You are on page 1of 35

Laporan Kasus

Juli 2018

Katarak Senilis Imatur OD +


Katarak Senilis Matur OS

Oleh :

Hj. Rahmi Mauliza Ayu

G1A216072

Pembimbing :

dr. Vonna Riasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN MATA RSUD H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN 2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Katarak Senilis Imatur OD + Katarak Senilis Matur OS

DISUSUN OLEH

Hj. Rahmi Mauliza Ayu G1A216072

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior


SMF/ Bagian Mata RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini diterima

Juli 2018

PEMBIMBING

dr. Vonna Riasari, Sp.M

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini yang berjudul “Katarak Senilis Imatur OD + Katarak Senilis
Matur OS”. Tulisan ini dimaksudkan sebagai syarat untuk menyelesaikan stase di
bagian Mata Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Terwujudnya makalah ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari dr. Vonna Riasari, Sp.M yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis, sehingga sebagai ungkapan hormat dan penghargaan
penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan
kedokteran dan kesehatan.

Jambi, Juli 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 8
3.1 Lensa.....................................…….….………......................................... 8
3.1.1 Anatomi lensa..............................…..……................................... 8
3.1.2 Fisiologi lensa..............................…..……................................... 10
3.1.3 Metabolisme lensa.......................…..……................................... 12
3.2 Katarak................................…….….………........................................... 13
3.2.1 Definisi.........................................…..……................................... 13
3.2.2 Epidemiologi................................…..……................................... 14
3.2.3 Etiologi.........................................…..……................................... 14
3.2.4 Faktor risiko.................................…..……................................... 14
3.2.5 Klasifikasi.....................................…..……................................... 16
3.3 Katarak senilis.....................…….….………........................................... 19
3.3.1 Definisi.........................................…..……................................... 19
3.3.2 Epidemiologi................................…..……................................... 19
3.3.3 Klasifikasi.....................................…..……................................... 20
3.3.4 Etiologi.........................................…..……................................... 20
3.3.5 Patofisiologi..................................…..……................................... 21
3.3.6 Diagnosis......................................…..……................................... 21
3.3.7 Penyulit.........................................…..……................................... 26
3.3.8 Penatalaksanaan............................…..……................................... 27
3.3.9 Komplikasi....................................…..……................................... 39
3.3.10 Prognosis.......................................…..……................................... 41

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 36


DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 38

4
BAB I
PENDAHULUAN

Ketajaman penglihatan dipengaruhi oleh refraksi, kejernihan media


refrakta dan saraf. Bila terdapat kelainan atau gangguan pada salah satu dari
komponen tersebut, akan dapat mengakibatkan penurunan tajam penglihatan,
salah satunya adalah katarak. Katarak merupakan kelainan mata yang terjadi
akibat adanya perubahan lensa yang jernih dan tembus cahaya, sehingga keruh.
Akibatnya mengalami gangguan penglihatan karena obyek menjadi kabur.
Gangguan penglihatan yang terjadi tidak secara spontan. Melainakan secara
perlahan dan dapat menimbulkan kebutaan. Meski tidak menular, namun katarak
dapat terjadi dikedua mata secara bersama. Katarak dapat terjadi akibat proses
penuaan, trauma fisik, radiasi, pengaruh zat kimia, penyakit intraokuler, penyakit
sistemik ataupun kongenital.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), katarak
merupakan kelainan mata yang menyebabkan kebutaan dan gangguan penglihatan
yang paling sering ditemukan. Di Indonesia, katarak merupakan penyebab utama
kebutaan. Prevalensi buta katarak 0,78% dari Prevalensi kebutaan 1,5%. Katarak
senilis masih menjadi penyebab kebutaan utama diseluruh dunia. Seperti
tercantum dalam Vision 2020 tahun 2006, 47% penyebab kebutaan di dunia
adalah katarak, dimana angka rata-rata operasi katarak di Indonesia adalah 468
per juta penduduk per tahun. Dengan bertambahnya usia harapan hidup dan
populasi usia lanjut, diperkirakan angka kejadian kasus katarak akan terus
meningkat.
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus pasien Katarak Senilis Imatur
OD + Katarak Senilis Matur OS yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUD
H.Abdul Manaf Kota Jambi.

