You are on page 1of 16

Penganekaragaman dan Penyeragaman

Dalam Aktivitas Nelayan Pulau Sembilan: Sebuah


Penjelasan Prosesual dan Kontekstual

Munsi Lampe

Universitas Hasanuddin

This article describes and explain the complexity of dynamic process of sea fishery in Pulau
Sembilan since the ancient up to now. With the application of the concepts such as diverging,
homogenizing, continuity, and temporal, it has been found that the complexity of dynamic pro-
cess of the fishing economy has oscillated between divergence and homogeneity. The divergence
refers to different kinds of fishing activities based on various fish species by different traditional
catch techniques, on the other hand, homogenity refers to the concentration of fishermen activi-
ties on one or more similar kinds of fishing activities such as catching life fish (kerapu, sunu,
napoleon) and life lobster as top commodities in the period of 1990s. When the population of
the main fish species were decreased as negative impact of overexploitation since the beginning
of the 2000s, there were many fishermen returning again to different kinds of fishing activities.
It means that the diverging process began its era. The process of diverging and homogenizing
of fishery involve cognitive systems as guide for fishermen decision making. These processes
indicate persistent and temporal functions of traditional and new fishing techniques of Pulau
Sembilan fishing communities. By processual and contextual explanation, it was clear that
diverging and homogenizing of fishery is a continuum of its dynamic process. The process
are influenced by internal and external sociocultural factors and the change of sea physical
environment and natural resource conditions. From this explanation known that new practice
of using potassium syanide contributes significantly to the serious degradation of large part of
coral reef zones in and outside of Pulau Sembilan water.

Key words: Coral reef resource use, diverging and homogenizing, continuity and temporal
functions.

Pendahuluan
Dalam rangka interaksi dengan lingkungan kompleksitas yang mencolok mencakup proses
lautnya, kebanyakan komunitas nelayan di munculnya keberagaman teknik dan praktik
negara-negara berkembang dicirikan dengan eksploitasi sumberdaya laut dari bentuk-bentuk
kompleksitas proses dinamika praktik peman- keberagamannya dan proses sebaliknya, jadi
faatan sumberdaya laut yang tentu saja sulit ada alur gerak ulang alik di antara keduanya;
dipahami secara utuh oleh peneliti. Fenomena arah perubahan linear; kebertahanan bentuk

58 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


tradisional dan kemunculannya secara tem- nelayan sebagai mekanisme mempertahankan
poral; praktik-praktik dalam konteks internal keseimbangan lingkungan. Penganut kul-
dan eksternal; dan sebagainya. Di Indonesia, tural materialisme (Harris, 1987) melihat dan
informasi tentang kompleksitas proses di- mengasumsikan berbagai pranata pemali dan
namika praktik nelayan seperti ini banyak praktik ritual yang dipertahankan komunitas
terkandung dalam berbagai laporan peneli- nelayan dilandasi pertimbangan rasional biaya
tian lapangan komunitas-komunitas nelayan dan keuntungan (cost-benefit considerations).
Bugis, Makassar, dan Bajo berciri etnografi Dengan pendekatan strategi adaptif, McCay
di Sulawesi Selatan (lihat antara lain Lampe (1978) dan Acheson (1981) melihat berbagai
dkk, 1996/1997; 1997/1998; Lampe dkk, 2000; masalah utama yang dihadapi nelayan dan
Lampe, 2006), terutama yang mengeksploitasi berbagai macam strategi yang mereka gu-
kawasan terumbu karang dari dahulu hingga nakan dalam mengatasinya dan memanfaatkan
sekarang. Kompleksitas proses dinamika prak- sumberdaya lingkungan laut yang ada. Palson
tik tersebut berbeda dengan yang mencirikan (dalam Descola dan Palsson, 1999) dengan
proses dinamika komunitas-komunitas petani, pendekatan konstruksionis melihat hubungan
peternak, pengrajin, dan kelompok-kelompok manusia-lingkungan dalam tiga paradigma,
pemburu di darat yang relatif menunjukkan yakni komunalisme (relasi kebersamaan dan
arah-arah perubahan linear dan bentuk-bentuk keselarasan antara manusia dan lingkungan-
teknologi atau praktik eksploitasi yang serag- nya), orientalisme (manusia menguasai dan
am. Bagaimana mungkin kompleksitas proses mengeksploitasi lingkungan yang membawa
dinamika praktik pemanfaatan sumberdaya berbagai dampak negatif), dan paternalisme
laut seperti ini dapat dijelaskan dan dipahami? (manusia memproteksi lingkungan laut).
Pendekatan dan konsep teoritis apa dalam Pendekatan masalah praktis lingkungan dari
ekologi manusia/antropologi ekologi yang Milton (dalam Osseweijer, 2001) bukan hanya
relevan diaplikasikan dalam studi fenomena melihat dan memahami konteks budaya dan
tersebut? praktik hubungan manusia dengan lingkungan-
Studi tentang pemanfaatan sumberdaya nya, tetapi juga mau terlibat dalam aksi-aksi
lingkungan ekosistem laut dengan berbagai pemberdayaan masyarakat yang menjadi ko-
pendekatan ekologi manusia tentu saja sudah rban kerusakan lingkungan dan kemerosotan
banyak dilakukan oleh para pakar dan peneliti sumberdaya laut akibat kebijakan pemerintah
antropologi di berbagai tempat di dunia. Mis- yang keliru. Pendekatan aksi dan konsekue-
alnya, Prins (1965; 1985) melihat manusia nsi dari Vayda (1988; 1992) yang diterapkan
dan lingkungan lautnya sebagai komponen oleh Lampe (1989) dalam menjelaskan aksi
ekosistem dengan media pelayaran, penang- nelayan dalam konteks sosial budaya internal
kapan ikan, dan teknologi kelautan, pada dan eksternal dan konsekuensi lingkungan laut
gilirannya mereproduksi sikap kepribadian ditimbulkannya. Pendekatan ekologi politik
budaya kebaharian (maritimeness cultural yang diterapkan oleh McGoodwin (1990)
ethos disposition) seperti pragmatisme, instru- melihat proses-proses politik dari negosiasi
mentalisme, adaptif, dan lain-lain. Penganut individu sampai pada kekuatan-kekuatan poli-
neofungsionalisme seperti Rappaport (1968) tik dunia yang berpengaruh secara signifikan
dan Vayda dan Rappaport (1968) menjelaskan terhadap aksi-aksi eksploitasi lingkungan laut
berbagai pranata lokal tradisional komunitas dan konsekuensi negatif yang ditimbulkannya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 59


