You are on page 1of 32

TUGAS INDIVIDU TEORI SOSIOLOGI KLASIK II

Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosiologi Klasik II


Dosen Pengampu: Dr. Vina Slaviana DS.,M.Si

Disusun oleh:
Muhammad Nur Arifin
201210310311040

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
EKONOMI ISLAM DAN KAPITALISME
(Merunut Benih Kapitalisme dalam Ekonomi Islam)

A discussion of the modern economic system, usually refers to two major systems, namely
capitalism based on the capital markets (capital) and guided socialism which tried to solve problems of
production, consumption and distribution through the chain of command. In addition to these two major
systems, also known as the Islamic economic system, which refers to the economic practice of the Prophet
Muhammad, peace be upon him. Islamic economic system is an alternative to the fundamental problems of
the two major systems that already exist. However, when referring to the conditions of the birth of Islam in
the midst of Arab society steeped in culture trade, alleged the influence of the capitalist culture of the
economic system of Islam, so Islam is perceived closer to capitalism than socialism. Through the study of
literary conclusion that Islam and capitalists are the two things affect each other. Sociologically, Islam is
present in a capitalist society that both have an attachment. Capitalism, especially trade capitalism existed
before Islam came. Before the birth of Islam, Mecca has become the center of international trade and
finance. The Prophet Muhammad himself was a merchant before it became a prophet. Thus, capitalism is
an ideology or a system that comes from the outside and into the schools of economic thought incoming
and economic influence of Islam, although Islam also influence and correct the economic life or Capitalism
applicable. Therefore Islam and capitalism are two forces that interact and influence.

Keywords: Economic System, Capitalist, Sosisalis, Islam Pendahuluan

Dalam sejarah peradaban manusia, ada beberapa bentuk sistem ekonomi yang pernah
ditemukan sebagai solusi atas persoalan ekonomi umat manusia. Bentuk paling primitif adalah
despotisme, dimana ekonomi diatur oleh sebuah otoritas tunggal, baik seorang atau sekelompok
orang yang menjadi pemimpin. Sistem despotik bukannya tidak berhasil. Peradaban- peradaban
besar di masa lalu dibangun di atas sistem ini. Problem dengan despostisme adalah ia tidak
berkelanjutan. Sistem ini tidak mampu mengatasi problem yang makin kompleks yang dihadapi
umat manusia. Karena itu, sistem ini kemudian punah. Sistem ini setidaknya hanya eksis di tingkat
masyarakat yang terbatas.

Ketika berbicara soal sistem ekonomi modern, kita biasanya merujuk pada dua sistem besar:
kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Kapitalisme adalah sistem yang didasarkan atas
pertukaran yang sukarela (voluntary exchanges) di dalam pasar yang bebas. Sebaliknya, sosialisme
mencoba mengatasi problem produksi, konsumsi dan distribusi melalui perencanaan atau
komando. Hal yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa ada dua sistem besar dalam ekonomi
modern tidak berarti adanya dikotomi atau bipolarisasi.

Saat ini tidak ada yang bisa membantah kedigdayaan rezim kapitalisme mendominasi
peradaban dunia global. Berakhirnya Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme
Uni Soviet beserta negara-negara satelitnya sering diinterpretasikan sebagai kemenangan
kapitalisme. Hampir dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadir
menggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan terhadap kapitalisme justru bermuara kepada
terkooptasinya kritik-kritik tersebut untuk lebih mengukuhkan kapitalisme.

Islam, sebagai sebuah agama langit yang komplit, mengatur segala sendi kehidupan umat
manusia, termasuk ekonomi. Ekonomi Islam, sebenarnya telah lahir sejak Muhammad saw
memulai kariernya sebagai pedagang. Meskipun institusi Islam saat itu belum muncul, namun
Muhammad sudah mempraktikkan sistem perdagangan yang di kemudian hari diakomodir dalam
Islam. Tentu ekonomi Islam memiliki ciri khas yang membedakannya dengan yang lain, termasuk
dengan kapitalisme maupun sosialisme.

Hubungannya dengan kapitalisme, ada beberapa pertanyaan yang menggelitik. Pertama,


apakah ekonomi Islam mengakomodasi sistem ekonomi kapitalis dalam penerapannya? Kedua,
adakah keterkaitan antara ekonomi Islam dengan kapitalisme yang akhirnya menjadi penghubung
antar keduanya untuk sama-sama menjadi sistem alternatif yang mendunia? Artikel berikut
mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut.

Pengertian Kapitalisme

Kapitalisme berasal dari asal kata capital yaitu berarti modal, yang diartikan sebagai alat
produksi semisal tanah dan uang. Sedangkan kata isme berarti paham atau ajaran. Kapitalisme
merupakan sistem ekonomi politik yang cenderung ke arah pengumpulan kekayaan secara individu
tanpa gangguan kerajaan. Dengan kata lain kapitalisme adalah suatu paham ataupun ajaran
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan modal atau uang.

Dalam dunia ekonomi peran modal sangatlah besar, bahkan pemilik modal bisa menguasai
pasar serta menentukan harga dalam rangka mengeruk keuntungan yang besar. Industrialisasi bisa
berjalan dengan baik kalau melalui kapitalisme. Fernand Braudel pernah menyatakan bahwa
“kaum kapitalis merupakan spekulator dan pemegang monopoli yang berada dalam posisi untuk
memperoleh keuntungan besar tanpa menanggung banyak risiko”

Menurut Ayn Rand, kapitalisme adalah a social system based on the recognition of
individual rights, including property rights, in which all property is privately owned (suatu sistem
sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua
pemilikan adalah milik privat).

Kapitalisme, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Karl Marx (lahir dari keluarga
progresif Yahudi. Ayahnya bernama Herschel keturunan para Rabi sekitar abad 19 yang sering
dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus), adalah
suatu sistem produksi yang didasarkan pada hubungan antara kapital dengan tenaga kerja. Pemilik
modal (kapital) memiliki hak penuh terhadap apa yang dimiliki. Maka dalam kapitalisme ada
individual ownership, market economy, competition, and profit.

Senada dengan itu, kapitalis ialah hubungan-hubungan di antara para pemilik pribadi atas
alat-alat produksi yang bersifat non-pribadi (tanah, tambang, instalasi industri dan sebagainya,
yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital) dengan para pekerja yang biar pun bebas
namun tak punya modal, yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada para majikan.

Pengertian lain menyebutkan, kapitalisme, sesuai asal katanya kapital yang berarti modal,
ialah sistem perekonomian yang menganggap modal sebagai penggerak perekonomian.
Kapitalisme mengakui kekuasaan kaum pemodal (kapitalis) sebagai motor perekonomian yang
menanamkan modalnya dengan mengambil resiko kerugian atas usahanya. Pasar yang
dikehendaki sebagai alokator interaksi supply dan demand yang sempurna dan efisien adalah
mekanisme pasar bebas. Maksudnya, biarkan saja perekonomian berjalan dengan wajar tanpa
campur tangan pemerintah, sebab nanti akan ada tangan- tangan tak terlihat (invisible hands) yang
akan membawa perekonomian tersebut ke arah keseimbangan. Dalam hal ini, kapitalisme adalah
sebuah sistem di mana negara memberikan kebebasan bagi warganya untuk mengelola semua
sumber daya dan kekayaan yang dimilikinya, namun tetap tidak boleh terjadi praktik monopoli di
pasar. Sebab, pandangan semua ekonom sadar, termasuk para pemikir kapitalis, bahwa monopoli
adalah penyakit yang akan merusak dan menghancurkan sebuah sistem perekonomian. Maka tidak
heran, Adam Smith, pelopor sistem ini, menganjurkan peran negara seminimal mungkin dan
mengusahakan seluas-luasnya kebebasan bagi para pelaku ekonomi yang mengandalkan self-
interest-nya. Inilah konsep laissez faire-laissez passer ala kaum fisiokrat yang berawal dari
pendapat Francis Quesnay.
Adalah sebuah keniscayaan, seandainya fenomena ketimpangan pendapatan memang
terjadi dalam sistem kapitalisme karena persaingan yang terjadi dalam masalah alokasi sumber
daya. Kemiskinan sebagai konsekuensi dari ketimpangan pendapatan, merupakan gejala alamiah
(sunnatullāh) yang tidak hanya terjadi dalam sistem kapitalisme, tetapi lebih disebabkan rendahnya
faktor produktivitas dan kemajuan masyarakat. Inilah yang dilawan oleh kapitalisme melalui
konsep spesialisasi pekerjaan (division of labour).

Sejarah Kapitalisme

Kapitalisme muncul di Eropa pada abad ke-16. Secara sosiologis paham kapitalisme
berawal dari perjuangan terhadap kaum feodal. Kapitalisme di Eropa muncul dari pemikiran kaum
ilmiah yang pada awalnya berfikir untuk mensejahterakan kaum buruh. Max Weber dalam
karyanya The Protestan Ethic of Spirit Capitalism, mengungkapkan bahwa kemunculan
kapitalisme erat sekali dengan semangat religius terutama kaum protestan. Pendapat Weber ini
didukung Marthin Luther King yang mengatakan bahwa lewat perbuatan dan karya yang lebih
baik manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh lain yang mendukung adalah
Benjamin Franklin dengan mottonya yang sangat terkenal yaitu “Time Is Money”, bahwa manusia
hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.

