You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

SEORANG WANITA 28 TAHUN


DENGAN LUKSASI EKSTRUSI REGIO 1.1, 1.2

Diajukan guna memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Adhella Menur Naysilla 22010112210079


Adinda Devi Martina 22010112210080
Adilah Afifah 22010112210081
Angga Rizkiawan 22010112210093
Fajar Herbowo Niantiarno 22010112210101

Pembimbing :
Drg. Gunawan Wibisono, MSi.Med

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Seorang
Wanita 28 Tahun dengan Luksasi Ekstrusi Regio 1.1, 1.2”.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, Semarang.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drg. Gunawan sebagai pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan,
petunjuk, serta kritik yang membangun dalam penyusunan kasus ini.
2. Ny. Dwi Nur Rahayu atas bantuannya sebagai pasien di dalam penyusunan kasus besar
ini.
3. Keluarga dan orang tua atas bantuan dukungan penuh dan doanya.
4. Teman-teman satu stase di bagian Gigi dan Mulut yang telah memberikan bantuan
baik material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam laporan kasus ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik yang membangun serta saran dari semua pihak.
Semoga laporan kasus besar ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama untuk
kasus trauma dentoalveolar.

Semarang, 20 Mei 2013

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 5
2.1 Definisi Trauma Dentoalveolar............................................................... 5
2.2 Etiologi Trauma Dentoalveolar............................................................... 5
2.3 Klasifikasi Trauma Dentoalveolar........................................................... 6
2.4 Penegakan Diagnosis Trauma Dentoalveolar.......................................... 10
2.5 Komplikasi Trauma Dentoalveolar.......................................................... 12
2.6 Penatalaksanaan Trauma Dentoalveolar.................................................. 13
BAB III. LAPORAN KASUS.................................................................................. 21
3.1 Identitas Penderita.................................................................................... 21
3.2 Data Dasar................................................................................................ 21
3.2.1 Anamnesis.................................................................................... 21
3.2.2 Pemeriksaan Fisik........................................................................ 22
3.3 Diagnosis................................................................................................. 23
3.4 Initial Plan................................................................................................ 24
BAB IV. PEMBAHASAN....................................................................................... 26
BAB V. KESIMPULAN.......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 29

BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian trauma secara umum adalah kejadian yang menyebabkan luka atau jejas
baik mengenai fisik maupun psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound,

3
dapat diartikan sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh berbagai faktor
dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur.1
Trauma dentoalveolar adalah trauma yang melibatkan gigi, bagian alveolar dari
maksila dan mandibula, serta jaringan lunak terkait. Trauma dentoalveolar terdiri dari
fraktur, subluksasi, atau terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan
dengan fraktur yang terjadi di alveolus, laserasi pada jaringan lunak, dan mungkin terjadi
sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya. Trauma
ini banyak dihubungkan dengan kecelakaan dan kekerasan.2
Trauma di rongga mulut terjadi sekitar 5% dari semua trauma yang menyebabkan
pasien mencari pengobatan, dimana trauma dentoalveolar merupakan trauma yang sering
ditemukan. Sekitar 30% individu pernah mengalami beberapa bentuk trauma dentoalveolar
selama hidupnya. Rasio kejadian trauma dentoalveolar antara laki-laki dan perempuan
adalah 2:1. Insidensi trauma dentoalveolar tinggi didapatkan pada anak-anak usia 2-4 tahun
ketika anak belajar berjalan dan pada anak laki-laki usia 8-10 tahun yang mulai aktif dalam
olahraga grup. Insidensi trauma tersebut juga meningkat pada populasi usia lanjut yang
rentan jatuh disebabkan oleh gangguan penglihatan, disorientasi, maupun pingsan. Pasien
epilepsi yang mengalami bangkitan juga berisiko untuk terjadinya trauma dentoalveolar.3
Berdasarkan sebuah penelitian retrospektif didapatkan 42,1% pasien anak (usia 0 – 5
tahun) dan 19,1% pasien dewasa datang ke unit gawat darurat dengan trauma dentoalveolar
dengan keterlibatan terbanyak pada gigi incisivus sentral rahang atas. Diagnosis yang
didapatkan berupa luksasi lateral (27,3%), konkusi (17,3%), eksartikulasi (14,3%), fraktur
dental (12,5%), luksasi intrusi (11,1%), fraktur alveolar (7,4%), luksasi ekstrusi (3,7%),
dan kasus dengan lebih dari satu diagnosis (6,3%). Namun, tingginya insidensi trauma
dentoalveolar tidak disertai penanganan tepat dari tenaga medis. Hamilton et al.,
mengevaluasi 332 pasien dengan trauma dentoalveolar dan secara mengejutkan didapatkan
59% pasien mendapatkan penanganan yang tidak adekuat. Diagnosis dan penatalaksanaan
tepat dari trauma dentoalveolar merupakan hal yang penting untuk mendapatkan luaran
yang diharapkan.4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma Dentoalveolar


4
Trauma dentoalveolar adalah trauma yang melibatkan gigi, bagian alveolar dari
maksila dan mandibula, serta jaringan lunak terkait. Trauma dentoalveolar terdiri dari
fraktur, subluksasi, atau terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan
dengan fraktur yang terjadi di alveolus, laserasi pada jaringan lunak, dan mungkin terjadi
sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya. Trauma
ini banyak dihubungkan dengan kecelakaan dan kekerasan.2
Berdasarkan sebuah penelitian retrospektif didapatkan 42,1% pasien anak (usia 0 – 5
tahun) dan 19,1% pasien dewasa datang ke unit gawat darurat dengan trauma dentoalveolar
dengan keterlibatan terbanyak pada gigi incisivus sentral rahang atas. Diagnosis yang
didapatkan berupa luksasi lateral (27,3%), konkusi (17,3%), eksartikulasi (14,3%), fraktur
dental (12,5%), luksasi intrusi (11,1%), fraktur alveolar (7,4%), luksasi ekstrusi (3,7%),
dan kasus dengan lebih dari satu diagnosis (6,3%). 4

