You are on page 1of 35

HIDRASI MATERNAL PADA KASUS OLIGOHIDRAMNION

dr. Tjokorda Gde Agung Suwardewa, Sp.OG (K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANA/

RSUP SANGLAH DENPASAR

2009
BAB I
PENDAHULUAN

Hidrasi maternal adalah suatu cara meningkatkan volume cairan amnion pada
keadaan cairan amnion yang sedikit dengan memasukkan cairan ke dalam tubuh ibu baik
secara oral dengan minum air maupun cairan intravena. Hidrasi maternal bermanfaat
menaikkan volume cairan amnion pada oligohidramnion dengan keadaan ibu dan janin yang
baik. Bagaimana hidrasi maternal dapat meningkatkan volume cairan amnion, belum
sepenuhnya dimengerti. Hidrasi maternal dapat dilakukan dengan dua cara yaitu oral dan
intravena. Banyak penelitian dilakukan untuk membandingkan efektifitas kedua metode ini.
Salah satu studi menunjukkan bahwa hidrasi maternal dengan cara oral lebih efektif
dibandingkan dengan intravena. 1
Pengukuran Indeks Cairan Amnion (ICA) atau Amniotic Fluid Index(AFI) merupakan
salah satu tehnik semikuantitatif yang paling sering digunakan untuk mengukur volume
2,3,4
cairan amnion. Bila ICA ditemukan < 5 cm, disebut oligohidramnion. Oligohidramnion
sering dihubungkan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Kejadian
oligohidramnion sekitar 3,9% dari seluruh kehamilan, namun estimasi sekitar 12% pada
kehamilan usia 40 minggu atau lebih. Kehamilan dengan oligohidramnion mempunyai angka
aspirasi mekonium, fetal distress, dan seksio sesaria yang tinggi. Oligohidramnion dapat juga
dihubungkan dengan anomali kongenital seperti obstruksi urin, pertumbuhan janin terhambat,
kehamilan lewat waktu, dan masalah plasenta yang berhubungan dengan interaksi maternal-
fetus. Volume cairan amnion adalah suatu prediktor yang penting untuk menilai
kesejahteraan janin yang berlanjut melewati minggu ke-40 kehamilan, dimana cairan amnion
telah berkurang secara bertahap sejak umur kehamilan 37 minggu. Jumlah cairan amnion
juga dapat memprediksi bagaimana toleransi fetus terhadap proses persalinan.5,6
Apakah oligohidramnion yang diketahui saat kehamilan aterm akan diterminasi?
Beberapa penelitian menyebutkan koreksi oligohidramnion dengan amnioinfusion atau
dengan hidrasi maternal mengurangi kejadian komplikasi persalinan seperti yang disebutkan
di atas. Meskipun penggunaan amnioinfusion dalam penanganan oligohidramnion meningkat,
tapi itu merupakan suatu metode yang invasif. Untuk meningkatkan volume cairan amnion,
hidrasi maternal merupakan pilihan yang efektif dan non invasif. 7,8
BAB 2
CAIRAN AMNION

2.1. Fungsi cairan amnion


Cairan amnion berfungsi sebagai berikut: memungkinkan janin bergerak bebas dan
perkembangan sistem otot rangka, membantu perkembangan traktus digestivus, sebagai
cairan dan makanan janin, memberikan tekanan sehingga mencegah kehilangan cairan paru,
penting untuk perkembangan paru, melindungi janin dari trauma, mencegah kompresi tali
pusat, menjaga suhu janin, sebagai bakteriostatik mencegah infeksi, dan dalam proses
persalinan meratakan tekanan sewaktu kontraksi. 9,10,11,12,13
2.2. Komposisi cairan amnion.
Air merupakan penyusun utama cairan amnion (98-99 %). Komposisi yang lain
berupa albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa, dan
garam anorganik. Kadar protein kira-kira 2,6 % gram/liter, terutama albumin.11,12
Pada trimester pertama kehamilan, cairan amnion memiliki komposisi elektrolit dan
osmolalitas yang pada dasarnya sama dengan darah janin dan ibu. Saat urin fetus memasuki
kantong amnion, osmolaritas amnion menurun dibandingkan darah fetus. Pada kulit yang
sudah mengalami keratinisasi, osmolaritas cairan amnion menurun terus dengan
bertambahnya umur kehamilan mencapai angka 250-260 mOsm/kg air dibandingkan dengan
osmolaritas darah 280 mOsm/kg air.11,12 Konsentrasi cairan amnion sebagai pelarut utama
seperti natrium dan klorida sejajar dengan perubahan pada osmolaritas. Rendahnya
osmolaritas cairan amnion, yang disebabkan oleh masuknya urine janin yang hipotonik (60-
140 mOsm/kg air), memberikan kekuatan osmolaritas potensial yang cukup besar untuk
cairan mengalir keluar melewati jalur intramembran dan transmembran.11,12
Gambar 1: Osmolaritas cairan amnion

Dikutip dari: Gilbert WM. Amniotic fluid disorder. In: Gabbe obstetric normal and problem
pregnancies, 5th ed, Mosby Elsevier, 2007; 837-42.

2.3. Regulasi volume cairan amnion


Volume cairan amnion adalahselisihcairanmasukdankeluardarirongga amnion.
Sehingga, pengetahuanmengenaijalurpergerakancairan amnion
adalahdasaruntukmemahamimekanismepengaturan
volumenya.12Meskipunhipotesisberbedamengenaimekanismepengaturanpergantianinitelahme
ngalamikemajuan, namunmekanismealiranmasukdankeluar yang menjaga volume cairan
amnion dalamrentang normal belumdapatdidefinisikandengan jelas.12
Jumlah yang benar-benar diketahui adalah tentang aliran dan komposisi urine janin.
Hal ini diatur oleh arginin vasopressin, aldosteron, angiotensin II dan peptide natriuretik
atrial, sebagaimana pada orang dewasa.11 Kecepatan produksi cairan paru-paru janin
dipengaruhi oleh beberapa hormon yang mengalir dalam darah janin termasuk arginin
vasopressin dan epinefrin dan penurunan progresif dalam produksi cairan paru-paru yang
dimulai tiga hari sebelum kelahiran berlawanan dengan konsentrasi plasma kortisol.11 Janin
menelan dipengaruhi oleh osmolalitas janin dan konsentrasi angiotensin II dan berkurang
dalam keadaan hipoksia.11 Peningkatan penyerapan intramembran muncul sebagai respon
terhadap oligohidramnion dengan insufisiensi plasenta yang berat. Peningkatan penyerapan
mungkin dimediasi oleh faktor pertumbuhan endotel vaskular, karena kadar faktor
pertumbuhan endotel vaskular dalam membran dan plasenta naik ketika aliran intramembran
meningkat. Konsep yang muncul sekarang adalah faktor pertumbuhan endotel vaskular
mengatur penyerapan intramembranous dengan menaikkan vesikular transport melewati
amnion dan ke dalam darah janin.11 Akhirnya status cairan ibu mungkin mempengaruhi
volume cairan amnion. Beberapa data menunjukkan prubahan akut pada osmolalitas maternal
akan merubah hidrasi janin.11
2.3.1 Sumber cairan amnion
2.3.1.1. Urin janin
Urine fetus merupakan sumber utama cairan amnion pada trimester kedua kehamilan.
Urine pertama kali memasuki ruang amnion pada minggu ke 8-11 gestasi, namun derajat
pembentukan urine meningkat secara bertahap hingga trimester akhir masa gestasi. Produksi
urine per kilogram berat badan meningkat dari sekitar 110 ml/kg tiap 24 jam pada minggu ke
25 hingga sekitar 190 ml/kg tiap 24 jam pada minggu ke 39. Pada kehamilan aterm,
kecepatan aliran urine fetus diperkirakan rata-rata 600 ml/hari.12
2.3.1.2. Saluran pernafasan janin.
Selama bertahun-tahun ada pandangan yang diterima secara luas bahwa cairan
amnion memasuki paru-paru janin melalui trakea dan diabsorbsi oleh kapiler di alveoli. Tapi
setelah tahun 1960, sejumlah penelitian menemukan hal yang berbeda. Penelitian pada janin
kambing yang mendekati cukup bulan menunjukkan bahwa terdapat aliran keluar dari paru-
paru sebesar 200-400 ml/hari dan aliran ini berkaitan dengan 10% berat badan/hari yang
dirangsang oleh transpor aktif ion klorida melewati lapisan epitel paru yang masih
berkembang. Pembuktian hal ini dengan teknik eksperimental intrauterine dilakukan ligasi
pada trakea janin akan menyebabkan distensi yang abnormal dari paru-paru janin. Hal ini
menguatkan bukti bahwa dalam jumlah relatif besar cairan mengalir keluar dari paru-paru
janin manusia selama kehamilan normal, walaupun jumlahnya belum dapat diukur.11
Meskipun begitu jelas bahwa cairan paru janin mengalir keluar, namun kontribusi
relatif dari cairan paru ke cairan amnion tidak jelas. Penelitian awal pada hewan
menunjukkan bahwa cairan paru-paru yang terdapat di trakea biasanya tertelan dulu sebelum
memasuki ruang amnion. Dalam penelitian pada fetus kambing, dimana aliran dan komposisi
cairan paru diukur dengan mempergunakan kateter, ditemukan rata-rata 50 % cairan
disekresikan ke kantung amnion, sisanya terdapat di trakea.11
2.3.1.3 Kulit janin
Sebagian volume cairan amnion dapat berasal dari transportasi air di seluruh kulit janin yang
sangat permeable selama trimester pertama kehamilan, setidaknya sampai keratinisasi kulit
terjadi yaitu sekitar minggu ke 22-25. Terdapat bukti bahwa laju metabolisme dan kehilangan
air transepidermal lebih besar pada bayi lahir premature dibandingkan bayi lahir aterm.12
2.3.1.4 Sumber lain.
Telah diketahui bahwa volume air yang signifikan telah berpindah antara cairan
amnion dan pembuluh vena janin di tali pusat. Tapi, dengan luas permukaan yang kecil dan
ketebalan yang besar kebanyakan membrane dilewati dengan cara transfer, sehingga
perpindahan volume yang signifikan terjadi. Lokasi dan perpindahan air dan solut adalah
dipermukaan janin dari plasenta, disana lempeng korionik mempunyai permukaan yang luas
dan kaya akan suplai darah.11
Akhirnya, sekresi dari hidung dan mulut harus diperhatikan. Produksi saliva yang
banyak pada bayi baru lahir dianggap sama dengan produksi fetus, dan studi eksperimental
pada sapi menemukan kira-kira 25 ml/hari cairan dikeluarkan dari kepala janin.11
2.3.2. Pembuangan cairan amnion
2.3.2.1. Janin menelan
Janin mulai menelan pada usia gestasi yang sama dengan saat urine pertama kali
memasuki ruang amnion, yaitu sekitar minggu ke 8-11. Diperkirakan bahwa volume cairan
amnion yang ditelan janin pada gestasi akhir rata-rata 210-760 ml/hari. Volume harian ini
tidak mencakup jumlah cairan yang berada di dalam paru-paru yang ditelan sebelum
memasuki ruang amnion.12
Seiring dengan meningkatnya berat badan janin, volume cairan yang ditelan juga
meningkat dari 100 ml/kg/hari pada awal trimester ketiga sampai 500 ml/kg/hari saat aterm.
Volume harian ini tidak mencakup jumlah cairan yang berada di dalam paru-paru yang
ditelan sebelum memasuki ruang amnion. Penelitian menunjukkan bahwa fetus menelan
sebelum aktifitas bernafas dan tertekan atau hilang pada saat onset persalinan.11
2.3.2.2. Selaput amnion
Baru-baru ini telah ditemukan bahwa pergerakan cepat baik air dan zat terlarut di
dalamnya, terjadi antara cairan amnion dan darah janin dalam plasenta melalui membran
amnion; ini disebut sebagai jalur intramembran. Pergerakan air dan zat terlarut antara cairan
amnion dan darah maternal di dalam dinding uterus disebut pertukaran melalui jalur
transmembran. Transfer zat terlarut melewati membran amnion secara pasif merupakan
sumber cairan amnion yang paling mungkin pada awal kehamilan. Amnion dan korion
menyediakan permukaan yang luas untuk terjadinya transfer potensial dari cairan dan zat
terlarut dan karenanya terjadi regulasi penting dari cairan amnion. 12
Disimpulkan jumlah cairan masuk dan cairan keluar sekitar 200-500 ml/hr pindah dari
rongga amnion melintasi selaput amnion saat usia kehamilan lanjut. Pengukuran pada sapi
hamil lanjut, mendukung konsep bahwa 200-500 ml/hr dari cairan amnion diserap oleh darah
fetus pada bagian permukaan fetus dari plasenta. Aliran dan volume intramembran ini juga
diserap oleh permukaaan fetal dari pasenta pada manusia. Penyerapan intramembran ini
berperan dalam pengeluaran protein. Ini sejalan dengan penelitian terbaru pada binatang yang
menggambarkan pengeluaran cepat albumin intramembran.11
Perkiraan kuantitatif mendapatkan bahwa 10 ml/hari melewati rute transmembran dan
diserap oleh uterus pada kehamilan lanjut pada sapi ketika osmolalitas amniotik normal.
Tetapi, penurunan volume cairan ketuban setelah kematian janin menunjukkan bahwa
pengetahuan kita tentang cairan transmembran masih jauh dari lengkap.11
Studi ekperimental mendapatkan bahwa membran janin dapat abnormal ketika
volume cairan ketuban turun diluar nilai normal. Lapisan sel epitelial amnion tebalnya
setengahnya pada kehamilan dengan oligohidramnion, sebaliknya ketebalan bertambah pada
polihidramnion.11
Daya dorong bagi kedua perpindahan cairan intramembranous dan transmembranos
terjadi karena cairan amnion normal mempunyai osmolalitas lebih rendah dari darah janin
atau ibu setelah terbentuk kulit janin. Studi eksperimental menggambarkan bahwa
penyerapan intramembranous bervariasi pada rentang osmolalitas yang besar dari gradien
osmotik amnion dan darah janin. Tetapi, pada pada gradien osmotik normal, hanya 35 % dari
perpindahan intramembranous tergantung dengan gradian osmosis, sehingga mekanisme non
pasif lain berpengaruh pada penyerapan intramembranous. Ini sesuai dengan observasi bahwa
albumin yang ditandai secara cepat berpindah dari cairan amnion ke darah janin pada sapi
hamil, dan tidak ada perpindahan baik dari darah janin ke cairan amnion.11
Karena permukaan yang luas dari korioamnion, seringkali dianggap bahwa membran
ini dilewati air dalam jumlah yang banyak. Tidak mengejutkan bahwa permeabilitas
membran menjadi regulator volume cairan ketuban yang penting. Walaupun permeabilitas
membran sangat penting, hanya sedikit informasi yang diketahui tentang karakteristik filtrasi
dan permeabilitas membran dan hubungannya dengan dinamika cairan amnion karena
kurangnya penelitian dan terkadang interpretasi yang berbeda. 11
Gambar 2: Skema perpindahan carian amnion

