You are on page 1of 42

TUGAS AKHIR

FILARIASIS, DEMAM BERDARAH DENGUE, MALARIA

Maria Aprilia Ekacitra Galis


1208017022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
FILARIASIS

1.1 Definisi

Filariasis limfatik atau filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan


penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang
menyerang saluran dan kelenjar getah bening (sistem limfatik). Penyakit ini
dapat menyebabkan gejala klinis akut dan kronis.1 Filariasis merupakan salah
satu penyakit tertua dan paling melemahkan, dilaporkan pertama kali di
Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Filariasis limfatik
tergolong Neglected Tropical Disease, penyakit tropis yang terabaikan dan
tidak dianggap penting, karena efeknya tidak langsung menyebabkan
kematian. Meskipun filariasis bukan merupakan penyakit yang mematikan
namun kecacatan yang ditimbulkan memberikan kerugian bagi penderita dan
membebani keluarganya. Penderitaan karena kasus kronis filariasis cukup
lama dan diidentifikasi sebagai penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia
setelah kecacatan mental. Kecacatan yang ditimbulkannya akan mengurangi
produktifitas, selain itu juga berdampak pada kondisi psikologis penderita
dengan gejala kronis karena diasingkan oleh keluarga dan masyarakat,
kesulitan mendapat suami atau istri, dan menghambat mendapat keturunan.1
Ada tiga jenis cacing filariasis di Indonesia yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, dan B. timori. Penyebaran W. bancrofti dan B. malayi paling
luas di Indonesia, sedangkan untuk B timori terbatas di beberapa pulau di
Nusa Tenggara Timur. Dalam perkembangannya terdapat lima genus nyamuk
sebagai vektor filariasis yaitu: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan
Armigeres. Filariasis limfatik sudah endemik di banyak negara, diestimasikan
lebih dari 1,3 miliar orang berisiko terinfeksi. Pada tahun 2004, filariasis telah
menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara, terutama negara di daerah tropis
dan beberapa daerah subtropis. Kasus filariasis kronis tersebar di 231
kabupaten, 674 wilayah puskesmas dan 1.553 desa/kelurahan. Diperkirakan
3,1 % penduduk Indonesia telah terinfeksi dengan kisaran mikrofilaremia rate
(Mf-rate) antara 0,5-17,9%.5 Hingga tahun 2009 di Indonesia dilaporkan telah
terjadi kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401
kabupaten/kota, terdapat 337 kabupaten/kota endemik dan 135 kabupaten/kota
non endemik. Diestimasikan 125 juta penduduk berisiko terkena limfatik
filariasis, dengan prevalensi terbesar berada di Indonesia bagian timur.1
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global untuk mengeliminasi
filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of
LymphaticFilariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program
eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan
Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis serta
perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah
kecacatandan mengurangi penderitaannya. Indonesia melaksanakan eliminasi
penyakit kaki gajah secara bertahap yang telah dimulai sejak tahun 2002 di 5
kabupaten. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun.2
Tujuan khusus dari program eliminasi filariasis di Indonesia adalah
dengan menurunkan angka mikrofilaria kurang dari 1% di setiap
kabupaten/kota dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis.
Unit pelakasana untuk penentuan endemisitas dan pelaksanaan Pemberian
Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis berbasis kabupaten/kota. Dalam
pelaksanaannya POMP belum dapat menjangkau seluruh penduduk di wilayah
kabupaten/kota, sehingga masih terdapat risiko penularan karena belum
seluruh penduduk terlindungi. 1
1.2 Etiologi
Penyakit filariasis adalahh penyakit menular menahun yang disebabkan
oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex,
Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan
manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan
saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin.3
1.3 Epidemiologi
Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat penderita mengalami
penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh), Afrika,
Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailan dan
Indonesia (Asia Tenggara). Lebih dari 8.000 orang penderita klinis kronis
filariasis (elephantiasis) yang tersebar di semua provinsi di Indonesia.
Sehingga ada indikasi bahwa > 60 juta penduduk berada di daerah yang
beresiko terhadap infeksi filariasis dan 6 juta diantaranya telah terinfeksi.
Penderita kronis filariasis menyebar di 231 kabupaten, 674 wilayah
Puskesmas dan 1.553 desa kelurahan. Diperkirakan 3,l % penduduk Indonesia
telah terinfeksi dengan kisaran microjilaremia rate (Mfrate) antara 0,5-17,9
%. Provinsi NTT mempunyai masalah filariasis yang tinggi, dan baru
beberapa daerah yang melakukan eliminasi dengan cakupan (implementation
unit) bervariasi. Di Kabupaten Alor program eliminasi dilaksanakan sejak
tahun 2002 di P. Alor dan Pantar, P. Rote dimulai tahun 2005 dengan cakupan
kecamatan, sedangkan di Kabupaten Sikka (P. Flores) eliminasi baru
dilaksanakan dengan cakupan desa. Pengobatan masal dilakukan berdasarkan
adanya kasus kronis, karena data tentang angka mikrofilaremi sangat terbatas.
Salah satu wilayah Puskesmas di Kabupaten Sikka dilaporkan banyak
ditemukan ditemukan kasus kronis (limfedema atau elephantiasis), namun
belum mendapat pengobatan masal. Angka mikrofilaremi (Mfrate) di daerah
ini belum diketahui. Sedangkan di empat desa lain yang berdekatan
didapatkan Mfrate berkisar antara 0% -19%. Oleh karena itu telah dilakukan
survei darah jari dan pemeriksaan fisik penduduk di daerah ini. Disamping itu
juga dilakukan pengumpulan informasi lain yang berkaitan dengan program
eliminasi meliputi manajemen program, penatalaksanaan penderita di rumah
sakit, maupun kegiatan eliminasi yang telah dilakukan. Diharapkan data hasil
penelitian ini dapat menambah dan memperkuat bahan advokasi kepada
pemerintah daerah setempat, sehingga pelaksanaan program eliminasi bisa
mendapatkan dukungan dan komitmen yang lebih tinggi.4
1.4 Patofisiologi
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva
infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri
atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi
fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi
cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase
lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat dikulit. Pada
dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing
filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran
(dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi
gangguan fungsi sistem limfatik.
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan
tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan
menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan
kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang luka kecil
maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute
attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui
saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan
(fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah
berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit.
Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan
peradangan akut (acute attack).
4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent
acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai
berikut:
a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa
bersama-sama dengan bakteri, yaitu : Limfangitis (peradangan di
saluran limfe), Limfadenitis (peradangan di kelenjar limfe), Adeno
limfangitis (peradangan saluran dan kelenjar limfe), Abses.
Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin)
dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa
lemah dan lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang
ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan
cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi
limfedema.
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri
atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan
ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium
limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul
(pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).3
1.5 Keluhan dan gejala klinis
Gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik dengan
daerah endemik lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
intensitas paparan terhadap vektor infektif didaerah endemik tersebut.
Manifestasi akut, berupa:
1. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila
istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan
paha, ketiak (lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas, dan
sakit.
3. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung
(retrograde lymphangitis).
4. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat
agak kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema).
Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe
terjadi beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Gejala kronis
filariasis berupa: pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai,
lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh
adanya cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif
berupa occult filariasis.
Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi
bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi:
1. Masa prepaten, yaitu masa antara masuknya larva infektif hingga
terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian
saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik,
dan dari kelompok mikrofilaremik ini pun tidak semua kemudian
menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk
kelompok yang asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik
mikrofilaremik.
2. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
gejala klinis berkisar antara 8 – 16 bulan.
3. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai
panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral.
Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik maupun
mikrofilaremik.
4. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun setelah serangan akut pertama.
Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan
adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini
menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita
serta membebani keluarganya.
Pemeriksaan Fisik
 Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfangitis dan
limfadenitis yang berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi
beberapa kali dalam setahun. Limfangitis akan meluas kedaerah
distal dari kelenjar yang terkena tempat cacing ini tinggal.
 Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran
limfe. Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, elefantiasis
dan chyluria yang meningkat sesuai bertambahnya usia.
 Manifestasi genital dapat dijumpai epedidimitis kronis, funikulitis,
edema karena penebalan kulit skrotum, sedangkan pada
perempuan bisa dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan
elefantiasis ekstremitas, episode limfedema pada ekstremitas akan
menyebabkan elefantiasis di daerah saluran limfe yang terkena
dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena ekstremitas
bawah. Pada W.bancrofti, infeksi didaerah paha dan ekstremitas
bawah sama seringnya, sedangkan B.malayi hanya mengenai
ekstremitas bawah saja.
 Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti, pembuluh limfe alat
kelamin laki-laki sering terkena, disusul funikulitis, epididimitis,
dan orkitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering bersama
dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri
dalam 3 –15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam
setahun. Pada filariasis brugia, limfadenitis paling sering
mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras.
Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe
menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada
pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama
beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 x/tahun sampai beberapa
kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses,
memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas,
setelah 3 minggu sampai 3 bulan.
 Pada kasus menahun filariasis bancrofti, hidrokel paling banyak
ditemukan. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai
atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran
pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria
terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita
menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Filariasis
brugia, elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan
lengan bawah, dan ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari
2 kali ukuran asalnya.
1.6 Gambar Filariasis