2.2 Etiologi Trauma Dentoalveolar


Insidensi kejadian trauma dentoalveolar lebih banyak terjadi pada pria dibanding
wanita dengan perbandingan 2:1. Insidensi terbanyak adalah usia 2 sampai 4 tahun, yaitu
pada saat seorang balita mulai belajar berjalan, dan pada usia 8-10 tahun, saat seorang anak
mulai bergabung dalam tim olahraga. Populasi usia lanjut juga cenderung mengalami
trauma dentoalveolar, biasanya terjadi karena gangguan penglihatan, disorientasi, dan
pingsan. Pasien dengan epilepsi juga berisiko terkena trauma. Faktanya, seseorang yang
mengalami paling tidak satu kali bangkitan epilepsi pada tahun terakhir, 10% dapat
berlanjut menjadi trauma dental.3
Jatuh merupakan penyebab trauma dentoalveolar tersering. Berkaitan dengan
mekanisme jatuh, gigi incisivus sentral adalah gigi yang paling banyak terkena trauma.
Tingkat keparahannya tergantung dengan mekanisme trauma, posisi pertumbuhan akar,
serta kondisi gigi dan jaringan periodontal.3
Olah raga individual yang sering menyebabkan trauma dental adalah senam,
bersepeda, bermain skate board, sepatu roda, dan menunggang kuda. Sedangkan olah raga
tim yang sering menyebabkan trauma adalah basket dan baseball. Olahraga yang sering
menyebabkan trauma dental adalah olahraga yang menggunakan kontak fisik dan
memungkinkan terjadinya tabrakan cepat seperti hoki dan bersepeda.3
Kecelakaan motor dan kekerasan juga menyebabkan trauma dental. Narkoba dan
alkohol menjadi faktor predisposisi trauma tersebut. Kondisi gigi yang menjadi faktor
resiko mengalami trauma dental adalah tonggos. Berdasarkan penelitian, terdapat 5 faktor

5
predisposisi penyebab trauma dental yaitu steep bite, kelebihan overjet 4 mm, bibir atas
yang tipis, kelainan bibir, dan bernapas lewat mulut.3

2.3 Klasifikasi Trauma Dentoalveolar


Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi.
Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi menurut Ellis dan
Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization
(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry and
Stomatology.6
Ellis dan Davey menyusun klasifikasi trauma pada gigi anterior menurut banyaknya
struktur gigi yang terlibat, yaitu6:
Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan enamel.
Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau
tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi.
Kelas 8 : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi sulung.
Klasifikasi yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) dalam
Application of International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology
diterapkan baik pada gigi sulung dan gigi permanen, yang meliputi jaringan keras gigi,
jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut, yaitu7:
I. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa
1. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur pada enamel tanpa
kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.
2. Fraktur enamel yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture), yaitu
fraktur enamel yang tidak kompleks yang hanya mengenai lapisan enamel
saja.
3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada
mahkota gigi yang hanya mengenai enamel dan dentin saja tanpa melibatkan
pulpa.
6
4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu fraktur
yang mengenai enamel, dentin, dan pulpa.
5. Fraktur mahkota-akar, yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin dan
sementum namun tidak mengenai pulpa.
6. Komplikasi fraktur mahkota-akar, yaitu fraktur yang mengenai enamel,
dentin, sementum dan pulpa.
7. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, pulpa dan sementum.

II. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
1. Fraktur mahkota-akar, yaitu suatu fraktur yang mengenai enamel, dentin,
dan sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa
disebut fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root
fracture) dan fraktur mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa

7
disebut fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown-
root fracture).
2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa
tanpa melibatkan lapisan enamel.
3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan
dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari
dinding soket.
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris
dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus
mandibula atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau
tanpa melibatkan soket gigi.

III. Kerusakan pada jaringan periodontal


1. Konkusi, yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang
menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya
kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
8
2. Subluksasi, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat
trauma pada jaringan pendukung gigi.
3. Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat
menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi
menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.
4. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian gigi ke luar
dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih panjang.
5. Luksasi lateral, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena
pergerakan gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan
kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut. Trauma gigi yang
menyebabkan luksasi lateral menyebabkan mahkota bergerak ke arah palatal.
Laserasi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar
dari soket.

