You are on page 1of 41

CASE PRESENTATION

INTERNSIP RSUD BALARAJA


TETANUS NEONATORUM

dr. Shereun Husna Azhima


IDENTITAS PASIEN

Nama : Bayi ny. Sairah


Umur : 8 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 1 juli 2017, pukul 00.30
Alamat : Kp. Kaung jetak RT 09 RW 03, Gunung Kaler

Tanggal Pemeriksaan : di IGD : 9 Juli 2017


di Rawat Inap : 9 Juli - 23 Juli 2017

IDENTITAS IBU
Nama : Ny. Sairah
Umur : 42 thn
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kaung jetak RT 09 RW 03, Gunung Kaler

IDENTITAS AYAH
Nama : Tn. Kadri
Umur : 45 thn
Jenis kelamin : Pria
Pekerjaan : Buruh panggul pabrik
Pendidikan terakhir : SD
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kaung jetak RT 09 RW 03, Gunung Kaler
ANAMNESIS

Keluhan utama : Demam 3 hari SMRS


Anamnesis khusus:
Pasien datang ke IGD dgn keluhan demam yang dirasakan sejak 3 hari SMRS.
Demam dirasakan hilang timbul. Tidak ada waktu spesifik kapan demam dirasakan hilang
dan timbul. Keluhan demam disertai keluhan tidak mau menyusu yang dirasakan sejak 3 hari
SMRS. Pasien diakui tidak mau menyusu semenjak mulut pasien dirasakan ibu pasien
mencucu. Keluhan disertai kejang yang dirasakan 4 jam SMRS. Kejang diakui 1x, durasi
kejang 1-2 menit. Kejang dirasakan kaku, tidak kelojotan. Setelah kejang pasien menangis
Pasien lahir dari ibu P4A0, merasa hamil 39 minggu, bayi lahir letak kepala, lahir
normal persalinan spontan di rumah pasien dibantu oleh dukun paraji. Bayi diakui langsung
menangis. Berat badan lahir 2700 gram, ibu pasien mengaku tidak ingat panjang badan lahir
pasien.
Selama hamil kontrol teratur ke bidan 6 kali. Selama hamil ibu tidak pernah dirawat.
Ibu penderita hanya minum obat-obatan dan vitamin dari puskesmas dan bidan desa . Ibu
pasien mengakui suntik tetanus saat kehamilan sebanyak 2x. (di bidan desa dan di puskesmas
gunung kaler). Riwayat tekanan darah tinggi diakui selama kehamilan. Menurut bidan
setempat proteinuria diakui negatif. Riwayat memelihara binatang peliharaan seperti ayam
dan kucing tidak ada.
Pasien merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Kakak pertama meninggal beberapa
menit setelah ibu pasien melahirkan. Kakak kedua hidup berusia 23 thn. Kakak ketiga hidup
berusia 14 tahun. Ibu pasien melahirkan ke 4 anaknya bersama dukun paraji di rumah.
Riwayat persalinan yaitu ibu pasien merasakan mules sejak 4 jam sebelum bayi lahir.
Bayi lahir pukul 00.30 dibantu oleh dukun yang datang ke rumah. Ibu pasien melahirkan di
bawah lantai yang beralaskan karpet plastik. Peralatan persalinan menggunakan peralatan
milik dukun paraji. Tali pusat dipotong menggunakan sembilu. Bayi menangis spontan.
dikeringkan memakai kain yang kering.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tanda vital :
Tekanan Darah : tidak dilakukan
Nadi : 113 x/menit,
Respirasi : 44 x/menit
Suhu :37,4 0C

Antropometri
• BB : 2550 kg BB/U : 3rd percentile (perbatasan garis merah)
• LK : 34 cm PB/U : median
• PB : 47 cm

STATUS GENERALIS
Kepala:
Ubun- ubun : UBB datar, terbuka
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Lakrimasi +/+
Hidung : Pernafasan cuping hidung ( - )
Mulut : Mukosa mulut dan lidah basah
Mulut mencucu (-)
Leher : Retraksi suprasternal ( - )
KGB tidak dinilai
Toraks :
Pulmo :
Anterior Posterior