5
BAB II
STATUS PASIEN

Anamnesis
Identifikasi Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Pattimura RT.06 Kel. Kenali
Besar
Keluhan utama Mata kanan dan kiri kabur sejak kurang lebih ± 2 tahun
yang lalu.
Anamnesa khusus Pasien datang ke Poliklinik Mata Rumah Sakit
Abdul Manap Kota Jambi dengan keluhan mata kanan
dan kiri kabur sejak kurang lebih ± 2 tahun yang lalu.
Pasien mengatakan mata kanan dan kiri sudah mulai
agak kabur. Perlahan-lahan semakin lama penglihatan
dirasakan semakin kabur. Penglihatan kabur dirasakan
terus menerus sepanjang hari.
Pasien mengeluh silau jika melihat cahaya pada
mata kanan, mata merah (-), nyeri (-), nyeri kepala (-),
mata berair (-), gatal (-), keluar kotoran air mata (-),
melihat ganda (-), melihat pelangi disekitar sumber
cahaya (-).
±2 bulan SMRS pasien mengatakan keluhannya
semakin memberat dengan penglihatan yang semakin
berkurang terasa berkabut dan seperti melihat asap,
sehingga pasien merasa semakin terganggu dan membuat

6
pasien datang berobat ke rumah sakit. Pandangan mata
ganda tidak ada.
Pasien mulai berobat untuk keluhannya tersebut
sekitar ±1 tahun yang lalu, pada awalnya pasien
mengatakan berobat jalan dan diberi kacamata dari
rumah sakit, kemudian pasien datang untuk kontrol
kembali dan disarankan untuk operasi.
Riwayat penyakit Pasien pernah mengalami keluhan serupa
dahulu sebelumnya. Riwayat memakai kacamata (+), Riwayat
operasi mata sebelum ini (-). Riwayat penyakit gula
darah (-), Riwayat darah tinggi (+), Riwayat penyakit
jantung (-), riwayat trauma (-), riwayat kencing nanah
(-). Riwayat alergi makanan, obat-obatan ataupun debu
disangkal.
Riwayat keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti
pasien.
Riwayat Kebiasaan Pasien mengatakan jarang menggunakan kacamata
Pasien
Keadaan sosial Cukup
ekonomi

Status Oftalmologi

Muscle Balance
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

7
Pergerakan bola mata

Duksi : baik
Duksi : baik
Versi : baik
Versi : baik

Visual Field
Lapang pandang penderita luasnya Lapang pandang penderita luasnya
sama dengan pemeriksa sama dengan pemeriksa

Pemeriksaan Eksternal
OD OS

Lensa Keruh Sebagian Lensa Keruh Merata


Palpebra superior
Edema (-), hiperemis (-), Ptosis (-), Edema (-), hiperemis (-), ptosis (-),
Palpebra Inferior
Benjolan (-), hiperemis (-) Benjolan (-), hiperemis (-)
Ap. lacrimalis
Pembengkakan kelj. dan sakus Pembengkakan kelj. dan sakus
lakrimal (-), hiperemis punktum lakrimal (-), hiperemis punktum
lakrimal sup et inf (-), pus (-) lakrimal sup et inf (-), pus (-)

Conjungtiva tarsus superior


Papil (-), folikel (-),litiasis (-) Papil (-), folikel (-),litiasis (-)
Conjungtiva tarsus inferior
Papil (-), folikel (-), sikatriks (-) Papil (-), folikel (-), sikatriks (-)
Conjungtiva bulbi
Injeksi siliar (-), injeksi konjungtiva Injeksi siliar (-), injeksi konjungtiva
(-), papil (-),folikel (-), nodul (-), (+), papil (-), folikel (-), nodul (-),
jaringan fibrovaskuler (-), benang jaringan fibrovaskuler (-),
jahitan (-), neovaskularisasi pada konjungtiva bed

