You are on page 1of 30

Pengertian Pajak

Menurut Dr. H. Rochmat Soemitro SH. Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra
prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak

Pungutan Lain Selain Pajak


 Bea Masuk yaitu pungutan atas barang-barang yang dimasukan kedalam daerah
pabean berdasarkan harga/nilai barang itu atau berdasarkan tarif yang sudah ditentukan
 Bea Keluar yaitu pungutan yang dilakukan atas barang yag dikeluarkan dari
daerah pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan
barang.
 Bea Materai yaitu pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan menggunakan
benda materai.
 Cukai yaitu pungutan yang dikenakan aas barang-barang tertentu yang sudah
ditetapkan untuk masing-masing jenisbarang tertentu, misalnya tembakau, gula, bensin,
minuman keras dan lainnya.
 Retribusi, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau
fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar,
contoh parkir kendaraan bermotor, karcis jalan tol, dan sebagainya.
 Iuran yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas
yang diberikan pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan
pembayar.
 Pungutan lain yang sah/legal berupa sumbangan wajib
Sumber : http://ngoprekpajak.blogspot.co.id/2012/01/pungutan-lain-selain-pajak.html

Fungsi Pajak
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan,
uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama
diharapkan dari sektor pajak.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan
fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya
dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi
produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk
luar negeri.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.

Kedudukan Hukum Pajak

1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Rinciannya:
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara)
c. Hukum Pajak
d. Hukum Pidana

Prof.P.J.A Adriani : Bahwa Hukum Pajak merupakan ilmu pengetahuan Sendiri yang terlepas
dari Hukum Administrasi Negara dengan alasan:
• Tugas Hukum Pajak bersifat berbeda dengan Hukum Administrasi Negara;
• Hukum Pajak berkaitan erat dengan Hukum Perdata;
• Hukum Pajak dapat secara langsung digunakan sebagai politik perekonomian;
• Hukum Pajak memiliki ketentuan dan istilah-istilah yang khas untuk bidang tugasnya

Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formal


Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan
rakyat sebagai Wajib Pajak. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan
antara lain: keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang
dikenai pajak (subjek pajak), berapa besar tarif, timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan
hukum antara pemerintah dan WP. Contoh: UU PPh.

Hukum Pajak formal, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat:
a. tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak
b. hak-hak fiskus
c. kewajiban WP

Kewajiban dan Hak Wajib Pajak


Kewajiban Wajib Pajak
1. Mendaftar
2. Menghitung
3. Memotong
4. memungut
5. Setor
6. Lapor
7. Pembukuan dll.

Hak Wajib Pajak


1. Mencabut pendaftaran
2. Menunda penyampaian SPT
3. Membetulkan SPT
4. Menunda penyetoran
5. Mengajukan restitusi
6. Pengajuan keberatan dan banding serta peninjauan kembali dll

JENIS JENIS PAJAK


Berdasarkan sistem pemungutanya:

Pajak langsung, adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain.

Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembayaranya bisa dilimpahkan kepada pihak lain.
Berdasarkan lembaga pemungutanya:

Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang pemungutan didaerah
dilakukan oleh kantor pelayanan pajak.

Pajak daerah, adalah pajak yang kewenangan pemungutan dilakukan pemerintah daerah.

Menurut subjek pajak :


Pajak persworangan, yaitu pajak yang harus dibayarkan oleh diri Wajib Pajak. Misalnya, PPH
Pajak badan, yaitu pajak yang harus dibayar oleh badan atau organisasi. contoh, pajak atas laba
peruaahaan.

Menurut asalnya :

Pajak dalam negeri


Pajak luar negeri

TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK

1. Stelsel nyata / riil , yaitu pengenaan pajak didasarkan pada (objek penghasilan
nyata), sehingga pemungutanya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni
setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kelebihan, pajak dikenakan lebih
realistis Kekurangan, pajak baru dikenakan pada akhir periode.

2. Stelsel anggapan pengenalan, pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan


yang diatur oleh undang - undang. Kelebihan, pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,
tanpa harus menunggu sampai akhir tahun. Kelemahan, pajak dibayarkan tidak dalam
keadaan sesungguhnya.

3. Stelsel campuran, pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun pembayaran didasarkan dan disesuaikan dengan
keadaan sebenarnya.