Menurut Dudley Dillard, Sejarah kapitalisme melewati tiga fase, yaitu kapitalisme awal,
kapitalisme klasik, dan kapitalisme lanjut.

Kapitalisme Awal (1500-1750)

Kapitalisme awal dimulai dengan lahirnya institusi pasar (market) pada abad ke-16 dan
dilanjutkan dengan perkembangan perdagangan jarak jauh antar pusat-pusat kapitalisme dunia.
Pada akhir abad pertengahan (abad 16 sampai 18), Industri di Inggris sedang terkonsentrasi pada
industri sandang. Industri sandang di Inggris menjadi industri sandang terbesar di Eropa. Meskipun
banyak masalah yang di hadapi akan tetapi industri sandang di Inggris menjadi industri yang
sangat pesat. Industri sandang inilah yang menjadi pelopor lahirnya kapitalisme di Eropa sebagai
suatu sistem sosial dan ekonomi. Kemudian industri ini berlanjut pada usaha perkapalan,
pergudangan, bahan- bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi bentuk kekayaan yang lain.
Dan kemudian berubah menjadi perluasan kapasitas produksi.

Dari beberapa kejadian dan juga faktor lingkungan historis mempengaruhi pembentukan
modal di Eropa Barat pada awal terbentuknya kapitalisme antara lain: 1) dukungan agama bagi
kerja keras dan sikap hemat; 2) pengaruh logam-logam mulia dari dunia baru terhadap
perkembangan relatif pendapatan atas upah, laba, dan sewa; 3) peranan negara dalam membantu
dan secara langsung melakukan pembentukan modal dalam bentuk benda-benda modal aneka guna.

Etika ekonomi yang diajarkan katolisme abad pertengahan menciptakan banyak hambatan
bagi perkembangan kapitalis dan ideologi kapitalis. Di perkotaan, para pedagang kapitalis menjual
barang-barang produksi mereka selama mereka melakukan satu perjalanan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Awalnya mereka menjual barang pada teman sesama pedagang seperjalanan, lalu
berkembang menjadi perdagangan umum. Sementara di wilayah pedesaan saat itu masih
cenderung feodalistik.

Dalam hal ini Russel mengemukakan adanya tiga faktor yang menghambat kapitalisme di
pedesaan dan berbagai wilayah lain. Kendala itu adalah :

1. Tanah yang ada hanya digunakan untuk bercocok tanam, sehingga hasil produksinya
sangat terbatas. Russel mengusulkan untuk mengubah tanah menjadi sesuatu yang lebih
menguntungkan (profitable). Atau dengan pengertian lain tanah bisa diperjual belikan
seperti barang lainnya. 

2. Para petani atau buruh tani yang masih terikat pada sistem ekonomi subsistensi. Komentar
Russel untuk hal ini adalah mereka siap untuk dipekerjakan dengan upah tertentu. 

3. Hasil produksi yang diperoleh petani saat itu hanya sekedar digunakan untuk mencukupi
kebutuhan pribadi. Menurut Russel, produksi hasil petani harus ditawarkan ke pasar dan
siap dikonsumsi oleh publik. 
 Evolusi harga di dunia baru membawa dampak mendalam
pada 


kapitalisme Eropa, pada kelas-kelas ekonomis dan distribusi pendapatan di Mexico, Peru dan
Bolivia. Tingginya harga dan rendahnya upah mengakibatkan inflasi keuntungan, yang pada
akhirnya menyumbang pada membesarnya akumulasi modal.

Kapitalisme Klasik (1750 – 1914)

Fase di mana kapitalisme mulai masuk dan merupakan pergeseran dari perdagangan publik
ke bidang industri. Fase ini ditandai dengan adanya Revolusi Industri di Inggris. Di Inggris mulai
banyak diciptakan mesin-mesin besar yang sangat berguna untuk menunjang industri. Revolusi
Industri dapat didefinisikan sebagai periode peralihan dari dominasi modal perdagangan atas
modal industri ke dominasi modal industri atas modal perdagangan.

Kapitalisme mulai menjadi penggerak kuat bagi perubahan teknologi karena akumulasi
modal memungkinkan penggunaan penemuan baru yang tak mungkin dilakukan oleh masyarakat
miskin. Di fase inilah mulai dikenal tokoh yang disebut “bapak kapitalisme” yaitu Adam Smith.
Adam Smith bersama dengan bukunya yang sangat tekenal yaitu The Wealth Of Nations (1776).
Buku ini mencerminkan ideologi kapitalisme klasik. Salah satu poin ajarannya “laissez faire”
dengan invisible hand-nya (mekanisme pasar). Kebijaksanaan laissez faire mencakup pula
perdagangan bebas, keuangan yang kuat, anggaran belanja seimbang, bantuan kemiskinan
minimum. Tak ada satu konsepsi baru pun tentang masyarakat yang dapat menandingi peradaban
kapitalisme.

Kapitalisme Lanjut (1914 – Sekarang)

Peristiwa besar yang menandai fase ini adalah terjadinya Perang Dunia I. Kapitalisme
lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama,
pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa
di Asia dan Afrika sebagai akses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan
kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga, revolusi Bolshevik Rusia yang berhasrat
meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan secara individu atas
penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan agama.
Dari sana muncul ideologi tandingan yaitu komunisme.

Ada tiga hal yang menjadi pola sifat dan watak dasar kapitalisme. Tiga hal tersebut yang
melandasi adanya penindasan yang terjadi dari sejak munculnya kapitalisme sampai praktek
kapitalisme yang terjadi detik ini. Tiga hal tersebut adalah:

1. Eksploitasi
Ini berarti pengerukan secara besar-besaran dan habis-habisan terhadap sumber daya alam
maupun sumber daya manusia, seperti yang terjadi pada jaman penjajahan, bahkan sampai
sekarang meskipun dalam bentuk yang tidak sama. Kaum kapitalis akan terus melakukan
perampokan besar- besaran terhadap kekayaan alam kita dan terus mengeksploitasi para
buruh demi kepentingan dan keuntungan pribadi.
2. Akumulasi 

Secara harfiah akumulasi berarti penumpukan. Sifat inilah yang mendasari kenapa kapitalis
tidak pernah puas dengan dengan apa yang telah diraih. Misalnya, kalau pertama modal
yang dipunyai adalah Rp. 1 juta maka si kapitalis akan berusaha agar bisa melipatgandakan
kekayaannya menjadi Rp. 2 juta dan seterusnya. Sehingga kaum kapitalis selalu
menggunakan segala cara agar kekayaan mereka berkembang dan bertambah. 

3. Ekspansi 

Ini berarti pelebaran sayap atau perluasan wilayah pasar, seperti yang pada kapitalisme fase
awal. Yaitu dari perdagangan sandang diperluas pada usaha perkapalan, pergudangan,
barang-barang mentah dan selanjutnya barang-barang jadi. Dan yang terjadi sekarang
adalah kaum kolonialis melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia melalui modal dan
pendirian pabrik–pabrik besar yang nota-bene adalah pabrik lisensi, yang semakin
dimuluskan dengan jalan globalisasi. 
 Kapitalisme yang lahir dari pemikiran masyarakat
feodal kini telah 


menjadi senjata ampuh negara maju untuk memajukan perekonomian mereka. Sementara itu
kapitalisme juga telah membunuh perekonomian negara berkembang atau negara-negara miskin.
Konsep kapitalisme yang sudah mendunia memang tidak bisa dihindari oleh negara-negara maju
dan negara- negara dunia ketiga. Tanpa disadari kapitalisme telah menjadi sebuah ancaman besar
bagi masyarakat negara-negara berkembang. Kapitalisme telah menjadi neo-Imperialisme yaitu
penjajahan dengan konsep baru yang lebih modern.

Kapitalisme dan Liberalisme

Di antara fondasi ilmu ekonomi adalah perlindungan hak milik pribadi (property right)
yang merupakan juga fondasi atas prinsip kebebasan (liberty) yang dikemukakan oleh John Locke.
Ia mengklaim bahwa civil society dibentuk untuk perlindungan atas hak milik pribadi. Prinsip
kebebasan tersebut melahirkan

juga doktrin kebebasan berusaha (free enterprise), kebebasan bekerja yang melahirkan pekerja
bebas (free labour). Secara keseluruhan prinsip-prinsip itu membentuk doktrin ekonomi pasar
bebas (free market economy). Sementara itu kebebasan berusaha tidak akan terjadi jika tidak ada
insentif berupa kebebasan mengakumulasi kekayaan atau modal.
Semua
 dalam aliran pemikiran ekonomi liberal. Dengan demikian maka kapitalisme
adalah perwujudan dari prinsip-prinsip liberalisme ekonomi atau ekonomi liberal. Prinsip-prinsip
liberalisme itu ternyata memang membuktikan diri mampu mendorong perkembangan ekonomi
dan sistem Kapitalisme.

Liberalisme muncul dari akibat meledaknya revolusi industri di Eropa yaitu perubahan
sistem feodal menjadi liberal. Liberalisme di Eropa mengubah seluruh aspek kehidupan
masyarakat pada zaman itu. Liberalisme mulai masuk pada sendi-sendi kehidupan masyarakat
Eropa seperti politik, ekonomi dan sosial budaya.

Kaum kapitalis memandang kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu untuk
menciptakan keserasian antara dirinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu adalah suatu kekuatan
pendorong bagi produksi karena ia benar- benar menjadi hak manusia yang menggambarkan
kehormatan kemanusiaan.