2.4 Penegakan Diagnosis Trauma Dentoalveolar


Penegakkan Diagnosis8
1. Anamnesis

9
Anamnesis diperoleh dari keterangan pasien atau orang lain yang mengetahui secara
pasti mengenai kondisi yang dialami oleh pasien, meliputi keluhan utama, riwayat
terjadinya trauma, dan riwayat medis.
- Keluhan utama
Pasien ditanyakan mengenai keparahan dari rasa sakit atau berbagai gejala signifikan
lainnya. Perdarahan pada jaringan lunak memang terlihat sebagai suatu kondisi yang
parah, tetapi apabila terjadi fraktur pada tulang maka rasa sakit yang timbul akan
lebih besar dan kondisi ini harus menjadi prioritas utama dalam melakukan
perawatan. Selain itu perlu juga ditanyakan mengenai onset dan durasi dari tiap
gejala.
- Riwayat terjadinya trauma
Tanyakan pasien hal-hal berikut ini:
a. Kapan dan dimana cedera terjadi
b. Bagaimana terjadinya cedera
c. Perawatan apa saja yang sudah dilakukan sebelum datang ke dokter gigi
d. Apakah sebelumnya sudah pernah mengalami trauma serupa
e. Gejala apa saja yang dirasakan pasien sejak terjadinya trauma (pusing, muntah,
sakit kepala, kejang-kejang, pandangan kabur, hilang kesadaran, gangguan
pendengaran, pengecapan, penglihatan, keseimbangan, serta perdarahan dari
hidung atau telinga
f. Masalah gigi yang dialami sejak trauma (sakit, kegoyangan, sangkutan oklusal,
gejala lain pada jaringan sekitar gigi
- Riwayat Medis
a. Riwayat alergi terhadap obat-obatan
b. Kelainan atau gangguan sistemik, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan
perdarahan, epilepsi
c. Obat-obatan yang sedang dipakai sekarang
d. Status imunisasi tetanus. Untuk luka bersih, tidak diperlukan booster apabila
imunisasi dilakukan sejak 10 tahun yang lalu. Untuk luka kotor, diperlukan
booster apabila imunisasi dilakukan lebih dari 5 tahun

2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan pada wajah (ekstraoral)

10
Periksa apakah ada edema, hematom, luka, gangguan pergerakkan rahang.
Maksila, mandibula, dan TMJ perlu diperiksa untuk melihat adanya distorsi,
malalignment atau adanya indikasi fraktur. Apabila ada indikasi fraktur lakukan
pemeriksaan radiografi.
b. Pemeriksaan jaringan lunak
Lakukan observasi dan palpasi pada jaringan lunak yang cedera. Apabila
terjadi laserasi jaringan lunak dan fraktur gigi perlu dilakukan pula
pemeriksaan radiografi karena tidak jarang fragmen gigi tertanam ke dalam
jaringan lunak.
c. Pemeriksaan gigi
Gigi yang mengalami trauma harus diperiksa apakah gigi tersebut mengalami
fraktur, kegoyangan, perubahan posisi, cedera pada ligament periodontal dan
tulang alveolar, serta trauma pada jaringan pulpa. Periksa pula adanya
kemungkinan keterlibatan gigi yang berada di rahang antagonisnya.
- Fraktur email atau keretakan pada mahkota dapat diperiksa dengan indirect
light atau transluminasi atau dengan penggunaan dye. Apabila struktur gigi
telah hilang, periksa luasnya kehilangan apakah sampai batas email, dentin,
atau sudah mencapai jaringan pulpa.
- Kegoyangan gigi diperiksa dalam segala arah. Apabila ketika gigi digerakkan
gigi sebelahnya ikut bergerak, perlu dicurigai adanya fraktur tulang alveolar.
- Perubahan posisi gigi yang terjadi dapat berupa intrusi, ekstrusi, lateral (labial
atau lingual), dan avulsi secara keseluruhan. Tanyakan kepada pasien apakah
ada perubahan oklusi, apabila ada perlu dicurigai adanya kemungkinan fraktur
rahang atau akar gigi ataupun ekstrusi gigi.
- Untuk memeriksa adanya cedera pada jaringan periodontal lakukan tes
perkusi pada gigi. Pada gigi yang mengalami trauma tanpa adanya fraktur atau
perubahan posisi pemeriksaan ini cukup penting untuk melihat adanya
kerusakan pada neurovascular bundle yang masuk ke dalam gigi melalui apeks.
Kerusakan ini akan menimbulkan adanya kemungkinan terjadinya degenerasi
pulpa. Kerusakan ini biasanya ditandai dengan tes perkusi yang positif.
- Pemeriksaan vitalitas atau respon pulpa terhadap trauma harus diperiksa pada
awal kunjungan dan kunjungan kontrol berikutnya, karena adanya
kemungkinan kematian pulpa beberapa bulan setelah trauma. Setelah terjadi
trauma, sering pulpa mengalami pemulihan.
3. Pemeriksaan penunjang
11
Pemeriksaan radiologis, pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi:
- Untuk melihat arah garis fraktur
- Adanya fraktur akar
- Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau ekstrusi
- Adanya kelainan dari jaringan periodontal
- Tingkat perkembangan akar
- Ukuran kamar pulpa dan saluran akar
- Adanya fraktur rahang
- Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak laindisekitar rongga mulut,
seperti dasar mulut, bibir dan pipi.
Teknik radiologis pada kasus trauma gigi
- Teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal)
- Teknik ekstra oral (foto panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior)
jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak terlihat.
Panoramik merupakan salah satu foto rontgen ekstraoral untuk mendapatkan
gambaran utuh dari keseluruhan maksilo fasial. Gambaran panoramik adalah
sebuah teknik untuk menghasilkan sebuah gambaran tomografi yang
memperlihatkan struktur fasial mencakup rahang maksila dan mandibula beserta
struktur pendukungnya dengan distorsi dan overlap minimal dari detail anatomi
pada sisi kontra lateral. Foto Rontgen ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
gigi impaksi, pola erupsi, pertumbuhan dan perkembangan gigi-geligi, mendeteksi
penyakit dan mengevaluasi trauma.

2.5 Komplikasi Trauma Dentoalveolar


Komplikasi yang terjadi pada trauma dentoalveolar dapat dibagi 2 yaitu9:
1. Komplikasi yang timbul selama perawatan, yang paling umum terjadi adalah
 Perdarahan, dapat terjadi perdarahan massif akibat robekan jaringan lunak
dan pembuluh darah yang disebabkan oleh segmen fraktur.
 Sumbatan jalan nafas, adanya bekuan darah dan gigi yang terlepas dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas.
 Infeksi atau osteomyelitis, kerusakan saraf, imobilisasi maupun
displacement gigi, kerusakan ginggival dan periodontal.
2. Komplikasi lanjut, jika terjadi fraktur, tulang alveolar merupakan daerah yang
paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion
ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak
12
nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporo
mandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi
rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot
pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri
(myofascial pain) Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan
mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak
dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau
penangnanan secara adekuat. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik
berhubungan dengan fraktur alveolardan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya
malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi,
kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya
benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur.
Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan
dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan
melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk
lengkung mandibula.

