You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak – anak, yaitu
sekitar 40% dari seluruh penyakit keganasan pada anak – anak yang berusia dibawah 15 tahun.
Secara genetik terjadi abnormalitas pada sel – sel hematopoietik yang menyebabkan peningkatan
proliferasi yang tidak terkontrol dan penurunan apoptosis sel darah sehingga pertumbuhan sel
yang melebihi biasanya namun bentuk dan fungsinya menjadi tidak normal dan menimbulkan
gejala – gejala leukemia. Akibatnya pada sumsum tulang dapat terjadi gangguan bahkan
kegagalan fungsi. Leukemia dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut dan Kronis, Leukemia
Mieloblastik Akut dan Kronis.1,3

Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif dengan transformasi
ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsum tulang dini (sel
blas). Kegagalan sumsum tulang seperti anemia, neutropenia dan trombositopenia adalah akibat
dari akumulasi leukosit ganas dalam sumsum tulang walaupun dapat juga terjadi infiltrasi
melalui darah menuju ke jaringan pada organ seperti hepar, lien, kelenjar getah bening,
meninges, otak, kulit atau testis. Apabila tidak diobati penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal,
namun lebih mudah diobati dibandingkan dengan leukemia kronik yang progresinya lebih lambat
namun lebih sulit diobati.5

Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan perawatan
suportif yang lebih baik, prognosis dari anak – anak dengan leukemia telah meningkat secara
bermakna. Kini lebih dari dua per tiga pasien dengan Leukemia Limfoblasik Akut yang diberi
pengobatan akan bebas gejala selama 5 tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus, pasien
– pasien tersebut akan sembuh.2

Karena kemudahan dalam memperoleh sampel limfoblas melalui sumsum tulang dan
darah, pengetahuan mengenai prinsip biologi sel tumor banyak berasal dari penelitian terhadap
leukemia pada manusia. Selain itu, informasi uji klinis dari pengobatan leukemia telah
memberikan kontribusi terhadap kemajuan dasar pengobatan dari segala jenis kanker. Penemuan
terbaru sitogenetik dan biologi molekuler pada leukemia telah memicu penelitian yang serupa
pada jenis keganasan lainnya.2
BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI
Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang berasal dari
sumsum tulang, disebabkan oleh beberapa faktor resiko selama kehamilan dan pasca
natal seperti kecacatan genetik, radiasi, infeksi dan paparan lainnya, ditandai oleh
adanya akumulasi proliferasi leukosit dan sel abnormal dalam sumsum tulang dan
darah, dapat menimbulkan komplikasi berupa sepsis, gangguan pembekuan darah
atau akibat kemoterapi, memiliki prognosis yang sulit ditentukan.2,3

II. KLASIFIKASI
Secara umum pembagian leukemia adalah akut, kronik dan kongenital. Leukemia
akut dan kronik pada awalnya dibedakan berdasarkan lama sakitnya selama
pemberian kemoterapi yang efektif, namun saat ini akut dan kronis dibedakan
berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas yang berproliferasi mengarah pada
leukemia akut dan bila terdapat lebih banyak sel matur maka diklasifikasikan
leukemia kronik, sedangkan kongenital bila leukemia terdiagnosa selama 4 minggu
pertama setelah kelahiran.1,7
Pada anak – anak leukemia akut lebih sering terjadi dibandingkan kronik dimana
hanya sekitar 2%. Oleh karena itu, FAB mengklasifikasikan leukemia akut
berdasarkan morfologinya sebagai berikut1,3 :

1. Leukemia Limfoblastik Akut


L1 : sel – sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak
tampak dengan kromatin homogen
L2 : Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih
kasar, satu atau lebih anak inti
L3 : Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti
banyak, kromatin berbercak.

2. Leukemia Myeloid Akut


M0 : Diferensiasi minimal dari myeloid
M1 : Myeloblas berdiferensiasi buruk tanpa maturasi, dapat ditemukan
Auer rods
M2 : Diferensiasi myeloblas dengan maturasi, lebih banyak ditemukan
Auer rods
M3 : Sel promyelositik dengan hipergranuler dan penuh dengan Auer
rods
M4 : Myelomonoblastik
M5 : Monoblastik
M6 : Eritroleukemik atau eritroblastik
M7 : Megakaryoblastik

Berdasarkan antibody monoclonal yang dapat mengenali antigen pada limfoid,


dihasilkan klasifikasi imunofenotip dari LLA yaitu sel T, sel B, transisional pre-B, sel
pre-B dan sel pre-B muda. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan leukemia sesuai
tahap maturasi normal.1,3

Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak – anak, meskipun begitu
leukemia kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang insidensinya pada
orang dewasa berusia 60 – 80 tahun, dan Leukemia Myeloid Kronik dimana berkisar
1 – 2% dari leukemia pada anak – anak.