8
graft (+), benang jahitan (+)
Kornea
Keruh (-), edema (-), ulkus (-), benang Keruh (-), edema (-), ulkus (-), benang
jahitan (-), jaringan fibrovaskular (-) jahitan (+) di daerah limbus, jaringan
fibrovaskular (-)
COA
Jernih, volume (dalam) Jernih, volume (sedang)
Pupil
Bulat,  3 mm, isokor Bulat,  3 mm, isokor
RC direct (+), indirect (+) RC direct (+), indirect (+)
Iris
Coklat, kripta jelas, prolapse (-) Coklat, kripta jelas, prolapse (-)

Lensa
Jernih Jernih

Pemeriksaan TIO (manual)


Fluktuasi (+), tidak teraba keras Fluktuasi (+), tidak teraba keras
N N

Funduskopi
Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tonometer
OD OS
Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Slit Lamp


OD OS
Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Visus dan Refraksi


OD OS
Visus : 6/30 S +1,00 = 6/12 Visus : 6/30 S +0,75 = 6/15
Add S + 2,00
PD 62/60

9
Pemeriksaan Umum
Tinggi badan 150 cm
Berat badan 88 kg
Tekanan darah 140/90 mmHg
Nadi 82 kali/menit
Suhu 36,80C
Pernapasan 22 kali/menit
Kardiovaskuler BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Traktus gastrointestinal Bising usus (+) normal
Paru-paru Vesicular (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Neurologi Tidak dilakukan

Penyakit Sistemik
 Tractus respiratorius Tidak ada keluhan
 Tractus digestivus Tidak ada keluhan

 Kardiovaskuler Tidak ada keluhan

 Endokrin Tidak ada keluhan


Tidak ada keluhan
 Neurologi
Tidak ada keluhan
 Kulit
Tidak ada keluhan
 THT
Tidak ada keluhan
 Gigi dan mulut
Tidak ada keluhan
 Lain-lain

Diagnosis : Post Eksisi Pterigium Grade III + Conjungival Autograft Ocular


Sinistra + Presbiop Ocular Dextra et Sinistra + Mata tenang visus turun
perlahan dengan hipertensi
Diagnosis diferensial :
- Pinguekula
- Pseudopterigium
Anjuran pemeriksaan :
- Pinhole ulang karena dari koreksi dengan lensa spheris positif pada
kedua mata pasien, visus masih belum mencapai 6/6, pinhole ulang

10
untuk memastikan penyebabnya apakah karena koreksi yang belum
sempurna atau bukan
- Pemeriksaan funduskopi, pada pasien terdapat faktor resiko berupa
hipertensi yang sudah diderita selama 3 tahun. Dilakukan pemeriksaan
untuk melihat apakah hipertensi pada pasien ini telah memberikan
kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi dengan arteri yang
besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan
retina atau belum.
Pengobatan :
Medikamentosa :
 Dexamethasone sodium phosphate 1 mg, neomycin sulphate 3,5 mg,
polymixin B sulphate 6.000 IU (eye drop 6 x 1 gtt OS)
 Gentamisin eye drop 6x2 gtt OS
 Vitamin C 3x50 mg
 Kacamata :
OD : S +1,00 OS : S +0,75
Add +2,00 Add +2,00

Non Medikamentosa :
 Menghindari paparan dengan faktor pencetus
 Memakai pelindung mata saat berkendara ataupun membersihkan rumah
 Menggunakan kacamata dengan teratur
Prognosis :
Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: Dubia ad bonam
Quo ad sanationam: Dubia ad bonam

