You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketersediaan guru yang memadai, merupakan salah satu faktor penting
dalam upaya pembangunan pendidikandi indonesia, baik secara kuantitas maupun
kualitas. Dalam rangka pemenuhan ketersediaan guru yang memadai tersebut,
pemerintah khususnya kementerian Pendidikan nasional (kemendiknas) atau yang
saat ini telah berubah nama menjadi kementerian Pendidikan Dasar dan Menegah
(kemendikdasmen), masih dihadapkan pada dua permasalahanpokok yang sangat
mendasar. Pertama, pemenuhan kebutuhantenaga guru yang belum sesuai dengan
kebutuhan daerah,dan kedua adalah peningkatan kualitas profesional yang belum
memenuhi standar minimal.
Kedua permasalahan inilah yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya
kesenjangan (disparitas) kualitas gurudi berbagai daerah di tanah air. Sebagai
contoh, di satu daerah para gurunya sudah terbiasa mengakses bahan ajar melalui
teknologi informasi yang berbasis internet atau multi media. Namun di daerah lain
jangankan menikmati segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi yang
berbasis internet tersebut, untuk mendapatkan bahan ajar dalam bentuk buku saja
mereka masih sangat kesulitan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu,
salah satu instrumen penentunya adalah keberadaan guru yang bermutu juga,
yakni guru yang profesional, bermartabat dan tentunya sejahtera. Selanjutnya,
keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan
praktik pendidikan yang berkualitas. Dan hampir semua bangsa di dunia ini selalu
mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas
lebih lanjut sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, pendidikan yang
bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang
maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa
bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan
sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan

1
yang bermutu. Membahas tentang mutu pendidikan, dalam kontekstulisan ini
nantinya akan difokuskan pada pendidikan yang adadi Indonesia. Lebih spesifk
lagi akan dikaitkan dengan modelpendidikan bagi guru yang selama ini telah
berlangsung.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada isi makalah ini yaitu:

1. Jelaskan program pendidikan pre service ?


2. Bagaimana model konsekutif pre service kependidikan guru ?
3. Jelaskan perbedaan model konsekutif dan konkuren pre service
kependidikan ?
4. Jelaskan model konsekutif terhadap calon guru beserta jelaskan kurikulum
model konsekutif ?
5. Bagaimana cara pengembangan sikap profesional guru ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari isi makalah ini yaitu:
1. Dapat menjelaskan program pendidikan pre service.
2. Dapat mengetahui dan menjelaskan model konsekutif pre service
kependidikan guru.
3. Dapat menjelaskan perbedaan model konsekutif dan konkuren pre service
kependidikan.
4. Dapat Menjelaskan model konsekutif terhadap calon guru beserta
mengetahui kurikulum model konsekutif.
5. Dapat mengetahui cara pengembangan sikap profesional guru.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Program Pendidikan Pre Service
a) Pengertian Program Pendidikan Pre Service Education
Pendidikan pra-jabatan atau pre-service education merupakan fase
mempersiapkan tenaga-tenaga kependidikan untuk memperoleh pengetahuan,
ketrampilan-keterampilan,dan sikap-sikap yang dibutuhkan sebelum
bertugas/berdinas. Misalnya semasa kuliah di IKIP atau Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan. Setelah mulai bertugassebagai guru, ia tidak boleh satis tetapi
harus dinamis. yaitu harusikut berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan
teknologi padaumumnya, khususnya di bidang profesi keguruan atau
kependidikan. la harus berkembang sambil menunaikan tugasnya.
Loretta dan Stein yang dikutip oleh Syaiful Sagalamengemukakan kategori
pendidikan profesional pre service pendidikan guru adalah:
a) Suatu studi yang diwajibkan untuk menjadi guru, yang secara historisterbentuk
dari sejumlah mata pelajaran yang diambil pada perguruantinggi dengan
memberikan pengalaman lapangan supervisi yangdidisain untuk menerima
tamatan SLTA memasuki profesi mengajar;
b) Penataran guru untuk memenuhi kebutuhan pejabat (employer) danpegawai
(employee) dalam daerah tertentu;
c) Continuing education suatu program pelajaran berkelanjutan yangditentukan
secara individual atau mata pelajaran yang dipilih untukmemenuhi minat atau
kebutuhan menuju pencapaian tujuan spesifikatau gelar; dan
d) Pengembangan kedudukan sataf (staf development) suatu programpengalaman
didisain untuk memperbaiki kedudukan seluruh anggotastaf secara pribadi
maupun kelompok.
b) Program Pendidikan Pre Service
Tenaga pendidik disiapkan melalui pre service teacher education dengan
strategi pelaksanaan dan pengembangan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) seperti (IKIP, FKIP, FIP,STKIP, dan FTIK) yang
menghasilkan tenaga kependidikan dan guru. Untuk menyediakan guru yang