Pada satu sisi, diakui bahwa aplikasi dari nelayan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Su-
setiap pendekatan tersebut tentu telah mem- lawesi Selatan, terutama data penelitian dalam
berikan kontribusi berarti bagi pengembangan rangka penulisan Disertasi Doktoral (2006).
kajian ekologi manusia sekaligus bagi perspek-
tif teori antropologi yang menjadi landasannya2 Nelayan Pulau Sembilan dalam Konteks
Lingkungan, Sejarah, dan Sosiobudaya
. Meskipun demikian, pada sisi lainnya, dengan
sikap konsisten dan fokus pada fenomena Letak, musim, dan gugusan karang. Pulau
empirik tertentu seringkali tidak melihat atau Sembilan merupakan sebuah kelompok pulau
mengabaikan berbagai komponen yang tam- yang terdiri dari sembilan buah pulau kecil
paknya di luar fokus tetapi pada esensinya yang terletak dalam perairan Teluk Bone,
merupakan satu kesinambungan proses dari Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Posisi
fenomena yang dikaji. Proses ulang alik di Pulau Sembilan berada pada garis antara 120o
antara penganekaragaman dan penyeragaman 19’00” -120o31’00” Bujur Timur, dan antara
teknik dan praktik eksploitasi sumberdaya laut,
5o 1’00” - 5o 15 ‘30’’ Lintang Selatan. Gugusan
khususnya sumberdaya perikanan kawasan
pulau-pulau kecil yang formasinya menyeru-
terumbu karang, adalah salah satu contoh dari
pai huruf U terbentang dari selatan ke utara
fenomena yang masih jarang kalau bukan
ialah Burungloe(he), Liang-Liang, Kambuno,
belum pernah dijelaskan secara holistik dan
Kodingare, Batanglampe, Kanalo 1, Kanalo
kontekstual. Seringkali peneliti hanya fokus
pada salah satu di antara dua fenomena yang
diedit oleh Abd. Rahman Patji ed.), Kerjasama antara
sesungguhnya merupakan satu kesinambungan Proyek COREMAP dan Puslitbang Kependudukan dan
proses dan konteks dinamika. Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tulisan ini bertujuan menggambarkan dan (PPT-LIPI) Jakarta; Konstruksi Perilaku Hubungan Komu-
nitas Nelayantaka Bonerate dengan Lingkungan Lautnya
menjelaskan fenomena dinamika aktivitas Sebelum dan Sesudah Menjadi Taman Nasional (Lampe,
nelayan yang dicirikan dengan proses ulang- 2004), Hasil Penelitian dibiayai oleh Proyek Pengkajian
alik di antara penganekaragaman dan penyer- dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Direk-
torat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
agaman praktik memanfaatkan sumberdaya Nasional Indonesia; Masyarakat Bahari Wallacea dalam
perikanan di kawasan terumbu karang. Dalam Catatan Antropologi Sosial Budaya (Lampe, 2004), Maka-
kajian ini tentu diperlukan perangkat konsep lah disajikan dalam acara First International Wallacea
Symposium 2004 di Hotel Imperial Aryaduta Makassar
dan penjelasan empirik yang kontekstual dan pada tgl 7 - 8 Desember 2004; Pemanfaatan Sumber-
holistik. Material dari penulisan ini diambil dayataka Pulau Sembilan: Studi Perilaku Nelayan dan
secara selektif dari berbagai laporan penelitian Konsekuensinya dalam Konteks Sosial Budaya Internal
dan Eksternal (Lampe, Tesis S3 2006), Sekolah Pascasa-
lapangan yang saya dan kawan-kawan (Lampe rjana UGM Yogyakarta; Kearifan Lokal Tradisional yang
dkk) lakukan dari paruh kedua periode 1990- Tersisa dan Munculnya Praktik Baru yang Potensial pada
an hingga periode 2006/20073 pada komunitas Komunitas Nelayan Pulau Sembilan (Lampe, 2007), dalam
“Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan”,
Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi,
2
Alan Barnard menyebut beberapa perspektif teori utama Maluku dan Papua Kementerian Negara Lingkungan
dalam antropologi seperti teori-teori evolusi, difusi, fung- Hidup RI; Studi Analisis Sosial – COREMAP Propinsi
sional, strukturalisme, kognitivisme, sistem dunia. Sulawesi Selatan” (Lampe dkk. 1996/1997; 1997/1998),
3
“Sistem Penguasaan Wilayah Perikanan dan Peman- Laporan Penelitian, Universitas Hasanuddin – PPT-LIPI
faatan Sumberdaya Hayati laut oleh Masyarakat Nelayan Jakarta, Proyek Dibiayai Bank Dunia; Studi Pemanfaatan
Bugis Makassar di Sulawesi Selatan” (Lampe, 1996), Sumberdaya laut dalam Rangka Optimasi Zonasi Taman
Bagian Kebudayaan Bappeda TK I Sulawesi Selatan; Nasionaltaka Bonerate” (Lampe, Mardiana, dan Ramli
Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang: A.T., 2000), Laporan Penelitian, Universitas Hasanuddin
Pedoman Intervensi Berbasis Masyarakat (Lampe 1999 Bekerjasama COREMAP LIPI, Jakarta.

60 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


2, Katindoang, dan Larea-Rea. Delapan pulau puh kurang lebih satu setengah jam (gugusan
tersebut pertama berpenghuni, sedangkan pulau-pulau dalam wilayah Kecamatan Pulau
Larearea yang merupakan pulau terkecil tidak Sembilan dapat dilihat pada gambar peta 1).
berpenghuni karena topografinya didominasi Wilayah perairan Pulau Sembilan dicirikan
tebing-tebing batu besar. Jarak antara satu dengan tiga tipe musim, yakni musim barat,
pulau dan pulau-pulau di dekatnya bervariasi timur, dan pancaroba. Pada musim timur (Juni -
dari 400 m hingga 1 km. Jarak Pulau Sembilan Desember) yang ditandai dengan kondisi cuaca
dari Lappa, Kecamatan Sinjai Utara (wilayah dan laut teduh dan tenang, kelompok-kelompok
darat)4 , kurang lebih 25 km dengan waktu tem- nelayan aktif melakukan penangkapan ikan da-
4
lam dan sekitar perairan Pulau Sembilan, ter-
Sebelum Kelurahan Pulau Sembilan menjadi Kecamatan
Pulau Sembilan, daerah tersebut berada dalam wilayah
masuk nelayan teripang dan kerang yang secara
Kecamatan Sinjai Utara, yang berpusat di Lappa. Di Lappa musiman mendatangi daerah-daerah perikanan
pada muara Sungai Tangka, terletak Pelabuhan Lappa yang lama dan baru di luar Teluk Bone hingga ke
merupakan pelabuhan kapal-kapal perikanan terbesar dan
teramai di Teluk Bone dan melebihi pelabuhan-pelabuhan jual beli hasil-hasil laut, terutama pada waktu malam, pagi,
dari kabupaten-kabupaten pantai di Sulawesi Selatan lain- dan sore hari di TPI Lappa, yang juga merupakan TPI
nya. Kesibukan pelabuhan ini ditunjukkan dengan aktivitas terbesar dan teramai di Sulawesi Selatan.

