You are on page 1of 300

STANDAR PROSEDUR

OPERASIONAL

INSTALASI ANESTESI RUMAH SAKIT


UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2014

PELAYANAN ANESTESI
1
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


Haji Adam Malik Medan
PANDUAN PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Menerangkan Pedoman dalam pemberian pelayanan Anestesi di Rumah


Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

2. RUANG LINGKUP: Pelayanan medis dan operasional Anestesi dan Terapi intensif
di Indonesia

3. KEBIJAKAN : Mengatur Pedoman Pelayanan Medis dan Prosedur Operasional,


berikut penanggung jawab masing-masing kegiatan pelayanan anestesi.

4. URAIAN UMUM :
Pedoman Pelayanan Anestesi dan Terapi Intensif meliputi
1. Pedoman Pelayanan Medis :
a. Pelayanan dasar Anestesi :
 Persiapan prabedah
 Penatalaksanaan selama pembedahan
 Penatalakanaan Pasca Bedah
 Terapi Cairan dan tranfusi darah
 Penatalaksanaan Nyeri
 Resusitasi.
b. Pelayanan anestesi pada :
 Obstetrik
 Pediatrik
 Geriatrik
 Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT)
 Trauma dan Luka Bakar
 Bedah jantung
 Bedah Toraks dan vaskuler
 Bedah ortopedi
 Bedah Onkologi
 Bedah Digestif
 Bedah Syaraf

2
 Bedah Rawat Jalan
 Tindakan Anestesi diluar kamar bedah
 Bedah Urologi
 Laparaskopi.
c. Pelayanan anestesi pada pasien dengan penyakit penyerta:
 Hipertensi
 Diabetes Mellitus
 CKD
 Penyakit jantung koroner
 Kelainan jantung bawaan
 PPOK
 Kelainan endokrin.
2. Prosedur Operasional :
 Tatacara konsul pasien
 Prosedur pelayanan Anestesi
 Penanggung jawab dari masing-masing kegiatan pelayanan
 Tatalaksana penentuan hari pembedahan,Tatalaksana pembatalan
pembedahan
 Tatalaksana konsultasi dengan bagian lain
 Tatacara serah terima pasien dari setiap peralihan tanggung jawab.

3
PANDUAN PERSIAPAN PRA-BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSIAPAN PRA-BEDAH


HAJI ADAM MALIK MEDAN
ELEKTIF:KUNJUNGAN PREOPERATIF 2
HARI SEBELUM OPERASI (H-2)
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


Haji Adam Malik Medan
PANDUAN PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Mempersiapkan pasien pada kondisi fisiologis dan mental yang optimal untuk
menurunkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas yang dapat diakibatkan oleh
tindakan bedah dan anestesi

4
2. RUANG LINGKUP :
- Konsul dilakukan H-2
- Indikasi kunjungan pre-operatif H-2 dan H-1
- Melakukan kunjungan pre-operatif H-2 untuk mengevaluasi kelayakan operasi pada
pasien.

3. KEBIJAKAN: Penjadwalan operasi hanya dilakukan pada pasien yang pada kunjungan
pre-operatif 2 hari sebelum operasi (H-2)dinilai sudah optimal untuk dilakukan tindakan
anestesi.

4. INDIKASI:
Semua pasien yang direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan anestesi
harus melalui konsul H-2 dan H-1

5. PROSEDUR
5.1. Semua pasien yang direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan
anestesi harus melalui konsul H-2

5.2. Saat menerima konsul H-2, dokter anestesi harus mempelajari rekam medis pasien
terlebih dahulu
5.3. Kunjungan pre-opratif dimulai dengan memperkenalkan diri pemeriksa pada pasien
5.4. Evaluasi rutin pada saat kunjungan pre-operatif adalah sebagai berikut:
5.4.1 Identifikasi penderita
5.4.2 Konfirmasi tindakan bedah yang akan dilakukan
5.4.3 Anamnesa:
5.4.3.1 Masalah medis saat ini
5.4.3.2 Penyakit penyerta lainnya
5.4.3.3 Riwayat pengobatan: obat-obatan yang diminum saat ini, intoleransi/
alergi obat
5.4.3.4 Kebiasaan/ habituasi, seperti: merokok/ minum alcohol, adiksi obat-
obatan
5.4.3.5 Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
5.4.3.6 Riwayat penyakit dalam keluarga
5.4.3.7 Tinjauan sistem organ
- Keseluruhan (termasuk level aktivitas fisik),
- Sistem respirasi
- Kardiovaskular
- Gastrointestinal
- Renal
- Hematologi
- Endokrin
- Muskuloskeletal
- Psikiatrik
- Dermatologi

5
5.4.3.8 Pemeriksaan Fisik
5.4.3.8.1.1.1 Keadaan Umum
5.4.3.8.1.1.2 Tanda vital: Tekanan darah, Laju nadi, Laju nafas, SpO2,
Suhu
5.4.3.8.1.1.3 Jalan nafas (look, listen, feel)
5.4.3.8.1.1.4 Kardiovaskular (inspeksi, palpasi, perkusi, auskutasi)
5.4.3.8.1.1.5 Paru-paru (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
5.4.3.8.1.1.6 Sistem digestif (inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi)
5.4.3.8.1.1.7 Ekstremitas
5.4.3.8.1.1.8 Pemeriksaan neurologis
5.4.3.9 Pemeriksaan Laboratorium/ Penunjang:
Pedoman untuk pemeriksaan rutin penunjang pra-anestesi adalah
sebagai berikut:

ANAK 0-18 TAHUN


PEMERIKSAAN REKOMENDASI PENJELASAN
Darah tepi Ya Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin ( Hb, Ht,
leukosit, hitung jenis, trombosit) dilakukan pada
anak usia<5 tahun, sedangkan pada anak usia > 5
tahun dilakukan atas indikasi, yaitu: pada pasien
yang diduga menderita anemia, pasien dengan
penyakit jantung, ginjal, saluran nafas atau infeksi,
serta tergantung jenis dan derajat prosedur operasi.
Kimia Darah TIDAK Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila terdapat
resiko kelainan ginjal, hati, endokrin, terapi
perioperatif, dan pemakaian obat alternative.

Kadar Ureum dan TIDAK Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan rutin
Elektrolit pada pasien < 50 tahun, akan tetapi harus diambil
pada keadaan berikut:
1. Jika terdapat diare, muntah, atau penyakit
metabolic
2. Ada penyakit ginjal atau hepar, diabetes,
atau status nutrisi abnormal
3. Pada pasien yang mendapat terapi diuretic,
antihipertensi, steroid, atau obat
hipoglikemik

6
Hanya diperlukan pada:
Tes Fungsi Lever TIDAK 1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal atau penyakit
metabolik
3. Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah
banyak (> 80gram/ hari)

Diperlukan pada pasien dengan penyakit diabetes


atau penyakit vascular, atau sedang mendapat
Konsentrasi Gula TIDAK
terapi kortikosteroid
darah

AGD diperlukan pada semua pasien dengan


dispneu saat istirahat dan pada pasien dengan
Analisa Gas TIDAK
rencana torakotomi elektif
Darah

Hemostasis YA Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien


dengan riwayat atau kondisi klinis, mengarah pada
kelainan koagulasi, akan menjalani operasi yang
dapat menimbulkan gangguan koagulasi, ketika
dibutuhkan hemostasis yang adekuat (seperti
tonsilektomi), dan kemungkinan perdarahan
pascabedah.
Urinalisis TIDAK Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi
yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan
pasien dengan gejala infeksi saluran kemih
Foto Toraks TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi
EKG TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi
Fungsi Paru TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi

7
DEWASA > 18 TAHUN
PEMERIKSAAN REKOMENDASI PENJELASAN
Darah tepi TIDAK Pemeriksaan darah tepi lengkap dilakukan pada
pasien dengan penyakit hati, pasien dalam
kemoterapi, diduga menderita anemia oleh karena
sebab apapun (perdarahan, defisiensi,, dll) dan
kelainan darah lainnya, serta tergantung jenis dan
derajat prosedur operasi.
Kimia Darah TIDAK Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila terdapat
resiko kelainan ginjal, hati, endokrin, terapi
perioperatif, dan pemakaian obat alternative.

Kadar Ureum dan TIDAK Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan rutin
Elektrolit pada pasien < 50 tahun, akan tetapi harus diambil
pada keadaan berikut:
1 Jika terdapat diare, muntah, atau penyakit
metabolik
2 Ada penyakit ginjal atau hepar, diabetes,
atau status nutrisi abnormal
3 Pada pasien yang mendapat terapi diuretik,
antihipertensi, steroid, atau obat
hipoglikemik

Hanya diperlukan pada:


Tes Fungsi Lever TIDAK
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal atau penyakit
metabolic
3. Riwayat konsumsi alcohol dalam jumlah
banyak (> 80gram/ hari)
4. Tumor dengan kemungkinan metastase ke
hati

Diperlukan pada pasien dengan penyakit diabetes,


penyakit hati, atau penyakit vascular, atau sedang

8
Konsentrasi Gula TIDAK mendapat terapi kortikosteroid
darah
AGD diperlukan pada semua pasien dengan
dispneu saat istirahat, penyakit paru sedang-berat,
Analisa Gas TIDAK sakit kritis/ sepsis, dan pada pasien dengan rencana
Darah torakotomi elektif

Hemostasis TIDAK Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien


dengan riwayat kelainan koagulasi, atau riwayat
terbaru yang mengarah pada kelainankoagulasi,
atau sedang memakai obat antikoagulan, pasien
yang memerlukan antikoagulan pascabedah, pasien
yang memiliki kelainan hati dan ginjal.
Urinalisis TIDAK Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi
yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan
pasien dengan gejala infeksi saluran kemih
Foto Toraks TIDAK Pemeriksaan foto toraks hanya dilakukan pada usia
> 60 tahun, pasien dengan tanda penyakit jantung
dan atau paru, infeksi saluran nafas, terdapat
kemungkinan metastasis dari karsinoma, sebelum
operasi toraks.
EKG TIDAK Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien dengan
diabetes mellitus, hipertensi, riwayat nyeri dada,
gagal jantung, riwayat merokok,penyakit vascular
perifer, dan obesitas, yang tidak memiliki hasil
EKG dalam 1 tahun terakhir tanpa memperhatikan
usia. Selain itu EKG dilakukan pada pasien dengan
gejala kardiovaskular periodik atau tanda dan
gejala penyakit jantung tidak stabil, dan semua
pasien dengan usia > 40 tahun.

Echocardiografi TIDAK Dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung


dengan kelainan EKG yang bermakna

9
Fungsi Paru TIDAK Paseien dengan penyakit paru sedang sampai berat,
seperti; PPOK, bronkiektasis, penyakit paru
retriksi; semua pasien yang akan menjalani bedah
toraks/ reseksi paru, dan semua pasien usia lanjut.

5.4.3.10 Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi dari bagian lain


yang diperlukan untuk melakukan tindakan anestesi
5.4.3.11 Klasifikasi ASA
5.4.3.12 Apabila dari hasil pemeriksaan H-2 didapatkan keadaan pasien yang
belum optimal atau pemeriksaan laboratorium/penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi tindakan anestesi yang akan
dilakukan, maka pemeriksa harus terlebih dahulu melakukan tindakan
koreksi ataupun pemeriksaan pelengkap lainnya dan kalau diperlukan
dilakukan konsultasi ke bagian lain untuk mengoptimalkan keadaan
pasien.
5.4.3.13 Untuk kasus-kasus tertentu Bagian anestesi dapat meminta untuk
dilakukan Joint Conference terlebih dahulu.
5.4.3.14 Pasien yang memerlukan optimalisasi atau pemeriksaan lainnya
disarankan untuk konsul ulang H-2.
5.4.3.15 Penanggung jawab konsul H-2 harus selalu mengikuti perkembangan
pasien selama periode optimalisasi dan harus menyerahterimakan
pasiennya bila ia tidak lagi bertugas H-2 di bagian tersebut
5.4.3.16 Pasien yang dinilai sudah optimal disetujui untuk dijadwalkan untuk
kemudian dilakukan pemeriksaan ulang H-1
5.4.3.17 Semua hasil pameriksaan pre-operatif harus dibuat kedalam status
anestesi pre-operatif.
6 UNIT TERKAIT: Dokter spesialis anestesi, dan bagian lain yang terkait di
lingkungan rumah sakit
7 DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, Status anestesi pre-operatif, surat izin operasi,
surat izin anestesi

10
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSIAPAN PRA-BEDAH ELEKTIF:
HAJI ADAM MALIK MEDAN
KUNJUNGAN PRE-OPERATIF 1 HARI
SEBELUM OPERASI (H-1)
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


Haji Adam Malik Medan
PANDUAN PELAYANAN Tanggal Terbit
MEDIS 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Mempersiapkan pasien pada kondisi fisiologis dan mental yang optimal untuk
menurunkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas yang dapat diakibatkan oleh
tindakan bedah dan anestesi

2. RUANG LINGKUP : Melakukan kunjungan pre-operatif H-1 untuk mengevaluasi


ulang kelayakan operasi pada pasien.

3. KEBIJAKAN: Persetujuan operasi hanya dilakukan pada pasien yang pada kunjungan
pre-operatif H-1 dinilai sudah optimal untuk dilakukan tindakan anestesi.

4. PROSEDUR

4.1. Semua pasien yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan
anestesi harus melalui konsul H-1
4.2. Saat menerima konsul H-1, dokter anestesi harus mempelajari rekam medis pasien
terlebih dahulu dan melihat hasil pemeriksaan hasil konsul H-2 yang telah dilakukan
4.3. Kunjungan pre-opratif dimulai dengan memperkenalkan diri pemeriksa pada pasien
4.4. Evaluasi rutin pada saat kunjungan pre-operatif adalah sebagai berikut:
4.4.1. Identifikasi penderita
4.4.2. Konfirmasi tindakan yang akan dilakukan
4.4.3. Anamnesa:
4.4.3.1. Masalah medis saat ini
4.4.3.2. Penyakit penyerta lainnya
4.4.3.3. Riwayat pengobatan: obat-obatan yang diminum saat ini, intoleransi/
alergi obat
4.4.3.4. Kebiasaan/ habituasi, seperti: merokok/ minum alkohol
4.4.3.5. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
4.4.3.6. Riwayat penyakit dalam keluarga

11
4.4.3.7. Tinjauan sistem organ
 Keseluruhan (termasuk level aktivitas fisik),
 Sistem respirasi
 Kardiovaskular
 Gastrointestinal
 Renal
 Hematologi
 Endokrin
 Muskuloskeletal
 Psikiatrik
 Dermatologi
4.4.4. Pemeriksaan Fisik
4.4.4.1. Keadaan Umum
4.4.4.2. Tanda vital: Tekanan darah, Laju nadi, Laju nafas, SpO2, Suhu
4.4.4.3. Jalan nafas (look, listen, feel)
4.4.4.4. Kardiovaskular (inspeksi, palpasi, perkusi, auskutasi)
4.4.4.5. Paru-paru (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
4.4.4.6. Sistem digestif (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
4.4.4.7. Ekstremitas
4.4.4.8. Pemeriksaan neurologis
4.4.4.9. Pemeriksaan Laboratorium/ Penunjang:
(Lihat Pedoman untuk pemeriksaan rutin penunjang pra-anestesi pada
Kunjungan pre-operatif H-2)
4.4.4.10.Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi dari bagian lain
yang diperlukan untuk melakukan tindakan anestesi
4.4.4.11.Melakukan penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh
termasuk riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang mendukung
4.4.4.12.Melakukan identifikasi faktor-faktor resiko anestesi, dan bila bermakna
maka pasien harus diberitahukan.
4.4.4.13. Klasifikasi ASA
4.4.4.14.Apabila dari hasil pemeriksaan H-1 didapatkan keadaan pasien yang
belum optimal atau pemeriksaan laboratorium/penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi tindakan anestesi yang akan
dilakukan, maka pemeriksa harus terlebih dahulu melakukan tindakan
koreksi ataupun pemeriksaan pelengkap lainnya dan kalau diperlukan
dilakukan konsultasi ke bagian lain untuk mengoptimalkan keadaan
pasien.
4.4.4.15.Tindakan anestesi tidak dapat disetujui apabila pasien memerlukan
waktu lebih dari 1 hari untuk optimalisasi atau pemeriksaan

12
lainnya.Oleh karenanya pasien disarankan untuk konsul ulang H-2
kembali.
4.4.4.16.Penjelasan operasi dan Informed consent. Dokter anestesi yang
merawat harus menjelaskan kepada pasien/ keluarga pasien tentang
operasi yang akan dilakukan, tindakan anestesi, resiko-resiko dan
keuntungan yang mungkin terjadi akibat tindakan anestesi dan
pembedahan secara jelas dan lengkap. Apabila pasien/ keluarga pasien
sudah mengerti dan menyetujui/ tidak menyetujui tindakan anestesi
yang akan dilakukan, kemudian pasien/ keluarga pasien harus
menandatangani surat persetujuan tindakan anestesi, disertai
tandatangan saksi dari keluarga pasien dan dari pihak perawat, serta
tanda tangan dokter yang memberikan keterangan.
4.4.4.17.Memberikan premedikasi yang tepat yang diperlukan untuk melakukan
tindakan anestesi (dosis, cara, dan waktu pemberian)
4.4.4.18.Memberikan instruksi puasa pre-operatif
4.4.4.19.Memberikan instruksi yang jelas tentang obat-obatan yang harus
diteruskan atau dihentikan pada hari pembedahan.
4.4.4.20.Menyusun rencana teknik anestesi dan penatalaksanaan perioperatif
seperti terapi cairan dan transfusi darah.
4.4.4.21.Semua hasil kunjungan pre-operatif harus ditulis kedalam status
anestesi pre-operatif.

5. UNIT TERKAIT: Dokter spesialis anestesi, Dokter Spesialis bedah,anak, penyakit


dalam,radiologidan bagian lain yang terkait di lingkungan rumah sakit di Indonesia

6. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, Status anestesi pre-operatif, surat izin


operasi, surat izin anestesi

13
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR TATA LAKSANA DAN ALUR
HAJI ADAM MALIK MEDAN
KONSUL PREOPERATIF PASIEN
EMERGENSI

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014
Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat
PANDUAN PROSEDUR Haji Adam Malik Medan
OPERASIONAL Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1.TUJUAN : Menerangkan langkah-langkah tatalaksana dan alur konsultasi pada pasien


calon operasi emergensi di bagian Anestesiologi & Terapi Intensif pada Rumah Sakit di
Indonesia agar dapat dilakukan tindakan pembedahan tepat waktu.

2. RUANG LINGKUP: Pelayanan Anestesi/Persiapan Preoperasi untuk pasien emergensi

3. URAIAN UMUM: Pelayanan medis terhadap pasien calon operasi yang meliputi
diagnostik dan indikasi, penjelasan operasi dan informed consent, penilaian kelaikan
operasi dan anestesi, konsultasi antara bagian.

14
4. PROSEDUR :

PENERIMAAN KONSUL
4.1. Permintaan konsul preoperatif harus dilakukan secara tertulis dengan menyertakan
dokumen status pasien secara lengkap
4.2. Lembar konsul harus diterima langsung oleh dokter/perawat anestesi, kemudian pada
lembar konsul dicatat jam saat konsul diterima, dan kemudian dicatat di buku
penerimaan konsul disertai dengan nama pengirim dan penerima konsul.

ALUR KONSULTASI
4.3. Penerima konsul melaporkan permintaan konsul kepada dokter anestesi.
Dokter anestesi melakukan visite pre-operatif dengan melakukan pemeriksaan secara
menyeluruh dan lengkap ( lihat Pedoman persiapan pre-operatif)
4.4. Konsultasi ke bagian lain dapat dilakukan bila apabila masalah yang dikonsultasikan
dapat mempengaruhi pertimbangan rencana anestesi yang akan dilakukan.
4.5. Dokter anestesi dapat meminta pemeriksaan laboratorium atau penunjang lainnya sesuai
indikasi apabila pemeriksaan yang akan dilakukan dapat mempengaruhi pertimbangan
dan tindakan anestesi yang dilakukan.
4.6. Untuk kasus-kasus yang beresiko untuk menimbulkan morbiditas dan atau mortalitas
(gagal organ ≥1, gangguan keseimbangan asam basa, gangguan elektrolit) dapat
dikonsultasikan kepada konsultan yang berkaitan.

OPTIMALISASI
4.7. Untuk kasus-kasus yang tidak memenuhi kriteria true emergency (kasus yang apabila
ditunda untuk dilakukan tindakan akan menyebabkan terjadinya mortalitas/ morbiditas,
seperti: syok karena perdarahan yang tidak tertangani, gawat janin, penurunan
kesadaran akibat EDH/ SDH/ ICH) harus dilakukan optimalisasi terlebih dahulu
terhadap masalah yang masih mungkin diperbaiki dalam waktu cepat dan
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien.
4.8. Saran untuk perbaikan keadaan harus ditulis secara rinci dan jelas dengan target yang
diharapkan

15
4.9. Perbaikan keadaan harus dilakukan sendiri oleh dokter anestesidi ruang IGD atau di
ruangan dengan memberikan instruksi yang jelas
4.10. Dokter anestesi harus terus memantau kondisi pasien yang sedang dilakukan perbaikan,
dan segera mengerjakan pasien tersebut apabila pasien sudah memungkinkan untuk
dikerjakan.

8 UNIT TERKAIT:Dokter anestesi, dokter bedah, obgin, THT, dan unit-unit terkait
lainnya.

9 DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, lembar konsul, buku pencatatan konsul

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PR PROSEDUR ALUR KONSUL


HAJI ADAM MALIK MEDAN
PREOPERATIF PASIEN ELEKTIF

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1.TUJUAN : Menerangkan langkah-langkah tatalaksana dan alur konsultasi pada pasien


calon operasi elektif di Instalasi Anestesi agar dapat dilakukan tindakan pembedahan
sesuai rencana.

2. RUANG LINGKUP: Pelayanan Anestesi/Persiapan Preoperasi untuk pasien elektif

16
3. URAIAN UMUM: Pelayanan medis terhadap pasien calon operasi yang meliputi
diagnostik dan indikasi, penjelasan operasi dan informed consent, penilaian kelaikan
operasi dan anestesi, konsultasi antara bagian.

4. PROSEDUR :

TATA LAKSANA DAN ALUR KONSUL PASIEN H-2


4.1. Tata laksana konsul H-2 dilakukan oleh dokter anestesi
4.2. Dokter anestesi melakukan tata laksana konsul H-2 dengan melakukan kunjungan pre-
operatif H-2 dengan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan lengkap (lihat
Pedoman Pelayanan Dasar Anestesi/ Kunjungan Pre-operatif H-2)
4.3. Apabila dari hasil pemeriksaan didapatkan kondisi pasien sudah optimal, maka dokter
yang bertugas menyetujui pasien untuk dijadwalkan disertai pemberian saran-saran yang
diperlukan.
4.4. Apabila dari hasil pemeriksaan preoperatif H-2 didapatkan bahwa pasien belum layak
dikerjakan yang memerlukan perbaikan keadaan atau memerlukan suatu pemeriksaan
yang mempengaruhi rencana anestesi maka dokter anestesi yang bertugas harus
melakukan perbaikan keadaan pasien.
4.5. Untuk kasus-kasus khusus pasien dapat dikonsultasikan kepada konsulen konsultan.
4.6. Pasien-pasien yang bermasalah tersebut dapat dijadwalkan setelah ada persetujuan dari
dokter anestesi yang dikonsulkan.

TATALAKSANA DAN ALUR KONSUL PASIEN H-1


4.1. Tatalaksan konsul H-1 dilakukan oleh dokter anestesi yang dikonsulkan
4.2. Semua pasien harus dilakukan pemeriksaan ulang secara lengkap dan menyeluruh (lihat
Pedoman Pelayanan Dasar Anestesi/ Kunjungan Pre-operatif H-1)
4.3. Pasien yang pada saat konsul H-2 pernah bermasalah dan telah dikonsulkan kepada
dokter anestesi, maka pasien tersebut harus dilaporkan kembali kepada dokter anestesi
yang sama.
4.4. Apabila pasien tersebut masih terdapat masalah, maka dokter anestesi bertanggung jawab
untuk menyelesaikan masalahnya.
4.5. Pasien-pasien yang bermasalah tersebut dapat disetujui untuk dikerjakan setelah ada
persetujuan dari dokter anestesi yang dikonsulkan pada saat laporan sore.
17
10 UNIT TERKAIT: Dokter anestesi, Dokter bedah, obgin, THT, BM, dan unti terkait

11 DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, Status jawaban konsul anestesi

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN PERSIAPAN SEBELUM


HAJI ADAM MALIK MEDAN
TINDAKAN ANESTESI

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Memenuhi kebutuhan fasilitas sarana dan peralatan anestesi yang


esensialuntuk menjamin keselamatan pasien dan tenaga anestesi selama memberikan
tindakan anestesi.

2. RUANG LINGKUP: Melakukan pemeriksaan terhadap ketersediaan sarana dan peralatan


anestesi yang esensial tiap sebelum memberikan tindakan anestesi.

18
3. KEBIJAKAN: Tindakan anestesi hanya boleh dilakukan apabila semua sarana dan
peralatan esensial yang dibutuhkan sudah tersedia dan berfungsi dengan baik.

4. PROSEDUR
Sebelum memberikan tindakan anestesi, dokter anestesi harus melakukan pemeriksaan
terhadap sarana yang dibutuhkan dan memastikannya berfungsi dengan baik, yaitu:

4.1. Mesin Anestesi


4.1.1. Untuk setiap kamar operasi, minimal harus ada satu unit mesin anestesi yang
dapat digunakan, untuk pemberian oksigen dan juga gas anestesi.
4.1.2. Vaporizer yang tersedia harus terkalibrasi dan terisi dengan gas anestesi yang
dibutuhkan sesuai dengan kondisi pasien.
4.1.3. Siapkan sirkuit pernapasan dan reservoir bag dengan ukuran yang sesuai
dengan pasien
4.1.4. Pastikan mesin sudah terhubung dengan gas medis yang sesuai (O2, N2O, Air),
dan pastikan gas yang tersedia cukup dan dapat mengalir dengan baik ke dalam
mesin
4.1.5. Pastikan CO2 absorber masih dalam kondisi baik
4.1.6. Lakukan pengecekan terhadap fungsi mesin, pastikan tidak ada kebocoran pada
sirkuit pernapasan, periksa kerja flow meter, katup inspirasi dan ekspirasi
apakah berfungsi dengan baik, katup APL (Adjusttable Pressure Limit),
reservoir bag, CO2 absorber canister harus dipastikan sudah terpasang dan
berfungsi dengan baik.
4.1.7. Periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sirkuit mesin.

4.2. Peralatan anestesi yang harus tersedia di setiap kamar operasi:


4.2.1. Alat penghisap (suction unit)khusus untuk anestesi dengan kateter yang
berukuran sesuai, pastikan alat penghisap berfungsi dengan baik.
4.2.2. Alat-alat monitoring:
 Stetoskop
 Alat ukur tekanan darah non invasive
 EKG
 Pulse oksimetri
 Thermometer
 Kapnograf (Untuk operasi tertentu)
 Alat pemantau tekanan darah invasive (untuk operasi tertentu)
4.2.3. Alat untuk manajemen jalan nafas dan kelengkapannya:
 Sungkup muka dengan beberapa ukuran

19
 Pipa orofaring/ nasofaring, LMA / ETT dengan berbagai ukuran, dan
alat bantu jalan nafas lainnya
 Laringoskop dengan bilah berbagai ukuran
 Stilet/ bougies
 Spuite balon
 Forsep magill
 Plester
 Jelly pelican untuk ETT
 Steteskop
 Konektor pipa ETT dengan mesin
4.2.4. Alat untuk akses intra vena
 Torniquete
 Kanul intra vena dengan ukuran yang sesuai, transfuse set dan cairan
yang dibutuhkan
4.2.5. Peralatan untuk melakukan regional anestesi/ blok perifer (bila pasien
direncanakan untuk dilakukan tindakan regional anestesi/ blok perifer).
4.2.6. Peralatan yang harus tersedia bila dibutuhkan sewaktu-waktu
 Peralatan untuk menanggulangi kesulitan intubasi yang telah
diperkirakan sebelumnya (missal: bougie, LMA, fiber optic)
 Defibrilator jantung
 Penghangat pasien
4.2.7. Obat-obat anestesi
4.2.7.1. Obat-obatan untuk trias anestesi yang dibutuhkan sesuai dengan keadan
pasien
4.2.7.2. Obat- obat untuk menanggulangi keadaan emergensi:
 Anafilaksis
 Aritmia jantung
 Henti jantung
 Oedem paru
 Hipotensi
 Hipertensi
 Bronkospasme
 Depresi nafas
 Hipo/hiperglikemi
 Koagulopati

4.2.7.3. Obat-obatan emergensi yang harus tersedia: oksigen, adrenalin, sulfas


atropine, efedrin, aminofilin, antiaritmia (lidokain, amiodaron), diuretic,

20
inotropik, vasopresor (norepinefrin), obat hipotensif (nitrogliserin/
nitroprusid), antikonvulsan (seperti diazepam, thiopental), antidotum
(nalokson, antikolinesterase, dan bila ada flumazenil, dantrolene)
4.2.7.4. Cairan kristaloid dan koloid ( sesuai yang dibutuhkan)

4.3. Persiapan Pasien.


4.3.1. Identifikasi pasien
4.3.2. Lakukan kembali pemeriksaan ulang terhadap kondisi terakhir pasien
4.3.3. Lakukan pengecekan terhadap ketersediaan transfusi (pada pasien sebelumnya
diperkirakan memerlukan transfusi)
4.3.4. Lakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen (status pasien, Surat izin
tindakan operasi, surat izin tindakan anestesi)
4.3.5. Pasien hanya boleh dimasukkan ke dalam kamar operasi apabila sudah dipastikan
semua persiapan alat/mesin, obat, dan kelengkapan dokumen sudah dilakukan dengan baik.

5. UNIT TERKAIT: Dokter Spesialis Anestesi, perawat anestesi, depo farmasi

6. DOKUMEN TERKAIT: Kartu Cek lis kelengkapan peralatan dan obat-obatan

21
PANDUAN MANAJEMEN
SELAMA PEMBEDAHAN

22
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT MONITORING UMUM SELAMA
HAJI ADAM MALIK MEDAN
PEMBEDAHAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Mendeteksi perubahan klinis yang terjadi pada pasien yang sedang menjalani
pembiusan, sehingga dapat diberikan intervensi dengan cepat bila diperlukan.

2. RUANG LINGKUP: pemantauan oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, suhu, dan perfusi


jaringan.

3. KEBIJAKAN: Monitoring secara kontinyu sejak awal hingga operasi berakhir.

4. PROSEDUR:
Monitoring harus dilakukan secara terus menerus selama pemberian anestesi. Harus selalu
dilakukan evaluasi terhadap:
4.1. Oksigenasi
Pemantauan oksigenasi jaringan dilakukan secara kontinyu
Tujuan: Memastikan kadar oksigen yang adekuat dalam darah selama pemberian
anestesi
Metode:
 Pengamatan visual dengan menilai warna dengan pencahayaan pasien
yang adekuat
 Penilaian oksigenasi secara kuantitatif dengan pulse oksimetri dengan
target SpO2 ≥ 94% dengan udara ruangan.
4.2. Ventilasi
Pemantauan jalan nafas dan ventilasi dilakukan secara kontinyu

23
Tujuan: Untuk memastikan jalan nafas dan ventilasi pasien yang adekuat selama
pemberian anestesi.
Metode:
 Tanda-tanda klinis kecukupan ventilasi, antara lain: pengembangan dada
yang adekuat, pengamatan gerakan kembang kempis kantung pernafasan,
dan auskutasi bunyi nafas (precordial stetoskop pada pediatrik).
 Secara kuantitatif: kebutuhan volume tidal ( 8 cc/ kgbb ), laju respirasi 12-
14 x/ menit untuk mencapai volume semenit 100 cc/ kgbb.