3
dibutuhkan, maka LPTK mampu menangani program dan melakukan inovasi
dengan menanamkan pemahaman yang mendalam tentang kurikulum pada calon
guru dengan melakukan evaluasi pada tiap periode yang telah ditentukan untuk
menjamin kesinambungan pengembangan staf. Kebutuhan pasarpendidikan
dewasa ini telah beragam. Hal ini ditandai munculnya berbagai program dan
model pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya ada sekolah diberi
kategori standar nasional, berstandarinternasional, telah terakredilasi oleh badan
akreditasi baik tingkat lokalmaupun nasional bahkan internasional, dan
sebagainya. Atas dasarkategori atau level tersebut, tentu saja kualitas siswa dan
kualitasmanajemen sekolahnya mempunyai perbedaan antara yang satu
denganlainnya demikian juga kualitas dan kesejahteraan gurunya.
Berdasarkankebutuhan masyarakat tersebut, tentu saja LPTK dalam
melaksanakanpendidikan profesi guru juga akan mempersiapkan diri untuk
mengeloladan menyiapkan lulusannya yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Dalam pendidikan prajabatan, sebelum menjadi guru, seseorangakan dididik
dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yangdiperlukan dalam
pekerjaannya nanti. Karena tugasnya yang bersifatunik, guru selalu menjadi
panutan bagi siswanya, dan bahkan bagimasyarakat sekelilingnya.Proses
pendidikan tidak muncul begitu saja, tetapi harus dibinasejak calon guru memulai
pendidikannya di lembaga pendidikan guru.Berbagai usaha dan latihan, contoh-
contoh dan aplikasi penerapan ilmu,ketrampilan dan bahkan sikap professional
dirancang dan dilaksanakanselama calon guru berada dalam pendidikan
prajabatan.
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang pemerintah telahmengusahakan
berbagai lembaga yang menata usaha perbaikan mutuguru. Dimulai dengan
Sekolah Guru B (SGB) dan SGA lalu kursus B-Idan B-II, PGSLP, dan PGSLA.
Kemudian didirikan PTPG, lalu menjadiFKIP yang merupakan bagian dari
Universitas. Akhirnya diubah menjadiIKIP. IKIP ditetapkan sebagai lembaga
pengadaan tenaga kependidikan(LPTK) dan FKIP sebagai bagian dari
Universitas.

4
Program pre service pendidikan guru yang dilakukan oleh LPTK seperti
Universitas Negeri Semarang, STAIN Kudus, UniversitasNegeri Malang,
Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas lainyang mempunyai visi dan
misi yang sama yaitu kependidikan menyediakan tenaga pendidik pada berbagai
bidang ilmu seperti IlmuPendidikan, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, IlmuPengetahuan Sosial, Ilmu Teknik, Ilmu Ekonomi, Ilmu Keolahragaan,
Ilmu Agama Islam dan sebagainya dengan standar pembelajaran yangtinggi.
Mahasiswa dibekali materi penngetahuan sesuai bidang peminatannya,
kemampuan menyusun dan mengembangkan kurikulum, kemampuan menyusun
dan mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran, kemampuan
menggunakan model dan strategi pembelajaran, kemampuan melakukan evaluasi
hasil belajar dengan standar yang dipersyaratkan, dan kemampuan mengeloia
pembelajaran pendidikan.
B. Model Penyelenggaraan Pendidikan Guru
Mengembangkan model pendidikan bagi guru sangatdiperlukan dan harus
menjadi prioritas oleh negera, sebab haltersebut merupakan suatu kebutuhan yang
sangat mendesak. Adanya globalisasi dan pasar bebas (guru dan dosen dariluar
negeri memiliki akses yang sangat terbuka untuk bisa mengajar di indonesia),
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tidak bisa dielakkan adanya
kebijakan-kebijakan internasional yang juga ikut mempengaruhi sistem
pendidikan kita. beberapa faktor penting ini, seharusnyamendorong para
pelaku/praktisi pendidikan dan lebih khusus lagi pemerintah, sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab dalam hal pendidikan di negara ini, mencari formulasi
model pendidikan guru yang handal dalam rangka peningkatan mutudan
menghadapi persaingan global tersebut.
Tuntutan untuk mencari model atau format pendidikanbagi guru,
sesungguhnya didasari oleh pendapat udin S. Sa’ud(2008) yang mengasumsikan
bahwa peran guru secara umum dalam kehidupan masyarakat modern indonesia,
terdiri dari tigaperan utama yang saling berkaitan, yaitu sebagai: 1)
fasilitatorbelajar; 2) professional-leader; dan 3) agen pengembangan sosial
kemasyarakatan. Peran utama ini dipilih dengan alasan bahwa diharapkan guru-

5
guru masa depan secara efektif melaksanakanfungsi sebagai orang yang secara
profesional memfasilitasikegiatan belajar siswa sesuai dengan kebutuhan mereka,
bekerjasecara profesional dengan sikap profesionalisme yang tinggi disekolah
maupun masyarakat, dan dapat menjadi agen perubahansosial, baik di lingkungan
persekolahan maupun masyarakat.
Memperkuat tiga peran utama yang dimiliki oleh seorangguru di atas, maka
menurut Darling-hammond and bransford(2005) guru profesional perlu
memahami dan menguasaiminimal tiga pengetahuan dasar mengajar (knowledge-
based ofteaching) yang meliputi: 1) pengetahuan tentang bidang studiyang akan
diajarkan secara mendalam (mastering of contentknowledge); 2) pengetahuan
tentang pedagogiek (mastering ofpaedagogical knowledge); dan 3) pengetahuan
tentang pedagogiekkhusus yang mendalam tentang bidang studi yang
akandiajarkannya (mastering of paedagogical content knowledge).kemampuan-
kemampuan dasar mengajar tersebut di atasmerupakan knowledge-base of
teaching yang harus dimiliki olehsetiap orang yang mempunyai profesi mengajar.
Terkait dengan kemampuan-kemampuan dasar yangharus dimiliki dan
dikuasai seorang guru agar sukses dalammelaksanakan pekerjaannya, udin S.
Sa’ud (2008) memilikipendapat yang senada bahwa sekurang-kurangnya ada 11
ragamkemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu:
1. Menyusun materi pengajaran dengan baik dan harusmampu
mengajarkannya;
2. Mengetahui bagaiman anak belajar dan berkembang;
3. Mampu mengobservasi, memonitor, dan mengkaji hasilbelajar peserta
didik untuk mendapatkan umpan balik yangakurat mengenai PbM dan
perkembangannya;
4. Mengenali diri sendiri, mengerti budaya dan bahasa merekasendiri, serta
tahu cara mempelajari budaya lain denganpola bahasa dan cara pengenalan
yang berbeda;
5. Mampu membangun kurikulum dan aktivitas pembelajaranyang
mengaitkan apa yang diketahui tentang siswa denganapa yang perlu
diketahui siswanya;

