You are on page 1of 17

PATOGENESIS KUSTA

Oleh:
Muhammad Darry Aprilio Pasaribu
140100214

Pembimbing:
dr. Syahril Rahmat Lubis, Sp.KK(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
MEDAN
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Patogenesis
Kusta”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Syahril Rahmat Lubis, Sp.KK(K) selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 5 Juli 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................1
1.2. Tujuan ................................................................................................1
1.3. Manfaat ..............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................3
2.1. Mikrobiologi Mycobacterium leprae ..................................................3
2.1.1. Struktur .....................................................................................3
2.1.2. Kapsul .......................................................................................3
2.1.3. Dinding Sel ...............................................................................3
2.1.4. Membran Sel ............................................................................4
2.1.5. Sitoplasma ................................................................................4
2.1.6. Biokimia dan Metabolisme.......................................................4
2.2. Imunopatogenesis Kusta .....................................................................6
2.3. Respons Imun terhadap Mycobacterium leprae .................................7
2.3.1. Imunitas Alamiah (Innate Immunity) .......................................7
2.3.2. Imunitas yang Didapat (Acquired Immunity) ...........................8
2.4. Klasifikasi Kusta.................................................................................9
BAB 3 KESIMPULAN .....................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................12
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma kronik
progresif yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, yang menyerang
kulit dan sistem saraf tepi.1 Kusta termasuk salah satu penyakit menular dengan
angka kejadian yang tinggi di dunia. Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun
2011 adalah sekitar 219.075 dan jumlah terbanyak ditemukan di Asia Tenggara.2
Menurut Weekly Epidemiological Report oleh World Health Organization, jumlah
pasien baru kusta di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2011 ke 2012, yaitu
dari 20.023 pasien baru menjadi 18.994 pasien baru. Pada penelitian cross-sectional
di Jakarta tahun 2012, dari 1.021 pasien kusta didapatkan 24,2% pasien mengalami
reaksi kusta, sedangkan pada penelitian retrospektif di India Utara selama 15 tahun
30,9% pasien mengalami reaksi pada kunjungan pertama ke pusat kesehatan.3,4
Prevalensi reaksi reversal sendiri bervariasi antara 8-33% dari seluruh kasus kusta,
umumnya terjadi pada kusta tipe borderline.5 Penularannya dapat melalui kontak
langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit dari individu yang
terinfeksi.6 Masa inkubasinya cukup lama, yaitu sekitar 2-6 tahun.7
Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian,
namun paling sering menyebabkan kecacatan. Kusta merupakan salah satu
penyebab neuropati perifer non-traumatik. Minimnya pengetahuan dan tingginya
stigma negatif masayarakat terhadap kusta membuat penderita enggan untuk
berobat dan menyembunyikan penyakitnya. Hal ini menyebabkan transmisi infeksi
terus terjadi dan angka kecacatan semakin tinggi.8

1.2 Tujuan
Laporan kasus ini dibuat untuk mengetahui mikrobiologi Mycobacterium
leprae, biokimia dan metabolisme Mycobacterium leprae, serta imunopatogenesis
penyakit kusta.
2

1.3 Manfaat
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan informasi mengenai imunopatogenesis kusta
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikrobiologi Mycobacterium leprae


2.1.1 Struktur
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat intraseluler
(hanya bisa hidup dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi fagositosis karena
mempunyai dinding sel yang sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisozim.
Mikroskop elektron menunjukkan ultrastruktur yang umum untuk semua
Mycobacterium leprae berupa batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 μm
dan diameter 0,3 μm. Pada jaringan yang terinfeksi batang sering tersusun bersama-
sama membentuk globi.9,10

2.1.2 Kapsul
Sekeliling organisme merupakan zona elektron transparan seperti busa atau
material vesikular dan merupakan struktur yang unik dari Mycobacterium leprae.
Komposisinya terdiri dari dua lipid, yaitu phthioceroldimycoserosate yang
dianggap berperan pada perlindungan pasif dan phenolic glicolipid yang terdiri dari
tiga molekul gula yang mengalami metilasi terpaut pada molekul fenol dari lemak
(phthiocerol). Trisakarida ini membuat Mycobacterium leprae unik secara kimia
dan menjadi antigen yang spesifik.10