P. Kanalo 2
KABUPATEN
BONE
P. Kanalo 1

P.Batanglampe

P. Katindoang

P. Kodingare
P. Larea-rea

KABUPATEN
SINJAI
P. Kambuno

P. Liang-liang

P. Burungloe

KAB. BULUKUMBA

         

 
 
                  
        

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 61


berbagai wilayah perairan provinsi-provinsi perairan Pulau Sembilan, dilanda badai dan
lainnya. Pada musim barat (Januari-Juni), arus kuat tidak menentu arah serta gelombang
sebagian besar nelayan dari luar, terutama ne- besar yang tak henti-hentinya menyulitkan
layan pulau-pulau dan desa-desa pantai barat operasi nelayan.
Sulawesi Selatan, datang secara berkelompok Pulau Sembilan dikelilingi hamparan ka-
ke perairan Pulau Sembilan dan sekitarnya, rang pantai (karang iri’ pulau dalam istilah lo-
karena kondisi gelombang dan angin musim kal) dan taka (bukit-bukit karang yang terpisah
barat mempersulit akses melaut di perairan dari pulau-pulau) yang jumlahnya tidak kurang
mereka. Sebaliknya, kondisi cuaca dan laut dari empatpuluh buah. Bahkan, menurut
dalam dan sekitar Pulau Sembilan yang ter- pemetaan resmi oleh Citra, jumlahtaka Pulau
lindungi jazirah Sulawesi Selatan masih bisa Sembilan mencapai lebih dari tujuhpuluh buah
dieksploitasi karena kurang terpengaruh oleh (Pusat Studi Terumbu Karang (PSTK) Uni-
musim barat yang berbahaya. versitas Hasanuddin, 2000/2001). Hamparan
Selama musim pancaroba (jenne’ kebo karang dengan substrat pasir putih pantai yang
dalam istilah lokal) berlangsung (15 sampai landai dan rata secara alamiah berfungsi seb-
20 hari), kebanyakan nelayan tinggal di pulau agai penopang pulau-pulau pada bagian dasar.
dan menghentikan aktivitas ekonominya. Hal Adapun karang pantai bersama dengan puluhan
ini disebabkan perairan Teluk Bone, khususnya taka yang berbentuk bukit-bukit bawah laut

62 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


berfungsi sebagai pelindung pulau-pulau dari dengan maksud pengejaran peluang ekonomi,
ancaman abrasi pantai oleh pukulan ombak yakni aktivitas penangkapan ikan dalam ka-
keras di musim timur, musim barat, dan musim wasan taka Pulau Sembilan yang sangat kaya
pancaroba. Ekosistem terumbu karang Pulau dengan berbagai jenis sumberdaya perikanan
Sembilan mencakup rantai karang hidup yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang.
kaya dengan spesis, tumbuhan laut lainnya, Karena saling membutuhkan, maka dalam
dan berbagai jenis sumberdaya perikanan perjalanan waktu yang tidak begitu panjang,
berasosiasi dengan karang. (Mengenai nama- telah terjadi proses integrasi dan akulturasi
namataka dan letaknya dalam perairan Pulau di antara orang Bugis dan Bajo, yang dimulai
Sembilan dapat dilihat pada gambar peta 2 dalam batas-batas sepulau, kemudian antar-
gugusan pula dan taka Pulau Sembilan). pulau. Dalam berbagai aspek kehidupan yang
lebih luas seperti pola pemukiman, bahasa,
Asal usul penduduk dan etnis aliran keagamaan (Islam), organisasi sosial
Jumlah penduduk Pulau Sembilan di tahun atau kelompok kerja nelayan (ponggawa-sawi
2006 telah mencapai 9000 jiwa. Penduduk dalam istilah Bugis dan Makassar), sikap ket-
pulau ini pada umumnya dari etnis Bugis dan erbukaan dalam merespon unsur-unsur baru
Bajo dengan mayoritas Bugis. Menurut cerita dari luar (pengetahuan, teknologi), orang Bajo
dari Kambuno bahwa etnis Bajo yang berasal banyak menyesuaikan diri dengan orang Bugis.
dari Kampung Bajoe Bone yang lebih dahulu Sebaliknya, orang Bugis banyak mengadopsi
menginjakkan kaki dan menetap di Pulau Sem- sistem pengetahuan dan teknologi pelayaran
bilan sejak zaman kolonial kalau bukan sebel- serta perikanan tradisional milik orang Bajo
umnya. Maksud mereka mendatangi perairan yang banyak dicirikan dengan gaya penge-
Pulau Sembialan ialah mencari ikan dan biota lolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan
bernilai ekonomi lainnya ditaka-taka. Pulau kawasan terumbu karang dan pemanfaatan batu
yang pertama kali dihuni ialah Kambuno. Pada karang untuk pemukiman.
perkembangan berikutnya, berdatanganlah Pemanfaatan karang untuk pemukiman.
orang-orang Bajo secara berangsur-angsur dari Seperti yang teramati, bahwa di setiap desa
berbagai asal dan tempat-tempat yang menjadi pulau dalam Kecamatan Pulau Sembilan
pilihannya ialah Kodingare, Batanglampe, dan ditemukan pemanfaatan batu karang dan
Kanalo 1. Keputusan mereka memilih tempat- pasir laut untuk bahan bangunan pemukiman
tempat tujuan tersebut banyak didasarkan pada penduduk seperti pembangunan tanggul pe-
pertimbangan ikatan kekerabatan, pertemanan, nahan ombak, dermaga/jembatan dan tempat
atau perasaan kolektif dengan sesama orang perumahan, pondasi rumah dan bangunan
Bajo yang sudah menetap lebih dahulu di umum (masjid, sekolah, kantor, puskesmas)
pulau-pulau tersebut. dan sebagainya. Baru setelah diberlakukannya
Berbeda dengan orang Bajo, orang Bugis Perda Provinsi Sulawesi Selatan No.7 Tahun
dari berbagai desa pantai daerah Sinjai, Bone, 1987 yang melarang pengambilan batu karang,
dan Bulukumba mendatangi dan menetap di maka mulailah aktivitas tersebut berkurang.
setiap pulau, baik yang sudah didiami oleh Meskipun demikian, menurut informasi setem-
orang Bajo, maupun yang masih kosong sep- pat, ternyata sebagian penduduk di setiap pulau
erti Burungloe, Liang-liang, Kanalo 2, dan masih tetap mengambil batu karang dan pasir
Katindoang. Kedatangan mereka terutama laut, baik secara sembunyi-sembunyi (keper-

