You are on page 1of 28

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................. 1

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….... 3

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..... 4

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….... 4

1.3 Tujuan……………………............................………………………………….. 4

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 5

2.1 Pilihan radiografi.........................………………………………………........... 5

2.2 Macam-macam radiografi …………………………………………........…… 6

2.2.1 Pilihan radiografi……..................…………................ ………..........…….... 6

2.2.2 Modalitas radiografi……………………………………………........…... 7

2.3 Ciri-ciri radiografi tulang alveolar yang sehat…………………………............ 9

2.3.1 Ciri-ciri radiografi tulang alveolar yang sehat............................................. 9

2.3.2 Fungsi radiografi dalam pemeriksaan jaringan periodontal.................... 10

2.3.3 Perubahan awal periodontitis pada radiografi........................................... 13

2.3.4 Evaluasi kehilangan tulang............................................................................ 13

2.3.5 Keterlibatan furkasi........................................................................................ 13

2.4.Faktor predisposisi …………………………………............................................ 16

2.4.1 Perbandingan mahkota dan akar …………………………....................... .. 17

2.4.2 Aktivitas proses dekstruktif……………………………………................ 17

2.4.3 Hypercementosis…………………….…………………........................... 17

2.4.4 Prognosa ………………………………………..................……........... 18


2.4.5 Keterbatasan Radiografi ……………………………............…......…............... 18

2.4.6 Periodontitis kronis ………………………………………………………................ 18

2.4.7 Aggressive periodontitis………………………………………………........... 19

2.4.8 Lesi Perio-Endo …………………………………………………….............. 20

2.5 Kerusakan osseus akibat penyakit periodontal .......................................................... 21

2.6. Resorpsi akar gigi....................................................................................................... 24

2.7. Lesi periapikal non-inflamasi..................................................................................... 26

BAB III PENUTUP....................................................................................................... 23

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..... 23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………................................. 24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gigi merupakan salah satu bagian dari tubuh manusia yang unik, karena menjadi satu-

satunya bagian tubuh yang mirip tulang dan letaknya berada di dalam rongga mulut serta terlihat

menonjol. Para dokter ahli di bidang gigi telah melakukan berbagai macam analisis secara medis

tentang gigi, mengingat betapa pentingnya peran dari gigi, terutama pada dental panoramic

radiographs. Hubungannya adalah ketika para pakar mencoba melakukan beberapa macam

diagnosa penyakit, ternyata banyak yang identik dengan kondisi dari gigi seseorang pasien.

Artinya bahwa kualitas kesehatan gigi seorang pasien dengan diagnosa beberapa penyakit yang

diderita mempunyai hubungan timbal balik yang selaras. Hal inilah yang mendorong banyak

peneliti medis maupun non medis untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang diagnosa

penyakit dari citra gigi. Sehingga wajar jika dental panoramic radiograph sangat sering diambil

dari pasien untuk keperluan diagnosis oleh para dokter gigi (H. Devlin dkk, 2007).

Penyakit periodontal merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat

mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal. Plak gigi dinyatakan berperan penting dalam

inisiasi periodontitis. Periodontitis umumnya disebabkan oleh plak. Plak adalah lapisan tipis

biofilm yang mengandung bakteri, produk bakteri, dan sisa makanan. Lapisan ini melekat pada

permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan gingivitis

dan periodontitis adalah plak yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan produknya dapat

menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan terjadilah periodontitis.
1.2 Rumusan masalah

1. Apa pilihan radiografi yang digunakan untuk pemeriksaan jaringan periodontal ?

2. Apa yang membedakan ciri-ciri radiologis jaringan periodontal normal dengan


kelainan ?

1.3 Tujuan

1. Proyeksi radiografi untuk pemeriksaan jaringan periodontal adalahi periapikal, bite-


wing dan panoramik.

2. Perbedaan ruang periodontal ligamen yang normal terlihat garis radiolusen tipis yang
berlanjut (tidak terputus putus) dan ketebalan yang sama pada mesial dan distal diantara
akar dan lamina dura kecuali pada orang yang mempunyai penyakit/ kelainan.
BAB II
ISI
2.1 Pilihan radiograf

Proyeksi radiografi yang ada untuk mempelajari jaringan periodontal adalah periapikal,
bite-wing dan panoramik. Radiografi periapikal merupakan film pilihan untuk evaluasi penyakit
periodontal. Teknik paralel diutamakan untuk demonstrasi fitur anatomi penyakit periodontal. Ini
memberikan hasil yang lebih akurat terhadap tinggi tulang crestal. Teknik pembedahan mungkin
menunjukkan kehilangan tulang lebih banyak atau kurang dari pada yang ada saat ini (gambar
1A dan B)

Radiografi bite-wing vertikal dapat digunakan untuk memeriksa tingkat tulang alveolar
yang berkurang bahkan saat kehilangan tulang dan paling baik digunakan sebagai pengobatan
pasca perawatan atau pemeriksaan lanjutan. Radiografi bite-wing horizontal tidak dapat dipakai
untuk memvisualisasikan kehilangan tulang yang parah (gambar 2A dan B) tetapi dapat
menunjukkan karies proksimal dan sekunder.

