Professional Documents
Culture Documents
AGRIBISNIS KELAPA
Edisi Kedua
SAMBUTAN
MENTERI PERTANIAN
i
pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik;
dan (d) pengembangan produk-produk baru, yang terkait dengan berbagai
isu global dan kecenderungan perkembangan masa depan.
Sebagai suatu arahan umum, kami harapkan seri buku tersebut
dapat memberikan informasi mengenai arah dan prospek pengembangan
agribisnis komoditas tersebut bagi instansi terkait lingkup pemerintah
pusat, instansi pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, dan sektor swasta
serta masyarakat agribisnis pada umumnya. Perlu kami ingatkan, buku ini
adalah suatu dokumen yang menyajikan informasi umum, sehingga dalam
menelaahnya perlu disertai dengan ketajaman analisis dan pendalaman
lanjutan atas aspek-aspek bisnis yang sifatnya dinamis.
Semoga buku-buku tersebut bermanfaat bagi upaya kita mendorong
peningkatan investasi pertanian, khususnya dalam pengembangan agribisnis
komoditas pertanian.
ii
KATA PENGANTAR
iii
TIM PENYUSUN
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF
v
Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15,5 miliar butir per tahun,
total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton
arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut.
Industri pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya
berupa industri tradisional dengan kapasitas industri yang masih sangat
kecil dibandingkan potensi yang tersedia. Daerah sentra produksi kelapa
di Indonesia adalah Propinsi Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara,
dan Sulawesi Tengah. Beberapa wilayah yang bukan sentra produksi tetapi
memiliki potensi bahan baku tertentu yang berkualitas Untuk industri kayu,
adalah NTB dan NTT.
Pengembangan industri hilir kelapa terpadu berpotensi untuk
menghasilkan CCO, AC, CF, dan cuka; sedangkan yang secara parsial untuk
menghasilkan VCO, OC, DC, CF, BS, dan CW. Di Sulut (terpadu: 4 unit),
Sulteng (terpadu: 2 unit), Riau (terpadu: 4 unit), Jambi (terpadu dan parsial
4 unit), Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung (parsial gula kelapa masing-
masing 10 unit); DIY (parsial : industri kerajinan tempurung dan sabut).
NTB/NTT (parsial: furnitur dan rumah dari kayu kelapa). Untuk menunjang
industri tersebut diperlukan intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan
usahatani serta pembangunan infrastruktur, kelembagaan, dan dukungan
kebijakan.
Program peningkatan usahatani di Riau (intensifikasi 25.000 ha,
rehabilitasi 15.000 ha); Jambi (intensifikasi 10.000 ha, rehabilitasi 6.000
ha); Sulut (peremajaan 27.000 ha); NTB (peremajaan 7.000 ha); dan Jabar,
Jateng, serta Jatim (masing-masing intensifikasi 20.000 hektar); Banten
(intensifikasi 10.000 ha); dan DIY (intensifikasi 8.000ha). Pembangunan
infrastruktur: (a) jalan masing-masing 50 km di Sulut, Sulteng, Riau, Jambi,
Lampung, NTB, dan NTT; (b) peningkatan tata air pasang surut di Riau dan
Jambi masing-masing 1.000 ha.
Dukungan kebijakan yang diperlukan untuk usahatani adalah
penyediaan kredit modal untuk intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan;
pembinaan teknis dan kelembagaan produksi; adanya kelembagaan
semacam Coconut Board; penyediaan informasi teknologi dan pasar;
peningkatan status hukum atas kepemilikan lahan usaha; dan
pengembangan infrastruktur.
Dukungan kebijakan industri pengolahan antara lain penyederhanaan
birokrasi perizinan usaha dan investasi; pembukaan akses pembiyaan
dengan pemberian skim kredit khusus untuk berbagai skala usaha; promosi
vi
pengembangan industri pengolahan hasil kelapa terpadu; peningkatan
kegiatan penelitian dan pengembangan komoditas kelapa dalam pengolahan
dan pemasaran.
