You are on page 1of 16

Arti Kehidupan

Ada seorang Ayah dalam sebuah keluarga. Ia adalah seorang pekerja keras yang mencukupi seluruh
kebutuhan hidup bagi isteri dan ketiga orang anaknya. Ia menghabiskan malam-malam sesudah bekerja dengan
menghadiri kursus-kursus untuk mengembangkan dirinya dengan harapan suatu hari nanti dia bisa mendapatkan
pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Kecuali hari minggu, Sang Ayah sangat susah untuk bisa makan bersama
keluarganya. Dia bekerja dan belajar sangat keras karena ia ingin menyediakan keluarganya apa saja yang bisa
dibeli dengan uang.

Setiap kali keluarganya mengeluh kalau dia tak punya cukup waktu dengan mereka, dia selalu beralasan
bahwa semuanya ini dilakukan untuk mereka. Tetapi dia sendiri juga sangat berkeinginan untuk menghabiskan
waktu bersama keluarganya.

Suatu hari tibalah saatnya hasil ujian diumumkan. Sang Ayah lulus dengan prestasi gemilang! Segera
sesudah itu, dia mendapat tawaran posisi yang baik sebagai Senior Supervisor dangan gaji yang menarik.
Seperti mimpi menjadi kenyataan, sekarang Sang Ayah mampu memberikan keluarganya kehidupan yang lebih
mewah, pakaian yang indah, makanan enak, dan juga liburan ke luar negeri.

Namun, keluarganya masih saja tidak bisa bertemu dengan Sang Ayah hampir dalam seluruh minggu.
Dia terus bekerja sangat keras, dengan harapan dapat dipromosikan ke jabatan Manager. Untuk membuat
dirinya menjadi calon yang cocok danga jabatan itu, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Terbuka.

Lagi, setiap saat keluarganya mengeluh kalau Sang Ayah tidak menghabiskan cukup waktu untuk
mereka, dia beralasan bahwa dia melakukan semua ini demi mereka. Tetapi, seringkali pula dia sangat
berkeinginan lebih banyak waktu lagi dengan keluarganya.

Kerja keras Sang Ayah berhasil dan dia dipromosikan. Dengan penuh sukacita, dia memutuskan untuk
mempekerjakan seorang pembantu untuk membebaskan istrinya dari tugas-tugas rutinnya. Dia juga merasa
kalau Flat dengan tiga kamar sudah tidak cukup besar lagi, akan sangat baik jika keluarganya bisa menikmati
fasilitas dan kenyamanan sebuah kondominium.

Setelah merasakan jerih payah kerja kerasnya selama ini Sang Ayah memutuskan untuk lebih jauh lagi
belajar dan bekerja supaya bisa dipromosikan lagi. Keluarganya makin tidak bisa sering bertemu dengan dia.
Kadang-kadang Sang Ayah harus bekerja di hari minggu untuk menemani tamu-tamunya.

Seperti yang diharapkan, kerja keras Sang Ayah berhasil lagi dan dia membeli sebuah kondominium
indah yang menghadap pantai Singapura. Pada malam pertama di rumah baru mereka, Sang Ayah mengatakan
kepada keluarganya bahwa dia memutuskan untuk tidak mau mengambil kursus dan mengejar promosi lagi.
Sejak saat itu dia ingin memberikan lebih banyak waktu lagi untuk keluarganya.

Namun, Sang Ayah tidak bangun lagi keesokan harinya……..

Apakah Anda bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja?

Akhir dari kebencian


Seorang gadis bernama Lili menikah dan tinggal bersama suami dan ibu mertua. Dalam waktu singkat,
Lili menyadari bahwa ia tidak dapat cocok dengan ibu mertuanya dalam segala hal. Kepribadian mereka
berbeda dan Lili sangat marah dengan banyak kebiasaan ibu mertuanya. Lili juga dikritik terus menerus oleh
ibu mertuanya. Hari demi hari, minggu demi minggu, Lili dan ibu mertuanya tidak pernah berhenti konflik dan
bertengkar. Keadaan jadi tambah buruk, karena berdasarkan tradisi Cina, Lili harus taat kepada setiap
permintaan sang mertua.

Semua keributan dan pertengkaran di rumah itu mengakibatkan suami yang miskin itu ada dalam stres yang
besar. Akhirnya, Lili tidak tahan lagi dengan temperamen buruk dan dominasi ibu mertuanya, dan dia
memutuskan untuk melakukan sesuatu. Lili pergi menemui teman baik ayahnya. Mr. Huang, yang menjual
jamu. Lili menceritakan apa yang dialaminya dan meminta kalau-kalau Mr. Huang dapat memberinya sejumlah
racun supaya semua kesulitan selesai. Mr. Huang berpikir sejenak dan tersenyum dan akhirnya berkata, “Lili,
saya akan menolong, tapi kamu harus mendengarkan dan melakukan apa yang saya minta.”

Lili menjawab, “Baik, saya akan melakukan apa saja yang Anda minta”. Mr. huang masuk ke dalam ruangan
dan kembali dalam beberapa menit kemudian dengan sekantong jamu. Dia memberitahu Lili, “Kamu tidak
boleh menggunakan racun yang bereaksi cepat untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena nanti orang-orang
akan curiga. Karena itu saya memberimu sejumlah jamu yang secara perlahan akan meracuni tubuh ibu
mertuamu. Setiap hari masaklah daging babi atau ayam dan kemudian campurlah sedikit jamu ini. Nah, untuk
memastikan bahwa tidak ada orang yang mencurigai kamu pada waktu ia meninggal, kamu harus berhati-hati
dan bertindak dengan sangat baik dan bersahabat. Jangan berdebat dengannya, taati dia, dan perlakukan dia
seperti seorang ratu.”