Radiografi panoramik memiliki sedikit nilai diagnostik dalam identifikasi penyakit


periodontal. Ini berguna sebagai survei umum, tetapi mungkin tidak menunjukkan rincian yang
tepat. Radiografi panoramik gigi (DPR) dengan kualitas optimal dapat memberikan keuntungan
dosis dibandingkan sejumlah besar radiografi intraoral jika terdapat masalah bersamaan yang
ditunjukkan oleh radiografi, mis. gejala gigi molar tiga , beberapa mahkota yang ada / gigi yang
direstorasi atau beberapa gigi yang diobati dengan endodontik pada pasien yang baru. Namun,
mengingat keterbatasan detail pada DPR, radiografi intraoral tambahan mungkin diperlukan
untuk beberapa lokasi yang dituju.

Survei seluruh mulut dengan radiografi periapikal paralel sudah dianggap sebagai
'standar emas' untuk diagnosis periodontal dan perencanaan pengobatan. Tetapi, jika terdapat
radiografi panoramik, radiografi itu mungkin cukup memadai, atau radiografi panoramik dapat
dilengkapi dengan radiografi intraoral yang jumlahnya kurang dari empat per pasien untuk
mencapai 'standar emas'. Telah ditunjukkan bahwa jika tujuh radiografi periapikal ditambah
dengan radiografi panoramik maka dosis radiasi efektif mengalir dari rangkaian periapikal
seluruh mulutl, namun jika jumlahnya kurang dari empat, maka terjadi pengurangan paparan
radiasi dan 'Standar emas' dalam hal informasi dapat diraih.

Dalam penafsiran jaringan periodontal, kualitas gambaran sangat penting sehingga detail
yang sangat baik dibutuhkan. Selain itu, faktor paparan harus dikurangi jika menggunakan teknik
berbasis film untuk menghindari luka bakar dari interdental tulang crestal.

2.2 Paranan radiografi dalam pemeriksaan jaringan periodontal

2.2.1 Pilihan radiograf

Radiografi periapikal merupakan film pilihan untuk evaluasi penyakit periodontal.


Teknik paralel diutamakan untuk demonstrasi fitur anatomi penyakit periodontal. Ini
memberikan hasil yang lebih akurat terhadap tinggi tulang crestal. Teknik pembedahan mungkin
menunjukkan kehilangan tulang lebih banyak atau kurang dari pada yang ada saat ini.

Radiografi periapikal menunjukkan perbedaan tingkat crest


menggunakan teknik yang berbeda (A) paralel (B) membagi dua sudut

Radiografi bite-wing vertikal dapat digunakan untuk memeriksa tingkat tulang alveolar
yang berkurang bahkan saat kehilangan tulang dan paling baik digunakan sebagai pengobatan
pasca perawatan atau pemeriksaan lanjutan. Radiografi bite-wing horizontal tidak dapat dipakai
untuk memvisualisasikan kehilangan tulang yang parah, tetapi dapat menunjukkan karies
proksimal dan sekunder.

Tulang interdental (A) horizontal dan (B) vertikal


Radiografi panoramik memiliki sedikit nilai diagnostik dalam identifikasi penyakit
periodontal. Ini berguna sebagai survei umum, tetapi mungkin tidak menunjukkan rincian yang
tepat. Survei seluruh mulut dengan radiografi periapikal paralel sudah dianggap sebagai 'standar
emas' untuk diagnosis periodontal dan perencanaan pengobatan.

Contoh gambaran panoramik yang digunakan


pada pemeriksaan periodontal

Dalam penafsiran jaringan periodontal, kualitas gambaran sangat penting sehingga detail
yang sangat baik dibutuhkan. Selain itu, faktor paparan harus dikurangi jika menggunakan teknik
berbasis film untuk menghindari luka bakar dari interdental tulang crestal.

2.2.2 Modalitas radiografi umum untuk deteksi lesi periodontal dan periapikal

Modalitas gambaran intra dan ekstraoral tersedia untuk menampilkan struktur


periodontal. Radiografi paranomik ektraoral dapat digunakan sebagai penilaian alternatif.
Meskipun radiografi paronamik memberikan rata-rata area yang lebih luas dan dapat digunakan
dalam menilai lesi periapikal seperti osteitis, floid asseous dysplasia dan lain-lain, tetapi
memiliki nilai diagnostik yang sangat kecil dalam menilai tingkat tulang alveolar. Superimposisi
dan distorsi struktur, tidak jelasnya penanda anotomi dan hilangnya detail merupakan keterbatas
radiografi panoramic yang mengurangi nilainya dalan mengevaluasi defek tulang karena
penyakit periapikal atau periodontal.

Radiografi intra oral dua dimensi (2D) yang paling sering digunakan untuk menentukan
defek tulang adalah radiografi bitewing dan radiografi periapikal, dengan metode paralleling
extension cone.
Bitewing merupakan geometri gambaran yang paling disukai untuk penilaian tingkat
tulang periodontal. kerugian bitewing adalah bahwa apeks gigi tidak terlihat; oleh karena itu,
tidak dapat memperkirakan persentasi hilangnya tulang.

Radiografi periapikal full mouth juga digunakan untuk mendiagnosis defek tulang dan
ditemukan lebih efektif pada segmen posterior di mandibula dari pada di maksila karena tulang
yang padat di mandibula. Kerugian radiografi periapikal full mouth adalah, bahwa radiografi ini
memakan waktu, membutuhkan banyak film dan memiliki toleransi pasien yang rendah. lebih
distorsi geometric dibandingkan dengan radiografi bitewing.