Dikutipdari: Gilbert WM. Amniotic fluid disorder. In: Gabbe obstetric normal and problem
pregnancies, 5th ed, Mosby Elsevier, 2007; 837-42.

2.3.3 Mekanisme transportasi cairan amnion


2.3.3.1 Perubahan-perubahan cairan amnion selama kehamilan
Kandungan air intrauterin meningkat secara progresif pada gestasi normal manusia.11
Sekitar 4 liter air berakumulasi di dalam bagian intrauterine saat hamil aterm, yakni: 2800 ml
pada fetus, 400 ml di plasenta dan 800 ml dalam cairan amnion. Pada awal kehamilan,
volume cairan amnion merupakan kelipatan dari volume fetus. Kedua jenis volume tersebut
menjadi seimbang setelah minggu ke-20, namun pada minggu ke-30 volume cairan amnion
menjadi sekitar setengah dari volume fetus dan saat aterm sekitar seperempat dari volume
fetus. Pada trimester terakhir, mendekati aterm, terdapat peningkatan jaringan fetus dari 30
sampai 40 ml per hari.12
Volume cairan amnion pada berbagai umur kandungan telah diteliti dengan
menggunakan metode pengukuran volume secara langsung, tehnik delusi indikator dan yang
lebih baru dengan ultrasonografi.12
Pada kehamilan normal, terdapat rentang volume yang lebar, terutama selama
trimester kedua gestasi. Terdapat peningkatan progresif volume cairan amnion dari 30 ml
pada umur kehamilan 10 minggu menjadi 190 ml pada kehamilan 16 minggu dan 780 ml
pada minggu ke 32-35, kemudian akan terjadi penurunan. Pola perubahan volume dapat
bervariasi tiap individu, volume cairan amnion dapat meningkat secara progresif sampai saat
melahirkan atau mungkin dapat menurun sejak awal minggu ke-24. Perubahan volume cairan
amnion sangat erat hubungannya dengan usia kehamilan. Volume cairan amnion meningkat
10 ml/minggu pada awal periode fetal, kemudian meningkat 50-60 ml/minggu pada usia
kehamilan 19-25 minggu, setelah itu menurun dan akhirnya tidak ada penambahan lagi
(maksimum) pada minggu ke-34, kemudian volume cairan amnion menurun tajam dengan
penurunan rata-rata 60-70 ml/minggu sampai minggu ke-40. Penurunan volume yang terjadi
pada kehamilan post-term diketahui sekitar 150 ml/minggu dari minggu ke-38 hingga 43.
Meskipun mekanisme dasar terjadinya perubahan volume cairan amnion selama kehamilan
masih belum jelas, namun penting dicatat bahwa, ketika ditampilkan dalam persentase,
kecepatan perubahan menurun secara monoton dengan bertambahnya usia fetus. Sehingga,
berkurangnya volume cairan amnion lebih menunjukkan sebuah perjalanan alami dari pada
sebuah kelainan.11

Gambar 3: Presentase perubahancairanamnionterhadapusiakehamilan

Volume cairan amnion merupakan hal yang penting secara klinis, karena volume yang
berkisar 1,5-2 liter (hidramnion) atau kurang dari 0,5 liter (oligohidramnion) antara minggu
ke-32 dan 36 sering dihubungkan dengan kelainan fetus dan/atau keluaran perinatal yang
jelek. Hidramnion selama trimester kedua dapat hilang spontan pada 40-50 % kasus,
perubahan tersebut menandakan bahwa keluaran perinatal akan normal. Sebaliknya,
oligohidramnion pada pertengahan kehamilan, sering dihubungkan dengan keluaran yang
buruk.11
Gambar 4: Indeks cairan amnion pada kehamilan tunggal

Amniotic fluid index (AFI) during a normal human singleton pregnancy. The solid line is the mean AFI, the
lower dotted line is the 5th percentile value, and the upper dotted line is the 95th percentile value (data adapted
from Moore, 1990). Image courtesy of Christopher L. Sistrom, MD.