Lili sangat senang. Dia kembali ke rumah dan memulai rencana pembunuhan terhadap ibu mertuanya.
Minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan pun berlalu, dan setiap hari, Lili melayani ibu mertuanya
dengan makanan yang dibuat secara khusus. Lili ingat apa yang dikatakan Mr. Huang tentang menghindari
kecurigaan, jadi Lili mengendalikan emosinya, mentaati ibu mertuanya, memperlakukan ibu mertuanya seperti
ibunya sendiri dengan sangat baik dan bersahabat. Setelah enam bulan, seluruh rumah berubah. Lili telah belajar
mengendalikan emosinya begitu rupa hingga hampir-hampir ia tidak pernah meledak dalam amarah dan
kekecewaan. Dia tidak berdebat sekali pun dengan ibu mertuanya, yang sekarang kelihatan jauh lebih baik dan
mudah untuk ditemani. Sikap ibu mertua terhadap Lili pun berubah dan dia mulai menyayangi Lili seperti
anaknya sendiri. Dia terus memberitahu teman-teman dan kenalannya bahwa Lili adalah menantu terbaik yang
pernah ditemuinya. Lili dan ibu mertuanya sekarang berlaku seperti ibu dan anak sungguhan. Suami Lili sangat
senang melihat apa yang telah terjadi. Satu hari, Lili datang menemui Mr. Huang dan meminta pertolongan lagi.
Dia berkata, “Mr. Huang, tolonglah saya untuk mencegah racun itu membunuh ibu mertua saya. Dia telah
berubah dan menjadi wanita yang sangat baik dan saya mengasihinya seperti ibu saya sendiri. Saya tidak ingin
dia mati karena racun yang saya berikan.”

Mr. Huang tersenyum dan mengangkat kepalanya. “Lili, tidak usah khawatir. Saya tidak pernah
memberimu racun. Jamu yang dulu saya berikan adalah vitamin untuk meningkatkan kesehatannya. Satu-
satunya racun yang pernah ada adalah di dalam pikiran dan sikapmu terhadapnya, tapi semua telah lenyap oleh
kasih yang telah engkau berikan padanya.”

Pernahkah kita menyadari bahwa sebagaimana perlakuanmu terhadap orang lain, akan sama dengan apa
yang akan mereka lakukan terhadap kita?

Pepatah Cina berkata: Orang yang mengasihi orang lain akan dikasihi.

Kepingan uang yen


Di propinsi Ciang Si, kota Nan Chang, pada tahun 1938 bertepatan masa peperangan di mana presiden
Ciang Kai Sek yang pada saat itu masih menjabat sebagai komandan laskar yang bertempat di Nan Chang.

Saat waktu luang banyak tentara berbelanja keperluan sehari-hari. Saat itu mata uang yang digunakan
adalah Yen. Kaum wanita yang sudah berusia lanjut dan lemah tampak berjajaran di sepanjang jalan menjual
handuk dan kaos kaki bagi keperluan tentara.
Suatu hari, seorang nenek tua menangis terisak-isak di sebuah jalan. Orang yang lewat menanyai
sebabnya, rupanya seseorang telah membeli banyak sekali dagangannya dengan kepingan uang Yen palsu.
Ketika nenek itu sadar uang itu palsu, si pembeli sudah lenyap entah kemana.

Kebetulan lewat seorang tentara yang baru saja mendapat gajian dan berbelanja disekitar jalan itu.
Melihat sang nenek sangat sedih, maka dia menghiburnya, “Tak usah sedih Nek, gaji saya cukup. Tukarkan
uang palsumu kepada saya sebagai kenang-kenangan. Nah, ini ambillah. Semoga dapat menjadi modal usahamu
kelak”.

“Mana boleh? Mana mungkin saya menerima sementara anda yang mengorbankan uangmu”. Si Nenek
terus bersikeras tidak mau menerima tawaran si tentara tapi karena tak tega menolak ketulusannya, akhirnya dia
menerima juga dengan ucapan terima kasih yang mendalam.

Selang beberapa bulan si tentara berdinas kembali ke kota Nan Chang dan mencari nenek yang malang
itu. Dia berkata bahwa kepingan uang Yen palsu itu telah menyelamatkan nyawanya.

Ceritanya ketika ia berada di barisan depan dalam medan pertempuran, tiba-tiba sebuah peluru
menghantam ke dadanya. Tamat sudah kali ini, pikirnya hingga pingsan karena ketakutan. Tapi begitu mata di
buka, sakitnya tidak terasa. Dirabanya bagian dada tapi tidak ada darah sedikit pun. Waktu menyentuh kepingan
logam yang berada di kantong kirinya ternyata kepingan uang Yen palsu itu sudah cekung karena peluru tadi.

Siapa bilang perbuatan baik dan jahat tiada akibatnya? Hanya karena waktu yang belum matang, hingga
akibat karma tersebut belum tampak. Inilah salah satu kesaksian betapa pentingnya memupuk kebajikan.

Seorang laki-laki berjalan melalui sebuah hutan dan melihat seekor rubah yang kehilangan kakinya dan
berpikir-pikir bagaimana ia hidup. Kemudian ia melihat seekor harimau dengan mangsa di mulutnya. Sang
harimau mendapatkan isinya dan meninggalkan sisanya untuk makanan si rubah.

Hari berikutnya Tuhan memberi makan rubah dengan perantaraan harimau yang sama. Orang itu mulai
berpikir-pikir tentang kebesaran Tuhan dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku pun akan beristirahat di pojokan
dengan kepercayaan penuh kepada Tuhan dan Ia akan mencukupiku dengan semua yang aku butuhkan”.

Ia melakukan ini berhari-hari tetapi tak terjadi apa-apa, dan saat ia hampir berada di ambang kematian ia
mendengar suara berkata, “O, engkau yang berada di jalan yang sesat, bukalah matamu pada keberanian!
Ikutilah contoh sang harimau dan berhentilah meniru rubah yang tak berdaya itu. Sufi.

Mulla Nasrudin ada di luar, merangkak, bertumpu pada tangan dan lututnya di bawah lentera, ketika seorang
sahabat menemuinya. “Apa yang kau lakukan Mulla?” tanya sahabatnya. “Aku sedang mencari kunciku. Aku
kehilangan itu.” Maka sahabatnya itu merangkak pula, dan mereka mencari sampai lama di tempat kotor di
bawah lentera. Karena tak menemukan apa-apa, sahabatnya kemudian berpaling padanya dan bertanya, “Di
mana persisnya engkau kehilangan?” Nasrudin menjawab, “Aku kehilangan di dalam rumah, tetapi di sinikan
lebih terang.” Sufi.

Berbuat baik
Berbuat baik kepada orang yang kita cintai atau kita sukai, adalah hal yang mudah dilakukan......

Berbuat baik kepada orang lain yang tidak kita kenal, adalah hal yang cukup sulit dilakukan..........

Berbuat baik kepada orang yang kita benci atau tidak kita sukai, adalah hal tersulit untuk dilakukan..............
Berbuat baik dengan harapan atau balas jasa, adalah hal yang mudah dilakukan........

Berbuat baik tanpa mengharapkan balas jasa atau harapan, adalah hal yang cukup sulit dilakukan............