Untuk penilaian penyakit periapikal jangka panjang, radiografi periapikal memainkan


peran penting dalam pertemuan preoperative, pascaoperasi dan follow up. Tanda-tanda radiografi
periodontitis apical meliputi perubahan radiolusen pada pola trabekular periradikular dan
perubahan bentuk dan lebar ligament periodontal (PDL).

Pengenalan teknologi CBCT merupakan peluang untuk penilaian anatomi gigi dan
kraniofasial 3D tanpa keterbatasan yang melekat pada gambaran 2D konvensional. Artinya,
penilaian dapat dilakukan di tiga bidang ruang tanpa distorsi image, superimposisi struktur dan
perbedaan besaran image berdasarkan geometri. CBCT memiliki peran dalam identifikasi system
saluran akar, terutama untuk identifikasi ada atau tidak adanya second mesiobuccal canal (MB2)
pada molar pertama maksila yang tidak terlihat pad radiografi periapikal.

Literature menunjukkan bahwa permintaan untuk CBCT dibenarkan untuk rencana


pembedahan periodontal pasien dengan penyakit periodontal berat seperti periodontitis agresif.
Untuk rencana operasi pembedahan regenerative atau mukogingival dan untuk perencanaan
penempatan implant. . Dosis dari CBCT secara signifikan lebih rendah dari CT konvensional,
tetapi lebih tinggi daripada dosis dari gambaran tradisional yang digunakan di kedokteran gigi.

Dalam sebuah studi oleh Ludlow JB et. Al dosis radiasi efektif yang terkait dengan
modalitas radiografi 2D berdasarkan E2007 dihitung sebagai berikut:

A) 34,9 μSv untuk radiografi seluruh mulut (FMX) dengan foto terstimulasi fosfor (PSP)
atau kecepatan F lm dengan collimation persegi panjang
B) 5,0 μSv untuk empat gambar bitewing posterior dengan lm PSP atau F-speed dengan
collimation persegi panjang;

C) 14,2 μSv untuk panoramik Orthophos XG (Sirona Group, Bensheim, Jerman) dengan
perangkat charge-coupled (CCD),

D) 24.3μSvforpanoramicProMax (Planmeca, Helsinki, Finland) denganCCD.

Perhatikan kebersihan radiasi dengan mengikuti prinsip dasar pemilihan eksposur "As Low As
Reasonably Achievable" (ALARA) untuk diagnostik radiologi sangat penting.

2. 3 Jaringan periodontal dan penyakit periodontal pada radiografi

2.3.1 Ciri-ciri radiografi tulang alveolar yang sehat

Keadaan sehat, lamina dura di sekitar akar gigi tampak seperti garis radioopaque yang
padat. Alveolar crest normal terletak sekitar 1,5 sampai 2 mm apikal ke cementoenamel
junction(CEJ) gigi yang berdekatan. Seiring bertambahnya usia, karena erupsi pasif, ada
beberapa tanda radiografi peningkatan jarak antara CEJ dan alveolar crest. Secara radiografis
tidak mungkin untuk menentukan secara tepat posisi normal alveolar crest untuk usia tertentu.

Di daerah anterior, alveolar crest tampak tajam dan truncing. Di daerah gigi insisivus
bawah, puncaknya tajam pada regio anterior, alveolar crest berbentuk tajam dan runcing. Pada
daerah bawah insisif, crest yang tajam tertutup oleh tulang yang padat yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari lamina dura. Jika pada daerah ini tidak terdapat korteks berarti
merupakan indikasi adanya suatu penyakit. Pada regio posterior, alveolar crest berbentuk pipih
dan halus dan biasanya dilapisi/ ditutupi oleh lapisan tipis tulang yang padat, yang terlihat
sebagai garis putih tipis. Lapisan tipis tulang ini biasanya tidak ada, namun, pada kasus yang
normal, biasanya hanya terdapat pada anak anak. Daerah bicuspids dan molar yang tidak terdapat
crest juga dapat dianggap normal selama tulang memiliki tingkat kepadatan yang normal.
Alveolar crest yang pipih akan bertemu dengan lamina dura pada leher gigi, membentuk sudut
yang benar. Pembulatan pada sudut ini selalu menandakan adanya proses patologis. ( Fig. 3)
Ruang periodontal ligamen yang normal terlihat sebagai garis radiolusen tipis yang
berlanjut (tidak terputus putus) dan ketebalan yang sama pada mesial dan distal diantara akar dan
lamina dura. Hanya terdapat sedikit perbedaan ketebalan membran periodontal pada orang orang
yang berbeda, akan tetapi pada setiap individu, ketebalannya sama kecuali pada orang yang
mempunyai penyakit/ kelainan.

2.3.2 Fungsi radiografi dalam pemeriksaan jaringan periodontal

Walaupun adanya keterbatasannya, pemeriksaan periodontal tidak lengkap tanpa adanya


pemeriksaan radiologi yang akurat. Pemeriksaan radiologi ini dapat menunjukkan perubahan
tulang yang berhubungan dengan penyakit periodontal (Flow Chart 1)

Gambar 3: Junction Gambar 4: Crestal Gambar 5: Pelebaran


Gambar 6: Saluran
alveolar crest dan tidak beraturan ligamen periodontal
pembuluh darah
lamina dura (panah), serta lamina di dekat crest tulang
yang melebar di
dura yang tidak jelas interdental
interseptal tulang
dan terputus-putus (triangulasi)
alveolar
pada bagian mesial
dan distal dari
alveolar crest
interdental.
Gambar Gambar 8: Kehilangan Gambar 9: Gambar 10:
7:Evaluasi jumlah tulang secara umum Kehilangan tulang Kehilangan tulang
kehilangan tulang arah horizontal arah vertikal