Tipe nyamuk penyebab Filariasis

Bagian kaki menjadi bengkak diakibatkan penumpukan


cairan akibat tersumbatnya kelenjar limfa bagian inguinal
Pendataan pasien filariasis oleh petugas kesehatan

Penyerahan simbolis kelambu dan obat filariasis pada salah


satu kabupaten yang angka kejadian Filariasis tinggi
Kaki penderita Filariasis
1.7 Penatalaksaaan
 Farmakologi
Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki
perjalanan penyakit, antara lain dengan:
 Memelihara kebersihan kulit.
 Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis.
 Obat antifilaria adalah Diethyl carbamazine citrate (DEC) dan
Ivermektin (obat ini bermanfaat apabila diberikan pada fase akut
yaitu ketika pasien mengalami limfangitis).
 DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa.
Ivermektin merupakan antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak
memiliki efek makrofilarisida.
 Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12
hari, pada TropicalPulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan
diberikan selama tiga minggu.
 Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau
reaksi terhadap cacing dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap
protein yang dilepaskan pada saat cacing dewasa mati dapat
terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang
mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal:
a. Reaksi sistemik berupa demam, sakit kepala, nyeri badan,
pusing, anoreksia, malaise, dan muntah-muntah. Reaksi
sistemik cenderung berhubungan dengan intensitas infeksi.
b. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis, abses, dan transien
limfedema. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun
berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik.
c. Efek samping DEC lebih berat pada penderita
onchorcerciasis, sehingga obat tersebut tidak diberikan dalam
program pengobatan masal didaerah endemis filariasis dengan
ko-endemis Onchorcercia valvulus.
 Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kgBB efektif terhadap
penurunan derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis
oleh Brugia spp. penurunan tersebut bersifat gradual. Efek
samping ivermektin sama dengan DEC, kontraindikasi
ivermektinyaitu wanita hamil dan anak kurang dari 5 tahun.
Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermektin
harus diberikan setiap 6 bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar
derajat mikrofilaremia tetap rendah.
 Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi
serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema
kronis.
 Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek
samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.
 Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik
memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada chyluria yang
tidak membaik dengan terapi konservatif. 5
 Non farmakologi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai
penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara
penularannya. Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan
dan pengendalian penyakit menular ini melalui: 5
1. Pemberantasan nyamuk dewasa
2. Pemberantasan jentik nyamuk
3. Mencegah gigitan nyamuk
DAFTAR PUSTAKA

1. Rais Yunarko, Yona Patanduk ,Loka Litbang P2B2 Waikabubak, Badan


Litbangkes, Kemenkes RI, BALABA Vol. 12 No.2, Desember 2016
2. Sekar Tuti, Armedy Ronny Hasugian dan Ryanti Ekowatiningsih,
Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbangkes, Masalah filariasis di
kabupaten sikka, provinsi nusa tenggara timur.
3. RN Maulidah, 2017 Universitas muhamadiyah semarang
4. Masalah filariasis di kabupaten sikka, provinsi nusa tenggara timur (ntt).
Sekar Tuti, Armedy Ronny Hasugian dan Ryanti Ekowatiningsih,
Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbangkes.
5. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
hk.02.02/menkes/514/2015 tentang panduan praktik klinis bagi dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
.
MALARIA