Berbuat baik tanpa ikatan dan kemelekatan, adalah hal tersulit untuk dilakukan.............

Berbuat baik satu kali, adalah hal yang mudah dilakukan....................

Berbuat baik lebih dari satu kali adalah hal yang cukup sulit dilakukan..............

Berbuat baik terus menerus tanpa ikatan adalah hal tersulit untuk dilakukan..........

Di saat berbuat baik sangat sulit untuk dilakukan, kita harus berperang dan menaklukan ego kita.

Kadang kita ragu untuk melakukannya.........

Berbuat baik tanpa harapan dan ikatan, akan membuat kita lebih bahagia................

Karena perbuatan baik mendatangkan kebahagiaan dan perbuatan jahat mendatangkan penderitaan.

Hati seluas Dunia


Dahulu kala, hiduplah seorang guru yang terkenal bijaksana. Pada suatu pagi, datanglah seorang pemuda
dengan langkah lunglai dan rambut masai. Pemuda itu sepertinya sedang dirudung masalah. Tanpa membuang
waktu, dia mengungkapkan keresahannya: impiannya gagal, karier, cinta, dan hidupnya tidak pernah berakhir
bahagia.

Sang Guru mendengarkannya dengan seksama dan teliti. Ia lalu mengambil segenggam garam dan
meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan
sendok.

“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya?” pinta Sang Guru. “Asin dan pahit, pahit sekali,”
jawab pemuda itu, sambil meludah ke tanah. Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ke tepi
telaga di hutan dekat kediamannya. Kedua orang itu berjalan beriringan dalam diam. Sampailah mereka di tepi
telaga yang tenang itu. Sang Guru lalu menaburkan segenggam garam lagi ke dalam telaga. Dengan sebatang
kayu, diaduknya air telaga, membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air telaga tenang, ia pun berkata, “Coba
ambil air dari telaga ini dan minumlah.”

Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Sang Guru bertanya, “Bagaiman rasanya?” “Segar,” sahut
pemuda itu.

“Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?” tanya Sang Guru. “Tidak” jawab si anak muda.

Sang Guru menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk bersimpuh di tepi telaga.

“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Jumlah dan rasa pahit itu
adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tetapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari
wadah atau tempat yang kita pakai. Kepahitan itu, selalu berasal dari bagaimana cara kita meletakkan
segalanya. Itu semua tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan atau kegagalan dalam
hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu lakukan: lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya.
Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskanlah cara pandang terhadap kehidupan.
Kamu akan banyak belajar dari keluasan itu.”

“Hatimu anakku, adalah wadah itu. Batinmu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan
jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah hatimu seluas telaga yang mampu meredam setiap kepahitan. Hati yang
seluas dunia!” Keduanya beranjak pulang. Sang Guru masih menyimpan “segenggam garam” untuk orang-
orang lain yang sering datang kepadanya membawa keresahan hati.

Lukisan Kedamaian
Seorang raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah yang melimpah kepada siapa saja yang
bisa melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis berusaha keras untuk memenangkan lomba
tersebut. Sang Raja berkeliling melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar
paling disukainya. Tapi, Sang Raja harus memilih satu diantara keduanya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaga itu bagaikan cermin
sempurna yang memantulkan kedamaian gunung-gunung yang menjulang mengitarinya. Di atasnya terpampang
langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah
lukisan terbaik mengenai kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul. Di atasnya terlukis
langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai. Sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar
liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih. Sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan
kedamaian. Tapi, Sang Raja melihat sesuatu yang menarik. Di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil di
atas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu seekor induk pipit membuat sarangnya. Jadi, di tengah-tengah
riuh rendahnya air terjun, seekor induk pipit sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenangkan lomba?

Sang Raja memilih lukisan nomor dua. Tahukah Anda mengapa?

“Karena”, jawab Sang Raja, “Kedamaian bukan berarti Anda harus berada di tempat yang tanpa
keributan, tanpa kesulitan atau tanpa pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan
damai, meski Anda berada di tengah-tengah keributan luar biasa. Kedamaian hati adalah kedamaian sejati”.

Kisah seekor burung pipit


Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan,
mengeluh pada lingkungan yang ditiduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat
yang sejak dulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan
sejuk.

Benar, pelan-pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin
bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tidak merasakan sayapnya yang
mulai tertempel salju, makin lama makin tebal dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus oleh
salju. Sampai di tanah, salju yang menempel di tanah justru bertambah tebal.

Si Burung Pipit tak mampu berbuat apa-apa, menyangka bahwa riwayatnya sudah tamat. Dia merintih
menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya.
Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau, dia menghardik si kerbau agar menjauh
dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.
Si kerbau tidak banya bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si
burung pipit semakin marah dan memaki-maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah
lagi dan mengeluarkan kotoran di atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat berbicara karena
tertimbun kotoran kerbau. Si burung mengira lagi bahwa ia segera mati tak bisa bernafas. Namun perlahan-
lahan dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi
kerbau, dia dapat bernafas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan,
bernyanyi keras sepuas-puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan
tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang-nimang, menjilati, mengelus, dan membersihkan
sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan
menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati. Namun apa yang terjadi
kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayatnya ditelan oleh si
kucing.

Tangis untuk adikku


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari orang tuaku
membajak tanah kering kuning dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga
tahun lebih muda dariku, yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya
membawanya, aku mencuri 500 rupiah dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat aku dan
adikku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?”
Beliau bertanya. Aku diam seribu bahasa, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku jadi beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu kalian berdua layak di pukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba adikku mencengkeram tangannya dan
berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia
terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri di rumah sekarang, hal memalukan apalagi yang akan
kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak di pukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia
tidak meneteskan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-
raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang.
Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan
lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu adikku berusia 8 tahun, aku berusia 11 tahun.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua
anak kita memberikan hasil yang begitu baik. “Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,
“Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayainya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar
kehadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup banyak membaca
buku.”
Ayah mengayunkan tangannya memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang
begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya harus mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!” Dan begitu selesai bicara kemudian ia pergi mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan
berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan
jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa
sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian
lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik kertas di atas bantalku: “Kakak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja
dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata
bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun, dan aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi kontruksi, aku akhirnya sampai pada tahun ke tiga. Suatu hari, aku sedang
belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang panduduk dusun
menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang
akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya
dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak peduli omongan siapapun! Kamu adalah adikku apapun juga!
Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu.........”