TARIF PAJAK
1. Tarif pajak Regresif / Degresif, merupakan tarif pajak yang persentasenya
semakin menurun apabila jumlah objek pajak semakin bertambah.

2. Tarif pajak tetap, merupakan tarif pajak yang ditetapkan dalam nilai Rupiah
tertentu yang jumlahnya tidak berubah atau tetap.

3. Tarif pajak progresif, merupakan tarif pajak yang persentasenya semakin


meningkat apabila jumlah objek pajak semakin bertambah ( contohnya PPH)

4. Tarif pajak proporsional, tarif pajak yang menggunakan persentase tetap terhadap
berapapun jumlah objek pajaknya.

1》 Pengertian Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah orang pribadi dan badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan
pemungut pajak , yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang - undangan perpajakan (UU No.28 Tahun 2007 Tentang KUP, UU NO.36
Tahun 2008 Tentang PPh dan UU NO.42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM serta peraturan
pelaksaannya).
Wajib Pajak tersebut terdiri dari :

 Wajib Pajak Orang Pribadi

 Wajib Pajak Badan

 Wajib Pajak Bendahara sebagai pemungut dan pemotong pajak

Berdasarkan tempat terdaftarnya, Wajib Pajak :

Wajib pajak Domisili atau tunggal


Wajib pajak Cabang dan Wajib pajak Orang Pribadi Tertentu

2》 Hak - hak dan kewajiban Wajib Pajak

Kewajiban Wajib Pajak


 Kewajiban mendaftarkan diri

 Kewajiban pembayaran, pemotongan/pemungutan, dan pelaporan pajak

Hak Wajib Pajak

 Hak atas kelebihan pembayaran pajak

 Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan - pemeriksaan

 Hak untuk mengajukan keberatan, banding & peninjauan kembali

3》 PENGERTIAN DAN FUNGSI NPWP

Pengertian NPWP

NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah sebuah tanda pengenalan diri atau identitas
wajib pajak yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan dan untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya yang berhubungan dengan perpajakan.

Untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), apabila persyaratan subjektif dan
objektifnya terpenuhi. Persyaratan subjektif artinya ada subjek pajaknya, contoh ada orang
pribadi atau badan hukumnya. Sedangkan persyaratan objektif artinya ada penghasilan yang akan
menjadi objek pajaknya.

B. Fungsi NPWP

Untuk mengetahui identitas wajib pajak


Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi
perpajakan.
Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan.

Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP


Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi - instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman
NPWP dalam dokumen yang diajukan.
4》 TATA CARA MEMPEROLEH NPWP

Untuk mendapatkan NPWP anda bisa langsung datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau Kantor Penyuluhan Potensi Perpajakan ( KP4 ) setempat. Dapat juga dilakukan dengan cara
online melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) melalui menu E-
Registration.
Dokumen yang dilampirkan :

Untuk wajib pajak orang pribadi Non usahawan :

fotocopy Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau fotocopy Paspor ditambah Kartu
Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dari instansi yang berwenang bagi orang asing.

Untuk wajib pajak orang pribadi usahawan :

1. Fotocopy KTP bagi penduduk Indonesia atau fotocopy paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing
2. Surat Keterangan tempat tinggal kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang
berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.

c) Untuk wajib pajak Badan :

1. Fotocopy akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukan
dari kantor pusat bagi Badan Usaha Tersebut

2. Fotocopy KTP bagi penduduk Indonesia atau fotocopy paspor ditambah surat
keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa
bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif;

3. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal
Kabupaten.

5》 PENGHAPUSAN NPWP

Proses pemeriksaan dalam rangka penghapusan NPWP adalah prosedur standar yang harus
dilalui agar WP yang bersangkutan bisa bebas murni dari kewajiban pajak yang sebelumnya
melekat.
Persyaratan Menghapus NPWP

Menurut ketentuan pasal 11 ayat (1) Keputusan Dirjen pajak Nomor KEP-161/PJ/2001,
penghapusan NPWP dapat dilakukan dalam hal :

 Wajib pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan

 Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan

 Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai subjek pajak sudah
selesai dibagi.

 Wajib pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yabg berlaku

 Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai
BUT.

 Wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam poin pertama dan
kedua yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai wajib pajak.

6》 PENGERTIAN DAN FUNGSI NOMER PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA


PAJAK (NPPKP)

Pengertian Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak


NPPKP (No. pengukuhan pengusaha kena pajak) adalah setiap wajib pajak sebagai pengusaha
yang dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) berdasrkan undang-undang PPN wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan pengusaha kena pajak (PKP) dan atau pengusaha yang
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak memiliki surat pengukuhan kena pajak yang berisi
identitas dan kewajban perpajakan Pengusaha kena pajak.

Fungsi-fungsi NPPKP adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui identitas pengusaha kena pajak yang sebenarnya.

2. Untuk melaksanakan hak dan kewajiban di pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah.
3. Untuk pengawasan terhadap administrasi perpajakan.

7》 TEMPAT DAN JANGKA WAKTU PELAPORAN USAHA

Batas Waktu Pelaporan Kegiatan Usaha

Kapan batas waktu pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP? Jawabannya ada di Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010.
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00.

Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00. Contoh, jika omzet Rp600.000.000,00
terlampaui di bulan Maret 2012, maka batas waktu pelaporan kegiatan usahanya adalah pada
tanggal 30 April 2012.

Tempat Pelaporan Kegiatan Usaha

Tempat bagi Wajib Pajak untuk melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah di :

 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan


Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak; atau

 Kantor Pelayanan Pajak tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan di bidang perpajakan.

 Tempat pelaporan usaha di KPP tertentu ini adalah untuk Wajib Pajak tertentu
yang pengadministrasian nya tidak didasarkan pada wilayah, tapi misalnya pada jenis
Wajib Pajaknya atau memang ditentukan seperti Wajib Pajak yang terdaftar di KPP LTO,
KPP Madya, atau KPP di lingkungan Kanwil Khusus.

 Wajib Pajak yang melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan
melalui permohonan tertulis. Berdasarkan permohonan tersebut, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak melakukan pengukuhan PKP paling lambat 5 hari kerja terhitung sejak
permohonan diterima secara lengkap. Proses pengukuhan PKP ini dilakukan melalui
kegiatan verifikasi.

8》 Pencabutan PKP adalah sebagai berikut :

1. Pengusaha PKP pindah alamat kewilayah kerja KPP lain


2. Pindah tempat kedudukan
3. Pindah tempat kegiatan usaha
4. Perubahan status perusahaan.

1》 PENGERTIAN DAN FUNGSI SPT

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak
dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.

FUNGSI SPT :

Wajib pajak untuk pajak penghasilan


Pengusaha kena pajak
Pemotong atau pemungut pajak

2》 TATA CARA PENYELESAIAN SPT

Wajib pajak harus mengambil sendiri surat pemberitahuan ditempat yang telah ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak atau dengan cara mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk
memperoleh formulir surat pemberitahuan tersebut.

Setiap wajib pajak mengisi formulir tersebut dengan benar, jelas, lengkap dan
menandatanganinya serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak.

SPT diserahkan kembali ke kantor pelayanan pajak yang bersangkutan dalam batas waktu yang
telah ditentukan dan akan diberikan tanda terima tertanggal dan wajib menyampaikan SPT dalam
bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah.

Penandatanganan SPT harus berisikan tanda tangan stempel/tanda tangan elektronik yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama.
3》 BATAS WAKTU DAN PERPANJANGAN SPT

Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh SPT Tahunan PPh harus disampaikan paling lama:

1. Untuk SPT masa, paling lambat 20 hari setelah akhir Masa Pajak

2. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 bulan setelah
akhir tahun pajak, yaitu tanggal 31 Maret

3. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, paling lama 4 bulan setelah akhir
tahun pajak, yaitu tanggal 30 April

Perpanjangan Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh

Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk paling
lama 2 bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh dengan cara menyampaian
pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan PPh.

4》 SANKSI TIDAK ATAU TERLAMBAT MENYAMPAIKAN SPT

SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan
dikenakan sanksi administrasi berupa denda :

Rp. 50.000,00 untuk SPT Masa


Rp. 100.000,00 untuk SPT Tahunan

Mulai 1 januari 2008 denda keterlambatan menyampaikan SPT adalah:

SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Rp. 100.000,00


SPT Tahunan PPh Badan Rp. 1.000.000,00
SPT Masa PPN Rp. 500.000,00
SPT Masa Lainnya Rp. 100.000,00 .