Gambar 14: Kalkulus muncul seperti


garis melingkar

Gambar 15: Restorasi Gambar 16: Gambar 17: Gambar 18:


yang rusak Rasio mahkota- Sklerotik margin Pelebaran ruang
menyebabkan akar pada crest ligamen
triangulasi menunjukkan periodontal di
proses destruktif sekitar gigi yang
statis menunjukkan
mobilitas
Gambar 19: Lesi perio-
endo

Crest tulang interdental menjadi kasar dan tidak beraturan, serta lamina dura yang tidak jelas dan
terputus putus pada mesial atau distal dari alveolar crest interdental (Fig. 4).
Triangulasi adalah melebarnya ruang membran periodontal sepanjang mesial atau distal dari
crest interdental.(Fig. 5)
Hal ini menggambarkan pembuluh darah pada tulang alveolar melebar sehingga memungkinkan
cairan inflamasi dan sel bergerak memasuki tulang.(Fig.6)

Jumlah tulang yang hilang yang berhubungan dengan penyakit peridontal dapat secara tidak
langsung diestimasi dari perbedaan antara tulang normal dan tinggi tulang yang tersisa (Fig. 7)
Kehilangan tulang dapat ditentukan dari segi distribusi, pola dan keparahan. (Fig.8)
Jika hilang pada bidang pada sudut dari CEJ sampai gigi yang berdekatan, disebut juga
kehilangan tulang vertikal atau angular (Fig. 10).
Radiografi bisa sangat berguna dalam melokalisasi keterlibatan furkasi; tetapi, keterlibatan
furkasi hanya dapat terlihat jika resorpsi tulang meluas secara apikal melewati daerah furkasi.
Furkasi molar rahang bawah lebih berbentuk tajam (Fig. 11)

Daerah furkasi molah rahang atas dimana akar palatal superimposed diatas daerah furkasi. (Fig.
12).

Kalkulus terlihat radiopak pada dental radiogafi dan biasanya terlihat meruncing atau penonjolan
radiopak meluas dari permukaan akar proksimal (Fig. 13).

Kalkulus juga dapat terihat sebagai radiopak melingkari daerah servikal gigi (Fig. 14)

Restorasi yang kurang baik dapat berperan sebagai faktor penyakit periodontal. Radografi
berguna dalam mendeteksi batas restorasi yang rusak (Fig. 15).

Jika permukaan halus tulang alveolar (dengan kondensasi tulang alveolar yang tersisa) terlihat
tanpa adanya kehilangan tulang, dinyatakan bahwa adanya proses destruktif statis atau perlahan
(Fig. 17).
2.3.3 Perubahan awal periodontitis pada radiografi

Pemeriksaan radiografi kurang dapat terpenuhi untuk mendeteksi tanda awal penyakit
periodontal. Urutan perubahan awal radiografi pada periodontitis menurut Glickman yaitu crest
yang tidak beraturan, triangulasi, dan perubahan tulang interseptal. Crest tulang interdental
menjadi kasar dan tidak beraturan, serta lamina dura yang tidak jelas dan terputus putus pada
mesial atau distal dari alveolar crest interdental (Fig. 4). Triangulasi adalah melebarnya ruang
membran periodontal sepanjang mesial atau distal dari crest interdental. Sisi segitiga dibentuk
oleh lamina dura dan akar serta dasarnya menghadap ke mahkota (Fig. 5). Salah satu tanda
radiografi awal dari periodontitis adalah bentuk radiolusen yang menyerupai jari yanh menonjol,
meluas dari crest sampai ke tulang alveolar interdental (Fig. 6).

Penonjolan ini merupakan hasil dari perluasan inflamasi dari jaringan ikat gingiva. Hal
ini menggambarkan pembuluh darah pada tulang alveolar melebar sehingga memungkinkan
cairan inflamasi dan sel bergerak memasuki tulang.

2.3.4 Evaluasi kehilangan tulang

Radiografi mengindikasi jumlah tulang yang tersisa, jumlah tulang yang hilang yang
berhubungan dengan penyakit peridontal dapat secara tidak langsung diestimasi dari perbedaan
antara tulang normal dan tinggi tulang yang tersisa (Fig. 7). Kehilangan tulang dapat ditentukan
dari segi distribusi, pola dan keparahan. Jika hilang pada daerah yang terisolasi, yang melibatkan
kurang dari 30% daerah, disebut juga dengan kehilangan tulang lokal (Fig. 8). Jika hilang pada
bidang pada sudut dari CEJ sampai gigi yang berdekatan, disebut juga kehilangan tulang vertikal
atau angular (Fig. 10). Kehilangan tulang yang dilihat dari dental radiografi dapat diartikan
sebagai kehilangan tulang yang sedikit (1 sampai 2 mm), kehilangan tulang sedang (3 sampai 4
mm), dan kehilangan tulang parah (5mm atau lebih).

