You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Congestive Heart Failure (CHF)

II.1.1 Definisi
Gejala klinis kompleks yang sering, ditandai dengan kelainan struktural atau disfungsi
jantung yang merusak kemampuan ventrikel kiri (LV) untuk mengisi atau memompa darah,
terutama saat aktifitas fisik (NHFA , 2011).
II.1.2 Epidemiologi
Diperkirakan terdapat lima juta orang di Amerika Serikat (1.5% sampai 2% dari populasi)
mengidap Congestive Heart Failure. Prevalensi terus meningkat dengan 550.000 kasus baru setiap
tahunnya. Kejadian Congestive Heart Failure kira-kira sebesar 10 per 1000 pada populasi dengan
usia diatas 65 tahun (Mary et al., 2009).
II.1.3 Etiologi
Menurut Alldredge et al,. (2013), penyebab CHF terdiri atas :
a. Output rendah, disfungsi sistolik (dilatasi kardiomiopati) dapat disebabkan iskemik koroner,
Infark miokard, regurgitasi, konsumsi alkohol, kekurangan gizi, deplesi kalsium dan kalium,
induksi obat, idiopatik. Juga dapat disebabkan hipertensi, stenosis aorta dan volume overload.
b. Disfungsi diastolik dapat disebabkan iskemik koroner, infark miokard, hipertensi, stenosis aorta
dan regurgitasi, perikarditis, pembesaran septum ventrikel kiri.
c. High-output failure disebabkan oleh anemia dan hipertiroid.
II.1.4 Faktor Risiko
Di Indonesia prevalensi penyakit jantung dari tahun ke tahun terus meningkat. Merokok,
obesitas, kadar kolesterol, tekanan darah tinggi, kurang aktifitas, diabetes melitus dan stress
merupakan faktor resiko utama CHF. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa reaksi
peradangan (inflamasi) dari penyakit infeksi kronis mungkin juga menjadi faktor risiko (LIPI,
2009).

II.1.5 Klasifikasi
American College of Cardiology Foundation/ American Heart Association (ACCF/AHA)
dan NewYork Association (NYHA) memberikan informasi tentang klasifikasi atau tingkatan dari
gagal jantung. ACCF / AHA menekankan pada perkembangan penyakit seorang pasien gagal
jantung yang digunakan untuk menggambarkan individu dan populasi, sedangkan NYHA
menekankan pada gejala fungsional penyakit gagal jantung.

II.1.6 Patofisiologi
CHF berawal dari disfungsi jantung kiri yang disebabkan beban tekanan berlebihan sehingga
kebutuhan metabolik meningkat. Peningkatan kebutuhan metabolik menyebabkan volume
overload yang abnormal pada jantung, cardiac output menurun sehingga menyebabkan beban pada
atrium karena tekanan meningkat. Hal ini menyebabkan hambatan vena pulmonari yang kemudian
membuat bendungan pada paru-paru dan mengakibatkan edema paru. Beban ventrikel kanan
(V.Ka) bertambah menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan (V.Ka) sehingga mengakibatkan gagal
jantung kanan. Gagal jantung kanan dan kiri ini disebut dengan CHF. Ketika jantung mulai gagal,
tubuh mengaktifkan beberapa kompleks mekanisme kompensasi dalam upaya untuk
mempertahankan Cardiac output dan oksigenasi organ vital. Hal ini termasuk peningkatan
simpatik, aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), natrium dan retensi air dan
neurohormonal adaptasi, yang menyebabkan jantung remodeling dilatasi ventrikular, hipertrofi
jantung dan perubahan bentuk lumen ventrikel kiri (Dipiro, 2015).

Gambar Patofisiologi dan Simptomatologi CHF


II.1.7 Gejala Klinis
Menurut NHFA (2011) gejala yang dapat terjadi pada pasien dengan CHF sebagai berikut :
a. Sesak nafas saat beraktifitas
b. Ortopnea, pasien menopang diri dengan sejumlah bantal untuk tidur.
c. Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
d. Batuk kering dapat terjadi, terutama pada malam hari.
e. Kelelahan dan kelemahan mungkin jelas terlihat
f. Pusing atau palpitasi
II.1.8 Diagnosis
Menurut Dipiro (2015) diagnosis CHF sebagai berikut :
Pertimbangkan diagnosis HF pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas. Sebuah
riwayat dan pemeriksaan fisik dengan pengujian laboratorium yang sesuai adalah penting dalam
mengevaluasi pasien dengan dugaan HF. Tes laboratorium untuk mengidentifikasi gangguan yang
dapat menyebabkan atau memperburuk gagal jantung termasuk menghitung sel darah lengkap,
elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium), ginjal, hati, dan tes fungsi tiroid, urinalisis,
profil lipid, dan A1C. B-type natriuretic peptide (BNP) umumnya akan lebih besar dari 100 pg
/mL. Hipertrofi ventrikel dapat ditunjukkan pada rontgen dada atau elektrokardiogram (EKG).
Rontgen dada juga bisa menunjukkan efusi pleura atau edema paru. Echocardiogram dapat
mengidentifikasi kelainan perikardium, miokardium, atau katup jantung dan mengukur fraksi
ejeksi ventrikel kiri (LEVF) untuk menentukan apakah terdapat disfungsi sistolik dan diastolik.
Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan.

