You are on page 1of 14

MAKALAH SILVIKULTUR HUTAN TANAMAN

KLASIFIKASI HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI)

Kelompok 2 : 1. Edwin Tri Kurniawan (201510320311084)

2. Fatan Ghani R. A (201510320311088)

3. Fandi Dwi Setiawan (201510320311096)

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
DAFTAR ISI

Table of Contents
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ i
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 3
1.1 Klasifikasi Hutan Tanaman Industri ....................................................................................... 3
1.2 Hutan Tanaman Industri Pertukangan ......................................................................................... 5
1.3 Hutan Tanaman Industri Serat (pulp)...................................................................................... 7
1.4 Hutan Tanaman Industri Kayu Bakar (Energi) ....................................................................... 9
BAB V
PENUTUP ............................................................................................................................................... 11
5.1 Kesimpulan.................................................................................................................................. 11
DAFTAR ISI............................................................................................................................................. 12

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini sumber daya hutan telah menjadi modal usaha dalam
pembangunan ekonomi nasional, yang memberikan dampak positif bagi peningkatan
devisa negara, yaitu berupa penyerapan tenaga kerja, mendorong perkembangan wilayah
dan perkembangan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian dari CENTER
FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH (CIFOR, 2004) Menyebutkan pada
tahun 1989 nilai ekspor kehutanan menyubang devisa lebih dari 28,7 % dari total ekspor
non-migas dan terus menurun hingga pada tahun 2003 menjadi 13,7% dari total ekspor
non-migas. Data dari departemen kehutanan menunjukan devisa sektor kehutanan pada
periode tahun 1992-1997 tercatat sebesar US$ 16 millyar atau sekitar 3,5 % dari PDB
nasional, sedangkan dalam kurun waktu 1997-2003 nilai devisa sektor kehutanan
mengalami penurunan menjadi hanya sebesar US$ 13,24 milliyar. Akibat pemanfaatan
hutan yang berlebihan dan perubahan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan
diluar sektor antara tahun 1997-2003 telah menyebabkan terjadinya degradasi sumber
daya hutan rata-rata sekitar 2,83 juta hektare per tahun (Dephut, 2005).
Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi di sektor industri sebagai reinvestasi
surplus dapat menimbulkan penambahan tenaga kerja yang berasal dari sektor kehutanan.
Dengan tendensi demikian maka peranan sektor industri akan lebih besar terhadap
perekonomian wilayah. Berhubungan dengan itu penulis kali ini akan membahas tentang
hutan tanaman industri pertukangan, hutan tanaman industri serat, dan hutan tanaman
industri kayu bakar.
Pembangunan hutan tanaman di Indonesia juga akan menyelamatkan hutan alam,
kawasan konservasi, menyelamatkan industri kehutanan sehingga dapat mempertahankan
atau menambah lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Hutan alam yang dapat
diselamatkan akan berfungsi sebagai sumber plasma nutfah, termasuk sumber daya
genetik pohon penghasil kayu pertukangan (Mansur, 2009).
Salah satu bentuk Hutan Tanaman Indonesia (HTI) yang memegang peranan
penting dalam menunjang pengembangan industri kayu serat adalah HTIkayu serat atau
HTI-Pulp. Pentingnya pembangunan HTI-Pulp karena besarnya ketergantungan jenis
industri pulp dan kertas kepada kayu serat. Pada saat ini lebih dari 90% bahan baku pulp
dan kertas berasal dari kayu, karena kayu mempunyai sifat-sifat unggul.
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan sumberdaya energi
(kayu bakar). Kebutuhan energi semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya taraf
kehidupan manusia dan meningkatnya populasi penduduk. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat konsumsi energi masyarakat dapat dijadikan ukuran kemakmuran suatu

1
bangsa. Semua menyadari kenaikan harga bahan bakar minyak sejak tahun 2005
berdampak negatif terhadap daya beli konsumen.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui sejarah tentang hutan tanaman industri (HTI)
Untuk mengetahui tentang kemajuan maupun perkembangan hutan tanaman industri
(HTI) di daerah indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Klasifikasi Hutan Tanaman Industri

Hutan tanaman industri (juga umum disingkat HTI) adalah sebidang luas daerah yang
sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan
menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi tanpa membebani hutan alami.
Hasil hutan tanaman industri berupa kayu bahan baku pulp dan kertas (jenis tanaman akasia)
serta kayu pertukangan (meranti). di Indonesia mulai dikembangkan sejak tahun 1990-an di
Sumatera Selatan dan Riau.