6
6. Mampu mengajarkan materi pengajaran spesifk dengancara sedemikian
rupa sehingga dapat dipahami siswa;
7. Mampu mengantisipasi dan menekankan pembentukan atau kesalah
pahaman masing-masing siswa;
8. Mampu membuat dan menggunakan sarana pemikiranyang mengkaji
standar pengajaran dan cara pemakaianhasilnya untuk merencanakan
pengajaran yang ditekankanpada kebutuhan pembelajaran siswa;
9. Mampu menggunakan cara pemakaian teknik yangsistematis, mencakup
observasi anak secara individual dalam interaksinya terhadap beragam
tugas yang diberikan serta terhadap siswa lain untuk mendiagnosa
kebutuhan siswa tersebut;
10. Mampu mengevaluasi mengapa anak member respon atauberperilaku
tertentu sesuai konteks dalam kelas, tantanganpembelajaran individual
alami dan kehidupan anak tersebutdiluar sekolah; dan
11. Mampu membentu intervensi diri secara berulang terhadapperubahan dan
merevisi strategi-strategi instruksionalsesuai kebutuhan siswa.
Setelah mengetahui beberapa peran serta kemampuan yang harus dijalankan
dan dimiliki oleh seorang guru, lantas pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana
atau model pendidikan guru seperti apakah yang bisa mewujudkan semuanya itu.
karena hemat penulis, sedemikian hebatnya tantangan dan tanggung jawab yang
dimiliki oleh guru, tentunya tidak cukup lagi model-model pendidikan yang
selama ini ada dipertahankan. Sejak dekade tahun 1980 sampai sekarang dinamika
pendidikan guru terus berlanjut, mulai dari perubahan-perubahan nama, peran,
model dan bentuk penyelenggaran pendidikan profesi keguruan. namun demikian,
setiap bentuk dan model penyelenggaraan pendidikan profesi keguruan ini masih
terus berubah, dan terus menjadi wacana akademik ilmiah bagi para pakar
pendidikan
Menurut umi Chotimah (2009), Selama ini (sebelum diberlakukannya uu
tentang Guru dan Dosen), secara eksplisit lembaga yang menghasilkan tenaga
kependidikan (guru) dijenjang Pendidikan Tinggi adalah lembaga Pendidikan
Tenagakependidikan (lPTK). bentuk pendidikannya dapat berupa Sekolah Tinggi

7
(STKIP), institut atau FKIP (di bawah universitas),dan lain-lain. adapun
penyelenggaraan pendidikannya bersifat pendidikan akademik maupun
profesional. Lebih lanjut menurut nata widjaya yang dikutip olehumi Chotimah
(2009), secara umum ada dua fungsi lPTK yaitu: pertama, menyelenggarakan
pendidikan prajabatan, dan keduamenyelenggarakan pendidikan dalam jabatan.
Secara khususyang bersifat operasional, fungsi dari lPTK itu dapat
dijabarkansebagai berikut:
1. Menghasilkan guru SD, SMP dan SMa yang bermutu dan meliputi
berbagai bidang studi sesuai dengan kebutuhan;
2. Menghasilkan tenaga kependidikan lain yang menunjang berfungsinya
sistem pendidikan, seperti petugas administrasi pendidikan, petugas
bimbingan dan konseling, pengembangkurikulum dan teknologi
pendidikan, petugas pendidikan luar sekolah, dan lain-lain sesuai dengan
ketentuan sistem;
3. Menghasilkan tenaga ahli pendidik dalam membagi bidang studi, yang
mampu memenuhi kebutuhan tenaga pendidik/instruktur bagi lembaga
pendidikan pemerintah maupun swasta;
4. Menghasilkan ilmuan/peneliti dalam ilmu pendidikan baik bidang studi
maupun bidang pendidikan lainnya;
5. Mengembangkan ilmu, teknologi dan seni kependidikan untuk menunjang
praktek profesional kependidikan;
6. Mempersiapkan dan membina tenaga akademik untuk lPTk, sesuai dengan
kebutuhan;
7. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam jabatan
(in-service) untuk tenaga kependidikan;
8. Melayani usaha perbaikan dan pengembangan aparat pengelola pendidikan
sesuai dengan pengembangan ilmu,metodologi dan teknologi serta seni
kependidikan;
9. Melaksanakan penelitian dalam bidang kependidikan, baik pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal dan informal; dan