Klasifikasi Leukemia Myeloid Kronik5 :

1. Leukemia mieloid kronik, Philadelphia positif


2. Leukemia mieloid kronik, Philadelphia negative
3. Leukemia mieloid kronik juvenilis
4. Leukemia neutrofilik kronis
5. Leukemia eosinofilik
6. Leukemia mielomonositik kronik

III. ETIOLOGI
Pada umumnya penyebab leukemia tidak dapat diketahui secara pasti, namun
terdapat beberapa faktor predisposisi yang diduga berkaitan dengan leukemia pada
anak termasuk genetik, lingkungan dan keadaan imunodefisiensi. Anak – anak
dengan cacat genetik seperti sindrom Down dan keadaan ketidakstabilan kromosom
lebih beresiko menderita leukemia. Paparan radiasi X-ray pada janin maupun anak
menunjukkan peningkatan insidensi LLA meskipun kasusnya sangat sedikit. Pada
beberapa negara berkembang terdapat hubungan antara anak yang terkena leukemia
dengan infeksi virus Epstein-Barr dimana terjadi mutasi dari sel progenitor limfoid.
Resiko memiliki keturunan leukemia pada ibu hamil ditentukan dari pola hidupnya
selama hamil seperti mengkonsumsi alkohol, obat terlarang maupun paparan kimiawi
lainnya.1,2,3,6
IV. EPIDEMIOLOGI
Insidensi puncak leukemia pada anak adalah ketika berusia 2 – 6 tahun, terutama
sekitar usia 5 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki – laki daripada anak
perempuan. Umumnya leukemia pada anak – anak dengan keadaan kromosom yang
abnormal. Pada anak kembar, bila salah satu anak menderita leukemia maka resiko
dari kembarannya jauh lebih besar daripada anak pada umumnya yaitu lebih dari 70%
bila anak yang pertama terdiagnosa kurang dari 1 tahun dan merupakan kembar
monokorionik. LLA adalah bentuk leukemia yang paling lazim dijumpai pada anak
yaitu sekitar 85% dari seluruh leukemia pada anak, prevalensi menurun ketika berusia
lebih dari 10 tahun. Sedangkan AML hanya 17%, maka dapat disimpulkan pada anak
lebih sering terjadi leukemia akut yaitu 97% dari seluruh leukemia pada anak dimana
leukemia kronik hanya 3%.1,3,5,6

V. PATOGENESIS
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia adalah asal mula gugus selnya
(clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi, kegagalan
diferensiasi petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel normal. Leukemia
akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai
jumlah sel yang dapat terdeteksi. Meskipun etiologinya belum diketahui, namun pada
penelitian ditemukan bahwa penyebab (agent) nya dapat melakukan modifikasi
nukelus DNA dan kemampuan ini meningkat bila terdapat kelainan genetic tertentu
seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler sehingga terbentuklah
gugus (clone) yang abnormal.3
Transformasi sel pada LMA dapat terjadi pada berbagai jalur perkembangan sel
induk sehingga ekspresinya berupa perkembangan gugus sel tertentu dengan akibat
dapat terjadi berbagai jenis sel leukemia. Misalnya transformasi leukemia terjadi pada
sel induk pluripotent yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau pada sel induk
yang dijuruskan untuk granulositopoisis atau monositopoisis.3
Abnormalitas kromosom yang berkaitan dengan jumlah kromosom, translokasi
atau delesi, yang menunjukkan prognosis dari pasien, dapat dijumpai pada hampir
semua penderita LLA. Dari semua kasus LLA, 85% berasal dari progenitor sel B,
15% berasal dari progenitor sel T, sedangkan sekitar 1% berasal dari sel B.1

VI. MANIFESTASI KLINIS


1. Leukemia Limfoblastik Akut
Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan singkat
bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi ketika
melakukan pemeriksaan rutin. Kebanyakan pasien mendapati keluhan seperti
demam selama 3 – 4 minggu sebelum terdiagnosa, bersifat intermiten. Selain
itu juga disertai keluhan karena kegagalan sumsum tulang seperti :
a. Anemia : pucat, letargi, dyspnea
b. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya
c. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan menoragia.

Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa nyeri
pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen dan sindrom
meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur dan diplopia).1,2,5

Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie,


limfadenopati dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak
pucat dan lesu, perdarahan kulit dapat pula berupa purpura ataupun ekimosis,
perdarahan pada mukosa. Keluhan nyeri tulang dan sendi dapat ditemukan
adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama pada ekstremitas bawah.
Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat jarang terjadi, meskipun
ada dapat berupa papil edema, perdarahan retina, kelumpuhan saraf kranial,
paraplegia dan paraparese. Tanda lainnya akibat infiltrasi leukosit ke organ
lain berupa pembesaran kelenjar saliva, pembesaran testis, pada ginjal
menyebabkan renal insufisiensi yang ditandai dengan nefromegali. Gangguan
pernafasan dapat disebabkan karena anemia ataupun terdapat massa di
mediastinum anterior berupa pembesaran thymus, biasanya terjadi pada
remaja dengan LLA tipe sel T.4,6,7

2. Leukemia Mieloid Akut


Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL yaitu
karena penumpukan sumsum tulang akan sel – sel ganas yang menyebabkan
kegagalan sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan mempunyai
gejala – gejala yang ditemukan pada kegagalan sumsum tulang ALL juga.
Terdapat beberapa gejala pada LMA yang tidak muncul pada LLA yaitu nodul
subkutan, hipertrofi gusi karena infiltrasi leukosit dan pada LMA dapat terjadi
disseminated intravascular coagulation (DIC) dengan perdarahan yang serius,
dapat juga ditemukan tumor local atau kloroma.1,4,5

3. Leukemia Mieloid Kronik


Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat
juga terjadi pada anak – anak dan neonatus. Etiologi dan faktor predisposisi
tidak diketahui, pasien sering asimtomatik dengan splenomegali masif pada
pemeriksaan rutin anak sehat. Tetapi dapat juga terjadi gejala seperti demam,
keringat malam, anoreksia, berat badan menurun, nyeri abdomen atau nyeri
tulang dan hepatomegali. Ada 3 fase LMK : fase kronis, fase akselerasi, dan
krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun – tahun,
hiperproliferasi elemen myeloid matur, yang nantinya akan masuk ke fase
akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang nyata dimana secara
morfologis ditemukan mieloblas namun dapat juga terjadi transformasi
limfoblas. Saat dimulai fase blas, jumlah darah meningkat tajam dan tidak
terkontrol dengan obat lagi, biasanya pasien akan meninggal pada usia 3 – 4
tahun setelah onset.1,4,5

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG4,5


Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta menentukan sudah sejauh
mana progresivitas atau perjalanan dari penyakitnya, diperlukan beberapa
pemeriksaan seperti :

1. Pemeriksaan hematologis
Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi
trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung
meningkat meskipun bisa normal atau menurun. Jumlah leukosit adalah hasil
yang paling bermakna pada leukemia dimana terjadi peningkatan massif
hingga lebih dari 200.000/mm3 pada keadaan tertentu seperti LMA yang telah
mengalami DIC dan leukostasis. Biasanya jumlah leukosit berkisar antara
10.000 – 50.000/mm3 pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya
dapat sampai diatas 100.000/mm3. Untuk mengetahui keadaan DIC pada
kasus AML juga perlu dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

2. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi


Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia dimana
terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai adanya
kelainan struktur atau komponennya. Hasil pemeriksaan SADT menunjukkan
ditemukannya sel blas dengan jumlah yang bervariasi. Khusus pada LMK
didapatkan jumlah basophil yang meningkat dan sel blas tidak banyak
dijumpai, namun ketika masuk fase krisis blas secara morfologis ditemukan
mieloblas meningkat, tetapi dapat juga terjadi transformasi limfoblas.

3. Pemeriksaan sumsum tulang


Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang
akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik
lebih dari 30%. Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas, hasil pemeriksaan
sumsum tulang akan menunjukkan hiperseluler dengan maturasi mieloid yang
normal.
4. Pungsi lumbal
Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat merupakan
tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya dapat menunjukkan
bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel leukemia.