2.1.3 Dinding Sel


Dinding sel terdiri dari dua lapisan, yaitu:
 Lapisan luar berupa elektron transparan dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalaktan yang mengalami esterifikasi
dengan mycolic acid rantai panjang yang mirip dengan mikobakteria
lainnya.10
 Dinding dalam yang terdiri dari peptidoglikan–karbohidrat terpaut dengan
peptidanya dimana urutan asam aminonya spesifik untuk Mycobacterium
4

leprae meskipun peptida tersebut sangat kecil untuk dijadikan sebagai antigen
diagnostik.10

2.1.4 Membran Sel


Membran sel hanya melekat di bawah dinding sel dan merupakan membran
untuk transpor molekul ke dalam dan keluar dari mikroorganisme. Membran terdiri
dari lipid dan protein. Protein membran kebanyakan berupa enzim dan menurut
teori merupakan target utama dari kemoterapi. Mereka juga merupakan ’protein
permukaan antigen’ yang diekstraksi dari dinding sel Mycobacterium leprae yang
telah dirusak kemudian dianalisis secara luas.10

2.1.5 Sitoplasma
Kandungan bagian dalam dari sel terdiri dari timbunan granul, materi genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
mengalami translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam konfirmasi
identitas mikrobakteria yang diisolasi dari armadilos liar, dan menunjukkan suatu
Mycobacterium leprae melalui perbedaan secara genetik dan berhubungan erat
dengan Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium scrofulaceum.10,11

2.1.6 Biokimia dan Metabolisme


Tanpa adanya organisme yang dikultur sangatlah sulit untuk mempelajari
biokimia dan metabolisme kuman Mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae
memetabolisme sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari glikolisis, hexose
monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid. Energi dibentuk oleh konversi
ADP menjadi ATP dan dihasilkan oleh ATP yang telah mengalami perubahan ADP
sehingga oksigen dapat digunakan. Semua bakteri membutuhkan basa purin dari
nukleotida untuk membentuk asam nukleat dan metabolisme oksidatif. Tidak
seperti mikobakteria lain, Mycobacterium leprae tidak melakukan sintesis seperti
itu dan dapat ditemukan M. leprae dalam sel pejamu. Mikobakteria juga
membutuhkan besi yang diambil dari pejamu oleh chelate mikobaktin sehingga
dapat terjadi kekurangan mikobaktin pada Mycobacterium leprae. Defek metabolik
5

seperti ini mungkin menjelaskan mengapa organisme ini sulit untuk dibiakkan
secara in-vitro. Komponen kimia utama dari Mycobacterium leprae adalah adalah
antigenik.10

Antigen Stabilitas Spesifisitas Immunoreaktivitas


Phenolic glicolipid Stabil Mycobacterium Antibodi IgM,
leprae Respons Sel T
Supressor
Mycosida lainnya Stabil Mikobakteria Antibodi IgG, Sel T
Lipoarabinomannan Stabil dan BCG dan epitop Tes Kulit
tidak dapat spesifik M.1
dicerna
Peptidoglycan Mikobakteria
Protein Labil Sering pada Mencetuskan
mikobakteria lain antibodi, Sel T, Tes
tetapi memiliki Kulit
epitop spesifik
Tabel 2.1 Antigen dari Mycobacterium leprae9,10

2.1.6.1 Phenolic Glicolipid


Trisakarida terminal merupakan spesifisitas antigen terhadap Mycobacterium
leprae. Varian minornya berupa I, II, dan III. Trisakarida telah berhasil disintesis
dan dapat ditautkan pada contoh protein carrier untuk digunakan dalam
seroepidemiologi dan penelitian-penelitian lain. Antigen ditemukan pada semua
jaringan yang terinfeksi dengan Mycobacterium leprae dan menetap dalam waktu
lama setelah organisme mati. Antigen juga ditemukan dalam serum dan urin pasien
dengan lepra lepromatose dan pendeteksiannya menjadi tes diagnostik yang
berguna pada lepra lepromatous awal. Antigen menstimulasi produksi antibodi
IgM, tetapi tidak mencetuskan hipersensitivitas tipe lambat. Antigen juga berperan
dalam mencetuskan supresi imun pada lepra.9,10
6