4.3. Sirkulasi
Pemantauan fungsi peredaran darah yang kontinyu
Tujuan: Untuk memastikan kecukupan fungsi peredaran darah pasien selama
anestesi
Metode:
 Evaluasi kontinyu terhadap laju jantung dan irama jantung dengan palpasi
nadi, auskultasi bunyi jantung (stetoskop percordial pada pediatrik), pulse
oksimetri.
 Pemantauan EKG secara kontinyu sejak awal hingga anestesi berakhir.
Evaluasi EKG dilakukan terhadap:
o Ritme
o Laju jantung
o ST segment
o Ada tidaknya gelombang P
o Perubahan bentuk gelombang P, QRS, T
 Perfusi jaringan dipantau secara kontinyu dengan meraba suhu perifer,
capillary refill, pulse oksimetri dieresis
 Evaluasi tekanan darah dan laju jantung paling tidak setiap lima menit
o Pertahankan variasi perubahan tekanan darah ±20% dari base line.
o Prosedur untuk mempertahankan variasi tekanan darah tersebut
dilakukan sesuai dengan penyebab, seperti: pemberian cairan,
pengaturan kedalaman anestesi, obat inotropik/ vasoaktif, obat
antihipertensi.
4.4 . Suhu Tubuh
Tujuan: Untuk membantu mempertahankan suhu tubuh yang normotermi selama
anestesi.

24
Metode: Dilakukan pemantauan suhu tubuh inti secara kontinyu dengan
thermometer

5. UNIT TERKAIT: Dokter spesialis anestesi, perawat anestesi

6. DOKUMEN TERKAIT: Status Anestesi

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT


HAJI ADAM MALIK MEDAN
MONITORING ANESTESI:
ARTERIAL BLOOD PRESSURE

25
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/1
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Pemantauan ketat sirkulasi pasien dalam keadaan teranestesi selama operasi
berlangsung.

2.RUANG LINGKUP: Pemantauan sirkulasi pada pasien teranestesi dilakukan dengan


menggunakan non-invasive arterial blood pressure dan atau invasive arterial blood pressure
disesuaikan dengan keadaan pasien (status fisik pasien) dan jenis operasi yang dilakukan.

3. KEBIJAKAN :
1. Pertahankan mean arterial pressure (MAP)65-85mmHg.
(SBP)+2(DBP)
MAP = -------------------
3
MAP = mean arterial pressureDBP = dyastolic blood pressure
SBP= systolic blood pressure
2. Perubahan tekanan darah yang dapat ditoleransi pada orang normal adalah
sebesar ± 20% dari base line, sedangkan pada pasien dengan gangguan fungsi
jantung dan kardiovaskular ditentukan < 20% dari base line.
3. Perbedaan NIBP dan IBP yang dapat ditolerir adalah 10%.

4. PROSEDUR:
Non invasive arterial blood pressure :
1. Lakukan pemasangan manset tekanan darah pada lengan bagian atas dengan ukuran
yang sesuai dengan pasien (2/3 bagian tengah lengan atas)

26
2. Pengukuran dilakukan berulang dengan interval 1 menit saat dilakukan induksi
anestesi umum dan interval 3 menit selama operasi berlangsung.
3. Bila dilakukan regional anestesi pengukuran tekanan darah dilakukan dengan interval
1 menit setelah obat regional anestesi diberikan dan interval 3 menit selama operasi
berlangsung .

Invasive arterial blood pressure (arteri radialis) :


1. Supinasi dan ekstensi pergelangan tangan
2. Spuit berisi heparin yang sudah diencerkan (0,5-2 unit heparin/ml salin) beserta stop
cock sudah tersedia untuk membilas
3. Pulsasi radial diraba dengan cara penekanan ringan oleh jari telunjuk dan jari tengah
4. Bersihkan kulit tempat akan dilakukan pemasangan menggunakan cairan bakterisid
5. Infiltrasi dengan 0,5 ml lidocain tepat di atas arteri radialis menggunakan jarum no.
25 atau 27
6. Gunakan jarum 18 untuk menyayat lokasi penusukan
7. Jarum 20 atau 22 disuntikkan dengan sudut 45º terhadap permukaan kulit menuju
arteri radialis yang telah diraba
8. Setelah timbul aliran darah balik arah jarum diturunkan sampai 30º, kateter
diinsersikan
9. Kateter dihubungkan dengan transducer alat pemantau tekanan darah otomatis
10. Fiksasi dan tutup daerah penusukan menggunakan kasa steril dan plester

5.DOKUMEN TERKAIT
- Catatan rekam medik
- Laporan/ catatan anestesi

6. UNIT TERKAIT : Dokter anestesi, perawat anestesi dan bagian lain yang terkait

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT MONITORING ANESTESI:


HAJI ADAM MALIK MEDAN
EKG

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


1 April 2014 Haji Adam Malik Medan

27
PANDUAN
PELAYANAN
ANESTESI DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Memastikan fungsi listrik jantung pasien selama anestesi adekuat

2. RUANG LINGKUP : Pemantauan EKG selama operasi berlangsung

3. KEBIJAKAN : Mempertahankan irama sinus, laju nadi 60-80 x/mnt (dewasa);


mendeteksi dini gangguan irama jantung, gangguan konduksi, iskemik jantung,
gangguan elektrolit

4. PROSEDUR :

 Elektroda dipasangkan pada intercosta 1-2 sejajar papilla mammae kanan,


intercosta 1-2 sejajar papilla mammae kiri, interkostal V kiri pada garis aksilaris
anterior.
 Dihubungkan pada monitor EKG
 Pemasangan elektroda ini berguna untuk mendapat hasil pembacaan pada lead II.
 Lakukan evaluasi secara kontinyu terhadap:
 Ritme
 Laju jantung/ menit
 ST segmen
 Ada tidaknya gelombang P
 Perubahan bentuk gelombang P, QRS, T

5. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Laporan / catatan anestesi

6. UNIT TERKAIT : Dokter anestesi, Perawat anestesi

28
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT MONITORING ANESTESI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN
PULSE OXIMETRY

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/1
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Memastikan oksigenasi yang adekuat selama pasien teranestesi.

2. RUANG LINGKUP: Pemantauan menggunakan pulse oximetry selama operasi


berlangsung.

29
3. KEBIJAKAN: Pertahankan saturasi oksigen di atas 94 % (dengan udara bebas) untuk
mendapatkan PaO2 lebih dari 65mmHg.

4. PROSEDUR
4.1. Probe saturasi dipasang pada ujung jari pasien dengan sinar infra merah pada
bagian kuku jari pasien.
4.2. Hindari pemaparan cahaya pada probe saturasi untuk menghindari gangguan
iluminasi sinar infra merah.

5. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Laporan / catatan anestesi

6. UNIT TERKAIT : Dokter anestesi, perawat anestesi

30
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT MONITORING ANESTESI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN
TEMPERATUR

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/1
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Temperatur tubuh pasien dapat terjaga selama operasi.

2. RUANG LINGKUP: Pemantauan temperatur tubuh pasien selama operasi


berlangsung.

3. KEBIJAKAN: Pertahankan temperatur tubuh pasien normotermi (36º-37,5ºC).


Hindari keadaan hipotermi (suhu ≤ 35˚C).

4. PROSEDUR :
4.1. Probe temperatur dipasang pada nasopharyng pasien yang menjalani anestesi
umum dan pada axilla pada pasien yang dilakukan anestesi regional.
4.2. Probe dimasukkan ke nasopharyng melalui mulut agar menghindari trauma
pada saluran hidung
4.3. Bila didapatkan suhu tubuh kurang dari 36ºC (terancam hipotermi), berikan
maintenance cairan menggunakan cairan kristaloid yang sudah dihangatkan di
lemari penghangat kemudian berikan penghangat pada bagian dalam kain
penutup pasien

5. DOKUMEN TERKAIT :
- status pasien
- status anestesi

6. UNIT TERKAIT : Dokter anestesi, perawat anestesi, dan dokter di bagian lain yang
terkait di lingkungan rumah sakit.

31
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT MONITORING ANESTESI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN
DIURESIS
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN:menilai status volume cairan tubuh pasien dan mempertahankan fungsi


ginjal baik selama dan setelah operasi
.
2. RUANG LINGKUP:menilai status volume cairan tubuh pasien dan mempertahankan
fungsi ginjal dengan cara pemantauan diuresis pasien menggunakan kateter urin dan
kantung pengumpul urin selama operasi berlangsung

32
3. KEBIJAKAN : Keadaan status volume cairan tubuh pasien dan fungsi ginjal yang
baik dapat dinilai dengan diuresis lebih dari 1cc/kgBB per jam dengan warna kuning
jernih

4. PROSEDUR :
4.1. Dilakukan pemasangan kateter urin pada pasien yang menjalani operasi lebih
dari 2 jam dalam anestesi umum.
4.2. Dilakukan pemasangan kateter urin pada semua pasien yang mendapatkan
anestesi regional (spinal, epidural, kombinasi spinal epidural, dan caudal)
tanpa mempertimbangkan lama operasi.
4.3. Jumlah urin inisial dicatat jumlahnya dan dinilai warnanya .
4.4. Selama operasi berlangsung urin pasien dikumpulkan dalam kantung
pengumpul urin dan dinilai jumlah serta warna.

5. DOKUMEN TERKAIT :
- Status pasien
- Status anestesi

6. UNIT TERKAIT : Dokter anestesi, perawat anestesi, dan dokter lain yang terkait di
lingkunan rumah sakit.

33
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/5
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, prosedural operasi tertentu dan
resusitasi jantung paru.

2. RUANG LINGKUP: Kamar operasi, emergensi (UGD), atau pasien ruangan yang
memerlukan bantuan nafas atau resusitasi jantung paru.

3. KEBIJAKAN: Sebagai bagian dari prosedur resusitasi jantung paru di emergensi,


salah satu fasilitasi operasi dengan anastesi umum, bila pasien membutuhkan bantuan
nafas dengan ventilator.

34
4. PENGERTIAN:Suatu alat bantu nafas (pipa endotrakheal) yang dipasang melalui
oral atau nasal menuju trakeal.

5. PROSEDUR :

I. INTUBASI
1.1 Indikasi untuk intubasi :
A. Operasi daerah leher dan wajah
B. Prosedur operasi thoracotomi
C. Prosedur operasi craniotomy
D. Prosedur operasi laparotomi
E. Teknik operasi laparoskopi
F. Pembedahan dengan sikap tidur miring atau sikap telungkup (prone)
G. Operasi pada neonates.
H. Prosedur operasi yang lama (lebih dari 1 jam)
I. Teknik anestesi khusus: hipotensi, hipotermi.
J. Pembedahan dimana dibutuhkan banyak relaksasi atau dimana pernafasan akan
terganggu karena relaksasi.
K. Semua pembedahan akut dimana penderita diduga atau di ragukan lambungnya
belum kosong.
L. Pada penderita dimana pemasangan masker sulit dan tidak mungkin tanpa
kebocoran udara sehingga ventilasi menjadi tidak adekuat, misalkan pada pasien
yang habis giginya dan sampai kempot atau penderita dengan banyak jenggotnya.
M. Pada penderita gemuk yang sulit dikuasai jalan nafas dengan sungkup wajah (face
mask)
N. Seksio sesarea yang gagal setelah dilakukannya regional anestesi.
O. Pada pasien trauma dengan kondisi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksia
berat, GCS ≤ 8, Cardiac arrest, fraktur daerah wajah dengan perdarahan yang
tidak berhenti.
P. Intubasi emergensi pada trauma inhalasi dengan keadaan luka bakar ≥ 40%, GCS
≤ 8, luka bakar daerah muka derajat sedang sampai berat, luka bakar
oropharingeal derajat sedang sampai berat, cedera jalan napas yg terlihat saat
endoskopi derajat sedang dan berat.

1.2 Persiapan pasien:


Yang terpenting untuk melakukan intubasi adalah memeriksa kemungkinan kesulitan
intubasi dan resiko aspirasi dan regurgitasi.
 Bisa membuka mulut
 Pemeriksaan mallampati
 Kemampuan ekstensi leher
 Jarak antara tyromental kurang dari 4 cm.

35
 Dapat menggerakan leher ke kanan dan ke kiri (tidak ada kekakuan sendi
leher)
 Leher pendek, panjang, kaku
 Adanya sikatrik di daerah leher,
 Gigi ompong
 Gigi yang hanya tinggal beberapa saja
 Tanyakan kecukupan puasanya (terutama pasien emergensi)
 Wanita hamil selalu dianggap lambung penuh.

1.3 Persiapan alat:


Pastikan seluruh alat yang diperlukan berfungsi dengan baik
a. Sumber oksigen dan ambu bag (UGD, Ruangan ,ICU) mesinanestesi yang sudah
dipastikan berfungsi dengan baik ( kamar operasi)
b. Face mask atau sungkup wajah
c. Langingoskope.
d. Pipa endotracheal 3 buah ( 1 lebih besar dan 1 lebih kecil dari ukuran standard).
e. Stylet (mandren)
f. Oropharyngeal airway 3 buah ( 1 lebih besar dan 1 lebih kecil dari ukuran
standard).
g. Spuit .
h. Plester.
i. Bantal dengan tebal 10 cm.
j. Suction yang sudah siap pakai.
k. Stetoskop
l. Gunakan sarung tangan.

1.4 Penatalaksanaan :
1. Pastikan bahwa meja operasi sudah terkunci dan tidak bergerak.
2. Posisikan pasien terlentang dengan posisi head up.
3. Tinggi kepala pasien setinggi kartilago xyphoid operator.
4. Letakkan kepala penderita dengan bagian oksipital diletakkan di atas bantal dengan
tebal 10cm.
5. Posisi kepala dalam satu garis antara telinga dengan sternum (sniff position)
6. Berikan pasien oksigen 100% selama kurang lebih 3-5 menit dengan menggunakan
sungkup wajah.
7. Berikan pasien anastetika hipnotik sedative intravena, dan opioid.
8. Pastikan pasien tertidur dengan mengecek reflek bulu mata negatif.
9. Berikan oksigen dengan gas anastetika inhalasi 3 MAC memalui sunggup wajah.

36
10. Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging dengan tekanan tidak melebihi 30
cm H2O.
11. Bila dada dapat menggembang dan pada saat melakukan ventilasi tidak ada hambatan
atau tahanan, berikan pelumpuh otot.
12. Lakukan ventilasi hingga seluruh obat anestesi mencapai onsetnya.
13. Pegang handle laringoskope dengan tangan sebelah kiri, tangan sebelah kanan dapat
memegang kepala pasien untuk extensi atau membuka mulut dengan cara cross finger.
14. Masukan blade dari ujung kanan bibir , dorong hingga ke oropharyng sambil
menyisihkan lidah dari kanan ke kiri.
15. Telusuri terus hingga ujung blade menyentuh vallecula
16. Pastikan gigi dan bibir bebas
17. Kemudian angkat handle menjauh dari pasien sehingga terlihat pita suara (vocal cord)
18. Persiapkan pipa endotrakheal di tangan kanan
19. Masukan pipa endotacheal kearah pita suara
20. Setelah pipa endotracheal terpasang kembangkan balon dengan menggunakan spuit,
pastikan pipa endotrakheal tidak begeser.
21. Setelah balon mengembang pastikan paru kanan dan kiri mengembang sama besar
dengan menggunakan stetoskop.
22. Setelah memastikan letak pipa endotracheal benar, plester pipa.

II. EKSTUBASI
2.1 Persiapan alat
1. Sarung tangan
2. Suction
3. Spuit
4. Sunggup muka
II.2 Prosedur
II.2.1 Ekstubasi bangun penuh
a. Posisi pasien head up
b. Matikan seluruh gas anestesi hanya oksigen yang tetep mengalir sekitar 10
L/m.
c. Pastikan pasien sudah dilakukan reverse dari pelumpuh otot.
d. Pola nafas sudah regular
37
e. Bila vital kapasitas > 15 ml/kg, adekuatnya otot pernafasan, tidak ada
retraksi dinding dada, SpO2 > 95% dengan udara luar.
f. Pasien dapat dibangunkan dan dapat mengikuti perintah sederhana (buka
mata, buka mulut atau angkat tangan)
g. Lakukan suction untuk memberishkan dari liur atau darah di rongga mulut
h. Berikan tekanan berkisar 5-15 cm H2O untuk rangsang batuk.
i. Bila ada saat batuk tarik pipa endotrakheal setelah balon dikempiskan.
j. Berikan oksigen kanul 3 L/m

II.2.2 Ekstubasi dalam anestesi


a. Seluruh gas anestesi tidak dimatikan hanya N2O yang dimatikan
b. Pastikan pasien sudah dilakukan reverse dari pelumpuh otot.
c. Pola nafas sudah regular
d. Bila vital kapasitas > 15 ml/kg, adekuat dari kekuatan otot pernafasan.
e. Lakukan suction untuk memberisihkan dari liur atau darah di rongga mulut
f. Matikan seluruh gas anestesi hanya tinggal oksigen 10 L/Menit
g. Tarik pipa endotrakheal setelah balon dikempiskan.
h. Berikan pasien oksigen 10 L/Menit melalui sunngup muka hingga bangun
i. Setalah pasien bisa melakukan perintah sederhana ( buka mata atau angkat
tangan)
j. Berikan oksigen kanul 3 L/m

III. DOKUMEN TERKAIT :


- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

IV. UNIT TERKAIT : Dokter anestesi, perawat anestesi

KRITERIA EKSTUBASI

38
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan ekstubasi pada pasien yaqng
terintubasi.

2. RUANG LINGKUP: Persiapan dan criteria klinis ekstubasi.

3. KEBIJAKAN : Ekstubasi dilakukan dengan persiapan peralatan pengelolaan jalan


nafas dan criteria ekstubasi telah terpenuhi.

4. PERSIAPAN
Lakukan persiapan alat-alat untuk manajemen jalan nafas (lihat panduan persiapan
anestesi).

5. KRITERIA KLINIS EKSTUBASI


- Tidal volume: ≥ 6 ml/ kg
- Kapasitas vital: ≥ 15 ml/ kg
- Negative inspiratory force: ≥ -25 cmH2O
- Kemampuan mengangkat kepala > 5 detik
- CNS: awake, responsive
- Sistem respirasi:
o Oksigenasi adekuat dengan FiO2 < 0,4
o Ventilasi adekuat
o Laju nafas < 25 x/ menit (pada dewasa)
- Sistem kardiovaskular:
o Tekanan darah adekuat untuk perfusi ke organ vital
o Tidak ada disritmia serius yang sebelumnya tidak terjadi
- Metabolik:
o Normotermia
o Kadar glukosa dan elektrolit normal
- Hematologi:
o Hemostasis adekuat
o Tidak ada koagulopati
39
6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD/IKA di


lingkungan rumah sakit.

8. REFERENSI:
- Abel M. Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005, h:141.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN PENATALAKSANAAN


HAJI ADAM MALIK MEDAN
ANESTESI DAN PEMBEDAHAN UNTUK
PASIEN DENGAN MASALAH
PENGUASAAN JALAN NAFAS
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014
Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat
PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

40
1. TUJUAN: Sebagai panduan untuk melakukan penatalaksanaan pasien dengan
masalah penguasaan jalan nafas.

2. RUANG LINGKUP: Semua pasien yang mempunyai kesulitan pada jalan nafas.

3. KEBIJAKAN: Penatalaksanaan harus sesuai dengan urutan dalam algoritme


difficult airway.

4. PROSEDUR
4.1. Definisi : Tindakan anestesi dan pembedahan untuk pasien dengan masalah
penguasaan jalan nafas.
4.2. Persiapan Perioperatif :
 Anamnesa :
- Riwayat penyakit sekarang dan yang lalu
- Riwayat sesak napas, tidur mendengkur, perubahan suara, gangguan
menelan.
 Pemeriksaan Fisik :
 Kesadaran, nadi, tekanan darah, laju napas, SpO2
 Wajah dan leher :
o Bentuk dan malformasi
o Edema, hiperemis
o Airway dan sistem respirasi :
 Buka mulut (jarak pembukaan mulut > 3 jari pasien)
 Gigi geligi (panjang gigi, gigi palsu, gigi goyang)
 Mallampati
 Adanya perubahan struktur dalam rongga mulut karena
kelainannya
 Massa rapuh / mudah berdarah atau tidak
 Jarak memtum-tiroid, panjang leher, pergerakan dan
ekstensi leher
4.3. Pemeriksaan Penunjang :
 Pemeriksaan laboratorium : darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit),
AGD, dan elektrolit jika diperlukan.
 Thorax foto, Rontgen jaringan lunak leher, CT Scan daerah yang akan
dioperasi.
4.4. Klasifikasi ASA
4.5. Apabila diduga akan didapatkan kesulitan dalam menguasai jalan nafas yang
berkaitan dengan prosedur pembedahannya, dilakukan pembicaraan / diskusi (join
conference) bersama terlebih dahulu anatara Departemen Anestesi dan departemen
lain yang terlibat.

41
4.6. Informed Consent yang dilakukan oleh dokter Anestesi dan dokter Bedah
(Onkologi, Plastik, Bedah Mulut, THT-KL) terhadap penderita dan keluarga
penderita dengan disaksikan oleh (didampingi) perawat Anestesi / Bedah.
4.7. Penatalaksanaan :
 Bila kemungkinan penguasaan jalan napas sulit, dipikirkan untuk
menguasai jalan napas (intubasi) saat pasien sadar.
 Berikan suplemen oksigen
 Persiapkan alat-alat bantu :
o Peralatan intubasi standar (facemask, oropharyngeal atau
nasopharyngeal airway, laringoskop, stylet, Magill forceps,
suction)
o LMA, ETT (biasa dan spiral) 3 ukuran (yang diperkirakan, 1
ukuran lebih besar dan lebih kecil)
o Peralatan intubasi khusus (stylet Lightwand, laringoskop
McKoy, bronkhoskop fiber optik)
o Kapnograf atau end-tidal carbon dioxide detector
 Persiapkan obat-obatan :
o Obat-obatan resusitasi : Adrenalin, Sulfas Atropin
o Obat-obatan suportif : antisialogogue (Sulfas Atropin), anestesi lokal
(topikal maupun injeksi)
o Obat-obatan anestesi umum
 Intubasi pasien sadar dapat dilakukan dengan :
o Bronkoskopi fiber optik
o Laringoskopi direk
o Intubasi blind orotracheal atau nasotracheal
o Intubasi retrograde
o Bantuan stylet khusus (lightwand)
o Bronkoskopi rigid
o Dilatasi trachea perkutan
 Bila intubasi pasien sadar gagal, pertimbangkan untuk dilakukan trakheostomi
atau tunda dahulu pasien untuk perencanaan tindakan yang lebih baik.
 Trakheostomi dapat dilakukan preoperatif pada penderita yang pasca operasi
memerlukan trakheostomi untuk mempertahankan jalan napasnya.
 Setiap tindakan trakheostomi di kamar operasi harus didampingi dokter
Anestesi dengan persiapan difficult airway management dan bronkhoskopi
fiber optic.
4.8. Pasca operasi
 Perawatan di RR, observasi :
o Tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tekanan darah, laju napas, SpO2
 Jika perlu observasi lebih lanjut, dipikirkan perawatan di HCU / ICU

42
5. DOKUMEN TERKAIT: Rekam medis pasien, Lembar Informed Consent.

6. UNIT TERKAIT: Dokter Spesialis Anestesi


Terlampir : Algoritma difficult airway
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN INTUBASI DENGAN FIBER OPTIC
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN Haji Adam Malik Medan
PELAYANAN Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan intubasi dengan menggunakan


fiber optik.

2. RUANG LINGKUP :
- Memahami indikasi intubasi dengan fiber optik
- Melakukan persiapan dengan baik sebelum melakukan tindakan
- Melakukan tindakan sesuai dengan urutan

3. KEBIJAKAN :
- Tindakan intubasi dengan airway harus tetap mengacu pada algoritma difficult
airway.

4. INDIKASI :
Tindakan intubasi dengan fiber optic dilakukan pada kasus-kasus pengelolaan jalan
nafas yang memerlukan pemasangan pipa jalan nafas tetapi tidak mungkin/ sulit untuk
dilakukan tindakan laringoskopi karena kesulitan jalan nafas yang disebabkan oleh
berbagai keadaan (seperti: tidak bisa membuka mulut, gangguan pergerakan leher
oleh karena kekakuan sendi atau kontraktur, trauma servikal, masa pada jalan nafas,
malampati IV).

5. PERSIAPAN
- Persiapkan emergency kit
- Siapkan juga obat-obatan dan peralatan anestesi umum
- Persiapkan untuk terjadinya komplikasi tindakan dan obat yang diberikan

43
- Persiapkan fiber optic dan pastikan berfungsi dengan baik
- Algoritma kesulitan jalan nafas sudah harus dipahami dengan baik
- Hubungkan pasien dengan alat monitor (nadi, tekanan darah, respirasi, SpO2)
- Berikan obat antisialogogue ( Sulfas atropine, glikopirolat ) bila diperlukan
- Lakukan informed consent kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang
akan dilakukan.

6. TEKNIK INTUBASI DENGAN FIBER OPTIC


- Pilih lubang hidung dengan aliran udara yang lebih terbuka
- Berikan lubrikan pada fiber optic dan pipa endotrakeal (ETT) yang akan
digunakan
- Masukkan ETT melalui lubang hidung yang telah dipilih
- Setelah ETT melewati nostril sepanjang nasal air way, masukkan bronkoskop
fiber optic ke dalam lumen ETT
- Identifikasi epiglotis dan pita suara dengan mengarahkan bronkoskop fiber optic
ke atas/ bawah atau ke kanan/kiri, kemudian bila sudah teridentifikasi arahkan
fiber optic masuk melewati pita suara ke dalam trakea sampai posisinya berada di
atas karina
- Ketika mencapai trakea dorong ETT masuk kedalam trakea dengan pipa fiber
optic sebagai panduannya
- Posisi ETT yang tepat dikonfirmasi dengan terlihatnya karina tepat di bawah
ujung ETT
- Kembangkan balon ETT
- Tarik bronkoskop fiber optic

7. UNIT TERKAIT: Dokter anestesi, dokter bedah di lingkungan rumah sakit.

8. DOKUMEN TERKAIT: Status rawat pasien, status anestesi, surat izin operasi, surat
izin anestesi.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT TATA LAKSANA REHIDRASI PEDIATRIK


HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN 1 April 2014 Haji Adam Malik Medan
ANESTESI DAN TERAPI

44
INTENSIF
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Memberikan acuan yang benar dalam memperbaiki keadaan volume


cairan dan pengaturan cairan pada bayi dan anak sebelum berlangsungnya operasi.

2. KEBIJAKAN : memberikan pelayanan anestesi pada operasi bayi/anak secara aman


dan benar.

3. PROSEDUR :
I. Penentuan derajat dehidrasi
Untuk dapat memberikan rehidrasi yang tepat, tentukan terlebih dahulu derajat
dehidrasi dari bayi dan anak.
Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang Dehidrasi Berat (11-
(1-5%) (6-10%) 15%)
Kesadaran Komposmentis Delirium Lethargy
Nadi Normal Meningkat Takikardia
Tekanan darah Normal Normal Menurun
Mukosa Kering Kering Sangat kering
fontanelle Normal Cekung Cekung
urin Normal Berkurang Hampir tidak ada
Setiap selsai dilakukannya rehidrasi dilakukan kembali pemeriksaan terhadap
nadi, takanan darah, mukosa fontanel dan urin. Terapi selanjutnya akan
diberikan sesuai dengan derajat dehidrasi setelah rehidrasi.

II. Cara pemberian cairan


a. Dehidrasi Ringan
Suatu keadaan dimana seorang pasien telah kehilangan sekitar 1-5% cairan
dari tubuhnya.
Untuk neonates Total Body Water 75-80% dari berat badan.
Untuk infant Total Body Water 70% dari berat badan.
Total Body Water x Berat Badan x Derajat Dehidrasi (1-5%) = jumlah
cairan yang akan diberikan
Cara melakukan rehidrasi:
 Rehidrasi dilakukan dengan menggunakan KN1B ( neonates) atau
RL, NaCl0,9% ( pada anak) selama 6 -12 jam.
 Dilanjutkan dengan cairan rumatan sesuai berat badan.

b. Dehidrasi Sedang

45
Suatu keadaan dimana seorang pasien telah kehilangan sekitar 6-10%
cairan dari tubuhnya.
Untuk neonates Total Body Water 75-80% dari berat badan.
Untuk infant Total Body Water 70% dari berat badan.
Total Body Water x Berat Badan x Derajat Dehidrasi (6-10%) = jumlah
cairan yang akan diberikan
Cara melakukan rehidrasi:
 Rehidrasi dilakukan dengan menggunakan KN1B ( neonates) atau
RL, NaCl0,9% ( pada anak) selama 6 -12 jam.
 Setelah rehidrasi selsai lakukan pemeriksaan ulangan untuk
menentukan kembali derajat dehidrasi.
 Bila masih pada keadaan dehidrasi sedang. Rehidrasi seperti diatas
dilakukan lagi.
 Bila sudah menjadi dehidrasi ringan hanya dilanjutkan dengan
pemberian cairan rumatan.

Rehidrasi cepat:
 Pada anak dapat dilakukan dengan pemberingan RL 40cc/kgBB
diberikan selama 1-2 jam.
 Bila masih dalam derajat dehidrasi yang sama dapat dilakukan
pengulangan.
 Bila sudah menjadi derajat ringan hanya diberikan cairan rumatan
c. Dehidrasi Berat
Suatu keadaan dimana seorang pasien telah kehilangan sekitar 11-15%
cairan dari tubuhnya.
Untuk neonates Total Body Water 75-80% dari berat badan.
Untuk infant Total Body Water 70% dari berat badan.
Total Body Water x Berat Badan x Derajat Dehidrasi (11-15%) = jumlah
cairan yang akan diberikan
Cara melakukan rehidrasi:
 Rehidrasi dilakukan dengan menggunakan KN1B ( neonates) atau
RL, NaCl0,9% ( pada anak) selama 6 -12 jam.
 Setelah rehidrasi selsai lakukan pemeriksaan ulangan untuk
menentukan kembali derajat dehidrasi.
 Bila masih pada keadaan dehidrasi berat. Rehidrasi seperti diatas
dilakukan lagi.

46
 Bila dehidrasi menjadi sedang berikan jumlah cairan setengah dari
cairan terapi pertama.
 Bila sudah menjadi dehidrasi ringan hanya dilanjutkan dengan
pemberian cairan rumatan.

Rehidrasi cepat:
 Pada anak dapat dilakukan dengan pemberingan RL 40cc/kgBB
diberikan selama 1-2 jam.
 Bila masih dalam derajat dehidrasi yang sama dapat dilakukan
pengulangan.dengan penambahan cairan 20-40cc/kg yang
diberikan dalam 1-2 jam
 Bila sudah menjadi derajat ringan hanya diberikan cairan rumatan
III. Cairan rumatan
Cairan rumatan diberikan dengan menggunakan rumus Holiday Sigar
1. 4 ml/kgBB/jam pada berat 10 kg pertama
2. 2 ml/kgBB/jam pada berat 10 kg kedua
3. 1 ml/kgBB/jam pada berat sisanya
Cairan yang diberikan;
 Pada bayi D5½NaCl0,9%
 Pada anak Ringer laktat, NaCl 0,9%

IV. Cairan pengganti puasa


Penghitungan cairan adalah :
cairan rumatan sesuai berat badan x berapa lama puasa yang dialami pasient
cara pemberian cairan :
 Jam 1: hasil per hitungan diatas diberikan 50%
 Jam 2: hasil per hitungan diatas diberikan 25%
 Jam 3 : hasil per hitungan diatas diberikan 25%

4. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

5. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi

47
PANDUAN MANAJEMEN
PASCAOPERATIF
48
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/5
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
Tanggal Terbit
MEDIS 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Memberikan acuan yang benar dalam penatalaksanaan pasca anestesi


pasien – pasien yang menjalani pembedahan, di ruang pemulihan anestesi.