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil
lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI
(ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura.
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan
fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan
dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai
gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting
dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam
penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV
adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan
sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan,
dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika
EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

II.1.9 Penatalaksanaan
Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan
rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal jantung yaitu:

Stage A

Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk mencegah kelainan
struktural dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol faktor resiko seperti
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, konsumsi
alkohol, dan penggunaan obat-obatan kardiotoksik, yang akan menurunkan insidensi kejadian
kardiovaskular. Evaluasi periodik terhadap gejala dan tanda dari gagal jantung dapat
dilakukan pada pasien ini. Ventricular rate harus kontrol atau restorasi ke irama sinus pada
pasien dengan takiaritmia supraventrikular yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal
jantung. Kelainan tiroid juga harus diatasi sesuai guideline yang berlaku pada psien resiko
tinggi. Penyedia kesehatan harus melakukan evaluasi nonivasif terhadap fungsi ventrikel kiri
(mis, LVEF) pada pasien dengan riwayat keluarga dengan kardiomiopati ataupun pasien yang
menerima intervensi kardiotoksik (Rekomendasi kelas I).

ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada pasien dengan resiko
tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat penyakit aterosklerosis, DM, dan
hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat digunakan sebagai pengganti ACE inhibitor
(Rekomendasi Kelas II).

Penggunaan suplemen nutrisi rutin terhadap pencegahan kerusakan struktural jantung


tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III)

Stage B

Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan mengurangi
resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi dan progresi dari
remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada stadium A harus diaplikasikan
pada semua pasien dengan stadium B. Penyekat reseptor beta dan ACE inhibitor harus
digunakan pada semua pasien dengan riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark
miokard. Beta blocker juga diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE
inhibitor harus digunakan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan tidak ada gejala
gagal jantng, meskipun telah mengalami infark miokardium. Angiotensin II receptor blocker
juga harus diberikan pada pasien post-MI tanpa gagal jantung yang tidak toleransi terhadap
ACE inhibitor. Revaskularisasi koroner harus direkomendasikan pada pasien yang tepat yang
belum mengalami gejala gagal jantung. Terapi pengganti atau perbaikan katup jantung harus
direkomendasikan pada pasien stenosis dan regurgitasi katup tanpa gejala gagal jantung
(Rekomendasi Kelas I).

ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan hipertorfi
ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah dan tanpa
gejala dari gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Penempatan ICD dapat
dilakukan pada pasien dengan kardiomiopati iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI,
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang telah mendapat
terapi medis kronis (Rekomendasi Kelas II).

Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF (ejection fraction) rendah, irama
sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian suplemen nutrisi tidak direkomendasikan.
Ca channel blocker dengan efek inotrofik negatif dapat berbahaya pada pasien asimptomatik
dengan LVEF rendah dan tidak ada gejala dari gagal jantung (Rekomendasi Kelas III).

Stage C

Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan pada pasien stage
ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada pasien dengan gejala sekarang
atau terdahulu dari gagal jantung dan penurunan LVEF yang mengalami retensi cairan. ACE
inhibitor direkomendasikan pada semua pasien dengan gejala gagal jantung dan penurunan
EF, kecuali ada kontraindikasi. Penggunaan 1 dari 3 beta blocker yaitu bisoprolol, carvediol,
dan metoprolol terbukti mengurangi mortalitas dan direkomendasikan pada pasien ini kecuali
kontraindikasi. ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi terhadap ACE
inhibitor. Obat-obatan yang dapat memperburuk gagal jantung harus dihentikan dan
dicegah penggunaannya jika mungkin sperti NSAID, obat antiaritmia, dan Ca
Channel blocker. Pemasangan implantable cardioverter-defibrillator direkomendasikan
sebagai pencegahan sekunder untuk memperpanjang survival pada pasien dengan riwayat
henti jantung, fibrilasi ventrikular, atau takikardia ventricular yang tidak stabil
hemodinamiknya. Alat ini juga sebagai pencegahan primer terhadap sudden cardiac death
pada pasien kardiomiopati dilatasi iskemik atau penyakit jantung iskemik dengan masa post-
MI lebih dari 40 hari, dan LVEF ≤ 35% dengan NYHA fungsional kelas II atau III. Pasien
dengan LVEF ≤35%, irama sinus, dan NYHA fungsional kelas III dan IV dengan durasi QRS
≥0,12 detik, harus dilakukan terapi resinkronisasi jantung, dengan atau tanpa ICD. Pemberian
antagonis aldosterone direkomendasikan pada pasien dengan gejala sedang sampai berat dan
penurunan LVEF dimana kadar kreatinin harus ≤2,5 mg/dL pada pria atau ≤2,0 mg/dL pada
wanita dan kadar kalium harus ≤5,0 mEq/L . Kombinasi hidralazine dan nitrat
direkomendasikan pada pasien afro-amerika dengan gejala sedang dan berat meskipun terapi
yang optimal. Pada pasien gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan LVEF
yang normal, tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang berlaku. Kontrol
rate ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal dan fibrilasi atrium. Edema
pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol dengan penggunaan diuretik pada pasien
dengan LVEF normal.(Rekomendasi Kelas I).
Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengan kontrol rate
ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama terutama pada pasien dengan indikasi
lain penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan pada pasien dengan penurunan LVEF untuk
mengurangi masa rawatan. Penambahan kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan
penurunan LVEF pada pasien dengan gejala yang persisten dapat dilakukan. Penggunaan
terapi resinkronisasi jantung dapat digunakan pada pasien dengan indikasi yang tepat.
Kombinasi hidralazin dan nitrat dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap ACE
inhibitor dan ARB, hipotensi ataupun insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner dapat
dilakukan pada pasien tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau iskemik miokardium.
Restorasi dan maintenance terhadap irama sinus pada pasien dengan fibrilasi atrial berguna
untuk memperbaiki gejala pada gagal jantung dan LVEF normal. Penggunaan beta blocker,
ACE inhibitor, atau Ca antagonis efektif pada pasein gagal jantung dengan LVEF normal.
Penggunaan digitalis untuk meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung dengan LVEF
normal belum diketahui manfaatnya.(Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone antagonist tidak
direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak diindikasikan secara rutin pada pasien
stadium C. Infus jangka panjang dari obat inotropik positif dapat berbahaya dan tidak
direkomendasikan. Penggunaan suplemen nutrisi dan terapi hormon tidak direkomendasikan
(Rekomendasi Kelas III).