2.1.6.2 Lipoarabinomannan
Lipoarabinomannan merupakan komponen mayor dari dinding sel
Mycobacterium leprae. Lipoarabinomannan stabil dan tidak dapat dicerna serta
menimbulkan reaktivitas silang dengan mikobakteria lain, tetapi mengandung
epitop spesifik yang dan mencetuskan antibodi IgG.9,10

2.1.6.3 Antigen Protein


Terdapat berbagai antigen protein di dalam Mycobacterium leprae, tetapi
hanya lima yang menarik karena antibodi monoklonal tikus telah menunjukkan
bahwa mereka mengandung epitop spesifik Mycobacterium leprae. Protein soluble
yang diekstraksi dari Mycobacterium leprae merupakan antigen spesifik yang tidak
lengkap untuk tes kulit. Beberapa antigen protein telah sukses dikloning dan
diekspresikan pada Eschericia coli. Hal ini sangat mendukung untuk dianalisis.12,13

2.2 Imunopatogenesis Kusta


Faktor genetik dipertimbangkan karena memiliki peranan yang besar untuk
terjadinya kusta pada suatu kelompok tertentu. Respons yang terjadi akibat infeksi
Mycobacterium leprae dapat sangat berbeda. Keadaan ini terjadi dibawah kontrol
secara genetik. Faktor genetik yang berperan salah satunya berada dalam sistem
Human Leucocyte Antigen (HLA). HLA adalah suatu antigen dipermukaan sel yang
merupakan hasil produk yang dicetak biru oleh gen yang terletak pada kromosom-
6 manusia pada suatu daerah (lokus) yang disebut Major Histocompatibility
Complex (MHC). Dikenal MHC class I (menghasilkan HLA–A, B, dan C) dan
MHC class II (menghasilkan HLA D) yang banyak dihubungkan dengan imunitas
terhadap bakteri termasuk basil kusta.13,14
Antigen HLA ini berperan dalam pengenalan dan penyajian antigen dari sel
penyaji (Antigen Presenting Cell) kepada sel limfosit T (T–helper) yang akan
memulai rangkaian respons imun. Dari hasil penelitian terhadap penderita kusta
ternyata didapatkan frekuensi HLA-DR3 yang tinggi pada penderita kusta tipe
tuberkuloid, sedangkan HLA-DQ1 dihubungkan dengan tipe Lepromatosa. Bentuk
respons imun yang terjadi apabila basil kusta masuk ke dalam tubuh seseorang
7

dimana HLA akan membuat seseorang jadi lebih mudah terkena kusta. HLA-DR
akan mengarahkkan ke imunitas seluler, sedangkan HLA-DQ akan mengarahkan
ke sistem imunitas humoral. Epitop atau peptida yang berasal dari antigen kuman
memerlukan pasangan sesuai HLA yang ada. Pasangan ini selanjutnya akan
bertemu dengan reseptor pada permukaan limfosit (T cell receptor/TCR).13,14
Sel schwann sebagai sel pendukung utama pada sistem saraf perifer
tampaknya menjadi target utama Mycobacterium leprae pada saraf perifer. Pada
penderita dengan lepra yang sudah parah (advanced), baik sel-sel schwann yang
bermielin maupun tidak, sama-sama terinfeksi oleh Mycobacterium leprae
meskipun ada beberapa laporan yang menyebutkan bahwa ada kecenderungan
untuk menyerang serabut saraf yang tidak bermielin. Secara in-vitro telah
diobservasi suatu infeksi yang cepat dan berat pada kedua jenis sel schwann
tersebut. Namun beberapa peneliti telah melaporkan infeksi yang terbatas pada sel
schwann yang tidak bermielin secara in-vitro.13,14
Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari Mycobacterium leprae telah dibuktikan
terikat secara spesifik pada laminin-2 dalam lamina basalis dari unit sel schwann
akson. Oleh karena itu, PGL-1 tampaknya terlibat dalam invasi sel schwann oleh
Mycobacterium leprae pada suatu jalur laminin 2. Namun yang lebih penting lagi,
bukti-bukti yang ada jelas menunjukkan bahwa mekanisme ikatan terhadap
permukaan sel schwann via laminin α2 bukan merupakan hal yang patognomonis
untuk Mycobacterium leprae saja. Spesies mikobakterial lainnya, termasuk
Mycobacterium tuberculosis, M. chelonae, dan M. smegmatis telah menunjukkan
suatu α2–laminin-binding-capacity dan spesies-spesies ini siap berinteraksi dengan
ST88-14 pada barisan sel schwannoma. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa
kemampuan untuk mengikat laminin α2 terbatas pada genus Mycobacterium. Studi
lain juga telah mendemonstrasikan kemampuan mielin Po untuk mengikat
Mycobacterium leprae.14