2. KEBIJAKAN: memberikan pelayanan pasca anestesi pada pasien – pasien yang


menjalani pembedahan, sampai pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat, ruang ICU
atau pasien dipulangkan pada pasien One Day Surgery (ODS).

3. PEDOMAN MELIPUTI :
a. Syarat tata ruang pemulihan
b. Syarat alat – alat yang diperlukan di ruang pemulihan
c. Syarat SDM yang diperlukan diruang pemulihan
d. Pedoman medis penatalaksanaan pasien pasca anestesi

4. SYARAT TATA RUANG PEMULIHAN :


a. Ruang pemulihan sebaiknya berada dekat/ satu lokasi dengan ruang pembedahan,
dekat dengan fasilitas radiologi, laboratorium, dan ICU.
b. Merupakan suatu ruang perawatan yang terbuka, untuk memudahkan akses dan
pengawasan semua pasien yang dirawat didalamnya.

49
c. Rasio jumlah tempat tidur di ruangan pemulihan adalah 1.5 kali jumlah kamar
bedah ditempat yang bersangkutan.
d. Setiap tempat tidur pasien mempunyai sistim penerangan yang cukup, dimana
setiap tempat tidur dilengkapi dengan outlet O2, outlet udara ( Air ), suction unit,
infusion pump, standar infus, lampu penghangat atau alat penghangat lainnya.

5. SYARAT ALAT – ALAT MEDIS YANG DIPERLUKAN DI RUANG


PEMULIHAN
a. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan pulse oksimetri, pengukur tekanan darah
automated.
b. EKG diperlukan untuk pasien – pasien dengan dengan riwayat gangguan jantung,
yang menunjukkan kelainan pada saat pembedahan, dan pasien yang terancam
terjadi gangguan jantung selama perioperatif.
c. Pada pasien yang diputuskan untuk tetap terintubasi diperlukan EtCO2 dan T-
piece.
d. Diperlukan alat untuk memonitor temperatur.
e. Setiap ruang pemulihan mempunyai persediaan alat –alat berupa: oropharyngeal
airway, ETT semua ukuran, Laringoskop, LMA, Ambu bag, kanula nasal, Non
rebreathing mask, simple mask, dan kanula nasal.
f. Tersedia ventilator non invasive ( CPAP mask, NIV), alat nebulizer.

6. SYARAT SDM YANG DIPERLUKAN DI RUANG PEMULIHAN


a. Ruang pemulihan anestesi berada dibawah pengawasan seorang dokter spesialis
anestesiologi.
b. Dokter Anestesi harus melakukan penatalaksanaan nyeri pascabedah sejak di
ruang pemulihan, masalah CVS, respirasi, dan masalah metabolik.
c. Dokter speialis bedah tetap terlibat menangani masalah yang terkait dengan
pembedahannya.
d. Dokter anestesi dibantu oleh perawat yang sudah terlatih dan kompeten untuk
menatalaksanaan pasien di ruang pemulihan anestesi.
e. Perawat yang bekerja di ruang pemulihan mempunyai kemampuan/ kompetensi
yang sama dengan perawat anestesi, disyaratkan adalah perawat yang sudah
mempunyai sertifikat untuk resusitasi, dapat menangani masalah airway sampai
melakukan intubasi dan ventilasi manual, wound care, menatalaksana kateter
urine, kateter drainage, dan mengatasi syok karena perdarahan.
f. Perawat diruang pemulihan mampu melakukan monitoring pasien dan bersama –
sama dengan dokter anestesi melakukan penilaian kelayakan pasien yang akan
dipindahkan ke fasilitas perawatan lain.
g. Setiap 1 pasien dirawat oleh satu orang perawat.
50
h. Terdapat panduan untuk melakukan konsultasi ke disiplin ilmu lain, di ruang
pemulihan anestesi ini.
i. Ruang pemulihan anestesi termasuk dalam tugas pengawasan Chef d’clinique
anestesi

7. PEDOMAN PENATALAKSANAAN PASIEN PASCA ANESTESI


Dalam pedoman ini dikenal beberapa jenis pelayanan yang harus diperhatikan :
a. Cara transportasi dari kamar pembedahan ke ruang pemulihan,
b. Menilai emergence ( bangun dari anestesi )
c. Recovery rutin
d. Recovery dari anestesi regional
e. Mengatasi nyeri
f. Mengatasi agitasi pasca bedah
g. Mengatasi mual muntah pasca bedah
h. Mengatasi shivering pasca bedah
i. Mengatasi hipertermi dan hipotermi pasca bedah
j. Krieria pengeluaran pasien dari ruang pemulihan
k. Kriteria pengeluaran pasien untuk pindah ke ICU, dan cara transportasi pasien ke
ICU.
l. Kriteria pengeluaran pasien untuk pindah ke ruang rawat biasa
m. Kriteria pengeluaran pasien untuk pulang pada pasien ODS
n. Mengatasi komplikasi masalah pernafasan : obstruksi jalan nafas, hipoventilasi,
hipoksemia.
o. Mengatasi komplikasi sirkulasi : hipotensi, hipertensi, aritmia.
p. Dokter penanggung jawab pasca bedah dalam kaitannya dengan proses
pendidikan
q. Konsultasi antar bagian yang diperlukan pasca bedah

8. PROSEDUR:
a. Pasien tidak boleh dipindahkan dari kamar operasi kecuali jalan napasnya
sudah dijamin paten dan stabil, dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat,
serta hemodinamik yang stabil.
b. Pemindahan pasien ke ruang pemulihan harus didampingi oleh dokter anestesi
yang memahami kondisi pasien.
c. Selama pemindahan dokter anestesi bertanggung jawab terhadap jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi dan diberikan bantuan sesuai kondisi pasien
d. Oksigen suplemen harus diberikan saat memindahkan pasien dengan resiko
hipoksemia.
e. Pasien yang tidak stabil harus tetap terintubasi dan bila akan dipindahkan ke
RR harus tetap termonitor dengan monitor portable, dan harus tersedia obat-
obat emergensi.

51
f. Pasien dengan resiko aspirasi atau perdarahan saluran nafas atas harus
dipindahkan dengan posisi lateral.
g. Setelah tiba di ruang pemulihan, segera lakukan pemeriksaan patensi jalan
nafas, tanda vital, dan oksigenasi.
h. Posisikan posisi pasien head up (bila tidak ada kontra indikasi)
i. Lakukan serah terima pasien kepada dokter anestesi/ perawat yang bertugas di
ruang pemulihan dengan informasi yang berkenaan dengan kondisi prabedah
dan jalannya pembedahan (jenis anestesi, tindakan pembedahan, perdarahan,
jumlah dan jenis cairan yang diberikan, komplikasi operasi),kemungkinan
masalah pascaoperasi, serta instruksi pascabedah.
j. Petugas ruang pemulihan melakukan pemeriksaan ulang kondisi pasien
bersama-sama dengan pemberi anestesi.
k. Kondisi pasien setelah tiba di kamar operasi harus dicatat
l. Dokter anestesi yang melakukan pembiusan dapat meninggalkan ruang
pemulihan setelah melakukan serah terima dengan petugas ruang pemulihan.
m. Pemantauan kesadaran, tekanan darah, laju nadi, laju nafas, suhu, SPO2 di
ruang pemulihan dilakukan secara rutin setiap 5 menit pada 15 menit pertama
atau sampai stabil, kemudian setelah itu tiap 15 menit.
n. Pantau adanya nyeri pascaoperasi, mual, muntah, input-output cairan, drain,
perdarahan.Kemudian lakukan tindakan / tatalaksana yang sesuai.
o. Pada pasien yang mendapatkan tindakan regional harus dilakukan
pemeriksaan motorik dan sensorik secaraperiodic, dengan pemantauan
hemodinamik yang lebih ketat.
p. Kriteria pengeluaran pasien dari ruang pemulihan menggunakan kriteria
aldrette score dengan skor ≥ 9
q. Dibuat laporan tertulis yang akurat tentang pemantauan kondisi pasien di
ruang pemulihan.

9. UNIT TERKAIT: dokter spesialis anestesi, perawat ruang pemulihan, dan petugas
lain yang terkait.

10. DOKUMEN TERKAIT: Buku serah terima pasien, status anestesi, status pasien

52
53
PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
PEDIATRIK

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRIK:


HAJI ADAM MALIK MEDAN PYLORIC STENOSIS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/5
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan pyloric stenosis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen pre,intra, pascaoperatif.

54
3. KEBIJAKAN : Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medikal akut dan
bukan keadaan emergensi surgikal, oleh karena itu harus dilakukan persiapan
optimalisasi keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik.

4. PENGERTIAN :
Stenosis pylorus terjadi akibat hipertropi otot-otot pada saluran keluar lambung
sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi. Kelainan ini merupakan salah satu
kelainan pada gastrointestinal tersering yang terjadi pada 3 bulan pertama setelah
lahir. Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medikal akut dan bukan
keadaan emergensi surgikal, oleh karena itu harus dilakukan persiapan optimalisasi
keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

5. INSIDENSI DAN ETIOLOGI:


- Stenosis pylorus lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan
dengan insidensi 4:1 yang terjadi pada usia 3 bulan pertama setelah lahir.
- Etiologi: Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun dari beberapa
teori menyatakan bahwa etiologi stenosis pylorus adalah sebagai berikut:
 Hipoganglionosis
 Infeksi H. pylori
 Hipergastrenemia dengan pilorospasme

6. PATOFISIOLOGI
- Pasien dengan stenosis pylorus akan mengalami berbagai gangguan elektrolit dan
metabolik. Gangguan elektrolit yang sering didapatkan adalah: hipokloremik,
hipokalemia, hipovolemia, hipokalsemia, dan metabolic alkalosis hiponatremik.
- Dalam keadaan normal setiap mEq asam lambung yang disekresikan akan diikuti
dengan pelepasan satu mEq HCO3- dari pankreas, sehingga terjadi penetralan
asam lambung yang melewati duodenum oleh HCO3- yang disekresikan oleh
pankreas.
- Pada keadaan stenosis pylorus hilangnya asam lambung terjadi melalui vomitus
atau aspirat gastric, sedangkan sekresi HCO3- tetap terjadi sehingga kadarnya
dalam plasma akan terus meningkat. Peningkatan ini lama kelamaan membuat
tubulus proksimal ginjal tidak mampu lagi untuk mengatasi kelebihan HCO3- dan
akan meningkatkan kadar NaHCO3 yang diteruskan ke tubulus distal yang juga

55
tidak lagi mampu mengabsorbsinya. Akibatnya ginjal akan mengekskresikan urin
dengan pH> 7,0.
- Terjadinya hal di atas mengakibatkan deplesi cairan ekstra seluler akibat usaha
ginjal untuk melakukan konservasi Na+ melalui stimulasi sekresi aldosteron.
- Hipolakemia terjadi akibat hilangnya kalium melalui vomitus dan melalui urin
akibat pertukarannya dengan H+ dalam usahanya untuk melakukan konservasi
terhadap Na+. Hipokalemia juga terjadi akibat perpindahan K+ ke intra sel akibat
pH yang bertambah alkali.
- Hipokloremia terjadi akibat hilangnya Cl- melalui sekresi lambung.

7. GAMBARAN KLINIS:
- Stenosis pylorus terjadi antara umur 3-5 minggu. Terdapat riwayat muntah-
muntah nonbilious yang progresif dan kemudian menjadi proyektil.
- Konstipasi
- Jaundice; terjadi akibat defisiensi glukoronil transferase karena keadaan starvasi.
- Bayi akan tampak dehidrasi dengan gerakan peristaltis lambung yang visible.
- Pada palpasi pada daerah epigastrium atau hipokondrium kanan teraba massa
tumor (Olive Tumor).
- Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
o Hemoglobin: hemokonsentrasi
o Elektrolit: hipokalemia, hipokloremia, hiponatremia, hipokalsemia
o AGD: pada keadaan awal didapatkan alkalosis metabolik sedangkan pada
keadaan lanjut akan didapatkan asidosis metabolic.
- Diagnosa dikonfirmasi melalui pemeriksaan radiologi: USG abdomen

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah bersifat medikal untuk melakukan
stabilisasi pasien sebelum melakukan prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan
adalah:
- Pasang jalur intravena, kemudian ambil sampel darah untuk melakukan
pemeriksaan Hb dan elektrolit.
- Pasang NGT dan lakukan suctioning secara kontinyu.
- Lakukan rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi dan koreksi gangguan elektrolit.
- Pada dehidrasi berat (kehilangan cairan > 15%): berikan bolus normal salin, RL,
dan diperlukan diberikan koloid 20 ml/ kg. Kemudian pemberian cairan
selanjutnya sesuai dengan dehidrasi sedang dengan memberikan defisit cairan
dalam 6-8 jam.
- Dehidrasi ringan-sedang: berikan cairan glukosa dalam salin (D 5 0,45 NS dengan
10 mEq KCL/ 500 ml) sebanyak 6-8 ml/ kg/ jam. Penambahan KCl hanya

56
dilakukan apabila telah terjadi diuresis yang cukup. Aspirat dari NGT juga harus
diganti dengan jumlah yang sama dengan NS. Apabila target sudah tercapai
berikan maintenan dengan D5 0,225NS (1/4 NS) sebanyak 4 ml/ kg/ jam.

Target Resusitasi:
- Klor serum ≥ 106 mmol/ L
- Na+ serum ≥ 135 mmol/ L
- HCO3- serum ≤ 26 mmol/ L
- Cl- urin > 20 mmol/ L
- Diuresis > 1 ml/ kg
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pastikan abnormalitas asam basa dan dehidrasi sudah terkoreksi sebelum memulai
induksi.
- Lakukan aspirasi kembali pada NGT sebelum induksi dengan posisi bayi miring
kiri, kanan, dan supine.
- Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
- Induksi dilakukan dengan rapid sequence induction, tetapi apabila diperkirakan
terdapat kesulitan pada jalan nafas maka sebaiknya lakukan intubasi dalam
keadaan awake.
- Maintenan anestesi dapat diberikan dengan halotan atau sevofluran dan N2O,
pelemas otot, opioid, dengan memberikan ventilasi IPPV, dan jaga agar
temperatur tetap normotermi.
- Monitoring: EKG, pulse okximetry, NIBP, EtCO2, temperatur, stetoskop
prekordial.
- Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan fully awake dan dalam keadaan
lambung yang telah dikosongkan.
- Saat akhir operasi dapat diberikan bupivakain 0,25% secara infiltrasi pada daerah
luka operasi sebagai analgesia pascaoperasi.

10. MANAJEMEN PASCAOPERASI


- Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
- Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan monitoring
pernafasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam pascaoperasi. Hal ini
dikarenakan terdapat kemungkinan terjadinya apnoe akibat perubahan pH pada
LCS sebagai akibat sekunder dari hiperventilasi dan alkalosis.
- Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
- Analgesia pascaoperatif dapat diberikan parasetamol per rectal dengan loading
dose 30-40 mg/ kg diikuti dengan dosis 15-20 mg/ kg tiap 6 jamHindari opioid
karena dapat menambah resiko apnoe pascaoperatif.

57
11. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter/ residen bedah anak, dokter
IKA

13. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Pyloric stenosis. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 210-212.
- Bell C,Kain ZN.Anesthesia for gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatric
Anesthesia Handbook. Edisi II. 1997.h:250-251

58
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRIK:
HAJI ADAM MALIK MEDAN OBSTRUKSI INTESTINAL

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan obstruksi intestinal yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Permasalahan pada obstruksi intestinal, manajemen pre,intra,


pascaoperatif.

3. KEBIJAKAN : Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien


dengan lambung penuh.

4. ETIOLOGI OBSTRUKSI INTESTINAL AKUT:


Neonatal:
- Duodenal
- Jejunal
- Ileal
- Kolon
- Anorektal
Infant:
- Intussusepsi
- Hirschprung’s disease
- Hernia inkarserata
Anak yang lebih besar:
- Divertikulum Meckel’s
- Obstruksi adhesive
- Hernia

5. ETIOLOGI OBSTRUKSI PARSIAL KRONIS:


- Volvulus caecal

6. PERMASALAHAN PADA OBSTRUKSI INTESTINAL:


- Vomitus

59
- Dehidrasi
- Abnormalitas elektrolit
- Distensi abdomen yang akan mengganggu respirasi terutama pada infant.
- Infeksi; Apabila integritas dari dinding usus terganggu maka bakteri akan masuk
ke dalam rongga peritoneal dan akhirnya dapat masuk ke system sirkulasi.
Pelepasan endotoksi akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan syok.
- Obstruksi, perdarahan, infeksi , infark akan menyebabkan gangguan perfusi ke
usus.

7. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan tanda dan gejala klinis.
- Pada saat pemeriksaan fisik lakukan pemeriksaan temperatur, laju nadi, tekanan
darah, perfusi perifer, turgor kulit, fontanela, tekanan ocular, derajat enopthalmus,
mukosa bibir, status mental, dan dieresis.
- Lakukan penentuan derajat dehidrasi
- Tentukan besarnya defisit cairan dan lakukan rehidrasi berdasarkan derajat
dehidrasi.
- Pada keadaan hipovolemia berat berikan cairan secara cepat untuk segera
melakukan restorasi sirkulasi dan fungsi ginjal. Untuk resusitasi awal dapat
diberikan bolus RL 20 ml/ kg. Koreksi defisit cairan ekstra dan intrasel dan juga
elektrolit diperbaiki berikutnya dalam 24-72 jam.
- Restorasi volume harus dipantau dengan pemasangan kateter urin untuk menilai
diuresis.
- Lakukan penilaian ulang secara lebih sering terhadap status cairan dan elektrolit.
- Pasang NGT dan lakukan suctioning
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan: kreatinin serum dan BUN (meningkat
pada keadaan dehidrasi), leukosit (meningkat pada keadaan infeksi), elektrolit
lengkap (biasanya abnormal), hemoglobin.
- Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen: air/ fluid
level.

8. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien dengan lambung
penuh.
- Lakukan induksi dengan rapid sequence induction dengan penekanan pada
krikoid atau dengan intubasi awake.
- Sebelum dilakukan induksi berikan preoksigenasi dengan masker selama 3-5
menit.

60
- Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien dengan status hidrasi yang baik
dengan lokasi obstruksi pada kolon bawah yang tidak dalam keadaan distensi
gaster ( tidak ada muntah) dan belum terpasang jalur intravena.
- Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai sevofluran atau halotan.
- Hindari pemakaian N2O karena akan semakin menyebabkan distensi. Pilihan gas
yang lebih baik adalah campuran dengan air dan oksigen.
- Berikan suplemen narkotik (misal:fentanil). Tetapi hindari memberikan dengan
dosis besar pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan pada bayi prematur
yang beresiko besar terjadinya apnoe pascaoperatif.
- Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi tekanan intraabdominal yang tinggi
akibat obstruksi dan monitoring end tidal CO2 secara ketat.
- Pemberian cairan intravena tergantung dari jumlah kebutuhan maintenan, defisit
cairan seblumnya, dan kehilangan cairan ke ruang ketiga/ darah yang terjadi
selama operasi.
- Cairan maintenan diberikan D5 ½ NS sedangkan cairan pengganti diberikan
balanced salt solution (RL).
- Kehilangan darah aktual diganti dengan 3 ml cairan kristaloid untuk tiap 1 ml
darah yang hilang sampai dicapai maximum allowable blood lose.
- Lakukan pemeriksaan faktor koagulasi apabila actual blood lose melebihi
estimated blood volume.
9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pada akhir operasi ETT tetap dipertahankan sampai pasien benar-benar bangun,
ventilasi spontan telah adekuat, temperatur inti normal, efek pelemas otot dan
obat-obatan lainnya telah benar-benar hilang.
- Support ventilasi dan kardiovaskular dipertimbangkan pada pasien dengan insisi
yang lebar, sepsis, kardiovaskular yang tidak stabil, dan depresi pada system saraf
pusat.
- Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
- Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan monitoring
pernafasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam pascaoperasi. Monitor
terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
- Transportasi pasien dilakukan dengan posisi lateral.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokterbedah anak, dokter IKA

12. REFERENSI:
61
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Intestinal obstruction in children.
Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 193-196.
- Bell C,Kain ZN.Anesthesia for gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatric
Anesthesia Handbook. Edisi II. 1997.h:251-253

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRIK:


HAJI ADAM MALIK MEDAN TRACEOESOPHAGEAL FISTULA (TEF)

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan kelainan TEF yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai pneumonia teratasi


atau telah mengalami perbaikan dengan antibiotik. Kunci sukses manajemen pasien
TEF adalah penempatan posisi ETT yang tepat.

4. DIAGNOSIS :
- Antenatal: polihidramnion maternal

62
- Postnatal: ditandai dengan 3C, yaitu: choking, coughing, dan cyanosis,
- Suspek diagnosis TEF bila pada saat pemasangan NGT terdapat obstruksi.
- TEF sering disertai dengan pneumonia aspirasi dan kelainan kongengital lainnya.

5. ASSOCIATED ANOMALIES
VATER SYNDROME:
- Vertebral anomalies atau ventricular septal defect
- Anal atresia
- Tracheoesofageal fistula
- Esofageal atresia
- Radial aplasia dan renal anomalies
VACTERL:
- Cardiac dan limbs anomalies
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia, yaitu dengan
memposisikan pasien dalam keadaan head-up, hindari pemberian makan/minum,
kantung esophageal harus selalu bersih dari sekret dengan memasang oral-
esofageal tube.
- Lakukan chest physiotherapy
- Berikan antibiotik
- Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan pemberian nutrisi apabila operasi
masih ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam anestesi lokal.
- Pasien ini mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadinya dehidrasi karena
asupan oral yang tidak cukup,oleh karena itu segera lakukan rehidrasi dengan
pemberian cairan intravena.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai pneumonia teratasi atau telah
mengalami perbaikan dengan antibiotik.
- Lakukan suctioning sekret faring pada kantung esophageal secara berkala sebelum
dan selama pembedahan karena pada pasien ini bertendensi untuk terjadi sekresi
yang banyak.
- Pencegahan pneumonia aspirasi juga dilakukan dengan melakukan suctioning
pada tube gastrostomi.
- Pastikan pasien sudah dalam keadaan euvolum.
- Sebelum operasi dimulai pastikan sudah terdapat persediaan darah apabila
sewaktu-waktu dibutuhkan transfuse yang segera.
- Hindari memberikan ventilasi tekanan positif sebelum dilakukan intubasi karena
akan menyebabkan distensi lambung yang akan mengganggu pengembangan paru.
- Intubasi dilakukan secara awake dan tanpa pelumpuh atau dengan sedasi dan tetap
mempertahankan nafas spontan untuk menghindari distensi yang berlebihan pada

63
lambung sehingga meningkatkan resiko terjadinya aspirasi dan gangguan
respirasi.
- Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi dapat diberikan hanya setelah
dilakukan penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan secara hati-hati dapat
menghasilkan pergerakan dada yang adekuat tanpa terjadinya distensi lambung.
- Apabila terjadi distensi lambung pada pasien yang telah terpasang gastrostomi
maka keluarkan udara dari lambung dengan mengalirkan keluar melalui tube
gastrostomi.
- Kunci sukses manajemen pasien TEF adalah penempatan yang tepat posisi ETT.
- Idealnya ujung ETT harus berada di antara fistula dan karina sehingga gas anestesi
dapat masuk ke dalam paru dan tidak ke lambung. Untuk itu dapat dilakukan
dengan pertama kali memasukkan ujung ETT ke dalam salah satu bronkus,
kemudian sambil dilakukan auskultasi dilakukan penarikan ETT. Penarikan ETT
dihentikan apabila bunyi suara kedau paru telah sama yang menandakan ujung
ETT telah berada di atas karina.
- Lakukan pemasangan stetoskop prekordial.
- Penurunan saturasi oksigen dapat merupakan indikasi bahwa terjadi retraksi pada
bagian paru dan memerlukan tindakan untuk re-ekspansi.
- Retraksi selama pembedahan juga dapat menimbulkan penekanan pada pembuluh
darah besar, trakea, jantung, dan nervus vagus yang ditandai dengan hipotensi dan
bradikardia. Lakukan monitoring tekanan darah secara kontinyu dengan arterial
line.
- Pada saat menentukan fraksi oksigen yang akan diberikan harus dipertimbangkan
adanya resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP).

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi pascaoperasi pada pasien dengan
pneumoni aspirasi sebelumnya, atau apabila pada anastomosis yang dilakukan
terjadi tension.
- Berkurangnya kartilago trakea dapat menyebabkan kolaps pada trakea setelah
dilakukan ekstubasi.
- Hindari ekstensi pada leher dan tindakan instrumentasi pada esophagus (misal:
suctioning) karena dapat merusak daerah operasi.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

64
10.UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah anak, dokter IKA.
11. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 941-942
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients.Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 532-533.
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical Emergencies.
Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 63-65.

65
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRIK:
HAJI ADAM MALIK MEDAN GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan kelainan gastroscisis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya


hipotermia, infeksi, dan dehidrasi.

4. PENGERTIAN:
Gastroschisis dan Omphalocele merupaka kelainan kongengital yang ditandaidengan
defek pada dinding abdomen sehingga terjadi herniasi eksternal organ viscera.

5. PERBEDAAN GASTROSCHISIS DAN OMPHALOCELE:


Omphalocele timbul pada daerah tengah umbilicus, mempunyai kantung, dan sering
berhubungan dengan kelainan kongengital lainnya, seperti: trisomi 21, hernia
diafragmatika, malformasi jantung dan blader. Sedangkan gastroschisis terjadi di
daerah lateral umbilicus, tidak berkantung, dan biasanya merupakan kelainan tunggal.
Pada gastroschisis mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya kehilangan
cairan dan elektrolit secara masif.

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya hipotermia,
infeksi, dan dehidrasi.
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT.
- Lakukan penilaian terhadap status hidrasi dan elektrolit dan segera lakukan
koreksi bila belum optimal.
- Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada gastroshisis yang mempunyai resiko
infeksi yang lebih besar.

66
- Cegah terjadinya hipotermia dengan memberikan penghangat. Pasien dengan
gastroschisis dan omphalocele mempunyai tendensi untuk kehilangan panas tubuh
melalui evaporasi.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum induksi.
- Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam keadaan awake atau tidur, baik
dengan pelemas otot atau tanpa pelemas otot.
- Hindari penggunaan N2O untuk mencegah distensi lebih lanjut pada usus.
- Pemberian pelemas otot diperlukan saat memasukkan usus ke dalam rongga
abdomen.
- Penutupan satu tahap (perbaikan primer) tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen abdominal, sehingga dilakukan pemasangan
silastic silo untuk meregangkan kulit dinding abdomen untuk beberapa hari
kemudian dilakukan penutupan secara komplit.
- Penutupan primer yang menyebabkan dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval, hipotensi berat, mengganggu aliran balik vena
dan menyebakan edema pada tubuh bagian bawah.
- Apabila terjadi sindrom kompartemen abdomen harus dilakukan pembukaan
kembali dinding abdomen yang telah ditutup, kemudian berikan hidrasi yang
agresif dan inotropik.
- Kriteria sebagai panduan untuk menilai tekanan abdomen yang aman untuk
dilakukan penutupan, adalah sebagai berikut:
 Tekanan intragaster < 20 cmH2O
 Tekanan intravesika < 20 cmH2O
 End tidal CO2 < 50 mmHg
 Peak inspiratory pressure < 35 cmH2O

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pascaoperasi pasien dipertahankan tetap dalam keadaan terintubasi.
- Penyapihan dari ventilator dilakukan 1-2 hari berikutnya.
- Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi, dan infeksi.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter, dokter bedah anak, dokter IKA

11. REFERENSI:

67
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 942
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients.Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 533-534.
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical Emergencies.
Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 65-67.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA


HAJI ADAM MALIK MEDAN DIAFRAGMA KONGENGITAL

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/5
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien hernia
diafragmatika yang akan menjalani tindakan pembedahan.

68
2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen pre,intra, pascaoperatif.

3. KEBIJAKAN : Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah melakukan


stabilisasi pasien sebelum melakukan prosedur koreksi

4. PENGERTIAN :
Hernia diafragma kongengital terjadi karena kegagalan penutupan diafragma pada
masa perkembangan fetus yang mengakibatkan herniasi isi abdomen ke dalam toraks.
Usus yang mengalami herniasi kedalam toraks akan memberikan efek seperti space
occupying lesion dan menghambat perkembangan normal dari paru.

5. LOKASI DEFEK:
Defek diafragma dapat terjadi pada 3 tempat:
- Posterolateral kanan dari Foramen Bochdalek
- Posterolateral kiri dari Foramen Bochdalek
- Anterior dari Foramen Morgagni
Sebagian besar herniasi (90%) terjadi pada sisi kiri, terutama pada bagian
posterolateral foramen bochdalek.

6. PATOFISIOLOGI
- Tanda utama hernia diafragma, adalah: hipoksia, abdomen berbentuk scaphoid,
serta didapatkan bukti adanya usus di dalam toraks baik melalui pemeriksaan
auskultasi atau radiologi.
- Hipoplasia paru biasanya ipsilateral tetapi dapat pula bilateral akibat pergeseran
mediastinum yang akan mengkompresi paru kontralateral. Hipoplasia ini terjadi
karena efek kompresi dari usus yang mengalami herniasi sehingga terjadi reduksi
alveoli dan bronkioli.
- Paru yang hipoplastik memberikan gambaran bronki yang lebih kecil, cabang
bronkus lebih sedikit, dan gambaran vaskulatur abnormal.
- Otot polos pada pembuluh darah arteriol akan menebal dan meluas ke dalam
kapiler alveoli sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal dan terjadilah
shunting dari kanan ke kiri.
- Derajat hipoplasi paru dan hipertensi pulmonal ditentukan oleh masa gestasi saat
herniasi tersebut terjadi.
- Penurunan preload dan cardiac output terjadi apabila terdapat penekan herniasi
pada vena cava sehingga terjadi obstruksi.
- Hernia diafragmatika kadang disertai dengan kelainan dan malrotasi jantung.
69
- Gangguan kardipulmonal yang terjadi terutama lebih disebabkan oleh akibat
hipoplasia paru dan hipertensi pulmonal dibandingkan akibat efek massa dari
viscera yang mengalami herniasi.

7. GAMBARAN KLINIS:
- Severe respiratory distress; dispnoe/ takipnoe, sianosis, dan retraksi berat.
- Peningkatan diameter anteroposterior dari dada dengan abdomen yang berbentuk
relatif scaphoid.
- Pada saat auskultasi sedikit sekali terdengar adanya aliran darah paru dan
terdengar adanya bising usus.
- Hipoksia
- Asidosis
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah melakukan stabilisasi pasien sebelum
melakukan prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
- Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia pada sisi
bawah
- Amankan jalan nafas untuk menjaga keadaan tetap normokarbia. Apabila terdapat
depresi pernafasan berat lakukan intubasi
- Jangan lakukan ventilasi dengan masker, hal ini akan menyebabkan lambung
menjadi distensi dan akan semakin mengganggu jalan nafas. Lakukan intubasi
dalam keadaan awake.
- Lakukan stabilisasi segera dengan sedasi, paralisis dan hiperventilasi moderat
- Apabila keadaan bayi memburuk dengan PaCO2 yang tinggi, maka usahakan
untuk menurunkan PaCO2 < 40 mmHg. Hal ini akan menurunkan PVR dan
meningkatkan oksigenasi.
- Saat memberikan ventilasi harus selalu diperhatikan untuk menghindari tekanan
inspirasi yang tinggi karena dapat menyebabkan barotrauma.
- Ventilasi dan oksigenisasi dapat dilakukan dengan High Frequency Oscillatory
Ventilation(HFOV) dengan resiko barotrauma yang lebih kecil.
- Nitric oxide dapat diberikan untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal.
- Jaga suhu pasien tetap normotermi.
- Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD dan elektrolit. Hindari keadaan
asidosis dan hiperkarbia. Keadaan alkalosis dapat memperbaiki aliran darah paru.
- Tindakan pembedahan dini dapat dilakukan apabila hipertensi pulmonal stabil dan
shunting dari kanan-kiri hanya sedikit.