Stage D

Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap retensi
cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris tahap akhir.
Transplantasi jantung terhadap pasien yang sesuai dapat direkomendasikan pada pasien ini,
selain itu penanganan khusus juga dilakukan pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus.
Diskusi perawatan end-of-life harus dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien
dengan implantable defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi alat
tersebut (Rekomendasi Kelas I). Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi
akhir pada pasien dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun >50%
dengan terapi medis. Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga dilakukan pada gejala
yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum terbukti pada pasien gagal jantung
refraktoris dengan regurgitasi mitral berat sekunder. Infus intravena berkesinambungan dari
agen inotropik untuk mengatasi gejala dapat dilakukan (Rekomendasi Kelas II).
Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan kardiomiopati non-
iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten dari agen vassoaktif dan inotropik
positif tidak direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris
(Rekomendasi Kelas III).

Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini:


Gambar Alur Guideline ACC/AHA

Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung meliputi:

1. Non farmakologi
Penyuluhan umum

a. Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.


b. Mengontrol berat badan
c. Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
i. Diet rendah garam (<2 gr/hari)
ii. Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)
iii. Hindari konsumsi alcohol
iv. Berhenti merokok
d. Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
e. Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus
2. Farmakologi
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular
dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan
edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena atau kombinasi loop diuretik
dantiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (kelas
fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.

b. ACE Inhibitor
ACE inhibitor bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonaldan pada gagal jantung
yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

c. Beta Blocker
Beta Blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung kelas fungsional II danIII.

d. Angiotensin II antagonis reseptor


Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan
ACE inhibitor dan diuretik.

e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat


Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat
dipertimbangkan.

f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik,
ACE inhibitor, beta blocker.

g. Antikoagulan dan antiplatelet.


Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.

h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atauaritmia ventrikel
yang tidak menetap.

II.1.10 Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis
pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). 2016. Ejection Fraction Heart Failure


Measurement.http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/SymptomsDiag
nosisofHeartFailure/Ejection-Fraction-Heart-Failure
Measurement_UCM_306339_Article.jsp#.WAv-NeV97IX.

Alldredge, BK, Corelli, RL, Ernst, ME, Guglielmo, BJ, Jacobson, PA, Kradjan, WA. 2013. Koda-
Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott
Williams & Wilkins, Pennsylvania, United States of America, p 342.

Bates, 2009, buku ajar pemeriksaan fisik thorax paru, jantung dan abdomen.

DiPiro, JT, Wells, BG, Schwinghammer, TL, DiPiro, CV. 2015. Pharmacotherapy Handbook,
Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 3 Edisi 13. EGC: 1418-87.

Mary, AKK. 2009. Applied therapeutics : the clinical use of drugs, 9th edition, Philadelpia, Lippincott
Williams & Wilkins.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2009. Balai Informasi Teknologi LIPI, Pangan dan
Kesehatan, LIPI.

Nasution, SA, Ismail, D. 2006. Fibrilasi Atrial: Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, Ed.3. Jakarta.
EGC, 1522-27.

National Heart Foundation of Australia. 2011. Guidelines for the Prevention, Detection and
Management of Chronic Heart Failure in Australia, National Heart Foundation of Australia
and the Cardiac Society of Australia and New Zealand (Chronic Heart Failure Guidelines
Expert Writing Panel). Updated October 2011.

You might also like