Dalam perkembangannya kapitalisme menjadi sangat berpengaruh kepada seluruh aspek


global kemasyarakatan. Sistem kapitalisme membentuk sistem sekulerisme, yang menghalangi
agama terlibat dalam kebijakan ekonomi. Kapitalisme juga mengenal liberalisasi perdagangan
dalam bentuk pasar bebas. Perdagangan bebas yang dilakukan berdasarkan sistem kapitalisme
merupakan bentuk baru dari kapitalisme global. Selain itu pengaruh dari kapitalisme global adalah
munculnya liberalisme di bidang perekonomian.

Pendapat Adam Smith yang paling penting ialah tentang ketergantungan peningkatan
perekonomian, kemajuan, dan kemakmuran kepada kebebasan ekonomi yang tercermin pada
kebebasan individu yang secara bebas memilih pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya
sehingga dapat mewujudkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya. Kebebasan
berdagang di mana produktivitas peredaran produksi dan distribusinya berlangsung dalam iklim
persaingan bebas.

Prinsip Dasar Kapitalisme

Bapak kapitalisme, Adam Smith mengemukakan 5 teori dasar dari kapitalisme:

1. Pengakuan hak milik pribadi tanpa batas–batas tertentu. 



2. Pengakuan hak pribadi untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status
sosial ekonomi. 

3. Pengakuan adanya motivasi ekonomi dalam bentuk semangat meraih 
 keuntungan
semaksimal mungkin. 

4. Kebebasan melakukan kompetisi. 

5. Mengakui hukum ekonomi pasar bebas/mekanisme pasar. 


Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand

Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a)
kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Menurut Rand,
kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami
tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada
gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi
kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan
untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep
dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural
mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan the invisible hand dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand
sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional.
Smith pernah berkata: ...free marker forces is allowed to balance equitably the distribution of
wealth.

Akumulasi Kapital

Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian hakiki dari kapital. Apa yang
dimaksud dengan kapital sehingga dapat menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup sekarang
adalah kapitalisme? Heilbroner menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal
yang material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa barang-barang
produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material dan kerja, maka kapital akan sama
tuanya dengan peradaban.

Menurut Heilbroner, kapital adalah faktor yang menggerakkan suatu proses transformasi
berlanjut atas kapital-sebagai-uang menjadi kapital- sebagai-komoditi, diikuti oleh suatu
transformasi dari kapital-sebagai-komoditi menjadi kapital-sebagai uang yang bertambah. Inilah
rumusan M-C-M yang diperkenalkan Marx.
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang
dan jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu
merupakan suatu rintangan yang harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali.
Bahkan kalau hal itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap
sebagai produk akhir dari pencarian tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam lingkaran yang tak
berakhir.

Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu
proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap- tahap dalam eksistensi dinamiknya
yang berkelanjutan. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang
mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-
benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.

Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang diskemakan Marx atas metamorfosis


yang berulang dan meluas yang dijalani kapital merupakan penemuan Marx terhadap esensi
kapitalisme, yaitu akumulasi modal. Dalam pertukaran M-C-M tersebut uang bukan lagi alat tukar,
tetapi sebagai komoditas itu sendiri dan menjadi tujuan pertukaran.

Dorongan Untuk Mengakumulasi Kapital (Heilbroner)

Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti yang diuraikan di muka, ditelaah
lebih dalam lagi oleh Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan sosiologis.
Menurut Heilbroner, gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan
itu, yaitu dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama, ketergantungan sosial kaum
yang tak berpunya kepada pemilik kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak memiliki
pengaruh apa-apa. Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.

Heilbroner melontarkan pertanyaan: Apakah alasan pembenaran dari proses tanpa henti ini?
Ia menyebutkan bahwa dorongan ini digerakkan oleh keinginan untuk prestise dan kemenonjolan
(realisasi diri). Dalam bahasa Abraham Maslow, dorongan mengakumulasi kekayaan yang tidak
puas-puas ini merupakan manifestasi aktualisasi diri. Namun, Heilbroner mengingatkan bahwa
kebutuhan afektif ini hanyalah suatu kondisi yang perlu (necessary condition) namun belum
menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan mengejar kekayaan. Lalu Heilbroner
menemukan bahwa kekayaan memberikan pemiliknya kemampuan untuk mengarahkan dan
memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah kekuasaan. Kekayaan adalah suatu
kategori sosial yang tidak terpisahkan dari kekuasaan.

Dengan demikian, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner, adalah dorongan tiada henti
dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia
untuk merealisasi diri, mendominasi, berkuasa. Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia,
maka kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya
mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegemoni peradaban global.

Benih Kapitalisme dalam Ekonomi Islam

Luthfi Assyaukanie, pada kesempatan diskusi tentang “Islam dan Kapitalisme” yang
diselenggarakan dalam rangka hari lahir Jaringan Islam Liberal ke-8, 23 dan 25 Maret 2009,
mencoba mengurai perdebatan seputar hubungan antara Islam dan kapitalisme. Ia berupaya
memberi bingkai kontekstual terhadap isu Islam dan kapitalisme. Menurut Luthfi, tema Islam dan
kapitalisme sesungguhnya adalah rangkaian dari tema-tema umum yang mencoba mencari
kompatibilitas antara Islam dan ideologi-ideologi lain seperti sosialisme, demokrasi, dan hak asasi
manusia. Tentu saja ada banyak tantangan dari dunia Islam untuk menerima konsep-konsep yang
lahir di Barat tersebut. Itulah sebabnya, tidak sedikit orang, baik Islam maupun pengamat luar,
yang menganggap bahwa Islam adalah sebuah masyarakat yang unik yang susah menerima
konsep-konsep modern yang lahir dari Barat. Namun begitu, masih lebih banyak yang
menganggap bahwa konsep-konsep yang sekarang berkembang di dunia modern adalah universal
dan bukan merupakan produk unik dari budaya tertentu. Islam juga memiliki kompatibilitas
dengan segala konsep yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia, darimana pun
asalnya.

Menurut Luthfi, sikap antagonistik masyarakat Muslim terhadap kapitalisme disebabkan


oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman pahit masyarakat Muslim berhadapan dengan
kolonialisme selama beberapa abad menjadikan masyarakat Muslim menolak apa saja yang datang
dari negara- negara kolonial, terutama kapitalisme. Kolonialisme dianggap sebagai bentuk
implementasi sistem ekonomi kapitalistik. Kedua, sikap materialistik yang ada dalam sistem
kapitalisme dinilai berbahaya bagi iman Islam yang menekankan kehidupan setelah mati. Ketiga,
kapitalisme dianggap melegalkan dan mendorong budaya hedonistik, sesuatu yang tidak patut dan
tercela dalam kehidupan masyarakat Islam. Keempat, kapitalisme dianggap sebagai biang keladi
kesenjangan dan kemunduran ekonomi masyarakat Muslim saat ini. Lebih dari itu, kapitalisme
dianggap tidak memiliki kepekaan sosial. Luthfi menilai kesimpulan-kesimpulan ini terlalu
sederhana dan cenderung menyesatkan.

Pengalaman kolonialisme tampaknya menjadi faktor utama sikap antagonistik ini. Luthfi
mencontohkan bagaimana Tjokroaminoto menyebut ada dua macam kapitalisme: “kapitalisme
baik” dan “kapitalisme buruk” (sinful capitalism). Kapitalisme yang baik adalah kapitalisme yang
dijalankan oleh para pedagang dan pengusaha pribumi, terutama kaum Muslim. Sementara
kapitalisme buruk adalah kapitalisme yang dijalankan oleh pengusaha- pengusaha Belanda dan
antek-anteknya (terutama keturunan Cina). Sikap-sikap semacam ini tampak dominan di kalangan
aktivis dan pemimpin bangsa Indonesia di awal-awal kebangkitan nasional dan kemerdekaan.
Tidak heran kemudian jika yang muncul saat itu adalah sikap pro-sosialisme dan anti- kapitalisme.

Senada dengan Luthfi, M. Dawam Rahardjo menilai bahwa memang ada kecenderungan
masyarakat Muslim menolak sistem kapitalisme. Hampir semua wacana yang berkembang di
dunia Islam awal abad ke-20 menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tidak kompatibel bahkan
anti-tesa terhadap kapitalisme. Islam didefinisikan justru dekat dengan sosialisme. Muhammad
Iqbal, filsuf Islam asal Pakistan, bahkan menyebut Islam adalah varian dari sosialisme itu sendiri:
“Islam is Bolshevism Plus God.” HOS Tjokroaminoto menulis buku yang diberi judul “Sosialisme
Islam.” Mohammad Hatta dan M. Rasyidi menulis artikel di majalah Panji Masyarakat dengan
judul “Islam dan Sosialisme.” Tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara, mengeluarkan istilah
“sosialisme religius.”

Islam Lahir pada Masyarakat Kapitalis

Kedekatan Islam dan sosialisme yang dianut oleh banyak pengamat dibantah secara serius
oleh Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, yang menyatakan bahwa sesungguhnya dunia
Islam justru sangat dekat dengan kapitalisme. Rodinson meminjam kerangka teori sosiologi Max
Weber yang menemukan bahwa sangat mungkin aspek-aspek kesadaran religius Protestantisme
berpengaruh terhadap perkembangan dan kemunculan kapitalisme. Kendati pada tahap selanjutnya
kapitalisme menjadi sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama itu sendiri.