1.1 Definisi

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh plasmodium yaitu


mahluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa.
Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang
mengandung Plasmodium yang terbawa melalui gigitan, nyamuk akan hidup
dan berkembang biak dalam sel darah manusia. Penyakit ini menyerang semua
kelompok umur baik laki-laki maupun perempuan.
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil dan anemia
dan splenomegali. Penyakit malaria dapat berlangsung akut ataupun kronik.
Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit
yang menyerupai malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan
babesiosis.
World Malaria Report 2015 menyebutkan bahwa malaria telah menyerang
106 negara di dunia. Komitmen global pada Millenium development goals
(MDGs) menempatkan upaya pemberantasan malaria ke dalam salah satu
tujuan bersama yang harus dicapai sampai dengan taun 2015 melalui tujuan
ketujuh yaitu memberantas penyakit HIV/AIDS, malaria, dan tuberkulosis.
Dengan berakhirnya MDG’s pada tahun 2015, komitmen global tersebut
dilanjutkan Sustainable Development Goals (SDG’s). Pada SDG’s, upaya
pemberantasan malaria tertuang dalam tujuan ketiga yaitu menjamin
kehidupan yang sehat dan mengupayakan kesejahteraan bagi smeua orang,
dengan tujuan spesifik yaitu mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria,
penyakit neglected-tropical sampai dengan tahun 2030. 1
Morbiditas malaria pada suatu wilayah ditentukan dengan annual parasite
incidence (API) per tahun. API merupakan jumlah kasus positif malaria per
1000 penduduk dalam satu tahun. Tren API secara nasional pada tahun 2011
hingga 2015 terus mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan keberhasilan
program pengendalian malaria yang dilakukan baik oleh pemerinta pusat,
daerah, masyarakat dan mitra terkait.1
1.2 Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi
manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan
mamalia. Termasuk genus plasmodium
1.3 Epidemiologi
Spektrum Determinan Epidemiologi malaria sangat luas yaitu dari aspek
faktor agen, riwayat alamiah malaria, faktor lingkungan, faktor pencegahan dan
pengobatan, faktor rumah tangga, sosial ekonomi bahkan politik.

Malaria adalah penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah infeksi


pernapasan, HIV/AIDS dan diare. Sampai saat ini, WHO (World Health
Organisation) memperkirakan 3,3 miliar manusia di dunia tinggal atau hidup
di wilayah-wilayah endemis malaria. Berdasarkan laporan WHO dalam World
Malaria Report tahun 2014 bahwa terjadi 198 juta kasus malaria yang tersebar
pada 97 negara yang ada di dunia, dimana pada setiap tahunnya 584.000 kasus
dengan kematian.
Situasi malaria di Indonesia tidak jauh berbeda dengan situasi di negara-
negara lain. Kondisi iklim tropis serta proses pembangunan yang terus-
menerus mengakibatkan perubahan-perubahan pada lingkungan sehingga
menciptakan situasi yang sangat menguntungkan bagi keberadaan nyamuk
Anopheles. Indonesia yang beriklim tropis basah mempunyai potensi besar
terhadap penyebaran penyakit malaria. Penyakit ini ditemukan tersebar hampir
di seluruh kepulauan di Indonesia dengan derajat dan infeksi yang bervariasi.
Penduduk yang tinggal di wilayah berisiko terkena malaria diperkirakan 113
juta dari 214 juta penduduk Indonesia. Sebanyak 424 kabupaten dari 576
kabupaten di Indonesia ditetapkan sebagai daerah endemis malaria, sehingga
perlu dilakukan penanganan serius untuk memberantas penyakit tersebut.
Persebaran prevalensi malaria di Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan
adanya kecenderungan bahwa prevalensi malaria wilayah timur Indonesia
masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia. Lima
provinsi dengan prevalensi malaria tertinggi adalah Papua 28.6%,
NusaTenggara Timur 23.3%,Papua Barat 19.4%, Sulawesi Tengah 12.5%, dan
Maluku Utara 11.3%. Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai
prevalensi malaria di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia
Timur.
Provinsi NTT pada tahun 2014 termasuk daerah dengan angka API
malaria tinggi (12,81%) dengan urutan ketiga setelah Papua (29,63%) dan
Papua Barat (20,85%). Adapun berdasarkan jumlah kasus positif malaria,
Provinsi NTT termasuk daerah penyumbang terbanyak kasus positif malaria di
Indonesia dengan urutan kedua (64.953 penderita/tahun) setelah Papua
(103.298 penderita/tahun).