2.3.5 Keterlibatan furkasi

Perluasan poket periodontal antara akar (pada gigi yang mempunyai akar lebih dari satu)
disebut juga keterlibatan furkasi. Radiografi bisa sangat berguna dalam melokalisasi keterlibatan
furkasi; tetapi, keterlibatan furkasi hanya dapat terlihat jika resorpsi tulang meluas secara apikal
melewati daerah furkasi. Furkasi molar rahang bawah lebih berbentuk tajam (Fig. 11) daripada
daerah furkasi molah rahang atas dimana akar palatal superimposed diatas daerah furkasi. (Fig.
12). Perlebaran ruang ligamen periodontal pada apeks crest tulang interradicular pada daerah
furkasi merupakan suatu bukti yang kuat bahwa penyakit periodontal melibatkan daerah furkasi,
gambaran lesi radiolusen menjadi menyolok.

Gambar 1A dan B: Radiografi periapikal Gambar 2A dan B : Tulang interdental (A)


menunjukkan perbedaan tingkat crest horizontal dan (B) vertikal
menggunakan teknik yang berbeda (A) paralel
(B) membagi dua sudut

Gambar 3: Junction Gambar 4: Crestal Gambar 5: Pelebaran Gambar 6: Saluran


alveolar crest dan tidak beraturan ligamen periodontal di pembuluh darah
lamina dura (panah) dekat crest tulang yang melebar di
interdental (triangulasi) interseptal tulang
alveolar
Gambar 7:Evaluasi Gambar 8: Kehilangan tulang Gambar 9: Gambar 10:
jumlah kehilangan secara umum Kehilangan Kehilangan
tulang tulang arah tulang arah
horizontal vertikal

Gambar 11: Furkasi terlihat Gambar 12: Furkasi pada Gambar 13: Gambar 14:
radiolusen pada molar molar maksila superimposed Kalkulus pada Kalkulus muncul
bawah oleh akar palatal permukaan seperti garis
proksimal melingkar

Gambar 15: Restorasi yang Gambar 16: Rasio Gambar 17: Gambar 18:
rusak menyebabkan mahkota-akar Sklerotik margin Pelebaran ruang
triangulasi pada crest ligamen periodontal
menunjukkan di sekitar gigi yang
proses destruktif menunjukkan
statis mobilitas
Gambar 19: Lesi perio-endo

2.4 Faktor Predisposisi

Jumlah faktor predisposisi atau iritans lokal berkontrubusi pada penyakit periodontal.
Dental radiografi memiliki peran penting dalam mendeteksi iritans lokal, seperti kalkulus dan
restorasi yang defek/ rusak. Kalkulus terlihat radiopak pada dental radiogafi dan biasanya terlihat
meruncing atau penonjolan radiopak meluas dari permukaan akar proksimal (Fig. 13). Kalkulus
juga dapat terihat sebagai radiopak melingkari daerah servikal gigi (Fig. 14), sebuah nodulus
atau radiopak yang halus pada permukaan akar. Diagnosa ada atau tidaknya deposit kalkulus
tidak boleh berdasarkan interpretasi dental radiografi, karena deposit dalam jumlah kecil tidak
terlihat dalam radiografi. Karies proksimal dan karies permukaan akar dapat dilihat dalam
hubungannya dengan kehilangan tulang periodontal. Restorasi yang kurang baik dapat berperan
sebagai faktor penyakit periodontal. Radografi berguna dalam mendeteksi batas restorasi yang
rusak (Fig. 15). Tetapi, jika terdapat angulasi vertikal atau horizontal yang berlebih dari xray
beam, ada resiko untuk diabaikan, tapi tidak melebih lebihkan ukuran dari batas yang rusak.
2.4.1Perbandingan mahkota dan akar

Stabilitas gigi dipengaruhi oleh jumlah besarnya gaya yang ditempatkan pada
periodontium. Tipe gaya ini bergantung pada besarnya gigi dialam tulang (akar klinis) dalam
kaitannya dengan besarnya gigi yang tidak berada di dalam tulang (mahkota klinis). Peningkatan
panjang mahkota klinis menghasilkan gaya yang tidak menguntungkan pada periodontium.

2.4.2 Aktivitas proses destruktif

Proses destruktif penyakit periodontal dapat dievaluasi dengan membandingkan


radiografi standar yang diambil secara berkala. Jika crest tulang interdental septal kasar dan tidak
beraturan, serta tulang alveolar dibawah crest tidak memiliki tanda keopakan tulang,
kemungkinan besar proses resorpsinya aktif. Adanya saluran nutrisi menunjukkan bahwa
resorpsi tulang aktif dan cepat. Jika permukaan halus tulang alveolar (dengan kondensasi tulang
alveolar yang tersisa) terlihat tanpa adanya kehilangan tulang, dinyatakan bahwa adanya proses
destruktif statis atau perlahan (Fig. 17). Resorpsi akar eksternal kadang terlihat bersamaan
dengan penyakit periodontal. Identifikasi penting karena implikasinya terhadap prognosis gigi.