Menurut Rodinson, kapitalisme harus dibedakan dalam dua kategori: kapitalisme sebagai
institusi dan kapitalisme sebagai mentalitas. Dari kedua kategori ini, kapitalisme muncul dalam
tiga bentuk: kapitalisme komersial, kapitalisme finansial, dan kapitalisme industrial. Masyarakat
Muslim, menurut Rodinson, datang pada konteks masyarakat Arab yang mempraktikkan
kapitalisme komersial. Tidak heran kemudian jika bahasa perdagangan akan sangat mudah ditemui
dalam al-Qur’an, misalnya “Hal adullukum ‘alā tijārah” (Maukah engkau kuberi tahu tentang
perdagangan?) (QS. al-Shaff [61]:10).

Dalam sejarah Islam awal, Kapitalisme Awal, yang disebut juga sebagai Kapitalisme
Komersial, sudah hadir di Mekah. Elite Mekah adalah sebuah kelas pedagang yang memerintah
dalam sistem plutokrasi. Dalam pembahasan Rodinson, suku Quraisy adalah suku yang memiliki
privilege dan atas dasar itu mereka mengakses kekuasaan Di Mekah, Islam lahir dalam konteks
masyarakat kapitalis komersial semacam itu. Dalam Kapitalisme Komersial semacam itu terjadi
juga transaksi-transaksi finansial yang berpusat di Mekah yang berbasis riba. Namun Islam datang
mengoreksi sistem riba dengan sistem zakat yang berdimensi sosial.

Karena itu, Islam sulit dipisahkan dengan sistem kapitalisme. Meski Islam melahirkan
koreksi-koreksi etis tertentu, norma-norma Islam sebagai agama sejalan dan tidak menghambat
perkembangan ekonomi. Dengan terbentuknya negara kekhalifahan, negara ikut serta
mengintervensi ekonomi, misalnya dengan penarikan zakat dan pajak, pembentukan griya arta
(bait al- māl) untuk kepentingan sosial serta menyediakan dana untuk melancarkan perdagangan.

Ini tentu berbeda dengan sikap gereja Katolik di Abad Pertengahan Eropa yang menilai
perdagangan sebagai pekerjaan yang tidak patut dilakukan oleh kaum Kristiani. Pedagang
disamakan atau disejajarkan dengan pencuri. Sebagaimana dipercaya dalam mitologi Yunani Kuno,
dewa kaum pedagang yang bernama Hermes, juga dewa kaum pencuri. Ajaran gereja memusuhi
usaha-usaha mencari kekayaan material karena dianggap sebagai pemujaan terhadap Dewa
Mammon.

Ajaran-ajaran seperti itu tidak ada pada Dunia Islam Abad Pertengahan. Bahkan pada awal
perkembangannya, Islam dipeluk oleh anak-anak muda kelas pedagang. Nabi sendiri dan istrinya
adalah pedagang. Sahabat-sahabat Nabi paling awal, kemudian menjadi pedagang kaya. Menantu
Nabi, Usman bin Affan, adalah seorang pedagang yang kaya raya dan mendermakan kekayaannya
untuk perkembangan Islam. Itulah penjelasan dari pandangan Rodinson bahwa ajaran Islam tidak
memusuhi dan merusak Kapitalisme Komersial. Bahkan Islam menyuntikkan etos ekonomi pada
masyarakat Madinah.

Dawam menilai bahwa meski Islam lahir dalam konteks kapitalisme, tetapi hubungannya
bukan hubungan statis. Di samping menerima konsep kapitalisme, Islam juga memberi kritik dan
masukan. Islam memperkenalkan dua modal ekonomi, yaitu finansial dan manusia: “Wajāhidū bi
amwālikum wa anfusikum fī sabīlillāhi” (Berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu) (QS.
al-Taubah [9]:41). Menurut Dawam, hal ini sejalan dengan kapitalisme, sebagaimana yang
diterangkan dalam teori pertumbuhan Harold-Domar, bahwa ada dua modal dalam ekonomi:
modal finansial atau fisik dan modal tenaga kerja manusia.

Islam, dalam kacamata Rodinson, berkembang dari masyarakat kapitalisme tradisional.


Sejarah kemudian mencatat bahwa Islam tersebar ke pelbagai pelosok dunia juga dengan
menggunakan kendaraan kapitalisme dan perdagangan. Itulah sebabnya penyebaran Islam lebih
lambat 300 tahun dari perluasan kekuasaan politik raja-raja Islam. Ini pula yang dijadikan sebagai
argumen untuk membantah tesis yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan
darah.

Sejak awal, kapitalisme dan Islam sudah berada pada jalur yang sama. Dawam menegaskan
bahwa apa yang disebut sebagai etika ekonomi Islam sesungguhnya berjalan sejajar dengan norma
ekonomi kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan,
keuangan, industri, dan pelbagai inovasi teknologi yang berkembang pesat pada masa-masa
kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi
Islam. Rodinson bahkan menyebut kota-kota semacam Granada, Cordoba, Baghdad, Damaskus
dan kota-kota besar Islam lainnya adalah sama dengan Paris, London, atau Washington pada
masanya. Mereka adalah kota-kota metropolitan dan pusat-pusat kapitalisme dunia.

Namun begitu, Dawam membatasi kompatibilitas Islam dan kapitalisme hanya pada
kapitalisme tradisional atau kapitalisme komersial. Sementara kapitalisme dalam bentuk yang
lebih mutakhir seperti kapitalisme negara (state capitalism), kapitalisme finansial, maupun
kapitalisme monopoli memerlukan penjelasan yang lebih hati-hati. Bicara mengenai
kompatibilitas Islam dan kapitalisme sesungguhnya memiliki persoalan serius, sebab keduanya
memiliki varian yang sangat kaya. Islam dan kapitalisme mana yang kita maksud?

Bagi Dawam, kapitalisme dalam beragam bentuk adalah sebuah kemestian. Tidak ada
negara dan masyarakat yang benar-benar bisa lepas dari sistem ini, mulai dari tahap tradisional
(komersial), politik, maupun rasional (meminjam kategori Max Weber). Apa yang runtuh di Uni
Soviet dan Cina sekarang ini bukanlah sistem ekonomi sosialisme, melainkan kapitalisme negara
(state capitalism). Sosialisme sesungguhnya tidak pernah runtuh, karena munculpun belum. Pada
akhirnya, kapitalisme menjadi semacam sunnatullah dengan berbagai varian dan
perkembangannya.
Etos Dagang Kaum Santri

Di langgar Kidul, Kauman, Yogyakarta, 100 tahun silam, KH. Ahmad Dahlan bersila
takzim. Belasan santri duduk melingkar menghadap sang kiai. Malam itu, seperti juga pada
pengajian sebelumnya. Kiai Dahlan lagi-lagi mengajarkan surah al-Ma’un, yang antara lain berisi
perintah menyantuni yatim piatu dan fakir miskin. Merasa bosan dengan pelajaran yang itu-itu saja,
seorang santri memberanikan diri bertanya, “Kiai, kenapa tidak ada penambahan pelajaran?” Yang
ditanya malah balik bertanya, “Apakah kamu sudah mengerti betul?” Dengan suara mantap, sang
santri menjawab, “Kita sudah hafal semua, Kiai.”

Dan Kiai Dahlan pun balik bertanya, “Kalau sudah hafal, apakah sudah kamu amalkan?”
Santri itu berucap, “Bukankah surah al-Ma’un berungkali kami baca untuk rangkaian al-Fatihah
di kala salat.” Jawaban si santri tidak memuaskan sang kiai. “Bukan itu yang saya maksud.
Diamalkan artinya dipraktikkan, dikerjakan,” Kiai Dahlan menegaskan. Saat itu pula Kiai Dahlan
memerintahkan santrinya berkeliling kampung mencari orang miskin. Kalau sudah ketemu, harus
dibawa ke rumah masing-masing. “Berilah dia sabun yang baik untuk mandi! Berilah pakaian yang
bersih. Berilah makanan dan minuman serta tempat tidur!” perintah Dahlan. Titah Kiai Dahlan
tersebut mengisyaratkan bahwa Islam bukan hanya ritual ibadah saja. Tapi Islam adalah bekerja,
agar bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Jika Kristen punya etika protestan yang menjadi spirit kapitalisme di Eropa barat
sebagaimana yang diketemukan Max Weber dalam The Protestant Ethics And The Spirit of
Capitalism (1937), maka Islam juga punya etos bisnis yang bahkan menurut Perter L Bernstein,
mengungguli etos bisnis bangsa mana pun di dunia ini.

By nature dan by teaching, Islam sangat mendorong entrepreneurship. Islam adalah agama
kaum pedagang. Lahir di kota dagang, dan disebarkan ke nusantara oleh kaum pedagang. Nabi
Muhammad saw dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur
mancanegara. Tidak berlebihan karenanya bila dikatakan bahwa etos entrepreneurship sudah
melekat dan inheren dengan diri umat Islam. Islam mengangkat derajat kaum pedagang sehingga
profesi ini yang pertama mendapat kehormatan untuk membayar zakat.

Sejarah penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia, sampai abad ke-13 M dilakukan oleh
para pedagang muslim. Hal ini menjadi bukti lain bahwa etos bisnis (dagang) kaum muslim sangat
tinggi, yang menyeruak hingga mancanegara. Termasuk keberadaan Islam di Indonesia. Adalah
para pedagang yang membawa dan menyebarluaskannya. Selain ilmu agama, mereka juga
mewariskan keahlian berdagang ke masyarakat, khususnya di kalangan masyarakat pesisir.