70
- Jika pasien gagal untuk distabilkan maka stabilisasi dilakukan dengan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), namun fasilitas ini belum
tersedia di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
- Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia pada sisi
bawah
- Lakukan preoksigenasi sebelum induksi
- Lakukan intubasi secara awake atau tanpa bantuan pelemas otot.
- Rumatan anestesi diberikan dengan volatile konsentrasi rendah atau opioid,
pelemas otot, dan air sesuai dengan toleransi pasien.
- Analgesi harus diberikan secara adekuat untuk menumpulkan stress response
untuk meminimalkan peningkatan PVR yang mendadak dengan shunting kanan ke
kiri.
- Jangan gunakan N2O karena dapat membuat distensi usus dan membuat pasien
semakin hipoksia.
- Ventilasi tekanan positif yang diberikan harus membatasi peak inspiratory
pressure < 30 cmH2O.
- Lakukan monitoring terhadap tahanan jalan nafas. Peningkatan yang tiba-tiba
tahanan jalan nafas/ penurunan compliance paru, penurunan oksigenasi yang tiba-
tiba dapat merupakan indikasi terjadinya pneumotoraks (barotrauma). Apabila
terjadi pneumotoraks maka harus dilakukan pemasangan CTT.
- Usaha untuk mengembangkan paru yang hipoplastik setelah dilakukan reduksi
terhadap hernia dapat menyebabkan kerusakan pada paru yang normal.

10. MANAJEMEN PASCAOPERASI


- Lakukan pemantauan ventilasi, oksigenasi, temperatur, dan keseimbangan
elektrolit.
- Berikan FiO2 untuk menjaga PaO2 > 150 mmHg.
- Penyapihan terhadap oksigen harus dilakukan secara perlahan dalam 48-72 jam
untuk menghindari terjadinya vasokonstriksi pulmoner yang tiba-tiba dan
pulmonal hipertensi (honeymoon phenomenon).

11. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent.

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

71
13. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 940-941
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients.Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 531-532.
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical Emergencies.
Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 60-63.

72
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRIK PREMATUR
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/5
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan prematuritas yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Problema prematuritas, konsiderasi anestesi.

3. KEBIJAKAN : Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan


terhadap kontrol jalan nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh.

4. PENGERTIAN :
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada usia kehamilan < 37 minggu.
Keadaan ini harus dibedakan dengan “small for gestational age” dimana berat badan
infant (cukup bulan atau premature) yang kurang dari fifth percentile.

5. PROBLEM PREMATURITAS:
- Problem medis pada neonatus prematur bersifat multipel yang diakibatkan
immaturitas dari sistem organ mayor atau asfiksia intrauterin.
- Komplikasi pulmonal dapat berupa: hyaline membrane disease, apneic spell, dan
bronkopulmonari dysplasia. Pemberian surfaktan eksogen telah terbukti efektif
untuk mengatasi respiratory distress syndrome pada neonates tersebut.
- Patent ductus arteriosus; keadaan ini dapat menimbulkan shunting, edema paru,
dan gagal jantung kongestif.
- Hipoksia persisten atau syok dapat mengakibatkan iskemik pada usus dan
necrotizing enterocolitis.
- Prematuritas meningkatkan resiko terjadinya infeksi, hipotermi, perdarahan
intrakranial, dan kernikterus.

73
- Prematuritas biasanya berhubungan dengan peningkatan insidens anomaly
kongengital.

6. KONSIDERASI ANESTESI
- Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan terhadap kontrol
jalan nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh.
- Resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP) akibat keadaan hiperoksia
yang dapat menyebabkan kebutaan.
- Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi karena dapat menyebabkan
kebutaan. Hal ini dapat dihindari dengan memakai campuran oksigen dengan
udara atau N2O.
- ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian oksigen dengan kadar yang
fluktuatif dibandingkan dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
- Oksigenasi harus terus dimonitor secara kontinyu dengan pulse oximetry terutama
pada infant dengan usia < 44 minggu postkonsepsi.
- PaO2 normal pada neonates adalah 60-80 mmHg.
- Kebutuhan anestetik pada neonates prematur akan berkurang.
- Pemberian opioid agonis lebih disukai dibandingkan dengan volatile anestesi
dikarenakan efeknya bertendensi untuk menimbulkan depresi miokardial.
- Lakukan kontrol ventilasi dengan pelemas otot.
- Monitoring dilakukan dengan pulse oximetry, EKG, NIBP, temperatur, kapnograf,
dan stetoskop prekordial.
- Infant prematur dengan usia < 50 minggu postkonsepsi mempunyai resiko yang
sangat besar untuk terjadinya apnoe yang bersifat obstruktif maupun sentral
selama 24 jam.
- Resiko lain untuk terjadinya apnoe pascaanestesi adalah; anemia (ht<30%),
hipotermi, sepsis, dan kelainan neurologis.
- Resiko apnoe pascaanestesi dapat dikurangi dengan memberikan kafein 10 mg/ kg
atau aminofilin.
- Operasi elektif atau ODS harus ditunda sampai usia infan minimal mencapai 50
minggu postkonsepsi.
- Infant dengan usia 50-60 minggu postkonsepsi yang menjalani operasi harus di
monitor di PACU paling tidak selam 2 jam.

7. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

74
8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 939-940.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:


HAJI ADAM MALIK MEDAN TETRALOGY OF FALLOT (TOF)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/6
…/2014

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN 1 April 2014 Haji Adam Malik Medan

75
ANESTESI

DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS


NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan TOF yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen pre,intra, pascaoperatif.

3. KEBIJAKAN : Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang
diperlukan untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.

4. PENGERTIAN :
Tetralogy of fallot merupakan kelainan kongengital pada jantung yang terdiri atas:
Ventricular septal defect (VSD) yang berukuran besar, obstruksi aliran darah ventrikel
kanan (subvalvular, valvular, supravalvular, cabang arteri pulmonalis), overriding
aorta (kelainan posisi aorta sehingga aorta menerima darah dari kedua ventrikel), dan
hipertropi ventrikel kanan.

5. PATOFISIOLOGI TOF:
- Karakteristik utama dari TOF adalah sianosis.
- Sianosis pada TOF disebabkan oleh terjadinya shunt dari kanan ke kiri pada
ventrikel disertai aliran darah pulmoner yang tidak adekuat.
- Obstruksi aliran darah pada ventrikel kanan akan menyebabkan darah yang
dipompakan oleh ventrikel kanan mengalir melalui VSD yang ada kemudian
masuk ke dalam overriding aorta.
- Keadaan tersebut juga akan mengakibatkan aliran darah ke dalam sirkulasi paru
untuk proses oksigenasi makin berkurang dan terjadi percampuran darah
desaturasi kedalam sirkulasi sistemik sehingga terjadilah sianosis.
- Tekanan pada ventrikel kanan akan mendekati atau bahkan sama dengan tekanan
pada sirkulasi sistemik sehingga terjadi kompensasi berupa hipertropi ventrikel
kanan.
- Derajat shunting melalui VSD proporsional pada hubungan PVR terhadap SVR.
- PVR lebih cenderung tidak berubah tetapi perubahan akan dipengaruhi oleh
aktivitas.
- Peningkatan PVR dan penurunan SVR akan memperburuk derajat sianosis.

6. MANIFESTASI KLINIS:
- Hampir Semua pasien dengan TOF mempunyai riwayat sianosis sejak lahir.
76
- Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan ejection murmur .
- Gagal jantung kongestif jarang terjadi karena adanya VSD yang memungkinkan
keseimbangan tekanan intraventrikular dan beban kerja jantung.
- Pada ronsen toraks didapatkan gambaran jantung ‘boot shaped’ dan penurunan
vaskularisasi paru.
- EKG memberikan gambaran right axis deviation dan hipertropi ventrikel kanan.
- Terdapat desaturasi oksigen arterial walaupun telah diberikan oksigen 100%
(PaO2 biasanya < 50 mmHg), PaCO2 dan pH arteri biasanya normal.
- Pasien dengan TOF sering melakukan squatting untuk meningkatkan SVR dan
menurunkan shunt dari kanan-kiri

7. PINK TET, TET SPELL (HYPERCYANOTIS SPELLS), DAN


PENATALAKSANAANNYA

PINK TET
- Pink tet terjadi pada pasien TOF dengan aliran darah pulmoner yang adekuat.
- Tambahan aliran darah ini didapat dari patent ductus arteriosus (PDA), kolateral
aorto-pulmonal, atau pembuluh-pembuluh kolateral lainnya (bronchial,
interkostal, atau arteri koroner) ke dalam arteri pulmonal.
- Pada perjalanannya derajat obstruksi akan semakin meningkat sehingga terjadilah
perubahan pink tet menjadi sianotk TOF

HYPERCYANOTIC SPELL (TET SPELL)


- Tet spell merupakan episode paroksismal terjadinya serangan sianosis yang secara
akut memburuk.
- Keadaan ini dapat terjadi pada saat anak menangis, makan, atau bahkan pada saat
defekasi yang kesemuanya akan meningkatkan terjadinya shunt dari kanan-kiri.
- Mekanisme peningkatan shunt tersebut adalah sebagai berikut:
o Peningkatan PVR; pada keadaan ini akan terjadi pengurangan aliran darah
pulmoner dan meningkatkan shunt dari kanan-kiri.Penatalaksanaannya adalah
dengan menurunkan PVR dengan cara hiperventilasi dengan oksigen 100%
dan pemberian bikarbonat untuk mengatasi keadaan asidosis yang
menyebabkan peningkatan PVR.
o Dynamic outflow obstruction; spasme infundibular terjadi akibat takikardi,
hipovolemia, dan peningkatan kontraktilitas miokardial. Spasme ini akan
menyebabkan aliran darah ke arteri pulmonal semakin berkurang dan akan
memperburuk shunt dari kanan-kiri. Penatalaksanaan spasme ini adalah

77
dengan memberikan β-blocker, pemberian volume cairan, dan mendalamkan
anestesi untuk menurunkan level katekolamin.
o Penurunan SVR; hal ini akan meningkatkan shunt dari kanan-kiri.
Penatalksanaannya adalah dengan memperbaiki status volume dengan
memberikan cairan, untuk memastikan pengisian ventrikel kanan yang adekuat
dan pemberian α-adrenergik agonist untuk meningkatkan SVR. SVR juga
dapat ditingkatkan dengan melakukan fleksi pada kedua tungkai atau kompresi
aorta abdominal.

8. DIAGNOSIS
Echocardiography dilakukan untuk menegakkan diasgnosis dan untuk menilai apakah
ada kelainan lainnya, derajat obstruksi ventrikel kanan, ukuran arteri pulmonal,
ukuran dan lokasi VSD.

9. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Anamnesa riwayat hypercyanotic spell (frekuensi serangan, beratnya serangan,
dan terapinya), dan riwayat terjadinya gagal jantung.
- Derajat berat ringannya penyakit jantung ini dapat dilihat dari berat badan pasien,
pertumbuhan dan perkembangan, serta level aktivitas pasien.
- Pada pemeriksaan hematokrit biasanya terjadi peningkatan pada pasien-pasien
yang sianotik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat polisitemia dapat
dilakukan plebotomi intraoperatif.
- Jangan puasakan pasien terlalu lama untuk menghindari keadaan dehidrasi atau
lakukan pemasangan jalur intravena sebelum pasien dibawa ke kamar operasi.
- Pada saat pemasangan jalur intravena hindari adanya gelembung udara karene
dapat menyebabkan emboli udara sistemik.
- Premedikasi oral direkomendasikan pada anak-anak dengan riwayat hipersianotik.
Untuk anak > 9 bulan dapat diberikan midazolam 0,5-1 mg/ kg per oral 10-20
menit sebelum induksi, atau pentobarbital 2-4 mg/kg 45 menit sebelum induksi.
Hindari pemberian premedikasi secara intramuscular karena dapat memicu
hipersianotik spell.
- Terapi propanolol 5-10 mcg/ kg harus tetap dilanjutkan sampai pada saat
menjelang operasi.

10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF

78
- Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang diperlukan
untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
- Stres pada saat induksi akan memicu timbulnya hypercyanotic spell. Oleh karena
itu sasaran kita pada saat induksi adalah:
o Menjaga SVR; hindari pemberian obat-obatan yang dapat menurunkan
SVRdan lakukan penatalaksanaan bila terjadi penurunan tekanan darah
dengan memberikan vasokonstriktor.
o Turunkan PVR untuk menjaga atau meningkatkan aloiran darah paru.
Keadaan yang dapat meningkatkan PVR adalah: hiperkarbia, hipoksia,
anestesi yang dangkal, atelektasis, polisitemia, dan asidosis. Sedangkan
keadaan yang dapat menurunkan PVR adalah: hipokarbia, anemia,
alkalosis, oksigen konsentrasi tinggi, dan anestesi yang dalam. PVR juga
dapat diturunkan dengan memakai obat-obatan seperti: nitrogliserin,
sodium nitroprusid, pentolamin, tolazolin, prostaglandin E1, atau nitric
oksida inhalasi.
o Keadaan depresi myocardial ringan dan euvolemia akan membantu
mencegah atau membatasi serangan hypercyanotic spell. Semua volatile
anesthesia menimbulkan depresi miokardial terutama halotan.
o Denyut jantung yang lambat akan menurunkan kejadian spasme
infundibular.
- Bila jalur intravena sudah terpasang induksi dapat dilakukan dengan memberikan
ketamin 1-2 mg/ kg i.v. Ketamin akan meningkatkan SVR dan meningkatkan
aliran darah pulmoner sehingga akan menurunkan derajat shunting.
- Bila jalur intravena belum terpasang dapat pula diberikan ketamin intramuskular
3-4 mg/ kg, terutama pada anak-anak yang akan mengalami ketakutan bila
diberikan inhalasi.
- Induksi inhalasi dapat dilakukan pada pasien-pasien yang tidak begitu sianosis
(pink tet). Efek inotropik negatif halotan sangat menguntungkan untuk mencegah
dan menterapi spasme infundibular, disamping itu halotan juga dapat menjaga
SVR dibandingkan volatile lainnya.
- Intubasi dilakukan dengan fasilitasi pelemas otot vekuronium atau pankuronium
0,1-0,2 mg/ kg. Hindari pemakaian pelemas otot yang bersifat melepaskan
histamin.
- Maintenan anestesi dapat diberikan dengan ketamin dikombinasikan dengan N2O
untuk tetap menjaga SVR. Namun pemakaian N2O mempunyai kerugian karena

79
dapat meningkatkan PVR dan mengurangi konsentrasi oksigen yang diberikan.
Untuk itu pemakaian N2O dibatasi maksimal 50%.
- Maintenan juga dapat dilakukan dengan volatile, opioid , oksigen murni atau
oksigen dengan udara tergantung derajat sianosisnya.
- Lakukan ventilasi kontrol dengan tidak memberikan tekanan positif yang terlalu
besar karena dapat menurunkan aliran darah paru.
- Hindari hipovolemia intraoperatif karena keadaan ini akan meningkatkan shunt
dari kanan-kiri
- Obat α-adrenergik agonis harus tersedia untuk mengatasi penurunan tekanan darah
yang diakibatkan penurunan SVR.
- Bila terjadi hypercyanotic spell intraoperatif lakukan penatalaksanaan dengan
mendalamkan anestesi, hiperventilasi dengan oksigen 100%, berikan cairan
intravena, naikkan SVR dengan fenileprin 5 mcg/ kg, dan turunkan spasme
infundibular dengan β-blocker.
- Pemberian sodium bikarbonat untuk mengkoreksi gangguan asam basa dapat
dilakukan pada keadaan hipoksemia berat yang memanjang.
- Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP, etCO2, temperatur rektal/
esophageal, dieresis, stetoskop prekordial.

11. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah anak, dokterIKA

13. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of
children with common CHD for no cardiac surgery. Dalam: Understanding
Paediatric Anaesthesia.2008.h: 117-119.
- Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 50-53
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovascular
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology.Ed. 4. H:482

80
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
HAJI ADAM MALIK MEDAN VENTRIKEL SEPTAL DEFECT (VSD)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan VSD yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat dilakukan baik
dengan anestesi inhalasi maupun dengan anestesi intravena. Tetapi apabila fungsi
ventrikel kiri tidak begitu baik maka ketamin/ opioid adalah pilihan yang lebih baik.

4. PENGERTIAN :
VSD merupakan kelainan kongengital jantung yang paling sering terjadi pada infant
dan anak-anak. Sebagian besar dari kejadian VSD akan menutup secara spontan saat
anak mencapai usia 2 tahun. Secara anatomis lokasi VSD yang paling sering adalah
pada daerah membran dari septum intraventrikular (70%), 20% pada daerah muskular
septum, 5% di bawah katup aorta sehingga menyebabkan regurgitasi aorta, dan 5%
terdapat di dekat persambungan antara katup mitral dan trikuspid.

5. PATOFISIOLOGI:

81
- Shunting dari kiri ke kanan akan menyebabkan peningkatan aliran darah
pulmonal, kelebihan volume biventrikular meningkat, dan beban kerja
biventrikular juga akan meningkat.
- Pada VSD yang besar besarnya shunting tergantung dari rasio antara SVR dan
PVR.
- Sedangkan pada VSD yang kecil perbedaan tekanan antara kedua ventrikel dan
shunting akan tergantung pada lubang septal.
- Aliran darah pulmonal yang besar akan menyebabkan compliance paru berkurang
sehingga work of breathing akan meningkat dan dapat mempresipitasi terjadinya
gagal nafas.
- Bila VSD yang berukuran besar tidak dikoreksi maka akan terjadi hipertrofi
ventrikel kanan dan terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal dan akhirnya
eisemenger dan desaturasi berat.
- Oleh karena hal tersebut di atas maka semakin lama kelainan tersebut tidak
dilakukan koreksi maka akan semakin jelek responnya terhadap anestesi yang
diberikan.

6. MANIFESTASI KLINIS:
- Riwayat perjalanan penyakit VSD tergantung pada ukuran VSD dan PVR. Pasien
berusia dewasa dengan defek yang kecil dan tekanan arteri pulmonal normal pada
umumnya asimptomatik dan jarang sampai menimbulkan hipertensi pulmonal.
- Gangguan fisiologis pada VSD tergantung dari ukuran defek dan resistensi relatif
pada sirkulasi sistemik dan pulmonal.
- Pada defek yang berukuran kecil hanya akan menyebabkan gangguan fungsional
yang minimal dengan hanya sedikit peningkatan aliran darah pulmonal.
- Jika defek berukuran besar maka tekanan sistolik kedua ventrikel akan sama dan
besarnya aliran darah sistemik dan pulmonal akan ditentukan oleh resistensi
vaskular relatif antara kedua sirkulasi tersebut.
- Pada awalnya SVR akan lebih besar dari PVR dan shunting yang predominan
adalah dari kiri ke kanan. Pada kelanjutannya PVR akan meningkat dan besarnya
shunting dari kiri ke kanan akan menurun bahkan akan terjadi dari kanan ke kiri
sehingga terjadilah hipoksemia arterial (sianosis).
- Pada VSD sedang-berat akan terdengar murmur holosistolik yang terdengar paling
keras pada batas bawah sternal.
- VSD berukuran besar yang tidak dilakukan koreksi akan berkembang menjadi
gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonal yang selanjutnya menimbulkan
kegagalan pula pada jantung kanan.
82
- EKG dan ronsen toraks pada VSD yang berukuran kecil memberikan gambaran
yang normal. Sedangkan pada VSD yang berukuran besar pada EKG terdapat
gambaran pembesaran atrium dan ventrikel kiri.
- Bila telah terjadi hipertensi pulmonal, aksis QRS akan bergeser ke kanan, dan
terdapat gambaran pembesaran atrium dan ventrikel kanan.

7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dengan Doppler flow USG dilakukan untuk
konfirmasi adanya VSD serta lokasinya, kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat
digunakan untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan besarnya shunting
intrakardiak dan PVR.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfungsi ventrikel.
- Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.
- Hindari adanya gelembung udara dalam jalur intravena karena dapat
menyebabkan emboli udara.

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan anestesi intravena dan inhalasi
tidak berubah secara signifikan.
- Peningkatan SVR secara akut dan persisten serta penurunan PVR harus dihindari
karena dapat memperbesar aliran shunting dari kiri-kanan, oleh karena itu
pemakaian anestestik volatile yang dapat menyebabkan penurunan SVR serta
pemberian ventilasi tekanan positif yang dapat menyebabkan peningkatan PVR
dapat ditoleransi dengan baik pada pasien VSD.
- Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat dilakukan baik dengan
anestesi inhalasi maupun dengan anestesi intravena. Tetapi apabila fungsi
ventrikel kiri tidak begitu baik maka ketamin/ opioid adalah pilihan yang lebih
baik.
- Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga mengurangi aliran
darah pulmoner.
o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen bersifat sebagai vasodilator
pulmoner, sehingga dengan mengurangi FiO2 diharapkan dapat
mengurangi aliran darah paru.
o N2O; membantu mengurangi konsentrasi oksigen

83
o Agen inhalasi;mengurangi SVR dan meningkatkan aliran darah sistemik.
o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres.
o Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah anak, dokter IKA

12. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of
children with common CHD for non cardiac surgery. Dalam: Understanding
Paediatric Anaesthesia.2008.h: 116-117.
- Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 46-47
- Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovascular
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology.Ed. 4. H:481

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:


HAJI ADAM MALIK MEDAN ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN 1 April 2014 Haji Adam Malik Medan

84
ANESTESI

DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS


NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan ASD yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen pre,intra, pascaoperatif.

3. KEBIJAKAN : Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medikal akut dan


bukan keadaan emergensi surgikal, oleh karena itu harus dilakukan persiapan
optimalisasi keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik.

4. KLASIFIKASI :
Berdasarkan lokasi ASD terdiri atas 3 tipe, yaitu:
- Defek sekundum: lokasi pada daerah mid atrium pada sisi foramen ovale.
- Defek primum: lokasinya berdekatan dengan katup atrioventrikular yang
diakibatkan oleh defek endocardial cushion.
- Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction
Hampir 75% ASD merupakan tipe sekundum. Pada tiap-tiap tipe ASD biasanya
memiliki kelainan jantung tambahan yang berbeda. Prolaps katup mitral sering terjadi
pada tipe sekundum dan regurgitasi terjadi akibat adanya celah pada bagian anterior
katup mitral sering terjadi pada ASD tipe primum.

5. PATOFISIOLOGI ASD:
- Arah dan besarnya shunt tergantung dari ukuran defek dan compliance relatif dari
ventrikel.
- Defek yang kecil ( < 0,5 cm ) hanya menyebabkan shunt yang kecil pula dan tidak
menunjukkan gejala hemodinamik. Sedangkan defek yang besar ( sekitar 2 cm )
dapat menyebabkan darah dari atrial kiri menjadi shunting ke atrium kanan
(compliance ventrikel kanan lebih besar bila dibandingkan dengan ventrikel kiri)
sehingga aliran darah ke paru meningkat.
- Peningkatan aliran darah paru merupakan karakteristik pada keadaan shunt dari
arah kiri-kanan. Pada keadaan ini dapat ditoleransi dengan baik, terjadinya
vasodilatasi perifer dengan sedikit hipotensi biasanya tidak menimbulkan
konsekuensi.
85
- Shunting akan meningkat apabila PVR menurun oleh beberapa keadaan seperti
FiO2 yang tinggi dan PaCO2 yang rendah.
- Jika defek tidak dilakukan perbaikan saat pasien masih muda, akibatnya aliran
shunt dapat menjadi bidirectional yang mengakibatkan terjadinya hipertropi
ventrikel kanan dan peningkatan tekanan arteri pulmonal.

6. MANIFESTASI KLINIS:
- Pada awalnya ASD tidak memberikan gejala pada pemeriksaan fisik sehingga
dapat tidak terdeteksi selama beberapa tahun.
- Defek yang berukuran kecil dengan shunting dari kanan-kiri yang kecil (rasio
aliran darah paru dibandingkan sistemik < 1,5) biasanya tidak menunjukkan gejala
dan tidak memerlukan tindakan penutupan ASD.
- Pada ASD yang berukuran besar akan memberikan gejala: sesak saat beraktivitas,
disritmia supraventrikular, gagal jantung kanan, emboli paradoksikal, dan infeksi
paru rekuren.
- Profilaksis antibiotik tidak diperlukan pada ASD kecuali didapatkan bersamaan
dengan kelainan katup.
- Murmur ejeksi sistolik dapat terdengar pada daerah celah interkostal kedua .
- Pada pemeriksaan EKG terdapat gambaran right axis deviation dan RBBB
inkomplit.
- Foto toraks memberikan gambaran arteri pulmonal yang nenonjol.
7. DIAGNOSIS
Untuk menentukan diagnosis dan lokasi ASD dilakukan pemeriksaan
transechocardiography dan dopler color flow echocardiography.

8. KONSIDERASI ANESTESI
- Hindari masuknya gelembung udara ke aliran darah sistemik melalui jalur
intravena.
- Premedikasi dapat diberikan pada pasien pasien dengan ASD yang asimptomatik.
- Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-kanan.
- Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya memberikan sedikit implikasi pada
manajemen anestesi yang akan diberikan.
- Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial kanan melebihi atrial kiri
seperti pemberian ventilasi tekanan positif yang terlalu besar dan valsava manufer
(batuk) dapat menyebabkan aliran shunt berubah arah.
- Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat secara cepat merubah arah shunt.
- Penggunaan FiO2 konsentrasi tinggi akan menurunkan PVR sehingga
meningkatkan aliran darah paru dan shunt dari kiri-kanan.

86
- Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian anestesi volatile atau peningkatan
PVR karena pemberian ventilasi tekanan positif pada paru, bertendensi untuk
menurunkan besarnya shunt dari kiri-kanan.
- Berikan antibiotik profilaksis bila pada ASD disertai dengan kelainan katup.
- Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP, etCO2, temperatur rektal/
esophageal, dieresis, stetoskop prekordial.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah anak, dokter IKA

11. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of
children with common CHD for no cardiac surgery. Dalam: Understanding
Paediatric Anaesthesia.2008.h: 117-119.
- Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 50-53

87
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:
HAJI ADAM MALIK MEDAN PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien pediatri
dengan PDA yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.

2. RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari karena akan
meningkatkan besarnya shunt dari kiri-kanan.

4. PENGERTIAN :

88
PDA terjadi karena kegagalan pada penutupan ductus arteriosus. Ductus arteriosus
berasal dari bagian distal arteri subclavia kiri dan menghubungkan aorta descending
dengan arteri pulmonal kiri.

5. PATOFISIOLOGI:
- .Dalam keadaan normal ductus arteriosus akan menutup dalam 24-48 jam setelah
lahir, tetapi pada bayi prematur biasanya terjadi kegagalan penutupan ductus
- Apabila ductus arteriosus gagal untuk menutup maka akan terdapat aliran darah
kontinyu dari aorta ke dalam arteri pulmonal.

6. MANIFESTASI KLINIS:
- Sebagian besar pasien dengan PDA biasanya asimptomatik dan hanya terdapat
shunt dari kiri-kanan yang sanga kecil.
- Pada pemeriksaan fisik adanya PDA diduga bila terdapat murmur sistolik dan
diastolic kontinyu.
- Shunt dari kiri-kanan yang besar ditandai dengan hipertropi ventrikel kiri yang
dapat dilihat dari EKG atau foto toraks.
- Bila terjadi hipertensi pulmonal dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan.
- PDA merupakan factor resiko untuk terjadinya endokarditis infektif.
- Walau tanpa pembedahan biasanya pasien tetap akan asimptomatik sampai
dewasa.

7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dan Doppler flow USG terlihat adanya aliran kontinyu
kedalam sirkulasi paru. Kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat digunakan
untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan besarnya shunting intrakardiak
dan PVR.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfungsi ventrikel.
- Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.
- Hindari adanya gelembung udara dalam jalur intravena karena dapat
menyebabkan emboli udara.

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Penurunan SVR akibat pemakain volatile anestesi akan meningkatkan aliran darah
sistemik dengan menurunkan shunt dari kiri-kanan.
- Pemberian ventilasi tekanan positif juga dapat ditoleransi dengan baik, karena
penigkatan pada tekanan arteri pulmonal akan menurunkan perbedaan tekanan
pada PDA.

89
- Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari karena akan meningkatkan
besarnya shunt dari kiri-kanan.
- Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga mengurangi aliran
darah pulmoner.
o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen bersifat sebagai vasodilator
pulmoner, sehingga dengan mengurangi FiO2 diharapkan dapat
mengurangi aliran darah paru.
o N2O; membantu mengurangi konsentrasi oksigen
o Agen inhalasi;mengurangi SVR dan meningkatkan aliran darah sistemik.
o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres.
o Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah anak, dokter IKA

12. REFERENSI:
- Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of
children with common CHD for non cardiac surgery. Dalam: Understanding
Paediatric Anaesthesia.2008.h: 119.
- Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 47-48

90
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PEDIATRI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN
MALROTASI INTESTINAL DAN
VOLVULUS
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Untuk menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi anestesi pada pasien pediatri.

2. RUANG LINGKUP : Definisi, manifestasi klinis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN: stabilisasi dari keadaan pasien, pemasangan pipa nasogastrik untuk


dekompresi, antibiotik, penggantian cairan dan elektrolit.

4. DEFINISI:
Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas perkembangan saluran cerna
dimana terjadi rotasi spontan yang abnormal di daerah midgut di sekitar mesenterium.
Mayoritas malrotasi terjadi pada periode infansi dengan gejala-gejala obstuksi saluran
cerna akut maupun kronis.

5. KOMPLIKASI:
Komplikasi paling serius dari malrotasi dan midgut volvulus berupa terganggunya
aliran darah intestinal secara akut. Oleh karena itu midgut volvulus merupakan suatu
keadaan ‘true surgical emergency’.

6. MANIFESTASI KLINIS:

- Distensi abdomen progresif


- Tenderness
- Bilious vomiting
91
- Dehidrasi
- Metabolik asidosis
- Instabilitas hemodinamik
- Diare yang bercampur darah merupakan indikasi bila sudah terjadi infark pada
usus.

7. PENATALAKSANAAN:
Terapi definitif terhadap malrotasi dan midgut volvulus adalah dengan koreksi
operatif.

8. MANAJEMEN PRE-OPERATIF:
- Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi belum terjadi volvulus maka harus
dilakukan stabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu.
- Dekompresi abdomen dengan melakukan pemasangan NGT atau OGT.
- Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi cairan dan koreksi apabila terdapat
gangguan elektrolit.
- Berikan antibiotik spektrum luas.
- Hindari hipotermia,berikan selimut penghangat.