8
10. Melaksanakan program pengabdian pada masyarakat, yang berhubungan
dengan masalah-masalah kependidikan.
Lebih lanjut menurut nurulpaik yang dikutip oleh umiChotimah (2009),
berkenaan dengan model pendidikan atau penyelenggaraan pendidikan bagi guru,
selama ini dikenal adadua model yaitu concurrent model dan consecutive model.
Secararinci terkait dengan dua model tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Model Konkuren (Model Seiring) Pre Service Pendidikan Guru
Model konkuren yaitu suatu model penyelenggaraan pendidikan guru yang
menyiapkan calon guru yang dilakukan dalam satu napas, satu fase, antara
penguasaan bidang studinya (subjek matter) dengan kompetensi pedagogi (ilmu
kependidikan). Model inilah yang dipakai selama lebih dari 50 tahun dalam
penyelenggaraan pendidikan guru di Indonesia.PTPG, fkiP, ikiP, SGb, SGa,SPG,
SGo, PGa, sebagai bentuk lPTk yang pernah ada diindonesia menggunakan model
ini.
Model ini mengasumsikan bahwa seorang calon guru sejak awal sudah
mulai memasuki iklim, menjiwai, menyadari akan dunia profesinya. Seorang guru
tidak hanya dituntut menguasai bidang studi yang akan diajarkannya, melainkan
juga kompetensi pedagogi, sosial, akademik, dan kepribadian sebagai pendidik.
kompetensi tersebut bukan sesuatu yang terpisah, melainkan jadi ramuan
komposisi yang khas yang dijiwainya.kalau guru diasumsikan sebagai petugas
profesional, harus disiapkan secara profesional, secara sengaja untuk jadi guru,
juga di lembaga yang sengaja dibuat dan dipersiapkan untuk mendidik calon guru.
kritik terhadap model ini, penguasan subject matter (bidang ilmu) dianggap lemah
karena perolehan kemampuan bidang ilmu yang diajarkannya dianggap kurang
dari sarjana bidang ilmu (murni). ini dianggap kelemahan dan dinisbahkan
sebagai salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kompentensi guru yang
selama ini dipersiapkan di LPTK.
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau disingkat LPTK sebagai
suatu lembaga pendidikan guru tingkat universitas mempunyai fungsi pokok
dalam rangka mempersiapkan para calon guru yang kelak mampu melakukan
tugasnya selaku profesional pada sekolah-sekolah. Dengan mempersiapkan para

9
calon guru maka sesungguhnya LPTK mengemban peranan sangat penting dalam
rangka mempersiapkan calon guru yang memiliki yang memiliki kompetensi
profesional yang baik. Kebaikan dan kekurangan yang terjadi pada guru, pada
dasarnya menjadi tanggung jawab LPTK sebagai suatu institusi.
Guru prajabatan adalah lulusan S1 atau D4 Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK). Guru dalam jabatan adalah guru PNS atau non PNS yang
sudah mengajar pada satuan pendidik.
 Kelebihan Model Konkuren
1. Guru konkuren lebih menguasai ilmu pendidikan dari pada guru
konsekutif.
2. Guru konkurn mempunyai peluang untk menjadi guru profesional.
 Kelemahan Model Konkuren
1. Guru konkuren tidak menguasai materi belajar karena hanya belajar
sebagian dari disiplin ilmu yang harus diajarkannya di sekolah. Hal ini
dapat diatasi dengan guru konkuren lebih mempelajari bahan/ materi ajar.
2. Guru konkuren terancam menjadi pengangguran karena lahan
pekerjaannya diambil alih oleh guru konsekutif
2. Model Konsekutif (Model berlapis) Pre Service Pendidikan Guru
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang
akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat
dengan bangsa lain di dunia. Pada tahun 2006 Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index) Indonesia hanya menempati urutan 105 di seluruh
dunia. Peringkat Indonesia sangat jauh tertinggal dengan negara tetangga kita,
seperti Singapura yang menempati urutan ke-22, Malaysia menempati urutan ke-
56, Thailand menempati urutan ke-67 dan Philipina menempati peringkat ke-77
(Dikti, 2007).
Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, tentunya bergantung pada
kualitas guru/pendidik yang profesional. Pada pasal 28 ayat (1) PP No.19/2005,
ditegaskan bahwa Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi
sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

10
Sejak berlakunya Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005
(UUGD No.14/2005), kualitas guru menjadi sorotan utama dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Dari data Balitbang Depdiknas RI (2004), ditemukan
62% guru yang masuk kategori tidak profesional. Dari data Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan
(Balitbang Diknas Sulsel), ditemukan guru SD yang tidak layak mengajar
mencapai 49,3 %. Pada tingkat SLTP mencapai 35,9 % sedangkan di SLTA
mencapai 32,9% serta SMK 43,3% (Fajar, 12/4/2008).
Guru-guru yang dikategorikan tidak profesional adalah alumni dari Sekolah
Pendidikan Guru (SPG), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas eks IKIP yang kini disebut
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) maupun alumni perguruan
tinggi Non LPTK yang memiliki akta IV. Untuk menyandang lisensi guru
profesional, mereka diharuskan mengikuti sertifikasi seperti yang diamanatkan
pada pasal (2) UUGD No.14/2005 yang berbunyi “Pengakuan kedudukan guru
sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan sertifikat pendidik”.
Pada Pasal 9 UUGD No.14/2005 dinyatakan bahwa kualifikasi akademik
seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program
diploma empat. Sedangkan kompetensi seorang guru profesional disebutkan pada
Pasal 28 ayat (3) PP SNP No. 19/2005 yang menyebutkan bahwa Kompetensi
sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta
pendidikan anak usia dini meliputi:Kompetensi pedagogik;Kompetensi
kepribadian; Kompetensi profesional; dan Kompetensi sosial. Dengan demikian,
selain memiliki standar kualifikasi sarjana atau D-IV, seorang guru harus
memiliki keempat kompetensi tersebut, baik guru yang berasal dari perguruan
tinggi LPTK maupun Non LPTK.
Jika ditelaah lebih lanjut, terdapat kesenjangan kompetensi profesional
antara guru yang berasal dari LPTK dengan guru yang berasal dari Non LPTK.
Hal tersebut terjadi karena bobot kredit kompetensi profesional alumni Non LPTK
lebih banyak dibandingkan dengan bobot kredit alumni LPTK.