Dalam Peddlers and Princes (1963), Clifford Greetz menyatakan bahwa di kalangan
pribumi kepeloporan di bidang perdagangan berada di tangan para santri. Pedagang dan pengusaha
di Mojokuto, selain orang Cina, pastilah santri reformis. Di luar perusahaan-perusahaan yang
dimiliki Cina, semuanya adalah milik orang Islam reformis atau yang terpengaruh oleh gagasan
reformisme Islam. Pada bagian lain dari penelitiannya pada 1950-an itu, Greetz menjelaskan
bahwa reformisme dan puritanisme Islam merupakan doktrin bagi hampir semua pengusaha dan
entrepreneur di sana. Watak kehidupan puritan yang asketik ini mengajarkan kesalehan yang
paling tinggi ialah selain iman itu sendiri, seseorang yang sudah beriman harus banyak beramal
saleh. Sebuah dorongan yang dalam istilah Weberian disebut religious calling.

Kuntowijoyo dalam penelitiannya mengenai para pengusaha kerajinan besi di Batur,


Klaten, juga melihat adanya hubungan yang erat antara kehidupan keagamaan para santri dan
perilaku kewirausahaan mereka. Puritanisme Islam, di samping menganut sikap hidup asketisme,
juga memiliki doktrin mewajibkan para pengikutnya untuk lebih bersemangat dan bersungguh-
sungguh dalam usaha ekonomi. Bekerja dianggap sebagai makna yang sebenarnya dari al-Qur’an
dan hadis.

Tidak hanya itu, semangat kapitalisme sempat menjadikan penyokong bagi kongsi-kongsi
Islam dari orang-orang Melayu di Aceh, dari orang-orang Palembang, dan juga etnis Bugis di
Sulawesi. Organisasi pergerakan Sarekat Dagang Islam, adalah salah satu bukti bahwa semangat
kapitalisme umat Islam ikut mendorong terjadinya perubahan ekonomi, social, dan politik bangsa
ini.

Sementara itu organisasi massa Islam yang sampai sekarang masih eksis seperti
Muhammadiyah tidak lain sesungguhnya didirikan oleh para saudagar santri dan para pedagang di
kota-kota. Sejarah Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan bangkitnya kekuatan
ekonomi para saudagar, seperti pengusaha tekstil atau tenun di Pekajangan, Pekalongan, dan yang
ada di daerah Laweyan, Surakarta.

Demikian pula Nahdlatul Ulama (NU), yang sejatinya didahului dengan gerakan organisasi
Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang). Menurut peneliti NU, Martin van Bruinessen,
orientasi bisnis NU itu juga dipengaruhi oleh visi Sarikat Islam (SI). Wahab Chasbullah penggerak
penting NU, pernah terlibat di SI sejak masih belajar di Mekkah. Komposisi pengurus NU periode
pertama merupakan kolaborasi ulama (di Syuriah) dan pengusaha (di Tanfidziyah).

Kapital dan Prinsip Kepemilikan dalam Islam

Guna memahami ajaran Islam tentang harta milik pribadi, perlu dilihat prinsip umum
ekonomi Islam: (1) Tuhan menciptakan dunia dengan kekayaan yang melimpah bagi manusia
untuk dinikmati dan dimanfaatkan; (2) Karenanya, semua itu menjadi milik mereka kalau mereka
mau berusaha dan tidak melakukan ketidakadilan dan kejahatan; (3) Namun, mereka harus
memerhatikan kebutuhan jangka pendek dan panjang masyarakat luas.

Dalam hal ini ada dua karakteristik ekonomi Islam yang harus dipahami, yaitu: (1) semua
harta, baik benda maupun alat produksi adalah milik (kepunyaan) Allah. Hal itu bermakna bahwa,
pemilik harta yang sesungguhnya adalah Allah swt sementara manusia hanya memiliki hak untuk
men-tasharruf-kan (memanfaatkan) harta itu. (2) Manusia adalah khalifah atas harta miliknya.
Sebagai khalifah atas harta miliknya, maka manusia diberi hak untuk memanfaatkannya, sebatas
sebagai wakil-wakil Allah dalam penggunaan harta tersebut.

Islam betul-betul mengakui penghakan atas harta milik secara pribadi. Namun pemilikan
pribadi berbeda dengan pemilikan absolut, hanya Tuhan yang berhak untuk hal ini. Pemilikan
pribadi yang sah adalah hak untuk memanfaatkannya dan membagi-bagikannya.

Secara umum, Nabi Muhammad tidak pernah mengecam praktik pengumpulan kekayaan.
Yang dikecam adalah praktik kecurangan dalam kegiatan ekonomi tersebut. Beberapa literatur
bahkan menempatkan Nabi sebagai pembela mekanisme pasar. Dia, misalnya, menolak
permintaan para sahabat untuk mengendalikan gejolak ekonomi dengan mematok harga. Mematok
harga adalah perbuatan yang melawan sunnatullah. “Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan
harga, dan menurunkannya, melapangkan dan meluaskan rezki. Janganlah seseorang di antara
kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta maupun nyawa” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Ekonomi pasar kemudian menjadi kemestian dalam sistem ini. Islam, adalah seperangkat
nilai yang dijadikan jalan hidup yang digali dari kitab suci dan turunan penafsirannya. Al-Qur’an
secara spesifik tidak bicara tentang sistem ekonomi tertentu. Tetapi ada banyak ayat yang
mengindikasikan pembicaraan mengenai ekonomi: transaksi jual beli (QS. al-Baqarah [2]:282),
kontrak hutang (QS. al-Baqarah [2]:282), bunga (QS. al-Baqarah [2]:275), pinjaman (QS. al-
Baqarah [2]:282), dan pajak (QS. al-Taubah [9]:103). Prinsip property right yang menjadi dasar
kapitalisme tampak nyata dalam fakta bahwa al-Qur’an tidak pernah melarang kaum Muslim untuk
memiliki harta. Kaum Muslim justru dianjurkan untuk giat berusaha mengumpulkan harta (QS. al-
Jumu’ah [62]:10 dan al-Muzzammil [73]:20). Orang yang mati membela harta milik atau sedang
dalam usaha mengumpulkan harta untuk keluarga bahkan disebut sebagai martir (syahid).

Sistem ekonomi Islam memiliki pandangan bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini
sesungguhnya milik Allah, berdasarkan firman Allah, “dan berikanlah kepada mereka sebagian
dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (QS. al-Nur [24]:33)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa harta yang diberikan Allah kepada manusia
adalah merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan kepadanya. Penguasaan ini berlaku
umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak kepemilikan, tetapi bukan
kepemilikan yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, menurut Islam harta itu seharusnya hanya bisa dimiliki, dimanfaatkan,
dikembangkan, dan didistribusikan secara sah sasuai dengan yang di perintahkan oleh Allah. Dan
dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam dapat dicakup dalam tiga buah yang utama, yaitu:

1. Kepemilikan (al-milkiyah) 

2. Pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf al-milkiyyah) 

3. Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi‘ tsarwah bayna al-nās)

Mekanisme pasar bebas yang dianjurkan dalam kapitalisme, ternyata jauh sebelumnya
Rasulullah saw telah menyetujui market mechanism of price dan menganjurkan kepada umatnya
untuk memanfaatkan mekanisme pasar dalam penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan
menghindari tas‘īr (penetapan harga oleh pemerintah) jika tidak diperlukan. Namun, bukan berarti
penetapan harga selamanya dilarang, melainkan dianjurkan untuk barang-barang publik (public
goods) dan kondisi khusus lainnya seperti dijabarkan oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya, Ah ̣kām
al-Sūq. Pertentangan utama kapitalisme dengan ekonomi Islam adalah terletak pada asas individu
yang dianutnya. Di mana kapitalisme sangat menjunjung tinggi kebebasan berusaha dengan
semangat kompetisi antar individu tanpa sama sekali mempermasalahkan penumpukan harta
kekayaan, pengembangannya secara riba dan akumulasi kapital, serta masalah pembelanjaannya
yang menanggalkan nilai-nilai sosial. Asas yang lebih tepat disebut homo-homini lupus (manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya).
Perhatian terhadap kepentingan orang lain hanya dilaksanakan dengan pertimbangan
penambahan manfaat (marginal profit and utility) yang dapat dijelaskan dengan konsep pareto
optimum improvement.

Kesimpulan

Islam dan kapitalis, dua hal yang saling memengaruhi. Secara sosiologis, Islam hadir pada
masyarakat kapitalis. Tak heran jika keduanya memiliki satu keterikatan. Kapitalisme, khususnya
Kapitalisme Perdagangan (Commercial Capitalism) sudah ada sebelum Islam datang. Sebelum
Islam lahir, Mekah sudah merupakan pusat perdagangan dan keuangan internasional yang maju.
Nabi Muhammad sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi nabi.

Dengan demikian, kapitalisme adalah suatu paham atau sistem yang datang dari luar dan
malah merupakan satu aliran pemikiran ekonomi yang masuk dan ikut memengaruhi ekonomi
Islam. Tentu saja, dalam perkembangannya, ajaran Islam ikut memengaruhi dan mengoreksi
kehidupan ekonomi atau kapitalisme yang berlaku. Karena itu Islam dan kapitalisme adalah dua
kekuatan yang saling berinteraksi dan memberi pengaruh.
DAFTAR PUSTAKA

Bernstein, Peter L., The Power of Gold-The History of Obsession, New York: John Wiley and Sons
Inc, 2000.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1983/1984.