2.3.3.2 Mekanisme dasar transport air.


Untuk mengerti mekanisme yang mendasari dinamika cairan amnion, perlu
mengetahui transportasi air secara biologis. Jumlah akumulasi air yang melewati membran
tubuh termasuk plasenta, hanya melalui mekanisme pasif sebagai akibat perbedaan tekanan
hidrostatik dan/atau osmotik. Jika tidak terdapat perbedaan, maka tidak terjadi transfer
volume. Seeds (1980) melaporkan bahwa penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan
adanya perbedaan kimiawi transplasental yang menyebabkan transfer air pada kehamilan
lebih dari 9 bulan terbukti tidak berhasil. Namun, perbedaan kimiawi yang sangat kecil akan
dapat menjelaskan jumlah transfer air yang sedikit, sangat mungkin bahwa tehnik eksperimen
yang dilakukan tidak cukup untuk menunjukkan keberadaannya. Jumlah transfer air
transplasenta juga bergantung pada perbedaan permeabilitas plasenta terhadap setiap larutan,
dan hal ini hanya dapat dicari dengan metode matematikal.11
Kesulitan ke 2 dalam memahami faktor-faktor yang terlibat dalam regulasi akumulasi
air adalah kekacauan dalam interpretasi penelitian dalam mencari pergerakan air isotropik.
Seeds (1980) mendiskusikan secara detail, data yang menggambarkan pergerakan difusi
molekul air tidak memberikan informasi yang relevan terhadap perubahan jumlah volume,
dimana hanya perubahan jumah yang mempengaruhi volume cairan amnion. 11
2.3.3.3 Jalur untuk perpindahan cairan
Volume cairan amnion adalah jumlah dari cairan masuk dan keluar ke dalam ruang
amnion. Sehingga, pengetahuan mengenai jalur pergerakan cairan amnion adalah dasar untuk
memahami mekanisme pengaturan volumenya. Pada masa gestasi awal, sejumlah besar
cairan amnion itu sudah ada sebelum proses miksi atau deglusi fetus. Meskipun pembentukan
cairan amnion pada tahap awal secara virtual belum dieksplorasi, namun mekanisme yang
paling mungkin adalah transport aktif solut (seperti Natrium dan klorida) oleh selaput amnion
ke dalam rongga amnion, dimana air bergerak pasif menuju gradient potensial kimia yang
lebih rendah. Lebih lanjut akan diketahui mengenai jalur-jalur yang terlibat dalam regulasi
volume cairan amnion pada trimester kedua gestasi setelah keratinisasi kulit fetus.10,11
Ada enam jalur yang potensial yang memungkinkan cairan keluar/masuk ke rongga
amnion pada fase akhir gestasi, empat diantaranya merupakan jalur utama, dan dua lainnya
jalur tambahan. Ekskresi dari urine janin dan penelanan cairan amnion oleh janin merupakan
jalur utama untuk pembentukan dan pembersihan cairan amnion. Sekresi cairan dalam jumlah
yang besar oleh paru janin setiap harinya mulai berlangsung dengan baik, dengan kata lain,
paru janin merupakan sumber utama kedua dari cairan amnion selama periode kedua masa
gestasi. 11
Kemajuan yang paling signifikan dalam pengertian kita tentang mekanisme
pengaturan volume cairan ketuban ialah pencatatan secara quantitatif bahwa baik cairan
maupun solut bergerak secara cepat diantara cairan amnion dan darah janin di dalam plasenta
dan selaput ketuban. Jalur ini dikenal sebagai jalur intramembraneous, dimana berperan
sebagai jalur utama yang ke empat. Pergerakan cairan dan solute diantara cairan amnion dan
darah ibu yang terjadi dalam dinding uterus melalui jalur transmembraneous. Jalur ini
merupakan jalur tambahan yang sering diabaikan karena sangat rendah. Pada akhirnya,
cairan yang diekskresi rongga oral-nasal janin ikut berpean dalam AFV. Jalur ini adalah jalur
tambahan yang terakhir. Integrasi dari cairan melalui enam jalur potensial ini merupakan
regulasi dari AFV.11

Gambar 5: Perpindahan cairan masuk dan keluar dari rongga amnion

Dikutip dari Brace RA. Amniotic fluid dynamics. In: Maternal fetal medicine, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2004: 45-54.

Cairan amnion pernah dianggap sebagai kolam stagnan. Namun pandangan ini jauh dari
akurat karena cairan dalam jumlah besar masuk dan keluar dari rongga amnion setiap
saat.10,11,13
Tabel 1: Jalur perpindahan cairan masuk dan keluar dari rongga amnion.

Volume (ml)/hari
Jalur ke fetus ke cairan amnion
Janin menelan 500-1000 -
Sekresi Oral - 25
Sekresi dari traktus respiratory 170 170
Urin janin - 800-1200
Intramembranous berpindah menyeberangi
200-500
plasenta, tali pusat dan janin
Transmembraneous berpindah dari ruang amnion
10
ke dalam sirkulasi uterin
Dikutip dari Brace RA. Amniotic fluid dynamics. In: Maternal fetal medicine, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2004: 45-54.
BAB 3
KELAINAN CAIRAN AMNION