11
Menurut Slamet Widodo (2008), mereka yang belajar di program studi
elektro (misalnya) akan memiliki kemampuan keilmuan elektro yang lebih
dibandingkan mereka yang belajar di program studi pendidikan elektro. Dapat
dibayangkan ketika sama-sama menjadi guru di sekolah yang sama, kualitas
keilmuan alumni LPTK akan tertinggal dengan guru alumni Non LPTK. Akhirnya
kualitas keilmuan alumni LPTK akan diragukan dan mungkin saja hanya akan
menjadi guru cadangan di institusinya.
Menurut Aswandi (2008), perguruan tinggi LPTK, baik Negeri maupun
Swasta harus berani melakukan pemikiran ulang (Rethinking of LPTK),
menerima mahasiswa dalam jumlah yang besar tanpa memperhatikan faktor
keterserapan di lapangan bukan zamannya lagi, karena hanya akan menjadi “bom
waktu” yang dikemudian hari akan meledak, masyarakat akan menuntut
pertanggung jawaban LPTK yang telah berhasil menciptakan dan membuahkan
kekecewaan mereka.
Masa depan LPTK akan semakin kritis karena adanya keinginan kuat
sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar yang ingin mengatur sendiri
rekrutmen tenaga guru. Keinginan kuat mereka adalah merekrut guru bukan
output LPTK, melainkan alumni terbaik ITB, IPB, UI, UGM, dan beberapa
perguruan tinggi prestisus dengan gaji yang besar (www.pontianakpost.com,
7/4/2008).
Jika universitas eks IKIP membuka program non kependidikan, sebaliknya
perguruan tinggi non kependidikan juga membuka program kependidikan yang
menyiapkan calon guru (Trianto, 2007). Bahkan Slamet Widodo (2008)
mengatakan bahwa UUGD membawa konsekuensi perlu dihapuskannya program
studi kependidikan karena untuk mencapai profesi guru, seseorang harus
mengikuti program pendidikan profesi. Apapun program studi atau bidang
ilmunya, apabila seseorang ingin menjadi guru harus mengikuti program
pendidikan profesi.
Penyiapan tenaga kependidikan pada LPTK selama ini umumnya
menggunakan model pendidikan simultan (concurrent model) yaitu materi bidang
studi diberikan bersama-sama dengan materi kependidikan, kecuali untuk

12
program akta bagi calon guru di luar LPTK menggunakan model pendidikan
berurutan (consecutive model), kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang
studi. Implikasi pelaksanaan program pendidikan profesi guru di PT Non LPTK
adalah tingkat keilmuan tenaga guru tidak lagi dihasilkan dengan menggunakan
model pendidikan simultan (concurrent model) yaitu materi bidang studi
diberikan bersama-sama dengan materi kependidikan yang selama ini dilakukan,
tetapi menggunakan model pendidikan berurutan (consecutive model), artinya
program profesi ditempuh setelah menguasai bidang studi.
Apalagi pada Pasal 10 ayat (1) UUGD No.14/2005 disebutkan bahwa
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan
profesi.
Dapat kita bayangkan apabila perguruan tinggi Non LPTK juga membuka
program pendidikan profesi guru. Mungkin saja almuni SMA yang berminat
menjadi guru akan lebih memilih PT Non LPTK yang membuka pendidikan
profesi guru yang memiliki kredibilitas lebih baik dibanding LPTK yang selama
ini menelorkan guru-guru yang dikatakan tidak berkualitas. Entah kualitas guru-
guru kita diakibatkan oleh sistem pendidikan di LPTK ataukah memang alumni
SMA yang masuk ke LPTK hanya menjadikan LPTK sebagai pelarian ketika
tidak lulus di PT Non LPTK?
Menurut Umasih (2008), sudah bukan rahasia umum, semua LPTK hanya
mendapatkan calon mahasiswa yang ditolak oleh lembaga pendidikan tinggi yang
lain, pilihan untuk berprofesi sebagai guru pada umumnya adalah pilihan terakhir.
Persiapan yang diberikan oleh LPTK untuk menjadi tenaga profesional cenderung
hanya sedang-sedang saja, mahasiswa tidak dibimbing untuk memahami secara
mendalam mata pelajaran yang akan diajarkan. Meskipun penelitian dilakukan
oleh mahasiswa, tetapi lebih merupakan ritual yang harus dilakukan tanpa diberi
pemahaman untuk apa data tersebut. Artinya LPTK telah mempersiapkan
mahasiswa para calon guru secara tidak kompeten.
Oleh karena itu untuk mengantisipasi kekurangan peminat di LPTK yang
berujung pada masa depan LPTK, perlu segera diformulasikan sistem pendidikan