9. MANAJEMEN INTRA-OPERATIF:
- Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi paru selama
induksi, oleh karena itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam keadaan awake atau
dengan teknik rapid sequence induction.
- Pasien dengan volvulus biasanya berada dalam keadaan hipovolemik dan asidosis
sehingga mempunyai toleransi yang rendah terhadap zat anestetik.
- Dalam keadaan tersebut di atas maka ketamin merupakan obat pilihan.
- Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan volatile konsentrasi rendah atau
opioid.
- Perhatikan terhadap kemungkinan terjadinya edema terhadap usus. Edema pada
usus dapat menyulitkan pada saat dilakukan penutupan dinding abdomen dan
dapat mengakibatkan terjadinya sindroma kompartemen abdomen.
- Sindrom kompartemen abdomen akan mengakibatkan gangguan ventilasi,
gangguan pada aliran balik vena, dan gangguan fungsi renal. Pada keadaan ini
harus dilakukan penutupan sementara dinding abdomen dengan silastic silo
selama 24-48 jam.
- Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop prekordial, EKG, tensimeter, temperatur.

10. MANAJEMEN PASCA-OPERASI:

- Pasca bedah : pastikan pasien tidak kedinginan & cukup hangat.

92
- Bila masuk NICU / PICU untuk dilakukan ventilasi suportif dan lain-lain,
maka transfer pasien dilakukan dengan memakai kotak penghangat dilengkapi
dengan oksigen dan didampingi oleh dokter anestesi (residen yang
bertanggung jawab atas pasien yang bersangkutan).

11. UNIT TERKAIT : Bagian Anestesi, Bagian Bedah, Bagian Anak, NICU, PICU.

12. DOKUMEN TERKAIT : Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi.

13. REFERENSI:

Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical


Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 940-941

93
PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
ORTOPEDI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI


HAJI ADAM MALIK MEDAN ORTOPEDI

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/6
…/2014

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN 1 April 2014 Haji Adam Malik Medan
ANESTESI

94
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
yang akan menjalani tindakan pembedahan ortopedi.

2. RUANG LINGKUP : konsiderasi pada pemakaian bone cement, torniket pneumatik,


Deep Vein Thrombosis (DVT), tromboemboli, dan emboli lemak pada kasus ortopedi.

3. KEBIJAKAN : Kenali faktor resiko dan lakukan tindakan pencegahan.

4. KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI :

Bone Cement
- Bone cement (polimetilmetakrilat) sering kali dipergunakan pada prosedur
artroplasti sendi untuk melekatkan protesa dengan tulang.
- Campuran serbuk polimer polimetakrilat dengan cairan monomer metilmetakrilat
akan menyebabkan proses polimerisasi yang merupakan reaksi eksotermik.
- Reaksi eksotermik yang diikuti dengan proses pengerasan semen dan ekspansi
semen ke komponen protesa akan mengakibatkan terjadinya hipertensi
intramedular (>500 mmHg) sehingga dapat menimbulkan embolisasi lemak,
sumsum tulang, semen dan udara ke dalam celah-celah vena femoral.
- Residu monomer metakrilat dapat menyebabkan vasodilatasi dan penurunan SVR.
- Pelepasan tromboplastin dari jaringan dapat mencetuskan agregasi trombosit,
pembentukan mikrotrombus di paru, dan instabilitas kardiovaskular akibat dari
substansi vasoaktif yang beredar di sirkulasi.
- Manifestasi klinis ‘bone cement implantation syndrome’: hipoksia (akibat
peningkatan shunt pulmoner), hipotensi, disritmia, hipertensi pulmoner
(peningkatan PVR), dan penurunan cardiac output.
- Emboli paling sering terjadi selama insersi protesa femoral.
- Untuk meminimalisir komplikasi akibat bone cement terdapat beberapa usaha
yang kita lakukan, yaitu:
o Meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum pemasangan semen.
o Pertahankan selalu keadaan euvolemia
o Membuat lubang (vent hole) pada bagian distal femur untuk menyalurkan
tekanan intramedular sehingga tidak terlalu tinggi.
o Lakukan lavase dengan tekanan tinggi pada femoral shaft untuk
menghilangkan sel-sel debrisyang berpotensi menimbulkan mikroemboli.

95
Tornikuet Pneumatik
- Pemakaian tornikuet pneumatik pada ekstremitas atas maupun bawah
dipergunakan untuk memfasilitasi daerah operasi yang sangat baik dengan
menurunkan aliran aliran darah ke ekstremitas tersebut.
- Permasalahan yang dapat ditimbulkan akibat pemakaian tornikuet pneumatik:
o Perubahan hemodinamik
o Nyeri
o Perubahan metabolik
o Tromboemboli arterial
o Emboli paru
- Tekanan inflasi yang diberikan kira-kira 100 mmHg di atas tekanan darah sistolik.
- Inflasi yang telalu lama (> 2 jam) secara terus-menerus dapat mengakibatkan
disfungsi otot, cedera saraf perifer yang permanen, bahkan rhabdomiolisis.
- Inflasi tornikuet pada pasien-pasien pediatrik dapat mengakibatkan peningkatan
suhu tubuh.
- Nyeri tornikuet selama operasi dengan teknik anestesi umum dapat
dimanifestasikan dengan peningkatan secara gradual dari MAP (mean arterial
blood pressure) kira-kira setelah 45 menit – 1 jam setelah inflasi.
- Tanda terjadinya aktivasi simpatis yang progresif adalah: hipertensi, takikardia,
dan diaphoresis.
- Kemungkinan terjadinya nyeri tornikuet tergantung dari banyak faktor diantaranya
adalah tergantung dari teknik anestesi yang kita pilih (anestesi regional intravena
> epidural > spinal > anestesi umum), intensitas dan level blok anestesi regional,
pilihan obat anestesi local (spinal dengan tetrakain hiperbarik > bupivakain
hiperbarik), dan suplementasi blok dengan opioid.
- Sensasi nyeri tornikuet dan keadaan hipertansi dapat segera hilang dengan
melakukan deflasi dari tornikuet.
- Pada saat deflasi dari tornikuet dapat terjadi penurunan yang signifikan dari CVP
dan tekanan darah arterial, laju nadi biasanya meningkat, temperature inti
menurun, akumulasi zat-zat metabolit pada daerah ekstremitas yang mengalami
iskemik akan meningkatkan PaCO2, ETCO2, laktat serum, dan kadar kalium.
- Perubahan metabolik ini akan meningkatkan ventilasi semenit, pada pasien yang
tetap bernafas spontan, dan kadang dapat menimbulkan disritmia.
- Deflasi dari tornikuet dapat menyebabkan ‘reperfusion injury’ akibat terbentuknya
lipid peroksida saat terjadi reoksigenasi aliran darah yang semakin memperburuk
trauma jaringan iskemik.
- Reperfusion injury dapat semakin berat akibat pemakaian propofol yang
menghambat pembentukan superoksida.

96
- Iskemik pada ekstremitas bawah akibat pemakaian tornikuet dapat menyebabkan
pembentukan thrombosis vena dalam (DVT/ deep vein thrombosis).
- Pemakaian tornikuet dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kalsifikasi
arterial.

Sindrom Emboli Lemak


- Emboli lemak dapat terjadi pada semua kasus fraktur tulang panjang.
- Sindrom emboli lemak dapat terjadi dalam waktu 72 jam setelah terjadi fraktur
pada tulang panjang atau pelvis, dengan gejala, triad: dispnoe, konfusi, dan
petechie.
- Emboli lemak terjadi karena masuknya globulus-globulus lemak yang dilepaskan
oleh sel-sel lemak ke dalam tulang yang mengalami fraktur dan kemudian
memasuki sirkulasi melalui pembuluh darah medular.
- Manifestasi neurologis (agitasi, konfusi, stupor, koma) kemungkinan dapat
memberikan gambaran bahwa telah terjadi kerusakan kapiler pada sirkulasi
serebral, edema serebral, dan dapat mengalami eksaserbasi akibat keadaan
hipoksia.
- Diagnosis sindrom emboli lemak dapat ditegakkan dengan adanya petechie di
daerah dada, ekstremitas atas, aksila, dan konjungtiva. Globulus lemak dapat
dijumpai pada retina, urin, atau sputum.
- Abnormalitas faktor koagulasi seperti trombositopenia atau pemanjangan waktu
pembekuan darah sering kali terjadi.
- Gambaran paru didapatkan mulai dari gambaran hipoksia ringan dengan foto
ronsen normal sampai dengan hipoksia berat dengan gambaran ronsen berupa
bercak infiltrat yang difus.
- Tanda adanya fat embolism syndrome selama dalam anestesi umum
yaitu:penurunan EtCO2, penurunan saturasi oksigen, atau peningkatan tekanan
arteri pulmonal. Pada gambaran EKG didapatkan tanda iskemik pada segmen ST.
- Profilaksis emboli lemak dapat dilakukan dengan stabilisasi dini pada daerah
fraktur.
- Penatalaksanaan sindrom emboli lemak adalah dengan terapi suportif, yaitu
dengan dengan memberikan terapi oksigen dengan memberikan ventilasi dengan
CPAP. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi mungkin dapat memberikan
keuntungan, terutama pada kasus dengan edema serebral.

Deep Vein Thrombosis (DVT) & Tromboemboli

97
- DVT dan Emboli paru merupakan penyebab tersering terjadinya mortalitas dan
morbiditas pada operasi ortopedi daerah pelvis dan ekstremitas bawah.
- Faktor resiko terjadinya DVT dan emboli paru adalah sebagai berikut:
o Obesitas
o Umur > 60 tahun
o Lama operasi > 30 menit
o Penggunaan tornikuet
o Fraktur ekstremitas bawah
o Immobilisasi > 4 hari
o Faktor resiko tertinggi adalah pasien yang menjalani prosedur hip surgery
dan rekonstruksi lutut (angka kejadian DVT sekitar 50%, emboli paru
20%).
- Patofisiologi utama terjadinya DVT dan emboli adalah terjadinya stasis vena dan
keadaan hiperkogulabel akibat proses inflamasi sistemik dan local sebagai respon
terhadap operasi.
- Tindakan profilaktik yang dapat dilakukan untuk mencegah DVT dan emboli
adalah dengan pemberian antikoagulan dan penggunaan kompresi pneumatik yang
intermiten (Intermetten Pneumatic Compression/ IPC).
- Pada pasien dengan resiko tinggi diberikan low dose heparin 5000 u tiap 8 jam
atau warfarin/ low dose molecular weight heparin (LMWH), serta pemakaian IPC.
- Pemberian antikoagulan pada pasien yang tidak tergolong resiko tinggi dapat
dimulai dalam beberapa jam setelah operasi untuk mengurangi resiko perdarahan
saat operasi.
- Pemilihan teknik regional anestesi dapat mengurangi resiko komplikasi
tromboemboli.
- Berkurangnya resiko tromboemboli pada pemakaian teknik regional anestesi
terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu:
o Simpatektomi; meningkatkan aliran darah vena pada ekstremitas inferior
o Efek anti-inflamasi sistemik dari local anestesi
o Penurunan reaktivitas platelet
o Menekan peningkatan faktor VIII dan faktor von Willebrand pascaoperasi
o Menekan penurunan antitrombin III
o Menghambat pelepasan stress hormone.
- Pemakaian lidokain intravena telah dibuktikan dapat mencegah trombosis,
meningkatkan fibrinolisis, dan menurunkan agregasi trombosit.
- Pemasangan kateter epidural pada pasien yang mendapatkan profilaksis
antikoagulan tidak boleh dilakukan dalam waktu 6-8 jam setelah pemberian
‘minidose’ unfractional heparin subkutan, atau dalam 12-24 jam setelah pemberian
LMWH.

98
- Walaupun anestesi spinal mempunyai resiko traumatik yang lebih kecil
dibandingkan epidural tetapi mempunyai resiko yang sama besar untuk terjadinya
spinal hematom pada pasien yang mendapat profilaksis antikoagulan.

5. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent
6. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

7. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 848-851

99
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA ORTOPEDI:
HAJI ADAMAMLIKMEDAN FRAKTUR HIP

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/3
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
fraktur hip yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan dan tersamar sehingga dapat mengganggu volume intravaskular.

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Sebagian besar pasien yang akan menjalani hip surgery adalah geriatri yang
biasanya memiliki co-existing disease seperti CAD, CVD, COPD, atau DM.
- Lakukan skrining terhadap kemungkinan penyakit penyerta di atas dan lakukan
perbaikan keadaan terhadap penyakit penyerta yang ada.
- Pasien dengan fraktur hip biasanya dalam keadaan dehidrasi karena asupan oral
yang tidak adekuat.
- Lakukan rehidrasi dengan terapi cairan sesuai dengan derajat dehidrasi yang
ditemukan.
- Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan kehilangan darah yang signifikan dan
tersamar sehingga dapat mengganggu volume intravaskular.
- Kehilangan darah pada fraktur daerah intrakapsular (sub kapital, transervikal)
biasanya lebih sedikit bila dibandingkan fraktur pada daerah ekstrakapsular (basis
dari femoral neck, intertrochanter, subtrochanter).

100
- Hilangnya darah secara tersamar dapat dikenali melalui pemeriksaan hematokrit
dimana didapatkan hemokonsentrasi.
- Lakukan skrining terhadap kemungkinan terjadinya emboli lemak dengan gejala
hipoksia preoperatif, atelektasis akibat tirah baring lama, kongesti paru/ efusi
akibat gagal jantung kongestif, atau tanda konsolidasi akibat infeksi. Keadaan
tersebut dapat terjadi pada pasien dengan fraktur hip.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pilihan teknik anestesi regional
mempunyai angka mortalitas pascaoperasi yang lebih rendah, hal ini dikarenakan
menurunnya resiko penyakit tromboemboli.
- Pemilihan teknik epidural kontinyu dengan atau tanpa anestesi umum memberikan
keuntungan tambahan untuk pengelolaan nyeri pascaoperasi.
- Bila teknik spinal yang menjadi pilihan, penggunaan obat hipobarik akan
memudahkan dalam pengaturan posisi pasien dimana tindakan dapat dilakukan
dengan posisi fraktur di atas sehingga tidak perlu lagi dilakukan perubahan posisi
operasi.
- Teknik operasi open reduction dan fiksasi internal yang akan dilakukan
mempengaruhi konsiderasi anestesi. Teknik ini tergantung dari sisi fraktur, derajat
pergeseran, status fungsional preoperatif, dan pertimbangan ahli bedah.
- Pada fraktur intrakapsular yang tidak bergeser biasanya akan dilakukan tindakan
dengan cannulated screw fixation, sedang pada fraktur intrakapsular yang
mengalami pergeseran akan dilakukan tindakan fiksasi internal, hemiartroplasti,
atau total hip replacement.
- Pada prosedur hemiartroplasti dapat dilakukan dengan semen atau tidak dengan
semen. Pada prosedur yang dilakukan dengan semen perhatikan konsiderasi
terhadap perubahan-perubahan akibat pemakaian bone cement (lihat panduan
anestesi: Konsiderasi khusus pada operasi ortopedi).
- Hemiartroplasti dan total hip replacement merupakan operasi yang lebih lama dan
lebih invasif dibandingkan prosedur lainnya. Biasanya dilakukan dengan posisi
lateral dekubitus dengan resiko perdarahan yang lebih banyak sehingga terjadi
perubahan hemodinamik yang besar.
- Konsiderasi yang dilakukan dengan resiko tersebut adalah dengan melakukan
monitoring tekanan arterial secara direk, menyediakan jalur intra vena berukuran
besar untuk transfusi, dan monitoring ketat hemodinamik terutama pada orang tua.
6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis

101
- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA, dokter
radiologi

8.REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 851-852

102
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA ORTOPEDI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN TOTAL HIP ARTHROPLASTY

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/4
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
yang akan menjalani tindakan pembedahan total hip arthroplasty.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat


menurunkan insiden DVT dan emboli paru

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Sebagian besar pasien yang akan menjalani total hip replacement biasanya
mempunyai riwayat penyakit osteoarthritis, rheumatoid arthritis, atau
osteonekrosis (avascular necrosis).
- Pada osteoarthritis sering melibatkan proses pada daerah spine sehingga saat
melakukan pengaturan posisi leher saat akan melakukan intubasi harus dilakukan
secara hati-hati untuk menghindari terjadinya kompresi nerve root atau protrusi
nucleus pulposus.
- Terdapat 3 aspek yang harus kita perhatikan pada Reumatoid arthritis , yaitu:
o Destruksi sendi terjadi karena proses imun dengan inflamasi kronis dan
progresif pada membrane synovial.
o Reumatoid arthritis dapat melibatkan proses yang bersifat sistemik
o Rheumatoid arthritis melibatkan sendi yang multipel.
- Manifestasi sistemik yang terjadi pada rheumatoid arthritis adalah aspek yang
paling penting bagi anestesiologis, oleh karena itu pada persiapan preoperatif
harus dilakukan skrining dengan teliti terhadap aspek tersebut.
- Adapun manifestasi sistemik rheumatoid arthritis tersebut adalah sebagi berikut:
SISTEM ORGAN ABNORMALITAS
Kardiovaskular Penebalan pericardial dan pericardial effusion, miokarditis,

103
koronari arthritis, gangguan konduksi, vaskulitis, fibrosis
katup jantung (regurgitasi aorta)
Paru-paru Efusi pleura, nodul pulmoner, fibrosis paru interstisial
Hematopoietik Anemia, eosinofilia, disfungsi platelet (akibat terapi
aspirin), trombositopenia
Endokrin Insufisiensi adrenal (akibat terapi glukokortikoid)
Dermatologi Penebalan dan atropi kulit akibat penyakit dan pemakaian
obat imunosupresan

- Kasus rheumatoid arthritis yang ekstrim dapat melibatkan hampir semua


membrane synovial termasuk cervical spine dan sendi temporomandibular.
- Perhatikan apakah terdapat gambaran subluksasi atlantooksipital pada gambaran
radiologis. Pada keadaan terdapat subluksasi atlantooksipital dapat mengakibatkan
terjadinya protrusi prosesus odontoid ke dalam foramen magnum saat dilakukan
intubasi, hal ini akan mengakibatkan terganggunya aliran darah vertebral dan
menimbulkan kompresi spinal cord atau batang otak.
- Foto ronsen cervical spine pada posisi fleksi dan ektensi harus dilakukan pada
semua pasien rheumatoid arthritis berat yang mendapatkan terapi steroid atau
metotreksat.
- Bila dari gambaran radiologis didapatkan instabilitas atlantoaksial melebihi 5 mm,
maka intubasi harus dilakukan dengan stabilisasi leher dengan memakai teknik
fiberoptik dalam keadaan awake.
- Terlibatnya sendi temporomandibular akan menyebabkan terbatasnya pembukaan
rahang sehingga membutuhkan tindakan intubasi dengan fiberoptik melalui nasal.
- Suara serak atau stridor inspirasi merupakan tanda terdapatnya penyempitan pada
pembukaan glotik yang disebabkan oleh arthritis krikoaritenoid. Pada keadaan ini
dibutuhkan ETT dengan nomor yang lebih kecil dan terdapat kemungkinan
terjadinya obstruksi jalan nafas pasca ekstubasi.
- Riwayat terapi pada pasien dengan asteoartritis atau reumatoidartritis biasanya
terdapat riwayat pengobatan nyeri dengan NSAID. Efek samping dari penggunaan
NSAID dapat berupa perdarahan gastrointestinal, toksisitas renal, dan disfungsi
platelet yang dapat mengancam nyawa pasien dan mempengaruhi rencana anestesi
yang akan dilakukan.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Total hip replacement dapat menimbulkan 3 komplikasi yang sangat berbahaya,
yaitu:
o Bone cement implantation syndrome

104
o Perdarahan intra dan pascaoperatif
o Tromboemboli vena
- Oleh karena itu direkomendasikan untuk memakai monitoring arterial invasi pada
prosedur ini.
- Fenomena emboli biasanya terjadi pada saat insersi dari protesis femoral.
- Tindakan preventif yang harus kita lakukan adalah sebagai berikut:
o Tingkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum proses cementing
o Konfirmasi ahli bedah untuk membuat vent hole pada bagian distal femur
untuk menghilangkan tekanan intramedular
o Lakukan lavase tekanan tinggi pada femoral shaft untuk menyingkirkan
debris yang potensial menimbulkan mikroemboli
o Gunakan komponen yangbersifat uncemented.
- Tromboemboli vena merupakan penyebab yang paling signifikan mortalitas dan
morbiditas pada hip replacement surgery.
- Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat menurunkan insiden
DVT dan emboli paru. Oleh karenanya dianjurkan untuk memakai teknik epidural
baik dengan atau tanpa kombinasi dengan anestesi umum bila memungkinkan.
- Tindakan lain yang dilakukan untuk mencegah terjadinya DVT adalah
penggunaan alat intermitten leg compression (ILC) dan pemberian profilaksis
antikoagulan dengan dosis rendah.

6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA, dokter
radiologi

8.REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 852-856

105
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA ORTOPEDI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN TOTAL KNEE REPLACEMENT

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
1 1/2
…/2014

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
yang akan menjalani tindakan pembedahan total knee replacement.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

106
3. KEBIJAKAN : Bone cement implantation syndrome pada prosedur ini masih
mungkin terjadi walaupun kemungkinannya lebih kecil bila dibandingkan dengan
total hip replacement.

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani total knee replacement biasanya mempunyai keadaan
yang hampir sama dengan pasien pada total hip replacement dimana penyakit
yang mendasari biasanya adalah osteoarthritis dan rheumatoid arthritis.
- (Untuk persiapan preoperatif lihat panduan anestesi pada ortopedi: total hip
replacement)

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Durasi total knee artroplasti lebih singkat bila dibandingkan dengan total hip
replacement.
- Pasien berada pada posisi supine dengan resiko perdarahan yang hanya sedikit
dengan penggunaan tornikuet.
- Pada pasien yang kooperatif dapat mentoleransi pemilihan teknik regional anestesi
dengan sedasi intravena.
- Bone cement implantation syndrome pada prosedur ini masih mungkin terjadi
walaupun kemungkinannya lebih kecil bila dibandingkan dengan total hip
replacement.
- Pada saat pelepasan tornikuet terdapat resiko untuk terjadinya pelepasan emboli
kedalam sirkulasi sistemik yang bertendensi untuk terjadinya hipotensi.
- (lihat panduan konsiderasi khusus operasi ortopedi dan panduan anestesi pada
ortopedi: total hip replacement)

6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,


dokter radiologi

8. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 856-857

107
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA ORTOPEDI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN SCOLIOSIS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/8

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
scoliosis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Tipe scoliosis, penentuan derajat scolisis, pengaruh scoliosis


pada system organ, dan manajemen perioperatif

3. KEBIJAKAN : Lakukan identifikasi terhadap lokasi scoliosis, onset, derajat, dan


etiologi dari scoliosis.

4. PENGERTIAN :

108
Scoliosis merupakan suatu keadaan dimana terdapat kurvatura tulang belakang kearah
lateral yang dapat bersifat struktural atau nonstruktural. Scoliosis nonstruktural
biasanya terjadi pada daerah lumbal akibat dari perbedaan panjang antara kedua
tungkai yang biasanya akan hilang bila pasien berada pada posisi supine atau
menggunakan alat suportif pada tungkai sehingga tidak memerlukan tindakan koreksi.
Sedangkan pada scoliosis yang bersifat struktural terjadi fleksibilitas tulang belakang
yang tidak normal. Kurvatura tulang belakang kearah lateral akan menyebabkan rotasi
pada vertebrae dan menyebabkan deformitas pada rongga toraks. Deformitas rongga
toraks ini akan menyebabkan penurunan secara signifikan dari volume total paru.

5. TIPE SCOLIOSIS:
- Idiopatik:
o Infantile
o Juvenile
o Adolescent
- Neuromuskular (paralitik):
o Neuropatik: Upper motor neuron (misal: serebral palsy dan spinal cord
injury), Lower motor neuron (misal pada: poliomyelitis dan
meningomyelocele), dan disautonomia familial.
o Miopatik: muskular distrofi, myotonik distrofi
- Kongengital:
o Kelainan hemivertebrae
o Congengital fused ribs
- Neurofibromatosis/ Kelainan mesenkim:
o Sindrom marfan
o Sindrom Ehler-Danlos
- Trauma:
o Fraktur vertebrae
o Pascatorakoplasti
o Pascaradiasi
Tipe scoliosis yang paling banyak ditemukan adalah tipe skoliosis idiopatik (70% dari
scoliosis).

6. PENILAIAN DERAJAT SCOLIOSIS


- Penilaian derajat scoliosis yang paling sering dipakai adalah dengan penilaian
Cobb Angle.
- Cobb angle diukur dengan membuat garis tegak lurus (perpendicular) dari
vertebrae terbawah scoliosis kearah atas konkavitas kurva dan garis tegak lurus

109
vertebrae paling atas dari scoliosis kearah bawah konkavitas kurva. Sudut yang
terbentuk pada perpotongan kedua garis perpendicular tersebut adalah cobb angle.
- Semakin besar cobb angle maka akan semakin berat gangguan fungsi paru.
- Tindakan pembedahan direkomendasikan apabila cobb angle> 45-50 derajat.
- Pada cobb angle 45 derajat akan terjadi penurunan kapasitas vital paru kira-kira
sebesar 22%.
- Cobb angle> 60 derajat akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
- Derajat scoliosis dan gangguan fungsi paru juga ditentukan oleh semakin
banyaknya jumlah vertebrae yang terlibat, lokasi kurva yang makin kearah
sefalad, dan hilangnya kifosis toraks yang normal.

7. PENGARUH SCOLIOSIS TERHADAP FUNGSI KARDIOPULMONAL


- Fungsi Paru dan Pernafasan
o Pada pemeriksaan tes fungsi paru didapatkan gambaran gangguan paru
restriktif
o Penurunan terbesar terjadi pada kapasitas vital sebanyak 60-80%.
Penurunan juga terjadi pada total lung capacity, functional residual
capacity, inspiratory capacity, dan expiratory reserve volume. Selama
aktivitas fisik, ventilasi didapatkan masih adekuat tetapi tidal volume
menurun dan laju nafas akan meningkat.
o Fungsi paru yang abnormal ini disebabkan oleh geometri rongga toraks
yang abnormal sehingga mengakibatkan penurunan yang sangat signifikan
pada compliance dinding dada.
o Respon ventilasi terhadap CO2 akan menurun, akan tetapi keadaan ini
tidak spesifik pada scoliosis dikarenakan respon ventilasi terhadap CO2
biasanya memang menurun apabila terjadi peningkatan work of breathing.
- Analisa Gas Darah
o Pada pasien scoliosis torakal sering didapatkan desaturasi pada oksigen
arterial. Sedangkan nilai PCO2 dan pH biasanya masih normal.
o Hipoksemia arterial ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara ventilasi/
perfusi.
o Derajat scoliosis yang berat dan scoliosis yang telah terjadi dalam waktu
yang lama akan menyebabkan ventilasi/ perfusi yang abnormal,
hipoventilasi alveolar, retensi CO2, dan hipoksemia yang lebih berat.
- Sistem Kardiovaskular
o Pasien dengan scoliosis dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan PVR
dan hipertensi pulmonal yang menyertai hipertropi ventrikel kanan dan
gagal jantung kanan.

110
o Peningkatan PVR disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: hipoksemia
yang mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah paru, kompresi region
tertentu pada paru akibat dari deformitas, dan pada scoliosis yang terjadi
pada usia < 6 tahun akan mengakibatkan pertumbuhan abnormal dari
pembuluh darah paru akibat deformitas dinding dada.
o Abnormalitas kardiovaskular yang paling sering terjadi pada pasien
scoliosis adalah prolaps katup mitral.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan identifikasi terhadap
o lokasi kurvatura scoliosis: Lokasi scoliosis sangat penting karena scoliosis
yang terjadi pada daerah torakal akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
Skoliosis pada daerah servikal akan menyebabkan kesulitan pada
pengelolaan jalan nafas dan biasanya berhubungan dengan kelainan
lainnya.
o Usia saat timbulnya scoliosis: pertumbuhan dan perkembangan paru terjadi
sejak lahir sampai dengan usia 8 tahun, jumlah alveoli akan terus
bertambah sampai usia 4 tahun. Scoliosis yang terjadi dalam kurun waktu
tersebut akan menyebabkan gangguan perkembangan paru.
o Derajat scoliosis; penentuan derajat scoliosis adalah hal yang sangat
penting untuk memprediksi fungsi pernafasan. Kurva toraks > 60 derajat
pada umumnya menyebabkan penurunan fungsi paru secara signifikan.
Kurva > 100 derajat berhubungan erat dengan gangguan pertukaran gas.
o Etiologi scoliosis; pengetahuan tentang penyebab scoliosis akan
memberikan gambaran tentang penyakit yang mendasari (misal: distrofi
muscular atau serebral palsy) yang mungkin akan mempengaruhi
pengelolaan anestesi.
- Anamnesa untuk menilai reserve kardiopulmonal dengan menanyakan riwayat
bernafas pendek, sesak saat aktivitas, dan toleransi terhadap aktivitas.
- Gejala-gejala paru seperti wheezing atau batuk dapat merupakan indikasi adanya
penyakit parenkim paru.
- Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada pemeriksaan jantung dan paru.
Auskultasi suara nafas berupa wheezing dan ronkhi mengindikasikan
kemungkinan penyakit paru obstruktif atau penyakit parenkim paru. Pada
pemeriksaan jantung harus diperhatikan adanya auskultasi murmur atau gallop,
tanda hipertensi pulmonal, dan hipertropi ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal

111
akan menyebabkan aksentuasi komponen pulmonik pada bunyi jantung kedua.
Bila didapatkan gagal jantung kanan maka akan ditemukan peningkatan JVP,
pembesaran liver, dan edema pada ekstremitas bawah.
- Evaluasi jalan nafas secara teliti terhadap adanya abnormalitas jalan nafas.
- Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologis. Penentuan fungsi neurologis
preoperatif harus dilakukan untuk mengetahui bila terjadi komplikasi neurologis
pascaoperasi. Pada pasien yang sebelumnya telah mengalami defisit neurologis
akan meningkatkan resiko terjadinya spinal cord injury.
- Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan derajat scoliosis dan kondisi yang
mendasarinya. Bila dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan penurunan
fungsi paru maka lakukan pemeriksaan tes fungsi paru. Pemeriksaan AGD
dilakukan bila vital capacity turun secara signifikan.
- Paseien dengan onset scoliosis pada umur < 8 tahun harus dilakukan pemeriksaan
TFT, AGD, dan EKG. Pemeriksaan ekhokardiografi dilakukan bila pada
pemeriksaan EKG didapatkan abnormalitas ,seperti: hipertrofi ventrikel kanan,
pembesaran atrium kanan, atau adanya kardiomiopati.
- Lakukan pulmonary toilet secara agresif dan atau terapi bronkodilator preoperatif
pada pasien dengan penyakit paru obstruktif atau penyakit parenkim paru.
- Hindari pemberian premedikasi berat dan opioid pada pasien dengan penyakit
neuromuscular, hipertensi pulmonal, gangguan pertukaran gas, penurunan fungsi
paru.