Menurut Kusmana dan Istomo (2008), dalam rumusan hasil Lokakarya Pembangunan
Timber Estate pada tanggal 29-31 Maret 1984 di Kampus Darmaga Fakultas Kehutanan IPB.
Istilah resmi Hutan Tanaman Industri (HTI) waktu itu belum banyak dikenal maka digunakan
istilah Timber Estate (perkebunan kayu). Tujuan pembangunan HTI adalah :

1. Menyediaan bahan baku industri perkayuan secara mantap dalam jumlah dan mutu
dari hutan tanaman disamping bahan baku yang berasal dari hutan alam.
2. Meningkatkan nilai tambah dari hutan dan meningkatkan penerimaan negara
3. Meningkatkan peranan Indonesia sebagai penghasil dan pengekspor kayu tropis
utama di dunia.
4. Mendorong pertumbuhan pembangunan daerah sesuai dengan kondisi dan potensi
masing-masing dalam rangka pembangunan nasional dan pembangunan wilayah.
5. Memperluas kesempatan usaha dan kesempatan kerja bagi semua golongan
masyarakat.
6. Mempercepat alih teknologi ke tangan bangsa Indonesia.
7. Meningkatkan peranan energi alternatif, khususnya yang berasal dari biomassa dalam
penyediaan energi nasional, baik untuk keperluan industri maupun rumah tangga.
8. Turut mengendalikan dan mengamankan keserasian lingkungan hidup.

Hutan tanaman industri (HTI) diarahkan sesuai jenis dan tujuan HTI yaitu :
(1) Kayu pertukangan untuk tujuan industri kayu penggergajian dan plywood dengan
arahan daur 10-30 tahun.
(2) Kayu serat dan pulp untuk tujuan industri pulp, kertas, rayon dll. dengan arahan
daur 8-20 tahun.
(3) Kayu energi untuk tujuan industri arang dan kayu bakar dengan arahan daur 5
tahun.

Berdasarkan hasil lokakarya tersebut lokasi pembangunan HTI diarahkan pada (1) Tanah
kosong dan padang alang-alang. (2) Semak belukar dan (3) hutan rawang dan hutan tidak
produktif.

Hal-hal penting yang menjadi kendala dalam pencapaian target dan permasalahan yang
muncul seputar pembangunan HTI adalah :

3
1. Pembangunan HTI yang mengandalkan murni dana investor tidak menarik karena
pengembaliam modal yang lama, banyak diliputi ketidakpastian baik politik, sosial dan
ekonomi. Dengan skema penyertaan dana pemerintah (terutama dana DR ) sering memberi
peluang untuk para pengusaha spekulan.
2. Masalah ketidakpastian kawasan areal calon HTI yang umumnya sudah diokupasi
masyarakat dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan di lapangan.
3. Kriteria tanah kosong dan padang alang-alang yang memberi peluang keberhasilan
pembangunan HTI sangat rendah karena tanahnya yang tidak subur dan biaya produksi
tinggi.
Kriteria hutan tidak produktif yang multitafsir dan konversi hutan alam menjadi HTI
dengan adanya IPK semakin memperparah degradasi hutan alam yang tidak diimbangi
keberhasilan/ peningkatan produktivitas HTI. Dampak keberhasilan HTI terhadap aspek
lingkungan pada dasarnya jelas memberikan manfaat yang sangat positif. Manfaat positif
yang dapat diperoleh pada aspek lingkungan pembangunan HTI adalah :
1.Meningkatkan produktivitas dan kualitas hutan jika HTI dibangun pada lahan yang tidak
produktif (tanah kosong, padang alang-alang atau lahan kritis lainnya).
2. Manjaga keseimbangan tata air dan meningkatkan serapan air, jika HTI dibangun pada
lahan kritis dengan curah hujan tinggi yang sering dilanda banjir, erosi dan longsor.
3. Dalam kaitannya dengan pemanasan global satu-satunya komponen ekosistem di bumi
yang dapat menyerap CO2 cukup tinggi dan menghasilkan O2 adalah pohon atau hutan cepat
tumbuh.