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 63


luan rumah tangga) maupun secara terbuka komoditas lama tersebut, kecuali ikan kering,
(kepentingan umum). termasuk komoditas ekspor utama yang diusa-
Penambangan batu karang bersama dengan hakan penduduk nelayan sejak masa kolonial
praktik penangkapan ikan dengan penggunaan dan sebelumnya. Khusus usaha teripang dan
bom dan bius dari bahan kimia beracun (po- kerang, menurut keterangan setempat, telah
tassium syanida) menjadi faktor utama keru- mengalami perkembangan dan berjaya hingga
sakan ekosistem terumbu karang yang parah periode tahun 1980-an. Komoditas hasil laut
dalam dan sekitar perairan Pulau Sembilan. baru berupa ikan segar jenis tertentu (kerapu/
Kondisi terumbu karang yang masih relatif sunu, kakap/katamba, napoleon/laccukang),
baik, menurut keterangan nelayan setempat, lobster/udang segar, ikan hidup (kerapu/sunu,
ialah hamparan terumbu karang pulau Lar- kerapu, napoleon), lobster/udang hidup, kerang
earea yang cukup luas. Hal ini dimungkinkan mata tujuh, dan rumput laut, diusahakan ne-
sejak pertengahan tahun 1990-an Larearea layan sejak akhir periode 1980-an hingga seka-
dijadikan kawasan lindung oleh Pemerintah rang. Pasar ekspor untuk komoditas hasil laut
Daerah Sinjai. tua berpusat di Cina, sedang untuk komoditas
Sektor ekonomi perikanan laut dan se- hasil laut baru ialah negara-negara berkembang
jarahnya. Bagi penduduk Pulau Sembilan, Asia Tenggara, terutama Hongkong.
perikanan laut merupakan sektor ekonomi Dalam konteks kebijakan pemerintah, ter-
paling dominan di antara sektor-sektor lain- dapat empat masa rezim pemerintahan yang
nya seperti perdagangan, angkutan laut, jasa, sedikit banyak mempengaruhi praktik dan
pertukangan, dan kerajinan. Dalam kaitannya teknologi eksploitasi sumberdaya perikanan,
dengan pemanfaatan sumberdaya hayati dan yakni masa pemerintahan Hindia Belanda,
nonhayati laut, aktivitas penangkapan ikan masa pendudukan Tentara Jepang, dan masa
dan penambangan batu karang merupakan Kemerdekaan Indonesia (terbagi dalam masa
fenomena kompleks yang masih jarang dikaji Rezim Kahar Muzakkar, masa Orde Baru, dan
selama ini. era Reformasi. Dalam masa Kolonial Belanda,
Sepanjang sejarah perikanan laut di Pulau hal yang patut dicatat ialah adanya kebijakan
Sembilan, menurut keterangan setempat, hasil tentang perlindungan terhadap spesies biota
tangkapan sebagai komoditas pasar nelayan laut seperti tiram, kerang, dan terumbu ka-
dapat dikategorikan atas dua, yakni komo- rang dalam batas 3 mil dari laut (Lembaran
ditas hasil laut tua dan komoditas hasil laut Negara/Staatsblad 1916 No.175 dan No.396).
baru. Komoditas hasil laut tua ialah teripang, Kebijakan perlindungan spesies-spesies yang
kerang (terutama kerang mutiara), tumbuhan rentan terhadap ancaman kelangkaan tersebut
laut (agar-agar, akar bahar, rotan laut), dan berupa pelarangan bagi nelayan menggunakan
ikan kering dari berbagai jenis5. Jenis-jenis sarana tangkap merusak seperti bom dan bius
beracun. Meskipun, personil keamanan sangat
5
Jenis-jenis komoditas hasil laut tua berupa teripang, terbatas waktu itu karena pengawasan ketat di
kerang (terutama kerang mutiara), sirip hiu, penyu, telur laut dan dengan sangsi hukum yang tegas dan
ikan, dan tumbuhan laut (agar-agar, akar bahar, rotan laut)
antara lain disebut dalam karya-karya C.C.Macknight, konsisten, maka kasus-kasus pelanggaran oleh
The Poyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern nelayan jarang sekali terjadi, dan tentu saja
Australia (1976), Melbourne University Press, Melbourne;
H.Sutherland “Tripang and Wangkang: The China Trade of
Eighteenth Century Makassar” (1987), Makalah; Tomoya graphical Studies, No.42, National Museum of Ethnology
Akimichi, Coastal Foragers in Transition. Senri Ethno- (1996).

64 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


berkonsekuensi positif terhadap kelestarian tempat di Indonesia, termasuk perairan Pulau
lingkungan laut dan kondisi keseimbangan Sembilan, telah banyak kali terjadi pelanggaran
sumberdaya perikanan. hukum oleh nelayan. Hal ini, menurut ket-
Sebaliknya, dalam masa pendudukan ten- erangan setempat, disebabkan oleh lemahnya
tara Jepang yang singkat, justru personil tentara sistem pengawasan dan kurangnya kesadaran
Jepang sendiri yang bertugas di kawasan laut hukum oleh banyak oknum aparat keamanan
melakukan penangkapan ikan pelagik dengan yang justru menyuburkan praktik KKN di laut.
bahan peledak. Tangkapan ikan mereka kering- Itulah sebabnya pada sebagian besar wilayah
kan, kemudian menjualnya ke Jepang negara perairan, termasuk kawasan karang Pulau
asal. Pada masa itulah nelayan Pulau Sembilan Sembilan, mengalami kerusakan parah.
yang direkrut dalam penangkapan ikan mulai Dalam era Reformasi, kesadaran pemer-
tersosialisasi dengan baik dalam hal keterampi- intah dan kalangan akademisi akan perlunya
lan merakit bom dan menggunakannya sendiri. pengelolaan pemanfaatan dan pemulihan
Dalam masa Pemberontakan Kahar Muzak- kerusakan ekosistem dan kemerosotan sum-
kar, secara dejure Pulau Sembilan dan pen- berdaya perikanan mulai meningkat. Hal ini
duduknya yang merupakan kesatuan-kesatuan diwujudkan melalui pengadaan Departemen
kampung termasuk dalam wilayah Negara ke- Kelautan dan Perikanan di tahun 1998/1999
satuan Republik Indonesia. Akan tetapi, secara untuk secara khusus bertanggung jawab terh-
defacto lebih banyak diduduki dan dipengaruhi adap program pengelolaan dan pengembangan
oleh kelompok gerombolan Kahar Muzak- potensi sumberdaya laut. Selama ini, sudah
kar. Bahkan, kepulauan dan penduduknya banyak program diimplementasi oleh pemer-
diberinya nama “Desa Pengharapan”. Seperti intah, antara lain dua program besar seperti
halnya dalam masa pendudukan tentara Jepang, Coral Reef Rehabilitation dan Management
dalam masa rezim Kahar Muzakkar, nelayan Programme (COREMAP) sejak tahun 1995,
bebas melakukan penangkapan ikan dengan berikut program Pengembangan Ekonomi
penggunaan bahan peledak. “Semua hasil laut Masyarakat Pesisir (PEMP) sejak awal tahun
diperuntukkan oleh Sang Pencipta/Allah bagi 2000-an yang masih berlanjut hingga sekarang
hambanya dan kalau hanya dengan bom saja di beberapa daerah target.
belum merusak lingkungan laut”, demikianlah Di Pulau Sembilan, dinamika mencolok
pendapat para pengikut Kahar Muzakkar yang dalam aktivitas ekonomi komunitas nelayan
sempat diungkapkan oleh nelayan senior di ialah dimulainya usaha budidaya laut sejak
Pulau Batanglampe. tahun 2001/2002. Hingga tahun 2004, terdapat
Sebaliknya, dalam masa Orde Baru, upaya- 10 keluarga mempraktikkan pembesaran ikan
upaya perlindungan lingkungan perairan dan kerapu dan lobster dalam keramba. Terdapat
sumberdaya laut banyak dilakukan dengan ber- beberapa di antaranya memelihara teripang,
bagai kebijakan berupa peraturan dan program kerang mutiara, dan yang sudah seringkali
pemerintah6. Ironisnya, karena di berbagai menikmati hasil panennya ialah pembudidaya
6 rumput laut. Pada umumnya hasil laut tersebut
Peraturan pemerintah antara lain: Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan No.7 tentang larangan eksploita- merupakan produk komoditas pasar ekspor.
si dan pengrusakan terumbu karang sepanjang pantai Aktivitas budidaya laut ini merupakan suatu
Provinsi Sulawesi Selatan; Peraturan Menteri Pertanian dinamika dalam diversifikasi usaha nelayan
No.375/Kpts/Ik 250/5/95; Peraturan Menteri Perdagangan
No.94/Kp/5/95; Amandemen Peraturan Direktorat Jenderal Pulau Sembilan yang cukup prospektif.
Perikanan No. H.K.330/DJ.8259/95.