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Sebagian besar penderita dengan scoliosis idiopatik merupakan pasien dewasa
yang sehat sehingga dapat mentoleransi anestesi dan pembedahan dengan baik.
Berbagai teknik anestesi telah dipakai dengan memberikan hasil yang
memuaskan.
- Hindari penggunaan suksinilkolin pada pasien dengan gangguan otot dikarenakan
dapat menyebabkan hiperkalemia, aritmia, dan mioglobinuria. Penggunaan
pelemas otot golongan non depolarisasi dapat di toleransi selama operasi, tetapi
sebaiknya pilihlah pelemas otot golongan intermediate dibandingkan dengan
pelemas otot long acting sehingga memudahkan saat akan dilakukan wake up test.
- Pada saat memposisikan pasien pastikan tidak terjadi penekanan pada bola mata
yang dapat menyebabkan kebutaan akibat thrombosis pada arteri retina sentral.
Kepala tidak boleh dalam posisi fleksi atau ekstensi berlebihan. Selama operasi
terdapat kemungkinan posisi menjadi bergeser, oleh karenanya lakukan

112
pemeriksaan kembali secara rutin. Posisi ekstremitas atas tidak boleh abduksi
lebih dari 90 derajat karena dapat menyebabkan regangan pada pleksus brakialis,
dan pastikan tidak ada penekanan pada daerah aksilar.
- Berikan kebutuhan cairan selam operasi dengan memperhitungkan kebutuhan
maintenan, pengganti puasa, IWL, jumlah perdarahan, dan dieresis.
- Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi kebutuhan transfusi, antara
lain adalah:
o Minimalisasi tekanan intraabdomen; tekanan intraabdomen yang tinggi
akan ditransmisikan ke pleksus venosus vertebral sehingga meningkatkan
perdarahan vena.
o Preoperative patient banking blood; beberapa minggu sebelum operasi
RBC pasien diambil 2-3 unit dan disimpan di bank darah.
o Phlebotomi dan Hemodilusi isovolemik; Sebelum insisi darah pasien
diambil dan dimasukkan ke dalam kantung darah dengan target hematokrit
20-25%. Kemudian volume intravascular dimaintenan dengan mengganti
darah yang diambil dengan balance saline solution sejumlah tiga kali
jumlah darah yang diambil atau bila dengan koloid sejumlah yang sama
dengan jumlah darah yang diambil.
o Teknik hipotensi; Teknik ini dilakukan dengan mempertahankan MAP 60-
65 mmHg, tetapi besarnya penurunan tergantung dari kondisi masing-
masing pasien dengan keberadaan penyakit penyertanya. Dengan teknik
ini dapat menurunkan perdarahn sebanyak 30-50%.
- Teknik yang dipergunakan intraoperasi untuk menilai fungsi spinal cord adalah
dengan somatosensory evoked potentials dan wake up test.
- Bila pemeliharaan dilakukan dengan memberikan inhalasi yang poten, maka
sebaiknya hentikan pemakaiannya 20 menit sebelum dilakukan wake-up test.
- Wake up test dilakukan untuk mengevaluasi fungsi motorik spinal dan dilakukan
dengan mendangkalkan kedalaman anestesi sehingga pasien dapat mengikuti
perintah. Pertama-tama perintahkan pasien untuk menggenggam tangan pemeriksa
yang menandakan bahwa pasien sudah dalam keadaan responsive. Kemudian
perintahkan pasien untuk menggerakkan kaki dan jarinya. Bila pasien dapat
menggenggam tangan pemeriksa tetapi tidak dapat menggerakkan kakinya, maka
distraksi tulang belakang harus dikurangi sampai pada derajat yang aman. Apabila
pasien sudah dapat menggerakkan kakinya segera dalamkan lagi anestesinya

113
dengan memberikan obat anestesi secara intravena seperti propofol, thiopental,
atau benzodiazepin.
- Monitoring minimal yang dibutuhkan pada operasi posterior spine fusion, adalah:
tekanan darah, EKG, pulse oxymetri, EtCO2, stetoskop esophageal, dan
pengukuran temperatur inti.

10. MAJEMEN PASCAOPERATIF


- Keputusan untuk melakukan ventilasi mekanik pascaoperasi biasanya telah
diperkirakan pada masa preoperatif.
- Pasien scoliosis tipe idiopatik dengan gangguan paru ringan-sedang dapat
dilakukan ekstubasi di kamar operasi.
- Ventilasi mekanik pascaoperasi dilakukan pada pasien dengan gangguan paru
restriktif berat (vital capacity< 30% normal) atau abnormalitas pertukaran gas
berat dengan retensi CO2, juga pada pasien dengan Duchene muscular dystrophy,
disautonomia familial, atau serebral palsy berat.
- Parameter untuk dilakukan ekstubasi:
o Vital capacity> 10 ml/ kg
o Tidal volume> 5 ml/ kg
o Laju nafas spontan < 30x/ menit
o Negative inspiratory force> -30 cm H2O
- Lakukan latihan batuk dan bernafas dalam.
- Berikan bronkodilator pada pasien dengan gangguan paru obstruktif.
- Hindari pemberian narkotik yang berlebihan karena dapat menimbulkan depresi
nafas dan mengurangi kemampuan pasien untuk batuk.
- Perhatikan tanda-tanda terjadinya komplikasi pascaoperasi.
- Komplikasi pascaoperasi yang dapat terjadi adalah:
o Pneumotoraks
o Atelektasis
o Efusi pleura
o Hematotoraks
o Truma neurologis
o Ileus paralitik

11. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

13. REFERENSI:
Zayas VM. Scoliosis. Dalam: Anesthesiology. Problem Oriented Patient Management.
Edisi V. Editor: Fun Sun Yao. Tahun: 2003. Hal: 1093-1115

114
115
PANDUAN ANESTESI
PADA OPERASI TELINGA,
HIDUNG, DAN TENGGOROKAN
(THT)

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA THT:


HAJI ADAM MALIK MEDAN ENDOSKOPI

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan endoskopi.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.


116
3. KEBIJAKAN : Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur endoskopi adalah
melakukan paralise otot untuk merelaksasi muskulus masseter sehingga memudahkan
memasukkan laringoskop dan mendapatkan lapangan operasi yang baik, ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat selama dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan menjaga
stabilitas kardiovaskular selama stimulasi terhadap jalan nafas.

4. BATASAN:
Tindakan-tindakan yang tergolong endoskopi disini adalah: laringoskopi (diagnostik
dan operatif), mikrolaringoskopi, esofagoskopi, dan bronkoskopi.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani prosedur endoskopi harus dilakukan evaluasi terlebih
dahulu terhadap kemungkinan adanya keluhan suara serak, stridor, dan hemoptisis
sebelumnya.
- Apabila terdapat keluhan seperti di atas, maka lakukan penelusuran lebih lanjut
terhadap beberapa kemungkinan sebagai penyebabnya, yaitu: aspirasi benda asing,
trauma saluran aerodigestif, papillomatosis, stenosis trakeal, obstruksi tumor, atau
disfungsi pita suara.
- Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik secara teliti terutama terhadap
kemungkinan adanya masalah potensial pada jalan nafas untuk kemudian dapat
disusun rencana anestesi yang tepat.
- Biasanya pada pasien yang akan menjalani prosedur ini telah menjalani
laringoskopi indirek di poliklinik, lakukan evaluasi dan diskusi dengan operator
terhadap temuan pada pemeriksaan tersebut.
- Hal yang terpenting yang harus dilakukan adelah melakukan penilaian apakah
pada saat induksi pasien dapat dengan mudah dilakukan ventilasi dengan masker
dan mudah untuk dilakukan intubasi dengan laringoskopi direk.
- Bila dari hasil penilaian didapatkan kemungkinan kesulitan untuk dilakukan
ventilasi dan atau intubasi maka susunlah rencana anestesi dan lakukan persiapan
sesuai dengan algoritme difficult airway. (lihat algoritme: difficult airway, hal:49).
- Premedikasi dengan obat sedatif merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
obstruksi jalan nafas. Untuk mengurangi sekresi pada jalan nafas dapat diberikan
glikopirolat 0,2-0,3 mg secara intramuskular 1 jam sebelum operasi sehingga
visualisasi jalan nafas dapat lebih baik lagi.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF

117
- Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur endoskopi adalah melakukan
paralise otot untuk merelaksasi muskulus masseter sehingga memudahkan
memasukkan laringoskop dan mendapatkan lapangan operasi yang baik, ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat selama dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan
menjaga stabilitas kardiovaskular selama stimulasi terhadap jalan nafas.
- Relaksasi otot intraoperatif dapat dilakukan dengan memberikan suksinilkolin
dengan infus kontinyu atau pelemas otot golongan nondepolarizing intermediate
secara intermiten.
- Kerugian penggunaan drip suksinilkolin bila terjadi pemanjangan prosedur adalah
potensi terjadinya blok fase II, sedangkan kerugian penggunaan golongan
nondepolarizing intermediate dapat memperlambat kembalinya reflek proteksi
jalan nafas dan ekstubasi.
- Relaksasi yang baik sangat diperlukan sampai pada saat paling akhir dari
prosedur, namun pemulihan juga harus dilakukan secara cepat dikarenakan
prosedur endoskopi biasanya dilakukan pada pasien-pasien ODS.
- Teknik pilihan pada prosedur ini adalah dengan intubasi memakai ETT untuk
mencegah aspirasi dan memudahkan pemberian anestesi inhalasi serta monitoring
EtCO2 secara kontinyu.
- Pada beberapa kasus, teknik intubasi dengan ETT dapat mengganggu visualisasi
operator. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan insuflasi
oksigen aliran tinggi melalui kateter kecil yang ditempatkan di trakea.
- Meskipun dengan insuflasi dapat menjaga oksigenasi dalam periode singkat pada
pasien dengan fungsi paru yang baik, tetapi ventilasi tetap tidak adekuat pada
prosedur yang lebih panjang kecuali pasien tetap dibiarkan bernafas secara
spontan.
- Kemungkinan teknik lain yang dapat dilakukan adalah dengan teknik apnoe
intermiten. Pada teknik ini terdapat periode ventilasi oksigen dengan masker atau
ETT yang bergantian dengan periode apnoe selama prosedur dilakukan.
- Durasi apnoe dapat dilakukan selama 2-3 menit, tergantung dari seberapa baik
pasien dapat menjaga saturasi oksigen yang diukur dengan pulse oksimeter.
- Teknik apnoe intermiten mempunyai resiko untuk terjadinya hipoventilasi,
hiperkarbia, dan pneumonia aspirasi.
- Pendekatan yang lebih modern lagi adalah dengan pendekatan memakai manual
jet ventilator yang dihubungkan dengan side port laringoskop. Selama inspirasi
(1-2 detik) akan dihantarkan oksigen tekanan tinggi (30-50 psi) melalui
pembukaan glotik dan memasuki ruangan udara paru-paru (efek venturi).

118
Kemudian ekspirasi terjadi secara pasif selama 4-6 detik. Hal yang krusial adalah
melakukan monitoring pergerakan dinding dada secara konstan dan menjaga
waktu yang cukup untuk ekshalasi sehingga tidak terjadi terperangkapnya udara
dan barotrauma.
- Variasi dari teknik di atas adalah dengan high frequency jet ventilation dengan
memakai kanul kecil atau tube ke dalam trakea dan kemudian gas akan
diinjeksikan 80-300 kali permenit.
- High frequency jet ventilation membutuhkan anestetik intravena.
- Tekanan darah dan laju jantung sering berfluktuasi pada prosedur endoskopi. Hal
ini dikarenakan sebagian besar pasien adalah perokok berat dan peminum alkohol
yang merupakan faktor predisposisi dari penyakit jantung, dan periode stress dari
laringoskopi dan intubasi yang diselingi dengan periode dimana terjadi stimulasi
pembedahan yang minimal.
- Pemberian anesthesia dengan level yang konstan pada kondisi di atas akan
menyebabkan terjadinya interval hipertensi dan hipotensi. Untuk Menghadapi
keadaan ini dapat diberikan anestesi dengan keadalaman level baseline yang
paling ringan dengan menambahkan suplemen dengan anestetik kerja singkat
(misal propofol, remifentanil) atau antagonis simpatetik (misal: esmolol)
seperlunya selama periode terjadi peningkatan stimulasi.
- Teknik lain untuk menjaga stabilitas hemodinamik tersebut adalah dengan
melakukan blok nervus regional pada n. glossofaringeal, dan n. laringeus superior.
- Penggunaan monitoring invasif dengan arterial blood pressure dipertimbangkan
pada pasien dengan riwayat hipertensi atau penyakit jantung koroner meskipun
prosedur yang dilakukan cukup singkat.

7. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,


dokter radiologi

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological
surgery. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 838-840.

119
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA THT:
HAJI ADAM MALIK MEDAN REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL DAN
OPERASI ORTHOGNATIK

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan rekonstruksi maksilofasial dan operasi orthognatik.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Apabila didapatkan tanda-tanda adanya kemungkinan masalah pada


saat nanti dilakukan ventilasi dengan masker atau intubasi trakeal, maka jalan nafas
harus diamankan terlebih dahulu sebelum dilakukan induksi.Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengamankan jalan nafas pada keadaan tersebut di atas adalah
dengan melakukan intubasi nasal/ oral dengan fiberoptik, atau dengan trakeostomi.

4. BATASAN:
Rekonstruksi maksilofasial dilakukan untuk koreksi pada kasus trauma (misal: fraktur
lefort) atau malformasi perkembangan, operasi kanker radikal (misal:
mandibulektomi), atau pada obstructive sleep apnea. Prosedur ortognatik misalkan
Lefort osteotomi, mandibular osteotomi.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF

120
- Tantangan terbesar bagi anestesiolog pada pasien yang akan menjalani prosedur
rekonstruksi maksilofasial adalah permasalahan pada jalan nafas.
- Evaluasi terhadap jalan nafas harus dilakukan secara detil dan menyeluruh.
- Pemeriksaan jalan nafas difokuskan pada pembukaan rahang, mobilitas leher,
mikrognatia, retrognatia, protrusi maksila, makroglosia, patologi geligi, patensi
nasal, adanya lesi atau debris intraoral, dan kemungkinan untuk pemasangan
masker pada wajah.
- Apabila didapatkan tanda-tanda adanya kemungkinan masalah pada saat nanti
dilakukan ventilasi dengan masker atau intubasi trakeal, maka jalan nafas harus
diamankan terlebih dahulu sebelum dilakukan induksi.
- Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengamankan jalan nafas pada keadaan
tersebut di atas adalah dengan melakukan intubasi nasal/ oral dengan fiberoptik,
atau dengan trakeostomi.
- Intubasi nasal harus benar-benar dipertimbangkan pada kasus dengan fraktur
LeFort II dan III dikarenakan kemungkinan terdapat basilar skull fracture dan
cerebrospinal fluid rhinorrhea.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Operasi rekonstruksi dan ortognatik dapat mengakibatkan hilangnya darah dalam
jumlah besar.
- Strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi perdarahan, adalah: posisi
sedikit head-up, kontrol hipotensi, dan infiltrasi lokal dengan larutan epinefrin.
- Pastikan terdapat minimal 2 jalur intravena berukuran besar dimana salah satu
jalur mungkin akan dipergunakan untuk memasukkan obat hipotensif.
- Pergunakan pack orofaring untuk meminimalisassi masuknya darah dan debris ke
dalam laring dan trakea.
- Prosedur pada daerah kepala dan leher akan menempatkan anestesiolog jauh dari
jalan nafas pasien, hal ini dapat meningkatkan terjadinya masalah yang serius
pada jalan nafas selama operasi berlangsung, seperti: ETT mengalami tertekuk,
diskoneksi, atau perforasi akibat instrumentasi bedah. Oleh karena itu lakukan
monitoring yang ketat pada jalan nafas pasien dengan memantau EtCO2, peak
inspiratory pressure, dan stetoskop esophageal breath sound.
- Pada akhir operasi pack orofaringeal harus dikeluarkan dan lakukan suctioning
pada faring.
- Bila terdapat kemungkinan terjadinya edema pascaoperatif pada struktur-struktur
yang potensial untuk menyebabkan obstruksi jalan nafas (misal pada lidah)

121
makam pasien harus di observasi secara ketat pascaoperatif dan mungkin
dipertimbangkan untuk tetap terintubasi.
7. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medis.
- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi,dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,


dokter radiologi

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological
surgery. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h:843-845.

122
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA THT:
HAJI ADAM MALIK MEDAN OPERASI NASAL DAN SINUS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan operasi nasal dan sinus.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi perdarahan


intraoperatif, yaitu: suplementasi larutan lokal anestesi dengan kokain atau epinefrin,
memposisikan pasien dengan kepala sedikit di atas, dan melakukan tenik kontrol
hipotensi ringan.

4. BATASAN:
Prosedur operasi pada daerah nasal dan sinus yang dilakukan dapat berupa
polipektomi, operasi sinus dengan endoskopi, maksilari sinusotomi (Caldwell-Luc
procedure), rinoplasti, septoplasti.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani operasi nasal atau sinus sering kali mengalami
gangguan obstruksi nasal yang disebabkan oleh adanya polip, deviasi septum, atau
kongesti mukosa akibat infeksi. Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan
obstruksi nasal preoperatif.
- Adanya gangguan obstruksi nasal akan menyebabkan kesulitan pada saat akan
dilakukan ventilasi, terlebih lagi apabila terdapat kombinasi dengan penyebab-
penyebab kesulitan ventilasi lainnya (misal: obesitas, deformitas maksilofasial).
- Polip nasal sering kali berhubungan dengan gangguan alergi seperti asma.
- Pasien dengan riwayat alergi terhadap aspirin tidak boleh diberikan obat-obatan
golongan NSAID (misal: ketorolac).
- Tanyakan apakah ada riwayat gangguan perdarahan

123
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Sebagian prosedur pada daerah nasal dapat dilakukan dalam anestesi lokal dan
sedasi dengan hasil yang cukup memuaskan.
- Modalitas sensorik pada daerah septum dan dinding lateral hidung diinervasi oleh
n.ethmoidalis anterior dan n.sfenopalatinus. Kedua nervus tersebut dapat diblok
dengan melakukan packing pada hidung dengan memakai aplikator kassa atau
kapas yang telah diberikan anestesi lokal selama 10 menit sebelum dilakukan
instrumentasi.
- Untuk memperkuat efek analgesia dapat diberikan suplementasi dengan injeksi
submukosa anestesi lokal.
- Walaupun dapat dilakukan dengan teknik anestesi lokal, namun teknik yang
menjadi pilihan adalah dengan anestesi umum. Hal ini dikarenakan pemberian
anestesi topikal menyebabkan ketidaknyamanan dan blok yang tidak sempurna.
- Saat melakukan induksi sebaiknya menggunakan oral airway selama melakukan
ventilasi dangan masker untuk mengatasi efek obstruksi nasal, kemudian
sebaiknya intubasi dilakukan dengan memakai right-angle endotracheal (RAE).
- Disarankan untuk memakai pelemas otot selama instrumentasi daerah sinus untuk
menghindari terjadinya pergerakan pasien yang dapat menimbulkan komplikasi
kerusakan neurologis dan optalmik.
- Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi perdarahan intraoperatif,
yaitu: suplementasi larutan lokal anestesi dengan kokain atau epinefrin,
memposisikan pasien dengan kepala sedikit di atas, dan melakukan tenik kontrol
hipotensi ringan.
- Pergunakan pack pada daerah posterior pharing untuk mengurangi resiko aspirasi
darah.
- Observasi secara ketat terhadap kemungkinan perdarahan yang banyak terutama
pada reseksi tumor-tumor vaskular (misal: juvenile nasopharyngeal
angiofibroma).
- Ekstubasi harus dilakukan dengan smooth untuk menghindari terjadinya batuk
atau straining yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena sehingga
dapat menyebabkan perdarahan pascaoperasi.

7. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

124
8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,
dokter radiologi

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological
surgery. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 840-841.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA THT:


HAJI ADAM MALIK MEDAN OPERASI KANKER PADA KEPALA DAN LEHER

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN 1 April 2014 Haji Adam Malik Medan
ANESTESI

125
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan operasi kanker pada kepala dan leher.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Apabila terdapat keraguan yang serius terhadap masalah yang


potensial pada jalan nafas, maka induksi dengan anestesi intravena harus
dihindari.Pada keadaan tersebut induksi dapat dilakukan dengan awake direct atau
laringoskopi fiberoptik pada pasien yang kooperatif, sedangkan pada pasien yang
tidak kooperatif dapat dilakukan induksi inhalasi dengan tetap mempertahankan nafas
spontan.

4. BATASAN:
Prosedur operasi kanker pada kepala dan leher termasuk di dalamnya adalah:
laringektomi, glosektomi, pharingektomi, parotidektomi, hemimandibulektomi, dan
diseksi leher radikal.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Tipikal pasien yang akan menjalani operasi ini adalah geriatri dengan riwayat
perokok berat dan peminum yang seringkali disertai dengan penyakit penyerta
seperti PPOK, CAD, alkoholisme kronis, pneumonia aspirasi, dan malnutrisi.
- Lakukan evaluasi dan optimalisasi terlebih dahulu apabila terdapat penyakit
penyerta pada pasien.
- Pengelolaan jalan nafas pada kasus ini sering kali kompleks akibat adanya lesi
yang bersifat obstruktif atau terapi radiasi preoperatif yang telah dilakukan yang
dapat menimbulkan distorsi pada anatomi jalan nafas.
- Apabila terdapat keraguan yang serius terhadap masalah yang potensial pada jalan
nafas, maka induksi dengan anestesi intravena harus dihindari.
- Pada keadaan tersebut induksi dapat dilakukan dengan awake direct atau
laringoskopi fiberoptik pada pasien yang kooperatif, sedangkan pada pasien yang
tidak kooperatif dapat dilakukan induksi inhalasi dengan tetap mempertahankan
nafas spontan.
- Pada kasus dengan problem potensial pada jalan nafas harus selalu dipersiapkan
peralatan dan personil untuk kemunkinan dilakukannya trakeostomi emergensi.

126
- Sebagai alternatif pilihan adalah dengan melakukan trakeostomi elektif dalam
anestesi lokal terutama bila pada pemeriksaan laringoskopi indirek terlihat adanya
lesi yang rentan terganggu pada saat intubasi.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Prosedur yang akan dilakukan berpotensi untuk terjadinya kehilangan darah dalam
jumlah yang besar. Pada pasien dengan penyakit penyerta kardiopulmonal
dipertimbangkan untuk memakai kanulasi arteri untuk monitoring tekanan darah,
gas darah, dan hematokrit.
- Untuk menghadapi kemungkinan perdarahan yang banyak maka dibutuhkan
minimal 2 jalur intravena berukuran besar.
- Teknik hipotensi ringan dapat membantu untuk mengurangi perdarahan.
- Pemilihan teknik hipotensi harus mempertimbangkan kondisi pasien. Pada tumor
yang melibatkan arteri karotis (terjadi penurunkan tekanan arterial serebral), atau
melibatkan vena jugular (terjadi peningkatkan tekanan vena serebral), maka
pemakainan teknik hipotensi akan menyebabkan gangguan yang besar pada
perfusi serebral.
- Mengurangi perdarahan dengan posisi sedikit head up juga akan meningkatkan
resiko terjadinya emboli udara.
- Pada operasi diseksi leher atau parotidektomi kadang efek pelemas otot harus
dihilangkan apabila operator akan melakukan identifikasi terhadap nervus ( misal
spinal accessory, n.fasialis) dengan melakukan stimulasi direk.
- Manipulasi sinus karotis dan ganglion stellata saat diseksi leher dapat
menyebabkan instabilitas hemodinamik, bradikardi, aritmia, sinus arrest, dan
pemanjangan interval QT. Masalah ini dapat dihilangkan dengan melakukan
infiltrasi pada carotid sheath dengan abestesi local.
- Diseksi leher bilateral dapat menyebabkan hipertensi pascaoperatif dan hilangnya
hypoxic drive akibat denervasi sinus karotis dan badan karotis.

7. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medis.


- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,


dokter radiologi

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological
surgery. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h:840-843.

127
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA THT:
HAJI ADAM MALIK MEDAN OPERASI TELINGA

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/2

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan operasi telinga.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : N2O harus dihindari selama timpanoplasti atau dihentikan 15-30


menit sebelum dilakukan pemasangan graft.

4. BATASAN:

128
Prosedur operasi telinga antara lain adalah: stapedektomi (biasanya dalam anestesi
lokal), timpanoplasti, dan mastoidektomi.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pada keadaan normal, perubahan tekanan pada telinga tengah yang disebabkan
oleh N2O dapat ditoleransi dengan baik karena adanya passive venting melalui
tuba eustachii. Tetapi pada pasien dengan riwayat gangguan telinga kronis (misal:
otitis media, sinusitis) dapat terjadi obstruksi pada tuba eustachii dan kadang dapat
terjadi hilangnya pendengaran atau ruptur membrane timpani akibat pemakaian
N2O selama anestesi walaupun kejadian ini jarang terjadi.
- Selama timpanoplasti, telinga tengah akan terbuka terhadap atmosfer dan pada
keadaan tersebut tidak terjadi adanya tekanan. Pada saat operator meletakkan graft
membran timpani maka telinga tengah akan menjadi suatu ruangan yang tertutup.
Apabila pada saat itu kita menggunakan N2O maka gas tersebut akan berdifusi ke
dalam ruangan ini sehingga tekanan pada telinga tengah akan meningkat dan
dapat mengakibatkan graft akan terlepas. Sebaliknya penghentian N2O setelah
peletakan graft akan menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang juga
akan menyebabkan graft terlepas.
- Oleh karena itu N2O harus dihindari selama timpanoplasti atau dihentikan
sebelum dilakukan pemasangan graft.
- Waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan N2O tergantung dari beberapa
faktor, antara lain ventilasi alveolar dan fresh gas flow, namun waktu yang
direkomendasikan adalah 15-30 menit sebelum pemasangan graft.
- Tindakan operasi mikro pada telinga memang tidak menimbulkan perdarahan
yang banyak, namun perdarahan yang terjadi dapat mengganggu lapangan
pandang operator.
- Untuk mengurangi perdarahan yang terjadi dapat dilakukan dengan sedikit elevasi
kepala (15 derajat), penggunaan epinefrin (1:50.000- 1:200.000) secara infiltrasi
atau topical, dan kontrol hipotensi.
- Sebaiknya ekstubasi dilakukan dalam keadaan anestesi masih dalam, hal ini untuk
menghindari terjadinya batuk yang akan meningkatkan tekanan vena dan
menimbulkan perdarahan.
- Telinga bagian dalam sangat berperanan dalam menjaga kesimbangan, sehingga
pascaoperasi telinga dapat menyebabkan timbulnya vertigo, mual, dan muntah.
Induksi dan pemeliharaan dengan menggunakan propofol pada operasi telinga
tengah telah terbukti menurunkan mual dan muntah pascaoperasi. Dan harus

129
dipertimbangkan pula untuk memberikan profilaksis dengan memberikan
decadron sebelum induksi dan pemberian 5-HT3 bloker sebelum pasien
dibangunkan.

6. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medis.


- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,


dokter radiologi
8. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological
surgery. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h:843-845.
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI TONSILEKTOMI
HAJI ADAM MALIK MEDAN DAN/ATAU ADENOIDEKTOMI

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/2
-
Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat
PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN: Untuk menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi

2. RUANG LINGKUP:

3. KEBIJAKAN:

4. PROSEDUR:
4.1. Preoperatif:
Pasien dengan tonsilitis mungkin mengalami gejala obstructive sleep anea (OSA).
Pasien dengan OSA seringkali disebabkan oleh obesitas dan berpotensi untuk
terjadinya kesulitan penguasaan jalan nafas (difficult airway). Premedikasi sedatif
pada pasien seperti ini harus dihindari.
Pada pasien pediatrik, seringkali disertai dengan adanya infeksi saluran nafas atas.
Pada pasien yang akan menjalani operasi elektif, keadaan infeksi saluran nafas akut
ini (sputum purulen, sekret hidung, demam, dll) harus ditatalaksanai terlebih dahulu.
Operasi selayaknya ditunda hingga gejala-gejala tersebut diatas tertaggulangi. Alasan

130
penundaan tindakan operasi tersebut adalah keadaan ini dapat mengakibatkan infeksi
menyebar ke saluran nafas bawah, sekresi jalan nafas dapat menyumbat ETT dan
saluran nafas yang kecil, merupakan suatu predisposisi terjadinya laringospasme
intraoperatif maupun pasca operasi, dan penurunan fungsi respirasi. Pemeriksaan
penunjang dilakukan sesuai indikasi.

4.2. Intraoperatif:
4.2.1. Teknik anestesi umum dengan intubasi trakea. Pada pasien dengan riwayat
OSA terjadi peningkatan sensitivitas terhadap narkotik dan sedatif sehingga
merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi awake dengan fiber optic.
Gunakan ETT berspiral (non-kinking). Hemostasis diamankan dengan
pemasangan tampon laring.
4.2.2. Induksi: Preoksigenasi O2 100% dengan sungkup selama 1-3 menit. Fentanyl
pada permulaan induksi 1-3 mcg/kg. Propofol 1.5 – 2.5 mg/KgBB IV secara
perlahan dan bertahap, Atracurium 0.3 – 0.5 mg/kg.
4.2.3. Pemasangan mouth gag: pada saat pemasangan mouth gag harus diperhatikan
bahwa ETT mungkin tertarik, tertekuk, ataupun terdorong. Oleh karena itu,
pengecekan kembali posisi ETT setelah pemasangan mouth gag harus
dilakukan.
4.2.4. Pemeliharaan: O2 30-100%, N2O 0-70%, Fentanyl 1-10 mcg/kg/jam, volatil,
pelumpuh otot tidak diperlukan.
4.2.5. Pengakhiran: Keluarkan tampon laring. Ekstubasi dilakukan saat pasien sadar
penuh (fully awake) ketika semua refleks mempertahankan jalan nafas sudah
timbul. Lakukan penyedotan (suctioning) dengan hati-hati untuk mencegah
perdarahan di area operasi.

4.3. Pascaoperatif:
4.3.1. Posisi pasien: pasien diposisikan miring dengan posisi kepala lebih rendah
(tonsillar position).
4.3.2. Monitoring: monitoring standar, perhatikan tanda-tanda perdarahan.
4.4. Komplikasi pasca operasi: Tampon tertinggal, laringospasme/bronkospasme,
perdarahan tonsil (bleeding tonsil).

131
4.5. Penatalaksanaan nyeri: Meperidine 0.5-1 mg/Kg/jam IV, Acetaminophen supp. 240
mg (usia 4-5 tahun), 325 – 650 mg (usia 10-11 tahun) setiap 4-6 jam.

5. UNIT TERKAIT: Dokter Spesialis THT, Dokter Spesialis Anestesi, perawat anestesi,
perawat bedah, depo farmasi.

6. DOKUMEN TERKAIT : Catatan rekam medik, surat izin operasi, surat izin anestesi,
laporan/catatan anestesi dan operasi.

PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
UROLOGI

132
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN SISTOSKOPI

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien yang
akan menjalani tindakan pembedahan sistoskopi.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan secara ketat pada


pasien-pasien obes atau geriatri dengan reserve paru yang terbatas yang akan
diposisikan litotomi atau trendelenburg.