5》 PEMBETULAN SPT

Pembetulan oleh Wajib Pajak


WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan, kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2
tahun sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan atas jumlah pajakyang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian
Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.

Pembetulan Karena Pemeriksaan

Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak, terhadap ketidakbenaran
perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang
kurang dibayar.

Pembetulan Setelah Pemeriksaan

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri
dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:

* pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
* rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar.
* jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil
* jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
6》 Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh .

Wajib Pajak Orang Pribadi yang dalam satu tahun pajak menerima atau memperoleh penghasilan
neto tidak melebihi PTKP dikecualikan dari kewajiban penyampaikan SPT Tahunan PPh.

PENGERTIAN DAN FUNGSI SSP

SSP yaitu surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Penerima Pembayaran.
Fungsi SSP:
• Sebagai sarana untuk membayar pajak.
• Sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak.

Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak:


• Bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Anggaran.
• Kantor Pos.

Pembayaran Pajak dapat dikelompokkan menjadi:


• Pembayaran masa.
• Pembayaran kekurangan pajak setelah berakhirnya Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
• Pembayaran karena adanya STP, SKPKB, SKPKBT, SKP, SKK, dan Putusan Banding
Dalam pembayaran masa, batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atau Masa Pajak adalah tidak boleh melebihi 15 hari setelah saat terutangnya pajak
atau Masa pajak berakhir.

TATA CARA PENGISIAN SSP


NPWP, Nama WP dan Alamat
Diisi sesuai dengan:

1. NPWP diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP yang dimiliki Wajib
Pajak.

2. Nama WP diisi dengan Nama Wajib Pajak.

3. Alamat diisi sesuai dengan alamat yang tercantum dalam Surat Keterangan
Terdaftar (SKT).

Catatan : Bagi WP yang belum memiliki NPWP

1. NPWP diisi:

Untuk WP berbentuk Badan Usaha diisi dengan 01.000.000.0-XXX.000

a. Untuk WP Orang Pribadi diisi dengan 04.000.000.0-XXX.000

2. XXX diisi dengan Nomor Kode KPP Domisili pembayar pajak.

3. Nama dan Alamat diisi dengan lengkap sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) atau identitas lainnya yang sah.

Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran

1. Kode Akun Pajak diisi dengan angka Kode Akun Pajak yang tertera di atas tabel-
tabel berikut untuk setiap jenis pajak yang akan dibayar atau disetor.
2. Kode Jenis Setoran (KJS) diisi dengan angka dalam kolom “Kode Jenis Setoran”
untuk setiap jenis pajak yang akan dibayar atau disetor pada tabel berikut sesuai dengan
penjelasan dalam kolom “Keterangan”.

Catatan : Kedua kode tersebut harus diisi dengan benar dan lengkap agar kewajiban perpajakan
yang telah dibayar dapat diadministrasikan dengan tepat.

Uraian Pembayaran (untuk SSP Standar)


Diisi sesuai dengan uraian dalam kolom “Jenis Setoran” yang berkenaan dengan Kode MAP dan
Kode Jenis Setoran pada tabel berikut.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan,
dilengkapi dengan nama pembeli dan lokasi objek pajak.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan Bangunan yang disetor oleh yang
menyewakan, dilengkapi dengan nama penyewa dan lokasi objek sewa.

Masa Pajak
Diisi dengan memberi tanda silang pada salah satu kolom bulan untuk masa pajak yang dibayar
atau disetor.
Pembayaran atau setoran untuk lebih dari satu masa pajak dilakukan dengan menggunakan satu
SSP untuk setiap masa pajak.

Tahun Pajak
Diisi tahun terutangnya pajak.
Nomor Ketetapan
Diisi nomor ketetapan yang tercantum pada surat ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT) atau Surat
Tagihan Pajak (STP) hanya apabila SSP digunakan untuk membayar atau menyetor pajak yang
kurang dibayar/disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau STP.

Jumlah Pembayaran
Diisi dengan angka jumlah pajak yang dibayar atau disetor dalam rupiah penuh. Pembayaran
pajak dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat (bagi WP yang diwajibkan
melakukan pembayaran pajak dalam mata uang Dollar Amerika Serikat), diisi secara lengkap
sampai dengan sen.