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 65


Proses Penganekaragaman dan memperkuat dan memperkaya deskripsi dan
Penyeragaman dalam Dinamika Praktik penjelasan yang interkoneksitas di sana sini.
Nelayan Pemanfaat Sumberdaya Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya
Terumbu Karang
perikanan, tumbuhan laut, batu karang dan
Dari gambaran sosial demografi, asal pasir laut oleh penduduk nelayan Pulau Sem-
usul dan hubungan antaretnik, sejarah sosial bilan, proses ulang-alik (oscillational process)
ekonomi dan budaya nelayan Pulau Sembi- di antara diversitas dan homogenitas meru-
lan, maka dinilai tepat menerapkan perangkat pakan fakta empirik dan bertahan. Diversitas
konsep dinamika budaya dari Sanjek (dalam dipahami sebagai proses pergeseran aktivitas
Borofsky, 1994: 313) dalam kajian fenomena komunitas nelayan, khususnya aktivitas eko-
proses penganekaragaman dan penyeragaman nomi, dari suatu bentuk usaha seragam ke
praktik komunitas nelayan tersebut. Kebu- berbagai macam/bentuk usaha kenelayanan
dayaan, menurut Sanjek lainnya. Adapun homogenitas ialah arah proses
yang sebaliknya. karena proses tersebut adalah
“is … under continuous creation - fluid, inter-
connected, diffusing, interpenetrating, homog- fenomena budaya, maka hal ini secara mut-
enizing, diverging, hegemonizing, resisting, lak mengenai aspek-aspek kognitif, pilihan
reformulating, creolizing, open rather then teknologi dan praktik.
closed, partial rather then total, crossing its own
boundaries, persisting where we don’t espect it
Untuk deskripsinya, digunakan kasus
to, and changing where we do”. diversitas dan homogenitas usaha dan teknik
tangkap (termasuk jenis tangkapan) digunakan
Dalam penulisan ini, deskripsi dan analisis oleh nelayan pulau-pulau dalam Kecamatan
dinamika praktik lingkungan nelayan difokus- Pulau Sembilan. Mengenai proses diversitas,
kan pada dua fenomena mencolok, yakni misalnya, dari semula sebagian besar nelayan
proses ulang alik di antara penganekaragaman Kambuno dan Kodingare cenderung mengkhu-
dan penyeragaman dengan aplikasi kedua sus pada usaha selam (mencari teripang dan
konsep diversitas (diverging) dan homogenitas kerang) dan membom ikan-ikan berkelompok;
(homogenizing) yang diajukan oleh Sanjek. nelayan Liang-Liang pada umumnya memanc-
Diversitas mengacu pada proses penganeka- ing ikan-ikan karang (sunu, kerapu, katamba);
ragaman teknik dan praktik pemanfaatan sebagian besar nelayan Burungloe mengelola
sumberdaya laut, khususnya sumberdaya usaha bagang dan memancing tongkol; seba-
perikanan dari bentuk-bentuk yang seragam. gian besar nelayan Batanglampe mengkhusus-
Homogenitas mengacu pada proses sebaliknya, kan pada usaha teripang dan lobster; keban-
yakni beralihnya para nelayan dari penggunaan yakan nelayan Kanalo 1 mengkhususkan pada
teknik dan praktik yang bermacam-macam ke usaha bagang tancap dan mencari teripang;
suatu bentuk teknik dan praktik penangkapan dan sebagian nelayan Kanalo 2 menyenangi
yang relatif seragam. Dapat diasumsikan atau usaha jala dan gae rumpon. Adapun penduduk
secara hipotetis akan terjadi proses ulang alik Katindoang sendiri tetap mempertahankan
di antara keduanya secara terus-menerus. tradisi perdagangan antarpulau di luar sektor
Konsep-konsep lainnya dari Sanjek seperti penangkapan ikan.
changing, persisting, partial rather then total, Bahkan jika diamati secara cermat, ternyata
open rather then closed, dan yang dari Vayda bahwa pada setiap desa pulau masih memper-
(dalam Borofsky, 1994) seperti temporal ikut lihatkan perbedaan usaha penangkapan ikan

66 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


dengan teknik tangkap yang cukup menyolok. aktivitas tangkap ikan dan lobster hidup ialah
Di Kambuno, misalnya, disamping usaha beberapa nelayan Burungloe dan sebagian be-
teripang dan kerang dan bom ikan, penduduk sar nelayan Liang-liang. Hanya beberapa bulan
nelayan lainnya membagi diri dalam aktivitas- kemudian sebagian besar penduduk Kambuno,
aktivitas seperti menangkap ikan dan lobster Batanglampe, Kanalo 1, Kanalo 2, dan Kodin-
hidup (sejak awal 1990-an), memukat dan gare meninggalkan aktivitas penangkapan ikan
memancing ikan karang, mencari akar bahar yang berbeda-beda dan beralih ke usaha ikan
dan berbagai jenis kerang dan karang tertentu dan lobster hidup tersebut. Dalam paruh kedua
untuk bahan industri souvenir dan meramu dari periode 1990-an, berlangsunglah proses
agar-agar untuk pasar ekspor. Aktivitas-akti- penyebaran secara meluas dari pengetahuan
vitas mencari kerang dan karang serta meramu dan praktik penangkapan ikan dan lobster
tumbuhan laut, menurut keterangan setempat, hidup tersebut dalam wilayah Kecamatan
kebanyakan dilakukan oleh wanita Bajo Bajo Pulau Sembilan. Terkonsentrasinya keban-
sejak dahulu. yakan nelayan pulau-pulau pada usaha ikan
Adalah menjadi fakta pula bahwa penge- dan lobster hidup yang sudah terjadi di akhir
lolaan usaha dengan teknik penangkapan yang periode 1990-an hingga tahun 2002, menandai
berbeda-beda tentu melibatkan pula pengeta- proses homogenitas (sharing culture) dalam
huan yang berbeda-beda di antara individu- komunitas-komunitas nelayan Pulau Sembilan.
individu dan kelompok-kelompok nelayan Pu- Harus diketahui pula bahwa proses ho-
lau Sembilan tentang perilaku spesies-spesies mogenitas digambarkan di atas hanya sampai
tangkapan, lokasi penangkapan, waktu dan batas-batas jumlah penduduk, ruang, dan pe-
musim penangkapan, lokasi pasar dan tingkat riode tertentu, jadi bukan bersifat menyeluruh
harga, dan lain-lain. 100% (totality). Dapat diperkirakan bahwa
Mengenai fenomena proses homogeni- jumlah penduduk nelayan yang terlibat dalam
tas terdapat cukup banyak kasus yang bisa usaha ikan dan lobster hidup berkisar 65%
disajikan. Dalam gambaran ini kiranya cukup sampai 75% saja. Selebihnya mereka tetap
menyajikan kasus proses tumbuhkembangnya membagi diri dalam berbagai usaha penang-
usaha ikan dan lobster hidup yang cukup men- kapan ikan yang berbeda seperti sebelumnya.
colok di Pulau Sembilan - seperti halnya yang Bahkan ketika mulai muncul gejala persaingan
terjadi di kawasan terumbu karang lainnya antarnelayan memperebutkan sumberdaya ikan
dalam perairan Indonesia. Di Pulau Sembilan, (kerapu dan napoleon) dan lobster hidup yang
menangkap ikan dan lobster hidup yang dipas- stoknya sudah merosot drastis di akhir periode
arkan ke Hongkong sejak akhir periode 1980- 1990-an dan awal 2000-an ini, ternyata tidak
an merupakan usaha yang dalam waktu relatif sedikit nelayan kembali lagi pada penangkapan
singkat dapat menyebar luas dan dikelola oleh berbagai jenis sumberdaya perikanan lainnya
kebanyakan penduduk nelayan di setiap pulau. sebagaimana diusahakan sebelumnya. Proses
Pada mulanya, seorang pengusaha keturunan dinamika seperti ini dikonsepsikan sebagai
Tionghoa dari Kalimantan memperkenalkan proses ulang alik (oscillational process)
usaha ikan dan lobster hidup dan membuat di antara diversitas dan homogenitas yang
keramba (penampungan ikan dan lobster mungkin bisa berlangsung dalam waktu yang
hidup) di Burungloe di akhir periode 1980-an. lama.
Penduduk pulau yang pertama terlibat dalam Konsep-konsep seperti “perubahan”, “ber-

