Professional Documents
Culture Documents
IDENTITAS IBU
Nama : Ny. Sairah
Umur : 42 thn
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kaung jetak RT 09 RW 03, Gunung Kaler
IDENTITAS AYAH
Nama : Tn. Kadri
Umur : 45 thn
Jenis kelamin : Pria
Pekerjaan : Buruh panggul pabrik
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kaung jetak RT 09 RW 03, Gunung Kaler
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tanda vital :
Tekanan Darah : tidak dilakukan
Nadi : 113 x/menit,
Respirasi : 44 x/menit
Suhu :37,4 0C
Antropometri
• BB : 2550 kg BB/U : 3rd percentile (perbatasan garis merah)
• LK : 34 cm PB/U : median
• PB : 47 cm
STATUS GENERALIS
Kepala:
Ubun- ubun : UBB datar, terbuka
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Lakrimasi +/+
Hidung : Pernafasan cuping hidung ( - )
Mulut : Mukosa mulut dan lidah basah
Mulut mencucu (-)
Leher : Retraksi suprasternal ( - )
KGB tidak dinilai
Toraks :
Pulmo :
Anterior Posterior
STATUS NEUROLOGIS
Motoris : Tonus (spastis +, flaccid -)
Clonus (-)
Sensoris : rangsang nyeri (+)
Fungsi vegetatif : BAB/BAK=normal
Refleks : fisiologis dan patologis : tidak diperiksa
NBS : setara dengan usia gestasi 38-39 minggu
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi rutin :
Hb : 17,1 g/ dL
Leu : 11.400 / µL
Ht : 50 %
Tr : 320.000 /µL
Erit : 4,9 (10^3/ µL)
Hitung jenis :
Bas / Eos/ Bat / Seg/ Lim/ Mon = 0/ 3/ 3/ 34/ 49/11
Imunoserologi :
CRP : Negatif
Kimia klinik :
GDS : 58 mg/dL
DIAGNOSIS MASUK
Tetanus neonatorum + Hipoglikemia
PENATALAKSANAAN IGD
Umum / Nonfarmakologi :
Pro rawat NICU
OGT
Tutup kain hitam
Minimal handling
Farmakologi :
IVFD D15% 1/5 ( 2-3cc/KgBB/jam) 5,1 cc/jam
ATS 10.000 IU : ( 5000 IM + 5000 IV) atau tetagam 750 IM
Penicillin prokain ( 100/kgBB/ 4x pemberian) 4x 67,5 gram
Diazepam 0,1 – 0,3 bila kejang
PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia ad bonam
• Quo ad functionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Follow up Tatalaksana
11 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canule 1L/m
N : 148 x/m R: 35 x/m - ASI 8x1 cc via OGT
Spasme rangsang (+) kejang (+) - Diazepam 6x0,3 mg IV
Ikterik : kremmer II-III - PP 4x 67,5 mg IM
Opistotonus (+) - N5 (470) + CaGluk
Mulut mencucu (+) (20) + KCl (10)
12cc/jam
A: Tetanus Neonatorum - Vik K inj
Hiperbilirubinemia
12 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canule 1L/m
N : 119 x/m R: 35 x/m - ASI 8x 1 cc via OGT
Spasme rangsang (+) kejang (+) - Diazepam 6x0,3 mg IV
Ikterik : kremmer II-III - PP 4x 67,5 mg IM
Opistotonus (+) - Metronidazole 3x25
Mulut mencucu (+) mg IV
- Fototerapi
A: Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
13 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canule 1L/m
N :122 x/m R: 40x/m - ASI 8x 1cc via OGT
Spasme rangsang (+) kejang ↓ - Diazepam 4x0,3 mg
Ikterik (+) ↓↓ IV
Opistotonus (+) - Antibiotik lanjut
Mulut mencucu (+) - Fototerapi stop
A: Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
14 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canul ↓40%
N : 126 x/m R: 35x/m 1L/m
Spasme rangsang (+)↓ - ASI 8x 3cc via OGT
Kejang (+) ↓↓ , Spastik (+) - Diazepam 5x 0,3 IV
ikterik (-) - Antibiotik lanjut
Opistotonus (+) - N5 (470) + CaGluk
Mulut mencucu (+) (20) + KCl (10)
13,5cc/jam
A: Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
15 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canul ↓40%
N :140 x/m R: 42x/m 1L/m
Kejang (+)↓↓ , Spastik (+) - ASI 8x 5 cc via OGT
Mulut mencucu (+) - Diazepam 5x0,3 mg IV
Opistotonus (-) - Antibiotik lanjut
- Minimal handling
A: Tetanus Neonatorum - ACC dr.dewi Sp.A
Hiperbilirubinemia pindah dari NICU ke
peri sakit pkl 22.06
A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
19 Juli 2017 S/O : - O2 aff
N : 121 x/m R: 48x/m - ASI 8x 8cc via OGT
Kejang (-) , Spastik (+) - Diazepam stop
Mulut mencucu (-) - Antibiotik lanjut
Thrx : Str +/+ - Fisioterapi
Eks: Phlebitis cruris sinistra - Latih menyusu
Hasil fisioterapi :
Kaku seluruh tubuh.