2.6 Tata Laksana Trauma Dentoalveolar


Trauma pada regio facial dapat menyebabkan fraktur, disposisi dan lepasnya gigi
geligi, hal tersebut dapat menyebabakan gangguan funsgsional, estetika, dan psikologis
pada diri pasien. Dokter gigi dan dokter harus berkolaborasi dalam mengedukasi pasien
dalam hal mencegah dan tata laksana awal jika terjadi trauma pada daerah orofacial.10
Angka insidensi terbesar untuk trauma pada gigi terjadi pada usia 2-3 tahun, hal ini
disebabkan karena pada usia tersebut anak dalam masa perkembangan neuromotorik
sehingga sering menyebabkan anak terjatuh. Penyebab tersering berikutnya adalah
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan, dan olahraga.3
Pengenalan dan penanganan awal yang cepat pada pasien dengan trauma pada gigi
berpengaruh terhadap hasil dari terapi, semakin awal penanganan maka semakin baik
pemulihan dari trauma tersebut. Berikut rincian tata laksana trauma dentoalveolar sesuai
klasifikasi.10
Infark
Definisi : fraktur inkomplit dari enamel tanpa disertai hilangnya struktur dari gigi.
Diagnosis : anatomi gigi dan radiografi tampak normal, tampak craze lines terutama
dengan pemeriksaan transluminasi.
Terapi : menjaga integritas struktur gigi dan vitalitas gigi.
13
Komplikasi : komplikasi jarang terjadi.
Fraktur mahkota tanpa komplikasi
Definisi : fraktur pada enamel atau enamel-dentin tanpa pulpa yang terpapar.
Diagnosis : temuan klinis dan radiografi menunjukkan hilangnya struktur gigi, terbatas
pada enamel atau baik enamel maupun dentin.
Terapi : - gigi sulung: tergantung ketahanan gigi sulung yang trauma dan vitalitas pulpa.
Terapi pilihan berupa pulpotomi, pulpektomi, dan ekstraksi.
- gigi tetap: menjaga vitalitas dari pulpa dan mempertahankan fungsi serta
estetika dari pulpa. Eksplorasi pada bibir, lidah,dan gingiva harus dilakukan
untuk menghindari adanya fragmen gigi yang patah tersembunyi pada bagian
tersebut. Pemeriksaan radiologi dianjurkan dalam mencari fragmen gigi yang
patah dalam jaringan ikat yang mengalami laserasi. Pada fraktur yang sedikit,
tepi kasar pada gigi dapat di haluskan sedangkan pada fraktur yang besar gigi
yang fraktur dapat diperbaiki.
Prognosis : prognosis fraktur mahkota tergantung dengan akibat sekunder terhadap
seberapa terpapar dari ligamen periodontal dan seberapa besar dari keterlibatan
dentin.
Fraktur mahkota dengan komplikasi
Definisi : fraktur enamel-dentin disertai dengan terpaparnya pulpa.
Diagnosis : temuan klinis dan radiografi menunjukkan hilangnya struktur gigi dengan
terpaparnya pulpa
Terapi : tatalaksana pada fraktur mahkota dengan komplikasi hampir serupa dengan
tatalaksana pada fraktur mahkota tanpa komplikasi. Pada fraktur mahkota
dengan pulpa yang terpapar, dilakukan tindakan khusus pada pulpa diantaranya
menutup pulpa yang terpapar, partial pulpectomy dan pulpectomy total.
Tindakan menutupi pulpa dari paparan, diketahui memiliki hasil keluaran
terapi yang baik pada kasus tersebut.
Prognosis : prognosis fraktur mahkota tergantung dengan akibat sekunder terhadap
seberapa terpapar dari ligamen periodontal. Lamanya paparan pulpa, besarnya
keterlibatan dentin dan pulpa

Fraktur mahkota-akar
Definisi : fraktur pada enamel, dentin dan sementum dengan atau tanpa disertai
terpaparnya pulpa.
14
Diagnosis : temuan klinis biasanya berupa fragmen mahkota goyang yang masih melekat
di gingiva dengan atau tanpa terapaparnya pulpa. Temuan radiografi
menunjukkan garis oblique radioluscent pada mahkota dan akar dengan arah
vertikal pada gigi sulung dan pada gigi tetap dengan arah yang tegak lurus
terhadap berkas radiografi sentral. Fraktur akar hanya dapat didiagnosis
berdasarkan temuan radiografi.
Terapi : - gigi sulung: jika tidak dapat direstorasi, gigi yang trauma harus diekstraksi
untuk mencegah kerusakan pada gigi tetap pengganti.
- gigi tetap: tujuan terapi pada fraktur mahkota/akar yaitu untuk menjaga
vitalitas dari pulpa serta menjaga fungsional dan estetika gigi. Tindakan gawat
darurat pada kasus ini adalah menjaga stabilisasi dari mahkota gigi. Tindakan
definitif lain yang dapat dijadikan alternatif dalam terapi fraktur mahkota yaitu
mengangkat fragmen mahkota dilanjutkan dengan perawatan supragingival
atau gingivectomy segera. Apabila disertai dengan pulpa yang terpapar maka
harus dilakukan "capping", parsial pulpektomi, total pulpektomi atau
perawatan akar gigi.
Prognosis : meskipun terapi fraktur mahkota/akar sulit dan memerlukan banyak tenaga
namun hampir seluruh kasus dapat ditangani dan menghasilkan keluaran klinis
yang optimal. Pada fraktur yang terjadi dekat batas gingiva, penyelamatan gigi
tidak bisa dilakukan.
Fraktur akar gigi
Definisi : fraktur pada sementum dan dentin disertai pulpa.
Diagnosis : temuan klinis berupa fragmen mahkota goyang yang masih melekat di gingiva
tetapi dapat terjadi perubahan posisi. Temuan radiografi berupa 1 atau lebih
garis radioluscent yang memisahkan fragmen gigi dalam fraktur horizontal.
Pengambilan radiografi dari berbagai sudut dapat diperlukan untuk diagnoss.
Terapi : - gigi sulung: ekstraksi fragmen mahkota tanpa menghilangkan fragmen apikal
atau cukup dengan observasi. Tidak direkomendasikan reposisi dan stabilisasi
fragmen mahkota pada gigi sulung.
- gigi tetap: reposisi dan stabilisasi fragmen mahkota merupakan terapi dalam
fraktur akar gigi. Apabila reposisi gigi dilakukan secepatnya dalam posisi
anatomi maka memungkinkan proses penyembuhan yang lebih cepat dari
ligamen periodontal dan suplai neorovaskular serta tetap merawat fungsional
dan estetika.