3.1. Kekeruhan cairan amnion


Cemaran mekonium relatif sering ditemukan. Dalam suatu ringkasan dari 17
penelitian, Katz dan Bowes (1972) melaporkan bahwa insidensi pencemaran mekonium
(meconium staining) berkisar 7-22 %. Wiswell dkk.(1990) mengidentifikasi mekonium pada
12 % dari 175.000 lebih bayi lahir hidup. Bernische dan Kaufmann (2000) mengidentifikasi
adanya mekonium pada 18 % dari hampir 13.000 plasenta berturut-turut. Angka ini benar-
benar konstan selama 16 tahun terakhir di Rumah Sakit Parkland. Dari hampir 200.000
wanita yang melahirkan pada periode ini, sekitar 20% memperlihatkan cairan amnion yang
mengandung sedikit mekonium yang diketahui saat persalinan atau pelahiran.14
Janin preterm jarang mengeluarkan mekonium, dan mekonium mungkin sulit
dibedakan dari pigmen-pigmen yang berasal dari hemolisis janin. Pengeluaran mekonium
jarang terjadi sebelum minggu ke-38, dan sebaliknya meningkat setelah usia gestasi 40
minggu. Pencemaran selaput amnion tampak nyata dalam 1 sampai 3 jam setelah janin
mengeluarakan mekonium (Miller dkk.1985). Walaupun pajanan yang lebih lama
menyebabkan pencemaran korion, tali pusat, dan desidua, menurut Bernirchke dan Kaufmann
(2000), hal itu tidak dapat ditentukan lamanya secara akurat.14
Secara umum, keluarnya mekonium berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas perinatal. Fujikura dan Klionsky (1975) mengidentifikasi pencemaran selaput
amnion atau janin pada sekitar 10% dari 43.000 bayi lahir hidup pada Collaborative Study of
Cerebral Palsy. Angka kematian neonatus adalah 3,3 % pada kelompok yang selaputnya
tercemar oleh mekonium dibandingkan dengan 1,7 % pada mereka yang tidak tercemar.
Nathan dkk. (1994) secara retrospektif membandingkan hasil hasil perinatal pada lebih 8000
wanita melahirkan di Rumah Sakit Parklanddan pada saat pesalinannya dijumpai mekonium.
Kelompok kontrol terdiri dari 34.500 lebih kehamilan serupa yang cairan ketubannya jernih.
Mortalitas perinatal meningkat secara bermakna pada kelompok mekonium (1,5 versus 0,3
per 1000). Demikian juga, asidemia janin yang parah pH arteri tali pusat kurang dari 7,0
secara bermakna lebih sering terjadi pada bayi kelompok mekonium (7 versus 3 per 1000).
Akhirnya, seksio sesaria meningkat 2 kali lipat pada kelompok mekonium (14 versus 7 %).
Temuan-temuan global ini tidak dapat diterapkan pada setiap kasus. Walaupun demikian
menurut Bernirchke dan Kaufmann (2000), pencemaran mekonium sangat penting dalam
kasus-kasus medikolegal. Mortalitas neonatus akibat mekonium terutama disebabkan oleh
aspirasi mekonium yang kental dan lengket.14
3.2. Gangguanvolumecairanamnion
3.1.1. Hidramnion
3.1.1.1. Batasan
Hidramnion atau polihidramnion didefinisikan sebagai indeks cairan amnion yang
lebih besar dari 24 cm -25 cm - setara dengan volume yang lebih besar dari persentil ke-95
atau 97,5.14
3.1.1.2. Insiden
Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 % dari semua kehamilan. Hidramnion ringan:
didefinisikan sebagai kantung-kantung yang berukuran vertikal 8 sampai 11 cm-terdapat pada
80 % kasus dengan cairan yang berlebihan. Hidramnion sedang: didefinisikan sebagai
kantung-kantung yang hanya mengandung bagian-bagian kecil dan berukuran kedalaman 12-
15 cm-dijumpai pada 15 %. Hanya 5 % yang mengalami hidramnion berat: yang
didefinisikan sebagai adanya janin mengambang bebas dalam kantung cairan yang berukuran
16 cm atau lebih. Walaupun 2/3 dari kasus bersifat idiopatik, 1/3 lainnya terjadi pada anomali
janin, diabetes pada ibu, atau gestasi multijanin.14
3.1.1.3. Etiologi
Derajat hidramnion serta prognosisnya berkaitan dengan penyebabnya. Hidramnion
yang jelas patologis sering berkaitan dengan malformasi janin, terutama susunan saraf pusat
atau saluran cerna. Sebagai contoh, hidramnion terdapat pada sekitar separuh kasus
anensefalus dan atresia esofagus. Dalam penelitian Hill dkk.(1987) di Mayo clinic, kausa
hidramnion ringan teridentifikasi hanya pada 15 % kasus. Sebaliknya, pada peningkatan
volume cairan amnion derajat sedang atau berat, kausa teridentifikasi pada lebih dari 90 %
kasus. Secara spesifik, pada hampir separuh kasus hidramnon sedang dan berat, ditemukan
adanya anomali janin. Namun hal yang sebaliknya tidak tidak berlaku, dan dalam Spanish
Collaborative Study of Congenital Malformations (ECEMC) terhadap lebih dari 27.000 janin
dengan anomali, hanya 3,7% yang mengalami hidramnion. Tiga persen lainnya mengalami
oligohidramnion.14
Damato dkk. (1993) melaporkan hasil pemeriksaan dari 105 wanita yang dirujuk
untuk evaluasi kelebihan cairan amnion. Dengan menggunakan definisi-definisi serupa
dengan yang dijelaskan oleh Hill dkk (1987), para peneliti ini mengamati bahwa hampir 65 %
dari 105 kehamilan ternyata abnormal. Terdapat 47 janin tunggal dengan satu anomali atau
lebih: saluran cerna (15), hidrops non imun (12), susunan saraf pusat (12), toraks (9), tulang
rangka (8), kromosom (7), dan jantung (4). Dari 19 kehamilan kembar, hanya 2 yang normal.
Dua belas dari 17 sisanya memperlihatkan transfusi antar kembar.14
Dengan menggunakan indeks cairan amnion yang lebih dari 24 atau 25 cm sebagai
patokan hidramnion, sebagian besar studi menunjukkan bahwa mortalitas perinatal meningkat
secara bermakna. Dalam suatu laporan oleh Carlson dkk. (1990) mengenai 49 wanita dengan
indeks ≥ 24 cm, 22 (44 %) mengalami malformasi janin dan 6 dari mereka juga mengalami
aneuploidi. Terjadi 14 kematian perinatal diantara ke-49 wanita tersebut. Brady dkk.(1992)
menggunakan indeks ≥ 25 cm pada 5000 wanita dan menemukan hidramnion tanpa kausa
atau idiopatik pada 125 kasus. Mereka menemukan 2 janin dengan trisomi 18 dan 2 janin
trisomi 21. Panting-Kemp dkk.(1999) mendapatkan bahwa hidramnion idiopatik tidak
disertai dengan peningkatan hasil yang meragukan selain seksio sesarea.14
3.1.1.4. Patogenesis
Pada awal kehamilan , rongga amnion terisi oleh cairan yang komposisinya sangat
mirip dengan cairan ekstra sel. Selama paruh pertama kehamilan, pemindahan air dan
molekul kecil lainnya berlangsung tidak saja melalui amnion tetapi juga menembus kulit
janin. Selama trimester kedua, janin mulai berkemih, menelan, dan menghirup cairan amnion.
Proses-proses ini hampir pasti secara mengatur pengendalian volume cairan amnion.
Walaupun pada kasus hidramnion epitel amnion sering dianggap sebagai sumber utama
cairan amnion belum pernah ditemukan adanya perubahan adanya perubahan histologik pada
amnion atau perubahan kimiawi pada cairan amnion.14
Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion, diperkirakan bahwa
mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan volume cairan ketuban. Teori ini dibenarkan
dengan kenyataan bahwa hidramnion hampir selalu terjadi apabila janin tidak dapat menelan,
seperti pada kasus atresia oesofagus. Proses menelan ini jelas bukan satu-satunya mekanisme
untuk mencegah hidramnion. Pritchard (1966) dan Abramovich (1970) mengukur hal ini dan
menemukan bahwa pada beberapa kasus hidramnion berat, janin menelan air ketuban dalam
jumlah yang cukup banyak.14
Pada kasus anensefalus dan spina bifida, faktor etiologinya mungkin adalah
meningkatnya transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke dalam rongga amnion.
Penjelasan lain yang mungkin pada anensefalus, apabila tidak terjadi gangguan menelan,
adalah peningkatan berkemih akibat stimulasi pusat-pusat di serebrospinal yang tidak
terlindung atau berkurangnya efek antidiuretik akibat gangguan sekresi arginin vasopresin.14
Pada hidramnion yang terjadi pada kehamilan kembar monozigot, diajukan hipotesis
bahwa salah satu janin merampas sebagian besar sirkulasi bersama dam mengalami hipertrofi
jantung, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan keluaran urin. Naeye dan Blanc
(1972) menemukan pelebaran tubulus ginjal, pembesaran kandung kemih, dan peningkatan
produksi urin janin. Sebaliknya, donor dari pasangan transfusi transplasenta parabiotik
mengalami penciutan tubulus ginjal disertai oligohidramnion.14
Hidramnion yang agak sering terjadi pada diabetes ibu selama trimester ketiga masih
belum dapat diterangkan. Salah satu penjelasannya adalah bahwa hiperglikemia ibu
menyebabkan hiperglikemia janin yang menimbulkan diuresis osmotik. Barhava dkk.(1994)
membuktikan bahwa volume air ketuban trimester ketiga pada 399 diabetes gestasional
mencerminkan status glikemik terakhir. Yasuhi dkk.(1994) melaporkan peningkatan produksi
urin janin pada wanita diabetik yang puasa dibandingkan dengan kontrol non diabetik. Yang
menarik, produksi urin janin meningkat pada wanita non diabetik setelah makan, tetepi hal ini
tidak dijumpai pada wanita diabetik.14
3.1.1.5. Gejala
Gejala utama yang menyertai hidramnion terjadi semata-mata akibat faktor mekanis
dan terutama disebabkan oleh tekanan di dalam dan disekitar uterus yang mengalami
overdistensi terhadap organ-organ disekitarnya. Apabila peregangannya berlebihan, ibu dapat
mengalami dispnea dan pada kasus ekstrim, mungkin hanya dapat bernafas apabila dalam
posisi tegak. Sering terjadi edema akibat penekanan sistem vena besar, terutama di
ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen. Walaupun jarang, dapat terjadi oligouri
yang berat akibat obstruksi ureter oleh uterus yang sangat besar.14
Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung secara bertahap dan wanita
yang bersangkutan mungkin mentoleransi distensi abdomen yang berlebihan tanpa banyak
mengalami rasa tidak nyaman. Namun, pada hidramnion akut, distensi dapat menyebabkan
gangguan yang cukup serius dan mengancam. Hidramnion akut cenderung muncul pada
kehamilan dini dibandingkan dengan bentuk kronik sering sedini minggu ke-16 sampai 20
dan dapat dengan cepat memperbesar uterus yang hipertonik sehingga ukurannya menjadi
sangat besar. Biasanya hidramnion akut menyebabkan persalinan sebelum usia gestasi 28
mingu, atau gejala dapat menjadi sedemikian parah sehingga harus dilakukan intervensi.14
3.1.1.6. Diagnosis
Gambaran klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai kesulitan
meraba bagian-kecil janin dan dalam mendengar bunyi jantung janin. Pada kasus berat,
dinding uterus dapat sedemikian tegang sehingga bagian-bagian janin tidak mungkin diraba.14
Perbedaan antara hidramnion, asites, atau kista ovarium yang besar biasanya mudah
dilakukan dengan evaluasi ultrasonografi. Cairan amnion dalam jumlah besar hampir selalu
mudah diketahui sebagai ruang bebas echo yang sangat besar diantara janin dan dinding
uterus atau plasenta.14
3.1.1.7. Hasil kehamilan
Secara umum, semakin berat derajat hidramnion, semakin tinggi angka kematian
perinatal. Prognosis untuk bayi pada kehamilan dengan hidramnion berat adalah buruk.
Bahkan apabila sonografi dan sinar X memperlihatkan janin yang tampak normal, prognosis
masih dubia, karena malformasi janin dan kelainan kromosom sering dijumpai. Furman dkk
(2000) melaporkan peningkatan bermakna hasil perinatal yang merugikan apabila hidramnion
disertai hambatan pertumbuhan janin. Mortalitas perinatal semakin meningkat pada pelahiran
preterm, bahkan apabila janinnya normal. Many dkk.(1995) melaporkan bahwa 20% dari 275
wanita dengan indeks cairan amnion minimal 25 cm melahirkan preterm. Selain itu, pelahiran
preterm lebih sering terjadi pada wanita dengan anomali janin (40%). Eritroblastosis,
kesulitan-kesulitan yang dihadapi bayi dari ibu diabetik, prolaps tali pusat saat selaput
ketuban pecah, dan solusio plasenta sewaktu ukuran uterus berkurang cepat, semakin
memperburuk hasil.14
Penyulit tersering pada ibu yang disebabkan oleh hidramnion adalah solusio plasenta,
disfungsi uterus, dan perdarahan postpartum. Pemisahan dini plasenta yang luas kadang-
kadang terjadi setelah air ketuban keluar dalam jumlah yang banyak karena berkurangnya
luas bagian uterus di bawah plasenta. Disfungsi uterus dan perdarahan postpartum terjadi
karena atonia uterus akibat overdistensi. Kelainan presentasi janin dan intervensi operasi juga
lebih sering terjadi.14
3.1.1.8. Penatalaksanaan
a. Konsevatif
Hidramnion derajat ringan jarang memerlukan terapi. Bahkan derjat sedang dengan
sedikit ganguan biasanya dapat ditangani tanpa intervensi sampai terjadi persalinan atau
sampai selaput etuban pecah spontan. Apabila terjadi dispnea atau nyeri abdomen, apabila
rawat jalan sulit, pasien perlu dirawat inap. Tirah baring jarang berpengaruh, dan pemberian
diuretika serta pembatasan air dan garam juga biasanya kurang efektif.14
b. Amniosentesis
Tujuan utama amniosentesis adalah untuk meredakan penderitaan ibu, dan untuk
maksud itu tindakan itu berhasil sementara. Amniosentesis terapeutik kadang-kadang
tampaknya memicu persalinan walaupun hanya sebagian kecil cairan yang dikeluarkan.14
c. Amniotomi
Kerugian dari pemecahan selaput ketuban melalui serviks adalah kemungkinan
prolaps tali pusat dan terutama solusio plasenta. Pengeluaran cairan secara perlahan melalui
amniosentesis membantu mencegah bahaya-bahaya ini.14
d. Terapi indometasin
Dalam ulasan terhadap beberapa penelitian, Kramer dkk. (1994) menyimpulkan
bahwa indometasin mengganggu produksi cairan paru atau meningkatkan penyerapannya,
mengurangi produksi urin janin. Dosis yang digunakan oleh sebagian besar peneliti berkisar
dari 1,5 sampai 3 mg/kg/hari. Dari beberapa studi melaporkan wanita yang diberi
indometasin maka terjadi penurunan volume cairan amnion.14
Kekhawatiran utama pada penggunaan indometasin adalah kemungkinan penutupan
duktus arteriosus janin. Moise dkk.(1988) melaporkan bahwa 50% dari 14 janin yang ibunya
mendapat indometasin mengalami kontriksi duktus seperti yang dideteksi oleh ultrasonografi
doppler. Studi-studi yang dijelaskan sebelumnya tidak menemukan adanya kontriksi yang
menetap.14

3.1.2. Oligohidramnion
3.1.2.1. Batasan
Definisi oligohidramnion yang digunakan beragam oleh karena tidak ada titik potong
yang ideal sewaktu dilakukan pengukuran. Oligohidramnion mempunyai karakteristik seperti
di bawah ini:
 Berkurangnya volume cairan amnion
 Volume cairan amnion < 500 mL pada usia kehamilan 32-36 minggu
 Single deepest pocket (SDP) < 2 cm
 Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < 5 percentile dari umur kehamilan
 Tidak ditemukan kantong yang bebas dari tali pusat pada pengukuran minimal 1 cm
pada pengukuran SDP
Volume cairan amnion bergantung pada usia kehamilan, karena itu , definisi yang paling baik
adalah Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < 5 percentile.1,2,3
Gambar 6: Hubungan antara ICA dengan usia kehamilan.

Dikutip dari Brace RA. Amniotic fluid dynamics. In: Maternal fetal medicine, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2004: 45-54.

