = 0,05,
gesture gerakan kepala dalam kategori hal ini berarti Ho ditolak. Oleh karena itu
baik (selalu selalu fokus pada obyek), ada perbedaan yang signifikan antara
100% responden memiliki gesture posisi ekspresi wajah sebelum dan sesudah
Tabel 8. Rerata Skor Komunikasi Ekspresi Wajah Sebelum dan Sesudah Intervensi
(n=20)

Ekspresi Wajah Mean SD SE P value


Sebelum 1,15 0,366 0,082
Senyum 0,000
Sesudah 2,00 0,000 0,000
Sebelum 0,75 0,639 0,143
Cemberut 0,000
Sesudah 1,70 0,470 0,105
Sebelum 0,85 0,813 0,182
Ketakutan 0,000
Sesudah 1,55 0,605 0,135
Sebelum 0,90 0,718 0,161
Malu 0,000
Sesudah 1,60 0,598 0,134
Sebelum 1,00 0,795 0,178
Kesedihan 0,000
Sesudah 1,70 0,470 0,105
Sebelum 1,35 0,489 0,109
Kemarahan 0,000
Sesudah 2,00 0,000 0,000
Sebelum 1,15 0,587 0,131
Kebosanan 0,000
Sesudah 1,75 0,444 0,099
Sebelum 0,55 0,510 0,114
Kekaguman 0,000
Sesudah 1,60 0,503 0,112

17
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

Tabel 9. Rerata Skor Komunikasi Gestur Sebelum dan Sesudah Iintervensi di SLB X
Kota Cirebon (n=20)

Gestur Mean SD SE P value


Sebelum 1,15 0,587 0,131
Berhadapan 0,000
Sesudah 1,90 0,308 0,069
Sebelum 0,80 0,768 0,172
Kontak mata 0,000
Sesudah 1,55 0,510 0,114
Sebelum 0,95 0,686 0,153
Tetap rileks 0,000
Sesudah 1,65 0,489 0,109
Sebelum 1,35 0,587 0,131
Gerakan tangan 0,000
Sesudah 1,90 0,308 0,069
Sebelum 1,30 0,733 0,164
Gerakan kaki 0,001
Sesudah 1,75 0,444 0,099
Sebelum 1,00 0,858 0,192
Gerakan kepala 0,000
Sesudah 1,70 0,470 0,105
Sebelum 1,25 0,639 0,143
Posisi duduk 0,000
Sesudah 2,00 0,000 0,000
Sebelum 1,70 0,470 0,105
Posisi kaki 0,042
Sesudah 1,90 0,308 0,069
Sebelum 1,10 0,718 0,161
Tepuk tangan 0,000
Sesudah 1,75 0,444 0,099

intervensi. Data lebih lengkap disajikan ringan dengan IQ antara 55 -70. Pada
pada tabel 8. kondisi ini anak mampu mempelajari
keterampilan akademik sampai level 6
Berdasarkan tabel 9, hasil
atau mencapai kemampuan membaca
perhitungan dengan menggunakan uji T
sampai kelas 4-6. Ekspektasi pendidikan
Test gesture sesudah intervensi, rata-
dapat mempelajari kemampuan
rata peningkatan gesture sesudah
pendidikan dasar yang diperlukan dalam
intervensi diperoleh p value < α = 0,05,
kehidupan sehari-hari. Mereka
hal ini berarti Ho ditolak. Oleh karena itu
memerlukan pengawasan dan bimbingan
ada perbedaan yang signifikan antara
serta pelatihan dan pendidikan khusus.
seluruh bentuk gesture sebelum dan
sesudah intervensi (p = 0,000 ; α = 0,05). Diantara responden penelitian
ini, ada satu orang (5%) yang masih
PEMBAHASAN
kategori prasekolah, yaitu usia 6 tahun,
Karakteristik Responden namun sudah menduduki kelas I di
Berdasarkan analisis data karakteristik SDLB. Sebaliknya, ada empat
responden dalam penelitian ini, responden (20%) yang kategori usianya
mayoritas responden termasuk kategori termasuk dewasa (lebih dari 18 tahun).
usia remaja (45%). Pada responden usia Usia tertinggi dari responden dalam
remaja yang mengalami retardasi mental penelitian ini adalah 26 tahun.