Dillard, Dudley, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, terj. oleh M. Dawam Rahardjo,
Jakarta: LP3ES, 1987.

Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terj), Jakarta: Erlangga, 1980.

Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press,
2001.

Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1990.

Lerner, Robert. E., Western Civilization, Volume 2, W.W. Norton & Company,
New York-London: 1988.

Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York: 1970.

Tawney, RH., Religion and The Rise of Capitalism, 1922.

Turner, Jonathan H., The Emergence of Sociological Theory, Illinois: The Dorsey Press, 1981.

Yafie, Ali, dkk, Fiqh Perdagangan Bebas, Jakarta: Teraju, 2003.


Cerita Berkesan Dengan Ibu

Bagi anak lelaki seperti saya, menceritakan perihal Ibu rasanya aneh saja bagaimana tidak
hampir tidak ada kosa kata yang bisa kurangkai untuk menjelaskan Ibuku dalam medium aksara
yang tentunya terbatas, sebab seorang Ibu lebih dari itu.

Di usianya yang kian senja, Ibuku masih ulet bekerja selain kantoran. Ia pun tak pernah
lepas dari buku, dari kebiasaannya yang satu ini, saya diperkenalkan dunia literasi. Walaupun saat
ini jika melihat dari koleksi buku yang kami punya sangatlah kontras bacaan kami. Ibuku sangat
menggandrungi bacaan agama dan bacaanku berkutat di soal sosial, filsafat juga essai kritik. Tetapi
karena satu-satunya anak yang minat membacanya tinggi adalah saya, terkadang dalam hal-hal
pengambilan keputusan dirumah, sayalah yang selalu dimintai pandangan.

Selepas Ayah saya berpulang ke sisi-Nya, tak pernah sekalipun Ibu mengajariku ketidak-
ikhlasan ataupun larut dalam ketentuan-Nya, Ibuku selalu mengajari bahwa semua orang akan
pergi menjawab pertanyaan-pertanyaan besar, dan Ayahku telah mendapatkan kesempatan itu.

Tanpa sosok Ayah dirumahku, Ibuku kini menggantikan peran kepala keluarga sehingga
beliau kini harus mempercepat jam bangunnya disubuh hari untuk membuat jajanan tradisional
sebagai penambah kebutuhan finansial keluarga. Meski harus bergelut dengan waktu sempit antara
ingin bersiap ke kantor dan membetulkan pekerjaan di dapur, terkadang lebih dari enam jenis
jajanan yang Ibu kerjakan. Menemani beliau mengerjakan jajanan itu adalah waktu-waktu yang
memanjang dan kusuka, rasanya ingin berlama-lama menatap keriput wajah Ibu.

Sebenarnya tak ada yang begitu pasti bisa kuingat sebagai cerita yang berkesan tentang Ibu.
Yang saya ingat saat ini ialah, satu ketika kami sekeluarga melakukan perjalanan pulang ke
kampung halaman Ibuku, Kota Palu, Sulawesi Tengah kemudian ditengah perjalanan kami singgah
di sebuah pom bensin sebab Ibu ingin ke kamar kecil, setelah selesai, Ibu kemudian kembali ke
mobil dan tanpa sadar saat ingin menaikkan kaca jendela, tangan ibu terjepit diantara kaca dan
pintu mobil, entah sentuhan apa yang merasukiku, seketika itu juga saya menangis melihat Ibu,
dan Ibu tersenyum memelukku walaupun tak merasakan kesakitan sebenarnya. Inilah momen aneh
bagi orang lain tetapi saya sangat menikmati kenangan ini.
Judul Globalisasi, Postmoderen dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia

Sumber Jurnal http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/17


Volume & Halaman Volume 2, Nomor 1: 16 Halaman
Tahun 2012
Penulis Hamzah Fansuri
Reviewer Muhammad Nur Arifin
Tanggal 7 Januari 2018

Pendahuluan

Fenomena masyarakat kapitalisme di mana industrialisasi yang kemudian mendorong


proses urbanisasi itu berlangsung di masyarakat, telah lama menjadi sorotan oleh banyak pemikir
sosiologi awal termasuk Emile Durkheim yang memberi perhatiannya pada pembagian kerja
(division of labour) saat proses itu berlangsung dalam hubungannya dengan tatanan sosial dalam
arti yang lebih luas, atau dengan istiliah Durkheim sendiri yaitu solidaritas sosial. Karena itu
Durkheim dikenal membagi tipe solidaritas sosial dalam masyarakat menjadi dua. Pertama,
solidaritas mekanik yaitu adanya ikatan yang didorong oleh faktor emosional, kekeluargaan,
kepercayaan serta kesepakatan dalam urusan moral pada masing-masing anggota masyarakat
dengan tingkat pembagian kerja yang rendah. Sehingga sifat-sifat individualistik dan perbedaan-
perbedaan dalam masyarakat itu, dirasakan tidak cocok dan oleh karenanya diupayakan untuk
sedapat mungkin dihindari. Kedua, solidaritas organik yang berkebalikan dari solidaritas mekanik,
karena ia lahir pada masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang tinggi di mana ikatan-ikatan
emosional dan sebagainya itu menjadi tidak relevan disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang
dimungkinkan terjadi terutama berdasarkan pada kemampuan-kemampuan individu serta
bagaimana masing-masing anggota masyarakat terikat oleh adanya ketergantungan fungsional.1

Pembagian tipikal masyarakat berdasarkan pembagian kerja yang membentuk solidaritas


sosial tersebut pada akhirnya menunjukkan gejala-gejala sosial yang lahir dari perkembangan
lanjut kapitalisme (late capitalism) melalui industrialisasi yaitu terciptanya heterogenitas dalam
masyarakat, dan kecenderungan ini tampak, terutama pada masyarakat perkotaan yang menjadi
ruang bagi pertumbuhan industri. Sedangkan pada masyarakat perkotaan sifat- sifat kebebasan
individu lebih ditonjolkan, dengan itu ikatan-ikatan emosional pun menjadi lepas. Masing-masing
orang lebih dihargai dan diperhatikan dari kemampuan serta bagaimana ia menjadi fungsional
dalam kerja yang menuntut efisiensi dan efektifitas seperti yang disebut Durkheim dengan
solidaritas organik tersebut. Demikian halnya Max Weber yang menilai ilmu pengetahuan dan
rasionalitas sebagai logika utama dalam kapitalisme, sehingga menuntut setiap orang berada dalam
proses survival of the fittest. Dan, agar kapitalisme bekerja dengan baik, uang menjadi orientasi
utama sebagaimana anjuran dalam agama protestan mengenai keselamatan hidup. Karena itu
menurut Weber, efektifitas dan efisiensi menjadi prinsip kerja yang rasional dalam kapitalisme.

Sosiologi Indonesia di Tengah Tantangan Zaman


Dalam bentang historis bangsa Indonesia, diketahui bahwa sepak terjang kekuasaan Orde
Baru turut andil membentuk paradigma dalam ilmu sosial Indonesia khususnya sosiologi di mana
konsep “kelas” yang menjadi salah satu konsep kunci dalam membaca perkembangan masyarakat
dari berbagai sudut pandang nyaris hilang karena alasan-alasan yang politis dan atau ideologis
yang dampaknya adalah bagaimana paradigma kritis di masa Orde Baru pun dihindari karena
dianggap membawa pengaruh gagasan-gagasan Marxisme yang diidentikkan dengan unsur-unsur
subversi, dan yang mengarah kepada konflik. Sementara guna melancarkan pembangunan yang
menjadi kiblat utama Orde Baru tersebut, pemerintah kala itu sangat antusias menjaga keutuhan
negara agar tidak terjadi perpecahan (disintegrasi) sehingga persoalan-persoalan di masyarakat
menjadi salah satu isu pokok yang diperhatikan dan bahkan untuk hal tersebut pihak militer
diturunkan sampai ke tingkat pedesaan.

Dalam sosiologi dan ilmu sosial lainnya, paradigma kritis ini cenderung muncul sebagai
antitesa dari dominasi ilmu sosial empiris-analitik –di mana persoalan kemasyarakatan dipelajari
dengan kecanggihan mekanisme relasi kausalitas, sementara paradigma kritis sendiri bermaksud
memberi perhatian yang lebih pada spirit pembebasan manusia dari struktur kekuasaan yang
dominan.3 Oleh karena itu, sebagian kalangan terutama ilmuwan sosial yang berada di luar
lingkaran kekuasaan, aktivis mahasiswa dan kelompok LSM mulai mempertanyakan ulang proyek
modernisasi saat itu, mengingat produk yang dihasilkannya tidak kunjung melahirkan tatanan
masyarakat modern dan menjawab kebutuhan-kebutuhan riil di masyarakat, di samping juga kerap
membelenggu nilai-nilai demokrasi.
Saat globalisasi menemukan kerannya seiring dengan kapitalisme lanjut (late capitalism)
diikuti dengan kampanye “tatanan dunia baru” (the new world order) oleh juru-juru bicaranya
seperti Harry S. Truman, Ronald Reagan, Bill Clinton, Margaret Thatcher, dan Tony Blair dalam
konteks pasca Perang Dunia II, Perang Dingin serta runtuhnya komunisme. Saat itu pula menjadi
penanda globalisasi ekonomi dan dimulainya era pasar bebas (laissez faire) yaitu beroperasinya
secara masif lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),
perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional (TNC’s, MNC’s), serta melibatkan
lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) sebagai aktor
utama akumulasi modal. Keberadaan lembaga-lembaga dunia inilah yang kemudian mendominasi
hampir semua aspek kehidupan bahkan menyangkut kekuasaan dan kedaulatan sebuah negara.
Negara dalam kondisi semacam ini semata- mata hanya berperan sebagai pelaksana dari kebijakan
yang sudah dirancang oleh pasar semacam deregulasi, liberalisasi dan privatisasi.