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 67


tahan”, “parsial”, dan “temporal” dapat juga ikan hidup tidak berjaya lagi akibat penangka-
melengkapi deskripsi kompleksitas fenomena pan berlebih (over-exploitation), maka boleh
dinamika praktik eksploitasi sumberdaya laut jadi kedua bentuk teknik tradisional tersebut
kawasan terumbu karang seperti ini. Dinamika menghilang lagi.
usaha bagang, adopsi gae (pukat cincin),
munculnya usaha ikan dan lobster hidup, Penjelasan kontekstual dan holistik
dan beberapa bentuk usaha budidaya laut di Penjelasan kontekstual dan empirik yang
Batanglampe jelas merupakan fenomena pe- diterapkan dalam kajian ini diilhami oleh
rubahan teknologi penangkapan ikan. Tetap pendekatan aksi dan konsekuensi dengan
dipertahankannya teknik eksploitasi tradisional metode penjelasan kontekstual progresif dari
dan praktik seperti memancing, memukat ikan Andrew P. Vayda (1983, 1988, 1992, 2009)
berkelompok (dengan beberapa tipe pukat dalam ekologi manusia. Pendekatan tersebut
tradisional), memasang bubu di dasar karang, mau menyajikan pembuktian secara empirik
menyelam (mencari teripang dan kerang), dengan menempatkan praktik pemanfatan
membom ikan, dan lain-lain merupakan sifat sumberdaya alam dan konsekuensinya dalam
bertahan (persistent) dari penggunaan variasi konteks pengaruh sosial budaya internal
teknik dan praktik eksploitasi sumberdaya dan eksternalnya. Prosedur penjelasannya,
ekosistem terumbu karang Pulau Sembilan. menurut Vayda, ialah (1) menetapkan konteks
Masih adanya teknik dan praktik tradisional pengaruh berdasarkan temuan lapangan, jadi
lain yang dipertahankan sebagian kecil nelayan bukan secara apriori; (2) konteks pengaruh
di setiap pulau memberi sifat partial sebagai internal (keinginan, maksud, tujuan, cita-cita,
yang tersisa dari proses penyeragaman praktik pengetahuan, ide, nilai, norma, lembaga) dan
eksploitasi sumberdaya laut. Adapun proses eksternal (kondisi fisik alam dan pasar) yang
penyeragaman penggunaan teknik tangkap pada kenyataannya terkait dengan praktik
tertentu yang hanya berlangsung dalam peri- eksploitasi sumberdaya alam atau laut yang
ode waktu tertentu kemudian menghilang atau menjadi acuannya; dan (3) dalam penjelasan
muncul lagi pada periode lainnya memberi sifat kausal kontekstual, peneliti harus melacak
temporal dari proses dinamikanya. Contoh benang-benang pengaruh secara kausal pada
konkritnya, hingga periode 1950-an digunakan aksi-aksi dan konsekuensi keluar dari ruang
bubu oleh sebagian besar nelayan Burungloe; (outward in space) dan kembali ke belakang
demikian halnya pancing kedo-kedo (teknik dalam waktu (back ward in time), menurut
pancing tarik-ulur dari perahu yang sedang konsep Vayda.
mundar mandir) yang digunakan hingga Adapun pikiran holistik yang dikembang-
periode 1960-an oleh sebagian kecil nelayan kan dalam tulisan ini dapat dikatakan sebagai
Kambuno. Ketika usaha ikan hidup meluas di paradigm holistik baru, yakni melihat (1) kes-
kalangan penduduk nelayan Pulau Sembilan eluruhan yang kompleks dari fenomena sosial
secara bersamaan diikuti dengan penggunaan budaya yang tampaknya saling oposisional
bubu dan pancing kedo-kedo lagi oleh ke- atau berbeda, tetapi sebetulnya merupakan satu
banyakan nelayan. Alasannya, karena kedua kesinambungan dalam proses dinamika linear
teknik tradisional tersebut cukup efektif untuk atau ulang-alik (oscillational process); (2)
penangkapan ikan kerapu dan napoleon dalam fenomena sosial budaya yang oposisional atau
kondisi hidup. Suatu waktu bilamana usaha berbeda tanpa relasional, namun berlangsung