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku,
terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya, jadi saya pikir kamu juga harus memilikinya
satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi, aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20 tahun, aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah. Kaca jendela yang pecah
telah diganti dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di
depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi
katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
kamu lihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa
menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku
menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi kontruksi, batu-batu berjatuhan
pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikan aku bekerja dan ..........” Di tengah kalimat itu ia
berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu
adikku 23 tahun dan aku 26 tahun.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berulangkali suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk
datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan sekali meninggalkan
dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah
mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah disini.”

Suamiku menjadi direktur di sebuah pabrik. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai
manager pada departemen pemeliharaan. Tapi adikku menolak pekerjaan tersebut. Dia bersikeras memulai
pekerjaan di bidang reparasi. Suatu hari adikku berada di sebuah tangga untuk memperbaiki kabel, ketika ia
mendapat sengatan listrik dan masuk rumah sakit. Kami pergi menjenguknya. Melihat gibs putih pada kakinya
aku mengerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manager? Manager tidak akan pernah harus melakukan
sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kamu tidak mau
mendengar saran kami?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya, “Pikirkan kakak ipar, ia baru
saja jadi direktur dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manager, apa kata orang nanti?”

Mata suamiku dipenuhi air mata dan dengan terbata-bata, aku berkata padanya, “Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu adikku berusia 26 dan
aku 29.

Adikku berusia 30 tahun, ketika ia menikahi gadis petani dari dusun. Dalam acara perayaan
pernikahannya, pembawa acara bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa
berpikir lama, ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Waktu SD, sekolah
kami berada di dusun yang berbeda. Setiap hari kami harus berjalan dua jam untuk pergi dan pulang sekolah.
Suatu hari di musim dingin, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya. Dia hanya memakai satu saja untuk perjalanan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya
begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpit. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakak dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan. Semua tamu memalingkan wajah memandangku.

Kata-kata begitu susah keluar dari mulutku, “Dalam hidupku, orang yang paling kukasihi adalah
adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia itu, di depan begitu banyak orang, air mata mengalir
membasahi wajahku.

IA MELIHAT WAJAH YANG BERSINAR


Di akhir tahun 1980’an Ekuador dilanda krisis ekonomi berat. Lalu, dalam proporsi besar sekali,
terserang wabah epidemi kolera. Seakan masih kurang, bencana alam silih berganti menghantam memporak-
porandakan seluruh desa-desa maupun kota-kota. PBB maupun Pelayanan Bantuan Asing merespon dengan
membawakan persediaan jagung, produk-produk kedelai, susu, buah-buahan, beras, dan kacang-kacangan.

Juru potret itu mengambil posisi di suatu jalan utama di mana orang-orang sakit, mereka yang kelaparan,
orang-orang yang sudah letih lesu saling berbaris menunggu pembagian makanan. Ia sudah terlatih untuk
mengawasi detail-detail kecil dan situasi umum yang sedang berkembang. Ia tertarik pada seorang gadis – kurus
kering dan dekil kotor, sekitar 9 atau 10 tahun umurnya. Diamatinya, selagi gadis ini dengan sabar antri,
matanya selalu tertuju pada tiga anak lain lagi yang saling erat berjongkok di bawah sebuah pohon besar,
memayungi diri dan menghindar dari sengatan sinar matahari. Dua bocah laki-laki, sekitar umur 5 dan 7, saling
menggandeng seorang gadis kecil sekitar 3 tahun. Karena perhatiannya teralihkan, gadis itu tidak melihat bahwa
pekerja-pekerja sosial itu sedang kehabisan persediaan makanan.

Jantung ahli potret itu berdetak keras. Kameranya juga sudah siap. Setelah berjam-jam terjemur di
bawah terik matahari, gadis kecil itu akhirnya mendapat giliran dilayani. Yang ia terima cuma sebuah pisang.
Tetapi, reaksinya begitu memukau dan seakan melumpuhkan tukang potret ini. Pertama, wajahnya menyala,
bersinar dalam sebuah senyum begitu manis. Ia menerima pisang itu dan membungkuk pada pekerja sosialnya.
Lalu cepat-cepat sekali ia berlari menuju anak-anak kecil di bawah pohon tadi. Dengan amat hati-hati dia
menguliti, membagi rata dalam 3 potong dan dengan sopan, hati-hati sekali, ditaruhnya masing-masing ke
dalam tangan tiap anak. Bersama-sama mereka menundukkan kepala dan berdoa mengucapkan syukur. Lalu,
perlahan-lahan mereka memakan potongan pisang, benar-benar menikmati setiap gigitannya, sedangkan gadis
tertua itu mengisapi kulitnya.

Tukang potret itu terdiam seribu bahasa. Tak tahan lagi, ia mulai menangis tersedu-sedu, lupa sama
sekali akan semua kamera-kameranya dan akan tujuan utamanya ia hadir di sana. Belakangan, setelah sadar
kembali, ia bertutur, ketika sedang mengamati gadis itu, ia melihat wajah yang bersinar. Ia sempat mengintip
wajah dan tindakan – tindakan seorang gadis miskin jalanan yang begitu kaya dalam kemurahan hati, cinta
kasih, dan saling kepedulian.

ANDA TAK PERLU KEMANA-MANA


Ada sebuah cerita yang amat cerdik yang menelanjangi kegilaan kita akan masa depan dan bagaimana
kita menyepelekan masa sekarang, seolah kalau kita puas dan bahagia saat ini, maka masa depan Anda akan
terlantar.

Sebuah kapal berlabuh di sebuah dusun kecil di Meksiko. Seorang turis Amerika memuji si nelayan
Meksiko untuk kualitas ikannya dan bertanya berapa lama yang diperlukan untuk menangkapnya.

“Tidak terlalu lama,” sahut si orang Meksiko.

“Kalau begitu kenapa Anda tidak di laut lebih lama dan menangkap ikan lebih banyak lagi?” tanya si Amerika.

WORTEL, TELUR, ATAU KOPI


Seorang mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa
begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk
berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air dan menaruhnya di atas
api. Setelah air-air di atas panci itu mendidih, ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua,
dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang
ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk,
mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk yang lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang engkau lihat, nak?”

“Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan
merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya.
Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya
untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.

Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi
masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras, dan sukar dipatahkan.
Tetapi setelah di rebus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya
melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami
perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. “Kamu termasuk
yang mana?” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu
wortel, telur, atau kopi?”

Bagaimana dengan kamu?

Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan,
kamu menyerah, menjadi lunak, dan kehilangan kekuatanmu.

