You are on page 1of 33

REFERAT

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Pembimbing:
dr. Natan Payangan, Sp.S

Oleh:
Nico (406162100)

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT PUSAT INFEKSI SULIANTI SAROSO
PERIODE 21 AGUSTUS 2017 – 23 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama / NIM : Nico / 406162100


Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Tarumanagara
Bidang Pendidikan : Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode Kepaniteraan Klinik : 21 Agustus 2017 – 23 September 2017
Judul Referat : Trauma Medulla Spinalis
Diajukan : September 2017
Pembimbing : dr. Natan Payangan, Sp.S

Telah diperiksa dan disahkan tanggal :..................................

Mengetahui,

Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf Pembimbing

dr. Hj. Wariyah Lawole, Sp.S dr. Natan Payangan, Sp.S

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmat-Nya kepada penulis
sehingga referat dengan judul “Trauma Medulla Spinalis“ ini dapat selesai dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.
Sulianti Saroso periode 21 Agustus 2017 – 23 September 2017.
Dalam penulisan referat ini penulis telah mendapat bantuan, bimbingan dan kerjasama
dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. dr. Hj. Wariyah Lawole, Sp.S, selaku ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf, serta pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSPI Sulianti Saroso.
2. dr. Natan Payangan, Sp.S dan dr. Maria Tampubolon, Sp.S, selaku pembimbing
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSPI Sulianti Saroso.
3. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik dari UNTAR di Bagian Penyakit Saraf RSPI
Sulianti Saroso periode 21 Agustus 2017 – 23 September 2017.
Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini juga tidak luput dari kekurangan
karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat bermanfaat demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, September 2017

Penulis
3
DAFTAR ISI

Cover .......................................................................................................................................... 1
Lembar Pengesahan ................................................................................................................... 2
Kata Pengantar ........................................................................................................................... 3
Daftar Isi .................................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 6
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 32
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33

4
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih
banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan penderita harus terbaring
di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka.1
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian
(insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Trauma
spinal meliputi 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri.
Dari data yang terdapat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode
Januari-Juni 2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal.1,2
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang harus selalu
berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan
menambah kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita. Cedera kolumna
vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada
penderita yang mengalami cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus
dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla
spinalis setelah trauma. 1
Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau
memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia
atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan mempertahankan
immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita dengan kolumna vertebralis yang tidak
stabil akan memberikan resiko kerusakan lebh lanjut sumsum tulang belakang.1,2
Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup yang menetap, maka para dokter maupun perawat membutuhkan cara
diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.1,2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Medulla Spinalis1,3,4-6

Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah suatu kumpulan jaringan syaraf
yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna vertebra dan membujur
mulai dari otak (bagian medulla oblongata). Medulla spinalis bersamaan dengan otak
membentuk susunan syaraf pusat (SSP). Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang
oksipital bagian tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada di
rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara 45 cm pada
pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada bagian
servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang belakang
sangat beradaptasi untuk melindungi medulla spinalis yang memiliki ukuran lebih pendek
dan kecil.
Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural antara otak
dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun sensorik. Selain itu juga
dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari refleks fisiologis.

2.1.1 Struktur Medulla Spinalis

Medulla spinalis adalah jaras utama yang menghubungkan otak dengan neuron
perifer. Ukuran medulla spinalis lebih pendek dibandingkan dengan panjangnya tulang
belakang. Hal ini yang membuat medulla spinalis membujur mulai dari foramen magnum,
turun dan membentuk konus medullaris di dekat tulang vertebra lumbal kedua.
Panjang medulla spinalis dapat mencapai 45 cm pada pria dan 43 cm pada wanita,
namun bervariasi seukuran dengan tinggi manusia. Bentuk sumsum berupa ovoid, dengan
diameter yang lebih lebar di bagian servikal dan lumbar. Pelebaran medulla spinalis di daerah
servikal terletak di C3 hingga T2, dimana terdapat pleksus brachialis yang berfungsi sebagai
input dan sensoris dan output motoris dari kedua lengan. Pelebaran di daerah lumbar
berlokasi di L1 hingga L3 dimana terdapat cabang pleksus lumbosakralis.
Medulla spinalis dilindungi oleh 3 lapisan jaringan yang disebut selaput spinal (spinal
meninges). Lapisan ini menyelubungi kanal dengan urutan dari luar berturut-turut adalah
6
duramater, araknoidmater, dan piamater. Duramater tersusun dari serat yang amat tangguh
dan berfungsi sebagai pelindung. Diantara duramater dan tulang belakang terdapat ruangan
yang disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh jaringan adiposa dan mengandung
banyak pembuluh darah. Lapisan araknoidmater terletak di tengah dan memiliki gambaran
seperti jaring laba-laba. Terdapat ruang diantara araknoid dengan piamater, ruangan ini
disebut ruang subaraknoid yang mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid atau
CSF). Piamater adalah lapisan protektif terdalam, bersifat sangat melekat erat pada
permukaan medulla spinalis. Medulla spinalis disokong oleh jaringan ikat yang disebut
ligamen dentikulatum.