15
Prognosis : nekrosis pulpa dan perubahan posisi dari fragmen mahkota merupakan hal yang
sering terjadi pada kasus ini. Lokasi dari fraktur tidak berpengaruh terhadap
angka kesembuhan.
Konkusi
Definisi : trauma pada jaringan penyokong gigi tanpa kelonggaran abnormal atau tanpa
perpindahan posisi gigi.
Diagnosis : dikarenakan ligamen periodontal ikut trauma dan terjadi radang, temuan
klinis berupa perkusi dan tekanan positif tanpa kegoyanganm perubahan posisi
atau perdarahan sulkus. Tidak ada abnormalitas pada radiografi.
Terapi : optimalisasi penyembuhan ligamen periodontal dan menjaga vitalitas pulpa.
Prognosis : dapat terjadi nekrosis pulpa (risiko minimal) dikarenakan trauma pada
pembuluh darah di apeks.
Subluksasi
Definisi : trauma pada jaringan penyokong gigi disertai kelonggaran yang abnormal
tanpa perpindahan posisi gigi
Diagnosis : dikarenakan oleh ligamentum periodontal yang meredam trauma, pada
temuan klinis terdapat sebuah gigi goyang tanpa perpindahan posisi dengan
atau tanpa adanya perdarahan. Tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan
radiologi.
Terapi : untuk mengoptimalkan penyembuhan ligamentum periodontal dan
neovaskularisasi pada
- gigi sulung : gigi yang terkena diikuti perkembangannnya
- gigi tetap : gigi yang terkena distabilkan dan perbaiki gangguan oklusal yang
lain. Demi kenyamanan, dapat digunakan pembidaian yang fleksibel.
Pembidaian ini dipasang tak lebih dari 2 minggu.
Prognosis : prognosis pada kasus ini umumnya baik. Gigi sulung seharusnya kembali
normal dalam 2 minggu. Gigi permanent yang matur dengan foramen apikal
yang tertutup mungkin mengalami nekrosis pulpa akibat trauma pada
pembuluh darah di apeks,dan apabila hal ini terjadi harus ditangani dengan
baik.