3.1.2.2. Insiden
Insiden sekitar 3,9 % dari seluruh kehamilan, namun estimasi sekitar 12 % dari kehamilan
usia 40 minggu atau lebih.14
3.1.1.3. Oligohidramnion onset dini
Beberapa kondisi telah dikaitkan dengan berkurangnya cairan amnion.
Oligohidramnion hampir selalu merupakan bukti ketika terjadi obstruksi saluran kencing
fetus atau agenesis renal. Maka dari itu, anuria hampir selalu memiliki peranan secara
etiologi pada kasus-kasus yang demikian. Kebocoran kronis dari defek yang terdapat pada
membran fetus akan menurunkan volume cairan secara cukup besar, namun sebagian besar
diikuti dengan terjadinya persalinan. Paparan terhadap angiotensin converting enzim inhibitor
dikaitkan dengan terjadinya hidramnion. Dimanapun dari 15- 25 % kasus, dikaitkan dengan
kelainan fetus seperti yang ditampilkan dalam tabel 2. Pryde dkk. (2000) hanya mampu
memvisualisasikan struktur fetus pada 50 % dari wanita-wanita yang dirujuk untuk menjalani
pemeriksaan ultrasonik pada pertengahan trimester ketiga. Mereka menjalani amnioinfusion,
baru kemudian dapat divisualisasikan 77 % dari struktur pencitraan yang rutin dikerjakan.
Identifikasi kelainan yang berkaitan meningkat dari 12 % menjadi 31 % fetus.14

Tabel 2 . Keadaan yang dikaitkan dengan oligohidramnion


Fetus Maternal
Kelainan kromosom Insufisiensi uteroplasental
Kelainan kongenital Hipertensi
Hambatan pertumbuhan Preeklamsia
Kematian Diabetes
Kehamilan postterm Obat-obatan
Ruptur membran Prostaglandin synthase inhibitor
Plasenta Angiotensin converting enzim inhibitor
Abruptio Idiopatik
Twin to twin transfusion

Prognosis
Hasil yang buruk akan dijumpai pada fetus dengan riwayat oligohidramnion onset
dini. Shenker dkk. (1991) menjabarkan dari 80 kehamilan dan hanya setengah dari jumlah
fetus tersebut yang dapat bertahan hidup. Mercer dan Brown (1986) menjelaskan 34
kehamilan trimester pertengahan terkomplikasi dengan oligohidramnion yang didiagnosis
dengan USG dengan tidak adanya kantong cairan amnion yang lebih besar dari 1 cm.
Sembilan fetus (seperempat) mengalami kelainan,dan 10 dari 25 fetus yang secara fenotip
normal mengalami abortus spontaneus atau lahir mati karena hipertensi berat yang dialami
ibunya, hambatan pertumbuhan fetus, atau abruptio plasenta. Dari 14 bayi yang lahir hidup,
8 adalah preterm dan 7meninggal. Enam bayi yang dilahirkan aterm juga mengalamihal yang
sama. Garmel dkk. (1997) mengamati pertumbuhan fetus berkaitan dengan oligohidramnion
yang telah adasebelumnya sampai usia kehamilan 37 minggu, di mana fetusakan mengalami
peningkatan 3 kali lipat untuk lahir preterm namun tidak mengalami hambatan pertumbuhan
selanjutnya atau kematian. Newbould dkk. (1994) menjelaskan penemuan otopsi pada 89
bayi dengan oligohidramnion atau Potter syndrome. Hanya 3% yang memiliki saluran ginjal
yang normal; 34% mengalami agenesis renal; 34% mengalami bilateral cystic dysplasia; 9%
dengan agenesis unilateral dengan dysplasia; dan 10% dengan kelainan minorurinary.
Sebaliknya bayi normal kemungkinan akan mengalami akibat dari kurangnya cairan amnion
onset dini yang berat. Perlekatan antara amnion akan menjebak bagian fetus dan
menyebabkan deformitas yang serius, termasuk amputasi. Lebih daripada itu, akan terjadi
penekanan dari semua arah, deformitas muskuloskeletal seperti clubfoot sangat sering
dijumpai.14
Tabel 3 . Kelainan kongenital yang dikaitkan dengan oligohidramnion
Amniotic Band Syndrome
Kelainan kromosom: triploidy, trisomi 18, sindrom Turner
Cloacal dysgenesis
Cystic hygroma
Hernia diafragmatika
Hipotiroidism
Twin reversed arterial perfusion (TRAP) sequence
Twin to twin transfusion
Jantung-Tetralogi Fallot, Septal defects
Sistem saraf pusat-holoprosencephaly, meningocel, encephalocel, microcephaly
Genitourinarius-agenesis renal, displasia renal, obstruksi uretra, exstrophy kandung
kemih, sindrom Meckel-Gruber, obstruksi uteropelvic junction, sindrom Prune-Belly
Skeletal-sirenomelia, agenesis sakral, absent radius, facial clefting
VACTERL (vertebral, anal, cardiac, tracheo-osophageal, renal, limb) association

Sumber: McCurdy dan Seeds (1993) dan Peipert dan Donnenfeld (1991)

Hipoplasia Paru
Insiden hipoplasia paru pada saat lahir berkisar antara 1,1-1,4 per 1.000 bayi (Moessinger
dkk.1989). Ketika cairan amnion mulai bau, hipoplasia paru, Winn dkk. (2000) mengadakan
penelitian kohort prospektif pada 163 kasus dengan oligohidramnion yang diikuti dengan
ruptur membran dini pada usia kehamilan 15-28 minggu. Hampir 13% fetus mengalami
hipoplasia paru. Komplikasi ini lebih sering dijumpai seiring dengan usia kehamilan di mana
terjadinya ruptur membran semakin muda. Kilbride dkk. (1996)
mempelajari 115 wanita dengan ruptur membran prematur sebelum usia kehamilan 29
minggu. Pada akhirnya terdapat kasus 7 lahir mati dan 40 kematian neonatus dengan
kematian perinatal 409 per 1.000. Resiko dari hipoplasia paru yang bersifat letal adalah 20%.
Hasil yang merugikan lebih sering dijumpai pada ruptur membran dini termasuk yang
melewati 14 hari. Menurut Fox dan Badalian (1994) dan Lauria dkk. (1995), terdapat 3
kemungkinan yang diperhitungkan sebagai penyebab hipoplasia paru.
1. Kompresi dada akan mencegah pembesaran dinding dada dan dan ekspansi paru.
2. Kurangnya pergerakan nafas bayi menyebabkan aliran paru menurun.
3. Yang merupakan model yang lebih luas yang diterima di mana model ini melibatkan
cairan amnion intrapulmoner atau peningkatan aliran dengan gangguan pertumbuhan
dan perkembangan paru. 14
Albuquerque dkk. (2002) menemukan hubungan antara oligohidramnion dan flexi spinal
pada fetus dalam timbulnya hipoplasia paru. Volume cairan amnion cukup besar seperti yang
dikemukakan oleh Duenhoelter dan Pritchard (1976) yang dapat dihirup oleh fetus normal
memiliki peranan untuk ekspansi paru, dan pada gilirannya, untuk perkembangan paru. Fisk
dkk. (1992), bagaimanapun juga, menyimpulkan bahwa kegagalan pernafasan fetus tidak
menyebabkan hipoplasia paru dengan oligohidramnion. Dalam suatu eksperimen yang unik,
McNamara dkk. (1995) menjelaskan penemuannya bahwa pada kembar monoamniotik
dengan kelainan ginjal. Membuktikan bahwa volume cairan amnion yang normal pada fetus
dengan obstruksi renal akan tetap memiliki perkembangan paru yang normal.14
3.1.2.4. Oligohidramnion kehamilan lanjut
Volume cairan amnion berkurang setelah kehamilan 35 minggu. Manajemen dari
oligohidramnion pada kehamilan lanjut tergantung pada keadaan klinis. Evaluasi terhadap
kelainan fetus dan gangguan pertumbuhan adalah sangat penting. Pada kehamilan yang
terkomplikasi dengan oligohidramnion dan gangguan pertumbuhan fetus, observasi ketat
terhadap pertumbuhan fetus sangat penting karena berkaitan dengan morbiditas, dan
melahirkan bayi merupakan rekomendasi dengan indikasi pada bayi atau ibunya. Walaupun
usia kehamilan merupakan pertimbangan pada keputusan ini, namun bukti-bukti
pengendalian pada faktor ibu atau bayi umumnya akan mengatasi peluang terjadinya
komplikasi dari kelahiran preterm.14 Oz dkk. (2002) menyelidiki penyebab dari kejadian
oligohidramnion pada kehamilan postterm. Mereka menemukan reduksi kecepatan diastolik
akhir pada arteri renal, yang diperkirakan peningkatan hambatan arteri merupakan faktor
penting. Dengan menggunakan AFI yang kurang dari 5 cm.14 Casey dkk. (2000) menemukan
insiden oligohidramnion 2,3% pada lebih dari 6.400 kehamilan yang menjalani pemeriksaan
sonography setelah usia kehamilan 34 minggu di Parkland Hospital. Mereka memastikan
pengamatan sebelumnya bahwa penemuan ini berkaitan dengan peningkatan resiko buruk
perinatal.14
Sebaliknya, dengan menggunakan database percobaan RADIUS, Zhang dkk. (2004)
melaporkan bahwa oligohidramnion pada derajat ini tidak dikaitkan dengan efek buruk
perinatal. Magann dkk. (1999) tidak menemukan hubungan bahwa oligohidramnion
meningkatkan resiko komplikasi antepartum. Chauhan dkk (1999) melakukan metaanalisis
dari 18 penelitian yang membandingkan 10.500 kehamilan dimana indeks cairan amnion
intrapartum kurang dari 5 cm. Dibandingkan dengan kontrol yang memiliki indeks lebih dari
5 cm, wanita dengan oligohidramnion memiliki peningkatan yang bermakna, 2,2 kali lipat,
akan resiko melahirkan dengan seksio sesaria atas indikasi fetal distress dan 5,2 kali lipat
peningkatan resiko untuk nilai APGAR menit ke-5 kurang dari 7. Kompresi tulang belakang
selama persalinan sering dijumpai pada oligohidramnion. Sarno dkk. (1989, 1999)
melaporkan bahwa indeks 5 atau kurang seringkali dikaitkan dengan peningkatan resiko
sebesar 5 kali lipat untuk menjalani persalinan secara seksio sesaria. Baron dkk. (1995)
melaporkan peningkatan sebesar 50% pada variabel deselerasi selama persalinan dan
peningkatan 7 kali lipat untuk menjalani persalinan dengan seksio sesaria pada wanita-wanita
tersebut. Sangat berbeda dengan Casey dkk. (2000) yang menunjukkan peningkatan 25%
pada denyut jantung janin yang tidak beraturan pada wanita dengan oligohidramnion ketika
dibandingkan dengan kontrol. Lebih daripada itu, angka seksio pada kehamilan dengan
temuan seperti ini meningkat hanya 3-5%. Divon dkk. (1995) mempelajari 638 wanita
dengan kehamilan postterm pada proses persalinannya dan mengamati hanya yang indeks
cairan amnionnya 5 cm atau kurang atau yang memiliki denyut jantung janin yang
mengalami deselerasi dan mekonium. Menariknya, Chauhan dkk. (1995) menunjukkan
bahwa pengurangan indeks cairan amnion meningkatkan resiko kelahiran dengan seksio
hanya pada wanita yang penolong persalinannya menyadari akan temuan ini.14
3.1.2.5 Penanganan oligohidramnion
Oligohidramnion pada kehamilan aterm mungkin dilakukan penanganan aktif dengan
cara induksi persalinan atau penanganan ekspektatif dengan cara hidrasi dan pemantauan
janin, dan atau USG reguler untuk menilai volume cairan amnion. Ketika kedua pilihan
tersedia, penanganan aktif adalah pendekatan yang umum dilakukan pada wanita hamil aterm
dengan atau tanpa faktor resiko pada ibu atau fetus.
Induksi persalinan pada wanita resiko rendah dengan oligohidramnion paling umum
dilakukan, meskipun tidak ditemukan perbaikan pada keluaran neonatal. Pada sebuah
penelitian prospektif (N=54), Ek dkk, menemukan bahwa penanganan aktif dibandingkan
dengan ekspektatif pada wanita dengan oligohidramnion tanpa penyulit lain tidak ditemukan
perbedaan pada keluaran maternal dan neonatal. Karena jumlah sampel yang kecil pada
penelitian ini, maka penelitian ini tidak punya kekuatan untuk menentukan hubungan yang
bermakna antara oligohidramnion dan keluaran neonatal. Sebaliknya, penelitian prospektif
oleh Alchabi dkk, membagi 180 wanita kehamilan antara 37 dan 42 minggu yang
dimasukkan untuk induksi persalinan kedalam 2 grup: satu grup dengan ICA ≤ 5 cm, dan
grup yang lain dengan ICA > 5 cm. Meskipun kedua grup dapat dibandingkan demografi dan
karakteristik obstetrik sebelum induksi, wanita dengan ICA yang rendah, angka SC
meningkat sekunder akibat fetal disstres. Conway dkk mengacak 61 wanita dengan
oligohidramnion hamil aterm diinduksi atau ekspektatif menemukan tidak adaperbedaan pada
keluaran maternal dan neonatal. Mereka menyimpulkan bahwa penanganan ekspektatif
dengan pemantauan fetus 2 kali seminggu adalah alternatif yang sensibel terhadap induksi
persalianan, dan kebanyakan (67%) wanita akan masuk persalinan spontan dalam 3 hari
sesudah diagnosis. Meskipun kekuatannya kecil dan insufisien, penelitian ini menyarankan
bahwa oligohidramnion tidak memperlihatkan hubungan dengan keluran tambahan, tapi
menyebabkan intoleransi persalinan pada fetal, yang menghasilkan angka SC yang lebih
tinggi. Penanganan ekspektatif mempunyai keluaran neonatal yang sama baik, pendekatan itu
belum digunakan secara luas.15
Amnioinfusion merupakan suatu prosedur melakukan infus larutan NaCl fisiologis atau
ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion. Tindakan ini
dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat berkurangnya volume cairan amnion,
seperti deselerasi variabel berat dan sindroma aspirasi mekonium dalam persalinan. Tindakan
amnioinfusion cukup efektif, aman, mudah dikerjakan, dan biayanya murah. Pada tahun
1976, Gabbe dkk pertama kali melaporkan tindakan amnio infusion pada kera rhesus yang
hamil. Dalam percobaannya, janin kera memperlihatkan gambaran deselerasi variabel
menyusul pengeluaran cairan amnion dari kavum uteri; dan gambaran deselerasi variabel
menghilang setelah kavum uteri diisi kembali dengan cairan. Penelitian pada manusia baru
dilaporkan pada tahun 1983 oleh Miyazaki dan Taylor, yang menyatakan bahwa tindakan
amnioinfusion dapat menghilangkan gambaran deselerasi variabel yang timbul akibat
oligohidramnion.14
Amnioinfusion dapat dilakukan dengan cara transabdominal atau transservikal
(transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusion dilakukan dengan bimbingan
ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat dimasukkan melalui jarum
spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion dengan tuntunan ultrasonografi. Pada cara
transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang ke dalam kavum uteri melalui
serviks uteri. Selama tindakan amnioinfusion, denyut jantung janin dimonitor terus dengan
alat kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin. Mula-mula
dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau ringer laktat selama 20-30 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah tetesan infus disesuaikan
dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila deselerasi variabel menghilang, infus
dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel
timbul kembali. Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila
setelah 800- 1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka
tindakan dianggap gagal. 6
Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusion, antara lain: amnionitis,
hidramnion, uterus hipertonik, kehamilan kembar, kelainan kongenital janin, kelainan uterus,
gawat janin yang berat, malpresentasi janin, pH darah janin 7, 20, plasenta previa atau
solusio plasenta.6
Meskipun amnioinfusion cukup mudah dan aman dilakukan, beberapa komplikasi
mungkin terjadi selama tindakan, antara lain: prolapsus tali pusat, ruptura pada jaringan parut
bekas seksio sesarea, hidramnion iatrogenik, emboli cairan amnion, febris intrapartum.6,7
BAB 4
HIDRASI MATERNAL