Gambar 2.1 Potongan Melintang Medulla Spinalis6

Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis mengandung banyak
serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki warna putih dan disebut sebagai
substansia alba. Sedangkan bagian dalamnya mengandung banyak badan sel saraf sehingga
berwarna abu-abu dan disebut substansia grisea yang berbentuk seperti kupu-kupu. Struktur
ini diselubungi oleh kanal sentral, yang secara anatomis merupakan perpanjangan dari sistem
ventrikel pada otak, sehingga mengandung cairan serebrospinal.
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal dan ventralnya
memiliki cekungan yang dinamakan posterior median sulcus di bagian dorsal dan anterior
median fissure di bagian ventral.

7
2.1.2 Segmen-Segmen Medulla Spinalis

Sumsum tulang belakang manusia terbagi atas 31 segmen yang berbeda. Pada setiap
segmennya terdiri dari pasangan neuron sensorik dan motorik yang berada di bagian kiri dan
kanannya. Sekitar enam hingga delapan akar saraf kecil(radiks) bercabang dari medulla
spinalis dengan urutan yang sangat rapi. Radiks ini kemudian bergabung menjadi suatu akar
saraf. Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan saraf motoris berjalan dari bagian
ventral. Kedua akar saraf ini kemudian bergabung lagi menjadi saraf spinal (ramus) yang
mana bagian sensorik dan motoriknya berjalan bersamaan. Yang disebut susunan syaraf
pusat hanyalah sebatas medulla spinalis. Akar-akar syaraf ini sudah termasuk sebagai syaraf
perifer.

Gambar 2.2 Struktur dari Saraf Perifer Sekitar Medulla Spinalis6

Serabut masing-masing radiks terdistribusi ulang menjadi beberapa saraf perifer


setelah keluar dari tulang belakang, dan masing-masing saraf mengandung serabut dari
beberapa segmen radikular yang berdekatan. Namun, serabut masing-masing segmen
radikular kembali tergabung membentuk kelompokan di bagian perifer untuk mempersarafi
area segmental kulit tertentu yang disebut sebagai dermatom. Masing-masing dermatom
mewakili sebuah segmen radikular, yang dengan demikian mewakili juga sebuah segmen
medula spinalis.

8
Gambar 2.3 Gambaran Dermatom3

Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar 1 atau lumbar 2.
Disebut konus karena bentuknya yang menguncup merupai kerucut. Setelah medulla spinalis
berakhir, lapisan piamater mengalami pemanjangan hingga mencapai bagian koksigeus,
disebut sebagai filum terminalis. Serabut syaraf yang terletak di bawah konus medullaris
kemudian membentuk kauda equina (buntut kuda) dan meneruskan jarasnya menuju ke
ekstremitas bagian bawah. Kauda equina terbentuk dari kenyataan bahwa medulla spinalis
berhenti bertambah panjang sejak umur 4 tahun, namun demikian tulang vertebra terus
bertambah panjang hingga usia remaja.

9
Gambar 2.4 Potongan Sagittal Vertebra dan Medulla Spinalis6

Terdapat 33 segmen dari medulla spinalis manusia, kesemuanya memiliki nama


sesuai dengan tulang vertebranya. Pembagian segmennya yaitu 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, dan 5 segmen sakral. Semua serabut syaraf, kecuali syaraf C1 dan
C2, keluar dari kolumna spinalis melewati intravertebral foramen di vertebranya. Tulang
belakang C1 disebut sebagai tulang atlas, dan C2 disebut tulang aksis.

10
Gambar 2.5 Segmen-Segmen Vertebra4

2.1.3 Vaskularisasi Medulla Spinalis

Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri besar yang berjalan
secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri yang mengalir dari sisi kolumna
spinalis. Ketiga arteri besar tersebut adalah arteri anterior spinalis, arteri posterior spinalis kiri
dan kanan. Arteri-arteri ini berjalan di dalam ruang sub-araknoid dan bercabang masuk ke
dalam medulla spinalis.