Resep Kacamata
Ukuran Kaca mata
Double Fokus
Biasa

Vitrum Vitrum Axis Prisma Vitrum Vitrum Axis Prisma Distant

11
Spher Cylinde Basis Spher Cylinde Bais Vitror

r r
+1,00 +0,75 62
Add Add 60
+2,00 +2,00

Pro : Ny.Z
Umur : 49 tahun

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak
pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 1
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya
“wing” atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan
Konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan
berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga
di kornea. 2

12
Gambar 1. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu
daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai
22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.3
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di
bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian
di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang
bawah.Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi
pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering
terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah 3,4

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

13
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.5
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva
terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan
ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-
10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.
Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus
konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata
superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan
forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang
penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih
dalam hingga 14 mm dari limbus.6
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam
kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona
marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada
sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk
komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona
tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang
melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen.
Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus
hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal
konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,

14
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa
ditemui.6
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva
bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang
memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga
melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon.
Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon
dan sklera.6
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva
forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi. 6

Gambar 2. Konjugtiva

15
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri
yang relatif sedikit.6
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan
epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus
yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.6
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma
di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.6
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3
bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat
papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva.6
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip

16
kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
di tepi tarsus atas.6

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya


matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas
dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.1
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab
pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi
pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus
kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan
pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai
dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis
dan biasanya menunjukkan dysplasia. 7
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan
atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya
keturunan (faktor herediter). 7
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui

17
namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra
violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea
sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat
memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 7
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya
(radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif. 7
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan.7
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,
polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen
pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi
seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi
adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran
Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 7
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia

18
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat
pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 7
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV. 7
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis
lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan.7
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. 7
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. 7
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.
7

V. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar
ultraviolet, kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor

19
iritan lainnya. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi
sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. 8
Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth
factor beta (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang
berperanan penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel
angiogenesis. 8
Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi
kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada
kornea nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena
bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan
adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-
kadang terjadi dysplasia. 8

VI. KLASIFIKASI PTERYGIUM


Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera , yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm
dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.

20
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat.
Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

21
Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium
4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2


yaitu:
- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap
dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan
harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian
terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.5,9
Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal
dan temporal pada satu mata pasien.

VII. GAMBARAN KLINIK


Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat

22
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3
dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun.10

collum

corpus
apekstiga bagian :
Pterigium memiliki
i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-
abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area
ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat
pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area
kornea yang kering.
ii. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan
sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti
halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi
tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan. 11

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan


tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan
keluhan berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan
adanya diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang

23
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan
kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang
mengganjal. 2

Pemeriksaan fisis

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada


permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.10

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah


topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.4

IX. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti
UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.7
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico,
yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik

24
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik. 7

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan


operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterigium di antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.7,3
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relatif kecil. 7,3
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. 7,3
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. 7,3
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,
Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).7,3

25
Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium

X. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan
pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan
sinar matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan
pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan
elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. 7
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga

26
sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada
kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan
biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. 7

Gambar 8. Pinguekula Gambar 9. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
- Distorsi dan penglihatan berkurang

- Mata merah

- Iritasi

- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea


- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat
menyebabkan terjadinya diplopia. 3
Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea,
conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk
perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia


atau melting pada sclera dan kornea.

27
- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren
pterygium post operasi. 3

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. 4

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien didiagnosa Post Eksisi Pterigium Grade III + Conjungtival Autograft