68 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


dan dipraktikkan secara bersamaan atau silih proses keberagaman dalam dinamika eksploi-
berganti, misalnya oleh individu-individu atau tasi sumberdaya ekosistem terumbu karang
kelompok nelayan yang sama; dan (3) tahapan Pulau Sembilan sejak awal hingga sekarang.
proses adopsi dan aplikasi unsur budaya luar, Adopsi inovasi teknologi tangkap, ter-
asal usul dalam ruang dan waktu pada sistem masuk teknik budidaya laut, yang berbeda-
keterkaitan yang menyeluruh atau holistik. beda dari luar oleh kelompok-kelompok atau
Tentang bagaimana terjadinya proses individu-individu nelayan pulau-pulau juga
penganekaragaman dan penyeragaman usaha menjadi causal context dari terjadinya proses
kenelayanan dan teknik tangkap atau praktik penganekaragaman praktik eksploitasi sumber-
nelayan Pulau Sembilan, hal ini dapat dijelas- daya ekosistem terumbu karang Pulau Sembi-
kan dalam konteks sebab (causal contexts) lan. Misalnya, nelayan Kambuno, Kodingare,
dan holistik. Konteks sebabnya mencakup asal dan Batanglampe mengadopsi teknik bom ikan
usul tempat dan etnis, adopsi inovasi teknologi dari tentara Jepang di zaman pendudukan;
tangkap, situasi permintaan pasar, kondisi sum- nelayan Kanalo 1 mengadopsi dan memodi-
berdaya perikanan kawasan karang, dan bu- fikasi teknik bagang tancap dari Sinjai Timur
daya komunitas nelayan (keinginan, maksud/ di awal periode 1960-an; berikut nelayan Bu-
tujuan, cita-cita, pengetahuan). Dengan runglowe mengadopsi dan mengembangkan
penjelasan holistik, maka fenomena diversitas bagang perahu dari tempat lain di akhir periode
dan homogenitas dari praktik eksploitasi yang 1970-an; nelayan Kanalo 2 mengadopsi jala
melibatkan kelompok nelayan yang sama dan rumpon dari nelayan Mandar pendatang
dilihat sebagai satu proses kesinambungan dari Majenne (Sulawesi Barat) dalam periode
ulang-alik. 1960-an, berikut mengadopsi pukat gae di
Mengenai konteks asal usul tempat dan awal periode 1990-an; dan nelayan Burungloe
etnis, diketahui dari gambaran sebelumnya mengadopsi teknik pancing tongkol dari peru-
bahwa penduduk desa-desa dalam Kecamatan sahaan tongkol yang beroperasi di Teluk Bone
Pulau Sembilan ialah orang Bajo dan Bugis di awal periode 1960-an. Tentang fenomena
yang masing-masing membawa pengetahuan persebaran unsur-unsur budaya material dan
dan teknik penangkapan ikan yang beragam proses adopsinya oleh individu atau kelompok
dari tempat asalnya masing-masing. Orang penerima di mana-mana, dijelaskan dengan
Bajo dari Bajoe (Bone) dan tempat-tempat perspektif difusionisme yang dikembangkan
lainnya memiliki dan menerapkan teknik- pertama oleh para antropolog Jerman (dalam
teknik eksploitasi sederhana berupa menyelam Barnard, 2000).
mencari teripang dan kerang, memancing Konteks permintaan pasar, khususnya pasar
(dengan berbagai tipe pancing), menombak ekspor, terhadap jenis-jenis hasil laut tertentu
atau memanah, dan mengumpulkan tumbuhan jelas memperkuat keinginan nelayan untuk
laut. Adapun orang Bugis yang berasal dari mempertahankan teknik-teknik tradisional
desa-desa pantai, terutama Bone dan Sinjai, yang masih cocok dan mengadopsi teknik
memiliki dan menggunakan berbagai teknik tangkap baru dari luar yang sesuai. Bagi ne-
pancing, pukat, dan bubu. Latar belakang layan Pulau Sembilan, lakunya ikan dan lobster
tempat asal dan etnis serta pengetahuan dan hidup di pasar ekspor Hongkong sejak paruh
teknik eksploitasi yang berbeda-beda inilah kedua dari periode 1980-an memungkinkan
yang menjadi salah satu faktor berlangsungnya digunakannya secara meluas dan intensif dari

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 69


beberapa jenis alat tangkap tradisional yang baginya dalam menentukan pilihan-pilihan
sesuai berupa pancing dan bubu, sementara aplikasi teknik tangkap tradisional atau adopsi
teknik baru yang produktif tetapi destruktif inovasi teknik tangkap baru dari luar.
berupa bius (potassium syanida) juga diadopsi
dan digunakan sebagian besar nelayan. Hal Kesimpulan
ini berbeda dengan penggunaan batu karang Dari gambaran dan penjelasan di muka
secara meluas dan seragam jelas hanya dapat dapat disimpulkan bahwa kompleksitas praktik
dijelaskan dalam konteks internal Penduduk nelayan Pulau Sembilan dalam mengeksploi-
Pulau Sembilan, karena ini diperlukan se- tasi sumberdaya perikanan kawasan terumbu
mata untuk perlindungan dan pembangunan karang sebenarnya mencerminkan proses
pemukiman setempat yang tidak melampaui pergeseran secara ulang alik di antara diversitas
batas-batas geografi Kecamatan Pulau Sem- dan homogenitas sebagai suatu ciri dinamika
bilan sendiri. budaya seperti dikonsepsikan oleh Sanjek.
Adapun kondisi lingkungan laut kawasan Bahkan proses tersebut menunjukkan saling
terumbu karang Pulau Sembilan yang kaya interkoneksi secara holistik dengan fenomena
dengan biodiversitas sumberdaya perikanan perubahan, kebertahanan, sifat temporal, ket-
sudah barang tentu mengkondisikan secara erbukaan dan ketertutupan dengan dunia luar.
pasif tumbuh dan berlangsungnya usaha dan Untuk kajian fenomena tersebut, pendeka-
aplikasi teknik eksplorasi sumberdaya peri- tan aksi dan konsekuensi dengan mode penjela-
kanan yang beragam atau seragam di Pulau san kontekstual progresif adalah relevan dalam
Sembilan dari waktu ke waktu. Sebab dalam menggambarkan dan menjelaskan secara
rangka eksploitasi jenis-jenis yang berbeda- empirik dan menyeluruh terhadap fenomena
beda, nelayan memerlukan secara mutlak kompleksitas proses dinamika praktik hubun-
diversitas dan variasi teknologi tangkapnya. gan komunitas nelayan Pulau Sembilan dengan
Demikian sebaliknya, ketika salah satu jenis lingkungan ekosistem terumbu karangnya.
komoditas hasil laut meningkat nilai tukarnya, Asumsi yang dibangun dari kajian tersebut
maka kebanyakan nelayan beralih ke situ dan bahwa fenomena diversitas dan homogeni-
menggunakan teknologi dan praktik eksploitasi tas, perubahan, kontinyuitas, temporal dari
yang relatif seragam. fungsi praktik pemanfaatan sumberdaya laut
Konteks budaya yang menimbulkan proses merupakan ciri dan bahkan menjadi esensi
penganekaragaman atau penyeragaman praktik dalam proses dinamika budayanya; hubungan
eksploitasi ialah keinginan mempertahankan komunitas nelayan Pulau Sembilan dengan
atau mengganti jenis tangkapan, berikut lingkungan ekosistem terumbu karangnya.
teknologi dan praktik eksploitasi; maksud/ Pemahaman secara mendalam dan meluas
tujuan untuk memperoleh tangkapan lebih tentang fenomena kompleksitas dinamika prak-
banyak dan berkualitas; cita-cita pemenuhan tik eksploitasi sumberdaya terumbu karang dan
kebutuhan pokok, sosial, religius, pengemban- dampaknya dapat pula memberi manfaat bagi
gan usaha; dan sebagainya. Konteks klasifikasi perencanaan program rehabilitasi dan pengelo-
pengetahuan nelayan akan spesies-spesies bio- laan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang
ta laut bernilai ekonomi tinggi, perilaku biota yang berkelanjutan dan lestari di perairan In-
laut,taka-taka yang banyak sumberdaya ikan- donesia, khususnya perairan kawasan terumbu
nya (fishing grounds), tipe musim, daerah pasar karang Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai.
ekspor, dan sebagainya merupakan pedoman