13
profesi guru di LPTK sehingga nantinya tidak ada lagi dikotomi antara PT LPTK
dan PT Non LPTK, melainkan Lembaga Pendidikan Profesi Guru ( LPPG).
Dengan demikian, pola pendidikan terintegrasi (concurrent model) yang
dilaksanakan di LPTK harus segera dievaluasi dengan mempertimbangkan pola
pendidikan konsekutif dalam rangka meningkatkan kualitas
keilmuan/profesionalitas guru.
Asumsi yang dipakai dalam model ini menghendaki penyiapan guru
dilakukan dalam napas atau rangkaian yangberbeda. artinya, calon guru
sebelumnya tidak dididik dalam setting LPTK. Mereka adalah para sarjana bidang
ilmu, kemudiansetelah itu menempuh pendidikan lanjutan di LPTK
untukmemperoleh akta kependidikan yang selama ini diposisikan sebagai lisensi
profesi guru.Model ini menghendaki sarjana dulu di bidangnya kemudian
mengikuti pendidikan akta kependidikan sebagai sertifkasi profesi kependidikan.
Keunggulan model ini dianggap memiliki penguasaan bidang studi lebih
baikunggul, tetapi lemah dari aspek kompetensi ilmu pendidikan (pedagogis),
sosial, dan kepribadian sebagai calon guru. Dalam pola ini penyiapan subject
matter dengan kompetensi pedagogi,sosial, dan kepribadian adalah hal yang
berbeda, bukan desain pendidikan profesional yang terpadu.
Sejak diberlakukannya undang-undang Guru dan Dosen, nampaknya
penyelenggaraan pendidikan guru saat inicenderung dilakukan dengan
menggunakan concecutive model,ini dapat dilihat pada pasal 12 yang berbunyi:
“Setiap orang yangtelah memperoleh sertifkat pendidik memiliki kesempatan
yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu”.
Salah satu dampaknya adalah meningkatnya minat dana presiasi masyarakat
terhadap profesi guru. Disamping itu, UU tersebut juga menggariskan bahwa
profesi guru minimal berpendidikan S-1 atau D-4, baik kependidikan maupun non
kependidikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa profesi guru merupakan profesi
yang bersifat terbuka, bukan hanya bagi lulusan dari lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK), melainkan pula dari non-LPTK. Lalu apa urgensi
eksistensi LPTK kalau profesi guruitu pun secara yuridis dan akademik berhak
dimasuki oleh mereka yang tidak dipersiapkan di LPTK. Mereka yang berlatar

14
pendidikan dari non-LPTK/non kependidikan untuk menjadiguru cukup
mengikuti pendidikan sertifkasi profesi guru.
 Kelebihan Model Konsekutif
1. Guru konsekutif lebih menguasai materi belajar.
2. Para lulusan dari ilmu murni mempunyai peluang untuk menjadi guru,
dengan syarat melalui pendidikan strata
 Kelemahan Model Konsekutif
1. Guru konsekutif tidak menguasai ilmu pendidikan karena guru konsekutif
hanya belajar ilmu murni. Hal ini dapat diatasi dengan guru konkuren
mempelajari ilmu pendidikan supaya menjadi guru yang profesional.
2. Guru konsekutif akan bersaing dengan guru konkuren.
Pertanyaannya sekarang adalah manakah yang lebih baik dari kedua model
penyelenggaraan pendidikan tersebut (concurrentatau consesutive). Jawabannya
masing-masing mempunyai kelebihan dah kelemahan, disamping itu tergantung
kepada penafsiran apakah sebaiknya profesi guru merupakan profesi guru
merupakan profesi yang tertutup atau terbuka, Artinya:
1. Jika profesi guru adalah profesi tertutup, maka model konkuren yang dijadikan
acuan nya dengan memberikan penguatan lebih dalam pada penguasaan bidang
ilmu (Subject Matter). Artinya, perguruan tinggi yang berperan sebagai LPTK
harus semakin diperkuat dan didorong untuk lebih bagus lagi. Pemerintah pun
wajib memberikan perhatian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan
guru di LPTK. Sejalan dengan semakin bergengsinya profesi guru maka LPTK
akan semakin menjadi perhatian publik dan minat menjadi guru akan semakin
kompetitif.
2. Jika profesi guru adalah profesi terbuka, maka berarti model konsekutif yang di
jadikan acuan. Akibatnya akan menjadi kecenderungan tereduksinya
keberadaan LPTK hanya sebagai lembaga sertifikasi profesi guru semakin
mendekati kenyataan, sebab untuk menjadi guru, tidak perlu studi di LPTK.
Berlatar belakang perguruan tinngi apapun ( Sepanjang bidang studinya
relevan) bila akan menjadi guru cukup mengikuti pendidikan sertifikasi profesi
guru yang diselenggarakan Oleh pemerintah di LPTK. L ebih lanjut Nurulpaik