Luksasi Lateral

16
Definisi : perpindahan posisi gigi yang tidak searah dengan sumbu soket. Ligamentum
periodontal mengalami robek dan memar atau fraktur pada jaringan penyokong
tulang alveolar.
Diagnosis : temuan klinis terdapat gigi yang berubah posisi ke arah lateral dengan
mahkota yang biasanya ke arah palatal atau lingual dan mungkin terkunci erat
pada posisi baru. Gigi biasanya tidak goyang. Temuan radiogafi berupa
penambahan ruang ligamen periodontal dan perubahan posisi apeks mengarah
ke labial.
Terapi : - gigi sulung : diharapkan terjadi reposisi spontan jika tidak didapatkan
gangguan oklusi. Jika didapatkan gangguan oklusi, gigi dapat direposisi secara
hati-hati. Jika didapatkan trauma yang parah, ekstraksi merupakan pilihan.
- gigi tetap : harus direposisi segera dan distabilisasi dalam posisi anatomis
untuk mengoptimalkan penyembuhan dari ligamen periodontal dan persediaan
neurovaskuler serta memelihara estetika dan integritas fungsi gigi. Reposisi
dengan menggunakan tekanan jari dan sedikit paksaan. Gigi yang berubah
posisi dapat dilepaskan agar terbebas dari apeks yang terkunci dalam lempeng
tulang kortikal. Pembidaian selama 2-4 minggu diperlukan pada tulang
marginal yang pecah.
Prognosis : Gigi sulung yang direposisi dengan tindakan memiliki peningkatan risiko
nekrosis pulpa dibanding reposisi spontan. Pada gigi tetap dengan apeks
tertutup, nekrosis pulpa dan obliterasi kanalis pulpa merupakan komplikasi
dalam proses penyembuhan yang sering terjadi, resorpsi akar progresif jarang
terjadi.
Intrusi
Definisi : perubahan posisi apikal gigi menuju tulang alveolar. Gigi terdorong ke dalam
soket, menekan ligamentum periodontal dan umumnya menyebabkan fraktur
yang meremukkan soket alveolar.
Diagnosis : dari temuan klinis menyatakan bahwa gigi tampak memendek atau dalam
kasus yang berat gigi tampak hilang. Biasanya apeks gigi berpindah tempat ke
arah labial atau melewati tulang labial pada gigi primer dan terdorong ke
dalam procesus alveolaris pada gigi tetap. Gigi tersebut tidak goyang dan tidak
lunak saat di sentuh. Temuan radiografi menunjukan gigi berpindah tempat ke
arah apikal dan ruang ligamentum periodontal tidak terhubung. Jika apeks
berpindah tempat ke arah labial, ujung apeks dapat terlihat secara radiografi
dengan gigi yang tampak lebih pendek dari kontralateralnya. Jika apeks
17
berpindah tempat ke arah palatum gusi gigi tetap, ujung apeks tidak dapat
terlihat secara radiografi dan gigi tampak memanjang. Gambaran radiografi
lateral ekstraoral juga dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan letak pada
apeks ke arah atau melalui tulang labial.
Terapi : - gigi sulung: membiarkan re-erupsi secara spontan, kecuali terletak ke dalam
pengganti yang sedang berkembang. Indikasi atas ekstraksi adalah ketika apeks
terletak ke arah gusi gigi tetap.
- gigi tetap: melakukan reposisi pasif (membiarkan terjadi re-erupsi ke posisi
sebelum terluka), aktif (reposisi dengan traksi ), atau dengan pembedahan
kemudian menstabilkan gigi dengan bidai selama lebih dari 4 minggu dalam
posisi anatomi yang benar, untuk mengoptimalkan penyembuhan ligamentum
periodontal dan suplai neurovaskular, serta memelihara estetika dan intergritas
fungsional. Untuk gigi imatur dengan potensi erupsi lebih besar, perawatan
objektifnya adalah membiarkan erupsi spontan. Untuk gigi matur, tujuannya
adalah mereposisi dengan orthodonsi atau pembedahan ekstrusi dan memulai
perawatan endodontik dalam 3 minggu setelah insidensi trauma.
Prognosis : pada gigi sulung, 90% gigi yang terganggu akan re-erupsi secara spontan
dalam 2 sampai 6 bulan. Tetapi dalam kasus intrusi komplet dan perubahan
posisi gigi melalui tulang labial, sebuah studi retrospektif menunjukkan re-
erupsi dan kelangsungan hidup dari kebanyakan gigi lebih dari 36 bulan.
Ankilosis mungkin terjadi jika ligamentum periodontal pada gigi trauma
mengalami kerusakan berat sehingga terjadi penundaan erupsi pada pengganti
gigi tetap. Pada gigi permanen yang sudah matur dengan apeks tertutup,
terdapat risiko besar untuk terjadinya nekrosis pulpa, obliterasi kanalis pulpa,
dan resorbsi akar yang progresif. Gigi permanen imatur yang dibiarkan untuk
reposisi spontan, menunjukan risiko paling rendah pada komplikasi dalam
penyembuhan. Luas intrusi (7 mm atau lebih besar) dan batas gigi yang
terganggu memiliki pengaruh negatif dalam penyembuhan.
Ekstrusi
Definisi : perpindahan parsial arah gigi dari tempatnya; avulsi parsial. Ligamentum
periodontal biasanya robek.
Diagnosis : temuan klinis berupa gigi muncul memanjang. Temuan radiografis
memperlihatkan penambahan ruang ligamentum periodontal di apikal.
Terapi : - gigi sulung: diharapkan reposisi secara spontan atau reposisi (biasa) dan
memantau penyembuhan ekstrusi kecil (<3 mm) dalam pengembangan gigi
18
dewasa. Indikasi untuk ekstraksi yaitu ekstrusi parah atau mobilitas, gigi
mendekati pelepasan (gigi sulung akan tanggal), ketidakmampuan anak untuk
mengatasi situasi darurat, atau gigi telah sepenuhnya terbentuk.
- gigi tetap: mereposisi secepat mungkin lalu menstabilkan giginya pada
posisi anatomis untuk mengoptimalkan penyembuhan ligamentum periodontal
dan suplai neurovaskuler sambil melakukan perawatan integritas estetika dan
fungsional. Reposisi mungkin selesai dengan lambat dan tekanan apikal yang
tetap untuk memindahkan koagulum yang berada diaantara akar apeks dan
dasar dari soket secara bertahap. Fiksasi dilakukan hingga 2 minggu.
Prognosis : adanya keterbatasan studi yang mengevaluasi tentang reposisi pada gigi
primer yang ekstrusi. Pada gigi permanen dengan apeks yang tertutup,
memiliki risiko besar untuk mengalami nekrosis pulpa dan obliterasi kanal
pulpa. Gigi-gigi ini harus diperhatikan dengan baik.
Avulsi
Definisi : perpindahan gigi dari soket secara komplit. Ligamentum periodontal putus
dan patahnya alveolus mungkin terjadi.
Diagnosis : temuan secara klinis dan radiografi didapatkan bahwa gigi tidak ada pada
soket atau gigi sudah ditanam ulang. Pemeriksaan radiologi akan memastikan
bahwa gigi tidak menerobos ketika gigi tidak ditemukan.
Terapi : - gigi sulung: untuk mencegah cedera lebih lanjut pada perkembangan gigi
pengganti. Avulsi gigi primer tidak harus kembali ditanam karena potensi
kerusakan berikutnya untuk perkembangan bakal gigi tetap
- gigi tetap: replantasi secepat mungkin dan menstabilkan gigi yang ditanam
kembali di posisi anatomi yang benar untuk mengoptimalkan penyembuhan
ligamentum periodontal dan pasokan neurovaskular sambil tetap menjaga
integritas estetik dan fungsional kecuali bila penanaman kembali menjadi
kontraindikasi seperti kondisi medis yang lemah atau integritas yang lemah
dari gigi yang avulsi atau jaringan penyokong. Dilakukan pemasangan bidai
fleksibel selama 2 minggu. Tetanus profilaksis dan pemberian antibiotik harus
dilakukan. Strategi pengobatan diarahkan langsung untuk menghindari
peradangan yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kerusakan perlekatan gigi
dan / atau infeksi pulpa.
Prognosis : prognosis paling baik jika direplantasi sesegera mungkin. Jika gigi tidak dapat
direplantasi dalam 5 menit, gigi harus disimpan dalam media yang dapat
menjaga vitalitas serabut ligamentum periodontal. Media yang paling fisiologis
19
adalah ViaspanTM, Hanks’s Balanced Salt Solution (media kultur jaringan), dan
susu dingin. Jika tidak ada, media non-fisiologis yang baik adalah saliva
(buccal vestibule), NaCl fisiologis, atau air. Air berpengaruh buruk terhadap
penyembuhan ligamen tetapi masih lebih baik daripada penyimpanan kering.
Risiko ankilosis meningkat signifikan pada gigi yang tidak disimpan dalam
media lebih dari 20 menit. Batas penyimpanan kering untuk mempertahankan
sel periodontal adalah 60 menit.