4. BATASAN:
Indikasi sistoskopi,adalah: hematuria, infeksi traktus urinarius berulang, kalkuli renal,
dan obstruksi urin. Tindakan-tindakan dalam urologi yang dapat dilakukan melalui

133
sistoskopi, yaitu: biopsy baldder, pyelogram retrograde, reseksi tumor bladder,
ekstraksi atau litotripsi laser pada batu ginjal, dan pemasangan ureter kateter.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Manajemen preoperatif bervariasi sesuai dengan umur, jenis kelamin pasien, dan
prosedur yang akan dilakukan.
- Pada pasien usia tua difokuskan pada perubahan fisiologi dan adanya penyakit
penyerta.
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Posisi Litotomi:
o Kesalahan dalam mengatur posisi pasien dapat menyebabkan trauma
iatrogenik.
o Untuk menaikkan dan menurunkan tungkai pasien harus dilakukan oleh 2
orang dan dilakukan secara simultan.
o Penyangga tungkai harus dilapisi dengan pad dan kedua tungkai harus
menggantung secara bebas.
o Trauma pada nervus peroneal komunis akan mengakibatkan terjadinya
ketidakmampuan untuk melakukan dorsofleksi dari kaki, hal ini
diakibatkan oleh penekanan bagian lateral dari strap support. Sedangkan
bila tungkai lebih menekan pada bagian medial dari strap support akan
terjadi kompresi dari nervus safenus yang akan memimbulkan rasaa baal
sepanjang medial calf.
o Fleksi tungkai yang berlebihan dapat menyebabkan trauma pada nervus
obturator dan kadang-kadang n. femoralis. Posisi fleksi tungkai yang
ekstrim juga dapat menyebabkan peregangan pada n. sciatic.
o Posisi litotomi yang terlalu lama dilaporkan dapat menyebabkan sindrom
kompartemen pada ekstremitas bawah dengan rhabdomiolisis.
o Posisi litotomi akan menyebabkan perubahan fisiologis pada pasien, yaitu:
penurunan FRC yang menjadi predisposisi untuk terjadinya atelektasis dan
hipoksia.
o Efek ini akan diperkuat dengan posisi trendelenburg (> 30 derajat).
o Elevasi tungkai akan menyebabkan peningkatan aliran balik darah vena
secara akut yang dapat mengeksaserbasi terjadinya gagal jantung
kongestif. Tekanan darah rata-rata sering kali meningkat tetapi curah
jantung tidak berubah secara signifikan.
o Sebaliknya menurunkan tungkai secara mendadak dapat menyebabkan
penurunan aliran darah balik vena yang mengakibatkan terjadinya

134
hipotensi. Keadaan hipotensi ini akan diperberat oleh efek vasodilatasi dari
anestesi regional atau umum. Oleh karena itu maka pemantauan tekanan
darah harus dilakukan segera setelah kaki diturunkan.
- Pilihan Teknik Anestesi:
o Anestesi Umum:
 Anestesi umum dengan menggunakan LMA merupakan teknik
yang paling sering menjadi pilihan pada pasien yang akan
menjalani prosedur sistoskopi dikarenakan durasi yang singkat (15-
20 menit), dan biasanya dilakukan pada pasien ODS.
 Pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan secara ketat pada
pasien-pasien obes atau geriatri dengan reserve paru yang terbatas
yang akan diposisikan litotomi atau trendelenburg.
o Anestesi Regional:
 Pilihan anestesi regional dapat dilakukan baik dengan spinal
maupun epidural dengan hasil yang sama-sama memuaskan.
 Sebagian besar anestesiolog lebih banyak memilih teknik anestesi
spinal dibandingkan epidural dikarenakan mula kerja yang lebih
cepat (5 menit) dibandingkan epidural (15-20 menit) terutama pada
prosedur yang tidak terlalu lama.
 Beberapa anestesiolog berpendapat bahwa mengangkat tungkai
untuk memposisikan pasien dalam posisi litotomi hanya boleh
dilakukan setelah blockade level sensorik tercapai, namun
penelitian-penelitian yang dilakukan tidak dapat membuktikan
bahwa elevasi tungkai yang dilakukan segera setelah injeksi
intratekal akan menyebabkan peningkatan level anesthesia atau
peningkatankejadian hipotensi berat.
 Tindakan sistoskopi memerlukan blokade sensoris setinggi T10.
 Namun teknik anestesi regional tidak dapat menghilangkan reflek
obturator (gerakan rotasi eksternal dan adduksi sebagai akibat
sekunder dari stimulasi n. obturator oleh kauter elektrik pada
dinding lateral vesika.
 Reflek obturator ini hanya dapat dihilangkan dengan memakai
pelemas otot dalam anestesi umum.

7. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

135
8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,
dokter radiologi.

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for genitourinary surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 758-759

136
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN TRANSURETHRAL RESECTION OF THE
PROSTATE (TURP)

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/7

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


genitourinari yang akan menjalani tindakan pembedahan TURP.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, komplikasi TURP.

3. KEBIJAKAN : Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, maka teknik


anestesi regional memberikan keuntungan untuk mengurangi insiden thrombosis
pascaoperasi, dan dengan teknik ini maka tanda-tanda bila terjadi TURP atau perforasi
vesika urinaria lebih mudah dikenali .

4. BATASAN:
Hipertropi prostat seringkali menimbulkan keluhan-keluhan akibat obstruksi pada
saluran keluar vesika urinaria yang sebagian besar terjadi pada laki-laki pada usia >
60 tahun. Indikasi untuk dilakukan tindakan operasi, adalah: adanya simptom traktus
urinarius bagian bawah (lower urinary tract symptoms/ LUTS) yang moderat sampai
berat yang tidak memberikan respon terhadap terapi medikamentosa, gross hematuri
yang persisten, infeksi saluran urinari persisten, insufisiensi renal, atau batu vesika.
Tindakan operasi melalui transuretra biasanya dilakukan pada pasien dengan volume
kelenjar prostat kurang dari 40-50 ml. TURP dilakukan dengan memakai alat
sistoskop (resektoskop) dengan irigasi kontinyu dan visualisasi direk, kemudian
jaringan prostat direseksi dengan cutting current. Tindakan ini juga dilakukan pada
pasien karsinoma prostat untuk mengatasi keluhan obstruksi urin.

137
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani operasi prostat harus dilakukan evaluasi yang ketat
terhadap kemungkinan penyakit penyerta pada jantung dan paru seperti halnya
evaluasi terhadap disfungsi renal yang ada.
- Hal ini dikarenakan umur pasien yang akan menjalani operasi prostat biasanya
relatif lanjut (30-60%) yang merupakan prevalensi baik kelainan kardiovaskular
maupun paru.
- Lakukan optimalisasi terhadap penyakit penyerta sebelum operasi dilakukan.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pilihan teknik anestesi untuk TURP dengan anestesi regional spinal/ epidural
memberikan kondisi anestesi dan operasi yang sangat baik sekali.
- Target level sensoris yang diharapkan adalah pada level T10.
- Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, maka teknik anestesi regional
memberikan keuntungan untuk mengurangi insiden thrombosis pascaoperasi, dan
dengan teknik ini maka tanda-tanda bila terjadi TURP atau perforasi vesika
urinaria lebih mudah dikenali.
- Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna antara teknik anestesi umum dengan anestesi regional
terhadap jumlah perdarahah, fungsi kognitif pascaoperasi, dan mortalitas.
- Apabila akan dilakukan teknik anestesi regional pada pasien dengan karsinoma
maka harus terlebih dahulu dipastikan tidak adanya metastase ke tulang vertebrae.
- Bila pasien yang dilakukan TUPR dengan anestesi umum mengalami kesulitan
untuk dibangunkan, maka harus dipikirkan kemungkinan adanya hiponatremia.
- Evaluasi status mental pada pasien yang tetap sadar merupakan cara monitoring
yang terbaik untuk mendeteksi secara dini terjadinya sindrom TURP dan perforasi
vesika urinaria.
- Tanda dini apabila terjadi kelebihan cairan adalah penurunan saturasi oksigen
arteri.
- Lakukan pemantauan EKG secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya
iskemik. Insiden iskemik pada pasien yang menjalani TURP bisa mencapai 18%.
- Temperatur harus dipantau untuk mencegah terjadinya hipotermia terutama pada
prosedur yang panjang.
- Jumlah perdarahan pada TURP akan sulit diukur dikarenakan pemakaian cairan
irigasi. Jumlah perdarahan diperkirakan 3-5 ml/ menit saat reseksi dilakukan
(biasanya perdarahan total berkisar antara 200-300 ml). Biasanya transfusi
diperlukan bila volume prostat > 45 g dan durasi > 90 menit.

138
7. KOMPLIKASI TURP
- Perdarahan
- TURP syndrome
- Perforasi vesika urinaria
- Hipotermia
- Septikemia
- DIC (koagulopati)

TURP SYNDROME
- Tindakan TURP akan menyebabkan terbukanya sinus venosus yang ekstensif, hal
ini potensial untuk menyebabkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi.
- Absorbsi cairan irigasi yang berlebihan (2 liter atau lebih) akan menimbulkan
berbagai gejala yang dinamakan dengan TURP syndrome yang dapat terjadi
selama atau setelah operasi.
- Gejala klinis dari TURP syndrome adalah:
o Sakit kepala
o Lemas
o Konfusi
o Sianosis
o Sesak
o Aritmia
o Hipotensi
o Kejang
- Manifestasi TURP syndrome:
o Hiponatremia
o Hipoosmolalitas
o Kelebihan cairan (gagal jantung kongestif, edema paru, hipotensi)
o Hemolisis
o Toksisitas solut; hiperglisinemia, hiperammonia, hiperglisinemia (glisin),
ekspansi volume intravaskular (manitol)
- Manifestasi klinis di atas disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
o Kelebihan cairan pada sirkulasi
o Intoksikasi air
o Toksisitas dari cairan irigasi
- Besarnya jumlah cairan yang diabsorbsi tergantung pada:
o Tonisitas cairan irigasi; absorbs terhadap cairan irigasi dapat terjadi
terhadap semua cairan irigasi yang bersifat hipotonik yang digunakan,
misalkan: glisin 1,5% (230 mOsm/ L), atau campuran sorbitol 2,7% dan
manitol 0,54% (195 mOsm), sorbitol 3,3%, mannitol 3%, dekstrosa 2,5-
5%, dan urea 1%.

139
o Tekanan irigasi yang tinggi; semakin tinggi tekanan akan mengakibatkan
jumlah cairan yang diabsorbsi semakin besar.
o Durasi reseksi; reseksi dengan TURP biasanya membutuhkan waktu 45-60
menit, dengan rata-rata absorbs cairan irigasi 20 ml/ menit.
- Absorbsi cairan irigasi dalam jumlah besar akan segera menyebabkan terjadinya
kongesti paru atau edema paru. Hal ini terjadi terutama pada pasien dengan fungsi
jantung yang terbatas.
- Hipotonisitas cairan irigasi akan mengakibatkan hiponatremia akut dan
hipoosmolalitas yang akan mengakibatkan manifestasi neurologis yang serius.
- Gejala-gejala akibat hiponatremia biasanya terjadi bila kadar natrium menurun di
bawah 120 mEq/ L, dan apabila terjadi hipotonis berat pada plasma (natrium <
100 mEq/ L) akan mengakibatkan hemolisis intravaskular.
- Toksisitas dapat terjadi akibat absorbsi dari solut cairan irigasi. Hiperglisinemia
terjadi pada penggunaan cairan irigasi glisin bila konsentrasi glisin dalam plasma
melebihi 1000 mg/ L (normal: 13-17 mg/ L) yang akan mengakibatkan depresi
sirkulasi dan toksisitaas pada SSP. Glisin akan didegradasi menghasilkan amoniak
sehingga dapat terjadi hiperammonemia (normal: 5-50umol/ L). Penggunaan
sorbitol dan dekstrosa akan mengakibatkan hiperglikemia, sedangkan penggunaan
manitol akan meningkatkan ekspansi volume intravascular dan mengeksaserbasi
kelebihan cairan.

- Penatalaksanaan TURP:
o Lakukan restriksi cairan
o Berikan loop diuretik
o Hiponatremia berat yang menimbulkan kejang dan koma diterapi dengan
memberikan salin hipertonik.
o Lakukan koreksi hiponatremia dengan salin hipertonik (3% atau 5%)
berdasarkan konsentrasi natrium dalam serum pasien sampai tercapai level
yang aman.
o Salin hipertonik tidak boleh diberikan melebihi 100 ml/ jam karena dapat
terjadi eksaserbasi kelebihan cairan pada sirkulasi.
o Atasi kejang dengan memberikan dosis kecil midazolam (2-4 mg),
diazepam (3 mg), atau thiopental (50-100 mg)
o Pencegahan kejang diberikan fenitoin intravena 10-20 mg/ kg (tidak lebih
dari 50 mg/ menit).
o Disarankan untuk melakukan pemasangan ETT selama kesadaran pasien
beloum pulih untuk menghindari terjadinya aspirasi.

140
HIPOTERMIA
- Volume cairan irigasi dengan suhu kamar yang diberikan dalam jumlah besar
merupakan penyebab utama hilangnya panas dari tubuh pasien.
- Untuk mencegah terjadinya hipotermia maka cairan irigasi harus dihangatkan
sampai suhu tubuh terlebih dahulu sebelum dipakai.
- Terjadinya menggigil akibat hipotermia pascaoperasi harus dicegah karena dapat
mengakibatkan terlepasnya bekuan darah/clot sehingga menimbulkan perdarahan
pascaoperasi.

PERFORASI VESIKA URINARIA


- Perforasi dapat terjadi karena resektoskop yang menembus dinding vesika atau
distensi yang berlebihan pada vesika akibat cairan irigasi.
- Sebagian besar perforasi vesika terjadi pada daerah retroperitoneal yang ditandai
dengan aliran balik cairan irigasi yang sangat sedikit.
- Perforasi yang terjadi pada pasien yang tetap sadar akan mengalami keluhan
nausea, diaphoresis, dan nyeri pada daerah retropubis atau abdomen bagian
bawah.
- Perforasi yang berukuran besar pada ekstraperitoneal atau intraperitoneal akan
mengakibatkan hipotensi (atau hipertensi) yang terjadi secara mendadak disertai
dengan keluhan nyeri seluruh abdomen (bila pasien sadar). Dugaan perforasi ini
akan semakin diperkuat apabila didapatkan bradikardi yang disebabkan oleh
vagal.

KOAGULOPATI
- Disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terjadi pada TURP
disebabkan karena pelepasan tromboplastin dari prostat kedalam sirkulasi selama
pembedahan.
- Trombositopeni dilusional juga dapat terjadi akibat absorbsi cairan irigasi.
- Pada pasien dengan karsinoma terjadinya koagulopati dikarenakan karena sekresi
enzim fibrinolitik oleh sel tumor sehingga terjadi fibrinolisis.
- Dugaan diagnosa DIC adalah apabila terjadi perdarahan difus yang tidak
terkontrol, kemudian dugaan ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium.
- Fibrinolisis primer diterapi dengan memberikan ε-amino caproic acid (Amicar) 5
g dilanjutkan dengan 1 g/ jam secara intravena.

141
SEPTIKEMIA
- Prostat sering menjadi tempat kolonisasi bakteri dan dapat menyebabkan infeksi
kronis.
- Manipulasi pembedahan yang ekstensif bersamaan dengan terbukanya sinus
venosus dapat menyebabkan masuknya organisme ke dalam aliran darah sehingga
terjadilah septicemia atau syok septik.
- Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bakteriemia dan episode septik dapat
diberikan antibiotic profilaksis, seperti: gentamisin, levofloksasin, atau sefazolin.

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pascaoperasi lakukan pemantauan terhadap komplikasi-komplikasi yang dapat
terjadi akibat TURP.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter ortopedi, dokter IPD/IKA,
dokter radiologi

11. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for genitourinary surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 759-762.

142
PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
OBSTETRI

143
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
ANESTESI PADA SECTIO CAESARIA

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/6

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien hamil
yang akan mejalani operasi sectio caesaria (SC).

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, .

3. KEBIJAKAN : Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh banyak faktor, yaitu:
indikasi operasi, urgensi, pertimbangan pasien dan ahli kebidanan, serta keterampilan
dokter anestesi.

4. INDIKASI SECTIO CAERASIA


- Resiko tinggi bagi ibu dan janin bila dilahirkan pervaginam:
o Peningkatan resiko rupturuterus:
 Riwayat SC sebelumnya.
 Riwayat miomektomi yng ekstensif dan rekonstruksi uterus.
o Peningkatan resiko perdarahan:
 Plasenta previa sentral atau parsial.
 Abruptio plasenta.
 Rekonstruksi vagina sebelumnya.
- Distosia
o Relasi fetopelvik abnormal:
144
 Disproporsi fetopelvik.
 Presentasi fetus abnormal.
o Disfungsi aktivitas uterus.

- Terminasi kehamilan segera/ emergensi:


o Fetal distress
o Prolaps tali pusat
o Perdarahan maternal
o Amnionitis
o Herpes genital dengan ruptur membran
o Ancaman kematian maternal.

5. PILIHAN TEKNIK ANESTESI


- Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh banyak faktor, yaitu: indikasi
operasi, urgensi, pertimbangan pasien dan ahli kebidanan, serta keterampilan
dokter anestesi.

Anestesi Regional:

- Teknik regional anestesi sering menjadi pilihan. Hal ini dikarenakan tingginya
mortalitas ibu pada teknik anestesi umum akibat masalah jalan napas, seperti
kesulitan intubasi, kesulitan ventilasi, atau pneumonia aspirasi.
- Resiko mortalitas akibat regional anestesi biasanya diakibatkan blok neural yang
terlalu tinggi atau toksisitas obat anestesi.
- Spinal vs Epidural

SPINAL EPIDURAL
Keuntungan Onset cepat Penyebarannya lebih mudah
dikontrol
Penurunan tekanan darah
lebih kecil
Durasi lebih lama
Kerugian Potensial hipotensi Onset lebih lama
Penyebaran sulit dikontrol Resiko toksisitas anestesi
Durasi terbatas
lokal lebih besar
PDPH

- Teknik anestesi apapun yang dipilih akan menghasilkan Apgar score yang lebih
rendah dan AGD yang asidotik bila waktu yang dibutukan untuk melahirkan bayi
lebih dari 3 menit.
- Kontraindikasi absolut anestesi regional:
o Infeksi pada tempat suntikan
o Hipovolemia berat

145
o Pasien menolak
o Gangguan koagulasi
- Kontraindikasi relatif anestesi regional:
o Gangguan neurologis
o Riwayat sakit pinggang
o Riwayat operasi pada tulang belakang
o Infeksi sistemik
- Prosedur umum teknik anestesi regional:
o Persiapkan mesin anestesi, peralatan resusitasi, alat dan obat-obatan untuk
anestesi umum.
o Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
o Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml sodium sitrat 30-45 menit
sebelum induksi, ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid 10 mg 1-2
jam sebelum induksi.
o Preloading 10-20 ml/ kgbb dengan cairan kristaloid atau koloid.
o Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse oksimeter.
o Berikan oksigen melalui nasal kanul atau masker.
o Epidural:
 Setelah kateter epidural dipasang berikan test dose terlebih dahulu.
 Monitor tanda-tanda kemungkinan injeksi intravaskular atau
subarachnoid.
 Setelah dipastikan posisi kateter sudah benar kemudian masukkan
obat anestesi lokal secara bertahap 5 ml tiap 5 menit dengan target
ketinggian sampai dengan level T4.
o Spinal:
 Disarankan menggunakan jarum spinal nomor kecil dengan tipe
pencil point untuk meminimalkan kemungkinan PDPH.
 Masukkan 1,5-2 ml bupivakain 0,75% hiperbarik.
- Monitor tekanan darah setiap menit sampai bayi lahir kemudian tiap 2 menit
sampai durasi obat 20 menit, dan setelah itu tiap 5 menit bila hemodinamik stabil.
- Bila terjadi hipotensi berikan bolus kristaloid 250-500 ml dan efedrin dosis
inkremental mulai dari 5 mg sampai tekanan darah kembali normal.

Anestesi Umum:

- Keuntungan utama anestesi umum adalah waktu preparasinya yang lebih singkat
dibandingkan anestesi regional dan tidak adanya simpatektomi. Sedangkan
kerugiannya adalah kemungkinan terjadinya pneumonia aspirasi yang lebih besar
dan depresi janin akibat obat anestesi.

146
- Antisipasi terhadap kemungkinan kesulitan intubasi endotrakeal. Lakukan
evaluasi terhadap leher, mandibula, gigi, dan orofaring untuk memprediksi adanya
masalah.
- Pada pasien yang gemuk posisikan pasien dengan elevasi bahu, fleksi servikal,
dan ekstensi sendi atlantooksipital.
- Persiapkan rencana menghadapi kemungkinan kesulitan intubasi. (lihat algoritme
kesulitan intubasi pada pasien obtetrik di bawah).
- Teknik anestesi umum:
o Persiapkan mesin anestesi, peralatan resusitasi, alat dan obat-obatan untuk
anestesi umum.
o Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
o Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml sodium sitrat 30-45 menit
sebelum induksi, ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid 10 mg 1-2
jam sebelum induksi.
o Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse oksimeter.
o Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit.
o Lakukan persiapan pada pasien dan lakukan drapping.
o Bila ahli bedah telah siap lakukan rapid sequence induction dengan
penekanan krikoid menggunakan propofol 2 mg/kg (atau pentotal 4 mg/
kg), dan suksinil kolin 1,5 mg/kg atau rokuronium 0,9-1,2 mg/kg. Pada
keadaan hipovolemik atau pasien asma dapat digunakan ketamin 1 mg/kg.
o Operasi dapat dimulai bila sudah dipastikan ETT berada pada posisi yang
tepat.
o Hindari hiperventilasi berlebihan karena dapat menurunkan aliran darah
uterus dan menyebabkan asidosis.
o Maintenan anestesi dengan 50% N2O dalam oksigen dengan volatile
konsentrasi rendah (< 0,75 MAC, misal 1% sevofluran, 0,75% isofluran,
atau 3% desfluran) untuk menghindari relaksasi uterus yang berlebihan.
Relaksasi otot dengan pelemas otot durasi sedang.
o Setelah bayi dan plasenta dilahirkan berikan 20-30 unit oksitosin dalam
tiap liter cairan. Konsentrasi N2O dapat ditingkatkan sampai 70% dan
berikan opioid sebagai analgesia.
o Bila kontraksi uterus tidak baik maka hentikan pemakaian anestesi inhalasi
dan berikan opioid.
o Metergin 0,2 mg dapat diberikan tetapi harus dipertimbangkan pengaruh
peningkatan tekanan darah arterial pada pasien.
o Pada akhir operasi lakukan ekstubasi dalam keadaan bangun bila sudah
terpenuhinya kriteria ekstubasi.
147
6. KOMPLIKASI PERDARAHAN PASCAOPERASI
- Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda perdarahan pascaoperasi.
- Diagnosa diiferensial perdarahan postpartum: atoni uterus, sisa plasenta, laserasi
vagina atau servik, koagulopati.

7. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter obgin, dokter IPD/IKA

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 901-905.
- Beilin Y. Labor and delivery. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke-3.
Elsevier, 2005, h:371-377.
Lampiran: Algoritme intubasi sulit pada pasien obstetrik.(dikutip dari Morgan:clinical
Anesthesiology,hal:905)

Intubasi Gagal

Panggil bantuan
Ventilasi O2 100% dengan:
1.Masker dan penekanan krikoid, atau
2.LMA dan penekanan krikoid

Nilai ventilasi dan oksigenasi

Tidak adekuat Adekuat

Nilai janin
Pertimbangkan airway nonsurgical
alternative;
1.LMA dan penekanan krikoid, ATAU
2.Combtitude, ATAU
3.Transtrakeal jet ventilation
Fetal distres Tidak fetal distres

Surgicak airway: Halotan/sevofluran Bangunkan pasien


148
1.Krikotirotomi, ATAU dalam oksigen 100%
LMA dan penekanan Intubasi awake,
2.Trakeostomi ventilasi spontan (bila
krikoid, ATAU
Nilai ventilasi dan ATAU
Lahirkan bayi Inadekuat mungkin)
Intubasioksigenasi Adekuat
melalui LMA Lahirkan bayiAnestesi regional
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
ANESTESI PADA PREEKLAMPSIA

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/7

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


preeklampsia yang akan menjalani tindakan operasi.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, .

3. KEBIJAKAN : Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko komplikasi


pada pasien dengan resiko tinggi.

4. KLASIFIKASI
American College of Obstetricians and Gynecologist mengklasifikasikan hipertensi
pada pregnansi kedalam 4 kelompok, yaitu:

149
- Hipertensi kronik; peningkatan tekanan darah terjadi sebelum minggu ke-20 dari
masa gestasi.
- Preeklampsia-eklampsia; manifest setelah minggu ke-20 masa gestasi disertai
dengan proteinuria dan edema. Preeklampsia akan menjadi eklampsia apabila
terjadi kejang.
- Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia.
- Hipertensi gestasional: manifest setelah minngu ke-20 masa gestasi tanpa adanya
tanda-tanda preeklampsia.

Klasifikasi Preeklampsia:

Preeklampsia Ringan Preeklampsia Berat


Hipertensi:
Sistolik  140 mmHg  160 mmHg
 30 mmHg dari baseline
 90 mmHg
Diastolik  15 mmHg dari baseline  110 mmHg
 105 mmHg
 20 mmHg dari baseline  120 mmHg
MAP
Proteinuria 1-2+ (dipstick) 3-4+ (dipstick)
 1g/ 24 jam  5g/ 24 jam
Edema General General
Keluhan pasien Sakit kepala, gangguan
penglihatan, nyeri
epigastrik,sianosis

5. PATOFISIOLOGI
- Etiologi preeklamsia sampai saat ini belum diketahui, namun faktor yang
berperanan penting adalah terjadinya iskemik uteroplasenta yang kemungkinan
terjadi akibat perubahan imunitas sebagai reaksi graft versus host.
- Kemungkinan juga terjadi ketidakseimbangan prostaglandin antara tromboksan
dan prostasiklin sehingga terjadilah preeklampsia. Peningkatan jumlah
tromboksan akan menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit, serta
gangguan aktivitas uterus akibat penurunan aliran darah uteroplasenta.

150
- Iskemia uteroplasenta mengakibatkan produksi substan yang similar dengan renin
dan tromboplastin. Renin akan menyebabkan pelepasan angiotensin dan
aldosteron.
- Peningkatan kadar renin, aldosteron, dan katekolamin dalam sirkulasi akan
menimbulkan vasospasme, retensi sodium dan air, sehingga terjadilah hipertensi
dan kemudian berlanjut menjadi edema.
- Tromboplastin akan menginisiasi koagulopati dan pada akhirnya dapat terjadi
DIC.
Perubahan Patofisiologi pada Preeklampsia
CNS
 Edema serebral dan Vasospasme:
Sakit kepala, hiperreflek, penglihatan kabur, kebutaan, kejang, koma.
 Perdarahan serebral

Pulmoner
 Edema jalan napas atas/ laring:
Kesulitan intubasi
 Predisposisi terhadap infeksi saluran napas atas
 Kebocoran kapiler paru:
Peningkatan gradien A-a

Kardiovaskular:
 Vasokonstriksi:
Hipertensi, gangguan perfusi jaringan, hipoksia selular, peningkatan beban kerja jantung,
gagal jantung.
 Translokasi cairan:
Edema general, hipovolemia, hemokonsentrasi.
 Peningkatan viskositas darah
 Hipertrofi dan disfungsi ventrikel kiri

Renal:
 Penurunan aliran darah ginjal
 Penurunan GFR
 Penurunan creatinin clearance
 Peningkatan level asam urat yang berkorelasi dengan beratnya penyakit.

Hepar:
 Perdarahan periportal
 Hematoma subkapsular
 Tes fungsi hati abnormal

Hematologi:
 Penurunan jumlah dan fungsi platelet
 Profil koagulasi abnormal (pemanjangan PTT)
 DIC
 HELLP sindrom

Uteroplasenta:
 Penurunan aliran darah intervillous

151
 Kelahiran premature
 Small plasenta
 Hiperaktivitas uterin
 Sensitivitas uterus terhadap oksitosin
 Abrupsio plasenta

6. MANAJEMEN HIPERTENSI PADA PREEKLAMPSIA:


- Terapi hipertensi pada kehamilan terdiri dari: tirah baring, sedasi, obat
antihipertensi, dan pencegahan kejang.

OBAT MEKANISME KEUNTUNGAN KERUGIAN


KERJA
Hidralazin Vasodilator Onset ± 10 menit Takikardia
Meningkatkan aliran
darah ginjal
Durasi ± 2 jam
Hipotensi respon
terhadap pemberian
cairan
Propanolol Beta bloker Meningkatan aktivitas Bradikardia dan
antihipertensi hidralazin hipoglikemia pada fetus
Sodium Relaksasi otot polos Onset 1 menit Fetal cyanide toxicity
Nitroprusid direk Durasi 1-10 menit (dosis > 10 mcg/kg/mt)
Meningkatkan tekanan
intracranial maternal
Nitrogliserin Relaksasi otot polos Onset 1-2 menit Meningkatkan tekanan
direk Durasi 10 menit intracranial maternal
Meningkatkan aliran
darah uterin
Metildopa Α2- agonis Maintenan yang baik Neonatal tremor
karena durasi yang
panjang
Captopril ACE inhibitor Tidak direkomendasikan Fetal death
Diuretik Retensi sodium dan air Tidak direkomendasikan Hipotensi
Nifedipin Ca chanel blocker Relaksasi uterus Kombinasi dengan Mg
Meningkatkan aliran akan menyebabkan
darah ginjal hipotensi
Klonidin Α2-agonis Tidak ada data Hipoksia fetal
Peningkatan tonus
uterus (penurunan uterin
blood flow)
Pada umumnya tidak
direkomendasikan

7. PENCEGAHAN EKLAMPSIA:
- MgSO4 merupakan obat pilihan pertama untuk mencegah terjadinya kejang yang
bekerja pada mioneural junction.
- Penurunan hiperrefleksia pada pemberian MgSO4 merupakan akibat sekunder dari
inhibisi pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction, penurunan sensitivitas
motor endplate terhadap asetilkolin, dan penurunan eksitabilitas membran otot.

152
- MgSO4 merupakan vasodilator ringan dan menurunkan hiperaktivitas uterus
sehingga meningkatkan aliran darah uterus. MgSO4 juga menyebabkan
vasodilatasi pada pembuluh darah renal dan liver.
- Level terapetik MgSO4 adalah 4-8 mEq/ L. Di atas level ini akan menyebabkan
efek samping pada ibu dan janinnya.
- MgSO4 akan menyebakan perubahan EKG dan dapat menyebabkan cardiac dan
respiratory arrest. Efek samping yang berbahaya ini tidak akan terjadi sampai
hilangnya reflek-reflek tendon dalam.
- Oleh karena itu harus selalu dilakukan monitoring terhadap kadar magnesium dan
deep tendon reflexes sehingga terhindar dari efek yang membahayakan.
- MgSO4 akan meningkatkan sensitivitas ibu maupun janin terhadap pelemas otot
baik golongan depolarisasi maupun nondepolarisasi.
- Mg dapat masuk ke dalam plasenta sehingga dapat pula menyebabkan toksisitas
pada neonatus.
- Gejala toksisitas magnesium neonatus: depresi napas, apnoe, dan penurunan
tonus otot.
- Toksisitas Mg pada ibu dan bayi dapat diatasi dengan pemberian kalsium.
- MgSO4 diberikan secara i.v dengan dosis awal 2-4 gram dalam 15 menit, diikuti
pemberian infus 1-3 gram perjam.
- MgSO4 diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu fungsi ginjal harus dimonitor
secara hati-hati, dan harus dilakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.

8. ANESTESI UNTUK SECTIO CAERIA PADA PREEKLAMPSIA


- Pada pasien preeklampsia dengan tekanan darah yang sudah terkontrol, dengan
status cairan dan parameter koagulasi normal, maka tindakan SC dapat dilakukan
dengan aman baik dengan teknik epidural, spinal, ataupun general anestesi.
- Keuntungan teknik epidural dibandingkan spinal adalah perubahan hemodinamik
yang minimal sehingga hemodinamik lebih stabil.
- Anestesi general merupakan pilihan pada kasus-kasus SC emergensi.
- Sebelum dilakukan induksi harus dipastikan tekanan darah sudah dikontrol
dengan adekuat. Hal ini harus dilakukan sebelum induksi walaupun terdapat
keadaan fetal distress, dikarenakan pada saat laringoskopi dapat terjadi
peningkatan tekanan darah yang signifikan yang dapat berakibat terjadinya
perdarahan serebral.
- Dosis pelemas otot nondepolarisasi harus dikurangi bila pasien sebelumnya
mendapat terapi MgSO4 karena dapat terjadi potensiasi antara keduanya.