HTI dan Keseimbangan Air


Pembangunan HTI dapat menjaga keseimbangan air jika pembangunan HTI dilaksanakan
secara bijaksana dengan memperhatikan :

(1) Jenis pohon yang ditanam disesuaikan antara tingkat transpirasi jenis tersebut dengan
jumlah curah hujan areal penanaman. Misalnya jika jenis yang ditanam mempunyai
evapotranpirasi sebesar 3000 mm/th, maka jenis tersebut hanya dapat ditanam pada
daerah dengan curah hujan > 3000 mm/th, karena jika ditanam pada daerah dengan
curah hujan < 3000 mm/th maka daerah tersebut akan mengalami defisit air.
(2) Penanaman HTI sebaiknya menciptakan strata tajuk, paling tidak ada dua strata, yaitu
strata kanopi pohon dan strata tumbuhan penutup tanah.

Air simpanan adalah sumber untuk aliran air dalam jangka panjang, sebagain keluar melalui
mata air dan menambah aliran air. Hutan dapat pula mengurangi air simpanan melalui
evapotranspirasi, sehingga hutan mempunyai dua pengaruh yang berlawanan terhadap
besarnya aliran dasar. Hutan dapat meningkatkan suplesi air, hutan mengurangi air simpanan
karena evapotranspirasi, hal ini sangat terasa pada musim kemarau Jika hutan produksi alam
dikonversi menjadi HTI, maka pengaruh konversi hutan terhadap aliran air ditentukan oleh
perbandingan besarnya evapotranspirasi dan suplesi air simpanan. Jika evapotranspirasi dan
suplesi air simpanan lebih kecil pada penggunaan baru maka aliran air akan naik. Pada
konversi hutan alam menjadi HTI pengaruh yang nyata adalah perubahan dalam besarnya laju
evapotranspirasi sedangkan laju suplesi air simpanan tidak berubah.

4
1.2 Hutan Tanaman Industri Pertukangan

Salah satu program revitalisasi kehutanan adalah pembangunan dan pengembangan


hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Pada periode 2005-2009 pemerintah menargetkan
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 5 juta ha dan Hutan Rakyat seluas 2 juta
hektar. Diperkirakan kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m3 per tahun, sementara
itu kemampuan hutan alam dan hutan tanaman diperkirakan sekitar 45,8 juta m3 per tahun
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2007), dengan demikian terjadi defisit kebutuhan kayu
sebesar 11,3 juta m3 per tahun. Pada tahun 2014 hutan tanaman diharapkan sudah mampu
menyediakan sebesar 75 % kebutuhan bahan baku untuk pulp dan kayu pertukangan
(Roadmap Revitalisasi Industri Kehutanan, 2007).
Berdasarkan Renstra Departemen Kehutanan 2005-2009 (DEPHUT, 2005) realisasi
pembangunan HTI sampai tahun 2004 baru seluas 3,12 juta ha sedangkan ijin yang telah di
keluarkan seluas 5,4 juta ha. Menurut Statistik Departemen Kehutanan (Dephut, 2007) dalam
periode 1989-2006 realisasi pembangunan HTI kayu pertukangan (1.301.491,67 ha) lebih
rendah dibandingkan dengan realisasi pembangunan HTI kayu pulp (1.875.804,80 ha).
Khusus untuk hutan tanaman penghasil kayu pertukangan realisasi luas tanaman sampai
tahun 2006 sebesar 929.800 ha sedangkan alokasi lahan yang dicadangkan seluas 3.700.708
ha (Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman, 2006).
Beberapa faktor penyebab lambatnya pembangunan hutan tanaman adalah biaya yang
mahal, waktu investasi yang relatif lama dan resiko yang tinggi misalnya pencurian kayu
(Mansur, 2009). Penyebab lainnya dikemukakan oleh Iskandar (2009) yaitu regulasi yang
panjang, ijin HTI tidak bankable, berbeda dengan HGU yang bankable, banyak pungutan
illegal, persaingan bisnis. Karena itu perlu dicari solusi agar percepatan pembangunan HTI,
HTR dan HR khususnya penghasil kayu pertukangan dapat dicapai. Dukungan teknologi
penanaman dan iklim usaha yang kondusif perlu juga dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Iskandar (2009) juga mengusulkan trobosan dalam percepatan pembangunan HTI
yaitu proses mendapatkan ijin agar mengikuti mekanisme HGU dengan approval Menteri
Kehutanan, berbasis lahan bukan komoditas (kayu), konflik dengan masyarakat dituntaskan
pada proses mendapatkan ijin.
Menurut Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025 (Badan
Litbang Kehutanan, 2009), tantangan utama dalam pembangunan hutan tanaman adalah
peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi kehutanan. Untuk hutan tanaman penghasil
kayu pertukangan atau construction wood ditujukan untuk mendukung kebutuhan bahan
baku industri perkayuan antara lain kayu lapis dan kayu gergajian. Adapun target akhir
peningkatan produktivitas hutan tanaman khususnya penghasil kayu pertukangan untuk jenis
unggulan daur pendek adalah 40 m3/ha/th, daur menengah 30 m3ha/th, daur panjang 20
m3/ha/th. Untuk jenis alternatif daur pendek 20 m3/ha/th dan daur menengah 15 m3/ha/th.
Salah satu Visi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman adalah
menyediakan dan meningkatkan penguasaan IPTEK dibidang HTI dan HR (P3HT, 2005).
Para peneliti P3HT bekerjasama dengan UPT terkait akan melaksanakan serangkaian
penelitian diantaranya yang menunjang Rencana Penelitian Intergratif (RPI) Pengelolaan
Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu
dilakukan penelitian integratif meliputi ;