Apakah kamu telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah
adanya penderitaan dan kesulitan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi kamu menjadi keras
dengan jiwa dan hati yang kaku?

Apakah kamu bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk
mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa
semakin nikmat.

Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik
dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

P ada abad yang lalu, seorang turis dari AS mengunjungi seorang Rabbi Polandia yang termashyur, Hafez
Hayyim. Ia terheran-heran melihat rumah sang rabbi hanya sebuah ruangan sederhana yang diisi dengan
buku-buku. Perabot yang ada hanya sebuah meja dan sebuah kursi.

“Rabbi, di manakah perabotan rumahmu?” tanya sang turis.

“Di manakah milik kamu sendiri?” jawab Hafez.

“Milikku? Tetapi, aku hanya seorang pengunjung di sini.”

“Begitu juga aku,” ujar sang rabbi. (Chassid)

N asrudin kini menjadi seorang yang tua, yang melihat kembali kehidupannya. Ia duduk bersama-sama
temannya di kedai teh menceritakan kisahnya.

“Ketika aku masih muda, aku bersemangat – aku ingin menyadarkan setiap orang. Aku berdoa kepada
Tuhan agar mamberiku kekuatan untuk mengubah dunia.

Di tengah-tengah hidupku, suatu hari aku bangun dan menyadari hidupku sudah berlalu setengahnya,
dan aku tak mengubah tak seorang pun. Maka, aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk
mengubah mereka yang dekat di sekitarku, yang begitu banyak membutuhkannya.

“Aduh, sekarang aku sudah tua, dan doaku lebih sederhana, “Tuhan” pintaku,’Tolong berikan kepadaku
kekuatan untuk mengubah paling sedikit diriku sendiri.’ (Sufi)

A da sebuah kisah tentang Buddha dan Mara. Suatu hari Buddha ada di dalam guanya, dan Ananda yang
menjadi pembantu Buddha, berdiri di luar dekat pintu. Tiba-tiba Ananda melihat Mara mendekat. Ia
terkejut. Ia tidak ingin itu dan ia mengharapkan Mara segera pergi. Tetapi Mara berjalan langsung ke arah
Ananda dan memohonnya untuk memberitahukan kedatangannya kepada Buddha.

Ananda berkata, “Mengapa engkau kemari? Tidakkah engkau ingat bahwa di masa lalu engkau telah
dikalahkan oleh Buddha di bawah pohon Bodhi? Apakah engkau tidak malu datang kemari? Pergilah! Buddha
tak akan menemuimu. Engkau itu setan. Engkau adalah musuhnya.” Ketika Mara mendengar ini, ia tertawa dan
tertawa. “Apakah engkau berkata, gurumu memberitahukan kepadamu bahwa ia punya musuh?” Hal itu
membuat Ananda menjadi sangat malu. Ia tahu, gurunya tak pernah mengatakan bahwa ia punya musuh. Maka
Ananda pun menyerah, dan masuk ke dalam, memberitahukan kunjungan Mara, sambil berharap Buddha akan
mengatakan, “Pergi dan katakan padanya bahwa aku tidak ada di sini. Katakan padanya, aku sedang menghadiri
pertemuan.”

Tetapi Buddha sangat senang ketika ia mendengar bahwa Mara, teman lamanya, datang
mengunjunginya. “Benarkah itu? Benarkah ia di sini?” Buddha berkata, dan ia pergi keluar untuk menyambut
Mara secara pribadi. Ananda sangat kecewa. Buddha langsung menemui Mara, mengangguk kepadanya, dan
meraih lengannya dengan cara yang sangat akrab. Buddha berkata, “Halo! Apa kabar? Kemana saja engkau?
Apakah semuanya baik-baik?”

Mara tidak berkata apa-apa. Maka Buddha membawanya masuk ke dalam gua, menyiapkan tempat
duduk untuknya, dan menyuruh Ananda pergi membuat teh untuk mereka berdua. “Aku dapat membuat teh
untuk guruku seratus kali dalam sehari, tetapi membuat teh untuk Mara tidak menyenangkan,” pikir Ananda.
Tetapi ini perintah gurunya, bagaimana ia bisa menolak? Maka Ananda pun pergi menyiapkan teh untuk
Buddha dan Mara tetapi sementara melakukan ini, ia mencoba mendengarkan percakapan mereka.

Buddha mengulangi percakapan mereka dengan sangat akrab, “Kemana saja engkau? Bagaimana
kabarmu?” Mara menjawab, “Segala sesuatunya tidak semuanya baik. Aku lelah menjadi Mara. Aku ingin
menjadi sesuatu yang lain.”

Ananda menjadi sangat ketakutan. Mara berkata, “Kau tahu, menjadi Mara bukan hal yang mudah untuk
dilakukan. Jika engkau bicara, engkau harus berbicara membingungkan. Jika engkau melakukan sesuatu,
engkau harus menipu dan terlihat jahat. Aku sangat lelah dengan semua itu. Tetapi yang tidak dapat aku pikul
adalah para pengikutku. Mereka kini berbicara tentang keadilan sosial, kedamaian, persamaan, pembebasan,
penolakan standar ganda, anti kekerasan, semua itu. Aku sudah cukup untuk itu! Kupikir lebih baik jika aku
menyerahkan mereka semua kepadamu. Aku ingin menjadi sesuatu yang lain.”

Ananda mulai gemetar, karena ia khawatir gurunya akan memutuskan untuk mengambil peran yang
lainnya. Mara akan menjadi Buddha, dan Buddha akan menjadi Mara. Itu membuatnya sangat sedih.