18
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

Responden yang termasuk kategori usia untuk perhitungan rata-ratanya hanya


dewasa, masih berada di tingkat mampu berhitung sampai 30 untuk
pendidikan SMALB. Padahal, pada tingkat SMALB. Jika menyimak visi dan
kondisi sekolah umum, rerata usia siswa misi sekolah SLB rata-rata sekolah
SMA adalah 16 – 18 tahun. Responden mengutamakan keterampilan bagi
yang berusia 26 tahun memiliki ciri-ciri siswanya. Hal ini juga yang dilakukan
terjadi hambatan pada perkembangan oleh SLB-C Pancaran Kasih Kota
mental dan kepribadian, mengalami Cirebon dengan misi: “Terwujudnya
kesulitan dalam pergaulan, pengendalian siswa yang bertaqwa, terampil, dan
emosi, menempatkan diri, dan mudah mandiri pada tahun 2017 melalui
terpengaruh pada orang lain dalam hal pelayanan pendidikan yang bermutu di
kebaikan ataupun keburukan. SLB bagian C Pancaran Kasih Kota
Cirebon.”
Berdasarkan jenis kelamin, pada
penelitian ini mayoritas jenis kelamin Komunikasi Non Verbal: Ekspresi
laki-laki (70%). Hasil penelitian juga Wajah Sebelum Terapi Sosiodrama
mengungkapkan jenis kelamin laki-laki
Menurut Brown, et al. (1991);
mempunyai angka prevalensi yang lebih
Wholley & Haring (1994) pada
tinggi jika dibandingkan dengan
Exceptional Children (1996), anak
responden jenis kelamin perempuan.
dengan keterbelakangan mental tidak
Penelitian dari Kaplan dan Sadock
mampu mengetahui atau menyadari
(1997) yang menghasilkan kesimpulan
situasi, benda-benda dan orang
bahwa retardasi mental mengenai 1,5
disekitarnya, namun mereka tidak
lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki
mampu memahami keberadaan dirinya.
dari pada jenis kelamin perempuan.
Hal tersebut disebabkan oleh hambatan
Tingkat pendidikan responden bahasa, dikarenakan pada umumnya
tidak ada yang TKLB, namun dari SDLB, anak sulit mengatakan atau
SMPLB dan SMALB. Setengahnya menyampaikan kata yang sesuai dengan
responden memiliki tingkat pendidikan keadaan yang diinginkannya.
SDLB, dengan rincian kelas I satu orang,
Komunikasi Non Verbal: Ekspresi
kelas III empat orang, kelas IV dua
Wajah Sesudah Terapi Sosiodrama
orang, kelas V satu orang dan kelas VI
satu orang. Sebanyak 3 responden Hasil penelitian ini menunjukkan
(15%) berada di tingkat pendidikan adanya peningkatan komunikasi non
SMPLB, meliputi satu orang kelas VII verbal ekspresi wajah dengan terapi
dan dua orang kelas VIII. Sebanyak 7 sosiodrama. Berdasarkan data di atas
orang responden (35%) menempati peningkatan komunikasi non verbal lebih
tingkat pendidikan SMALB yang terdiri banyak pada senyum dan kemarahan
dari tiga orang kelas X dan empat orang hal ini disebabkan oleh efek cerita yang
kelas XII. Meskipun tingkat pendidikan disajikan lucu atau marah, lucu melihat
responden dapat mencapai SMALB, teman-teman sendiri bermain dalam
namun kemampuan secara umum tidak cerita atau bereksen di depan. Sehingga
sama seperti pada anak yang normal. terjadi peningkatan pada ekspresi wajah
Anak dengan retardasi mental ringan senyum, sedangkan ekspresi wajah yang
dapat mengikuti kegaiatan belajar namun rendah terjadi pada ketakutan dan
masih tingkat yang sederhana, seperti kekaguman.