Terhadap gencarnya globalisasi ini, Arjun Appadurai dalam Disjuncture and Difference in
the Global Cultural Economy menyorot lima arus utama dalam proses globalisasi tersebut yaitu
ethnoscape, technoscape, financescape, mediascape dan ideoscape. Ethnoscape yaitu sebuah
gambaran mengenai perpindahan orang-orang di seluruh dunia di mana kita hidup seperti:
wisatawan, imigran, pengungsi, orang buangan, tenaga kerja asing, dan kelompok-kelompok serta
aktivitas individu lainnya tanpa menafikan adanya komunitas yang relatif stabil lewat pola-pola
kekerabatan dan atau hubungan pekerjaan. Technoscape merupakan konfigurasi global di bidang
teknologi yang kini bergerak dengan kecepatan tinggi semisal persoalan mekanik atau informasi.
Contohnya banyak negara sekarang menjadi akar dari perusahaan multinasional seperti sebuah
kompleks baja besar di Libya yang melibatkan kepentingan dari India, Cina, Rusia, serta Jepang,
karena menyediakan berbagai komponen konfigurasi teknologi baru. Financescape, berarti
disposisi modal global yang misterius dan bergerak cepat seperti pasar mata uang, bursa saham,
dan berbagai komoditas yang terus bergerak. Mediascapes merujuk pada distribusi kemampuan
elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi lewat surat kabar, majalah, stasiun
televisi, dan studio produksi film, yang sekarang tersedia untuk semakin banyak kepentingan
pribadi dan publik di seluruh dunia, serta gambaran dunia yang diciptakan oleh media. Ideoscapes
juga bagian dari rangkaian gambar, namun mereka sering bernuansa politis dan sering harus
melakukannya dengan ideologi suatu negara atau ideologi tandingan (counter-ideology) yang
berorientasi untuk menangkap kekuasaan negara atau bagian darinya.

Uraian Appadurai di atas pada dasarnya ingin memberi penegasan terkait bagaimana
mobilitas baik perorangan atau kelompok saat ini yang berlangsung secara masif dengan durasi
yang cepat. Mobilitas ini pun semakin variatif mulai dari manusia itu sendiri, modal (kapital),
gambar (image), serta beragam informasi di mana masing-masing saling memiliki keterkaitan serta
berdampak secara sosial. Pada realitas sosial di tengah-tengah globalisasi yang demikian, sosiologi
sebagai disiplin ilmu tersendiri telah dirongrong secara mendasar karena telah menghilangkan
konsep masyarakat itu sendiri yang sudah sejak lama menjadi perhatian utamanya. John Urry
dalam Sociology beyond Societies (2000) menguraikan bagaimana sosiologi dalam konteks
kekinian mendapatkan tantangan besar terutama sejak globalisasi berlangsung, sehingga secara
keilmuan konsep masyarakat tersebut perlu diterjemahkan ulang dengan mengalihkan
perhatiannya pada pola-pola interaksi sosial yang semakin canggih, mobilitas orang-perorangan
yang semakin cepat, hadirnya berbagai macam bentuk agensi serta persoalan kewarganegaraan
(citizenship) dalam lingkup global dan peran dari negara-bangsa dalam menjaga bentuk-bentuk
kekuasaan yang ada pada ruang lingkup nasional.

Mobilitas yang dimaksud Urry adalah terlibatnya bermacam objek dan teknologi pada
skala besar sehingga melahirkan bermacam pula problem-problem sosial di masyarakat. Sebagian
besar literatur yang ada mengenai mobilitas sosial ini memposisikan masyarakat layaknya sebuah
permukaan dalam cara pandang geografis, karena itu menurut Urry, seringkali cara seperti ini tidak
berhasil untuk menunjukkan beragam titik temu yang ada pada satu wilayah tertentu, seperti di
kota dan tempat-tempat lainnya, dengan berdasarkan kategori kelas sosial, gender dan etnis. Oleh
karena itu, masyarakat (society) dalam disiplin sosiologi pun bergeser menjadi mobilitas (mobility)
sosial seiring dengan perkembangan dunia yang sudah tanpa sekat sebagai karakter dari globalisasi.

Alain Touraine (2007) dengan nada yang sama dalam tulisannya Sociology after Sociology
juga mempertanyakan ulang bagaimana sosiologi klasik –seperti pada pemikiran Comte dan
Durkheim—tidak banyak mempelajari dunia secara keseluruhan. Akan tetapi lebih banyak
menaruh perhatian pada apa yang disebut dunia yang beradab, karena itu pula sosiologi klasik ini
memperkenalkan oposisi yang tegas antara masyarakat beradab, barbar serta masyarakat jajahan.
Globalisasi sebagai fenomena kekinian yang menggiring berbagai perubahan sosial itu
pada tempat yang lain menghadirkan, sebagaimana Urry di atas, telaah dan pemahaman baru
terhadap terciptanya pola-pola interaksi sosial terutama karena topangan kemajuan teknologi
komputerisasi dan internet. Dalam konteks ini, Manuel Castells menyebutkan bahwa tugas dari
sosiologi di era globalisasi –terutama didorong oleh kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan
informasi—adalah mempelajari proses pelembagaan, organisasi, serta perubahan pada suatu
masyarakat baru, yang mungkin bisa dimulai dari pembacaan atas struktur sosialnya, atau apa yang
oleh Castells disebut dengan masyarakat jejaring (network society).

Lebih lanjut Castells melihat dimensi-dimensi utama dari perubahan sosial tersebut yang
secara bersamaan menyatu dalam interaksi sosial di masyarakat dan merupakan struktur sosial
yang baru, sebagai faktor yang mendasari lahirnya "masyarakat baru" (new society). Castells
dengan itu menjabarkan tiga dimensi sosial yang melandasi terbentuknya masyarakat baru tersebut,
yang dinamakannya masyarakat jejaring. Pertama, adalah paradigma teknologi baru yang didasari
oleh penyebaran teknologi informasi. Dengan mengikuti Claude Fischer (1992), ia memahami
teknologi sebagai budaya material ibarat proses sosial yang inheren dalam masyarakat, bukan
sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi masyarakat. Dimensi kedua adalah, globalisasi yang
dipahami sebagai peningkatan kapasitas teknologi, organisasi, serta kelembagaan dari komponen
inti sistem tertentu (semisal, ekonomi) sehingga bisa bekerja pada satu waktu yang bersamaan dan
menjangkau skala luas mencakup seluruh jagat raya. Dan dimensi ketiga adalah wujud manifestasi
budaya yang dominan pada sebuah hypertext, yaitu interaksi lewat perantara media elektronik,
yang menjadi acuan dalam pengolahan simbolis dari semua sumber dan pesan.14 Jika dahulu teks
standar menjadi acuan utama pada penyampaian pesan, maka hypertext bermakna juga multi-teks
yaitu meliputi gambar, suara (audio-visual). Castells mencontohkan internet yang jumlah
penggunannya berkembang sangat pesat dari tahun ke tahun, yang telah menghubungkan individu
serta kelompok antara diri mereka sendiri dan terbagi ke hypertext multimedia. Hypertext ini
merupakan tulang punggung dari budaya baru, yaitu budaya virtualitas yang nyata, di mana
virtualitas menjadi komponen dasar dari lingkungan simbolik di sekitar kita, sehingga dengan
demikian membentuk pengalaman kita sebagai makhluk yang terus berkomunikasi.

Hypertext merupakan teks elektronik yang menyediakan hubungan antara unsur-unsur


kunci, yang memungkinkan penggunanya untuk bergerak melalui informasi non- sekuensial.
Istilah ini hypertext diciptakan pada tahun 1965 untuk menggambarkan tekstualitas yang
bertentangan dengan tekstualitas linier buku, film, dan pidato. Hypertext juga sistem yang
menyimpan teks, gambar, suara dan file lain yang memungkinkan untuk terhubung ke teks, gambar,
suara dan lainnya yang terkait. Lihat Marcel Danesi, Dictionary of Media and Communication,
pemikir postmodernisme, yang menggunakan kerangka berpikir neo-marxis melihat bahwa
realitas seperti hal di atas menunjukkan bahwa kita telah memasuki fase kapitalisme lanjut yang
bercirikan; sirkulasi tanda dan simbol yang tiada hentinya, arus informasi berskala global serta
konsumsi imaji yang hedonistik. Karena itu Jameson menyebut situasi semacam itu sebagai logika
budaya kapitalisme lanjut yang berarti pula cerminan dari budaya posmodernisme.