2.4.3 Hypercementosis

Hubungan langsung sebagai penyebab penyakit periodontal belum terbuktikan, tetapi


hypercementosis dapat dilihat di beberapa kasus dengan gigi yang kehilangan tulang atau terjadi
resorpsi tulang. Hypercementosis dapat berperan sebagai respon inflamasi atau untuk
meningkatkan beban oklusal (loading occlusal) pada gigi yang kehilangan perlekatannya.
Hypercementosis muncul sebagai pembesaran membulat pada akar, paling sering terlihat
hubungannya dengan bagian apikal gigi.
2.4.4 Keterbatasan Radiografi

Radiografi dapat memberikan penyajian yang tidak lengkap dari keadaan jaringan
periodontal. Beberapa kekurangan penting dari radiografi adalah:

 Kondisi gingiva tidak dapat di prediksi dari alveolar crest pada gambaran radiografi
 Radiografi memberikan gambaran dua dimensi dari keadaan tiga dimensi. Kadang gagal
memberikan gambaran destruksi pada tulang terutama pada tulang diantara permukaan
bukal atau lingual gigi.
 Radiografi biasanya menunjukan keparahan destruksi tulang yang berbeda dengan
keadaan aslinya yang lebih parah
 Pengukuran tinggi tulang dari CEJ tidak dapat memberikan hasil
yang akurat jika terdapat kondisi over erupsi atau atrisi parah
dengan pasif erupsi
 Radiografi tidak memberikan gambaran dari hubungan jaringan
lunak dan jaringan keras dan tidak memberikan informasi tentang
kedalaman poket. Tetapi jika ada gambaran radioopaque, seperti
gutta-percha di masukkan kedalam poket, permukaan dasar poket
biasanya dapat di lihat pada gambaran radiografi
 Pelebaran ruangan PL yang terlihat pada radiografi tidak selalu
menandakan adanya kegoyangan pada gigi (fig. 18)
 Radiografi tidak secara khusus membedakan antara kasus yang
berhasil di rawat dan kasus yang tidak dirawat.

2.4.5 Periodontitis kronis

Periodontitis kronis lokal maupun general ditandai dengan terbentuknya poket atau/dan
resesi gingiva, keduanya dapat ditemukan tanpa pemeriksaan radiografi. Periodontitis kronis
dapat dibagi menjadi lokal jika dibawah 30% memperlihatkan adanya kehilangan perlekatan dan
general jika diatas 30% memperlihatkan adanya kehilangan perlekatan. Perbedaan ini dibuat
berdasarkan dari hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografi tidak dibutuhkan,
walaupun pemeriksaan radiografi dapat juga digunakan. Pada beberapa situasi klinis, restorasi
dapat menghalangi akses untuk melakukan periodontal probe kedalam poket dan/atau dapat
mengaburkan CEJ sehingga penilaian klinis dan penilaian keparahan dari periodontitis kronis
dapat terganggu. Pada situasi ini gambaran kehilangan tulang alveolar pada gambaran radiografi
dapat membantu. Sama juga pada kasus kalkulus subgingival atau malformasi dari permukaan
akar juga dapat menggangu akses dari periodontal probe. Pada kondisi ini pula gambaran
kehilangan tulang alveolar pada gambaran radiografi juga dapat membantu untuk dapat lebih
memperhatikan agar melakukan pemeriksaan klinis dengan probe secara hati-hati pada gigi
dengan bukti kehilangan tulang.

2.4.6 Aggressive periodontitis

Aggressive periodontitis mengacu pada penyakit periodontal yang bersifat agresif dan
cepat yang biasanya ada pada pasien dibawah 30 tahun. Penyebabnya masih belum diketahui;
tetapi dapat berhubungan dengan spesifik bakteri patogen seperti Actinobacillus
actinomycetemcomitans, defek fungsional pada sel PMN leukosit, respon imun berlebih dan
faktor herediter. Aggresive periodontitis di klasifikasikan menjadi lokal dan general.

Lokal aggressive periodontitis berhubungan dengan kehilangan perlekatan pada gigi


insisif dan molar pertama. Dalam keadaan ini, jumlah tulang yang hilang berhubungan dengan
waktu erupsi gigi, gigi yang erupsi pertama (molar pertama dan insisif) terjadi paling banyak
kehilangan tulang. Penyakit ini biasanya terjadi pada saat masa pubertas dan kehilangan tulang
berjalan sangat cepat. Hal yang menarik adalah biasanya dapat di temukan poket tulang yang
dalam tetapi sedikit tanda dari inflamasi jaringan lunak atau akumulasi plak. Pada pasien
biasanya akan terjadi kegoyangan pada gigi insisif dan kehilangan dini dari gigi molar pertama.
Gambaran radiografi dari kehilangan tulang ada lokal Aggressive periodontitis terdapat
kehilangan tulang dengan arah vertikal yang dalam. Gigi pada maksila lebih sering terjadi dan
sering terjadi left-right symmetry.

General Aggressive periodontitis dapat melibatkan beberapa gigi, dari tiga gigi sampai
seluruh gigi dan tidak hanya pada gigi insisif dan molar pertama. Kehilangan tulang yang cepat
dapat terjadi dengan arah vertikal dan juga horizontal. Patisserie
2.4.7 Lesi Perio-Endo

Hal ini berhubungan dengan gigi (biasanya molar) yang memiliki tanda klinis dan tanda
radiografi penyakit periodontal dan penyakit pulpa secara bersamaan (fig. 19). Ini dapat terjadi
akibat dari infeksi pada saat proses pengeluaran pulpa yang nekrosis melalui ligamen
periodontal, toksin dari pulpa yang menyebar ke ruang PL melalui lateral atau kanal tambahan,
terutama pada regio furkasi dan foramen apikal gigi.

Gambar 19: Lesi perio-endo

2.5 Kerusakan osseus akibat penyakit periodontal

Tulang alveolar yang normal memiliki ciri khas radiografi. Ini menunjukkan tulang
kortikal tipis dan kabur menutupi alveolar crest. Tinggi crest terletak sekitar 0,5 sampai 2,0 mm
di bawah cementoenamel junction (CEJs) dan berlanjut dengan lamina dura gigi yang berdekatan
(Gambar 1a dan 1b).