2.3 Respons Imun terhadap Mycobacterium leprae


Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal, yaitu adanya Mycobacterium
leprae, fungsi sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel dendritik yang berhubungan
8

dengan limfosit T dan limfosit B serta imunitas humoral dan selular yang meliputi
faktor host dan agent (Mycobacterium leprae) serta interaksi keduanya.11

2.3.1 Imunitas Alamiah (Innate Immunity)


Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara non-spesifik lewat
pertahanan secara mekanis–misalnya lapisan kulit yang intak, secara fisiologis, atau
kimiawi serta lewat beberapa jenis sel yang bisa langsung membunuh kuman. Sel-
sel yang pada sistem imunitas alamiah (innate imunity) bekerja secara fagositosis
yang dijalankan oleh monosit dan pembunuhan di luar sel (extra cellular killing)
yang dijalankan oleh limfosit pembunuh (Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan
alamiah ini bersifat non-spesifik dan ditunjang oleh status kesehatan secara umum,
yaitu gizi yang baik, hidup teratur, serta lingkungan yang baik.11
Sebagian Mycobacterium leprae yang masuk ke dalam tubuh manusia
mungkin akan lolos dari serangan sistem kekebalan alamiah tersebut. Lewat
mekanisme menumpang di dalam monosit seperti pada infeksi tuberkulosis diparu
(Troyan-Horse phenomenon), basil kusta terbawa masuk ke organ yang lebih dalam
tubuh dan mencari sasaran sel yang sistem pertahanannya lemah sambil
berkembang biak. Belum jelas mengapa Mycobacterium leprae yang ditangkap
oleh monosit tersebut tidak terbunuh, mungkin lewat cara mimikri (menyamar)
sehingga sel tidak mengenali musuh atau bakteri mengeluarkan zat tertentu yang
melumpuhkan salah satu komponen sistem kekebalan. Salah satu jenis sel fagosit
yang menjadi sasaran adalah sel schwann yang terletak pada perineum saraf tepi.
Sel ini digolongkan dalam “non-professional phagocyte” karena tidak bisa
mengekspresikan MHC class II di permukan selnya, kecuali bila diaktifkan oleh
Interferon gamma (IFN-γ).12,15
Keadaan tersebut menyebabkan terganggunya proses penyajian antigen
kepada limfosit T sehingga setelah menangkap Mycobacterium leprae sel tersebut
tidak bisa mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit tidak bisa mengirim sinyal
(IFN-γ) yang dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman di dalam sel sehingga
sel schwann menjadi pos pertama dari basil kusta sebelum menginvasi kulit dan
organ lain. Pada saat sel schwann yang tua mati dan pecah, Mycobacterium leprae
9

yang berkembang biak di dalam sel tersebut akan tersebar keluar dan akan
ditangkap oleh sel fagosit lain. Fase selanjutnya adalah interaksi antara basil kusta
dengan sistem pertahanan tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik.12,15

Gambar 2.1 Respons imun terhadap Mycobacterium leprae16

2.3.2 Imunitas yang Didapat (Acquired Immunity)


Pada sistem pertahanan lapis kedua, eliminasi kuman dijalankan oleh sistem
imun yang didapat (acquired immunity) yang sifatnya spesifik dan timbul apabila
sudah terjadi pengenalan (recognition) dan pengingatan (memory) oleh berbagai
komponen sel yang terlibat. Untuk penghancuran kuman yang hidupnya di dalam
sel seperti Mycobacterium leprae, diperlukan kerja sama antara makrofag dan
limfosit T. Makrofag harus memberi sinyal lewat penyajian antigen, sedangkan
limfosit harus memberi sinyal dengan mengeluarkan interleukin yang akan
10