Inspeksi Retraksi intercostal (-/-) Retraksi tidak dinilai


Palpasi Vocal fremitus tidak dinilai Vocal fremitus tidak dinilai
Perkusi Tidak dinilai Tidak dinilai
Auskultasi VBS ki = ka ; Slem (-/-) VBS ki = ka ; Slem (-/-)
Crackles (-/-); Wheezing (-/-) Crackles (-/-); Wheezing (-/-)

Jantung : Bunyi jantung murni reguler


S1 (+), S2 (+), S3 (-), murmur (-)
Abdomen :
• Inspeksi : Datar lembut
Retraksi epigastrium (-)
Perut papan (-)
Opistotonus (+) saat dilakukan pemasangan OGT
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Palpasi : supel, lembut
hepar/lien tidak dinilai
• Perkusi : timfani

Alat Genital : Laki-laki


miksi (+)
Anus : rektum : (+)
defekasi : (+)
Ekstremitas : Akral hangat, Clubbing finger ( - )
Capillary refill < 2 detik
Spasme rangsang (+)  saat dilakukan tindakan pemasangan OGT
Edema -/-
Akrosianosis -/-

STATUS NEUROLOGIS
Motoris : Tonus (spastis +, flaccid -)
Clonus (-)
Sensoris : rangsang nyeri (+)
Fungsi vegetatif : BAB/BAK=normal
Refleks : fisiologis dan patologis : tidak diperiksa
NBS : setara dengan usia gestasi 38-39 minggu

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi rutin :
Hb : 17,1 g/ dL
Leu : 11.400 / µL
Ht : 50 %
Tr : 320.000 /µL
Erit : 4,9 (10^3/ µL)
Hitung jenis :
Bas / Eos/ Bat / Seg/ Lim/ Mon = 0/ 3/ 3/ 34/ 49/11
Imunoserologi :
CRP : Negatif
Kimia klinik :
GDS : 58 mg/dL

DIAGNOSIS MASUK
Tetanus neonatorum + Hipoglikemia

PENATALAKSANAAN IGD
Umum / Nonfarmakologi :
 Pro rawat NICU
 OGT
 Tutup kain hitam
 Minimal handling

Farmakologi :
 IVFD D15% 1/5 ( 2-3cc/KgBB/jam)  5,1 cc/jam
 ATS 10.000 IU : ( 5000 IM + 5000 IV) atau tetagam 750 IM
 Penicillin prokain ( 100/kgBB/ 4x pemberian)  4x 67,5 gram
 Diazepam 0,1 – 0,3 bila kejang

PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia ad bonam
• Quo ad functionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Follow up Tatalaksana
11 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canule 1L/m
N : 148 x/m R: 35 x/m - ASI 8x1 cc via OGT
Spasme rangsang (+) kejang (+) - Diazepam 6x0,3 mg IV
Ikterik : kremmer II-III - PP 4x 67,5 mg IM
Opistotonus (+) - N5 (470) + CaGluk
Mulut mencucu (+) (20) + KCl (10)
12cc/jam
A: Tetanus Neonatorum - Vik K inj
Hiperbilirubinemia
12 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canule 1L/m
N : 119 x/m R: 35 x/m - ASI 8x 1 cc via OGT
Spasme rangsang (+) kejang (+) - Diazepam 6x0,3 mg IV
Ikterik : kremmer II-III - PP 4x 67,5 mg IM
Opistotonus (+) - Metronidazole 3x25
Mulut mencucu (+) mg IV
- Fototerapi
A: Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
13 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canule 1L/m
N :122 x/m R: 40x/m - ASI 8x 1cc via OGT
Spasme rangsang (+) kejang ↓ - Diazepam 4x0,3 mg
Ikterik (+) ↓↓ IV
Opistotonus (+) - Antibiotik lanjut
Mulut mencucu (+) - Fototerapi stop