19
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

Menurut Soemantri (2006) siswa Komunikasi Non Verbal: Gesture


penderita tunagrahita tidak cakap dalam Sebelum Terapi Sosiodrama
interaksi sosial dan kesulitan dalam Menurut Brown et al. (1991);
berkomunikasi, karena fungsi
Wolery & Haring (1994) pada
intelektualnya dibawah rata-rata Exceptional Children (1996).
sehingga dalam melakukan komunikasi
Kebanyakan anak dengan retardasi
mengalami kendala-kendala tertentu. mental mempunyai keterbatasan dalam
Hasil penelitian bahwa makna setiap
gerak fisik, ada yang tidak dapat
pesan komunikasi dihasilkan dari fungsi- berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun
fungsi, 55% ekspresi wajah. Dalam
tanpa bantuan. Mereka lamban dalam
sebuah penelitian psikolog diperkirakan mengerjakan tugas-tugas yang sangat
gerak dan mimik wajah manusia mampu
sederhana, sulit menjangkau sesuatu
menghasilkan 20.000 ekspresi yang dan mendongakkan kepalanya. Kurang
berlainan. Disamping itu 7.777
dalam menolong diri sendiri. Sebagian
isyarat/gesture yang berbeda dan dari anak retardasi mental sangat sulit
sejumlah 1.000 sikap yang berbeda pula
untuk mengurus diri sendiri, seperti:
(Niven, Niel, 2000). Ekspresi wajah berpakaian, makan dan mengurus
meliputi pengaruh raut wajah yang
kebersihan diri. Mereka selalu
dipergunakan untuk berkomunikasi memerlukan latihan khusus untuk
secara emosional atau bereaksi
mempelajari kemampuan dasar. Tingkah
terhadap suatu pesan wajah setiap laku dan interaksi yang tidak lazim. Hal
orang selalu menyatakan hati dan
ini mungkin disebabkan kesulitan bagi
perasaannya. Melalui wajah orang bisa anak retardasi mental dalam
membaca suatu pesan, pernyataan
memberikan perhatian terhadap lawan
wajah menandai masalah ketika: 1) main.
Ekspresi wajah tidak merupakan tanda
perasaan, 2) Ekspresi wajah yang Komunikasi Non Verbal: Gesture
dinyatakan tidak seluruhnya merypakan Sesudah Terapi Sosiodrama
tanda pikiran dan perasaan. Dengan Hasil dari penelitian setelah
demikian penampilan wajah sangat dilakukan terapi sosiodrama pada
tergantung pada orang yang komunikasi non verbal: gesture terlihat
menanggapi atau menafsirkan. jelas bahwa sikap posisi tegap lurus
Ekspresi wajah juga dapat dilihat kedepan pada obyek yang mereka lihat
ketika kita memandang seseorang yang menandakan keseriusan yang dialami
dianggap sebagai orang yang polos/lugu oleh anak-anak yang mengalami
atau dianggap kejam/dingin. Hal ini retardasi mental. Menurut Soemantri
didasari oleh adanya sebuah ekspresi (2006) siswa penderita tunagrahita tidak
wajah yang nampak pada orang yang cakap dalam interaksi sosial dan
bersangkutan tidak menunjukkan sebuah kesulitan dalam berkomunikasi, karena
perubahan seperti yang dilakukan oleh fungsi intelektualnya di bawah rata-rata
orang lain ketika mendengar atau sehingga dalam melakukan komunikasi
mengetahui suatu peristiwa baik mengalami kendala-kendala tertentu.
kesedihan maupun kegembiraan, Hasil penelitian bahwa makna setiap
keanehan atau keleyakan (Barbara & pesan komunikasi dihasilkan dari fungsi-
Gene, 1978 dalam Samovar & fungsi, 55% ekspresi wajah. Sebuah
Porter,1985). penelitian psikolog diperkirakan gerak

