You are on page 1of 2

Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI) – Banjarbaru

Juli Hutan lindung terancam bencana

Sekretariat: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Jalan Perintis Kemerdekaan Padang

Telp. 0751-31746 Fax 0751-21278

UNTUK SEGERA DISIARKAN Padang, 11 Maret 2010

Keterangan lebih lanjut: Anisah Rosandali

Mobile: 081363240901

Rumah: 0751-9824025

DUA KEBIJAKAN HUTAN LINDUNG

Berdasarkan pasal 38, pasal 4 UU 41 1999 tentang Kehutanan, untuk kawasan hutan
lindung tidak diizinkan untuk melakukan penambangan terbuka.Berdasarkan UU No. 41/1999,
menurut Menteri Kehutanan, Departemen Kehutanan mempunyai dua kebijakan. Pertama, lokasi
pertambangan yang izinnya berada di hutan produksi terbatas dan hutan produksi, maka kegiatan
pertambangan dapat dilakukan. Kedua, untuk kegiatan pertambangan di kawasan yang
bermasalah akan ditunda terlebih dahulu.

"Tapi yang perlu digarisbawahi adalah izin tersebut keluar hanya untuk perusahaan yang
sudah berinvestasi dan beroperasi sebelum UU No. 41/1999 disahkan. Setelah itu selesai dan
jangan sampai jadi preseden lagi," ujarnya.Hal tersebut, katanya, karena perusahaan tersebut
sudah berinvestasi di Indonesia. Namun demikian, untuk perusahaan yang berada di hutan
lindung setelah UU No. 41/1999 tidak ada kompromi sama sekali.

Posisi Masyarakat Adat Kalimantan Selatan : Kehilangan Hak Kelola Hutan Tampaknya
hal itulah yang terjadi pada tanggal 15 Juli 2004 yang lalu dengan disetujuinya oleh DPD RI
Perppu no. 1 tahun 2004 tentang ijin tambang di hutan lindung dengan diikuti Kepres No. 41
tahun 2004, yang mengijinkan 13 perusahaan tambang beroperasi di kawasan lindung. Dalam
kasus ini sekali lagi pemerintah kita sangat sangat tidak konsisten memperlakukan perlindungan
terhadap hutan. Melindungi hutan dengan UU No. 41 tahun 1999, yang sebenarnya dibeberapa
pasal masih ada kelemahan dari sisi implementasi, terutama pemberian hak kelola hutan kepada
masyarakat adat belum menjalani proses yang mendorong kearah "Community Bases Forest
Management" atau untuk masyarakat Dayak Kalimantan Selatan di kawasan Pegunungan
Meratus lebih tepatnya adalah "Indigenous Knowledge Community Bases Forest Management",
tetapi justru sudah merubah pasal 38 dengan mengeluarkan perpu.

Dalam Kondisi seperti ini, pemerintah telah memberikan ijin kepada Perlsart Tambang
Kencana dengan luas konsesi 239.500 hektar. Hal ini mengindikasikan tidak ada keberpihakan
pemerintah terhadap rakyat, terutama masyarakat adat di kalimantan Selatan. Pemerintah lebih
memilih menuruti lobby para investor untuk menghindari arbitrase internasional dari pada
melawan koalisi tambang dunia bersama rakyat seperti dilakukan oleh Kosta Rika. Padahal sejak
2 tahun lalu masyarakat ada gencar melakukan penolakan terhadap Pelsart Tambang Kencana
dan bahkan tahun 2002 DPRD Kalimantan Selatanpun menyatakan menolak tambang di
kawasan Lindung Pegunungan Meratus.

Dalam pasal 8 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan pada ayat 1 bahwa
pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus yang pada pasal 2
tujuan khusus tersebut salah satunya adalah untuk kepentingan relegi dan budaya. Kemudian
pada pasal 34 huruf a, menyebutkan bahwa pengelolaan hutan untuk tujuan khus seperti
disebutkan pada pasal 8 dapat diberikan kepada masyarakat hokum adat. Pada pasal 37 ayat 1
menyebutkan pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan
sesuai dengan fungsinya (persepsi YCHI
sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh masyarakat adat) . Pasal 8, pasal 34 dan pasal 37
sebenarnya harus di dorong dengan upaya upaya proses yang dapat mendorong diterapkan di
kawasan pegunungan Meratus oleh pemerintah, bukan merubah pasal 38 dengan menetapkan
hutan lindung pegunungan Meratus sebagai kawasan yang dirubah untuk kawasan produksi,
lebih khusus lagi sebagai kawasan ekpsloitasi pertambangan untuk PT Perlsart Tambang
Kencana.

You might also like