A: Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
14 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canul ↓40%
N : 126 x/m R: 35x/m 1L/m
Spasme rangsang (+)↓ - ASI 8x 3cc via OGT
Kejang (+) ↓↓ , Spastik (+) - Diazepam 5x 0,3 IV
ikterik (-) - Antibiotik lanjut
Opistotonus (+) - N5 (470) + CaGluk
Mulut mencucu (+) (20) + KCl (10) 
13,5cc/jam
A: Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
15 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canul ↓40%
N :140 x/m R: 42x/m 1L/m
Kejang (+)↓↓ , Spastik (+) - ASI 8x 5 cc via OGT
Mulut mencucu (+) - Diazepam 5x0,3 mg IV
Opistotonus (-) - Antibiotik lanjut
- Minimal handling
A: Tetanus Neonatorum - ACC dr.dewi Sp.A
Hiperbilirubinemia pindah dari NICU ke
peri sakit pkl 22.06

17 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canul ↓40%


N : 120 x/m R: 33 x/m 1L/m
Kejang (+)↓↓ , Spastik (+) - ASI 8x 5 cc via OGT
Mulut mencucu (+) - Diazepam 3x 0,3 mg
Thrx : Str +/+ IV
- Antibiotik lanjut
A : Tetanus Neonatorum - Konsul THT
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
18 Juli 2017 S/O : - O2 nasal canul ↓40%
N : 112 x/m R: 42x/m 1L/m
Kejang (-) , Spastik (+) - ASI 8x 8cc via OGT
Mulut mencucu (+) - Diazepam 3x 0,3mg IV
Thrx : Str +/+ - Antibiotik lanjut
- Konsul THT
Konsul THT : susp. - Oral fisioterapi
Laringomalasia
- Observasi TNRS
- Breathe nasal drop 2 x gtt I
jika pilek
- Terapi lanjut sesuai TS

A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
19 Juli 2017 S/O : - O2 aff
N : 121 x/m R: 48x/m - ASI 8x 8cc via OGT
Kejang (-) , Spastik (+) - Diazepam stop
Mulut mencucu (-) - Antibiotik lanjut
Thrx : Str +/+ - Fisioterapi
Eks: Phlebitis cruris sinistra - Latih menyusu

Hasil fisioterapi :
Kaku seluruh tubuh.
sucking reflex (-), ada tahanan
pada mulut

A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
20 Juli 2017 S/O : - ASI 8x 12,5-15 cc via
N : 111 x/m R: 54x/m OGT
Kejang (-) , Spastik (+) - Antibiotik lanjut
Thrx : Str -/- - Fisioterapi
Eks: Phlebitis (-) - Latih menyusu
Edema pitting eks atas : -/-
eks bawah : +/+

A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
21 Juli 2017 S/O : - ASI 8 x 12,5 – 15cc via
N : 127 x/m R: 34x/m OGT
Kejang (-) , Spastik (+) - PP 4x 67,5 mg inj
Eks: - Metronidazole 3x 25
Edema pitting eks atas : -/- mg stop
eks bawah : +/+ - Fisioterapi
- Latih menyusu
A : Tetanus Neonatorum - Persiapan pulang
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
22 Juli 2017 S/O : - ASI 8 x 12,5 – 15cc via
N :130 x/m R: 33 x/m OGT
Kejang (-) , Spastik (+)↓↓ - PP 4x 67,5 mg stop
Eks: Edema -/- - Fisioterapi
- Latih menyusu
A : Tetanus Neonatorum - Persiapan pulang
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
24 Juli 2017 S/O : Boleh Pulang
N :121 x/m R: 3o x/m Kontrol kembali ke Poli
Kejang (-) , Spastik (+)↓↓ Anak tgl 27 Juli 2017
Terapi pulang (-)
A : Tetanus Neonatorum
Hiperbilirubinemia
Susp. Laringomalasia
27 Juli 2017 S/O : - Vaksin HepB 0
T.A.K - Ferriz drop 1x 0,3 mL
BB : 2,8 kg - Apialys drop 1x 0,3 mL
Spastik (-) - Kontrol kembali 1
minggu
A: kontrol post Tetanus
Neonatorum
3 Agustus 2017 S/O: - Vaksin BCG
T.A.K - Vaksin Polio Oral
BB: 3,1 kg - Kontrol kembali 1 bulan

A: kontrol post Tetanus


Neonatorum

DIAGNOSIS KELUAR
Utama : Tetanus Neonatorum

Sekunder : Hiperbilirubinemia

Susp. Laringomalasia
PEMBAHASAN

TETANUS NEONATORUM

DEFINISI

Tetanus berasal dari bahasa Yunani yang berarti peregangan. Tetanus adalah penyakit dengan
tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini dampak dari
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman C. Tetani pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, neuromuscular junction, dan saraf autonom.