Terbilang (untuk SSP Standar)


Diisi jumlah pajak yang dibayar atau disetor dengan huruf latin dan menggunakan bahasa
Indonesia.

Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran (untuk SSP Standar)


Diisi tanggal penerimaan pembayaran atau setoran oleh Kantor Penerima Pembayaran (Bank
Persepsi/Devisa Persepsi atau PT. Pos Indonesia), tanda tangan, dan nama jelas petugas penerima
pembayaran atau setoran, serta cap/stempel Kantor Penerima Pembayaran.
Wajib Pajak/Penyetor (untuk SSP Standar)
Diisi tempat dan tanggal pembayaran atau penyetoran, tanda tangan, dan nama jelas Wajib
Pajak/Penyetor serta stempel usaha.

Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran (untuk SSP Standar)


Diisi Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB) atau
Nomor Transaksi Pos (NTP) hanya oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah mengadakan
kerja sama Modul Penerimaan Negara (MPN) dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Pemberlakuan SSP Baru


SSP dan kode akun pajak sebagaimana terlampir ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009
sebagaimana dimaksud dalam

PEMBAYARAN PAJAK

1. Membayar sendiri pajak yang terutang:

a. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)


Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran.
Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak
yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur
pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran
pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha
dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:

 Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi


Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara
grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu
atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang
berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran
usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha

 Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain


Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha
misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena
Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Paj


Sampai dengan Rp 50.000.000,-
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 1
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 2
di atas Rp 500.000.000,- 3

b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang


terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang
diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal
17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp
50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari
tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-

c. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh
Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:

 Pemberi penghasilan;

 Pemberi kerja; atau

 Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.

Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak


diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).

 Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun


oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor
atau nilai lainnya.

 Pembayaran Pajak-pajak lainnya:

 Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat


Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran
PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-
bank tertentu.
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang
NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang
NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-

 Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas


dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda
meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan
cara lain seperti menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut
jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,-
adalah Rp3.000,-.
Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan
surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar Rp6.000,-.

2. Pemotongan / Pemungutan Pajak


Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang
dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan
ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut
adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak
badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan
lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:

a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak


pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan
pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai
pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya
maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk
sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan
yang diterimanya.

b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas
penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang
tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:

 Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;

 Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;

 Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya


produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;

 Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri


atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan,
perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;

 Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah

Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga
sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.

c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak


pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga,
royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan
Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23.
Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi
kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang
diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong
tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu
(jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib
Pajak berbentuk badan.

d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak


pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga,
royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk
memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan
tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.

e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))


Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan,
jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak
pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan,
penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam
penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2),
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4
ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan
(pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas
penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si
pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan
yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah
orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor
sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.

f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh


pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan
norma penghitungan khusus.
Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan
international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak,
gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan
investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan
Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15.
Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi
kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang
diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong
tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan
objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan
pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15
tersebut.

g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara
Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah
pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,-
setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila
barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya.
Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang
atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.

Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk


melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan
100%.

PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak
akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar
pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan
Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan
dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak
membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang
disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.

Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:


1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo
pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.

2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat
Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.

3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.

4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman


lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari
setelah penyitaan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap
Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.

KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

1) Kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan/atau PPnBM dapat dikembalikan dalam hal
terdapat:

a. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP;
b. Pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-
Undang KUP;
c. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
d. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
Undang-Undang KUP;
e. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D
Undang-Undang KUP;
f. Pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar
Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17E Undang-Undang KUP dan Pasal 16E Undang-Undang PPN;
g. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(4c) Undang-Undang PPN;
h. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
i. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
j. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
k. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat
Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
l. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat
Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP

2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang
pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f mengikuti
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan dan
penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar
negeri.

Kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal terdapat:

a. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan SKKP PBB;


b. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
c. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian
Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB;
d. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda
Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang PBB;
e. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
f. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
g. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat
Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
h. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat
Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP.