4.1. Batasan
Hidrasi maternal adalah suatu cara meningkatkan volume cairan amnion pada
keadaan cairan amnion yang sedikit dengan memasukkan cairan ke dalam tubuh ibu baik
secara oral dengan minum air maupun cairan intravena.8
4.2. Teknik hidrasi maternal
Skema penanganan oligohidramnion pada kehamilan aterm dengan hidrasi maternal.

PENATALAKSANAAN WANITA HAMIL ATERM DENGAN


OLIGOHIDRAMNION

Wanita usia kehamilanantara 37- Apakah ditemukan Induksi


41 mg dengan ICA < 5,0 abnormalitas pada pada salah persalinan
satu tes diatas
ya
1. Evaluasi adanya KPD
Tidak
2.Nilai kembali usia kehamilan

3. Lakukan NST untuk menilai


Mulai lakukan hidrasi
Pertimbangkan
kesejahteraan janin maternal. Ukur ICA setelah 2-6 untuk induksi
jam kemudian. Apakah ICA persalinan
4.Tentukan adanya hipertensi
< 5? ya
yang diinduksi kehamian, DM,

atau kondisi maternal lainnya Tidak

yang berhubungan dengan Ukur ulang ICA


Apakah ICA 5-8?
dalam 3-4 hari
insufisiensi uteroplasenta.
ya
5. Lakukan USG untuk menilai Tidak

PJT dan anomali janin

Jika ICA > 8, lakukan pengukuran


ICA dan NST tiap minggu

Dikutip dari Leeman L, Almond D. Isolated oligohydramnios at term: Is induction indicated?