sucking reflex (-), ada tahanan
pada mulut
A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
20 Juli 2017 S/O : - ASI 8x 12,5-15 cc via
N : 111 x/m R: 54x/m OGT
Kejang (-) , Spastik (+) - Antibiotik lanjut
Thrx : Str -/- - Fisioterapi
Eks: Phlebitis (-) - Latih menyusu
Edema pitting eks atas : -/-
eks bawah : +/+
A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
21 Juli 2017 S/O : - ASI 8 x 12,5 – 15cc via
N : 127 x/m R: 34x/m OGT
Kejang (-) , Spastik (+) - PP 4x 67,5 mg inj
Eks: - Metronidazole 3x 25
Edema pitting eks atas : -/- mg stop
eks bawah : +/+ - Fisioterapi
- Latih menyusu
A : Tetanus Neonatorum - Persiapan pulang
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
22 Juli 2017 S/O : - ASI 8 x 12,5 – 15cc via
N :130 x/m R: 33 x/m OGT
Kejang (-) , Spastik (+)↓↓ - PP 4x 67,5 mg stop
Eks: Edema -/- - Fisioterapi
- Latih menyusu
A : Tetanus Neonatorum - Persiapan pulang
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
24 Juli 2017 S/O : Boleh Pulang
N :121 x/m R: 3o x/m Kontrol kembali ke Poli
Kejang (-) , Spastik (+)↓↓ Anak tgl 27 Juli 2017
Terapi pulang (-)
A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
27 Juli 2017 S/O : - Vaksin HepB 0
T.A.K - Ferriz drop 1x 0,3 mL
BB : 2,8 kg - Apialys drop 1x 0,3 mL
Spastik (-) - Kontrol kembali 1
minggu
A: kontrol post Tetanus
Neonatorum
3 Agustus 2017 S/O: - Vaksin BCG
T.A.K - Vaksin Polio Oral
BB: 3,1 kg - Kontrol kembali 1 bulan
DIAGNOSIS KELUAR
Utama : Tetanus Neonatorum
Sekunder : Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
PEMBAHASAN
TETANUS NEONATORUM
DEFINISI
Tetanus berasal dari bahasa Yunani yang berarti peregangan. Tetanus adalah penyakit dengan
tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini dampak dari
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman C. Tetani pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, neuromuscular junction, dan saraf autonom.
ETIOLOGI
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman basil gram
positif, anaerob, bentuk batang dan ramping dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk
seperti drumstick. Mampu membentuk spora yang mampu bertahan dalam suhu tinggi
(mendidih,tetapi tidak dalam autoklaf), kekeringan dan desinfektan. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang
anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang akan menghasilkan2 toksin utama yaitu
tetanospasmin dan tetanolysin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak
leukosit dan merupakan tetanoplasmin Menghasilkan eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering .
Merupakan obligat Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak menggunakan flagella Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran
pencernaan manusia dan hewan.
PATOFISIOLOGI
Spora Clostridium tetani masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang
tidak memenuhi syarat kebersihan misalnya :
- Pemotongan tali pusat dengan bambu atau gunting yang tidak steril
- Setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan, dsb
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex dan
berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah,
nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan
ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas
serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower
motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin.
Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan.
Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga
tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi
eflexe dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat
terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin
menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini
pada eflexe neuron motorik.
Otak
Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan
kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
Saraf otonom
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan,
eflexeea, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang
terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar,
pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti
disebutkan diatas.
MANIFESTASI KLINIS
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa
inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berap penyakit selain berdasarkan gejala
klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.
Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh,
tanpa disertai gangguan kesadaran.Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan
dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
KLASIFIKASI
DIAGNOSA BANDING
2. Perinatal (trauma)
KOMPLIKASI
Bronkhopneumonia aspirasi
Asfiksia dan gagal nafas karna laringospasme
Hiperadregenik
Sepsis nosokomial
Fraktur tulang
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
Umum
Tujuan terapi iini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan
tersebut dapat diperinci sbb:
Merawat dan membersihkan luka dgn steril : membersihkan luka, irigasi luka,
debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta
kompres dengan H2O2, dalam hal ini tatalaksana terhadap luka ttersebut dilakukan 1-
2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotik. Sekitar luka disuntikkan ATS.
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan diberikan parenteral atau via OGT.
Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomy bila perlu
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
Farmakologi
Antibiotik
Diberikan parenteral Penicilline Procain 1,2 Juta unit/hari, Intramuscular. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/KgBB/12 jam
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap penicilline, obat dapat diganti
dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40mg/kgBB/24 jam, dosis max 2gram
dan diberikan dalam dosis terbagi 4 dosis. Antibiotika ini hanya bertujuan untuk
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Metronidazole 30 mg/kg/hari, intravena selama 7-10 hari. Dibagi menjadi 3 dosis.
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis
3000-6000 U, single dose, Intra Muscular. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk
menggunakan Tetanus Anti Toksin, dengan dosis 40.000 U, cara pemberiannya
adalah 20.000 U dari antitoksin dimasukan kedalam 200 cc cairan NaCl dan diberikan
secara intravena, harus diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. 20.000 U dosis tersisa
diberikan secara IM
Tetanus toksoid
Pemberian Teanus toksoid yang pertama dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin, diberikan pada sisi yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM.
Anti konvulsan
Obat anti kejang yang sering dipergunakan untuk tetanus nenatorum adalah diazepam,
obat ini diberikan via intravena yang diberikan setiap 2-4 jam. Pemberian dosis
diazepam setelah kejang terkontrol adalah 10mg/kgBB/hari (0,1-0,2mg/kgBB/ kali),
setiap 3-6 jam. Dosis maksimal 40mg/kgBB/hari. Kemudian dilakukan evaluasi
terhadap kejang. Bila kejang masih terus berlangsung, dosis diazepam dapat dinaikan
secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Bila dosis optimum telah didapat, dosis
dapat dipertahankan selama 2-3 hari, bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10-15% dari
dosis optimum. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila
terjadi kejang, sangat sukar diatasi dengan penaikan ke dosis semula yang efektif. Bila
dengan penurunan bertahap terjadi kejang, dosis harus segera dinaikan kembali ke
dosis semula. Bila dalam penggunaan diazepam kezang masih terjadi, dan dosis
maksimal sudah dicapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus
dilakukan.
PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh beberapa faktor dan akan buruk pada masa inkubasi yang pendek (kurang
dari 7 hari), usia yg sangat muda (neonatus), dan usia lanjut. Prognosis tetanus
diklasifikasikan dari tingkat keganasannya menjadi :
1. Ringan : bila tidak adanya kejang umum
2. Sedang : bila sesekali muncul kejang umum
3. Berat : bila kejang umum yang berat sering terjadi
Masa inkubasi tetanus neonatorum berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau
lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi. Makin
pendek masa inkubasi, prognossis makin buruk. Prognosis buruk bila :
Umur bayi kurang dari 7 hari
Masa inkubasi kurang dari 7 hari
Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam
Dijumpai muscular spasm
TALI PUSAT
DEFINISI
Tali pusat merupakan jaringan ikat yang menghubungkan antara plasenta dan janin yang
memiliki peranan penting dalam interaksi antara ibu dan janin selama masa kehamilan.
Jaringan ini berfungsi menjaga viabilitas dan memfasilitasi pertumbuhan embrio serta janin.
Tali pusat sangat penting bagi perkembangan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup fetus
karena berfungsi sebagai sumber oksigen, nutrien dan pembuangan zat-zat sisa. Proses ini
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin.
ANATOMI
Pembuluh darah tali pusat memiliki struktur dan fungsi yang berbeda dibandingkan dengan
pembuluh darah lain di dalam tubuh. Arteri pada tali pusat memiliki fungsi untuk
mengalirkan darah dari janin menuju ke plasenta, sedangkan vena pada tali pusat memiliki
fungsi mengalirkan darah dari plasenta menuju ke janin.
Lapisan terluar tali pusat terdiri dari epitel amnion dan didalamnya terdapat massa internal
mesodermal yang disebut wharton’s jelly. Didalam lapisan wharton’s jelly terdapat dua
saluran endodermal (duktus allantois dan duktus vitellini) dan pembuluh darah umbilikalis.
Struktur tali pusat normal terdiri dari dua arteri umbilikalis, dan satu vena umbilikalis yang
dikelilingi oleh wharton’s jelly, dan lapisan tunggal selaput amnion. Arteri umbilikalis yang
berasal dari aorta embrio selanjutnya akan menjadi cabang-cabang arteri iliaka interna pada
janin.
NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA
DEFINISI
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atausklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada orang
dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL (>17 µmol/L),sedangkan
pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5 mg/dL (>86 µmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95 %.
METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak
75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase, dan
heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan.3
1. Transport bilirubin
2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Konjugasi
4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
5. Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi
bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan
hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin
dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan heamoglobin
karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir
akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari.
Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi
lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus
yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik.1
Transport bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan
kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai
afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-
obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu
bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, δ-bilirubin tidak akan tampak. Peningkatan kadar δ-
bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi baru lahir normal yang lebih tua dan
pada anak. Konsentrasinya meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia
terkonjugasi persisten karena berbagai kelainan pada hati.
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi
retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat
pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.
KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Halini terjadi karena terdapatnyaproses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginyakadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5 – 7,kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubin pun
biasanyatidak > 10 mg/dL (171µmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 µm
ol/L) pada bayi cukup bulan.
Masalah timbul apabilaproduksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hepar
menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak
yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian.
Karenaitu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan
bukan suatu keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus
patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini juga merupakan
penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan ini adalah diagnosis
eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang lebih serius,
seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik (Marcdante, Kliegman, Jenson, &
Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunanclearance bilirubin.1
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
§ Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya
sebagai berikut:
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan, bilirubin direk
lebih dari 1,5 mg/dL.
c) Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e) Hepatosplenomegali dan anemia
f) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Selain itu, neonatal beresiko untuk
mengabsorbsi bilirubin intestinal karena empedu neonatus mengandung kadar bilirubin
monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga
mengandung sejumlah glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin
terkonjugasi menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus
kurang mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid
dan mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (penyakit
Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan
hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang
lebih rendah.
PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan
dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan
untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak
terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus
hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat
bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida
terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat
masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen.
Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu
untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal
level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin
>2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan
hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan
hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.2
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-
fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,
deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau –
toksoplasma
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.
Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan
peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
- Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.
a. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah),
hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat,
glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus
pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
b. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens
pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun
pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat
mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun
secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan
pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti
hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya.
Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui,
tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-
3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.
2. Pemeriksaan fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit
setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan
menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara
sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang
andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum.
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau
penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
3. Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus
menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung
retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan --direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin
untuk --mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi
kongenital, sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.
- Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu yang
pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam.
7) Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses tidak keluar dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan
waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan
frekuensi jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran produk ASI dengan cara memompa, dan menggunakan
fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas
ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan
jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat >20 mg/dL atau ibu
memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.
LARING
ANATOMI
Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di sebelah
ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os
hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh
kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi laring
dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea,
krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago
aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh
jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana
kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan
dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah
konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana
kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.
Laring berfungsi dalam kegiatan sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.
Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.
krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda
asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai
katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam
menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat
menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh
jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh
cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.
LARINGOMALASIA
DEFINISI
Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik
sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Laringomalasia termasuk pada kelainan
kongenital pada laring dan belum diketahui adanya faktor genetik. Kemungkinan lebih sering
terjadi pada anak dengan Down Syndrome.
ETIOLOGI
Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari kelainan
embriologik. Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran, beberapa kelainan baru nampak
secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori besar mengenai penyebab kelainan
ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan
yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini
banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin
merupakan salah satu faktor etiologinya.Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun
laringomalasia marupakan penyebab tersering timbulnya stridor inspiratoar pada bayi.
Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoar berkisar antara 50%-75%.
Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.
PATOFISIOLOGI
Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika
mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang
bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped
epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus,
kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas
laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoar ini menyebabkan stridor inspiratoar, yang
terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.
Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan fibrosa
dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap
perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi
proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat
dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang
dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat. Dengan
bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan menjadi kurang air, lebih
fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar,
dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing
kasus.
Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid ditemukan
mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia umumnya
dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang
mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan
prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya
sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas
selama periode inspirasi.
GAMBARAN KLINIS
Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan kelainan
laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa tangis
tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoar serta kesulitan menelan yang merupakan
akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus
Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat baru
dilahirkan. Stridor inspiratoar biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan awalnya
ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 – 9 bulan.
Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya pada usia
18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas lima tahun.
Stridor tidak terus-menerus ada; namun lebih bersifat intermiten dan memiliki intensitas yang
bervariasi.
Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi dapat
terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada saat
dalam posisi pronasi. Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras stridor.
PENATALAKSANAAN
Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu. Lesi
sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya
meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama
dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa.
Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi
mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan
menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan
memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat
pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan
oksigen. Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini.
Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang
terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan
operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. Supraglotoplasti
dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan. Selain itu juga dapat dilakukan
laryngoplasty atau laser epiglottopexy.
PROGNOSIS
Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh sendiri,
dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala
menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus,
walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya
stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa
DAFTAR PUSTAKA
1. Garna, herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD
2. Hegar, badriul. 2010. Pedoman pelayanan medis. Jakarta : IDAI.
3. Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
4. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC
5. Stephen S. Tetanus edited by. Behrman,dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
6. Merdjani, A., dkk.2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan Penerbit IDAI,
Jakarta
7. Dr. Rusepno, A.,dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72. Cetakan kesebelas Jakarta:2005
8. Abdurrahman. S, Hiperbilirubinemia dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku Ajar
Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal. 147-169)
9. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., & Damanik, S. M. (t.thn.).
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN
NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo - Surabaya , 1-14.
10. Pudjiadi Antonius. H, Hegar. B, dkk. Hiperbilirubinemia dalam Pedoman Pelayanan
Medis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal 114-122 )
11. (2014). Anemia dan Hiperbilirubinemia. Dalam K. J. Marcdante, R. M. Kliegman, H.
B. Jenson, & R. E. Behrman, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (Indonesian
Edition) (hal. 274-277).
12. Martiza, I.). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I.
Rosalina, & N. S. Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. 2012. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal. 263-284)
13. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Managem
ent of hyperbilirubinemia in thenewborn infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294