ETIOLOGI

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman basil gram
positif, anaerob, bentuk batang dan ramping dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk
seperti drumstick. Mampu membentuk spora yang mampu bertahan dalam suhu tinggi
(mendidih,tetapi tidak dalam autoklaf), kekeringan dan desinfektan. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang
anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang akan menghasilkan2 toksin utama yaitu
tetanospasmin dan tetanolysin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak
leukosit dan merupakan tetanoplasmin Menghasilkan eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering .
Merupakan obligat Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak menggunakan flagella Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran
pencernaan manusia dan hewan.

PATOFISIOLOGI

Spora Clostridium tetani masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang
tidak memenuhi syarat kebersihan misalnya :

- Pemotongan tali pusat dengan bambu atau gunting yang tidak steril

- Setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan, dsb
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex dan
berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah,
nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan
ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas
serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower
motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin.
Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan.

Efek Toxin pada :

Ganglion pra sumsum tulang belakang :

Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga
tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi
eflexe dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat
terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin
menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini
pada eflexe neuron motorik.

Otak

Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan
kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.

Saraf otonom

Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan,
eflexeea, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang
terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar,
pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti
disebutkan diatas.
MANIFESTASI KLINIS

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa
inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berap penyakit selain berdasarkan gejala
klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.
Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh,
tanpa disertai gangguan kesadaran.Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan
dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :

 Trismus : kesukaran membuka mulut karna spasme otot2 mastikatoris


 Opistotonus : badan melenting karna ketegangan otot2 erector trunki, ekstremitas
inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat, anak sadar.
Spasme mula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian serangan tidak
jelas.
 Kejang rangsang : kejang tonik bila dirangsan karna toksin yang terdapat di kornu
anterior
 Risus sardonikus (mulut mencucu) : spasme otot muka. Alis tertarik ke atas, sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
 Asfiksia dan sianosis : akibat serangan pada otot pernapasan dan laring
 Demam : biasanya mild fever, dan terdapat pada stadium akhir

KLASIFIKASI

DIAGNOSA BANDING

1. Kongenital (anomali serebral)

2. Perinatal (trauma)

3. Postnatal (infeksi dan gangguan metabolisme)

Contoh : meningitis, hipoglikemi, hipokalsemia.

KOMPLIKASI

 Bronkhopneumonia aspirasi
 Asfiksia dan gagal nafas karna laringospasme
 Hiperadregenik
 Sepsis nosokomial
 Fraktur tulang

PENCEGAHAN

Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan


lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan,
pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong
oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas
tempat tidur ibu, serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum
pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan eflex risiko
persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu
hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian
tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat
bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan
alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.

TATALAKSANA

Umum

Tujuan terapi iini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan
tersebut dapat diperinci sbb:

 Merawat dan membersihkan luka dgn steril : membersihkan luka, irigasi luka,
debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta
kompres dengan H2O2, dalam hal ini tatalaksana terhadap luka ttersebut dilakukan 1-
2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotik. Sekitar luka disuntikkan ATS.
 Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan diberikan parenteral atau via OGT.
 Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
 Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomy bila perlu
 Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
Farmakologi