Buddha mendengarkan dengan penuh perhatian, dan penuh dengan belas kasih. Akhirnya, ia berkata
dengan suara tenang. “Kau pikir enak menjadi Buddha? Engkau tidak tahu apa yang dilakukan oleh pengikut-
pengikutku terhadapku! Mereka menyebutkan kata-kata dari mulutku yang tidak pernah aku ucapkan. Mereka
membangun kuil-kuil warna-warni dan menaruh patungku di altar untuk mengumpulkan pisang-pisang, jeruk,
dan nasi yang lezat, hanya untuk mereka sendiri. Dan mereka memaketku dan membuat ajaranku sebagai
barang komersial. Mara, jika engkau tahu bagaimana sebenarnya menjadi seorang Buddha, aku yakin engkau
tidak ingin menjadi Buddha.” Dan begitulah, Buddha membacakan syair yang panjang meringkas percakapan
itu. (Thich Nhat Han)

S eorang sarjana berangkat mengarungi laut yang jauh dan sulit. Terdorong untuk membuat awak kapal
terkagum-kagum padanya karena kedalaman ilmunya, ia menghentikan dan menanyai seorang pelaut biasa
saat mereka sedang melaksanakan tugasnya. “Katakan padaku, Sahabat yang baik,” tanyanya pada seorang
pelaut, “Apakah engkau pernah belajar filsafat?” Pelaut itu menjawab, “Oh, tidak, aku hanya pelaut biasa. Aku
hanya tahu bagaimana cara menjalankan kapal ini dari satu pantai ke pantai lainnya.” Sarjana itu berkata,
“Engkau orang yang malang, engkau menyia-nyiakan sebagian hidupmu.” Di hari berikutnya, ia bertanya lagi
pada pelaut itu, “Apakah engkau pernah belajar geometri, Sahabat yang baik?” Pelaut itu kembali menjawab,
“Tidak, aku minta maaf, Tuan. Aku hanya memasang layar kapal dan mengemudikannya.”

Sang sarjana lagi-lagi menggelengkan kepalanya kecewa dan hanya berkata, “Engkau orang yang
malang, hidup dalam kebodohan, engkau banyak menyia-nyiakan hidupmu.” Hari ke hari pertanyaan-
pertanyaan itu terus diajukan, “Apakah engkau pernah belajar geometri, antropologi, zoologi, psikologi?” Pelaut
itu hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak tahu-menahu.

Suatu malam, kapal itu bertemu badai. Sarjana itu dengan cemas memandang gelombang-gelombang
yang menghantam dan berpegangan erat-erat pada tiang layar. Pelaut itu mendekati sang sarjana dan bertanya
kepadanya, “Apakah engkau, Sahabat yang baik, pernah belajar berenangologi?”

Dalam kebingungan, sang sarjana hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. “Itu benar-benar buruk,”
kata sang Pelaut. “Engkau menyia-nyiakan seluruh hidupmu, karena kapal ini sedang tenggelam.” (Buddhist)

S eorang pria yang tinggal di kota yang sama dengan Rabbi Zusya, melihat Rabbi itu sangat miskin. Maka,
setiap hari ia menaruh 20 sen ke dalam tas kecil tempat Zusya menyimpan jimatnya, sehingga ia dan
keluarganya dapat membeli kebutuhan hidup. Waktu pun berjalan, orang itu menjadi semakin kaya dan semakin
kaya. Semakin banyak ia mendapat uang, semakin banyak yang ia berikan pada Zusya, dan semakin banyak
yang ia berikan pada Zusya, semakin banyak pula yang ia dapatkan.

Tetapi sekali waktu, ia teringat bahwa Zusya adalah murid dari seorang guru besar. Dan terpikir olehnya,
jika apa yang ia berikan kepada sang murid mendapat imbalan yang begitu berlimpah, ia mungkin akan menjadi
lebih makmur lagi jika ia menyerahkan hadiah kepada gurunya sendiri. Maka ia pergi ke Mezritch dan
membujuk Rabbi Baer untuk menerima banyak hadiah berharga darinya. Mulai saat itu, harta bendanya
berkurang sampai ia kehilangan seluruh keuntungan yang ia capai selama masa-masa keberuntungannya. Ia
membawa masalahnya kepada Rabbi Zusya, menceritakannya semua hal itu, dan bertanya kepadanya apa
penyebab kesulitan besar yang dihadapinya sekarang. Bukankah Rabbi sendiri mengatakan kepadanya bahwa
gurunya tak terkirakan jauh lebih besar daripadanya?

Zusya menjawab: “Begini! Sepanjang engkau memberi dan tidak menghiraukan siapa itu, apakah
terhadap Zusya atau lainnya, Tuhan akan memberimu dan tidak menghiraukan siapa itu. Tetapi ketika engkau
mulai penerima dana khususnya yang berkedudukan tinggi dan ternama, Tuhan melakukan persis hal yang
sama.” (Chassid)

Seseorang yang ingin mati harus kenal kehidupan.

Seseorang yang ingin hidup harus kenal kematian

Seseorang yang ingin menerima harus kenal memberi

Seseorang yang ingin memberi harus kenal memegang

Seseorang yang selalu waspada harus kenal tidur

Seseorang yang selalu tidur harus kenal bangun

Seseorang yang ingin pergi harus kenal tinggal

Seseorang yang ingin tinggal harus kenal pergi

Seseorang yang tak pernah bicara harus kenal memberi saran

Seseorang yang selalu berkotbah harus kenal berdoa

Setiap orang belajar bagaimana ia berada di jalan orang lain. (Pierre Delattre).
Hidup seperti gema

Pada suatu hari seorang ibu menegur anak laki-lakinya yang masih kecil. Dalam kemarahan yang besar,
anak itu meneriakinya, “Aku benci kamu!”. Anak itu kemudian lari keluar dari rumah dan masuk kedalam
hutan. Di sana ia berdiri di sebuah bukit dan berteriak, Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku benci kamu!”

Kemudian dia mendengar suara (gema suaranya sendiri) yang sama, Aku benci kamu! Aku benci kamu!
Aku benci kamu!” Anak itu kaget dan mulai takut. Maka ia berlari kembali ke rumah dan mencari ibunya,
“Mami, ada seorang pria jahat di hutan yang berteriak: Aku benci kamu.”

Mendengar cerita sang anak, ibu itu tersenyum. “Mari kita ke sana dan melihatnya,” kata sang ibu.

Mereka berdua kemudian pergi masuk ke hutan dan berhenti di tempat di mana anak itu tadi berdiri dan
berteriak. Kata ibunya, “Nak sekarang berteriaklah: Aku cinta padamu. Aku cinta padamu. Aku cinta padamu!”

Setelah anak itu berteriak, terdengarlah suara yang sama: “Aku cinta padamu. Aku cinta padamu. Aku
cinta padamu!”

“Kok bisa begitu, mami?” tanya anak itu.

“Itu namanya gema, nak. Dinding batu di depan itu yang telah memantulkan suaramu tadi,” jawab sang
ibu. “Begitu pula hidup kita ini seperti gema. Kita menerima kembali apa yang telah kita berikan. Kalau kita
mencintai, kita akan di cintai. Kalau kita membenci, kita juga akan di benci.”

Ibu dan anak itu kemudian berpelukan.