20
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

dan mimik wajah manusia mampu memberikan makna bahwa terapi


menghasilkan 20.000 ekspresi yang sosiodrama ini sangat berarti untuk
berlainan. Disamping itu 7.777 dapat merubah komunikasi non verbal:
isyarat/gesture yang berbeda dan ekspresi wajah pada anak-anak yang
sejumlah 1.000 sikap yang berbeda pula mengalami retardasi mental. Hasil
(Niven, 2000). penelitian Fredman tahun 1972 (dalam
Pengaruh Komunikasi Non Verbal: Rathus, 2005) mengemukakan bahwa
penyandang retardasi mental ringan
Ekspresi Wajah Sebelum dan
pada saat berusia dewasa awal harus
Sesudah Terapi Sosiodrama
mampu mencapai keterampilan sosial
Berdasarkan dari hasil analisis dan pekerjaan yang cukup untuk mencari
diketahui bahwa ada peningkatan nafkah, meskipun demikian memerlukan
komunikasi non verbal ekspresi wajah bimbingan dan bantuan apabila
sebelum dan sesudah dilakukan terapi mengalami stres ekonomi yang luar
sosiodrama. Perubahan ekspresi wajah biasa, dan mampu belajar keterampilan
dapat terjadi dan terlihat sangat jelas akademik sampai kira-kira kelas enam
setelah dilakukan terapi sosiodrama pada umur belasan tahun dan dapat
terutama ekspresi wajah tersenyum. dibimbing dalam kemampuan sosialnya.
Menurut teori pendekatan Salah satu bentuk peran lingkungan
pendidikan untuk anak keterbelakangan dalam membantu penyesuaian sosial
mental yang dilakukan pada anak-anak adalah dukungan sosial sehingga
yang mengalami tuna grahita salah diperlukan terapi yang dapat
satunya adalah play therapy (terapi meningkatkan komunikasi non verbal:
bermain). Terapi yang diberikan kepada ekspresi wajah pada anak-anak yang
anak tuna grahita dengan cara bermain, mengalami retardasi mental.
misalnya memberikan pelajaran tentang Pengaruh Komunikasi Non Verbal:
hitungan, anak diajarkan dengan cara Gesture Sebelum dan Sesudah Terapi
sosiodrama, bermain jula beli. Terapi ini Sosiodrama
dilakukan agar dapat melihat secara
jelas adanya suatu perubahan nyata Berdasarkan dari hasil analisis
pada komunikasi non verbal : ekspresi diketahui bahwa ada peningkatan
wajah yang terjadi pada masing-masing komunikasi non verbal: gesture sebelum
anak yang menonton sosiodrama yang dan sesudah dilakukan terapi
diperankan oleh teman mereka sendiri. sosiodrama. Perubahan komunikasi non
Terapi sosiodrama ini tepat dilakukan verbal: gesture dapat terjadi dan terlihat
dikarenakan kemampuan belajar anak sangat jelas setelah dilakukan terapi
keterbelakangan mental terbatas sosiodrama terutama yang sangat
sehingga mereka mengalami kesulitan terlihat saat menonton sosiodrama.
yang berarti dalam pengetahuan yang Gesture berupa tepuk tangan, posisi
duduk, dan mempertahankan kontak
bersifat konsep dan dalam
menempatkan dirinya dengan keadaan mata sangat jelas terlihat perubahannya.
situasi lingkungannya. Penyebab retardasi mental
ringan umumnya ditentukan di dalam
Adanya perubahan yang
signifikan sebelum dan sesudah kelas sosial ekonomi rendah, tetapi
dilakukannya terapi sosiodrama retardasi mental yang ringan atau berat
ditemukan pada semua kelas secara