Gambar 1a: radiografi Gambar 1b: radiografi


menggunakan bitewing pada gigi menggunakan bitewing pada gigi
premolar dan molar region kanan premolar dan molar region kanan
menunjukan alveolar crest menunjukan alveolar crest
Kerusakan osseus akibat penyakit periodontal dikelompokkan secara klinis menjadi
kerusakan horizontal dan sudut (vertikal). Pada kehilangan tulang horizontal, tinggi tulang
alveolar simetris dan sejajar dengan garis imajiner yang menyatu dengan CEJ gigi yang
berdekatan. (Gambar 2a, b, c dan d).

Gambar 2c: Gambar 2d:


Gambar 2b: menunjukan menunjukan
radiografi periapikal kehilangan tulang sedang hingga
Gambar 2a: bitewing
anterior mandibula horizontal sedang dan berat kehilangan
menunjukan
kehilangab tulang radiografi periapikal tulang horizontal
horizontal ringan anterior maksila

Pada kerusakan osseus vertikal atau angular, kehilangan tulangnya tidak simetris; alveolar crest
tidak sejajar dengan penghubung CEJ gigi yang berdekatan (Gambar 3a). kerusakan ini
berkembang saat kehilangan tulang bergerak ke akar gigi, mengakibatkan pendalaman dari
kantong periodontal (Gambar 3b).

Gambar 3b: radiografi periapikal


anterior premolar, menunjukan
Gambar 3a: radiografi periapikal
contoh kerusakan tulang vertical pada
anterior premolar pada maksila
mesial gigi premolar maksila dan
kanan dan radiografi periapikal
distal gigi insisivus sentral maksila
anterior maksila
Klasifikasi kerusakan tulang yang berbeda telah diusulkan. Goldman & Cohen (1958)
menggambarkan morfologi berbagai kerusakan tulang dan mengklasifikasikan sesuai dengan
jumlah dinding osseus yang ada. Glickman (1964) menyajikan deskripsi spesifik tentang
deformitas tulang yang dihasilkan oleh penyakit periodontal. Prichard (1967) memperluas
klasifikasi ini dengan memasukkan keterlibatan furkasi dan menunjukkan lesi resorptif juga
dipersulit oleh kelainan anatomis dari prosesus alveolaris.

Aberasi/kelainan anatomi tambahan prosesus alveolar merupakan area terisolir di mana

akar menggunduli tulang menjadi tingkat yang bervariasi (dehiscence dan fenestration).

Berdasarkan klasifikasi yang diusulkan, morfologi defek tulang dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Lubang interdental/dua defek dinding tulang lepekan yang membentuk lengkungan di

tulang interdental yang terbatas pada dinding fasial dan lingual.

2. Defek tiga dinding tulang memiliki dinding tulang pada tiga sisi dan akar gigi

membentuk dinding keempat.

3. Defek empat dinding merupakan defek yang sirkumferensial yang seluruhnya

mengelilingi akar gigi.

4. Defek hemiseptum/ defek satu dinding adalah di mana satu dinding tulang dari tulang

interseptum tersisa setelah bagian mesial dan distal tulang interseptum rusak.

5. Keterlibatan furkasi: perluasan hilangnya tulang antara akar dari gigi dengan banyak

akar, menghilangkan tulang yang menutupi akar. Hal ini lebih lanjut dikategorikan

sebagai:

Tahap 1. Hilangnya tulang yang baru dimulai, perubahan radiografi biasanya tidak

terlihat karena tulang yang hilang minimal


Tahap 2. Adalah kerusakan tulang di salah satu atau beberapa aspek furkasi, tetapi

bagian tulang alveolar dan periodontium masih intak untuk memungkinkan penetrasi sebagain

probe.

Tahap 3. Tulang inter radikular sepenuhnya tidak memungkinkan probe untuk penetrasi

seluruhnya. Radiografi tradisional mencerminkan defek ini sebagai radiolusen yang kecil antara

akar.

Tahap 4. Sama dengan tahap 3 tetapi jaringan gingival tersembunyi dan terdeteksi secara

klinis dan radiografi.

Destruksi osseous sebagai hasil dari penyakit periodontal dapat diklasifikasikan secara
luas menjadi bagian inflamasi dan bagian non-inflamasi. Lesi inflamasi pada periapikal dapat
menyebabkan perubahan pada osseous disekitar apeks gigi sebagai hasil dari nekrosis pulpa atau
karena penyakit periodontal yang parah menyebabkan destruksi dari jaringan periodontal. Lesi
periapikal menyebabkan defect pada osseous yang terlihat pada radiografi sebagai gambaran
radiolusen, opasitas atau kombinasi dari keduanya yang ada di sekitar akar gigi. Ini sering
menjadi penemuan tidak sengaja saat pemeriksaan rutin dari gambaran dental, atau dapat terlihat
sebagai manifestasi dari penyakit lain pada daerah odontogenik atau non- odontogenik, termasuk
kista dan neoplasma. Gambaran radiolusen atau densitas rendah di kategorikan sebagai
periapikal osteitis langka, termasuk abses periapikal, granuloma, dan kista/tumor, sedangkan
gambaran radioopak diklasifikasikan menjadi sclerosing periapikal osteitis dan osteosklerosis
idiopatik..