Seleksi menjadi direktur

Pada suatu pagi, seorang bapak memanggil ke tiga putranya yang semuanya adalah sarjana lulusan luar
negeri. Bapak itu bermaksud memilih siapa di antara ketiga putranya itu yang pantas untuk mengambil alih
kursi “Nahkoda” yang memimpin “kapal” perusahaan keluarga mereka. Kepada masing-masing putranya,
Bapak memberikan selembar uang lima ribu rupiah. Terserah uang itu mau dibelikan apa. Yang jelas dengan
uang sebesar itu mereka masing-masing akan membeli sesuatu yang dapat dipakai untuk memberikan gambaran
di hadapan sang bapak tentang perusahaan keluarga di masa depan seandainya mereka yang terpilih sebagai
nahkoda perusahaan. Setelah menerima uang itu, masing-masing anak pergi ke toko.

Sore hari ketiga anak kembali ke rumah. Satu per satu masuk ruang kerja bapaknya untuk
mempresentasikan gagasan dan rencana mereka yang paling cemerlang. Yang masuk pertama adalah anaknya
yang paling sulung. Dengan uang lima ribu itu, ia telah membeli sebuah spidol. Dengan spidol itu ia secara
panjang lebar menjelaskan gagasan dan rencananya sehingga perusahaan yang dipimpinnya akan maju dan
menghasilkan untung yang besar. Sang bapak tampak terkesan dan bangga mendengarnya. Tidak sia-sia dia
menyekolahkannya sampai ke Amerika.

Selanjutnya masuklah putra ke dua. Ia ternyata membeli sebuah pot berisi tanaman hias yang indah. Di
hadapan ayahnya, putra ke dua itu berkata, “Ayah, saya akan bekerja keras untuk menjadikan perusahaan
keluarga kita semakin berkembang dan menarik, seperti tanaman dalam pot ini”. Sang bapak tersenyum
mengangguk. Namun dalam hatinya, ia merasa heran bahwa anaknya ini lulusan universitas luar negeri.

Akhirnya putra ke tiga masuk ke ruang bapaknya itu. Ia hanya membeli sebatang lilin. Hal pertama yang
dibuatnya ketika dia memasuki ruangan itu adalah ia mematikan lampu. Ruang itu menjadi gelap. Kemudian dia
menyalakan lilinnya. Segera cahaya lilin mengisi ruangan itu sehingga kegelapan memudar. Sambil tersenyum,
ia berkata pada bapaknya, “Ayah, saya ingin perusahaan ini akhirnya juga bermanfaat bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya, ibarat lilin ini yang mampu menerangi ruangan di mana ia berada.”
Siapakah di antara anak itu yang pada akhirnya dipilih oleh sang bapak menjadi pemimpin perusahaan
keluarga? Sang bapak memutuskan anak yang ketiga cocok menjadi penerusnya!

Pada sebuah jembatan

Pada suatu malam, seorang pria berdiri di sebuah jembatan baja, 500 kaki (Sekitar 152 m) di atas sungai
yang deras. Pria itu menyalakan rokok terakhirnya sebelum bunuh diri.

Tidak ada jalan lain. Dia telah mencoba segala hal untuk mencapai kebahagiaan. Dia telah mencicipi
segala kenikmatan nafsu, petualangan, perjalanan, minum, dan obat-obatan. Tapi semua gagal. Dan kegagalan
terakhir adalah perkawinannya. Tak seorang pun wanita yang tahan hidup bersamanya setelah beberapa bulan.
Dia terlalu menuntut. Dia merasa tidak pantas diperlakukan seperti manusia. Maka sungai menjadi tempat yang
paling baik baginya.

Seorang gelandangan tiba-tiba lewat, melihatnya dan berkata,”Pak, beri saya 1dolar dong untuk beli
kopi.” Pria itu tersenyum. 1 dolar tidak ada artinya. “Saya punya lebih dari itu.” Dia mengambil dompetnya.
“Ini, ambil semua.” “Lho, kenapa semua?” tanya gelandangan itu.

“Tidak apa-apa. Saya tidak membutuhkan lagi di tempat yang akan saya tuju.” Jawabannya sambil
melirik ke arah sungai di bawah jembatan. Gelandangan itu membuka dompetnya. Memegang uangnya sejenak.
Lalu berkata, “Oh tidak. Tidak jadi. Saya memang seorang pengemis, tetapi saya bukan seorang pengecut. Dan
saya tidak akan mengambil uang seorang pengecut. Bawa saja uangmu – ke dalam sungai itu.” Gelandangan itu
menghamburkan uang itu ke lantai. Lalu segera pergi. “Dag dag pengecut.”

Pria yang hendak bunuh diri itu terpana. Tiba-tiba dia sangat ingin bahwa gelandangan itu mau
menerima uang darinya. Dia ingin memberi, tetapi tidak bisa. Memberi! Dia tidak pernah mencoba hal ini
sebelumnya. Memberi dan menjadi bahagia.... Dia memandang sungai itu untuk terakhir kalinya... dan
berpaling darinya, lalu pergi mengejar gelandangan tadi.......

Buah pengampunan

Seorang gadis sudah di rawat beberapa bulan karena menderita anemia. Berhubung tidak ada kemajuan
yang menggembirakan, dokter yang merawatnya akhirnya mengirimnya ke sebuah sanatorium yang terletak
jauh di luar kota.

Hal pertama yang dijalani oleh pasien tersebut sesampai di tempat itu adalah pemeriksaan fisik yang
lengkap. Dokter pemeriksa menemukan bahwa kondisi darah terhitung masih normal. Maka dokter itu
melakukan pemeriksaan ulang dan memperoleh hasil yang tetap sama. Dokter itu menjadi amat heran.
Kemudian ia memanggil pasien itu dan menanyakan kepadanya, “Adakah sesuatu yang luar biasa terjadi dalam
hidup Anda sebelum Anda datang ke tempat ini?”

Pasien itu sejenak mengingat-ingat. “Benar, dokter,” jawabnya kemudian. “Sekonyong-konyong saya
dapat mengampuni seseorang yang telah membuat saya menderita suatu dendam yang membara sepanjang
hidup saya. Pada saat itu, saya merasa ada perubahan menyeluruh dalam diri saya.”

Maka sekarang dokter itu menemukan jawabannya. Ketika sikap batin gadis itu telah berubah, kondisi
darahnya pun dengan sendirinya ikut berubah dan normal kembali.