5
1. teknologi perbenihan
2. teknik silvikultur intensif dan perlindungan hutan
3. pengaturan hasil yang berkelanjutan
4. dampak hutan tanaman terhadap lingkungan
5. pola agroforestry pada HTI, HT, HR
6. kajian sosial ekonomi dan kebijakan pembangunan hutan tanaman
7. pembangunan demplot hutan tanaman.
Peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi hutan tanaman penghasil kayu
pertukangan diarahkan pada hutan tanaman campuran sebagai contoh campuran antara jenis
pohon, campuran daur tebang dan hutan mozaik. Keuntungan hutan campuran antara lain
ramah lingkungan, fleksibilitas pasar yang lebih luas, mengurangi resiko serangan hama dan
penyakit. Menurut Manan (1997) sebaiknya pembangunan HTI diarahkan pada tanah kosong,
padang alang-alang dan semak belukar. Sedapat mungkin menggunakan jenis setempat bukan
jenis asing. Tidak menggunakan api untuk penyiapan lahan, sebab sangat merugikan
kesuburan tanah disamping itu juga hilangnya unsur-unsur hara. Keberhasilan pembangunan
hutan tanaman secara teknis antara lain dipengaruhi oleh penggunaan benih yang unggul
yang diperoleh dari hasil pemuliaan pohon, kondisi lingkungan yang sesuai dengan
persyaratan tumbuh tanaman, manipulasi lingkungan dan pencegahan hama & penyakit
secara terpadu (Soekotjo dan Naim, 2006). Selain itu kegiatan pemeliharaan hutan tanaman
memegang peranan penting dalam keberhasilan penanaman. Effendi (2004) mengemukakan
bahwa pemeliharaan intensif merupakan suatu keharusan untuk memperoleh produktivitas
yang tinggi.
Rendahnya minat untuk berinvestasi dalam bidang kehutanan khususnya HTI kayu
pertukangan disebabkan berbagai faktor. Mansur (2009) mengemukakan beberapa dari faktor
tersebut yaitu:
(a) kurangnya sosialisasi terkait HTI Kayu Pertukangan
(b) informasi pasar yang belum tersedia dan
(c) kurangnya sistem penunjang (support system) seperti tempat berkonsultasi dan klinik
hutan tanaman.
Upaya peningkatan produktivitas tegakan dan kualitas kayu akan mempertimbangkan
kemungkinan serangan hama, penyakit dan gulma; dampak negatif dan menurunnya kualitas
lingkungan dan biodiversitas serta penerapan pola agroforestry di hutan tanaman. Hama dan
penyakit yang menyerang hutan tanaman cukup banyak. Anggraeni (2006) melaporkan
berbagai hama dan penyakit yang menyerang tanaman jati, pinus, sengon, mahoni, mangium.
Berbagai upaya pengendalian juga telah dilakukan. Kegiatan penelitian terkait dengan hama,
penyakit, dan gulma akan dilakukan untuk mencegah serangan pada hutan tanaman
khususnya penghasil kayu pertukangan.
Hutan tanaman yang ditanam dalam skala luas memiliki dampak terhadap lingkungan
seperti berubahnya biodiversitas, timbulnya jenis invasif, berdampak terhadap tata air dan
kesuburan tanah. Penelitian terkait dampak pembangunan hutan tanaman terhadap
lingkungan diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk menghasilkan dampak yang
positif terhadap kualitas lingkungan (Wibowo, 2006). Pola agroforestry atau tumpang sari
telah lama dikenal di hutan tanaman jati. Arnold (1991) mengemukakan bahwa PHBM dapat
menumbuh kembangkan sence of belonging masyarakat terhadap fungsi dan manfaat sumber