The Journal of Family Practice 2005; 54(1): 31
Managemen penatalaksanaan:
ICA punya spesifitas dan positive predictive value yang rendah untuk menilai
oligohidramnion, hanya sedikit kejadiannya bahwa oligohidramnion pada hamil aterm
menyebabkan luaran janin yang kurang baik. Bila ditemukan ICA < 5 cm perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan terlebih dahulu dari pada induksi segera terutama pada kehamilan
resiko rendah.16
Penilaian awal:
1. Nilai adanya ketuban pecah dini melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan
spekulum steril.
2. Nilai kembali usia kehamilannya, oligohidramnion yang terjadi pada kehamilan
postterm (› 41 mgg) merupakan indikasi untuk induksi.
3. Lakukan Non Stress Test (NST) untuk menilai kesejahteraan janin.
4. Nilai IUGR dengan USG untuk taksiran berat janin dan rasio HC/AC. Perbandingan
dengan hasil USG sebelumnya dapat membantu menilai interval pertumbuhan.
Taksiran berat janin di bawah 10 persentil, peningkatan rasio HC/AC, atau interval
pertumbuhan yang jelek menunjukkan IUGR.
5. Susun survey anatomi dengan USG untuk menilai anomali janin jika belum dilakukan
sebelumnya.
6.
Tentukan bila ada preeklampsia, hipertensi kronis, diabetes melitus, atau kondisi
maternal lainnya yang berhubungan dengan insufisiensi uteroplasental.16
Langkah-langkah pelaksanaan:
Dengan adanya penemuan positif pada penilaian awal, lanjutkan dengan induksi
persalinan. Jika penilaian awal tidak dapat dilakukan, dan ICA < 5 cm, pertimbangkan
hidrasi maternal oral dengan minum air dan ulangi pemeriksaan ICA 2-6 jam kemudian.
Oligohidramnion persisten pada hamil aterm, biasanya serviks sudah matang, dapat
dipertimbangkan untuk induksi persalinan. Penatalaksanaan dilanjutkan pada hamil aterm
dengan oligohidramnion, dan pemantauan kesejahteraan janin 2 kali seminggu, mungkin
juga dapat jadi pilihan yang cukup beralasan sehubungan dengan kurangnya bukti bahwa
oligohidramnion berhubungan dengan hasil sebaliknya dari skenario ini. Hasil normal dari
penelitian doppler aliran arteri umbilikalis telah digunakan untuk menurunkan kebutuhan
induksi pada kehamilan resiko tinggi dengan oligohidramnion, dan tehnik ini mungkin
memegang peranan pada keadaan oligohidramnion aterm tanpa komplikasi ibu dan janin.
Suatu hal yang penting adalah pasien mendapat konseling dan diberikan informed consent
mengenai resiko dan keuntungan dari observasi atau induksi pada oligohidramnion aterm
tanpa komplikasi. Kemudahan induksi berdasarkan pada paritas dan kematangan serviks juga
harus dipertimbangkan.
Primipara dengan serviks belum matang yang berkeinginan kuatuntuk melahirkan
spontan pervaginam dapat diberitahu bahwa, walaupun ada sedikit resiko pada bayinya , tidak
ada penelitian yang menunjukkan peningkatan morbiditas dan mortalitas jangka panjang
yang berhubungan dengan sedikitnya jumlah cairan, dan menginduksi persalinan bisa
menggandakan kemungkinan dilakukannya persalinan dengan seksio sesaria. Pada situasi
seperti ini, pendekatan yang bisa diterima bagi ibu dan para klinisi adalah mungkin dilakukan
rehidrasi diikuti pengulangan pemeriksaan ICA dan follow up yang ketat dengan evaluasi
kesejahteraan janin sesuai algoritma di atas. Dalam praktek, rehidrasi dengan dua liter air
peroral dapat saja dilakukan meskipun belum akan dimulai induksi, karena tindakan ini aman,
dan dapat meningkatkan ICA secara bermakna. Sebagai alternatif, pendekatan yang lebih
dipilih untuk wanita multipara dengan serviks yang matang sesuai skor Bishop, dapat
diinduksi persalinannya. Karena luaran yang buruk pada janin belum dapat ditemukan pada
oligihidramnion aterm, adalah tidak rasional untuk rutin menginduksi persalinan dengan ICA
borderline (5-8 cm).16
Gramallini dkk (2004) mencatat tiap satu centimeter pada pengukuran ICA ekuivalen
dengan 30 ml volume, mengindikasikan bahwa jumlah ICA hanya 50 % dari volume yang
sebenarnya. Mereka juga mendapatkan sensitifitas pengukuran ICA untuk volume cairan
amnion yang kurang adalah 10-29 %.4
Pada situasi ini lebih baik bila dilakukan penilaian awal seperti yang diterangkan diatas
tadi, dan lebih beralasan jika mengulang menilai ICA dalam 3-4 hari untuk menentukan
apakah benar terjadi oligohidramnion.16
4.3. Indikasi/kontra indikasi
4.3.1 Indikasi
Hidrasi maternal direkomendasikan bila indeks cairan amnion < 5 cm, usia gestasi antara
37-41 minggu, dan tidak dijumpai kelainan pada ibu dan janin.16
4.3.2 Kontra indikasi
Hidrasi maternal tidak dilakukan pada wanita yang mempunyai penyakit yang diperberat
oleh keadaan cairan yang meningkat tiba-tiba (penyakit jantung, gagal ginjal, preeklampsia
dan diabetes melitus, hipertensi kronis). Sedangkan apabila pada janin ditemukannya
kelainan ginjal janin, kehamilan ganda, pertumbuhan janin terganggu, kesejahteraan janin
meragukan/jelek dan korioamnionitis akan dilakukan terminasi kehamilan.8
4.4. Data kepustakaan mengenai manfaat hidrasi maternal
Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi komplikasi oligohidramnion
pada saat inpartu yaitu melakukan amnioinfusion untuk meningkatkan cairan amnion di
dalam uterus. Bagaimanapun juga, jika menginginkan penatalaksanaan secara ekspektatif,
maka hidrasi maternal dapat meningkatkan volume cairan amnion. Hidrasi maternal baik
peroral maupun intravena telah diteliti sebagai cara lain dalam penatalaksanaan
oligohidramnion pada wanita hamil aterm.15 Pada trimester kedua kehamilan, kebanyakan
cairan amnion dihasilkan melalui produksi urin fetus, dan diabsorbsi melalui proses menelan
fetus. Cairan amnion juga diabsorbsi melalui paru-paru fetus dan melalui plasenta. Hidrasi
maternal dan osmolaritas maternal mempengaruhi jumlah cairan amnion juga mempengaruhi
produksi urin fetus dan reabsorbsinya saat mendekati hamil aterm.15 Dalam suatu review
yang sistematik, Hofmeyr (2004) menemukan bahwa volume cairan amnion meningkat pada
oligohidramnion atau ICA normal yang telah minum 2 liter air atau yang mendapat hidrasi
larutan hipotonik intravena, tapi yang mendapat hidrasi larutan isotonik intravena tidak
menunjukkan peningkatan. Volume cairan amnion diukur 6 jam kemudian, memperlihatkan
efek peningkatan rata-rata 2,01 (95% CI, 1,43-2,60) pada wanita yang mendapat hidrasi
secara oral dan peningkatan rata-rata 2,3 (95% CI, 1,36-3,24) pada wanita yang mendapat
hidrasi larutan hipotonik intravena.17
Leeman dan Almond (2005) melaporkan peningkatan AFI sebesar 30% pada wanita
yang mengkonsumsi 2 liter air, 2 sampai 5 jam sebelum dilakukan USG ulangan,
dibandingkan dengan wanita yang tidak mendapat hidrasi peroral. Mereka
merekomendasikan bahwa wanita yang diketahui oligohidramnion, dipertimbangkan
memberikan hidrasi maternal sebelum mengukur kembali AFI 2 sampai 6 jam kemudian.16
The Cochrane Library dalam reviewnya menemukan 2 penelitian yang berhubungan,
dilakukan dengan metode acak terkontrol, membandingkan yang mendapat dan yang tidak
mendapat hidrasi maternal pada wanita hamil dengan cairan amnion yang kurang dan normal.
Kedua penelitian ini menyertakan 78 wanita . Para wanita ini diminta minum 2 liter air
sebelum dilakukan USG ulangan. Hidrasi maternal pada wanita dengan dan tanpa
oligohidramnion diketahui volume cairan amnionnya meningkat ( peningkatan 2,01 cm, 95%
CI 1,43-2,60 pada oligohidramnion dan 4,5 cm, 95% CI 2,92-6,08 pada ICA normal). Hidrasi
maternal dengan larutan hipotonis intravena pada wanita yang oligohidramnion juga
mengalami peningkatan volume cairan amnion (naik 2,3 cm, 95% CI 1,36-3,24). Pemberian
larutan isotonis tidak menunjukkan peningkatan volume cairan amnion. 17
Penelitian lain yang mendukung bahwa volume cairan maternal berperan penting
dalam mempertahankan volume cairan amnion. Sherer dkk (1990) melaporkan kasus
oligohidramnion berat pada wanita hamil yang menderita dehidrasi berat akibat
gastroenteritis. Setelah pasien mendapat hidrasi cairan kristaloid intravena 6500 ml dan tidak
ada lagi hipovolume, terjadi akumulasi cairan yang cepat sehingga pada pengamatan
selanjutnya ditemukan ICA yang normal.18 Kilpatrick dan Safford (1993) menemukan bahwa
pembatasan cairan akan menurunkan ICA. Mereka juga memperlihatkan bahwa hidrasi
maternal oral dengan air 2 liter dalam periode 2 jam akan meningkatkan ICA pada kehamilan
yang volume cairan amnion normal sebesar 16 %.19 Sebelumnya, Kilpatrick dkk (1991) telah
memperlihatkan bahwa hidrasi maternal oral dengan air 2 liter dalam periode 2 jam akan
meningkatkan ICA sebesar 31 % pada kehamilan yang volume cairan amnion berkurang.18
Hal yang berbeda, Flack dkk (1995) menemukan bahwa hidrasi maternal peroral
meningkatkan ICA pada wanita dengan oligohidramnion, tapi tidak meningkat secara
bermakna pada volume air ketuban yang normal.20 Flack dkk (1995) menemukan bahwa
peningkatan ICA bukan merupakan peranan dari peningkatan produksi urin fetus tapi lebih
mungkin peranan perbaikan perfusi uteroplasental akibat ekspansi volume plasma maternal.20
Penelitian Flack dkk. juga menduga bahwa kemungkinan terjadi perpindahan cairan dari
kompartemen intravaskular maternal ke dalam kompartemen cairan amnion. Meskipun sudah
di uji coba pada binatang, tapi pada manusia belum ada percobaan. Pada binatang percobaan
ditemukan aliran cairan amnion yang bermakna melalui jalur transmembraneous antara
pembuluh darah fetus dalam chorionic plate dan rongga amnion.20 Flack dkk. juga menduga
bahwa volume cairan ketuban juga meningkat dengan transfer air intramembraneous antara
ibu dan fetus menyeberangi chorionic plate, kulit fetus dan permukaan tali pusat.20 Kilpatrick
dan Safford (1993) menuliskan peningkatan yang bermakna pada mean velocity arteri
umbilikalis sesudah hidrasi maternal dan mengemukakan teori bahwa hidrasi bekerja
meningkatkan ICA dengan memperbaiki aliran darah plasenta atau transfer air menyeberangi
plasenta secara besar-besaran.19
Chelmow dkk (1996) melaporkan wanita hamil preterm yang mengalami pecah
ketuban, dengan hidrasi maternal intravena didapatkan peningkatan AFI yang bermakna.
Mereka meneliti 13 wanita dengan umur kehamilan 24-37 mg yang didiagnosis KPD
preterm. Kemudian dibagi menjadi grup terapi dan kontrol, 6 orang mendapat 1 liter normal
salin IV bolus selama 30 menit. Kedua grup diperiksa ulang 90 menit kemudian, pada
kelompok terapi peningkatan ICA sebesar 5,1 cm.21
Bagaimana efek jangka panjang hidrasi maternal terhadap peningkatan AFI? Baru
sedikit penelitian yang berhubungan dengan itu. Malhotra (2004) di New Delhi meneliti efek
hidrasi maternal akut dengan memberikan 2 liter air dalam 1 jam, kemudian AFI diukur
sesudah 3, 24 dan 48 jam kemudian. Dia mendapatkan ICA meningkat dalam waktu 3 jam
sesudah hidrasi maternal, tapi peningkatan ICA itu hanya bertahan kurang dari 24 jam.22 Fait
G dkk (2003) dalam penelitian setelah memberikan air 2 liter setiap hari selama 1 minggu
mendapatkan ICA tetap sama ukurannya setelah 1 minggu. Mereka membuat kesimpulan
pemberian hidrasi maternal oral jangka panjang akan meningkatkan ICA pada wanita yang
jumlah cairan amnionnya kurang dan kemungkinan dapat mencegah oligohidramnion.23
Penelitian saat ini menyebutkan bahwa wanita hamil dengan oligohidramnion,
peningkatan yang signifikan pada ICA terlihat dari baik pemberian infuse hipotonik maupun
oral. Beberapa penelitian membandingkan apakah pemberian oral atau intravena yang lebih
mempengaruhi peningkatan ICA. Lorzadeh dkk (2008) dalam penelitiannya menemukan rata-
rata peningkatan ICA setelah hidrasi maternal secara sinifikan lebih besar pada kelompok
yang meminum air (p < 0,0001) dari pada kelompok yang mendapat intravena.9 Doi dkk
(1998) dalam penelitiannya membandingkan efek dari hidrasi matenal dengan cairan isotonic
IV, cairan hipotonik IV dan meminum air, pada wanita dengan dengan ICA menunjukkan
oligohidramnion. Mereka menyimpulkan bahwa hidrasi meternal baik dengan cairan
hipotonik IV atau cairan oral meningkatkan ICA pada oligohidramnion atau perubahan
osmotic maternal itu lebih mempunyai pengaruh langsung daripada ekspansi volume
maternal pada peningkatan volume cairan amnion pada waktu yang singkat dengan hidrasi
yang cepat. Mereka tidak menemukan peningkatan yang signifikan dari ICA pada kelompok
cairan isotonic IV.24
Oosterhof dkk (2000) menyelidiki efek dari rehidrasi maternal terhadap kecepatan
produksi urin fetus pada fetus menjelang aterm. Sebanyak 21 ibu hamil dengan usia
kehamilan diantara 37 dan 48 minggu datang ke klinik ANC diteliti. Kecepatan produksi urin
fetal dinilai dengan menggunakan pengukuran serial dari 3 diameter kandung kemih janin.
Didapatkan peningkatan kecepatan urin fetus tiap jamnya secara signifikan setelah rehidrasi
hipotonik. Penemuan baru-baru ini menunjukkan bahwa fetus cukup bulan dapat mengatasi
perubahan akut dari osmolaritas cairan dengan cara meningkatkan kecepatan produksi urin
untuk menjaga keseimbangan cairan amnion. Mekanisme ini menunjukkan bahwa perubahan
osmolaritas dan volume dari plasma ibu berperan penting dalam menentukan volume cairan
amnion.25 Flack dkk (1995) merencanakan suatu penelitian apakah hidrasi maternal yang
cepat pada kehamilan trimester III dengan oligohidramnion dapat meningkatkan ICA dan
kecepatan produksi urin fetal tiap jamnya dan apakah hal tersebut merubah perfusi
uteroplasenta dan aliran darah fetal. Hasil menunjukkan pengurangan yang signifikan dari
maternal plasma dan osmolaritas urin pada kedua grup tersebut setelah hidrasi oral dalam
jangka pendek. Hidrasi meningkatkan volume cairan amnion pada ibu dengan
oligohidramnion tetapi tidak meningkat pada volume amnion normal.20
Hidrasi juga berhubungan dengan peningkatan kecepatan rata-rata arteri uterina pada
kelompok oligohidramnion namun tidak pada kelompok kontrol. Para penulis menyimpulkan
bahwa hidrasi oral maternal dalam jangka pendek dapat meningkatkan ICA pada ibu dengan
oligohidramnion pada ibu trimester ketiga. Walaupun mekanisme efek ini masih belum jelas,
hal tersebut bukan merupakan akibat dari urinasi fetal tetapi lebih banyak berhubungan
8,28
dengan perbaikan perfusi uteroplasenta. Tidak ada efek samping yang penting secara
klinik yang ditemukan pada percobaan-percobaan diatas.19
Berbeda dengan penelitian saat ini, Chelmow dkk (1996) menyebutkan bahwa bolus
cairan IV dengan 1 liter NaCl yang diberikan lebih dari 30 menit dapat menyebabkan
penurunan ICA 5.11 cm pada pasien dengan KPD preterm.21
BAB 4
RANGKUMAN

