Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di empat
dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World
Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal
dan sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu
lintas di seluruh dunia selama tahun 2011. Data dari Kepolisian Republik
Indonesia tahun 2010 menyebutkan pada tahun 2009 terjadi 57.726 kasus
kecelakaan di jalan raya dengan korban terbanyak berusia 15-55 tahun.
Sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah
menjadi masalah kesehatan dan social yang signifikan. Multi trauma
adalah Keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera defenisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera,
trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Pada kenyataannya
trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan
hilangnya produktif seseorang. Berdasarkan mekanismenya, terdapat
trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan
bermotor dan trauma tajam biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman
atau tembakan senapan. Trauma yang terjadi seringkali melibatkan
beberapa regio tubuh. Pada multipel trauma, sering terjadi perdarahan
yang akan mengakibatkan kematian (Sauaia, 1995). Selain itu, pada
multipel trauma juga terjadi keadaan hipoperfusi dan asidosis serta
koagulopati yang juga akan meningkatkan mortalitas pasien multipel
trauma (Brohi, 2007).
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi
prioritas adalah mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran
udara secara efektif, dan mengontrol pendarahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari trauma multiple?
2. Bagaimana etiologi dari trauma multiple?
3. Apa saja macam-macam trauma multiple yang sering terjadi?
4. Bagaimana patofisiologi dari multiple trauma?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari multiple trauma?
6. Apa klasifikasi dari trauma?
7. Apa saja komplikasi pada multiple trauma?
8. Apa pemeriksaan untuk multiple trauma?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari trauma multiple.
2. Mengetahui etiologi trauma multiple.
3. Mengetahui macam-macam trauma multiple.
4. Mengetahui patofisiologi trauma multiple.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari trauma multiple.
6. Mengetahui klasifikasi trauma multiple.
7. Mengetahui komplikasi dari trauma multiple.
8. Mengetahui pemeriksaan untuk trauma multiple.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa
yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui
biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar
berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda
tajam , benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia . Akibat
cedera ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.
D. Patofisiologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam
fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan
hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen
yang negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi
setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari
beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma,
keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan
medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan
lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi.
Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi.
Fase ini merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih
lama dari fase katabolisme karena isintesis protein hanya bisa mencapai 35
gr /hari.
E. Manifestasi klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
(Scheets, 2002 : 277-278)
F. Klasifikasi Trauma
Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multi
trauma adalah sebagai berikut :
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan
sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan.
Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengman,
bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat
cedera tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan
yang minimal dan seringkali akan menderita cedera yang lebih parah
apabila terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur
tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari
pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen
(limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan
oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat
terhimpit diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan
pancreas juga sering tertekan terhadap tulang belakang. Cedera karena
benturan seringkali menyebabkan kerusakan internal dengan sedikit
tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan petunjuk-
petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi
kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau
abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan
cedera trakeal sering berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil
atau dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga, luka dada
penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan
fraktur pelvis.
2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi
dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar
jaringan dan dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh,
mengakibatkan peningkatan cedera. Perdarahan internal, perforasi organ,
dan fraktur kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan
menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada
mekanisne terjadinya cederam, perawat unit perawatan kritis dapat
membantu dalam mengidentifikasi cedera yang tidak didiagnosa di unit
kegawatdaruratan.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena
cedera torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam
jiwa, misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif,
iga melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara
cepat dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani,
maka akan mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :
a. Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks
dan hemotoraks. Seringkali satu-satunya tindakan yang diperlukan
adalah pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500ml pada
awalnya atau >100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi,
sedangkan selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru
seringkali sudah memadai tamponade dengan sumber perdarahan yang
lebih kecil. Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam
kasus pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran
udara yang tidak terkontrol.
Selain memberikan perawatan rutin post operasi (spirometri, batuk,
latihan napas dalam), perawatan unit perawatan kritis harus mengkaji
fungsi pernapasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan
cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami
komplikasi pulmonal seperti atlektaksis, pneumonia, dan empiema.
Selang dada harus dikaji patensi dan fungsinya serta dokter harus
diberitahu jika drainase menjadi berlebihan. Untuk kehilangan darah
dalam jumlah besar dari selang dada, mungkin harus dilakukan
ototranfusi.
b. Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur
multiple iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding dada. Iga
melayang berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks kontusio
pulmonal, kontusio miokardial. Tujuan utama dari perawatan terhadap
tulang iga mengambang adalah untuk meningkatkan ventilasi yang
adekuat. Jika status pernapasan terganggu atau diperlukan operasi
untuk cedera terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi dan
ventilasi mekanis. Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi
positif (PEEP). Pada kejadian yang langka, mungkin dilakukan
stabilisasi operatif dengan kawat dan staples. Fraktur iga tidak pernah
dibalut karena hal ini nantinya hanya akan mengurangi fungsi
pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control nyeri yang
adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan
ventilasi mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi
parenteral, intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien.
Analgesic sistemik tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga
melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk meringankan
nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural.
Asuhan keperawatan pada pasien dengan iga melayang ditujukan
pada pengkajian dan pengontrolan nyeri deisertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang adekuat. Hipoventilasi akiibat
nyeri meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernapasan, termasuk
atlektaksis dan pneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki
fungsi pernapasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas
dalam, spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion endotrakeal
dan nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik. Serangkaian pengkajian
pulmonal, termasuk sinar x-dada, gas-gas arterial darah, pemeriksaan
fisik, dan kadang-kadang pemantauan dengan oksimetrik adalah
penting.
c. Kontusio pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali
akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto
dada awal. Bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus
mengarah pada dugaan kemungkinan adanya kontusio pulmonal.
Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan
dinding sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma
dan protein ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal ini
mengakibatkan atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada pengalihan
(shunting) intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-tanda dan gejala-
gejalanya tgermasuk dispnea, rales, hemoptisis, takipnea. Kontusio
yang hebat juga akan mengakibatkan peningkatan tekanan puncak
jalan udara, hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Kontusio pulmonal
mirip dengan ARDS dimana keduanya berespon sangat terburuk
terhadap fraksi inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2).
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah,
paling sering sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada
kangdung kemih sering kali berhubungan dengan fraktur
pelvik.adanya hematuria ( nyata atau mikroskopik ), nyeri
abdomen bawah, atau tidak mampuan berkemih memerlukan
pemeriksaan terhadap cidera uretra dengan uretrogram retrograd
sebelum pemasangan kateter urine. Cidera pada kandung kemih
dapat mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial atau
ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat
ditangani dengan drainase kateter urine . ektravasi
intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik . komplikasi
jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat
ekstra vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas
yang tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing
sering dari kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan
penundaan mortalitas. Radiografi dan scan CT dapat
memastikan adanya dan menentukan tingkat fraktur pelvik.
Fraktur pelvik sering sering menyebabkan laserasi pembuluh –
pembuluh kecil yang mengeluarkan darah ke dalam jaringan
lunak pada rongga retroperineal. Areal ini meluas dari difragma
sampai ke pertengahan paha dan akan menampung beberapa
liter darah sebelum terjadi tamponade. Angiogram sering kali
diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan
primer. PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau
di unit gawat intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis
dan tamponade hemoragi, karena PASG menurunkan volume
tidal, maka ada kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator
mekanik. Fiksasi internal atau eksternal adalah lebih efektif
dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol perdarahan.
selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri dan membantu ambulasi
lebih dini. Pembedahan untuk mengontrol hemoragi mungkin
juga diperlukan .
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah
untuk mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan
pemantauan hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi
yang signifikan. Hematoma pelvik dapat menjadi sumberdari
sepsis dan dapat memerlukan drainase perkuata atau
pembedahan. Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik
termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting
untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan
rehabilitasi yang sering.
7. Trauma pada Ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang
pada trauma penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan
adanya fraktur, maka harus dilakukan stabilitas atau perbaikan
fraktur. Karena prosedur ortopedik akan memakan banyak
waktu,sehingga cidera lain yang mengancam jiwa harus terlebih
dahulu di atasi, dan operasi perbaikan dapat di tunda sampai
masalah itu teratasi. Fiksasi internal fraktur sering
memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cidera
multiple yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah
baring berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli pulmonal,
penyusutan otot). Penatalaksanaan fraktur juga dapat dikerjakan
dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal . fraktur terbuka
akan memerlukan debridemen dengan pembedahan. Tanggung
jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular, sejalan
dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai
resiko tinggi terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya
adalah emboli lemak dari fraktur tulang panjang dan sindom
kompartemen. Asuhan keperawatan harus di arahkan terhadap
pencegahan dan deteksi dini tentang masalah – masalah ini.
Perawat juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk
meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat.
Dislokasi mudah dikenali karena adanya perubahan dari anatomi
yang normal. Dislokasi sendi umumnya tidak mengancam jiwa,
tapi memerlukan tindakan darurat karena apabila tidak
dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan gangguan
pada daerah distal yang mengalami dislokasi. Sangat sulit
diketahui apakah fraktur disertai dengan dilokasi atau tidak,
maka sangat penting untuk mengetahui denyut nadi, gerakan dan
gangguan persyarafan distal dari dislokasi. Kebanyakan
tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga dan
meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih menyenangkan
untuk klien dan membawanya ke pelayanan kesehatan yang
terdapat fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh
trauma penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi
doppler seing digunakan untuk mendiagnosa cedera vaskular
perifer. Angiogram juga dapat digunakan untuk menetukan tempat
cedera dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa, psudoaneurisme,
dan penutupan intima. Dilakukan perbaikan pembedahan primer
atau tandur vaskular. Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat
resiko perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh
keduannya mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus
mengkaji nadi distal, warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu
ekstrimitas yang cedera. Indeks ankel – brakial (ABI) serinkali
berguna dalam mendeteksi perkembangan oklusi setelah trauma
ekstrimitas bawah. Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah
sistolik pada pergelangan kaki di bagi dengan tekanan darah
sistolik lengan . penurunan ABI menunjukkan peningkatan gradien
tekanan yang menembus pembuluh. Metoda ini memberikan data yang
lebih objektif ketimbang hanya meraba nadi. Perawat juga harus
memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
1) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
2) Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
b. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax,
ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada
pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
4) Koagulasi : PT,PTT
d. MRI
e. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
f. CT Scan
g. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan
diafragma,kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk
VIII-X.
h. Scan limfa
i. Ultrasonogram
j. Peningkatan serum atau amylase urine
k. Peningkatan glucose serum
l. Peningkatan lipase serum
m.DPL (+) untuk amylase
n. Peningkatan WBC
o. Peningkatan amylase serum
p. Elektrolit serum
q. AGD (ENA,2000:49-55)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera
definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap
cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan social. Trauma dapat
disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Akibat cedera ini
dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ. Trauma
terjadi dalam 3 fase : Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah
terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi,
perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua terjadi katabolisme
menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative, hiperglikemia, dan
produksi panas. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan
kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan
infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan
sudah teratasi.
DAFTAR PUSTAKA