5. Radiologis
Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi
osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran
thymus dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.

6. Fungsi hati dan ginjal


Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai
pengobatan.

7. Pemeriksaan biokimia darah


Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat
dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang, hiperkalsemia.
Keadaaan hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal ginjal akut.

8. Analisis sitogenetik darah


Pada kira – kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia myeloid
kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom ini berkaitan
dengan t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk leukemia akut bertujuan
untuk menentukan klasifikasi leukemia.

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai
untuk menegakkan diagnosis leukemia. Untuk diagnosis pasti harus dilakukan
aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan
penunjang yang telah disebutkan sebelumnya. Anemia dan trombositopenia sering
tampak pada sebagian besar pasien. Sel leukemia sering tidak tampak pada darah
perifer dalam pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia
tersebut sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal. Bila hasil analisis darah perifer
mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan
dengan tepat untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan LCS dapat menentukan
derajat LLA. Bila ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS maka disebut leukemia
meningeal. Ini menunjukkan derajat yang berat dan memerlukan terapi SSP dan
sistemik. Dengan ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa
mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu terapi, maka
pasien disebut LLA dengan resiko tinggi.1,3
Diagnosis LMA dapat diawali sebagai prolonged preleukemia, yaitu kekurangan
produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia dan
trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia tetapi ada
perubahan morfologis yang jelas, biasanya hiperseluler, kadang hiposeluler yang akan
menjadi leukemia akut. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik dan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri.3

IX. DIAGNOSIS BANDING


Gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada awal manifestasi leukemia sangat tidak
spesifik dan tidak khas sehingga banyak penyakit lain yang dapat dipikirkan sebelum
melakukan pemeriksaan penunjang dan menegakkan diagnosis leukemia.
Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah pada idiopatik
trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar tanpa ada tanda – tanda
anemia. Demam dan pembengkakan sendi dapat menyerupai penyakit rheumatologi
seperti juvenile rheumatoid arthritis dan demam rematik, penyakit kolagen vaskuler,
atau osteomyelitis.1,2
Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki gambaran
pansitopenia dan komplikasinya sama – sama kegagalan sumsum tulang, namun pada
anemia aplastic hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak ditemukan, dan tidak ada
lesi osteolitik seperti pada leukemia. Biopsi atau aspirasi sumsum tulang akan
menegakkan diagnosis.2
Infeksi virus pada anak – anak seringkali membuat diagnose leukemia sulit
ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia atau anemia
hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit atipikal dan titer virus
yang meningkat. Demam dengan onset akut dan limfadenopati pada mononucleosis
sangat perlu dicurigai, begitu pula dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi
peningkatan leukosit hingga 50.000 – 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit
leukemik.1,2
Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum tulang dan
menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain neuroblastoma,
rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma. Sel – sel pada keganasan –
keganasan ini biasanya berkelompok dan tumor primer dapat ditemukan.1,2
Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA, LMK dan
myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi diagnosis banding pada
bayi sindrom Down dengan leukositosis dan left shift.2
Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi berlebihan hingga
mencapai diatas 50.000/mm3. Jika leukosit bukan merupakan sel blas yang maligna,
sindrom ini disebut reaksi leukemoid, sering terdapat peningkatan myeloid imatur
atau prekursor limfoid di dalam darah perifer. Pada pemeriksaan sumsum tulang
secara khas menunjukkan hyperplasia myeloid dengan maturasi normal. Penyebab
lain reaksi leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolysis berat, vaskulitis,
obat – obatan dan adanya tumor yang metastasis ke sumsum tulang.4

X. PENATALAKSANAAN
Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase3, diantaranya ialah :
1. Fase remisi induksi
2. Fase intensif
3. Terapi susunan saraf pusat
4. Rumatan

Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari
sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak lagi
tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin setiap
minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan L-asparginase. Hasilnya
98% penderita akan mengalami remisi komplit. Pasien dengan resiko tinggi juga
diberikan daunomycin setiap minggu.1,2

Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas < 5%
pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12 g/dl tanpa
transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS normal. Tujuan pada fase ini
ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat sebelum timbul resisten hingga
pasien mencapai kondisi sembuh. Fase induksi remisi dan intensif dilakukan sampai 4
minggu.1,2

Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps leukemia
terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang ditemukan sel
leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan kemoterapi injeksi metotreksat
intratekal pada lumbal pungsi dan kemoterapi sistemik. Injeksi intratekal metotreksat
sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau
dosis tinggi (3-5 g/mm2). Pada pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu
pengobatan dengan radiasi otak dan medula spinalis.1,3

Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per
minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun.2

Transplantasi sumsum tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling efektif,


terutama pada kasus leukemia relaps yang tidak berespons dengan pengobatan
konvensional. Beberapa pendapat mengatakan lebih efektif dilakukan transplantasi
pada remisi pertama tetapi masih diperdebatkan. Meskipun sangat efektif perlu
diwaspadai reaksi graft-versus-host atau bahkan graft-versus-leukemia.1,3

Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 – 200


mg/m2/hari IV selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3 hari. Pada
LMA jarang diberikan terapi SSP karena jarang relaps pada saraf pusat. Pada LMA
tipe M3 pengobatan dengan asam retinoat yang dikombinasikan dengan antracycline
dilaporkan sangat responsive sehingga tidak diperlukan transplantasi sumsum tulang
pada remisi pertama.1,3

Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70% pasien
dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat menurunkan
leukosit secara bertahap sementara menunggu respons imatinib. Mengingat bahaya
dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang adalah satu – satunya pengobatan yang
dapat meradikasi sel leukemia.1,2

Selain pengobatan kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti hidrasi,


alkalinisasi dan allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat kemoterapi yang
dapat membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering menyebabkan mielosupresi
sehingga kadang transfuse eritrosit dan trombosit juga diperlukan. Antibiotik dapat
diberikan bila terdapat infeksi, namun profilaksis harus diberikan untuk mencegah
infeksi sekunder khususnya pneumonia hingga beberapa bulan setelah pengobatan
selesai.1

XI. KOMPLIKASI
Pada anak – anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel yang lisis
dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia, hyperkalemia dan
hiperfosfatemia yang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal juga bisa karena
infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif yang disebabkan
baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak – anak rentan terhadap
infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau terapinya akan
bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa. Gangguan koagulasi yang
lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular coagulopathy. Pengobatan
sistemik maupun sistem saraf pusat dapat menyebabkan leukoensefalopati,
mikroangiopati, kejang maupun gangguan intelektual pada beberapa anak.1
Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi lebih
dari 100.000/mm3. Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA, 5 – 22% dari LMA dan
pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik. Tindakan antisipasi dimulai saat
jumlah leukosit 50.000/mm3 dengan peningkatan dosis kemoterapi yang perlahan dan
pemberian hidroksiurea pada LMA dan dexamethasone pada LLA. Untuk
mengatasinya diperlukan tindakan yang segera (emergency oncology) karena
komplikasinya yang mengancam jiwa, antara lain3 :
1. Sindroma leukostasis
Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi
terutama pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena ukuran
mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih kaku. Leukostasis
di otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari pusing hingga peningkatan
tekanan intracranial. Leukostasis di paru menimbulkan dyspnea, hipoksia dan
gagal nafas. Pemberian leukoferesis dapat menurunkan jumlah leukosit
dengan cepat diikuti dengan hidroksiurea (50-100 mg/kgBB). Oksigen
adekuat dan koreksi jumlah trombosit serta faktor pembekuan juga perlu
dilakukan.3

2. Sindroma lisis tumor


Akibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi
hiperurisemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak bisa
diekskresi ginjal menimbulkan manifestasi gangguan metabolic. Sindroma
lisis tumor lebih sering terjadi pada LLA. Gagal ginjal dapat terjadi bila asam
urat serum lebih dari 20 mg/dl, perlu pemberian allopurinol, alkalinisasi urin
dengan natrium bikarbonat dan hidrasi yang cukup. Natrium bikarbonat
dihentikan bila pH urin > 7,5 karena bila berlebihan justru menciptakan
suasana basa yang memudahkan pengendapan kalsium fosfat sehingga terjadi
hipokalsemia. Sementara hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis dari sel
tumor, dapat diberikan insulin dan glukosa sebagai bahan pengikat fosfat.
Hiperkalemia > 7,5 mEq/L harus diatasi segera dengan kayesalate (1 g/kg
dicampur 50% sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi dari lisis sel tumor atau
oliguria dari hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung sehingga perlu
pemeriksaan EKG.3