 Antibiotik
Diberikan parenteral Penicilline Procain 1,2 Juta unit/hari, Intramuscular. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/KgBB/12 jam
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap penicilline, obat dapat diganti
dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40mg/kgBB/24 jam, dosis max 2gram
dan diberikan dalam dosis terbagi 4 dosis. Antibiotika ini hanya bertujuan untuk
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Metronidazole 30 mg/kg/hari, intravena selama 7-10 hari. Dibagi menjadi 3 dosis.
 Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis
3000-6000 U, single dose, Intra Muscular. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk
menggunakan Tetanus Anti Toksin, dengan dosis 40.000 U, cara pemberiannya
adalah 20.000 U dari antitoksin dimasukan kedalam 200 cc cairan NaCl dan diberikan
secara intravena, harus diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. 20.000 U dosis tersisa
diberikan secara IM
 Tetanus toksoid
Pemberian Teanus toksoid yang pertama dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin, diberikan pada sisi yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM.
 Anti konvulsan
Obat anti kejang yang sering dipergunakan untuk tetanus nenatorum adalah diazepam,
obat ini diberikan via intravena yang diberikan setiap 2-4 jam. Pemberian dosis
diazepam setelah kejang terkontrol adalah 10mg/kgBB/hari (0,1-0,2mg/kgBB/ kali),
setiap 3-6 jam. Dosis maksimal 40mg/kgBB/hari. Kemudian dilakukan evaluasi
terhadap kejang. Bila kejang masih terus berlangsung, dosis diazepam dapat dinaikan
secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Bila dosis optimum telah didapat, dosis
dapat dipertahankan selama 2-3 hari, bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10-15% dari
dosis optimum. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila
terjadi kejang, sangat sukar diatasi dengan penaikan ke dosis semula yang efektif. Bila
dengan penurunan bertahap terjadi kejang, dosis harus segera dinaikan kembali ke
dosis semula. Bila dalam penggunaan diazepam kezang masih terjadi, dan dosis
maksimal sudah dicapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus
dilakukan.

PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh beberapa faktor dan akan buruk pada masa inkubasi yang pendek (kurang
dari 7 hari), usia yg sangat muda (neonatus), dan usia lanjut. Prognosis tetanus
diklasifikasikan dari tingkat keganasannya menjadi :
1. Ringan : bila tidak adanya kejang umum
2. Sedang : bila sesekali muncul kejang umum
3. Berat : bila kejang umum yang berat sering terjadi
Masa inkubasi tetanus neonatorum berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau
lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi. Makin
pendek masa inkubasi, prognossis makin buruk. Prognosis buruk bila :
 Umur bayi kurang dari 7 hari
 Masa inkubasi kurang dari 7 hari
 Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam
 Dijumpai muscular spasm

TALI PUSAT
DEFINISI
Tali pusat merupakan jaringan ikat yang menghubungkan antara plasenta dan janin yang
memiliki peranan penting dalam interaksi antara ibu dan janin selama masa kehamilan.
Jaringan ini berfungsi menjaga viabilitas dan memfasilitasi pertumbuhan embrio serta janin.
Tali pusat sangat penting bagi perkembangan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup fetus
karena berfungsi sebagai sumber oksigen, nutrien dan pembuangan zat-zat sisa. Proses ini
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin.
ANATOMI
Pembuluh darah tali pusat memiliki struktur dan fungsi yang berbeda dibandingkan dengan
pembuluh darah lain di dalam tubuh. Arteri pada tali pusat memiliki fungsi untuk
mengalirkan darah dari janin menuju ke plasenta, sedangkan vena pada tali pusat memiliki
fungsi mengalirkan darah dari plasenta menuju ke janin.
Lapisan terluar tali pusat terdiri dari epitel amnion dan didalamnya terdapat massa internal
mesodermal yang disebut wharton’s jelly. Didalam lapisan wharton’s jelly terdapat dua
saluran endodermal (duktus allantois dan duktus vitellini) dan pembuluh darah umbilikalis.
Struktur tali pusat normal terdiri dari dua arteri umbilikalis, dan satu vena umbilikalis yang
dikelilingi oleh wharton’s jelly, dan lapisan tunggal selaput amnion. Arteri umbilikalis yang
berasal dari aorta embrio selanjutnya akan menjadi cabang-cabang arteri iliaka interna pada
janin.
NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA

DEFINISI
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atausklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada orang
dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL (>17 µmol/L),sedangkan
pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5 mg/dL (>86 µmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95 %.

METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak
75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase, dan
heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan.3
1. Transport bilirubin
2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Konjugasi
4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
5. Sirkulasi enterohepatik

Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi
bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan
hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin
dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan heamoglobin
karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir
akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari.
Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi
lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus
yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik.1

Transport bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan
kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin tidak dapat
memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai
afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-
obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
 Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
 Bilirubin bebas
 Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu
bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
 Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, δ-bilirubin tidak akan tampak. Peningkatan kadar δ-
bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi baru lahir normal yang lebih tua dan
pada anak. Konsentrasinya meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia
terkonjugasi persisten karena berbagai kelainan pada hati.