Ocular Sinistra dan Presbiopia Ocular Dextra et Sinistra + Mata tenang visus
turun perlahan dengan hipertensi berdasarkan :
Dari anamnesis, didapatkan pasien Ny.Z usia 49 tahun seorang ibu rumah
tangga datang dengan keluhan mata kiri terasa seperti ada yang mengganjal sejak
±3 tahun yang lalu, seiring dengan terdapatnya selaput pada mata kirinya, yang
meluas secara perlahan sehingga menyebabkan perasaan mengganjal di mata
pasien. Selain itu mata juga terlihat kemerahan, berair dan gatal terutama apabila
mata terkena debu, angin dan sinar matahari. Pasien mengatakan jarang
menggunakan helm dengan penutup wajah ketika berkendara dan tidak
menggunakan pelindung mata saat keluar rumah ataupun membersihkan rumah.
Riwayat trauma yang mengenai mata sebelumnya juga tidak ada. Keluhannya
semakin diperberat dengan penglihatan yang semakin berkurang dan terasa seperti
ada yang menghalangi. Pandangan mata ganda tidak ada. Kemudian pasien mulai
berobat ke RS, pada awalnya pasien mengatakan diberi obat tetes mata dan ± 1
minggu yang lalu pasien telah menjalani operasi untuk membuang selaput di mata
kirinya. Pasien mengatakan dalam satu minggu setelah operasi perasaan
mengganjal pada mata kirinya sudah berkurang dan tidak merasa ada yang
menghalangi penglihatannya lagi, namun menurut pasien mata kirinya masih
sedikit merah, berair dan kadang terasa gatal, sehingga membuat pasien sering

28
mengusap matanya. Tidak ada keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat
penggunaan kacamata sebelumnya. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka,
dimana dikatakan bahwa pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Insiden tinggi dilaporkan pada usia 20-49 tahun.
Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan
udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan
suatu neoplasma, radang dan degenerasi.1 Gejala klinis pada tahap awal biasanya
ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada
benda asing/mengganjal, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada
pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan menurun.10 Tatalaksana pada kasus pterigium meliputi
tatalaksana konservatif pada tahap awal, untuk mengurangi iritasi maupun
paparan faktor resiko, dan tindakan operatif apabila terdapat gangguan visus,
mengganggu pergerakan bola mata, berkembang progresif dan masalah kosmetik.
Diantara teknik operasi yang dapat dilakukan dalam tatalaksana pterigium adalah
Conjungtival graft dengan mengambil konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi
seukuran luka kemudian dijahitkan. Teknik ini dikenal dapat mengurangi insiden
rekurensi pterigium selanjutnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, pada mata kiri pasien terdapat injeksi
konjungtiva dan neovaskularisasi, serta terlihat benang jahitan berjumlah 4 buah,
didaerah limbus 2 dan di konjungtiva bulbi daerah nasal 2 benang. Tidak terlihat
lagi jaringan fibrovaskular di mata pasien. Dari pemeriksaan visus dan refraksi
didapatkan visus OD : 6/12 dengan S+1,00 dan OS : 6/15 dengan S+0,75. Pada
pasien terdapat tambahan lensa +2,00 untuk kedua mata pasien. Tidak adanya
jaringan fibrovaskuler dan terlihat benang jahitan di konjungtiva bulbi bagian
nasal dan limbus mata kiri pasien menunjukkan pasca tindakan eksisi dengan
conjungtival graft dari pterigium yang sebelumnya diderita pasien. Terdapatnya

29
neovaskularisasi pada konjungtiva bulbi mata kiri menunjukkan reperfusi jaringan
yang mulai terjadi. Terdapat gangguan pada penglihatan pasien terutama untuk
melihat dan membaca jarak dekat.