11
Gambar 2.6 Vaskularisasi Medulla Spinalis6

Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah bagian servikal
berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior. Kedua arteri ini berjalan
berdampingan dengan akar saraf dorsal dan ventral untuk kemudian memperdarahi sumsum
tulang belakang. Arteri radikular merupakan suatu perpanjangan cabang dari aorta dan tidak
berhubungan secara langsung dengan ketiga arteri longitudinal. Arteri radikular terbesar pada
manusia terletak di L1 dan L2, disebut sebagai arteri anterior radikularis magna. Kelainan
aliran darah pada arteri magna ini, terutama dalam proses pembedahan aneurisma aorta, dapat
menyebabkan infark pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia.

2.1.4 Traktus Somatosensorik Medulla Spinalis

Struktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu jaras lemniscus


bagian dorsal columna-medial (pengaturan sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras
spinoserebelaris anterior posterior, dan sistem spinotalamikkus anterolateral (pengaturan

12
nyeri/temperatur). Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang berbeda untuk bekerja.
Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer, sekunder, dan tersier.

2.1.4.1 Traktus Lemniskus Dorsal Columna Medial

Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya
memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna. Akson-akson pada
medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras fasciculus grasilis, sebaliknya bila akson
terdapat setinggi T6 atau diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus cuneatus yang
terletak di bagian lateral fasciculus grasilis.

Gambar 2.7 Ringkasan Traktus Medulla Spinalis6

Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki medulla spinalis hingga
mencapai bagian bawah dari medulla oblongata, setelah itu mencapai meninggalkan
fasciculus dan bersinaps dengan neuron sekunder pada salah satu dari nuclei kolumna
dorsalis; antara nukleus gracilis atau nukleus cuneatus.

Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian medial setelah
meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini disebut sebagai fiber internal
arkuata. Persilangan jaras ke bagian kontralateral terdapat pada titik ini. Setelah itu jaras
terus naik ke bagian medial lemniskus kontralateral hingga pada akhirnya berhenti di nukleus
ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps dengan neuron tersier. Dari situ
neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan berujung pada korteks sensorik primer.

13
Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras kolumna posterior dan menghantarkan rasa
getar, perubahan posisi, raba dan diskriminasi.

Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh; kemudian,
output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan koordinasi kerja otot-otot
antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Proses ini
berjalan tanpa disadari.

14
Gambar 2.8 Traktus Kolumna Dorsalis

15
2.1.4.2 Traktus Spinotalamikus

Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur untuk
penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu akan melewati jaras
spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan tekan) melewati jaras
spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron. Urutan perjalanannya dimulai dari
reseptor perifer bersinaps dengan neuron sensorik pertama yang melewati dorsal ganglion
dan menuju medulla spinalis. Setelah mencapai medulla spinalis, jaras bersinaps dengan
neuron kedua dan kemudian bersilang ke sisi sebelahnya dan memasuki traktur
spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras menaiki medulla spinalis hingga mencapai
thalamus dan kemudian bersinaps dengan neuron ketiga dan kemudian menuju korteks
sensorik.

Gambar 2.9 Traktus Kolumna Dorsalis dan Spinotalamikus Anterolateral

16
2.1.4.3 Traktus Spinoserebelaris

Traktus yang ketiga yang mengatur sistem somatosensorik adalah traktus


spinoserebelaris posterior dan anterior. Beberapa impuls aferen yang timbul di organ sistem
muskuloskeletal (otot, tendon dan sendi) berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ
keseimbangan dan koordinasi, serebelum. Ada dua traktus pada setiap sisi medulla spinalis,
satu di bagian anterior dan satu lagi di bagian posterior.

Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer menghantarkan impuls dari


spindel otot dan organ tendon. Setelah memasuki medulla spinalis, beberapa serabut kolateral
ini langsung membuat sinaps dengan neuron motorik yang besar di kornu anterius medulla
spinalis. Serabut kolateral lain yang muncul setingkat vertebra torakal, lumbal, dan sakral
berakhir di nukleus berbentuk tabung yang terdapat di dasar kornu posterius setinggi vertebra
C8-L2, dan memiliki nama yang bervariasi, antara lain kolumna sel intermediolateralis,
nukleus torasikus, kolumna Clarke, dan nukleus Stilling. Neuron pasca-sinaps kedua dengan
badan sel yang terletak di nukleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior.
Traktus spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi ipsilateral di
bagian posterior funikulus laterlis dan kemudian berjalan melalui pedunkulus serebelaris
inferior ke vermis cereberi. Serabut aferen yang muncul setingkat servikal berjalan di dalam
fasikulus kuneatus untuk membuat sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nukleus
kuneatus dan kemudian berjalan naik ke serebelum.