6
daya hutan yang lebih optimal dan proporsional. Pola ini juga diharapkan dapat mengurangi
resiko kebakaran hutan dan pemeliharaan tanaman kehutanan.
Pengelompokan jenis terdiri dari jenis pohon unggulan yaitu jenis-jenis pohon yang
saat ini telah diusahakan secara intensif oleh para pengusaha hutan dan masyarakat dan telah
memiliki pasar yang jelas, sedangkan jenis alternatif adalah jenis-jenis pohon yang relatif
belum diusahakan secara luas namun mempunyai prospek untuk dikembangkan atau jenis-
jenis pohon yang baru ditemukan dan mempunyai peluang untuk dibudidayakan secara
komersial. Jenis pohon unggulan dikelompokkan kedalam :

1. daur pendek (< 10 tahun) antara lain sengon (Paraserianthes falcataria)

2. daur menengah (10-30 tahun) : tembesu (Fagraea fragrans), meranti merah (Shorea
leprosula, S. parvifolia, S.johorensis, S.smithiana), sungkai (Peronema canescens), daur
panjang (> 30 tahun): merbau (Intsia bijuga). Jenis pohon alternatif dikelompokkan dalam
dua daur yaitu :

3. daur pendek ( <10 tahun) : nyawai/kondang (Ficus variegata), kayu bawang (Protium
javanicum), bambang lanang dan 4. daur menengah (10-30 tahun): gelam (Melaleuca sp.).

Jenis pohon yang akan diteliti berbeda untuk setiap provinsi dan UPT sesuai dengan
fokus dan unggulan masing-masing daerah. Khusus untuk teknik silvikultur diupayakan
menerapkan teknik dengan biaya yang murah dan cepat diantaranya penanaman biji secara
langsung atau direct seeding dan pemakaian mulsa pengendali gulma. Kajian
pembangunan hutan tanaman secara mekanis sepanjang memungkinkan dan biaya yang
relatif murah perlu dilakukan terutama di luar Jawa dimana tenaga kerja terbatas dan lokasi
penanaman jauh dari pemukiman. Pembangunan hutan tanaman memerlukan benih yang
unggul yang berasal dari areal sumber benih seperti kebun benih, kebun pangkas dll. Lahan-
lahan bekas tambang yang saat ini cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah setelah
dilakukan pembenahan lahan memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lokasi kebun
benih. Untuk itu perlu kerjasama dengan perusahaan tambang melalui kontrak karya dalam
periode puluhan tahun. Dalam jangka panjang kebun benih dapat memberikan pendapatan
bagi masyarakat tanpa harus menebang pohonnya (Mansur, 2009).