Pada pasien ini diberikan terapi berupa Dexamethasone sodium


phosphate 1 mg, neomycin sulphate 3,5 mg, polymixin B sulphate 6.000
IU (eye drop 6 x 1 gtt OS) , Gentamisin eye drop 6x2 gtt OS , Vitamin C
3x50 mg dan kacamata double focus dengan Pro login OD : S+1,00 dan
OS : +0,75 serta addition untuk kedua mata +2,00. Penggunaan obat tetes
mata dengan glukokortikoid sintetis dan antibiotic bertujuan untuk
memberikan efek anti inflamasi yang menekan respon tubuh terhadap
inflamasi sekaligus untuk mencegah atau mengatasi infeksi akibat bakteri
gram negative maupun gram positif, sehingga keluhan iritasi pada mata
pasien diharapkan dapat membaik. Pemberian vitamin C sebagai
antioksidan diharapkan dapat membantu mempercepat proses
penyembuhan luka. Untuk mengoreksi penglihatan kedua mata pasien
terutama pada saat membaca dan melihat benda dengan jarak dekat,
dikoreksi dengan kacamata baca sesuai umur.
Pada penderita ini dianjurkan untuk selalu memakai kacamata
pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah. Selain itu juga
diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterigium seperti sinar matahari dan debu serta rajin merawat
dan menjaga kebersihan kedua mata. Hal ini sesuai kepustakaan bahwa
untuk mencegah pterigium terutama bagi mereka yang sering beraktivitas
di luar rumah dapat menggunakan kacamata atau topi pelindung untuk
menghindari kontak dengan sinar matahari, debu, udara panas dan angin.1

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.

2. Riri Julianti,S.Ked. Pterigium.[online]2009.[ cited 2011 Maret 08]. Available


from : http://facultyofmedicine.riau.com /procedures/pterigium..html

3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis


Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2009.

4. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal
119.

6. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].


Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm

31
8. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In :
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.

9. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online] 2007.


[cited 2011 August 11]. Aviable from : http//www.ijo.in/article.asp?issn

10. Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterygium/
11. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from :
http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.

Lampiran

Pterigium pada anak-anak

Pterigium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas.1 Menurut studi epidemiologi, menyatakan
kejadian pterigium berhubungan dengan paparan kronis terhadap sinar matahari,
dan prevalensi yang meningkat pada daerah disekitar khatulistiwa. Menurut
penelitian melakukan aktifitas lebih lama diluar rumah meningkatkan resiko dari
pterigium, dengan paparan radiasi terhadap sinar ultraviolet kumulatif yang
memegang peranan signifikan, hal ini berkaitan dengan paparan matahari terhadap
mata.2

Meskipun kejadian pterigium merupakan kelainan mata yang umum,


namun etiopatogenesis pasti nya masih belum diketahui. Sebagian besar kasus
pterigium berhubungan dengan faktor lingkungan, seperti paparan kronis terhadap
sinar ultraviolet, asap, panas, dan debu. Peningkatan paparan sinar ultraviolet
merupakan salah satu faktor resiko yang secara konsisten didokumentasikan

32
dengan peningkatan kejadian pterigium. Genetic dan predisposisi keluarga
diperkirakan sebagai etiologi pterigium. Literatur sebelumnya
mendokumentasikan pterigium primer pada populasi anak-anak dapat terjadi,
namun angka kejadiannya jarang. 3

Kejadian pterigium yang lebih banyak terjadi pada decade kedua sampai
ketiga kehidupan dibandingkan kelompok usia anak-anak dikaitkan dengan
keseringan terpaparnya kelompok usia tersebut dengan faktor resiko yang lebih
tinggi daripada anak-anak. Mengingat kelompok usia tersebut merupakan
kelompok usia produktif yang kesehariannya lebih sering dan lebih lama
beraktifitas diluar rumah, sehingga resiko dan kejadian untuk pterigium juga lebih
tinggi.

33
Daftar Pustaka Tugas

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.

2. Peng Lu, Xiao-Ming Chen. Prevalence and risk factors of pterygium.


Department of Ophthalmology, West China Hospital, Sichuan University,
Chengdu 610041, Sichuan Province, China.

3. Sumit Monga, dkk. Childhood Pterygium: A Descriptive Study of 19 Cases


Presented to a Tertiary Eye Care Center. Pediatric Ophthalmology Service,
Jasti V Ramanamma Children’s Eye Care Centre, Kallam Anji Reddy Campus,
L.V. Prasad Eye Institute, L.V. Prasad Marg, Banjara Hills, Hyderabad -
500034, India;

34
35

You might also like