mengaktifkan makrofag tersebut agar menghancurkan kuman lewat mekanisme


kompleks fagosom-lisosom.12,15
Dalam proses penyajian antigen dari mikobakteria, antigen yang berasal dari
proses pencernaan di dalam fagosom akan disajikan oleh MHC kelas II kepada
limfosit T yang CD4+, umumnya dari jenis T-helper atau inducer. Sedangkan
antigen dari kuman yang berada di dalam sitoplasma akan disajikan oleh molekul
MHC kelas I kepada sel T yang CD8+, yaitu sitotoksik/supressor. Limfosit Th-1
akan terbentuk apabila dalam proses stimulasi antigen terdapat IL-12, IFN-γ, dan
IL-18, yang berasal dari sel NK dan makrofag di dalam sistem imunitas alamiah
(innate immunity). Kedua subset limfosit ini saling mempengaruhi satu sama lain
(down-regulating) dan selalu berusaha mencapai keseimbangan. Apabila pada awal
proses aktivasi terdapat IL-4 (kemungkinan dibentuk oleh sel NK1.1 CD4+) maka
Th-0 akan berubah menjadi Th-2. Selanjutnya Th-1 akan mengaktifkan sistem imun
seluler yang diatur lewat pengaruh sitokin IL-2, IFN-γ, dan TNF- α, sedangkan Th-
2 akan mengaktifkan sistem imun humoral lewat mediator IL-4, IL-6, dan IL-
10.12,15
Berdasarkan konsep Th-1 dan Th-2 tersebut, maka dalam respons imun
terhadap kuman Mycobacterium leprae akan terjadi dua kutub, dimana pada satu
sisi akan terlihat aktivitas imunitas humoral. Manifestasi klinis yang terlihat adalah
kusta tipe tuberkuloid dengan aktifitas Th-1 yang menonjol dan tipe lepromatosa
dengan imunitas humoralnya yang dihasilkan oleh Th-2. Bentuk-bentuk peralihan
(tipe borderline) kemungkinan timbul dari perbedaan gradasi antara aktifitas Th-1
dan aktifitas Th-2. Namun untuk menjelaskan mengapa bisa terjadi pergeseran
diantara bentuk-bentuk yang tidak stabil tersebut tampaknya konsep diatas masih
belum bisa digunakan.12,15

2.4 Klasifikasi Kusta


Perjalanan klinis kusta merupakan suatu proses yang lambat dan berjalan
bertahun-tahun sehingga penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di
dalam tubuhnya. Sebagian besar penduduk di daerah endemik kusta pernah
terinfeksi Mycobacterium leprae. Namun karena adanya kekebalan alamiah, hanya
11

sekitar 15% dari mereka menjadi sakit. Pada orang yang kekebalan alamiahnya
tidak berhasil membunuh kuman yang masuk, terjadi perkembangbiakan
Mycobacterium leprae di dalam sel Schwann pada perineurium. Proses ini berjalan
sangat lambat sebelum muncul gejala klinis yang pertama. Setelah melewati masa
inkubasi yang cukup lama (sekitar 2–5 tahun) akan muncul gejala awal penyakit
yang bentuknya belum khas, berupa bercak-bercak dengan sedikit gangguan sensasi
pada kulit disertai dengan berkurangnya produksi keringat setempat.11,17
Keadaan ini disebut fase indeterminate dan dianggap sebagai fase dimana
kelainan yang terjadi masih belum dipengaruhi oleh kekebalan tubuh. Meskipun
tidak semua bentuk indeterminate akan berlanjut menjadi kusta yang manifes,
dalam beberapa tahun setelah kelainan itu biasanya akan muncul gejala klinis yang
karakteristik. Kelainan yang khas ini bervariasi, bisa pada kulit, saraf tepi maupun
organ-organ lainnya. Bentuk kelainan yang terjadi tergantung tipe kusta yang
terjadi dan berkaitan erat dengan status imun penderita. Disamping itu terdapat
keadaan yang dikenal sebagai kusta stadium sub-klinis. Kusta stadium sub-klinis
adalah keadaan dimana kuman telah masuk ke dalam tubuh yang ditandai dengan
pemeriksaan serologis yang positif namun individu tersebut tidak menunjukkan
gejala klinis. Kusta stadium sub-klinis dapat menjadi kusta manifestasi dan
berpotensi menjadi sumber transmisi.11,17
12

