Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing:
dr. Natan Payangan, Sp.S
Oleh:
Nico (406162100)
Mengetahui,
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmat-Nya kepada penulis
sehingga referat dengan judul “Trauma Medulla Spinalis“ ini dapat selesai dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.
Sulianti Saroso periode 21 Agustus 2017 – 23 September 2017.
Dalam penulisan referat ini penulis telah mendapat bantuan, bimbingan dan kerjasama
dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. dr. Hj. Wariyah Lawole, Sp.S, selaku ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf, serta pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSPI Sulianti Saroso.
2. dr. Natan Payangan, Sp.S dan dr. Maria Tampubolon, Sp.S, selaku pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSPI Sulianti Saroso.
3. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik dari UNTAR di Bagian Penyakit Saraf RSPI
Sulianti Saroso periode 21 Agustus 2017 – 23 September 2017.
Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini juga tidak luput dari kekurangan
karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat bermanfaat demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Cover .......................................................................................................................................... 1
Lembar Pengesahan ................................................................................................................... 2
Kata Pengantar ........................................................................................................................... 3
Daftar Isi .................................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 6
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 32
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33
4
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih
banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan penderita harus terbaring
di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka.1
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian
(insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Trauma
spinal meliputi 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri.
Dari data yang terdapat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode
Januari-Juni 2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal.1,2
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang harus selalu
berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan
menambah kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita. Cedera kolumna
vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada
penderita yang mengalami cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus
dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla
spinalis setelah trauma. 1
Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau
memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia
atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan mempertahankan
immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita dengan kolumna vertebralis yang tidak
stabil akan memberikan resiko kerusakan lebh lanjut sumsum tulang belakang.1,2
Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup yang menetap, maka para dokter maupun perawat membutuhkan cara
diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.1,2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah suatu kumpulan jaringan syaraf
yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna vertebra dan membujur
mulai dari otak (bagian medulla oblongata). Medulla spinalis bersamaan dengan otak
membentuk susunan syaraf pusat (SSP). Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang
oksipital bagian tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada di
rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara 45 cm pada
pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada bagian
servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang belakang
sangat beradaptasi untuk melindungi medulla spinalis yang memiliki ukuran lebih pendek
dan kecil.
Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural antara otak
dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun sensorik. Selain itu juga
dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari refleks fisiologis.
Medulla spinalis adalah jaras utama yang menghubungkan otak dengan neuron
perifer. Ukuran medulla spinalis lebih pendek dibandingkan dengan panjangnya tulang
belakang. Hal ini yang membuat medulla spinalis membujur mulai dari foramen magnum,
turun dan membentuk konus medullaris di dekat tulang vertebra lumbal kedua.
Panjang medulla spinalis dapat mencapai 45 cm pada pria dan 43 cm pada wanita,
namun bervariasi seukuran dengan tinggi manusia. Bentuk sumsum berupa ovoid, dengan
diameter yang lebih lebar di bagian servikal dan lumbar. Pelebaran medulla spinalis di daerah
servikal terletak di C3 hingga T2, dimana terdapat pleksus brachialis yang berfungsi sebagai
input dan sensoris dan output motoris dari kedua lengan. Pelebaran di daerah lumbar
berlokasi di L1 hingga L3 dimana terdapat cabang pleksus lumbosakralis.
Medulla spinalis dilindungi oleh 3 lapisan jaringan yang disebut selaput spinal (spinal
meninges). Lapisan ini menyelubungi kanal dengan urutan dari luar berturut-turut adalah
6
duramater, araknoidmater, dan piamater. Duramater tersusun dari serat yang amat tangguh
dan berfungsi sebagai pelindung. Diantara duramater dan tulang belakang terdapat ruangan
yang disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh jaringan adiposa dan mengandung
banyak pembuluh darah. Lapisan araknoidmater terletak di tengah dan memiliki gambaran
seperti jaring laba-laba. Terdapat ruang diantara araknoid dengan piamater, ruangan ini
disebut ruang subaraknoid yang mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid atau
CSF). Piamater adalah lapisan protektif terdalam, bersifat sangat melekat erat pada
permukaan medulla spinalis. Medulla spinalis disokong oleh jaringan ikat yang disebut
ligamen dentikulatum.
Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis mengandung banyak
serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki warna putih dan disebut sebagai
substansia alba. Sedangkan bagian dalamnya mengandung banyak badan sel saraf sehingga
berwarna abu-abu dan disebut substansia grisea yang berbentuk seperti kupu-kupu. Struktur
ini diselubungi oleh kanal sentral, yang secara anatomis merupakan perpanjangan dari sistem
ventrikel pada otak, sehingga mengandung cairan serebrospinal.
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal dan ventralnya
memiliki cekungan yang dinamakan posterior median sulcus di bagian dorsal dan anterior
median fissure di bagian ventral.
7
2.1.2 Segmen-Segmen Medulla Spinalis
Sumsum tulang belakang manusia terbagi atas 31 segmen yang berbeda. Pada setiap
segmennya terdiri dari pasangan neuron sensorik dan motorik yang berada di bagian kiri dan
kanannya. Sekitar enam hingga delapan akar saraf kecil(radiks) bercabang dari medulla
spinalis dengan urutan yang sangat rapi. Radiks ini kemudian bergabung menjadi suatu akar
saraf. Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan saraf motoris berjalan dari bagian
ventral. Kedua akar saraf ini kemudian bergabung lagi menjadi saraf spinal (ramus) yang
mana bagian sensorik dan motoriknya berjalan bersamaan. Yang disebut susunan syaraf
pusat hanyalah sebatas medulla spinalis. Akar-akar syaraf ini sudah termasuk sebagai syaraf
perifer.
8
Gambar 2.3 Gambaran Dermatom3
Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar 1 atau lumbar 2.
Disebut konus karena bentuknya yang menguncup merupai kerucut. Setelah medulla spinalis
berakhir, lapisan piamater mengalami pemanjangan hingga mencapai bagian koksigeus,
disebut sebagai filum terminalis. Serabut syaraf yang terletak di bawah konus medullaris
kemudian membentuk kauda equina (buntut kuda) dan meneruskan jarasnya menuju ke
ekstremitas bagian bawah. Kauda equina terbentuk dari kenyataan bahwa medulla spinalis
berhenti bertambah panjang sejak umur 4 tahun, namun demikian tulang vertebra terus
bertambah panjang hingga usia remaja.
9
Gambar 2.4 Potongan Sagittal Vertebra dan Medulla Spinalis6
10
Gambar 2.5 Segmen-Segmen Vertebra4
Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri besar yang berjalan
secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri yang mengalir dari sisi kolumna
spinalis. Ketiga arteri besar tersebut adalah arteri anterior spinalis, arteri posterior spinalis kiri
dan kanan. Arteri-arteri ini berjalan di dalam ruang sub-araknoid dan bercabang masuk ke
dalam medulla spinalis.
11
Gambar 2.6 Vaskularisasi Medulla Spinalis6
Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah bagian servikal
berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior. Kedua arteri ini berjalan
berdampingan dengan akar saraf dorsal dan ventral untuk kemudian memperdarahi sumsum
tulang belakang. Arteri radikular merupakan suatu perpanjangan cabang dari aorta dan tidak
berhubungan secara langsung dengan ketiga arteri longitudinal. Arteri radikular terbesar pada
manusia terletak di L1 dan L2, disebut sebagai arteri anterior radikularis magna. Kelainan
aliran darah pada arteri magna ini, terutama dalam proses pembedahan aneurisma aorta, dapat
menyebabkan infark pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia.
12
nyeri/temperatur). Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang berbeda untuk bekerja.
Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer, sekunder, dan tersier.
Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya
memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna. Akson-akson pada
medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus grasilis, sebaliknya bila akson
terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus cuneatus yang
terletak di bagian lateral fasciculus grasilis.
Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki medulla spinalis hingga
mencapai bagian bawah dari medulla oblongata, setelah itu mencapai meninggalkan
fasciculus dan bersinaps dengan neuron sekunder pada salah satu dari nuclei kolumna
dorsalis; antara nukleus gracilis atau nukleus cuneatus.
Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah
meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber internal
arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini. Setelah itu jaras
terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada akhirnya berhenti di nukleus
ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps dengan neuron tersier. Dari situ
neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan berujung pada korteks sensorik primer.
13
Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras kolumna posterior dan menghantarkan rasa
getar, perubahan posisi, raba dan diskriminasi.
Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh; kemudian,
output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi kerja otot-otot
antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Proses ini
berjalan tanpa disadari.
14
Gambar 2.8 Traktus Kolumna Dorsalis
15
2.1.4.2 Traktus Spinotalamikus
Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur untuk
penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu akan melewati jaras
spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan tekan) melewati jaras
spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron. Urutan perjalanannya dimulai dari
reseptor perifer bersinaps dengan neuron sensorik pertama yang melewati dorsal ganglion
dan menuju medulla spinalis. Setelah mencapai medulla spinalis, jaras bersinaps dengan
neuron kedua dan kemudian bersilang ke sisi sebelahnya dan memasuki traktur
spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras menaiki medulla spinalis hingga mencapai
thalamus dan kemudian bersinaps dengan neuron ketiga dan kemudian menuju korteks
sensorik.
16
2.1.4.3 Traktus Spinoserebelaris
17
Gambar 2.10 Traktus Spinoserebelaris4
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba serebri
(korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus serebri, ponsm dan
basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut sebagai
piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada bagian ujung bawah
medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum. Traktus
yang menyilang ini disebut sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak
menyilang disini berjalan menuruni medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai
traktus kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih di bawah melalui komisura
anterior medula spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat
beberapa serabut yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di
18
kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral.
Pada akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian
menghantarkan impuls ke saraf perifer.
19
sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima input
traktus piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial
melalui nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta
XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari
nervus kranialis III, IV, dan VI.
2.2.1 Definisi7,8
2.2.2 Epidemiologi2,7,8
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami
cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai
203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,
rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi. Pada tahun
2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi
penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.
20
Gambar 2.12 Diagram Penyebab Kelumpuhan dan Trauma Spinal
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000
orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan
dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000
orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis.
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di
Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%),
menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis
di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas
mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30%
di Taiwan.
2.2.3 Etiologi
21
dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan
yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor
penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
2.2.4 Patofisiologi7,8
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari
proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan
penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya
berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal,
deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini,
yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang
segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang
berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang
kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal
bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan
reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder.
Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat,
oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan
menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya
lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori lain yaitu teori kalsium,
22
teori reseptor opiate, dan lain sebagainya
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan
apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera
primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang
signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh
apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang
diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.
Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan
jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan
degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari
pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi
medula spinalis.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan
skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma
23
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA
24
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bilateral pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +,
bulbocavernosus -, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,
Equina saraf asimetris
lumbosakral 2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi seksual
25
Gambar 2.13 Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya
2.2.6 Diagnosis2,9
Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas,
pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah dilakukan
anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum dan setelah
trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya
26
pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan peristaltik usus, spasme otot,
perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga
harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian
terjatuh.
- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya
seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang
normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari
lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis
dan fraktur harus dicatat.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan langkah
awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna
vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan
odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum dan
kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui kondisi
metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu.
Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI
vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan
27
kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan
struktur internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan
neurofisiologi klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan.
2.2.7 Tatalaksana2
2.2.7.1 Tatalaksana Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya melakukan
stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya, menenangkan pasien
dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan kolar leher atau brace
vertebral.
2.2.7.2 Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,
circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal atau
pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga
apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher harus
terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara syok
hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok neurogenik didapati tanda
28
hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada syok hipovolemik harus
dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila
perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan tidak akan
menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin
0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan
mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat dilakukan dengan
tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan nutrisi secara
enteral.
Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna membuat
diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat kelainan tulang
servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal juga dapat dipasang
pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal dan lumbal.
Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan setelah keseluruhan hal tersebut diatas
telah dilakukan.
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit,
ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus metilprednisolon
selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan dalam
3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila
diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak
dianjurkan.
2.2.9 Prognosis9
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
30
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih
ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%.
Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.
31
BAB III
KESIMPULAN
32
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous System Structure
and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta :
Perdossi ; 2006.
3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta ; Badan
Penerbit FKUI ; 2013.
4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta : EGC ; 2012.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997.
7. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology. USA ;
McGrawHill : 2005.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.
10. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta :
EGC ; 2013.
33