1.3 Hutan Tanaman Industri Serat (pulp)

Dalam sistem penyelenggaraan kehutanan di Indonesia, pengelolaan hutan merupakan


bagian dari pengurusan hutan. Salah satu tujuan pengelolaan hutan adalah pengelolaan hutan
tanaman untuk menghasilkan kayu serat/pulp yang ditetapkan Pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan
baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Hal ini karena persediaan pasokan
7
bahan baku dari hutan alam produksi semakin menurun. Tahun 2006 produksi kayu bulat
Indonesia sebesar 21,8 juta m3, hanya sebanyak 5,5 juta m3 yang berasal dari hutan alam
dan sisanya dari hutan tanaman sebesar 11,5 juta m3, Perhutani 0,3 juta m3, Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) 3,4 juta m3 dan dari kayu ijin sah lainnya 1,1 juta m3, sedangkan
kebutuhan bahan baku kayu industri perkayuan nasional pada tahun 2006 sebesar 39,2 juta
m3 kayu bulat (Simangunsong et al., 2008).
Salah satu bentuk HTI yang saat ini memegang peranan penting dalam menunjang
pengembangan industri kayu serat domestik adalah HTI Kayu serat atau HTI Pulp.
Pentingnya pembangunan HTI Pulp, antara lain, dapat dilihat dari kenyataan besarnya
ketergantungan jenis industri ini kepada kayu serat. Pada saat ini lebih dari 90% bahan baku
pulp dan kertas berasal dari kayu, karena kayu mempunyai sifat unggul, yaitu: rendemen
yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan kekuatan pulp dan kertas yang
dihasilkan tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007). Indonesia menempati peringkat 9 dunia
dalam produksi pulp sebesar 5,5 juta ton pulp per tahun dan peringkat 11 dunia industri
kertas dengan kapasitas produksi sekitar 8,2 juta ton kertas per tahun (Ditjen Bina Produksi
Kehutanan, 2009). Jumlah industri pulp dan kertas di Indonesia sebanyak 13 unit. Sebanyak
6 unit berada di Pulau Sumatera dan merupakan perusahaan besar dengan kapasitas
terpasang seluruhnya sekitar 6,5 juta ton pulp per tahun, kebutuhan bahan baku untuk industri
pulp dengan kapasitas di atas memerlukan kayu sekitar 26 juta m3 per tahun. Sementara
jumlah IUPHHKHTI tercatat 251 unit dengan luas tanaman yang telah terbangun sekitar 4,3
juta hektar sampai tahun 2008 (Ditjen Bina Produksi Kehutanan, 2009). Dalam pengelolaan
hutan tanaman penghasil kayu pulp perlu diterapkan prinsip pengelolaan hutan lestari ( PHL)
atau Sustainable forest management (SFM), yang mengandung arti bahwa dari unit
pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pulp, selain diperoleh kayu untuk bahan baku
pulp dengan volume (biomassa) dan kualitas yang maksimal serta relatif sama setiap tahun
(fungsi produksi), dapat pula diperoleh fungsi ekologi dan fungsi sosial yang memenuhi
standar minimal yang ditetapkan. Oleh karena itu, pengelolaan HTI-Pulp ditujukan untuk
mendapatkan tegakan hutan kayu serat yang sesuai dengan peruntukan, yaitu yang memiliki
ciri-ciri: produksi (riap) biomassa tegakan yang tinggi, daur pendek, dan mempunyai
sifatsifat (kimia dan fisika) kayu yang sesuai dengan persyaratan untuk bahan baku industri
pulp (panjang serat, berat jenis, kandungan zat ekstraktif, dll). Selain itu, tegakan hutan yang
terbentuk diharapkan bersifat ramah lingkungan sehingga disamping mampu menghasilkan
bahan baku yang diinginkan secara optimal, juga dapat berperan dalam mengendalikan erosi
tanah, mengatur tata air, memelihara kesuburan tanah dan sampai batas tertentu membantu
penyerapan karbon dari udara. Kualitas tegakan hutan HTI-Pulp dengan ciri-ciri di atas
dipengaruhi oleh faktor-faktor: ekologi (lingkungan), sifat genetik pohon, dan tindakan
manajemen yaitu teknik silvikultur yang diterapkan.

Fungsi produksi terutama ditekankan pada penyusunan Rencana Pengelolaan


Kelestarian Hutan (RPKH), di dalamnya menyajikan rencana pengaturan hasil selama daur
yang disusun berdasarkan kondisi potensi hutan dan trend pertumbuhan tegakan, serta
merupakan bukti kuantitatif bahwa pemanenan (eksploitasi) di atur berdasarkan azas
kelestarian. Fungsi ekologis terutama ditekankan kepada kemampuan hutan dalam
mengendalikan menurunnya kualitas lahan dan kesuburan tanah, fluktuasi debit air, erosi

8
tanah, hama dan penyakit tanaman dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity).
Fungsi sosial mencakup manfaat ekonomi dan budaya bagi masyarakat yang ditekankan
kepada kemampuan hutan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar
hutan serta memelihara nilai-nilai budaya masyarakat. Keseluruhan aspek yang berkenaan
dengan tujuan pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pulp secara berkelanjutan berikut
fungsi produksi, fungsi ekologis dan fungsi sosial perlu dikaji secara ilmiah melalui
penelitian yang terintegratif (terencana, sistematis, dan berkelanjutan) agar diperoleh
informasi dan data untuk penyusunan kebijakan dan rencana pengelolaan hutan tanaman
penghasil kayu pulp di Indonesia dengan harapan produktivitas dapat meningkat baik untuk
jenis unggulan maupun jenis alternatif.