BAB III
LAPORAN KASUS
20
3.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Dwi Nur Rahayu
Umur : 28 tahun
Alamat : Dewi Sartika RT 2 RW 4 Kel. Gedanganak, Kec. Ungaran
Timur, Kab. Semarang
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Suku : Jawa
No. CM : C419249
Tanggal Kunjungan : 15 Mei 2013

3.2 DATA DASAR

A. SUBYEKTIF

Autoanamnesis dengan pasien (15 Mei 2013 pukul 11.30 WIB)


Keluhan utama : gigi depan rahang atas goyang
Riwayat Penyakit Sekarang
± 5 hari yang lalu pasien mengalami kecelakaan yang menyebabkan pasien jatuh
terguling dengan wajah membentur aspal, pasien terluka di pipi kanan, bibir atas,
dan lengan kanan, kemudian dibawa ke UGD RS Ungaran, pasien disuruh pulang
setelah diberi perawatan. Pasien mengeluh gigi depan rahang atas goyang, goyang
bertambah parah jika makan dan menggosok gigi. Kemudian pasien
memeriksakan diri ke dokter gigi perusahaan dan dirujuk ke RSDK.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Penderita baru pertama kali sakit seperti ini
 Riwayat ekstraksi gigi 3.8, 4.6
 Riwayat tambalan gigi (-)
 Pasien mengaku teratur menggosok gigi
 Riwayat alergi (-), sakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat alergi, penyakit jantung, hipertensi, dan DM dalam keluarga disangkal

21
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang karyawan swasta, sudah menikah dan memiliki satu orang
anak. Biaya pengobatan ditanggung JAMSOSTEK.
Kesan: sosial ekonomi cukup

B. OBYEKTIF (15 Mei 2013)


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis (GCS: E4M6V5=15)
Status Gizi : kesan cukup
Tanda Vital :T 110/80 mmHg
N 80 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
RR 18 x/ menit
t afebris

Status Lokalis
Ekstra Oral
Kelenjar Limfe : pembengkakan nnll leher (-/-)
Asimetri muka : ( - )

Pemeriksaan ekstraoral

Intra Oral
Mukosa pipi kiri/kanan : kanan tidak ada kelainan
kiri tidak ada kelainan
Mukosa palatum, durum-mole : tidak ada kelainan
Mukosa dasar mulut/lidah : tampak benjolan (-)
Mukosa pharynx : tidak ada kelainan
22
Kelainan periodontal : tidak ada kelainan
Ginggiva RA : tidak ada kelainan
Ginggiva RB : tidak ada kelainan

Pemeriksaan intraoral

Odontogram

 Gigi 1.1  mahkota tampak lebih panjang, luksasi derajat 3


 Gigi 1.2  mahkota tampak lebih panjang, luksasi derajat 2
 Gigi 3.6  gangren radix
 Gigi 3.8 dan gigi 4.6  missing teeth
 Gigi 4.8  partial errupted
 Oklusi  normal bite
 Torus palatinus  kecil

23
 Torus mandibularis  tidak ada
 Palatum  sedang
 Supernumary teeth  tidak ada
 Diasterna  tidak ada
 Gigi anomali  tidak ada
 Lain-lain  calculus gigi 3.1, 3.2, 4.1, 4.2, 4.3, 4.4

3.3 DIAGNOSIS
Diagnosis Keluhan Utama : Suspek fraktur alveolar regio 1.1, 1.2
Diagnosis Banding : Luksasi ekstrusi regio 1.1, 1.2
Fraktur akar gigi 1.1., 1.2
Diagnosis Penyakit lainnya :
1. Gangren radix 3.6
2. Gingivitis marginalis kronis e.c calculus 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, 3.1, 3.2
3. Eruptio difficilis 4.8

3.4 INITIAL PLAN


Pro X-foto panoramik untuk penegakan diagnosis
Pemeriksan Penunjang : Radiologi  X foto panoramik

X-foto panoramik
Kesan : tampak lusensi periapikal pada gigi 1.1, 1.2

Diagnosis Kerja : Luksasi ekstrusi regio 1.1 dan 1.2

24
Diagnosis Penyakit lainnya :
1. Gangren radix 3.6
2. Gingivitis marginalis kronis e.c calculus 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, 3.1, 3.2
3. Eruptio Difficilis 4.8

Indikasi Terapi
 Luksasi ekstrusi gigi 1.1 dan 1.2 dilakukan reposisi dan fiksasi
 Gangren radix 3.6 dilakukan ekstraksi
 Gingivitis marginalis kronis e.c calculus 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, 3.1, 3.2 dilakukan
kalkulektomi
 Eruptio Difficilis 4.8 dilakukan odontektomi