Traktus spinoserebelaris anterior memiliki serabut aferen primer yang memasuki


medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron funikularis di kornu posterius dan di
bagian sentral substansia grisea medula spinalis. Neuron kedua ini, yang ditemukan setingkat
segmen vertebra lumbalis bawah, merupakan sel asal traktus spinosereblaris anterior, yang
berjalan naik di dalam medula spinalis baik di sisi ipsilateral maupun kontralateral dan
berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus spinoserebelaris posterior, traktus ini
menyilang di dasar ventrikel ke empat ke otak tengah dan kemudian berbelok ke arah
posterior untuk mencapai vermis cerebeli.

17
Gambar 2.10 Traktus Spinoserebelaris4

2.1.5 Traktus Motorik Medulla Spinalis

2.1.5.1 Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)

Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba serebri
(korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral pedunkulus serebri, ponsm dan
basal medula. Tempat traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut sebagai
piramid. Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada bagian ujung bawah
medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum. Traktus
yang menyilang ini disebut sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak
menyilang disini berjalan menuruni medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai
traktus kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih di bawah melalui komisura
anterior medula spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat
beberapa serabut yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di

18
kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral.
Pada akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron, kemudian
menghantarkan impuls ke saraf perifer.

Gambar 2.11 Traktus Motorik Medulla Spinalis4

2.1.5.2 Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)

Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama


traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju
nuklei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini

19
sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuklei yang menerima input
traktus piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial
melalui nervus kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta
XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari
nervus kranialis III, IV, dan VI.

2.2 Cedera Medulla Spinalis

2.2.1 Definisi7,8

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan


saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama
sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada
medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

2.2.2 Epidemiologi2,7,8

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami
cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai
203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,
rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi. Pada tahun
2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi
penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.

20
Gambar 2.12 Diagram Penyebab Kelumpuhan dan Trauma Spinal

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000
orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang digunakan
dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000
orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis.
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di
Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%),
menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis
di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas
mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30%
di Taiwan.

2.2.3 Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis7,8:


A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination
Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,

21
dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.

B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan
yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor
penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

2.2.4 Patofisiologi7,8

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari
proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan
penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya
berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal,
deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini,
yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang
segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang
berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang
kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal
bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan
reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder.
Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat,
oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan
menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya
lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori lain yaitu teori kalsium,

22
teori reseptor opiate, dan lain sebagainya
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan
apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera
primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang
signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh
apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang
diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.
Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan
jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan
degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari
pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi
medula spinalis.

2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan
skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma

2.2.5.1 Klasifikasi Impairment Scale2


Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya
adalah sebagai berikut :
Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu
sampai segmen S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-
otot motorik utama masih memiliki kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorik utama memiliki kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

23
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA

2.2.5.2 Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma2


Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai
berikut :
i) Complete spinal cord injury (Grade A)
a. Unilevel
b. Multilevel
ii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis
Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan
Syndrome Kompresi LMN setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
Sindroma Spinalis Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah
Anterior menyebabkan lesi
HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Sentral Servikal Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal
lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindroma Spinalis Trauma, infark 1. Paresis ringan
Posterior arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan
posterior bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Konus Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
Medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
sensibilitas

24
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bilateral pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +,
bulbocavernosus -, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,
Equina saraf asimetris
lumbosakral 2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi seksual

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma2

25
Gambar 2.13 Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya

2.2.6 Diagnosis2,9

Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas,
pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah dilakukan
anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum dan setelah
trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya
26
pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan peristaltik usus, spasme otot,
perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga
harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian
terjatuh.

Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab trauma


dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga mengalami cedera
tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera
medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

- Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

- Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

- Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya
seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang
normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari
lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis
dan fraktur harus dicatat.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan langkah
awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna
vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan
odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.

Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum dan
kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui kondisi
metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI
vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan

27
kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan
struktur internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan
neurofisiologi klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan.