Postmodernisme pun telah menjadi salah satu minat akademik dalam sosiologi dan ilmu
sosial lainnya di Indonesia guna membaca gejala-gejala sosial dan budaya, seiring dengan hadirnya
beragama budaya baru khususnya di kalangan anak muda serta fenomena mall dan pasar modern
yang juga turut merubah gaya hidup masyarakat perkotaan, di samping juga dengan mulai
masifnya pengaruh teknologi internet sebagai alat komunikasi dan penyebaran informasi. Sebuah
gambaran fenomena sosial yang oleh Castells dalam uraian di atas disebut sabagai masyarakat
jejaring.

Hal tersebut semakin mendorong maraknya diskusi-diskusi dalam ilmu sosial khususnya
sosiologi dengan pendekatan-pendekatan alterrnatif, terlebih ketika ditopang oleh terbitnya secara
masif buku teks terjemahan khususnya terkait pemikiran-pemikiran postmodernisme dan kajian
budaya sejak 1990-an. Patut dicermati bahwa industri penerbitan buku juga berkontribusi dalam
penyebaran diskursus kritis dan posmodernisme dalam sosiologi khususnya sehingga turut
menyuburkan perkembangan ilmu-ilmu sosial secara umum di luar perguruan tinggi.

Salah satu teori postmodernisme yang cukup berpengaruh adalah “Masyarakat Konsumer”
(Consumer Society) yang dicetuskan Jean Baudrillard (1998). Ia menaruh perhatian pada persoalan
realitas yang baginya uang saat ini telah mampu berbicara lebih dan apapun itu adalah gambaran
(image) serta hiper-realitas. Kritik Baudrillard ini terutama bisa dilihat dari pengaruh media,
khususnya media penyiaran di mana berlangsung secara kontinyu proses diseminasi budaya secara
global mulai dari gaya hidup (lifestyle), perkembangan dunia fashion, sampai pada perkembangan
masyarakat jejaring lewat medium
Konsep dekonstruksi Derrida ini semakin berkembang di kalangan pasca- kolonialis seperti
Gayatri Spivak dalam tulisannya “Can the Subaltern Speak?”, di mana “Yang Lain” dimaknai
dengan konsep subaltern, sebagaimana dalam tradisi Gramscian untuk mengkritisi dominasi laki-
laki atas perempuan. Karena itu posmodernisme selain mengajak berpikir kritis terhadap fenomena
sosial dan budaya kekinian, juga menawarkan keberpihakan kepada “Yang Lain” dengan dalih
bahwa oposisi biner dalam bentuk apapun berpotensi melanggengkan dominasi dan kekuasaan
antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pula, proses dekonstruksi Derrida pada konteks ini
memiliki visi perdamaian yang dimungkinkan ketika ada pertentangan antara dua kubu dalam
oposisi tersebut.

Sebagai perkembangan sosiologi kekinian yang banyak mendapatkan tantangan terutama


oleh arus deras globalisasi yang telah merugikan masyarakat marjinal khususnya, menuntut
reorientasi dalam sosiologi itu sendiri, dan posmodernisme pada posisi yang kritis terhadap segala
fenomena sosial dan budaya yang lahir dari rahim kapitalisme lanjut itu, merupakan alternatif teori,
metodologi dan juga pendekatan sekaligus. Namun sebaliknya, penulis dalam hal ini sepakat
apabila posmodernisme melepaskan paradigma kritis dan keberpihakannya maka ia hanya akan
menjadi sarana canggih untuk menutupi sikap politik konservatif lewat bahasa yang
kedengarannya radikal. Bahaya lainnya adalah hiper-empirisisme gaya Amerika Utara yang sibuk
dengan metodologi canggih untuk menjawab persoalan yang banal. Karena itu posmodernisme
dan beragam teori, metode dan pendekatan baru lainnya tidak cukup sebatas ia mampu beroperasi,
tetapi juga bagaimana ia mampu untuk terus menjaga tugas sosiologi seperti misalnya yang pernah
disinggung Manuel Castells yaitu agar masyarakat kita tidak kehilangan potensi kreativitasnya
sehingga tidak pula ketinggalan dalam perjalanan di abad informasi saat ini, serta keberanian dari
semua pihak untuk mengambil perannya dalam dunia global yang sudah terfragmentasi. Namun
terlebih utama dari sebelum proses itu semua adalah bagaimana untuk tetap menjaga proses
refleksi diri (self- reflection).

Kesimpulan

Sosiologi Indonesia di masa Orde Baru juga tidak ubahnya dengan ilmu sosial lain yang
tersedot ke dalam mainstream ilmu sosial AS dengan terutama sekali dipengaruhi oleh pemikiran
atau gagasan fungsionalisme Parsonian. Meskipun ide-ide kritis seperti Marxisme dan Neo-
Marxisme juga mewarnai perkembangan tersebut namun ia berada pada wilayah pinggiran karena
kuatnya kekuasaan rejim Orde Baru yang berhasil mengkooptasi ilmuwan- ilmuwan sosial kritis.
Di samping secara paradigmatik, ide pembangunan dan modernisasi yang cenderung dekat
falsafah positivisme ini, telah menguasai jagat ilmu sosial di hampir seluruh belahan dunia pasca
PD II.

Sementara itu, globalisasi sebagai fenomena kekinian yang juga melatarbelakangi


perkembangan sosiologi Indonesia telah membuka jalan bagi proses dialektika keilmuan yang
berupaya menjawab ekses-ekses globalisasi. Globalisasi di sini terutama bergerak pada wilayah
ekonomi yang melahirkan tirani pasar bernama neoliberalisme dan pada wilayah kultural yang
menciptakan masyarakat konsumtif, selain juga globalisasi pada wilayah perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi yang menggiring perubahan sosial menuju “masyarakat baru” yakni
masyarakat jaringan (Castells, 2000) yang termediasi oleh internet (Urry, 2000). Oleh karena itu,
sekian dampak globalisasi tersebut membidani kerangka teoritik dan metodologi alternatif seperti
posmodernisme atau posstrukturalisme sebagai kacamata untuk menganalisis berbagai bentuk
transformasi sosial. Akan tetapi, teori-teori dan metode-metode baru tersebut di tangan para
sosiolog dan ilmuwan sosial kita belum mampu untuk dielaborasi ulang dengan sifat kritisnya agar
menyatu dengan atmosfir budaya, sosial dan sejarah masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka

Anreski, Stanislav. 1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama, Jogjakarta: Tiara
Wacana

Appadurai, Arjun. 2006. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy” dalam
Media and Cultural Studies: Keyworks, Meenakshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner
(Eds), Oxford: Blackwell Publishing

Hamzah Fansuri
 Baudrillard, Jean, 1998. The Consumer Society: Myths & Structures, London:
Sage Publications

Bauman, Zygmunt. 2009. Towards A Critical Sociology: An Essay on Commonsense and


Emancipation, London & Boston: Routledge

Durkheim, E. 2009. Sociology and Philosophy, New York: Routledge

Escobar, Arturo. 1995. Encountering Development : The Making and Unmaking of The Third
World, New Jersey: Princeton University Press

Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar dan Insist Press
Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas, Jogjakarta: Kreasi Wacana

Giddens, Anthony. 2010. Metode Sosiologi: Kaidah-kaidah Baru, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press

Heerzt, Norena. 2005. Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi,
Jogjakarta: Alenia

Heertz, Norena. 2004. “Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme” dalam
Wibowo dan Wahono, Francis (Eds), Neoliberalisme, Jogjakarta: Cindelaras

Laclau, Ernesto dan Mouffe Chantal. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme +
Gerakan Sosial Baru, Jogjakarta: Resist Book

O’Donnel, Kevin. 2009. Postmodernisme, Jogjakarta: Kanisius

Putranto, Hendar. 2005. “Analisis Budaya dari Pascamodernisme dan Pascamodernitas” dalam
Teori-teori Kebudayaan, Muji Sutrisno & Hendar Putranto (Eds), Jogjakarta: Kanisius

Ritzer, George. 2005. Teori Sosial Postmodern, Jogjakarta: Kreasi Wacana

Robertson, Roland. 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture, London: Sage
Publication

Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi
Modern. Depok: Kepik Ungu

Spivak, Gayatri. 2003. Membaca Pemikiran Jasques Derrida, Jogjakarta: Ar-Ruzz

Globalisasi, Postmodernisme dan Sosiologi Indonesia | 39 Spivak, Gayatri. 2003. “Can the
Subaltern Speak?” dalam The Post-Colonial Studies Reader, Bill Ashcroft (Eds), New
York: Routledge

Turner, Bryan. S. 2003. Teori-teori Modernitas dan Posmodernitas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Urry, John. 2000. Sociology Beyond Societies: Mobilities for The Twenty-First Century, New York:
Routledge

Makalah, Majalah, Jurnal dan Publikasi Ilmiah

Castells, Manuel, “Toward a Sociology of the Network Society”. Contemporary Sociology, Vol.
29, No. 5 (Sep., 2000), hal. 693-699, American Sociological Association
Featherstone, Mike, “Moderen dan Pascamoderen: Tafsiran dan Tetapan”. Prisma no. 1, 1993
hal. 3-14

Haryatmoko, “Kekuasaan-Pengetahuan sebagai Rezim Wacana”. Makalah Seri Kuliah Umum,


Juni 2010, Jakarta, Komunitas Salihara
Touraine, Alain, “Sociology after Sociology”. European Journal of Social Theory 10(2) (2007),
hal. 184–193, Sage Publications
Wallace, Walter L, "Why Sociology Doesn't Make Progress". Sociological Forum, Vol. 10, No. 2
(Jun., 1995), hal. 313-318, Springer

You might also like