You are on page 1of 5

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Af’al Al-Ibad
Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang
dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa
tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia. Tuhan
bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini
timbul pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung
pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan?
B. Af’al Al-Ibad Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran theologi islam yang terbesar dan
tertua. Aliran ini Lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota
Basrah (Irak).1 Aliran mu’tazilah muncul setelah pendirinya Washil bin Atha’
berbeda pendapat dengan gurunya Hasan al-Basri dalam mempersoalkan masalah
dosa besar, karena menurutnya terdapat posisi fasiq antara mukmin dan kafir.
Selain ajaran di atas Washil juga berpaham Qadariah, yang menyatakan bahwa
manusia punya pilihan dan kebebasan dalam perbuatannya sekalipun kebebasan
perbuatan manusia itu ditentukan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Tuhan
bersifat adil dan bijaksana, sehingga tidak mungkin berlaku jahat terhadap
hambanya, juga tidak menginginkan hambanya menyalahi apa yang
diperintahkannya. Tuhan mewajibkan sesuatu kepada hambanya lalu
membalasnya dengan pahala, tidak mungkin Tuhan memerintahkan sesuatu kalau
manusia tidak mempunyai daya untuk melakukannya. Logika inilah yang
digunakan oleh Washil, sehingga menurutnya manusialah yang mewujudkan
perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Untuk itu
Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya,
1 Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), hlm. 64

1 | A FA L U L I B A D
selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh
manusia.2
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karena itu, Mu'tazilah menganut faham qadariyah atau free will.
menurut Al-Jubba'i dan Abd Al-jabbar, manusialah yang menciptakan perbuatan-
perbuatannya. Manusia yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan
seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-
istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum
adanya perbuatan.
Disamping argumentasi naqliah diatas, aliran mu’tazilah mengemukakan
argumntasi rasional berikut:
1. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia tidak
mempunyai perbuatan, batallah taklif syar’i.
2. Jika manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori
pahala dan hukuman.
3. Jika manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para
nabi tidak ada gunanya. 3

C. Af’al al-ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah.


Dalam paham Asy'ari manusia di tempatkan pada posisi yang lemah. Ia
di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karana
itu, aliran ini lebih dekat dengan paham jabariah yang berarti bahwa manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak dan tidak ada ikhtiar. Manusia tak
lain di ibaratkan seperti wayang yang melakoni apa yang diinginkan oleh
dalangnya. Manusia berada dalam lingkaran kekuasaan mutlak Tuhan, setiap
gerakan manusia digerakkan oleh Tuhan. Karena setiap perbuatan manusia harus
kembali kepada ketentuan Tuhan.
Bagi Asy’ary sebagai tokoh Asy’ariyah yang berpaham jabariyah
mengatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Seperti
dalam Firman Allah dalam QS. As-Shaffat: 96 berikut.
2 Muhammad Abu Zahrah.. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing
House,1996) hlm. 149-154
3 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,2012), hlm. 191-192

2 | A FA L U L I B A D
‫ ُووٱللكه ُوخلووقككمُۡ ُوووماَ ُوتعَۡومكلوُون‬
Artinya: “dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu
perbuat”. (QS. Ash-Shaffat: 96)
Jadi, disini jelas bahwa manusia hanya menuruti apa yang dikehendaki
oleh Tuhan, dan manusia tidak pernah menciptakan perbuatannya sendiri tanpa
kehendak dari Tuhan.
Seperti halnya mu’tazilah, golongan ini juga mengakui adanya daya.
Daya diciptakan untuk membedakan antara kekuatan ikhtiar manusia itu sendiri
dan kehendak Tuhan. Selanjutnya ditemukan juga istilah kasb atau perolehan yang
menyatakan bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan,
namun dilambangkan dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya
adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri yang
disebut muktasib. Konsep kasb ini sangat rumit, sehingga sulit untuk dipahami.
Di satu sisi manusia dipaksa untuk melaksanakan kewajiban melalui ikhtiarnya,
tetapi disisi lain manusia itu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
ikhtiarnya sendiri. Daya manusia adalah daya Tuhan, sehingga ketidakberdayaan
manusia menuntut kepasrahan dan tawakal. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa
perbuatan manusia ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Walaupun Tuhan
menciptakan daya, tetapi manusia berbuat bukan karena dayanya sendiri
melainkan daya Tuhan. Sedang menurut Baqillani, Tuhan tidak menciptakan
perbuatan manusia, tetapi Tuhan hanya menciptakan gerak yang selanjutnya
potensi tersebut dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kehendaknya. Begitu
juga al-Juwaini cenderung kepada adanya causalitas antara wujud perbuatan
dengan daya serta wujud daya dengan kehendak Tuhan 4
D. Af’al al-ibad Menurut Aliran Jabariyah
Paham ini pertama kali dikenalkan oleh Ja’d bin Dirham yang kemudian
disebarkan oleh Jahm Shafwan dari Khurasan. Dalam Aliran ini terdapat
perbedaan pandangan antara jabariyah ekstrem dan Jabariyah moderat dalam
masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrem berpendapat bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannnya,

4 . Ibid. hlm. 193-194

3 | A FA L U L I B A D
melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Bahkan, Jahm bin Shafwan,
salah seorang tokoh Jabariyah ekstrem mengatakan bahwa manusia tidak mampu
untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Sedangkan Jabariyah moderat mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbutan baik, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai bagian efek untuk mewujudkan
perbuatannya.5
E. Af’al al-ibad Menurut Aliran Qadariyah.
Aliran Qadariyah berasal dari bahasa arab qadara, yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Sedangkan menurut terminologi, Qadariyah adalah
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan
Tuhan.
Aliran Qadariyah mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia
dilakukan atas dasar kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan
untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir
Tuhan.6
F. Af’al al-ibad Menurut Aliran Maturidiah
Sebagaimana maslah perbuatan Tuhan, terdapat perbedaan antara
Maturidiah Samarkand dengan Matiridiah Bukhara. Jika yang pertama lebih dekat
dengan paham Mu’tazilah, ynag kedua lebih dekat dengan paham asy’ariah
Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat diciptakan
tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan bersangkutan.
Maturidiah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiah
Samarkand. Hanya, golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya.
Menurutnya, untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak
mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhan yang dapat mencipta
dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
baginya.7

5 Ibid. hlm. 188


6 Ibid. hlm. 189
7 Ibid. hlm. 194

4 | A FA L U L I B A D
G. Af’al al-ibad Menurut Aliran Salaf.
Ibn Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf kelihatannya berpendapat
bahwa perbuatan manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri karena ia
memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan
yang menciptakan potensi itu. Jadi, Tuhan adalah causa prima. Berkenaan dengan
hal ini Ibn Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala
sesuatu dengan berbagai sebab yang diciptakan-Nya. Allah menciptakan hamba
dan menciptakan pula potensi yng menjadi sebab perbuatannya. Hamba adalah
pelaku perbuatannya sendiri yang sebenarnya. Jadi, pendapat golongan
Ahlusunnah tentang penciptaan perbuatan berdasarkan kehendak dan kekuasaan
Allah adalah sama dengan pendapat mereka tentang penciptaan segala yang baru
dengan sebab-sebabnya. 8

8 Syihab. Akidah Ahlus Sunnah. (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2004) hlm. 56-60

5 | A FA L U L I B A D

You might also like