Gambar 2.14 (Kiri) : CT Scan pada Medulla Spinalis


` (Kanan) : MRI pada Medulla Spinalis

2.2.7 Tatalaksana2
2.2.7.1 Tatalaksana Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya melakukan
stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya, menenangkan pasien
dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan kolar leher atau brace
vertebral.
2.2.7.2 Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,
circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal atau
pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga
apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher harus
terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara syok
hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok neurogenik didapati tanda

28
hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada syok hipovolemik harus
dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila
perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan tidak akan
menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin
0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan
mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat dilakukan dengan
tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan nutrisi secara
enteral.
Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna membuat
diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat kelainan tulang
servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal juga dapat dipasang
pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal dan lumbal.
Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan setelah keseluruhan hal tersebut diatas
telah dilakukan.
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit,
ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus metilprednisolon
selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan dalam
3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila
diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak
dianjurkan.

2.2.7.3 Tatalaksana di Ruang Rawat


Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah dengan
terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu tubuh dan
mengenai miksi juga perlu diperhatikan.
Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan guna
mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain seperti anti
spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang mengeluh kesakitan
dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan dapat diberikan untuk
mencegah adanya thrombosis vena dalam. Untuk kasus-kasus dengan infeksi,
antibiotik perlu dipertimbangkan. Antioksidan dapat diberikan pada setiap pasien
trauma spinalis.
29
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu
pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna
menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun
pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda
asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan
medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau
dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla
spinalis.

2.2.8 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi


Rehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah masa
akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam
waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami
gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial. Tindakan
yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi
secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek psikologis penderita.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan
pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis,
memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah adanya
kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan lain sebagainya.
Rehabilitasi ditargetkan agar pasien dapat kembali kedalam lingkungan komunitasnya
dan dapat berperan sesuai dengan keadaan fisiknya yang baru.
Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu pelayanan kesehatan
professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut, secara terus
menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama fase sub-akut yang
meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga pernafasan dan obat-obatan,
istirahat dan rekreasi, psikologi, pelayanan nutrisi, latihan wicara, pekerjaan sosial,
sampai dengan konseling kesehatan seksual.

2.2.9 Prognosis9
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
30
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih
ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%.
Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.

31
BAB III
KESIMPULAN

Cedera medulla spinalis merupakan suatu kejadian yang umum dijumpai di


masyarakat, dengan penyebab utamanya merupakan suatu kejadian kecelakaan. Di Indonesia
didapati insidens trauma medulla spinalis diperkirakan mencapai 8.000-10.000 kasus per
tahunnya. Cedera ini juga dapat merupakan cedera traumatik (primer) ataupun akibat
penyakit lain (sekunder) seperti infeksi atau tumor.
Mekanisme dari cedera ini dapat terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer dan fase
sekunder. Kedua fase ini belum sepenuhnya dimengerti, namun satu hal yang pasti adalah
cedera ini memiliki window periode hanya sekitar 6 – 24 jam. Oleh karena itu diagnosis dan
tatalaksana yang tangkas sangat diperlukan dalam menangani kasus cedera medulla spinalis
guna mencegah perburukan kualitas hidup pasien dan mortalitas.
Diagnosis pada umumnya meliputi anamnesa yang baik dan pemeriksaan neurologik
untuk mengetahui perkiraan lokasi lesi, klasifikasi cedera, dan menentukan tatalaksana
selanjutnya. Pemeriksaan penunjang seperti imaging sangat membantu dalam mendiagnosis
secara akurat.
Prinsip utama tatalaksana yaitu dengan menjaga saluran pernapasan, pernapasan, dan
sirkulasi yang adekuat. Pemberian obat kortikosteroid telah terbukti memperbaiki kondisi
pasien pasca trauma. Medikamentosa lain dapat diberikan sesuai dengan indikasi pasien.
Operasi dapat dianjurkan bila terdapat indikasi.
Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya sehingga dapat
kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki kerusakan parah dan tidak dapat
berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu mendapatkan terapi neurorehabilitasi guna
meningkatkan kualitas hidup pasien setelah keluar dari rumah sakit.

32
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous System Structure
and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta :
Perdossi ; 2006.
3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta ; Badan
Penerbit FKUI ; 2013.
4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta : EGC ; 2012.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997.
7. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology. USA ;
McGrawHill : 2005.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.

9. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse Myelitis.


Semin Neurol 2008;28:105-120.

10. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta :
EGC ; 2013.

33

You might also like