Oligohidramnion pada kehamilan ditegakkan bila indeks cairan amnion kurang dari 5 cm
atau kurang dari 5 persentile dari rentang volume yang sesuai dengan usia kehamilan.
Oligohidramnion dikaitkan dengan kelainan pada janin seperti kelainan ginjal, pertumbuhan
janin terhambat dll.
Penanganan oligohidramnion pada kehamilan aterm umumnya akan dilakukan
penanganan aktif dengan induksi persalinan. Keberhasilan induksi persalinan tergantung
pada jumlah paritas, skor bishop, dan respon terhadap obat yang digunakan. Beberapa
penelitian menemukan bahwa induksi persalinan pada indeks cairan amnion kurang dari 5
akan meningkatkan angka seksio sesaria karena intoleransi janin terhadap persalinan (fetal
distress).
Pada oligohidramnion yang tidak disertai komplikasi pada ibu dan bayi, maka
penanganan ekspektif perlu dipertimbangkan. Salah satu cara yang dinilai non invasif dan
efektif adalah cara hidrasi maternal. Hidrasi maternal dapt dilakukan dengan cara sederhana
dengan minum air 2 liter dalam satuan waktu maupun dengan memberikan cairan melalui
intra vena. Beberapa penelitian menemukan baik secara oral maupun intra vena akan
meningkatkan volume cairan amnion dan akan bertahan selama lebih kurang24 jam, dan bisa
diulang lagi pada keesokan harinya. Penanganan ekspektatif dengan pemantauan pemantauan
fetus 2 kali seminggu adalah alternatif yang efektif dan kebanyakan wanita akan masuk ke
dalam persalinan spontan dalam 3 hari setelah diagnosis ditegakkan. Pelaksanan hidrasi
maternal sangat sederhana, tapi efektif meningkatkan volume cairan amnion dan menghindari
seksio sesaria akibat fetal distress akibat induksi persalinan. Pada studi-studi tersebut diatas
hampir tidak ditemukan efek samping yang serius terhadap ibu hamil dan bayinya.
Bagaimanapun, kebanyakan penelitian tersebut dibatasi oleh jumlah sampel yang
terbatas dan pemeriksaan dilakukan pada kehamilan aterm . Jadi, dibutuhkan penelitian
dengan jumlah sampel yg lebih besar dan kisaran umur kehamilan yg lebih lebar untuk
memperoleh validitas dari metode ini pada ibu hamil padakehamilan preterm dengan
oligohidramnion, untuk menghindari induksi persalinan preterm dan mencegah konsekuensi
yang serius bagi ibu bayi yang baru lahir.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lanni M, Loveless E. Oligohydramnios at term: A case report: Management of


oligohydramnios. Journal of Midwifery Women’s Health 2007; 52(1): 73-6.
2. Hill Lyndon. Oligohydramnios: Sonographic assesment and clinical implications.
Available at hhtp://www.patien.co.UK/doctor/oligohydramnios.html. Accesed:
September 1st, 2009.
3. Baxter JA. Oligohydramnios. Available hhtp://emedicine.medscape.com/article.
Accesed: September 1st, 2009.
4. Gramellini D, Fieni S, Verrotti C et al. Ultrasound evaluation of Amniotic fluid
volume : methods and clinical accuracy. Acta Bio Medica Ateneo Parmense 2004;
75(1): 40-4.
5. Verrotti C, Bedocchi L, Piantelli G. Amniotic Fluid Index versus largest vertical
pocket in prediction of perinatal outcome in post-term pregnancies. Acta Bio Medica
Ateneo Parmense 2004; 75(1): 67-70.
6. Natalia C, Marta S, Amalia P et al. Amnioinfusion: To treat severe ologohydramnios
in early premature of ruptured of membrane. Available at
www.obgyn.net/educational-tutorialis/amnioinfusion. Accesed: September 1st, 2009.
7. --------. Therapeutic amnioinfusion for oligohydramnios during pregnancy, National
institute for health and clinical excellence, Issued date: November 2006.
8. Gierke L. Maternal hydration and liquor volume. Available at
hhtp://www.openscriber.com/ozmidwifery@acegrafic.com. Accesed: September 1st,
2009.
9. Lorzadeh Nahid, Kazemirad S, Lorzadeh Mina et al. Comparison of the effect of oral
and intravenous fluid therapy on women with oligohydramnios. Research Journal of
Obstetrics and Gynecology 2008; 1(1): 25-9.
10. Norwitz ER, Shorge OJ. Disorder of amniotic fluid volume. In: Obstetrics and
Gynecology at a Glance, 1st ed, Blacwell Publishing; 2001: 102-3.
11. Brace RA. Amniotic fluid dynamics. In: Maternal fetal medicine, 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2004: 45-54.
12. Modena AB. Amniotic fluid dynamics. Acta Bio Medica Ateneo Parmense 2004;
75(1): 11-3.
13. Gilbert WM. Amniotic fluid disorder. In: Gabbe obstetric normal and problem
pregnancies, 5th ed, Mosby Elsevier, 2007; 837-42.
14. Cunningham G, Gant NF, Leveno KJ. Gangguanselaputketuban dan cairanamnion.
DalamObstetri Williams, Edisi21 ,Vol.2, EGC, alihbahasa : AndriHartono,
JokoSuyono, Brahm U Pendit, 2006: 906-20.
15. Al-Salami KS, Sada KA. Maternal hydration for increasing amniotic fluid volume in
oligohydramnion. Basrah Journal of Surgery 2007: 59-62.
16. Leeman L, Almond D. Isolated oligohydramnios at term: Is induction indicated? The
Journal of Family Practice 2005; 54(1): 25-32.
17. Hofmeyr GJ, Gulmejoglu AM. Maternal hydration for increasing amniotic fluid
volume in oligohydramnios and normal amniotic fluid volume. Cochrane Database of
Systematic Riview 2004, 1.
18. Kilpatrick SJ. Therapeutic interventions for oligohydramnios: amnioinfusion and
maternal hydration. Clinical Obstetrics and Gynecology, 1997; 40(2): 328-36.
19. Kilpatrick SJ, Safford K, Pomeroy T et al. Maternal hydration increases amniotic
Fluid Index. Obstetric Gynecologi 1991; 78: 1098.
20. Flack NJ, Sepulveda W, Bower S, Fisk NM. Acute maternal hydration in third-
trimester olygohydramnios: effects on amniotic fluid volume, uteroplacental
perfusion, and fetal blood flow and urine output. Am J Obstet Gynecol 1995; 173(4):
1186-91.
21. Chelmow D, Baker ER, Jones L. Maternal intravenous hydration and amniotic fluid
index in patiens with preterm ruptured membranes. Journal of the Society for
Gynecology Investigation 1996; 3(3): 127-30.
22. Malhotra B, Deka D. Duration of the increase in amniotic fluid index after acute
maternal hydration. Archives of Gynecology and Obstetrics 2004; 269(3), 173-5.
23. Fait G, Pauzner D, Gull I. Effect of 1 week of oral hidration on amniotic fluid index.
J. Reprod. Med 2003; 48(3): 187-90.
24. Doi S, Osada H, Seki K et al. Effect of maternal hydration on oligohydramnios: a
comparison of three volume expansion methods- effect on amniotic fluid volume,
uteroplasental perfusion, and fetal blood flow and urin output. Obstetrics and
Gynecology 1998; 92(4): 525-9.
25. Oosterhof H, Haak MC, Aarnoudse JG. Acute maternal rehidration increasing the
urine production rate in near term human fetus. American Journal of Obstetric and
Gynecology 2000; 183(1): 226-9.

You might also like