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin


terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya.
Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo,
resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel
hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini terjadi
karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan dengan
defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke empedu
selama 3-4 hari pertama kehidupan.

Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi
retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat
pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.

Ekskresi (Sekresi ) Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik


Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung
empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Proses
ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada di usus halus,
bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi
bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi
kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut
sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat mengidrolisia
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya
steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi di
dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis bilirubin
glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di dalam
mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi bilirubin
menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus dibandingkan
dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi
pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas β-glukoronidase mukosa yang tinggi dan
ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti
agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin tinja
dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi
enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru lahir.1

IKTERUS NEONATORUM (NEONATAL JAUNDICE)


Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan
timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan
bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami
peningkatan bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya bilirubin serum kulit
menjadi jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan
bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan oleh kramer
yang menentukan kadar bilirubin indirek di dalam serum.
Ø Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl
Ø Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
Ø Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
Ø Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
Ø Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl

KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Halini terjadi karena terdapatnyaproses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginyakadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5 – 7,kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubin pun
biasanyatidak > 10 mg/dL (171µmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 µm
ol/L) pada bayi cukup bulan.
Masalah timbul apabilaproduksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hepar
menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak
yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian.
Karenaitu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan
bukan suatu keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus
patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini juga merupakan
penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan ini adalah diagnosis
eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang lebih serius,
seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik (Marcdante, Kliegman, Jenson, &
Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunanclearance bilirubin.1
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
§ Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin

§ Peningkatan resirkulasi melalui Peningkatan aktifitas β-glukoronidase


enterohepatikshunt Tidak adanya flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang terlambat
Penurunan bilirubin clearance
§ Penurunan clearance dari plasma Defisiensi protein karier
§ Penurunan metabolisme hepatik Penurunan aktifitas UDPGT

Adapun tanda-tandanya adalah:


a) Timbul pada hari kedua dan ketiga
b) Kadar bilirubin indirek puncak tidak lebih dari 12 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan.
c) Pada bayi prematur kadar bilirubin indirek puncak ini lebih tinggi yaitu 15 mg/dL dan
lambat (hari kelima).
d) Kadar puncak bilirubin indirek selama periode ikterus fisiologis lebih tinggi pada bayi
yang mendapat ASI daripada susu formula (15 sampai 17 mg/dL vs 12 mg/dL). Kadar
yang lebih tinggi ini mungkin terjadi karena kurangnya asupan cairan pada bayi ASI .
e) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
f) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
g) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
h) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi
dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung
mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang
diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada
mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang
mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada
yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih
sering terjadi ikterus fisiologis.
Pemberian ASI merupakan faktor yang berhubungan dengan neonatal jaundice.
Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Hal ini terjadi karena diduga
sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu oleh glukoronidase atau zat lain dalam ASI
yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase
hepatik. Faktor lain yang berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI
antara lain intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase
mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil transferase oleh suatu
faktor dalam susu yang tidak dapat diidentifikasi.5
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal
jaundice yaitu early (berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan
ASI). Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum.
Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi
proses konjugasi dan ekskresi. Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah
dihubungkan dengan adanya faktor spesifik dari ASI yaitu: 2α-20β-pregnanediol yang
mempengaruhi aktivitas UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit;
peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke
dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam lemak unsaturated;
atau β-glukorunidase atau adanya faktor lain yang mungkin menyebabkan peningkatan
jalur enterohepatik.

2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya
sebagai berikut:
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan, bilirubin direk
lebih dari 1,5 mg/dL.
c) Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e) Hepatosplenomegali dan anemia
f) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Selain itu, neonatal beresiko untuk
mengabsorbsi bilirubin intestinal karena empedu neonatus mengandung kadar bilirubin
monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga
mengandung sejumlah glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin
terkonjugasi menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus
kurang mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid
dan mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (penyakit
Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan
hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang
lebih rendah.

PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan
dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan
untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak
terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus
hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat
bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida
terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat
masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen.
Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu
untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal
level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin
>2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan
hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan
hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.2
DIAGNOSIS

1. Anamnesis
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-
fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,
deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau –
toksoplasma
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.
Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan
peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
- Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.
a. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah),
hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat,
glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus
pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
b. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens
pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun
pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat
mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun
secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan
pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti
hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya.
Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui,
tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-
3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

2. Pemeriksaan fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit
setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan
menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara
sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang
andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum.
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau
penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid

3. Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus
menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung
retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan --direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin
untuk --mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi
kongenital, sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.

PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA


Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering
menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora
normal, dan merangsang aktifitas usus halus.
Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia:
1) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari beberapa
hari pertama
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
2) Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal
o Golongan darah : semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus
§ Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibody
direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi
§ Bila golongan darah ibu O, Rh positif terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan
darah dan tes Coombs atau tidak.
o Penilaian klinis : harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protokol bayi secara rutin dimonitor terhadap
timbulnya ikterus
3) Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24
jam pertama setelah lahir.
- Pengukuran bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus berlebihan
- Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam
4) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan
analisis dan kultur urin.
- Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan
bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya
kolestasis
- Bila kadar bilirubin direk atau konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan
untuk mencari penyebab kolestasis
- Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G6PD)
direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi.
5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
- Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat berdasarkan kadar bilirubin atau berdasarkan
penilaian faktor klinis. Penilaian ini penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72
jam.
6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit
- Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua saat keluar RS
- Semua bayi harus diperiksa oleh petugas beberapa hari setelah keluar RS :
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur

Sebelum umur 24 jam 72 jam

Antara umur 24 dan 47.9 jam 96 jam

Antara umur 48-72 jam 120 jam

- Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu yang
pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam.
7) Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses tidak keluar dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan
waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan
frekuensi jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran produk ASI dengan cara memompa, dan menggunakan
fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas
ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan
jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat >20 mg/dL atau ibu
memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah


sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah
menentukan penyebabnya. Selain itu, tujuan utama dalam penatalakasannanya adalah
untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kernikterus. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-
langkah penangangan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat pengikat
albumin. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan denganmengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsangterbentuknya glukoronil transferase dengan pemb
erian obat-obatan (luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser bilirubin
sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan terapi untuk
menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi, exchange transfusion,
pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.3,6
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim
hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat
bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
- Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi
ganti.
- Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan konsentrasi
UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin. Namun
secara umum tidak direkomendasikan digunakan setelah lahir.
- Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog sintesis heme.
Protoporphyrin terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase. Enzim ini
dibutuhkan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat ini heme dicegah dari
katabolisme dan diekskresikan secarah utuh dalam empedu.

Terapi Sinar (Fototerapi)


Fototerapi terdiri dari sinar radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang akan
merubah struktur molekul bilirubin. Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan
oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yangdikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut
. Teori terbaru mengemukakan bahwaterapi sinarmenyebabkan terjadinya isomerisasi biliru
bin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakanbentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah
larutdalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomerdalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik ususmeningkat dan bilirubin akan lebih cepat
meninggalkan usus halus. Terapi sinar dilakukan pada semua penderitadengan kadar
bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai
dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Secara umum fototerapi digunakan
untuk mencegah agar bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange
transfusion. Pada penderita yang direncanakan transfusitukar, terapi sinar dilakukan
pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.
Lamanyapenyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam Penghentian atau peninjauan kembali
penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efeksamping terapi sinar. Beberapa efek sam
ping yang perludiperhatikan antara lain : enteritis,hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan
kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki.
Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubinindirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pulaantibodi yang menimbulkan hemolisis.
Indikasi exchange transfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya anemia
maupun peningkatan kadar bilirubin serum dan walaupun transfusi tukar ini sangat
bermanfaat, tetapi efek samping dankomplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan
dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi
Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai
rasio bilirubin terhadapalbumin.
Yang dimaksud ada komplikasi apabila :
1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal ≤ 35 o C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤ 1000 g

Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin.6


Terapi sinar Transfusi tukar
Usia
Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*
mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340

Dalammelakukan transfusitukar perlu puladiperhatikan macamdarah yang akandiberikan


dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang terjadi
disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah
golongan O rhesuspositip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses
aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yangbergolongan sama dengan bayi.
Bila keadaan ini tidakmemungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yangkompatibel den
gan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer antiA atau anti B yangrendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar
antara 140-180 cc/kgBB.