Kemarahan kita terhadap seseorang justru dapat menjadi suatu kebodohan, karena orang lain mungkin
tidak menyadari sama sekali kebencian kita itu. Jika Anda marah, satu-satunya orang yang paling di sakiti
adalah diri anda sendiri.
Hidup yang sia-sia

Pada suatu hari, seorang pastor paroki baru bermaksud melayani umatnya di sebuah kampung. Untuk
mencapai kampung itu, dia harus menelusuri sungai dengan naik perahu. Selama dalam perjalanan itu, dia
berbincang-bincang dengan tukang perahu.

“Pak, apakah Anda tahu tentang pengaruh matahari, bulan, dan bintang terhadap laut dan sungai?”
Bapak itu menggeleng, “Saya tidak tahu tentang hal itu. Yang saya tahu, Tuhan telah menciptakan semuanya itu
dan mengatur perputarannya.” Kata pastor itu, “Aduh Bapak, rupanya Anda telah menyia-nyiakan ¼ hidup
Anda.” Beberapa saat kemudian, pastor itu bertanya lagi. “Apakah yang Bapak ketahui tentang asal muasal
kampung-kampung dan sungai-sungai di daerah ini?” Jawab Bapak itu sambil tersenyum. Malu. “Saya juga
tidak tahu. Yang saya tahu, hampir tak seorang pun di daerah sepanjang sungai ini yang tidak kami kenal.”

Kata pastor itu. “Kalau begitu sebetulnya Bapak telah menyia-nyiakan setengah dari hidup Anda.”
Beberapa saat kemudian, pastor itu bertanya lagi. “Pak, Anda sudah cukup lama menjadi orang beragama,
bukan? (Bapak itu mengangguk) Apakah Bapak hapal dengan doa-doa yang diajarkan di gereja?” Bapak itu,
sambil tersenyum juga, mengeleng. “Pastor saya tidak pandai menghapal. Saya juga tidak pandai membaca.”
Pastor itu sangat terkejut. “Aduh, kasihan benar bapak saya yang satu ini. Bapak ternyata sudah menyia-nyiakan
¾ hidup Bapak.”

Tidak lama kemudian hujan turun dengan deras disertai angin yang cukup kencang. Perahu mulai
terombang-ambing. Pastor itu bukan saja basah kuyup kedinginan, tetapi juga ketakutan. Melihat itu, bapak
tukang perahu bertanya, “Apakah pastor bisa berenang,” Tidak bisa. Saya tidak pernah belajar berenang,”
jawab pastor itu. “Apa? Tidak bisa? Kalau begitu, pastor telah menyia-nyiakan seluruh hidup pastor.”

Surat wasiat

Seorang yang terkenal kikir telah mengumpulkan uang sekitar 15 miliar. Dia membayangkan masa
depan yang menyenangkan. Namun sebelum rencana itu terlaksana, malaikat maut muncul di hadapannya untuk
mencabut nyawanya. Dengan seribu macam alasan orang itu mohon agar diperkenankan hidup lebih lama lagi,
akan tetapi malaikat maut itu tetap menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, berilah saya waktu tiga hari untuk hidup dan saya akan memberimu separuh kekayaan
saya,” pinta orang itu. Malaikat tidak mau mendengarnya, malah mulai membentaknya. Namun orang kikir itu
belum kehilangan akal. “Beri saya waktu satu hari saja, dan engkau boleh mengambil segala sesuatu yang saya
kumpulkan dengan keringat dan jerih payah saya.” Malaikat tersenyum, tetapi tetap tidak mengubah pikirannya.

Orang itu hanya diberinya sebuah kelonggaran kecil, yaitu kesempatan untuk menulis sebuah catatan.
Apa boleh buat?! Maka orang itu menulis catatan sbb: “Hai engkau, siapa pun engkau yang kebetulan
menemukan catatan ini! Kalau engkau masih mempunyai cukup waktu untuk hidup, jangan menyia-nyiakan
waktu itu hanya untuk menumpuk kekayaan. Uang saya yang jumlahnya 15 miliar pun tidak dapat
memperpanjang hidup saya barang satu jam sekalipun.

Tertanda: orang paling malang yang pernah hidup di dunia.”

Akhir Duka Cita

Pada suatu hari, seorang dokter tua datang menemui seorang pastor. Dia datang untuk memohon
nasehat. Setelah hidup bertahun-tahun dalam suatu perkawinan yang bahagia, sang isteri meninggal dunia dan
kepergiannya itu membuatnya mengalami duka cita yang mendalam dan tak kunjung selesai.
“Pastor, mengapa harus isteri saya dulu yang meninggal dunia?” Setelah sejenak berpikir, pastor berkata,
“Apakah Anda dapat membayangkan, bagaimana seandainya Anda dulu yang meninggal?” pastor balik
bertanya. “Saya membayangkan isteri saya pasti menderita dan bisa putus asa.”

Pastor tersenyum. “Maka pahamilah demikian: Istri Anda telah terhindar dari penderitaan itu. Dan
sekarang Anda mau membayarnya dengan meratapinya. Tidakkah Anda merasa lebih baik jika Anda yang
menderita daripada istri Anda yang menderita?” Dokter itu mengangguk. “Terima kasih pastor.”

Bapak itu kembali ke rumahnya dengan hati yang lebih ringan dan damai. Untuk pertama kalinya ia
mampu melihat peristiwa kematian istrinya dari suatu sudut pandang yang baru.

Akibat Minum Anggur

Ketika nabi Nuh menanam anggur, setan melihatnya dan dengan rasa ingin tahu seperti biasanya, dia
mendekati Nuh dan bertanya, “Apa yang sedang kau tanam?” “Pohon anggur,” jawab Nuh. “Apa gunanya
pohon itu?” tanya setan lebih lanjut. “Ya buahnya,” jawab Nuh, “Enak di pandang dan lezat rasanya. Orang bisa
mendapatkan minuman keras darinya yang akan membahagiakan hatinya.”

Kemudian setan pergi sesaat. Ia mencari seekor domba dan membunuhnya. Setelah itu, ia menumpahkan
darah domba itu ke lubang tempat pohon anggur itu di tanam. Setan juga melakukan hal yang sama dengan
singa, monyet, dan babi. Itu sebabnya, pohon anggur itu kemudian tumbuh dengan subur.

Sejak saat itu, bila seseorang minum sedikit anggur, ia akan menjadi semanis dan menyenangkan seperti
seekor domba. Namun bila orang itu mulai menambah dosisnya, dia akan menjadi sekuat dan sekasar singa.
Jika ia terus menambah dosisnya, dia akan menjadi sebodoh monyet. Dan jika dia tidak berhenti minum,
kasihan dia, karena dia akan menjadi seperti babi.

You might also like