Tata cara permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB mengikuti ketentuan dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Bumi dan
Jenis-jenis surat ketetapan pajak (SKP)

Surat ketetapan pajak adalah surat keterangan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil,
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

FUNGSI SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)

Surat Ketetapan Pajak berfungsi sebagi berikut:

1. Saran untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban
materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.

2. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi administrasi perpajakan.

3. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.

4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.

5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

1. JENIS-JENIS KETETAPAN PAJAK

Surat Ketetpana Pajak (SKP) terdiri dari surat keterangan berupa Surat Keterangan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat
Ketetapan Pajak Nihil.

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan
oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun setelah pajak terutang apabila terdapat:

1. Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak
tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan
Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga
dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
2. Pengusah Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesui dengan masa
peneribitan faktur pajak dikenai sanksi.

3. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
pajak masukan diwajibkan membayar kembali.

4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak meliputi jenis pajak PPh, PPN,
PPnBM, dan PBB. Hal ini dalam rangka peningkatan pelayanan kepada wajib pajak dan
pengamanan penerimaan negara melalui integrasi pelayanan pengembalian kelebihan pajak dan
penghitungan kelebihan pembayaran pajak dengan utang pajak.

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.

1. Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal:

 Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.

 Dari hasil penelitian SPT, terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah
tulis dan atau salah hitung.

 WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga.

 Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN tetapi tidak


melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
 Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat
Faktur Pajak.

KETETAPAN PAJAK YANG DAPAT DIBETULKAN

Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, maka dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal
Pajak secara jabatan atau permohonan Wajib Pajak

Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan antara lain:

 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);

 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);

 Surat Tagihan Pajak (STP);

 Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;

 Surat Keputusan Keberatan;

 Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;

 Surat Keputusan Pengurangan dan Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar.

Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari:

1. Kesalahan tulis, antara lain: kesalahan yang dapat berupa penulisan nama, alamat,
NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, masa, atau tahun pajak, dan tanggal
jatuh tempo.

2. Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau
perkalian dan atau pembagian suatu bilangan.
3. Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase norma pnghitungan
penghasilan neto, penerapan sanksi administrasi, PTKP, penghitungan PPh dalam tahun
berjalan, dan pengkreditan pajak.

4. Pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih
harus dibayar.

PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK YANG TIDAK


BENAR

1. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat


mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.

2. Permohonan pengurangan atua pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar


harus memenuhi ketentuan:

3. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan
pajak..

4. Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terutang.

5. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan


atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal
permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberikan keputusan maka permohonan dianggap diterima.

1. PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI

2. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat


mengurangkan atau menghapus sanksi adminitrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.

3. Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi


ketentuan:

4. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang
jelas dan meyakinkan.
5. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) yang mengenakan sanksi administrasi tersebut.

6. Tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya STP, SKPKB atu
SKPKBT, kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.

7. Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan diajukan atas suatu STP,
suatu SKPKB atau suatu SKPKBT.

8. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan


atau penghapusan sanksi administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi keputusan, maka permohonan dianggap diterima.

1. PERMINTAAN PENJELASAN ATAU PEMBERIAN KETERANGAN


TAMBAHAN

2. Untuk keperluan pengajuan permohonan, WP dapat meminta penjelasan


keterangan tambahan, dan Kepala KPP wajib menjawabnya secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan.

Catatan:

WP harus tetap memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan di atas

2. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat


keputusan atas permohonan diterbitkan.

PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak
secara jabatan atau atas permohonan wajib pajak.
KESALAHAN ATAU KEKELIRUAN DALAM KETETAPAN PAJAK YANG
DAPAT DIBETULKAN

Ruang lingku pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari:

1. Kesalahan tulis antara lain: nama, alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak,
jenis pajak, masa, atau tahun pajak, dan tanggal jatuh tempo.

2. Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau
perkalian dan atau pembagian suatu bilangan.

3. Kekeliruan dalam penrapan tarif, penerapan persentase norma penghitungan


penghasilan neto, penerapan sanksi administrasi, PTKP, penghitungan PPh dalam tahun
berjalan, dan pengkreditan pajak.

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN PERMOHONAN WAJIB PAJAK

Jangka waktu penyelesaian permohonan pembetulan Wajib Pajak harus diselesaikan oleh
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan
pembetulan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap
dikabulkan.

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan WP tidak punya hutang pajak
lain.

You might also like