XII. PROGNOSIS
Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa berdasarkan
faktor prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA semakin baik bila responsive
terhadap pengobatan dimana dalam pengobatan 1 minggu sel blas sudah tidak tampak
pada darah tepid an sumsum tulang.Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan
prognosis LLA adalah jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia diantara 1 – 15
tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin perempuan dan LLA hyperploid (>50
kromosom). Faktor prognostic yang memperburuk prognosis pada LMA ialah jumlah
leukosit yang tinggi, sebanding dengan ukuran splenomegaly, adanya koagulopati,
induksi remisi yang lambat, usia < 2 tahun dan > 4 tahun dan leukemia
monoblastik.2,3
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang berasal dari sumsum
tulang yang ditandai dengan akumulasi proliferasi leukosit dan sel abnormal dalam
sumsum tulang dan darah. Penyebabnya tidak diketahui secara pasti namun faktor
resiko seperti genetic, lingkungan, radiasi, infeksi dan keadaan imunosupresi
memiliki hubungan dengan angka kesakitan leukemia. Leukemia pada anak 97%
adalah akut dimana 85% ialah LLA dan 17% LMA, sementara leukemia kronik hanya
2% pada anak. Faktor tersebut akan mencetuskan modifikasi nucleus DNA sehingga
terbentuk clone yang abnormal dan terjadi kelainan proliferasi, sitogenetik, morfologi
dan diferensiasi. Manifestasi klinis yang timbul berupa akibat dari kegagalan sumsum
tulang dan infiltrasi leukosit ke organ sehingga dapat ditemukan organomegali.
Gejala sering tidak spesifik dan hanya berupa demam. Untuk membantu menegakkan
diagnosis perlu beberapa pemeriksaan penunjang dengan peningkatan jumlah
leukosit, tampak sel leukemia pada darah tepi, sumsum tulang dan LCS, dan
pemeriksaan sitogenetik. Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi
sumsum tulang yang akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas
leukemik lebih dari 30%. Leukemia perlu dibedakan dengan reaksi leukemoid dimana
hanya terjadi peningkatan leukosit tanpa ada perubahan morfologi. Perlu juga
disingkirkan penyebab demam dan kegagalan sumsum tulang. Pengobatan dengan
kemoterapi bertujuan mengeradikasi sel blas dari darah dan sumsum tulang untuk
mencapai remisi, juga melakukan profilasis terhadap relaps di SSP yang dilanjutkan
kemoterapi rumatan selama 2 tahun. Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan bila
relaps gagal dengan terapi konvensional. Komplikasi yang timbul dapat akibat dari
penyakitnya atau terapinya. Prognosis dari pasien leukemia tergantung dari respon
terapi awal, jumlah leukosit awal, usia dan jenis kelamin.

SARAN
Pasien yang terdiagnosa leukemia disarankan untuk melakukan pengobatan
secepatnya karena ini menentukan prognosis dari pasien dan juga dianjurkan untuk
melakukan terapi sesuai jadwal karena membutuhkan waktu yang lama. Perlu
disampaikan bahwa pengobatan dalam jangka waktu lama membutuhkan dukungan
dari keluarga dan kesabaran dari pasien karena dapat mempengaruhi kondisi
akademis, perkembangan dan psikososial dari pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson Textbook of


Pediatrics 18th Edition : 2116 – 2122
2. Rudolph MA, JIE Hoffman, CD Rudolph, Leukemia in Rudolph’s Pediatrics 20th Edition :
1269 – 1278
3. Parmono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Leukemia Akut;
Kedaruratan Onkologi Anak dalam Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak 2010 : 236 –
325
4. Schwartz WM, Leukositosis dalam Pedoman Klinis Pediatri 2005 : 441 – 445
5. Hoffbrand VA, Pettit JE, Moss PAH, Leukemia Akut; Leukemia Mieloid Kronik dan
Mielodisplasia dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4 2005 : 150 – 176
6. Hull D, Johnston DI, Leukemia Akut dalam Dasar – Dasar Pediatri Edisi 3 2008 : 209 –
212
7. Green T, Franklin W, Tanz RR, Leukemia in Pediatrics Just the Facts 2005 : 376 – 377

You might also like