15
(2008) mengatakan bahwa disinilah keharusan redefinisi dan refungsi
kelembagaan LPTK. Yang diperlukan adalah keputusan yang jelas dan tegas
dari pemerintah dalam menetapkan model mana yang akan dipilih dalam
penyelenggaraan pendidikan guru.
C. Model Konsekutif untuk Pendidikan Calon Guru
Kurikulum yang diterapkan dalam PPG tergantung dari kualifikasi
mahasiswa, apakah mereka alumni LPTK atau alumni Non LPTK. Hal tersebut
diatur pada pasal 7 ayat (2) PP No 74/2008 yang menyatakan bahwa bobot
muatan belajar PPG disesuaikan dengan latar belakang pendidikan sebagai
berikut: (a). untuk lulusan program S-1 atau D-IV kependidikan dititikberatkan
pada penguatan kompetensi profesional; dan (b). untuk lulusan program S-1 atau
D-IV nonkependidikan dititikberatkan pada pengembangan kompetensi
pedagogik.
Dalam draf Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan
Profesi Guru Pra Jabatan, program PPG untuk lulusan S-1 kependidikan akan
diberikan pemantapan bidang studi dan program pengalaman lapangan (PPL)
kependidikan. Sedangkan lulusan S-1 Non Kependidikan lebih diorientasikan
kepada pembentukan kompetensi kepribadian pendidik, pengemasan bidang studi
untuk pembelajaran serta mengikuti program PPL kependidikan.
Aturan PPG akan berdampak pada citra alumni LPTK sebagai alumni yang
belum siap pakai sehingga akan menimbulkan kesan pada masyarakat akan
kualitas keilmuan alumni LPTK. Dengan demikian, gelar sarjana pendidikan yang
merupakan produk dari LPTK akan kurang diminati lagi oleh masyarakat sebagai
"bekal" untuk bertarung mendapatkan pekerjaan, khususnya sebagai guru.
Model pendidikan terintegrasi (concurrent model) dengan menggabungkan
kompetensi pedagogik (keguruan) dengan kompetensi profesional sudah tidak
konteks lagi untuk menyiapkan calon guru. Pola pendidikan terintegrasi yang
dilaksanakan di LPTK harus segera dievaluasi jika LPTK tidak ingin kehilangan
pamor di mata masyarakat.
Slamet Widodo (2006) mengatakan bahwa pemberlakuan UUGD
No.14/2005 membawa konsekuensi perlu dihapuskannya program studi

16
kependidikan karena untuk mencapai profesi guru, seseorang harus mengikuti
program pendidikan profesi.
Perubahan kebijakan dalam perekrutan calon guru akan berimplikasi pada
formulasi kurikulum di perguruan tinggi. Oleh karena itu perlu segera
diformulasikan sistem pendidikan profesi guru baik di LPTK maupun non LPTK
sehingga nantinya tidak ada lagi dikotomi antara LPTK dan non LPTK, melainkan
terbentuk dalam Lembaga Pendidikan Profesi Guru (LPPG) dengan menerapkan
pola pendidikan konsekutif (consecutive model).
Penyiapan tenaga kependidikan di LPTK selama ini umumnya
menggunakan model pendidikan simultan (concurrent model) yaitu materi bidang
studi diberikan bersama-sama dengan materi kependidikan, kecuali untuk
program akta bagi calon guru di luar LPTK menggunakan model pendidikan
berurutan (consecutive model), kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang
studi (Trianto & Tutik, 2007: 43).
Salah satu model pendidikan konsekutif di Indonesia tampak pada
pendidikan profesi dokter. Pendidikan kedokteran dasar terdiri dari dua tahap,
yaitu tahap sarjana kedokteran (S Ked) dan tahap profesi dokter (dr) (Biran
Affandi, 2006).
Jika merujuk pada mekanisme sertifikasi di bidang kedokteran di Indonesia,
pendidikan profesi dokter ditempuh setelah yang bersangkutan memiliki
kualifikasi sarjana kedokteran. Pada program pendidikan untuk profesi-profesi
lain dalam satu perguruan tinggi sendiri dapat melakukan sekaligus pendidikan
kesarjanaan dan pendidikan profesi tetapi sifatnya lebih independen.
Artinya pencetakan sarjana dan pendidikan profesi sebagai proses yang
berdiri sendiri. Dirjen Dikti Fasli Jalal (2008) mengatakan bahwa perguruan tinggi
non LPTK akan diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan sertifikasi guru
dan dosen berupa pendidikan profesi guru/dosen.
Pemberian sertifikat pendidik seyogyanya diselenggarakan oleh lembaga
yang khusus membidangi sertifikasi pendidik di bawah naungan Perguruan Tinggi
(PT) yang bersangkutan sehingga penyiapan calon guru dapat dikoordinasikan
antara pihak PT sebagai penghasil kualifikasi sarjana dengan lembaga sertifikasi

17
yang memberikan sertifikat pendidik/guru. PT LPTK maupun non LPTK akan
membentuk LPPG sebagai lembaga khusus yang berwenang memberikan
sertifikat pendidik.
Lembaga independen yang menyelenggarakan sertifikasi guru memerlukan
mekanisme akreditasi seperti digunakan di Amerika Serikat. Mekanisme
akreditasi untuk bidang keguruan diselenggarakan oleh NCATE (National
Council for the Accreditation of Teacher Education ) atau AACTE (American
Association of Colleges of Teacher Education).
Badan ini berwenang menilai dan menentukan ijazah yang dimiliki calon
pendidik, layak atau tidak layak untuk diberi lisensi pendidik. (www.unc.edu,
8/4/2008 ). Dalam nomenklatur Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN PT) dikenal sebagai Organisasi Pelaksana Akreditasi Program Studi
(OPAPS), yang khusus diperuntukkan bagi berbagai bidang profesi.
Penyelenggaraan program pendidikan guru di PT non LPTK dengan
keikutsertaannya membentuk LPPG sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan.
Hal tersebut diatur pada UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 21 ayat (1) yang
menyatakan bahwa perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan
dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program
pendidikan yang diselenggarakannya.
Selanjutnya pada pasal 61 ayat (3) menyatakan bahwa sertifikat kompetensi
diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta
didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Pemberian kewenangan kepada PT non LPTK seharusnya menjadi "lampu
kuning" bagi LPTK untuk menginstropeksi pola penyiapan calon guru profesional
di institusinya. LPTK tidak boleh larut dalam euforia "kemenangan" pasca
disahkannya UUGD No 14/2005 dengan diberikannya kepercayaan kepada LPTK
dalam proyek Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Evaluasi kurikulum dan model

18
pendidikan harus segera direvitalisasi oleh LPTK jika tidak ingin terjerembab
dalam kebingungan akademik.