21
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

merata. Pengaruh negatif dalam rumah, kondisi sebelum dan setelah diberikan
sering mengabaian anak-anak, terapi sosiodrama, dimana ekspresi
kurangnya perangsangan sosial dan wajah dan gesture sebelum terapi
bahasa dapat berperan dalam mayoritas berada pada kategori cukup
perkembangan kasus yang ringan dan setelah terapi mayoritas berada
(Maramis, 2005). pada kategori baik. Kesimpulan akhir
Menurut Bandi (2009) suatu pola adalah terapi sosiodrama berpengaruh
dalam meningkatkan keterampilan
gerak yang bervariasi diyakini dapat
komunikasi non verbal pada anak-anak
menimbulkan potensi peserta didik
dengan kebutuhan khusus pada proses retardasi mental ringan.
(berkaitan dengan pembentukan fisik, REFERENSI
emosi, sosialisasi dan daya nalar).
Abidin, Z. (2006). Tehnik lobi diplomasi
Esensi dari pola gerak mampu untuk insan publik relation. Jakarta:
meningkatkan potensi diri anak dengan
indek kelompok gramedia.
kebutuhan khusus adalah kreativitas.
Anonim. (2008). Retardasi mental.
Kreativitas ini diperlukan dalam
Diakses dari http:/medicofarma,
pembelajaran yang bermuatan pola
tanggal 08 /10/2011.
gerak karena bertujuan untuk
______. (2006), Gangguan jiwa rugikan
mengetahui perkembangan kognitif dan
ekonomi Rp 32 triliun. Diakses dari
kemampuan sosial melalui kegiatan www.pikiran-rakyat.com tanggal
individu maupun dalam kegiatan
19 September 2007.
bersosialisasi. Perkembangan kognitif
Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998).
dan sosial melalui kreatifitas gerak
Psychiatric nursing contemporary
diharapkan dapat menimbulkan harga
practice, Philadelphia: Lippincott.
diri pada anak yang berkebutuhan
Brockopp, D.Y. & Marie, T.H.T. (1995).
khusus yang kelak berguna bagi
Fundamental of nursing research
kehidupan dirinya. Perkembangan
(Dasar-dasar riset keperawatan).
kognitif dan sosial memerlukan adanya
Boston: Jones & Barlett Publishers.
otot-otot yang kuat dan luntur. Sehingga
Budiarto, E. (2004). Metodologi
melalui pola gerak tertentu
penelitian kedokteran. (Cetakan
memungkinkan otot tubuh dapat dilatih
pertama). Jakarta: FKUI.
untuk dapat kendurkan atau
Chandra. (2005). Diakses dari
diregangkan. Kekuatan otot-otot tersebut http://idonline.org/infoidi-
dapat menunjang persendian tubuh,
isi.php?news_id=766 tanggal 28
memungkinkan gerak optimalisasi otot
Februari 2012.
tubuh, sesuai dengan fungsi setiap
Carson, V.B. (2000). Mental health
anggota tubuh.
nursing: the nurse-patient journey.
KESIMPULAN Philadelphia: WB.Saunders
Berdasarkan hasil penelitian Company.
dapat disimpulkan bahwa mayoritas Danny. (2009). Gangguan komunikasi
responden berusia 13-18 tahu, berjenis pada anak. Diakses dari
kelamin laki-laki, dan berada pada http://www.mizan.com. tanggal
tingkat pendidikan SDLB. Sedangkan 11/08///2012.
untuk komunikasi non verbal Depkes. (1992). Undang-Undang
menunjukkan adanya perubahan dari Republik Indonesia No : 23 Tahun

22
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 10, No.1, Maret 2015 

1992 tentang kesehatan. Jakarta: Mulyana, D. (2005). Ilmu komunikasi.


Depkes. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Dhelpie, B. (2009). GENETIKA (Sebagai NANDA. (2005). Nursing diagnoses:
Faktor Endogen ABK). Jogjakarta: definitions & classification.
PT Intan Sejati Klaten Philadelphia: AR.
Effendi, M. (2006). Pengantar Notoadmodjo, S. (2003). Pengantar
psikopedagogik anak berkelainan. pendidikan kesehatan dan ilmu
Jakarta: PT Bumi Aksara. perilaku. Yogyakarta: Andi Offset.
____. (2000). Mental Illness in family Notoadmodjo, S. (2005). Metodologi
recognized the warning sign anh how penelitian kesehatan. Jakarta:
to cope,¶ 4. www.nha. Org diambil Rineka Cipta.
tanggal 14 Oktober 2007. Nurkolis. (2002). Reformasi Kebijakan
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., and Grebb, Pendidikan Luar Biasa. Diakses dari
J.A. (2002). Sinopsis psikiatri. (Edisi http://www.mediaindonesia.com
Ketujuh). Jakarta: Binarupa Aksara. tanggal 16/07/2012.
Miller, A. C. (1995). Nursing care of older Pollit, D.F., & Beck, C.T. (2006).
adult, theori and practice. (2nd Ed.) Essentials of nursing researc:
Philadelphia: W.B. Saunders methods appraisal, and utilization. (6
Company. th ed). Philadelphia: Lippincott

Mohr, W.K. ( 2006). Psychiatric- mental Williams & Walkins.


health nursing (4th ed). Philadelphia: Sabri, L. (2008). Statistik kesehatan.
J.B. Lippincott Company. Jakarta: PT Gravindo Persada.
Maslim, R. (2001). Diagnosis gangguan
jiwa, PPDGJ III. Jakarta: FK Unika
Atmajaya.
.

23

You might also like