Terapi
Pro reposisi dan fiksasi gigi 1.1, 1.2

BAB IV

25
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis luksasi ekstrusi regio 1.1, 1.2 berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis
didapatkan riwayat trauma berupa kecelakaan yang mengakibatkan trauma pada wajah.
Pasien mengeluhkan gigi depan rahang atas goyang yang semakin bertambah parah saat
makan maupun menggosok gigi pasca trauma tersebut. Kondisi pasien sesuai dengan
penelitian dimana pasien dewasa yang datang ke unit gawat darurat dengan trauma
dentoalveolar memiliki keluhan terbanyak melibatkan gigi incisivus sentral rahang atas.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan ekstraoral, tetapi didapatkan
kelainan intra oral berupa:
 Gigi 1.1 mahkota tampak lebih panjang, luksasi derajat 3
 Gigi 1.2  mahkota tampak lebih panjang, luksasi derajat 2
 Gigi 3.6  gangren radix
 Gigi 3.8 dan gigi 4.6  missing teeth
 Gigi 4.8  partial errupted
 Calculus gigi 3.1, 3.2, 4.1, 4.2, 4.3, 4.4
Diagnosis dari trauma dentoalveolar pada pasien ini belum dapat ditegakkan dari
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis, pasien didiagnosis dengan suspek fraktur alveolar regio 1.1, 1.2
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dimana ditemukan kegoyangan gigi dan ketika gigi
digerakkan gigi sebelahnya ikut bergerak sehingga dicurigai adanya fraktur tulang alveolar.
Diagnosis diferensial pada pasien ini adalah luksasi ekstrusi regio 1.1, 1.2 karena
didapatkan gigi goyang dengan mahkota yang memanjang dan fraktur akar gigi 1.1, 1.2.
Setelah didapatkan hasil pemeriksaan penunjang berupa X-foto panoramik berupa adanya
lusensi periapikal pada gigi 1.1, 1.2 yang menunjukkan penambahan ruang ligamentum
periodontal di apikal dan tidak ditemukan tanda fraktur sehingga dapat ditegakkan
diagnosis berupa luksasi ekstrusi regio 1.1, 1.2.
Berdasarkan klasifikasi WHO kelompok III tentang kerusakan jaringan periodontal,
luksasi ekstrusi (partial displacement) adalah pelepasan sebagian gigi ke luar dari
soketnya, kadang didapatkan ligamen periodontal yang robek. Ekstrusi menyebabkan
mahkota gigi terlihat lebih panjang dan didapatkan gigi goyang. Temuan radiografis
luksasi ekstrusi berupa penambahan ruang ligamentum periodontal di apical yang tampak
sebagai lusensi periapikal.

26
Terapi luksasi ekstrusi pada pasien dewasa adalah mereposisi secepat mungkin lalu
menstabilkan giginya pada posisi anatomis untuk mengoptimalkan penyembuhan
ligamentum periodontal dan suplai neurovaskuler serta merawat estetika dan integritas
fungsional. Fiksasi dilakukan hingga 2 minggu dan diobservasi lebih lanjut. Pada pasien ini
juga diedukasi untuk konsumsi makanan lunak selama proses perawatan.

BAB V
KESIMPULAN
27
Telah diperiksa seorang perempuan berumur 28 tahun dengan diagnosis luksasi
ekstrusi regio 1.1,1.2 dan diagnosis penyakit lain gangren radix 3.6, gingivitis marginalis
kronis e.c calculus 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, 3.1, 3.2, dan Eruptio Difficilis 4.8. Penyebab
terjadinya luksasi ekstrusi regio 1.1, 1.2 pada pasien ini adalah trauma pada wajah akibat
kecelakaan.
Penegakan diagnosis pada kasus ini selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik juga
dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa X-foto panoramik. Terapi yang dilakukan pada
pasien ini berupa reposisi dan fiksasi untuk mengoptimalkan penyembuhan ligamentum
periodontal dan suplai neurovaskuler serta merawat estetika dan integritas fungsional gigi.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

28
1. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition, Text Revision
(DSM-IV-TR; American Psychiatric Association [APA], 2000).
2. Dale RA. Dentoalveolar trauma. Emerg Med Clin North Am. 2000, 18(3):521-38.
3. Forsberg CM, Tedestam G. Etiological and predisposing factors related to traumatic
injuries to permanent teeth. Swed Dent J 1993, 17:183-90.
4. Luz JG, Di Mase F. Incidence of dentoalveolar injuries in hospital emergency room
patients. Endod Dent Traumatol. 1994, 10(4):188-90.
5. Hamilton FA, Hill FJ, Holloway PJ. An investigation of dentoalveolar trauma and its
treatment in an adolescent population. Part 2: Dentists’ knowledge of management
methods and their perceptions of barriers to providing care. Br Dent J 1997,182:129
-33.
6. Honsik KA. Emergency treatment of dentoalveolar trauma: essential tips for treating
active patients. Phys Sportsmed. 2004, 32(9):23-9.
7. Andreasen, J.O., Andreasen, F.M., Bakland, L.K., Flores, M. T. Traumatic dental
injuries a manual 2nd ed. Munksgaard: Blackwell Publishing Company. 2003.
8. Ingle, J.I. and L.K. Bakland. Endodontics 6th ed. Ontario: Elsevier. 2007.
9. Laub DR. Facial trauma, mandibular fractures. 2010 [cited 2013 Mei 18]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview.
10. American Academy of Pediatric Dentistry. Clinical guideline on management of acute
dental trauma. Chicago (IL): American Academy of Pediatric Dentistry; 2004.

29

You might also like