70 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


Referensi

Acheson, James, M.
1981 “Anthropology of Fishing”. In Bernard J. Siegel, Alam R. Beals dan Stephen A.
Tyler (eds). Annual Review of Anthropology. Vol. 10 : 275-316, Palo Alto.
Akimichi, Tomoya.
1991 Coastal Foragers in Transition. Seri Ethnological Studies No. 42, National Museum
of Ethnology.
Barnard, Alan.
2000 History and Theory in Anthropology. Cambridge: University Press.
Borofsky, Robert.
1994 “Cultural in Motion” dalam Robert Borofsky (ed), Assessing Cultural Anthropology
(Section five, pp. 313-319). New York: Mc Graw-Hill, Inc.
Harris, Marvin.
1987 The Rise of Anthropologi Theory. New York: Crowell.
Kottak dan Elizabeth Colson.
1994. “Multilevel Linkages: Longitudinal and Comparative Studies” dalam Robert Borof-
sky (ed.), Assessing Cultural Anthropology (Section five, pp: 397-408). New York:
McGraw-Hill.
Lampe, Munsi.
1996 “Sistem Penguasaan Wilayah Perikanan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hayati laut
oleh Masyarakat Nelayan Bugis Makassar di sulawesi Selatan”. Bagian Kebudayaan
Bappeda TK I Sulawesi Selatan.
1999 Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman Intervensi Ber-
basis Masyarakat (Abd. Rahman Patji Ed.), Kerjasama antara Proyek COREMAP
dan Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (PPT-LIPI) Jakarta.
2004 Konstruksi Perilaku Hubungan Komunitas Nelayan Taka Bonerate dengan Lingkungan
Lautnya Sebelum dan Sesudah Menjadi Taman Nasional. Hasil Penelitian dibiayai
oleh Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
2004 “Masyarakat Bahari Wallacea dalam Catatan Antropologi Sosial Budaya”. Makalah
disajikan dalam acara First International Wallacea Symposium di Hotel Imperial
Aryaduta Makassar pada tgl 7 - 8 Desember 2004.
2005 “Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka dan Konsekuensi Lingkungan
dalam Konteks Internal dan Eksternal: Studi Kasus pada Nelayan Pulau Sembilan”
Humaniora, vol 17, nomor 3: 312-325.
2006 Pemanfaatan Sumberdaya Taka Pulau Sembilan: Studi Perilaku Nelayan dan Kon-
sekuensinya dalam Konteks Sosial Budaya Internal dan Eksternal (Tesis S3). Sekolah
Pascasarjana UGM Yogyakarta.

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 71


2007 “Kearifan Lokal Tradisional yang Tersisa dan Munculnya Praktik Baru yang Potensial
pada Komunitas Nelayan Pulau Sembilan” dalam Mengungkap Kearifan Lingkungan
Sulawesi Selatan (Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku
dan Papua Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. ed).
Lampe, Munsi, Darmawan Salman, dan Ansar Arifin.
1997 “ Studi Analisis Sosial – COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan”. Laporan Penelitian.
Universitas Hasanuddin – PPT-LIPI. Jakarta Proyek Dibiayai Bank Dunia.
Lampe, Munsi, Darmawan Salman, Ansar Arifin, dan Ramli AT.
1997 “ Studi Analisis Sosial – COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan”. Laporan Penelitian.
Universitas Hasanuddin – PPT-LIPI. Jakarta Proyek Dibiayai Bank Dunia.
Lampe, Munsi, Mardiana, dan Ramli A.T.
2000 ”Studi Pemanfaatan Sumberdaya laut dalam Rangka Optimalisasi Zonasi taman
Nasional Taka Bonerate”. Laporan Penelitian. Universitas Hasanuddin Bekerjasama
COREMAP LIPI, Jakarta.
Macknight, C.C.
1976. The Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne:
Melbourne University Press.
McCay, Bonnie J.
1978. ”System Ecology, People Ecology, and the Anthropology of Fishing Comunities”
dalam Human Ecology. Vol. 6, No. 4 : 397- 422.
McGoodwin, James R.
1990 Crisis in the World’s Fisheries: People, Problems, and Politic. Stanford, California:
Stanford University Press.
Osseweijer, Manon.
2001 “Taken at the Flood: Marine Resource Use and Management in the Aru Islanders
(Maluku, Eastern Indonesia)”. Dissertation Universiteit te Leiden.
Palsson, Gisli.
1999 “Human-Environmental Relations: Orientalim, Paternalism and Communalism” da-
lam Philippe Descola dan Gisli Palsson (eds.), Nature and Society: Anthropological
Perspectives, Chapter 4, pp 63-79. London, New York: Routledge.
Prins, A. H. K.
1965. Sailing From Lamu: Study About Maritime Culture. Assen Netherland: Van Garcum.
1985 Watching the Seaside: Essays on Maritime Anthropology. Festschrift on the Occa-
sion of His Retirement from the Chair of Anthropology, University of Groningen,
Nederland (Durk Hak, Ybeltje Krues, dan Hans Schneymann (eds.).
Pusat Studi Terumbu Karang (PSTK) Universitas Hasanuddin
(2000/2001)
Rappaport, Roy A.
1968. Pigs for The Ancestors: Ritual In the Ecology of New Guinea People. New Haven:
Yale University Press.

72 ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010


Sutherland, H.
1987 “Tripang and Wangkang. The China Trade of Eighteenth Century Makassar, 1972-
1820”. Makalah disajikan dalam Konferensi Tentang Trade, Society and Belief in
South Sulawesi, Leiden, 2-6 Nopember 1987.
Vayda, Andrew A.
1983 “Progressive Contextualization: Method for Research in Human Ecology”. Human
Ecology, 11 : 265-281.
1988 “Action and Consequences as Objects of Explanation in Human Ecology”. Environ-
ment, Technology and Society, 51: 2-7.
1992 “Studying Human Actions and Their Environmental Consequences”. In Forestry for
People and Nature. CYPED, Cabagan, Isabela Philipines, PP. 293-307.
2009 Explaining Human Actions and Environmental Changes. Lanham, New York, Toronto:
Altamira Press.
Vayda, Andrew P. dan R. A. Rappaport.
1968 “Ecology, Culture and Non-culture”. In J.A. Clifton (ed.), Introduction to Cultural
Anthropology. Houghton-Mefflin, Boston, pp. 477 – 497.
Winarto, T dan Munsi Lampe.
1999 Abrasion, Mangrove Conservation, Coral Reef Degradation. Jakarta: Departemen
Antropologi Fisip – Univ. Indonesia danUNESCO.

ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010 73

You might also like