LARING
ANATOMI
Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di sebelah
ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os
hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh
kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi laring
dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea,
krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago
aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh
jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana
kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan
dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah
konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana
kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.

Laring berfungsi dalam kegiatan sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.
Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.
krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda
asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai
katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam
menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat
menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh
jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh
cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.

LARINGOMALASIA
DEFINISI
Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik
sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Laringomalasia termasuk pada kelainan
kongenital pada laring dan belum diketahui adanya faktor genetik. Kemungkinan lebih sering
terjadi pada anak dengan Down Syndrome.
ETIOLOGI
Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari kelainan
embriologik. Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran, beberapa kelainan baru nampak
secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori besar mengenai penyebab kelainan
ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan
yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni. Sindrom ini
banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga kekurangan gizi mungkin
merupakan salah satu faktor etiologinya.Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun
laringomalasia marupakan penyebab tersering timbulnya stridor inspiratoar pada bayi.
Insidens laringomalasia sebagai penyebab dari stridor inspiratoar berkisar antara 50%-75%.
Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis kelamin.

PATOFISIOLOGI
Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika
mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang
bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped
epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus,
kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas
laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoar ini menyebabkan stridor inspiratoar, yang
terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.
Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan fibrosa
dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap
perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi
proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat
dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang
dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat. Dengan
bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan menjadi kurang air, lebih
fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar,
dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing
kasus.
Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid ditemukan
mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia umumnya
dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang
mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan
prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya
sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas
selama periode inspirasi.

GAMBARAN KLINIS
Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan kelainan
laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa tangis
tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoar serta kesulitan menelan yang merupakan
akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus
Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat baru
dilahirkan. Stridor inspiratoar biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan awalnya
ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 – 9 bulan.
Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya pada usia
18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas lima tahun.
Stridor tidak terus-menerus ada; namun lebih bersifat intermiten dan memiliki intensitas yang
bervariasi.
Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi dapat
terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada saat
dalam posisi pronasi. Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras stridor.

PENATALAKSANAAN
Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu. Lesi
sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya
meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama
dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa.
Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi
mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan
menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan
memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat
pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan
oksigen. Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini.
Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang
terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan
operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. Supraglotoplasti
dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan. Selain itu juga dapat dilakukan
laryngoplasty atau laser epiglottopexy.

PROGNOSIS
Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh sendiri,
dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala
menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus,
walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya
stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa
DAFTAR PUSTAKA

1. Garna, herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD
2. Hegar, badriul. 2010. Pedoman pelayanan medis. Jakarta : IDAI.
3. Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
4. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC
5. Stephen S. Tetanus edited by. Behrman,dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
6. Merdjani, A., dkk.2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan Penerbit IDAI,
Jakarta
7. Dr. Rusepno, A.,dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72. Cetakan kesebelas Jakarta:2005
8. Abdurrahman. S, Hiperbilirubinemia dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku Ajar
Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal. 147-169)
9. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., & Damanik, S. M. (t.thn.).
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN
NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo - Surabaya , 1-14.
10. Pudjiadi Antonius. H, Hegar. B, dkk. Hiperbilirubinemia dalam Pedoman Pelayanan
Medis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal 114-122 )
11. (2014). Anemia dan Hiperbilirubinemia. Dalam K. J. Marcdante, R. M. Kliegman, H.
B. Jenson, & R. E. Behrman, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (Indonesian
Edition) (hal. 274-277).
12. Martiza, I.). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I.
Rosalina, & N. S. Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. 2012. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal. 263-284)
13. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Managem
ent of hyperbilirubinemia in thenewborn infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294

You might also like