2.6. Resorpsi akar gigi

Resorpsi dari akar gigi permanen adalah proses patologi yang berasal dari luar atau dalam
tergantung dari permukaan gigi yang teresorpsi. Resorpsi eksternal pada akar terjadi pada saat odontoklas
meresorpsi bagian permukaan external akar termasuk sementum, dentin dan kadang pulpa, selain itu
dapat juga terjadi resorpsi internal yang penyebabnya sebagian besar akibat dari trauma.
Lesi awal dari resorpsi internal kadang asimtomatik, seperti bentuk oval, terlokalisir, pembesaran
radiolusen diantara kamar pulpa pada saluran akar yang terlihat pada gambaran radiografi periapikal
(figure 14a) dan gambaran axial dari gigi yang sama (figure 14b). Pada resorpsi internal, batas dari
saluran akar biasanya terdistorsi dan tampak defect resorptif radiolusen pada salauran akar yang
berdekatan. Inflamasi eksternal resorpsi akar selalu disertai adanya resorpsi tulang yang terlihat dari
hilangnya lamina dura di sekitar apeks pada akar (figure 15 dan 16). Resorpsi akar eksternal juga tampak
pada aspek lingual dari akar karena adanya gigi sekitar yang tidak tumbuh. Saat defect ada di eksternal,
batasan saluran akar tampak normal dan kadang terlihat seperti “running through” radiolusen defect.

Diagnosis awal dari resorpsi akar internal dan eksternal sulit dilihat menggunakan radiogarfi
konvensional saja. CBCT sudah terbukti mampu untuk mengevaluasi keparahan dan sifat dari lesi
resorpsi.

Figure 14a: gambaran radiografi gigi insisif lateral kiri rahang atas
memperlihatkan resorpsi akar internal.

Figure 14b: gambaran axial gigi insisif lateral kiri rahang


atas memperlihatkan resorpsi akar internal

Figure 15: periapikal radiografi memperlihatkan resorpsi akar eksternal


pada daerah apikal dari gigi kaninus kanan rahang atas
Figure 16: gambaran periapikal gigi insisif lateral kanan
rahang atas memperlihatkan resorpsi akar eksternal pada
bagian apeks.

2.7. Lesi periapikal non-inflamasi


Lesi periapikal non-inflamasi adalah kelompok dari non-neoplastik lesi yang disebut “benign
fibro osseous lesions.” Pada keadaan ini tulang normal digantikkan dengan jaringan ikat fibrous yang
mengandung sementum atau tulang yang abnormal. Osseous displasia (OD) atau cemento-osseous
displasia (COD) adalah contoh dari penyakit fibro-osseous yang sering timbul pada rahang. Lesi ini
terbatas pada area dentulous atau bagian edentulous pada rahang.

Secara radiografi, lesi ini memperlihatkan osteolitik pada tahap intermediate atau lanjut. Tahap
osteolitik terlihat dengan gambaran radiolusen jelas pada apeks gigi yang bersangkutan. Ini sukar di
bedakan dengan penyakit pulpa, tetapi gigi yang terlibat tetap vital dan biasanya asimtomatik (figure 12a).
Lesi tahap intermediate tampak setengah gambaran radiolusen dan setengah radioopak (figure 12b). Lesi
tahap lanjut tampak sebagai gambaran radioopak (figure 12c).

Figure 12a: radiografi periapikal pada gigi anterior rahang bawah


dengan banyak radiolusen pada bagian apeks menunjukan adanya
tahap awal osteolitik pada periapikal COD
Figure 12b: radiografi periapikal pada gigi anterior rahang bawah
dengan tahap intermediate COD

Figure 12c: Potongan gambaran panoramik dengan beberapa daerah


radioopak dikelilingi oleh gambaran radiolusen menujukkan tahap
akhir dari COD
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Radiografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosa penyakit periodontal,


menentukan prognosis dan mengevaluasi hasil perawatan.Radiografi hanya merupakan
pemeriksaan tambahan dan bukan pemeriksaan pengganti. Radiografi yang paling umum
digunakan dalam praktek kedokteran gigi umum adalah bitewing dan periapikal.

Pencatatan rekaman perawatan sebaiknya menunjukkan: waktu radiografi diambil; tipe dari
radiografi yang diambil; alasan mengambil radiografi; tambahan informasi diagnostik dari
pemeriksaan radiografi; dan tes diagnostik lebih lanjut mungkin perlu untuk follow up apapun
yang berhubungan dengan radiografi.

DAFTAR PUSTAKA

Geetha Vijay, Vijay Raghavan. 2013. Radiology in Periodontics.[ Internet ].


[Diunduh 2018 mei 31]; 10.5005/jp-journals-10011-1334. Tersedia pada:
http://www.jaypeejournals.com/eJournals/ShowText.aspx?ID=5082&Type=FREE&TYP=TO
P&IN=&IID=392&isPDF=YES.
RADIOGRAFI PADA PERIODONTITIS

Disusun oleh :

KELAS C

Dyah Ayu K 2012-11-058 Edwar Putra 2015-11-040


Irana Amalia 2012-11-078 Jung Kie 2015-11-080
Eva Apriyani 2014-11-062 Kemas Prabu 2015-11-083
Amin Imron 2015-11-008 Niska Shofwati 2015-11-121
Angelyla M V 2015-11-009 Raqhda Zhafira 2015-11-130
Bimo Aryodhito 2015-11-025

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
JAKARTA

4 JUNI 2018

You might also like