Berdasarkan pengamatan dari 2009 hingga 2014, nilai API di NTT terlihat
menurun meskipun pada tahun 2010 meningkat (30,61), lalu berkurang secara
nyata menjadi 25,75 (2011), 21,14 (2012), 14,96 (2013) dan 12,81 (2014).
Meskipun demikian, berdasarkan kriteria endemisitas, Provinsi NTT pada
tahun 2014 termasuk kategori Endemis Tinggi (High Case Incidence) dengan
API 12,81 per 1.000 penduduk. Sampai dengan tahun 2014 ini, kegiatan
surveilans kasus di Provinsi NTT menunjukkan belum terlaksana secara
optimal. Hal ini terlihat proporsi kasus positif malaria dibandingkan dengan
jumlah tersangka kasus malaria yang diperiksa sediaan darahnya.
1.4 Patofisiologi
1. Faktor agen (penyebab malaria) : Plasmodium sp
Penyebab malaria adalah parasit dari genus Plasmodium sp, dan terdiri dari 4
spesies: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae,
dan Plasmodium ovale. Baru-baru ini melalui metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) ditemukan jenis Plasmodium lain yaitu Plasmodium
knowlesi. Plasmodium ini masih dalam proses penelitian dan ditemukan
pertama kali di Sabah. Reservoar utama Plasmodium ini adalah kera ekor
panjang (Macacasp). Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia
adalah P.falciparum dan P.vivax, sedangkan P.malariae dapat ditemukan di
beberapa Provinsi antara lain: Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
P.ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sedangkan
tahun 2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan adanya P.knowlesi yang dapat
menginfeksi manusia yang sebelumnya hanya menginfeksi hewan
primata/monyet dan sampai saat ini masih dalam penelitian.
a. Siklus pada manusia
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia,
sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam
peredaran darah selama ± ½ jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke
dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi
skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit hati (tergantung
spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung
selama ± 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, diduga ada 2 jenis
sporozoit yaitu “takisporozoit” (sporozoit yang akan berkembang cepat
menjadi skizon), dan “bradisporozoit” merupakan hipnozoit yaitu
sporozoit yang tidak mengalami perkembangan lanjut pada proses
skizogoni dan akan tetap laten selama 8-9 bulan sebelum berkembang
menjadi skizon jaringan. P.vivax dapat kambuh berkali-kali sampai jangka
waktu 3–4 tahun (Nugroho, A. dan Tumewu-Wagey, M. 1999), sedangkan
P.ovale sampai bertahun-tahun apabila pengobatan tidak dilaksanakan
dengan baik. Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan
masuk ke peredaran darah dan menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit,
parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30
merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini
disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan
merozoit yang keluar akan menginfeksi eritrosit lainnya. Merozoit P.vivax
dan P.ovale akan menginfeksi eritrosit muda, sehingga pada suatu saat
tidak lebih dari 2 % eritrosit terserang. P.malariae akan menginfeksi
eritrosit tua dan infeksi jarang melampaui 1 %. P.falciparum akan
menginfeksi semua stadium eritrosit hingga dapat menginfeksi sampai 10–
40 % (Nugroho, 1999). Konsekuensinya pada P.falciparum angka infeksi
eritrosit sangat tinggi, sehingga sering terjadi komplikasi berat. Siklus ini
disebut siklus eritrositer. Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak
sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang
ditandai dengan demam. P.falciparum penyebab malaria tropika, terjadi
menggigil setiap hari (masa sporulasi setiap 24 jam), P.vivax penyebab
malaria tertiana, terjadi menggigil selang sehari (masa sporulasi setiap 48
jam), P.malariae penyebab malaria quartana, terjadi menggigil selang 2
hari (masa sporulasi setiap 72 jam).
Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium Masa prepaten
adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai
parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan pemeriksaan
mikroskopik.

Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit menginfeksi sel


darah merah dan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan
betina). Gametosit pada infeksi P.vivax timbul pada hari ke 2–3 sesudah
terjadinya parasitemia (adanya parasit di darah tepi yang sudah bisa
ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis), sedangkan pada P.falciparum
timbul gametosit setelah 8 hari dan P.malariae timbul gametosit setelah
beberapa bulan kemudian.
b. Siklus pada nyamuk anopheles betina
Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung
gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan
pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian
menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk
ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit.
Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. Siklus hidup
Nyamuk Anopheles. Nyamuk Anopheles mengalami metamorfosa
sempurna yaitu dari telur menjadi jentik (larva), kepompong (pupa), dan
dewasa. Berdasarkan tempat hidup / habitat ada dua tingkatan kehidupan
yaitu:
 Di dalam air. Fase telur (1-2 hari), menjadi jentik/larva
memerlukan waktu 8-10 hari, kemudian jentik menjadi kepompong
1-2 hari.
 Di darat atau udara. Di darat atau udara diawali dari keluarnya
nyamuk dewasa dari kepompong dalam waktu 1-2 hari.
2. Faktor Manusia (host intermdiate)
Faktor yang mempengaruhi antara lain:
 Ras (suku bangsa). Penduduk dengan prevalensi Hemoglobin S (HbS)
tinggi lebih tahan terhadap akibat infeksi P.falsiparum.
 Kekurang enzim tertentu, misalnya G6PD (glokosa 6 fosfat
dehidrogenase) juga memberikan perlindungan terhadap infeksi
P.falsiparum.
 Kekebalan (imunitas) di daerah endemis malaria, adalah :
o Anti parasitic immunity adalah bentuk immunitas yang mampu
menekan pertumbuhan parasit dalam derajat sangat rendah namun
tidak sampai nol, hingga mencegah hiperparasitemia. (White NJ,
1996)
o Anti disease imunity adalah bentuk imunitas yang mampu
mencegah terjadinya gejala penyakit tanpa ada pengaruh terhadap
jumlah parasit. (Ramasamy R, Nagendran K, Ramasamy MS,
1994)
o Premunition adalah keadaan semi-imun dimana respon imun
mampu menekan pertumbuhan parasit dalam jumlah rendah namun
tidak sampai nol, mencegah hiperparasitemia dan menekan
virulensi parasit, hingga kasus tidak bergejala/sakit.
 Umur dan jenis kelamin.
3. Faktor Nyamuk (host definitive)
Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah, karena
diperlukan untuk pertumbuhan telurnya. Nyamuk betina hanya kawin satu
kali selama hidupnya dan terjadi setelah 24-48 jam dari saat keluar dari
kepompong. Oleh karena itu sarang nyamuk banyak ditemukan di telaga,
rawa, sawah, tempat penampungan air, bekas jejak ban mobil dan lain-
lain. Nyamuk dewasa dapat terbang sampai sejauh 1,5 km. Nyamuk
jantan dewasa tidak berbahaya untuk manusia, tetapi nyamuk betina
berbahaya karena ia mengisap darah untuk kelangsungan hidupnya.
Nyamuk Anopheles suka menggigit pada sore menjelang malam hari
hingga menjelang pagi, namun pada siang hari di tempat-tempat yang
gelap atau yang terhindar/tertutup dari sinar matahari.
 Perilaku nyamuk yang penting adalah:
o Tempat hinggap atau istirahat: eksofilik (di luar rumah) dan endofilik (di
dalam rumah)
o Tempat menggigit : eksofagik (di luar rumah) dan endofilik (di dalam
rumah)
o Obyek yang digigit : antrofofolik (menggigit manusia) dan zoofilik
(menggigit hewan).
 Umur nyamuk (longevity). Nyamuk dewasa dapat hidup selama dua
minggu sampai beberapa bulan dengan perkembangbiakan nyamuk, pada
fase jentik dan kepompong selalu memerlukan air.
 Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit
 Frekwensi menggigit menusia
 Siklus gonotrofik, yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur.
4. Faktor lingkungan (environment)
 Fisik, meliputi : suhu udara, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari,
arus air, iklim
 Kimiawi, meliputi : pengaruh kadar garam dari tempat perindukan, seperti
An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau (kadar garam 12–18) dan
tidak dapat berkembang pada kadar garam 40 keatas, An.letifer dapat
hidup di tempat yang asam atau pH rendah.
 Biologik, meliputi :
 Adanya bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar
matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya.
 Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah
(panchaxspp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi
populasi nyamuk di suatu daerah.
1.5 Keluhan dan gejala klinis
 Anamnesis : keluhan biasanya Demam hilang timbul, pada saat demam
hilang disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat disertai dengan
sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit
perut, mual muntah, dan diare.
 Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Patognomonis
a. Pada periode demam:
 Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat
dapat sampai di atas 400C dan kulit kering.
 Pasien dapat juga terlihat pucat.
 Nadi teraba cepat
 Pernapasan cepat (takipneu)
b. Pada periode dingin dan berkeringat:
 Kulit teraba dingin dan berkeringat.
 Nadi teraba cepat dan lemah.
 Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan kesadaran.
2. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan pada
malaria serebral dapat ditemukan kaku kuduk.
3. Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
4. Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan limpa, dapat juga
ditemukan asites.
5. Ginjal : bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oligouri
atau anuria.
6. Ekstermitas: akral teraba dingin merupakan tanda-tanda menuju
syok.
1.6 Gambar malaria

Nyamuk penyebab malaria

Penggunaan kelambu saat ingin beristirahat


Melakukan foging di lingkungan yang beresiko
Diskusi mengenai pencegahan Malaria

1.7 Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Pengobatan Malaria falsiparum
A. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri dari
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet
mengandung 40 mg Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg
diberikan DHP per oral 3 tablet satu kali per hari selama 3 hari dan
Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian, sedangkan untuk
BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu kali sehari selama 3 hari dan
Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian. Dosis DHA = 2-4
mg/kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis
tunggal), Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).
B. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP): Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis
kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3,5
mg/kgBB per hari (dewasa, 2x/hari selama7 hari) , 2,2 mg/kgBB/hari (
8-14 tahun, 2x/hari selama 7 hari) , Tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali
(4x/hari selama 7 hari).

Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale

A. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP),


diberikan peroral satu kali per hari selama 3 hari, primakuin=
0,25mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
B. Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP): Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali
(3x/hari selama 7 hari), Primakuin = 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
C. Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):
 Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin
ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
 Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian
Primakiun dosis 0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14
hari dan penderita sakit kembali dengan parasit positif dalam
kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan.

Pengobatan Malaria malariae


Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan
pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan
malaria. Pengobatan infeksi campuran antara Malaria falsiparum dengan
Malaria vivax/ Malaria ovale dengan DHP.Pada penderita dengan infeksi
campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3 hari, serta DHP 1 kali per
hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.
Pengobatan malaria pada ibu hamil
 Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg BB + Klindamycin
10mg/kgBB selama 7 hari.
 Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.
 Pencegahan/profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100
mg/hari diminum 2 hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah
keluar/pulang dari daerah endemis.
Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat badan penderita.
2. Non Farmakologi
Pencegahan malaria dapat dilakukan dengan :
 Menghindari gigitan nyamuk dengan kelambu atau repellen
 Menghindari aktivitas di luar rumah pada malam hari
 Mengobati pasien hingga sembuh misalnya dengan pengawasan
minum obat
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI, Infondantin 2016


2. Ivan Elisabeth Purba1, Upik Kesumawati Hadi2, Lukman Hakim, analisis
pengendalian malaria di provinsi nusa tenggara timur dan rencana strategis
untuk mencapai eliminasi malaria, Vol.8 No. 2, Bulan Desember Tahun
2016: 18-26
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
hk.02.02/menkes/514/2015 tentang panduan praktik klinis bagi dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Demam Berdarah Dengue

1. Definisi
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus
dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah
tropis dan subtropis, terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan
Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue
yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari
4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den -41, ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti
dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar
antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata
muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam
dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus
selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif,
trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh. Tiga tahap presentasi
klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan pemulihan. Tahap
beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis, dengan
kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah.4
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda
terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif);
derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain, derajat III ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi
cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi
(sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral
dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat IV yang
ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba
dan tekanan darah tidak terukur.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden penyakit
DBD Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara Asia
Tenggara. Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat
terdapat 103.649 penderita dengan angka kematian mencapai 754 orang.
Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sangat
dibutuhkan untuk menekan tingkat kejadian maupun mortalitas DBD.
2. Etiologi
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue dari kelompok
Arbovirus B, yaitu Arthropod-borne virus dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk aedes aegypti dengan bintik hitam putih pada tubuhnya. Virus
dengue merupakan virus RNA rantai tunggal, genus flavivirus dari family
Flaviviridae, terdiri atas 4 tipe virus yaitu D1, D2, D3 dan D4. Struktur
antingen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun
antibodi terhadap masing – masing tipe virus tidak dapat saling
memberikan perlindungan silang. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4
serotipe ini tidak hanya menyangkut antar tipe virus, tetapi juga di dalam
tipe virus itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya.
Perantara pembawa virus dengue, dalam hal ini nyamuk Aedes disebut
vector. Biasanya nyamuk Aedes yang menggigit tubuh manusia adalah
nyamuk betina, sedangkan nyamuk jantanya lebih menyukai aroma yang
mais pada tumbuh-tumbuan.
3. Epidemiologi
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik
dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak
menimbulkan kematian pada anak8 90% di antaranya menyerang anak di
bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di
beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang
lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya
jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187
orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009
sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk
Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di
masyarakat; tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada
manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity,
virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain.Vector capacity
dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan
makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik,
umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes.Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3
kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan
orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan
lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi
nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan
manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat
penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia
dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut
akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.
4. Patogenesis Demam berdarah dengue
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi yang
amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi yang berulang
dengan tipe virus dengue yang berlainan. Hipotesis infeksi sekunder (the
secamdary heterologous infection/ the sequential infection hypothesis)
menyatakan bahwa demam berdarah dengue dapat terjadi bila seseorang
setelah terinfeksi dengue pertama kali mendapat infeksi berulang dengue
lainnya. Re – infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi amnestif antibodi
yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limsofit dengan menghasilkan titik tinggi antibodi Ig G
antidengue. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limsofit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen – antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitis dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasing dari ruang intravascular ke
ruang ekstravascular(1,2).
5. Keluhan dan gejala klinis

 Demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 – 7 hari.


 Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit,
mimisan, gusi berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar
berdarah.
 Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
 Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di
ulu hati atau di bawah tulang iga)
 Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan,
batuk, pilek.
 Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami
penurunan kesadaran.
 Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.
a. Dokter melakukan pemeriksaan fisik pada pasien:
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue:
 Suhu > 37,5 derajat celcius
 Ptekie, ekimosis, purpura
 Perdarahan mukosa
 Rumple Leed (+)
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-
tanda efusi pleura dan asites.
 Hematemesis atau melena
b. Dokter melakukan pemeriksaan penunjang:
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan:
 Trombositopenia (≤ 100.000/μL).
 Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
- peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% dari nilai standar data
populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
- Leukopenia < 4000/μL.
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti-Dengue, yang titernya
dapat terdeteksi setelah hari ke-5 demam.
c. Dokter menegakkan diagnosis:
Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
o Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus
(kontinua)
o Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie,
purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena; maupun berupa uji Tourniquette yang positif
o Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital \
o Adanya kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan
sekolah, rumah atau di sekitar rumah
o Hepatomegali
o Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu:
- Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal
atau dari data populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia

o Trombositopenia <100.000/mm3
Adanya demam seperti di atas disertai dengan 2 atau lebih
manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis Demam
Berdarah Dengue.
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya syok pada penderita Demam Berdarah
Dengue.
6. Gambar mengenai DBD

Gambaran tipe nyamuk penyebab demam berdarah

Penggunaan foging untuk pencegahan penyakit


Bintik- bintik yang muncul setelah terinfeksi
penyakit DBD

Penggunaan kelambu untuk pencegahan tergigit nyamuk


Contoh cara pencegaan di rumah

7. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik
(Parasetamol 3x500-1000 mg).
2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
 Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam
berdarah dengue, yaitu:pemeriksaan penunjang Lanjutan
 Pemeriksaan Kadar Trombosit dan Hematokrit secara serial
Penatalaksanaan pada Pasien Anak
Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok
1. Bila anak dapat minum
a. Berikan anak banyak minum
 Dosis larutan per oral: 1 – 2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap
5 menit.
 Jenis larutan per oral: air putih, teh manis, oralit, jus buah, air
sirup, atau susu.
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai dengan kebutuhan untuk
dehidrasi sedang. Berikan hanya larutan kristaloid isotonik, seperti
Ringer Laktat (RL) atau Ringer Asetat (RA), dengan dosis sesuai
berat badan sebagai berikut:
 Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
 Berat badan 15 – 40 kg : 5 ml/kgBB/jam
 Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
1. Bila anak tidak dapat minum, berikan cairan infus kristaloid
isotonik sesuai kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai dengan dosis
yang telah dijelaskan di atas.
2. Lakukan pemantauan: tanda vital dan diuresis setiap jam,
laboratorium (DPL) per 4-6 jam.
3. Bila terjadi penurunan hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan
jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan klinis stabil.
4. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan penatalaksanaan DBD
dengan syok.
5. Bila anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10 – 15
mg/kgBB/kali) per oral. Hindari Ibuprofen dan Asetosal.
6. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
b. Non farmakologi
Langkah Umum untuk Mencegah Penyakit yang Disebarkan oleh Nyamuk
 Kenakan pakaian lengan panjang dan celana panjang, dan gunakan
obat penangkal nyamuk yang mengandung DEET pada bagian
tubuh yang tidak terlindungi.
 Gunakan kawat nyamuk atau kelambu di ruangan tidak berAC.
 Pasang obat nyamuk bakar ataupun obat nyamuk cair/listrik di
tempat yang dilalui nyamuk, seperti jendela, untuk menghindari
gigitan nyamuk.
 Cegah munculnya genangan air
- Buang kaleng dan botol bekas di tempat sampah yang tertutup.
- Ganti air di vas bunga paling sedikit seminggu sekali, dan jangan
biarkan ada air menggenang di pot tanaman.
- Tutup rapat semua wadah air, sumur dan tangki penampungan air.
- Jaga saluran air supaya tidak tersumbat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aryu candra, demam berdarah dengue: epidemiologi, patogenesis, dan


faktor risiko penularan
2. Situs web Pusat Perlindungan Kesehatan: www.chp.gov.hk
Pendidikan Kesehatan dari Departement Kesehatan:

You might also like