Dukungan kebijakan fiskal dan perdagangan yaitu pembebasan pajak
pertambahan nilai (PPN); perlindungan terhadap industri pengolahan kelapa
melalui penetapan tarif impor untuk mesin, produk-produk sejenis dari luar
negeri (kompetitor); peninjauan kembali peraturan-peraturan pemerintah
tentang retribusi yang mengakibatkan distorsi pasar; dan stabilisasi nilai
tukar rupiah terhadap valas.
Perkiraan investasi secara keseluruhan untuk mengembangkan
infrastruktur, usahatani, dan industri pengolahan kelapa sejumlah
Rp 1,786 triliun, yang terdiri atas Rp 221 miliar oleh masyarakat (terutama
petani), Rp 917 miliar oleh kalangan swasta, dan Rp 648 miliar oleh
pemerintah (pusat dan daerah).
vii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1
A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
A. Usahatani
Pertanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada
tahun 2005, total areal meliputi 3,29 juta ha, yakni terdistribusi di pulau
Sumatera 33,8%, Jawa 22,4%, Bali, NTB dan NTT 5,9%, Kalimantan 6,8%,
Sulawesi 22,1%, Maluku dan Papua 9% (Gambar 1). Produk utama yang
dihasilkan di wilayah Sumatera adalah kopra dan minyak; di Jawa kelapa
butir; Bali, NTB dan NTT kelapa butir dan minyak; Kalimantan kopra; Sulawesi
minyak; Maluku dan Papua kopra. Komposisi keadaan tanaman secara
nasional meliputi: tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 16,2% (0,63
juta ha), tanaman menghasilkan (TM) 73,6% (2,87 juta ha), dan tanaman
tua/rusak (TT/TR) 10,1% ( 0,39 juta ha).
Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2.700 – 4.500 kelapa
butir yang setara 0,8 – 1,2 ton kopra/ha. Produktivitas ini masih dapat
ditingkatkan menjadi 6.750 butir atau setara 1,5 ton kopra. Selain itu,
potensi kayu kelapa yang dapat dihasilkan sebesar 200 juta m3. Berdasarkan
potensi tersebut maka pengembangan agribisnis kelapa, khususnya industri
pengolahan buah kelapa, diarahkan ke Propinsi Riau, Jambi dan Lampung
di wilayah Sumatera, Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur di
wilayah Jawa, Propinsi Kalimantan Barat di wilayah Kalimantan, dan Propinsi
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah di wilayah Sulawesi. Sedangkan industri
pengolahan kayu kelapa di NTB dan NTT di wilayah Bali, NTB dan NTT, dan
di sentra produksi lainnya.
Di tingkat rumah tangga, usahatani kelapa dapat memberikan
penghasilan kotor sekitar Rp 1,7 juta/ha/tahun atau Rp 142 ribu/ha/bulan.
Mengingat pada umumnya usahatani kelapa merupakan usahatani
sampingan, maka besaran pendapatan tersebut memberikan kontribusi
yang berarti terhadap total pendapatan. Dalam konteks ketahanan pangan,
kontribusi kelapa tercermin dari besarnya prosentase konsumsi domestik
yang mencapai 50-60% dari produksi dalam bentuk konsumsi kelapa segar
dan minyak goreng. Selain itu, di tingkat rumah tangga usahatani kelapa
berperan meningkatkan daya beli terhadap pangan dengan adanya
tambahan pendapatan sebagaimana disebutkan di atas.
2
Gambar 1. Sebaran areal dan produksi kelapa berdasarkan wilayah pengembangan
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
A GRO INOVAS I
3
A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
4
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa A GRO INOVAS I
5
A GRO INOVAS I Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
500
400
Indeks Paritas Ekspor (%)
300
200
100
0
1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
DC Copra
10