D. Pengembangan Sikap Profesional Guru


1. Selama Sebelum menjabat sebagai guru
Adalah masa pendidikan calon guru atau guru yang mengikuti pendidikan
guru (preservice training). Dilembaga pendidikan guru di dapatkan segala konsep
keilmuan dan bermacam-macam pengalaman yang berkaitan dengan keilmuan
calon guru yang kelak setelah jadi guru si calon guru siap menjadi guru
profesional.
Dengan adanya ketentuan baru dalam undang-undang guru dan dosen
tentang syarat guru tidak saja hanya melewati jenjang pendidikan minimal S1,
tetapi juga ditandai dengan mendapatkan sertifikasi profesi. Sertifikasi profesi
dapat dimiliki oleh calon pendidik setelah menyelesaikan pendidikan profesi,
yang saat ini sudah dimulai.
Pendidikan profesi memberikan kesempatan kepada calon guru untuk
menggali potensi diri dan pengembangan diri, sehingga sebelum diangkat jadi
guru terlebih dahulu sudah dipersiapkan menjadi tenaga profesional yang handal
sehingga mampu mewujudkan tugasnya dengan profesional kelak setelah diangkat
jadi guru.
2. Selama menjabat menjadi guru
Masa ini adalah masa dimana seseorang sdah menjabat jadi guru (inservice
training). Pada masa ini sikap-sikap profesional keguruan di atas dapat
dikembangkan dan terus ditingkatkan sehingga guru tersebut pantas disebut
sebagai guru yang profesional. Sebagaimana ditegaskan dalam undang-undang
guru dan dosen no 14 Pasal 32 Tahun 2005 tentang pembinaan dan
pengembangan profesi guru. Dimana pengembangan disini meliputi
pengembangan profesi dan karir. Pengembangan profesi meliputi pengembangan
kompetensi baik profesional, paedagogik, kepribadian dan sosial. Sedangkan
pengembangan karir adalah meliputi penugasan, kenaikan pangkat, serta promosi.
Adapun pengembangan pofesi tersebut adalah :

19
1) Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan
materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang
menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi
keilmuannya.
2) Kompetensi Paedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta
didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar,
dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
3) Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang
mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
4) Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/ wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Menurut Hamzah B. Uno (2009) ada beberapa teknik yang diterapkan dalam
rangka pengembangan pembinaan guru, yaitu :
 Kunjungan kelas
Adalah kegiatan pembinaan yang dilakukan kepala sekolah pada saat guru
sedang mengajar dikelas.
 Pertemuan pribadi
Adalah pertemuan, percakapan, dialog, antara kepala sekolah dengan guru
mengenal peningkatan dan pengembangan profesionalitas tugasnya.
 Rapat dewan Guru

20
Adalah mengadakan rapat pertemuan antara guru-guru baik rutin maupun
berkala membahas masalah-masalah pembelajaranserta masalah lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan dilembaga tersebut.
 Kunjungan antar sekolah
Bentuk lain sebagai pengembangan diri guru dapat juga dengan
mengadakan kunjungan atau studi banding ke sekolah-sekolah yang lebih
maju sebagai bahan pertimbangan terhadap kemajuan pendidikan di
lembaga maupun perbandingan terhadap kemajuan mutu guru-guru di
sekolah yang dikunjungi itu.
 Pertemuan dalam kelompok
Pertemuan ini mungkin dalam bentuk pertemuan rutin dan berkala juga
antar guru-guru bidang studi.
 Penerbitan buletin profesional
Dengan adanya buletin profesional guru dapat menuang ide-ide serta
exspresi lewat-lewat buletin

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pre-service education merupakan fase mempersiapkan tenaga-tenaga
kependidikan untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan-
keterampilan,dan sikap-sikap yang dibutuhkan sebelum bertugas/berdinas.
2. Model konkaren yaitu suatu model penyelenggaraan pendidikan guru yang
menyiapkan calon guru yang dilakukan dalam satu napas, satu fase, antara
penguasaan bidang studinya (subjek matter) dengan kompetensi pedagogi
(ilmu kependidikan). Sedangkan Model konsekutif menghendaki sarjana
dulu di bidangnya kemudian mengikuti pendidikan akta kependidikan
sebagai sertifkasi profesi kependidikan.
3. Kurikulum yang diterapkan dalam PPG tergantung dari kualifikasi
mahasiswa, apakah mereka alumni LPTK atau alumni Non LPTK. Hal
tersebut diatur pada pasal 7 ayat (2) PP No 74/2008 yang menyatakan
bahwa bobot muatan belajar PPG disesuaikan dengan latar belakang
pendidikan.

B. Saran
Penulis Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan.Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah
yang telah di jelaskan.

22

You might also like