1.4 Hutan Tanaman Industri Kayu Bakar (Energi)

Indonesia dengan berbagai keragaman dan kekayaan sumberdaya alam, seyogyanya


dapat memenuhi kebutuhan energi bagi seluruh kebutuhan masyarakat. Tak dapat dipungkiri
lagi, Indonesia sudah sedemikian banyak mengeksploitasi berbagai barang tambang yang
jumlahnya terbatas. Berbagai bahan tambang seperti minyak bumi, gas bumi, batu bara dan
sebagainya memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan energi di
Indonesia. Akan tetapi keberadaan sumberdaya alam tersebut tentu tidak dapat dijamin
pemenuhannya dalam jangka waktu yang panjang. Demikian pula halnya dengan
keberadaannya pada tataran kebutuhan global juga mengalami rentang waktu yang terbatas.
Kayu bakar termasuk energi yang paling konvensional dan untuk memanfaatkannya
tidak memerlukan teknologi pengolahan. Walaupun produksi dan konsumsi kayu bakar
cukup tinggi, namun ternyata sebagian besar bukan berasal kawasan hutan. Kayu bakar yang
berasal dari kawasan hutan hanya sekitar 6 % yaitu berupa rencek, limbah tebangan dan hasil
tanaman sela pada hutan produksi; sedangkan lebih dari 65 % berasal dari luar kawasan
sebesar ditanam hasil kegiatan penghijauan pada lahan milik, lahan pekarangan, dan lahan
umum (Rostiwati, Heryati dan Bustomi, 2007).

Pembangunan hutan tanaman penghasil kayu energi adalah salah satu upaya
pemanfaatan sumber energi secara lestari, yang pada sisi lain akan mempunyai implikasi
terhadap perpanjangan waktu habisnya sumber energi fosil (Sudradjat, 1983), selanjutnya
disebutkan pula bahwa suplai sumber energi asal biomassa sebagai bahan subsitusi alternatif
pengganti minyak bumi pada waktu ini masih dilakukan secara tradisional yaitu diusahakan
sendiri-sendiri dan asal dapat memenuhi kebutuhan masing-masing kepala keluarga.
Beberapa ahli menyatakan bahwa perkebunan kayu energi adalah suatu konsep lama tetapi
mungkin baru dapat dikembangkan pada abad 21. Hal tersebut disebabkan banyak
permasalahan baik teknis maupun non teknis yang belum sepenuhnya dikuasai. Oleh karena
perangkat lunak dan keras teknologi sumberdaya energi asal tanaman mudah dikembangkan
dan dikuasai (Soerawidjaja, 2006).

Dengan demikian, teknologi silvikultur hutan tanaman kayu energi mutlak diperlukan
untuk program subsitusi sumberdaya energi alternatif yang dicanangkan oleh pemerintah
akhir-akhir ini.

9
10
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hutan tanaman industri (juga umum disingkat HTI) adalah sebidang luas daerah yang
sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan
menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi tanpa membebani hutan alami.

Hutan tanaman industri (HTI) terbagi 3 yaitu, hutan tanaman industri kayu bakar,
hutan tanaman industri serat, hutan tanaman industri pertukangan. Dan memiliki fungsi
tersendiri.

11
DAFTAR ISI

CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH, 2004. Generating Economic


Growth. Rural Liverlihood and Environmental Benefit From Indonesia’s. Forest.

Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Strategis Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.


Jakarta

Mansur, I. 2009. Pembahasan RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan
di Hotel Ibis Jakarta tanggal 30 Oktober 2009.

http://forester-untad.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-dan-tujuan-hutan-tanaman.html

Rostiwati T, Y.Heryati, dan S.Bustomi, 2007. Review hasil litbang “Kayu Energi dan
Turunannya”. Pusat Litbang Hutan Tanaman.Bogor. ISSN:978979-3819-29-7.

Sudradjat, R. 1983. Beberapa Permasalahan Pembangunan Kebun Energi untuk Penghara


Industri dalam Proceeding Diskusi Industri Perkayuan, 10 – 11 Oktober, Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan: 95 – 98.

12

You might also like