BAB 3
KESIMPULAN

Respons yang terjadi akibat infeksi Mycobacterium leprae dapat sangat


berbeda. Keadaan ini terjadi dibawah kontrol secara genetik. Faktor genetik yang
berperan salah satunya berada dalam sistem Human Leucocyte Antigen (HLA).
HLA adalah suatu antigen di permukaan sel yang merupakan hasil produk yang
dicetak biru oleh gen yang terletak pada kromosom-6 manusia.
13

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar RS. Kusta. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-3.
EGC: Jakarta. 2015.

2. World Health Organization. Weekly Epidemiologycal Record. World Health


Organization: Switzerland. 2014; 89(36):389–400.

3. Widodo AA, Menaldi SL. Characteristics of Leprosy Patients in Jakarta. J Indon


Med Assoc. 2012; 62(11):423–7.

4.Voorend CGN, Post EB. A Systematic Review on The Epidemiological Data of


Erythema Nodosum Leprosum, a Type 2 Leprosy Reaction. Plos Negl Trop Dis.
2013; 7(10):2440. 


5. Robertson J. The History of Leprosy. Dalam: Makino M, Matsuoka M, Goto M,


Hatano K, editors. Leprosy: Science Working Towards Dignity. 2011. Hadano:
Tokai University Press. pp. 2–24.

6. Delphine JL, Thomas HR, Rea LM. Leprosy. Dalam: Wolff K, Godsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill; 2008. pp. 1962–72.

7. Sung MS, Kobayashi TT. Diagnosis and Treatment of Leprosy Type 1 (Reversal
Reaction). CUTIS. 2015; 95(1):222–6. 


8. Ramesh MB, Prakash C. Leprosy: Overview of Pathophysiology. Hin Pub Cor:


Interdiciplinary Perspective on Infectious Disease; 2012. pp. 1–6.

9. Jopling WH. Hand Book of Leprosy. 5th ed. CBS: New Delhi. 2011. pp.1–53,
92–100.

10. James W, Buerger T, Elston D. Hansen’s Disease. In: Andrew Disease of The
Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Sauders Elseviers; Philadelphia. 2011.pp.
334–44.

11. Lockwood D. Leprosy. In: Burns T, Breachnach S, Cox N, Griffiths C, editor


Rook’s Textbook of Dermatology. Wiley-Blackwell: New Jersey. 2016. pp.
321–329.

12. Tomioka H. Immunology of Leprosy-Roles of Cytokine in Host Defense


Against Leprosy Bacili. In: Makino M, Matsuoka M, Goto M, Hatano K,
editors. Leprosy. Science Working Toward Dignity. Tokay University Press:
Tokyo. 2011. pp.72–84.
14

13. Suchonwanit P, Triamchaisri S, Wittayakornrerk S, Rattanakaemakom P.


Leprosy Reaction in Thai Population: A 20-year Retrospective Study.
Dermatology Research and Practice. 2015. pp.1–5.

14. Kamath S, Vaccaro S, Rea T, Octoa M. Recognizing and Managing the


Immunologic Reactions in Leprosy. J Am Acad Dermatol. 2014. 349(3):1–9.

15. Aline AF, Emerith MH, Mauricio BC, Analucia OMS, Mirian LOC.
Application of Mycobacterium Leprae–Specific Celluler and Serological Tests
for The Differencial Diagnosis of Leprosy from Comfounding Dermatoses. In:
Diagnostic Microbiology and Infectious Disease. Sauders Elseviers:
Philadelphia. 2016. pp. 7–24.

16. Fonseca AB, Simon MV, Cazzaniga RA, de Moura TR, de Almeida RP, Duthie
MS, Reed SG, de Jesus AR. The Influence of Innate and Adaptive Immune
Responses on the Differential Clinical Outcomes of Leprosy. Inf Dis Pov. 2017.
6(5).

17. Kar H. Gupta R. Treatment of Leprosy. Clinics in Dermatology. Elseviers: New


York. 2015. pp. 55–65.

You might also like