153
ANESTESI EPIDURAL PADA PREEKLAMPSIA
- Keuntungan anestesi epidural pada preeklampsia adalah terjadinya penurunan atau
eliminasi sensasi nyeri yang akan mengurangi hiperventilasi, penurunan pelepasan
katekolamin/ stress respon, penurunan ansietas, dan peningkatan aliran darah
uteroplasenta. Penggunaan anestesi regional juga akan mengurangi resiko
komplikasi aspirasi bila pasien dilakukan dengan anestesi general.
- Sebelum dilakukan pemasangan kateter epidural harus dipastikan terlebih dahulu
tekanan darah dalam keadaan terkontrol, volume intravaskular sudah cukup, dan
profil koagulasi normal.
- Anestesi epidural merupakan pilihan utama bila pada pasien tidak didapatkan
gangguan koagulasi.
- Regional anestesi harus dihindari apabila jumlah trombosit < 100 ribu.
- Tekanan darah diastolik harus dipastikan < 110 mmHg sebelum dilakukan anestesi
neuraksial.
- Pemberian loading cairan koloid 250-500 ml sebelum epidural lebih efektif
dibandingkan kristaloid untuk mengkoreksi hipovolemia dan mencegah hipotensi.
- Selama anestesi harus dilakukan pengukuran tekanan darah secara periodik.
- Parturien dengan penyakit hipertensi biasanya mengalami deplesi cairan sehingga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya hipotensi.
- Monitoring diuresis merupakan panduan dalam pemberian cairan. Bila diuresis
minimal atau tidak keluar, lakukan fluid challenge 500-1000 ml dengan kristaloid
isotonik. Bila diuresis tetap tidak meningkat sebaiknya dilakukan pemasangan
CVC.
- Hipotensi diatasi dengan pemberian dosis kecil vasopresor (efedrin 5 mg) karena
pasien ini sangat sensitif terhadap agen tersebut.

9. MANAJEMEN PASCAOPEARATIF
- Gejala-gejala akibat preeklampsia membutuhkan waktu beberapa jam sampai
beberapa hari setelah plasenta dan fetus dilahirkan untuk hilang secara komplit
sehingga pasien tetap beresiko untuk terjadinya kejang.
- Lakukan monitoring tekanan darah pascaoperasi dan pemberian infus MgSO4
harus diteruskan minimal 24 jam pascaoperasi.
- Kontrol nyeri pascaoperasi.

154
10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter obgin, dokter IPD

12. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 910-912.
- Beilin Y, Telfeyan C. Preeklampsia. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke-
3. Elsevier, 2005, h:355-361

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT


HAJI ADAM MALIK MEDAN
PLASENTA PREVIA

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

155
1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
plasenta previa.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, .

3. KEBIJAKAN : Pada keadaan dimana terdapat perdarahan yang signifikan maka


regional anestesi merupakan kontraindikasi dan operasi harus dilakukan dengan
anestesi umum.

4. PENGERTIAN
- Plasenta previa merupakan kondisi dimana posisi perlekatan plasenta terdapat
pada bagian bawah rahim sehingga menutupi internal servik. Faktor predisposisi
plasenta previa adalah: multiparitas, usia tua, dan riwayat SC sebelumnya.
- Plasenta plevia dapat bersifat marginal, parsial, atau komplit.

5. TANDA DAN GEJALA ABRUPTIO PLASENTA


- Perdarahan akibat plasenta previa tidak disertai nyeri dan biasanya terjadi secara
mendadak.
- Jumlah perdarahan bervariasi dari ringan sampai profuse dan mengancam jiwa.
- Pada pemeriksaan USG tampak posisi plasenta terhadap saluran interna dari
servikal.
- Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan USG maka dilakukan pemeriksaan
vaginal dengan persiapan operasi emergensi SC apabila terjadi perdarahaqn yang
hebat akibat pemeriksaan vaginal.
- Adanya riwayat plasenta previa dan SC sebelumnya akan meningkatkan resiko
terjadinya plasenta akreta, inkreta, dan perkreta yang sulit dilepaskan dari uterus
sehingga menyebabkan perdarahan yang banyak dan kemungkinan diperlukan
tindakan histerektomi untuk menghentikan perdarahan.
- Tindakan SC emergensi dilakukan apabila terjadi episode perdarahan berulang
atau tanda fetal distress.

6. MANAJEMEN ANESTESIA:
- Lakukan evaluasi terhadap kondisi maternal dan fetal.
- Bila tidak terdapat perdarahan maternal maka pilihan anestesi regional masih
dapat dilakukan seperti biasanya.
- Tim anestesi harus pula mempersiapkan kemungkinan konversi menjadi anestesi
umum apabila kemudian terjadi perdarahan signifikan dan ketidakseimbangan
hemodinamik.

156
- Pada keadaan dimana terdapat perdarahan yang signifikan maka regional anestesi
merupakan kontraindikasi dan operasi harus dilakukan dengan anestesi umum.
- Sebelum dilakukan induksi pastikan terdapat akses intravena yang adekuat.
Lakukan resusitasi cairan sedini mungkin.
- Persiapkan dan crossmatching darah.
- Induksi dilakukan dengan rapid sequence induction dengan penekanan krikoid
untuk mencegah terjadinya aspirasi.
- Obat anestesi intravena pilihan pada pasien dalam keadaan hipovolemik adalah
etomidat 0,1-0,2 mg/ kg atau ketamin 1 mg/ kg i.v.

7. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter obgin, dokter IPD

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 908.
- Beilin Y, Telfeyan C. Preeklampsia. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke-
3. Elsevier, 2005, h:369-370.

157
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
ABRUPTIO PLASENTA

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/2

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
abruption plasenta.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, .

3. KEBIJAKAN : Keadaan koagulopati dan hipovolemia akibat perdarahan yang


banyak merupakan kontraindikasi untuk dilakukan tindakan anestesi regional,
sehingga anestesi general merupakan pilihan pada kasus ini.

158
4. PENGERTIAN
Abruptio plasenta adalah separasi prematur dari plasenta sebelum bayi dilahirkan.
Insiden terjadinya abruption plasenta meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Abruptio sering kali berhubungan dengan keadaan hipertensi, multiparitas, trauma,
perokok, peminum alkohol,dan penyalahguna obat-obatan.

5. TANDA DAN GEJALA ABRUPTIO PLASENTA


- Secara klasik abruption plasenta ditandai dengan perdarahan disertai dengan rasa
nyeri yang hebat dan kontraksi uterus.
- Perdarahan yang hebat akan mengakibatkan syok hipovolemik maternal, fetal
distress, atau kematian janin.
- DIC dapat terjadi pada abruption yang berat.
- Pemeriksaan USG didapatkan klot retroplasenta dan separasi plasenta dari dinding
uterus.

6. MANAJEMEN ANESTESIA:
- Lakukan evaluasi terhadap kondisi maternal dan fetal. Bila terdapat instabilitas
maternal dan atau fetal segera lakukan SC.
- Keadaan koagulopati dan hipovolemia akibat perdarahan yang banyak merupakan
kontraindikasi untuk dilakukan tindakan anestesi regional, sehingga anestesi
general merupakan pilihan pada kasus ini.
- Sebelum dilakukan induksi pastikan terdapat akses intravena yang adekuat.
Lakukan resusitasi cairan sedini mungkin.
- Persiapkan dan crossmatching darah.
- Induksi dilakukan dengan rapid sequence induction dengan penekanan krikoid
untuk mencegah terjadinya aspirasi.
- Obat anestesi intravena pilihan pada pasien dalam keadaan hipovolemik adalah
etomidat 0,1-0,2 mg/ kg atau ketamin 1 mg/ kg i.v.

7. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

8. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter obgin, dokter IPD

9. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 908.

159
- Bernstein HH, Beilin Y. Abruptio placenta and placenta previa. Dalam:Clinical
Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005, h:363-369.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT


HAJI ADAM MALIK MEDAN
OPERASI NON-OBSTETRIK
PADA WANITA HAMIL
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/6

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien hamil
yang akan mejalani operasi non-obstetrik.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, .

3. KEBIJAKAN : Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko komplikasi


pada pasien dengan resiko tinggi.

4. KONSIDERASI ANESTESI
- Pemberian tindakan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani operasi non-
obstetrik harus mempertimbangkan dua pasien secara simultan.
- Konsiderasi maternal adalah dengan memperhatikan perubahan fisiologis yang
terjadi pada wanita hamil terhadap tiap sistem organ.

160
- Pertimbangan terhadap fetus adalah terhadap kemungkinan efek teratogenik dari
obat anestesi, mencegah terjadinya asfiksia fetal intrauterin, dan mencegah
terjadinya kelahiran prematur.

5. EFEK TERATOGENIK ANESTESI


- Efek teratogenik terjadi akibat pemberian obat yang bersifat teratogenik pada
dosis tertentu yang diberikan pada masa-masa kritis pembentukan organ janin.
Masa organogenesis ini terjadi pada hari ke-15 sampai dengan 60 hari masa
gestasional, sedangkan untuk perkembangan system saraf pusat masih
berlangsung sampai setelah bayi dilahirkan.
- United States Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan sistem
klasifikasi untuk membantu menentukan keuntungan dan kerugian pemilihan obat
untuk wanita hamil.
 Kategori A: Tidak ada resiko
 Kategori B: Tidak ada bukti beresiko pada manusia.
 Kategori C: Resiko belum dapat disingkirkan. Pertimbangan pemilihan
obat golongan ini adalah apabila potensi manfaatnya yang lebih besar.
 Kategori D: Sangat berpotensi menimbulkan resiko.
 Kategori X: Kontraindikasi pada kehamilan.
- Menurut FDA sebagian besar obat anestesi (obat induksi intravena, anestesi local,
opioid, dan pelemas otot) termasuk dalam klasifikasi kategori B atau C).

AGEN ANESTESI KLASIFIKASI FDA


Anestesi intravena
- Etomidat C
- Ketamin C
- Propofol B
- Tiopental C
Anestesi Inhalasi
- Desfluran B
- Enfluran B
- Halotan C
- Isofluran C
B
- Sevofluran
Anestesi Lokal
- Bupivakain C
- Lidokain B
- Ropivakain B
- Tetrakain C
X
- Kokain
Opioid
- Alfentanil C
- Fentanil C

161
- Sufentanil C
- Meperidin B
- Morfin C
Pelemas Otot
- Atrakurium C
- Pankuronium C
- Rokuronium B
- Suksinilkolin C
C
- Vekuronium
Benzodiazepin
- Diazepam D
- Midazolam D
- Sampai saat ini belum ada ata-data penelitian yang membuktikan bahwa obat-obat
anestesi mengakibatkan efek teratogenik. Penelitian menunjukkan bahwa efek
akibat operasi yang paling sering adalah kelahiran prematur dengan angka
kejadian tertinggi pada prosedur ginekologis.
- Data-data penelitian juga menunjukkan bahwa obat-obat anestesi bukanlah
merupakan penyebab terjadinya kelahiran prematur.

6. PENCEGAHAN ASFIKSIA FETAL INTRAUTERIN


- Asfiksia fetal intrauterin dihindari dengan menjaga tekanan oksigen arterial
maternal (PaO2), PaCO2, dan aliran darah uterus tetap dalam batas normal.
- Hipoksia maternal akan menyebabkan terjadinya hipoksemia fetal bahkan
kematian pada fetus.
- Tekanan oksigen inspirasi tidak akan mempengaruhi fetus walaupun diberikan
oksigen 100%.
- Hiperkapnia dan hipokapnia maternal akan menyebabkan perburukan pada fetus.
- Hipokapnia berat terjadi akibat ventilasi tekanan positif yang berlebihan yang
mengakibatkan peningkatan tekanan intratorak, penurunan venous return, dan
penurunan aliran darah uterus.
- Alkalosis maternal akibat hiperventilasi akan menimbulkan penurunan aliran
darah uterus sebagai akibat vasokonstriksi dan menurunkan penghantaran oksigen
dengan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri.
- Hiperkapnia berat akan memperburuk janin akibat asidosis fetal dan depresi
miokardial.
- Baik obat maupun prosedur anestesi akan mempengaruhi aliran darah uterus.
Aliran darah plasenta secara langsung proporsional terhadap tekanan perfusi pada
ruang intervillous dan berbanding terbalik terhadap resistensinya. Tekanan perfusi
akan menurun akibat hipotensi oleh karena penggunaan obat anestesi, teknik

162
regional spinal/ epidural, kompresi aortokaval pada posisi supine, atau akibat
perdarahan.
- Penurunan resistensi vaskular dan penurunan aliran darah uteroplasenta dapat
terjadi akibat penggunaan obat α-adrenergik, penurunan PaCO2, atau akibat
peningkatan katekolamin akibat nyeri dan anestesi yang dangkal.

7. PENCEGAHAN KELAHIRAN PREMATUR


- Kelahiran prematur merupakan resiko yang paling signifikan pada fetus.
- Penggunaan obat yang mempunyai efek α-adrenergik agonis (misal: ketamin dan
fenilefrin) akan meningkatkan tonus vaskular sehingga bila memungkinkan harus
dihindari.
- Penggunaan anestesi inhalasi akan memberi keuntungan dengan menurunkan
tonus uterus dan menghambat kontraksi uterus.
- Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan bahwa pemakaian
obat anestesi dan teknik anestesi berhubungan dengan tinggi rendahnya insiden
kematian janin atau kelahiran prematur.
- Faktor resiko terbesar penyebab terjadinya kelahiran prematur adalah manipulasi
uterus terutama pada prosedur ginekologis.
- Resiko terendah untuk kelahiran prematur adalah pada trimester kedua.

8. KONSIDERASI OPERASI LAPARASKOPI


- Tidak ada perbedaan outcome antara teknik laparaskopi dengan laparatomi.
- Konsiderasi anestesi spesifik pada laparaskopi adalah menjaga keadaan tetap
normokarbia, pemasangan trokar tanpa menimbulkan trauma pada rahim, dan
menjaga tekanan pneumoperitoneum < 15 mmHg sehingga tidak menganggu
tekanan perfusi uterus.

9. REKOMENDASI UMUM PEMBERIAN ANESTESI PADA WANITA HAMIL


YANG AKAN MENJALANI PROSEDUR NON-OBSTETRIK
- Sedapat mungkin hindari operasi selama trimester 1.
- Evaluasi bunyi denyut jantung janin sebelum operasi.
- Monitor tonus uterus dan bunyi denyut jantung janin selama dan setelah operasi.
- Hindari premedikasi.
- Posisikan pasien pada posisi miring kiri selama transportasi pasien untuk
menghindari kompresi aortokaval.
- pilihan teknik anestesi tergantung dari indikasi maternal, daerah operasi, dan
pengalaman anestesiologist.
- Bila memungkinkan dan tidak ada kontraindikasi direkomendasikan teknik
anestesi regional untuk menguragi resiko aspirasi dan paparan obat anestesi
terhadap janin.

163
- Dosis semua obat anestesi harus dikurangi.
- Profilaksis aspirasi pada kehamilan setelah trimester pertama (antasid non
partikulat, H2 bloker, metoklopramid).
- Jika dipilih teknik anestesi regional:
o Preloading cairan untuk menghindari hipotensi.
o Tatalaksana hipotensi dengan pemberian cairan dan atau obat yang
mempunyai efek β-adrenergik predominan (misal: efedrin).
- Jika dipilih teknik anestesi umum:
o Preloading cairan untuk menghindari hipotensi.
o Denitrogenisasi dengan oksigen 100%
o Rapid sequence induction dengan penekanan krikoid.
o Gunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan pada pasien
yang tidak hamil.
o Hindari pamakaian nasal airway dan intubasi nasal.
o Pilih obat-obatan yang relative aman.
o Oksigenisasi adekuat dengan konsentrasi oksigen minimal 50%.
o Pertahankan keadaan normokarbia.
o Tatalaksana keadaan hipotensi dengan pemberian cairan dan atau obat
yang mempunyai efek β-adrenergik predominan (misal: efedrin).
- Informed consent pasien bahwa resiko terhadap kemungkinan malformasi
kongengital pada janin belum diketahui dan terdapat peningkatan resiko kelahiran
prematur dan kematian janin dalam kandungan.
- Hindari pemakaian NSAID karena dapat menyebabkan penutupan dini pada
duktus arteriosus.
- Teknik apapun yang dipilih harus dipertahankan fisiologi intrauterin selalu dalam
keadaan normal dengan menghindari terjadinya hipotensi, hipoksemia, hipokarbi,
hiperkarbi, dan hipotermia.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter obgin, dokter IPD

12. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 910-912.
- Beilin Y. Anesthesi for nonobstetric surgery during pregnancy. Dalam:Clinical
Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005, h:371-377.

164
165
PANDUAN
ANESTESI PADA
BEDAH TORAKS

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
HAJI ADAM MALIK MEDAN VENTILATION)
DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/6

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

166
1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien toraks
yang akan menjalani tindakan operasi dengan teknik ventilasi satu paru dengan
double lumen tube.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat


menurunkan insiden DVT dan emboli paru

4. DEFINISI:
Teknik ventilasi satu paru dengan double lumen tube adalah suatu teknik ventilasi
untuk melakukan isolasi pada salah satu paru atau untuk memfasilitasi manajemen
ventilasi pada beberapa kondisi dengan menggunakan double lumen tube.

5. INDIKASI VENTILASI SATU PARU:


Indikasi Pasien:
- Isolasi satu paru terhadap infeksi
- Isolasi satu paru terhadap perdarahan
- Separasi ventilasi dari masing-masing paru:
 Fistula bronkopleural
 Disrupsi trakeobronkial
 Kista atau bulla paru berukuran besar
- Hipoksemia berat akibat penyakit paru unilateral
Indikasi Bedah:
- Repair aneurisma aorta torakal
- Reseksi paru:
 Pneumonektomi
 Lobektomi
 Reseksi segmental
- Torakoskopi
- Operasi esophageal
- Transplantasi satu paru
- Operasi vertebrae torakalis melalui anterior
- Lavase bronkoalveolar

6. PROSEDUR PEMASANGAN DOUBLE LUMEN TUBE (left sided)


- Penggunaan bilah laringoskop MacIntosh biasanya memberikan visualisasi yang
lebih baik dibanding dengan bilah lurus. Penggunaan bilah lurus sangat membantu
pada keadaan pasien dengan posisi laring yang anterior.

167
- Double lumen tube dimasukkan dengan kurvatura distal dalam posisi konkaf kea
rah anterior.
- Setelah ujung tube melewati laring, dilakukan rotasi 90 derajat kearah bronkus
yang ingin diintubasi (kearah kiri pada left sided)
- Dorong tube sampai terasa ada tahanan. Kedalaman rata-rata tube dari gigi adalah
sekitar 29 cm.
- Kembangkan balon trakeal (5-10 ml udara)
- Periksa bunyi nafas bilateral. Bunyi nafas unilateral mengindikasikan bahwa tube
terlalu dalam sehingga bukaan trakeal berada di bronchial.
- Kembangkan balon bronchial (1-2 ml)
- Klem lumen trakeal
- Periksa suara nafas unilateral:
 Bunyi nafas yang masih terdengar pada paru kanan menandakan bahwa ujung
bronkial masih berada di atas karina. Pada keadaan ini tube harus didorong
lebih dalam lagi.
 Bila bunyi nafas terdengar unilateral pada sisi kanan, mengindikasikan bahwa
tube masuk pada bronkus yang salah (bronkus kanan).
 Hilangnya suara nafas pada seluruh paru kanan dan lobus kiri atas
mengindikasikan bahwa tube terlalu dalam bronkus kiri.
- Lepaskan klem lumen trakeal dan lakukan klem pada lumen bronchial.
- Periksa suara nafas unilateral pada sisi kanan. Tidak terdengarnya bunyi nafas
mengindikasikan bahwa tube kurang masuk ke dalam sehingga balon bronkial
akan menyumbat aliran udara trakeal.
- Malposisi double lumen tube ditandakan dengan pengembangan paru yang tidak
baik dan udara ekshalasi yang rendah

7. KOMPLIKASI PEMASANGAN DOUBLE LUMEN TUBE


- Hipoksemia, akibat dari penempatan tube yang keliru atau oklusi.
- Laringitis traumatic (terutama pada pemakaian tube yang mempunyai hook)
- Ruptur trakeobronkial akibat inflasi berlebihan pada balon bronchial.
- Terjahitnya tube pada bronkus secara tidak sengaja pada saat penjahitan (ditandai
dengan tube yang tidak bisa ditarik saat ekstubasi).

8. MANAJEMEN VENTILASI SATU PARU


- Resiko paling besar pada saat ventilasi satu paru adalah terjadinya hipoksemia.
- Untuk menurunkan resiko terjadinya hipoksemia maka periode ventilasi satu paru
harus dibatasi seminimal mungkin dan harus mempergunakan oksigen dengan
konsentrasi 100%.

168
- Bila peak airway pressure meningkat secara berlebihan ( >30 cmH2O ), maka
tidal volume harus dikurangi dengan memberikan volume 6-8 ml/ kg dan
frekuensi nafas ditingkatkan untuk tetap mencapai ventilasi semenit.
- Pulse oksimeter harus selalu dimonitoring secara ketat, analisis gas darah
dilakukan secara periodic untuk memastikan ventilasi yang adekuat. Pemantuan
yang hanya berdasarkan pada pengukuran end-tidal CO2 tidak dapat memberikan
gambaran pasien yang sebenarnya.
- Intervensi yang dilakukan bila terjadi hipoksemia selama ventilasi satu paru:
 Inflasi oksigen secara periodik pada paru yang kolaps
 Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri pulmonal ipsilateral (selama
pneumektomi)
 Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru yang kolaps
 Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru yang diventilasi
 Lakukan penyesuaian volume tidal dan frekuensi nafas.
- Tindakan yang pertama kali harus dilakukan bila terjadi hipoksia pada saat
ventilasi satu paru (melalui pengukuran pulse oksimeter) adalah dengan
memberikan CPAP pada paru yang kolaps, kemudian bila tidak terdapat perbaikan
maka berika PEEP pada paru yang diventilasi.
- Hipoksemia yang persisten harus diatasi dengan segera melakukan re-ekspansi
pada paru yang kolaps. Lakukan kembali konfirmasi posisi ETT yang
kemungkinan dapat berubah akibat manipulasi/ traksi pembedahan.
- Kedua lumen ETT harus dilakukan suctioning untuk memastikan tidak adanya
kumpulan darah/ sekret yang dapat menimbulkan obstruksi.
- Kemungkinan pneumotorak pada sisi dependen harus dipertimbangkan dan
disingkirkan, keadaan ini biasanya dapat timbul pada diseksi mediatinal yang
ekstensif atau akibat pemberian peak inspiratory pressure yang tinggi.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah torak, dokter IPD/IKA,
dokter radiologi

11. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for thoracic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 589-593.

169
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
HAJI ADAM MALIK MEDAN RESEKSI PARU

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1 / 10

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien toraks
yang akan menjalani tindakan reseksi paru.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif, .

3. KEBIJAKAN : Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko komplikasi


pada pasien dengan resiko tinggi.

4. BATASAN:
Reseksi paru biasanya dilakukan untuk tindakan diagnosis dan terapi pada tumor paru,
kadang-kadang dilakukan pula pada komplikasi dari necrotizing pulmonary infection
dan bronkiektasis.

5. KLASIFIKASI TUMOR PARU


- Tumor paru dapat bersifat jinak, ganas, atau intermediate, yang baru dapat
ditegakkan pada saat operasi.
- Tumor jinak yang paling banyak ditemukan adalah hamartoma (90% tumor jinak)
berupa lesi pada perifer paru akibat disorganisasi jaringan normal paru. Bronkial
adenoma merupakan lesi pada sentral paru yang pada dasarnya bersifat jinak
tetapi dapat bersifat invasive secara lokal dan kadang mengalami metastase.

170
- Tumor yang termasuk jenis bronchial adenoma adalah: pulmonary carsinoids,
cylindroma, dan mukoepidermoid adenoma. Jenis tumor tesebut akan
menimbulkan obstruksi pada lumen bronchial dan menyebabkan pneumonia
rekuren pada bagian distal daerah obstruksi.
- Karsinoid pulmonary dapat mensekresikan hormon yang multipel, seperti: ACTH
dan arginin vasopresin
- Tumor paru malignan terbagi menjadi dua golongan, yaitu: small (“oat”) cell
carcinoma (20% tumor maligna dengan 5-10% 5-year survival), dan non-small
cell carcinomas (80% dari tumor maligna dengan 15-20% 5-year survival).
- Yang termasuk non-small cell ca adalah squamous cell (epidermoid) tumor,
adenokarsinoma, dan large cell (anaplastic) ca. Semua tipe tumor biasanya terjadi
pada perokok, kecuali adenokarsinoma. Epidermoid dan small cell ca mempunyai
massa di daerah sentral dengan lesi bronchial. Adenokarsinoma dan large cell ca
biasanya mempunyai lesi di daerah perifer yang sering melibatkan pleura.

6. MANIFESTASI KLINIS:
- Batuk
- Hemptisis
- Sesak
- Wheezing
- Kehilangan berat badan
- Demam
- Sputum produktif
- Nyeri dada pleuritik atau efusi pleura (diduga telah ekstensi ke pleura)
- Bila massa telah melibatkan struktur mediastinum: suara serak (kompresi n.
laringeus rekuren), Horner’s syndrome, elevasi hemidiafragma (kompresi n.
phrenikus, disfagia (kompresi esophagus), atau sindrom vena cava superior.
- Efusi pericardial atau kardiomegali bila telah melibatkan jantung.
- Nyeri bahu dan lengan menandakan ekstensi apeks tumor yang menimbulkan
penekanan pleksus brakialis C7-T2 (Pancoast syndrome).
- Ca paru (terutama small cell ca) dapat menyebabkan sindrom paraneoplastik.
Sindrom ini terjadi karena produksi hormon ektopik dan reaksi imunologis silang
antara tumor dan jaringan normal. Sekresi ACTH, vasopressin dan hormon
paratiroid akan menyebabkan sindrom cushing, hiponatremia, dan hiperkalsemia.
- Sindroma paraneoplastik yang lain adalah: osteoartropati hipertropi, degenerasi
serebelar, neuropati perifer, polimiositis, tromboplebitis, dan karditis non
bacterial.
7. PENATALAKSANAAN:

171
- Terapi pilihan sebagai tindakan kuratif dari kanker paru adalah dengan tindakan
pembedahan.
- Reseksi surgikal dilakukan pada non-small cell carcinoma yang belum melibatkan
kelenjar getah bening, ekstensi massa tumor ke struktur mediastinum, atau
metastase jauh.
- Small cell ca biasanya jarang diterapi dengan tindakan pembedahan, karena pada
saat diagnosis dibuat saat tumor ditemukan biasanya telah terjadi metastase.
Tumor jenis ini biasanya diterapi dengan kemoterapi dan radiasi.

8. RESEKTABILITAS
- Resektabilitas ditentukan oleh keterlibatan anatomis dari tumor, sedangkan
operabilitas tergantung dari ekstensivitas prosedur danstatus fisiologis dari pasien.
- Anatomic staging dilakukan dengan ronsen toraks, CT scan, bronkoskopi, dan
mediastinoskopi.
- Reseksi dapat dilakukan pada pasien dengan lesi peribronkial ipsilateral atau
dengan metastase limfe nodus hilar ipsilateral. Sedangkan reseksi pada lesi
dengan metastase ke limfe nodus mediastinal ipsilateral atau subkarina masih
menjadi kontroversi.
- Lesi yang tidak dapat direseksi (unresectable) adalah lesi yang telah mengalami
metastase ke limfe nodus di skalenus, supraklavikula, mediastinal kontralateral,
atau hilar kontralateral.
- Ekstensivitas pembedahan selain memaksimalkan usaha untuk mengobati
tumornya tetapi juga harus tetap memperhitungkan untuk terjaganya fungsi paru
yang adekuat pascaoperasi.
- Lobektomi melalui pendekatan torakotomi posterior melalui celah interkostal ke 5
atau 6 merupakan prosedur pilihan untuk hampir seluruh lesi.
- Reseksi segmental atau wedge resection dilakukan pada pasien dengan lesi perifer
yang berukuran kecil dan fungsi paru yang tidak baik.
- Pneumonektomi merupakan terapi kuratif pada lesi yang melibatkan cabang
utama bronkus kanan/ kiri atau bila tumor telah meluas ke hilum.

9. OPERABILITAS
- Operabilitas merupakan suatu keputusan klinis, tetapi dapat menggunakan tes
fungsi paru sebagai panduan.
- Derajat gangguan tes fungsi paru preoperatif berbanding lurus dengan resiko
operasi.
- Kriteria laboratori preoperatif untuk dilakukan pneumonektomi:

172
TEST PASIEN RESIKO TINGGI
Analisa gas darah PaCO2 > 45 mm Hg (dengan udara
bebas)
PaO2 < 50 mmHg
FEV1 <2L
(Predicted post operative FEV1) < 0,8 L atau < 40% dari prediksi
FEV1/ FVC < 50 % dari prediksi
Maximum breathing capacity <50 % dari prediksi
Maximum VO2 < 10 ml/ kg/ menit

10. MANAJEMEN PREOPERATIF


- Mayoritas pasien yang akan menjalani operasi paru memiliki dasar penyakit paru.
- Pasien dengan tumor paru adalah perokok berat yang biasanya memiliki penyakit
penyerta PPOK atau CAD.
- Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan komplikasi akibat ekstensi tumor dan
sindrom paraneoplastik.
- Analisa secara teliti terhadap hasil ronsen toraks, CT, dan MRI.
- Deviasi trakeal atau bronkial akan mempersulit proses intubasi trakeal, disamping
itu kompresi pada jalan nafas akan mempersulit ventilasi saat induksi.
- Adanya konsolidasi pada paru, atelektasis, dan efusi pleura yang besar akan
menjadi predisposisi terjadinya hipoksemia.
- Pasien yang akan menjalani tindakan operasi toraks akan meningkatkan resiko
komplikasi paru dan jantung pascaoperasi.
- Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko komplikasi pada pasien
dengan resiko tinggi.
- Premedikasi sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan respirasi
sedang-berat.

11. MANAJEMEN INTRAOPERATIF


PERSIAPAN:
- Persiapan operasi yang optimal akan membantu mengurangi potensi
permasalahan yang dapat terjadi pada bedah torak.
- Pasien bedah toraks biasanya mempunyai fungsi cadangan paru yang jelek,
struktur anatomi yang abnormal, atau gangguan pada jalan nafas, dan
kemungkinan membutuhkan ventilasi satu paru sehingga merupakan
predisposisi untuk terjadinya hipoksemia dalam waktu yang singkat. Untuk itu
harus terlebih dahulu disusun rencana dan persiapan yang baik untuk
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
- Persiapkan peralatan dasar untuk pengelolaan jalan nafas sulit dan pastikan
semua berfungsi dengan baik.

173
- Siapkan beberapa ukuran ETT single lumen dan double lumen dalam beberapa
ukuran, bronkoskop fiberoptik fleksibel, “tube exchanger” diameter kecil,
perangkat system continuous positive airway pressure (CPAP), dan adapter
bronkodilator pada sirkuit anesthesia.
- Apabila direncanakan untuk memberikan opioid dan local anestesi melalui
epidural untuk analgesia pascabedah, maka kateter epidural harus dipasang
sebelum dilakukan induksi anestesi dengan pasien dalam keadaan bangun
sehingga akan memfasilitasi pemasangan dan lebih aman dibandingkan bila
pemasangan dilakukan saat pasien sudah teranestesi.
- Pasang minimal 1 buah akses vena berukuran besar (nomor 14 atau 16).
Pertimbangkan pemasangan CVC pada sisi pembedahan dan perangkat
penghangat darah bila diperkirakan akan terjadi perdarahan yang banyak.

Monitoring:

- Monitoring direk tekanan arterial diindikasikan pada ventilasi satu paru,


reseksi tumor berukuran besar (terutama tumor yang ekstensi ke mediastinum
atau dinding dada), dan pada tiap prosedur yang dilakukan pada pasien dengan
keterbatasan funfsi paru dan penyakit kardiovaskular yang signifikan.
- Monitoring CVP sangat disarankan pada pasien yang akan menjalani prosedur
pneumektomi dan reseksi tumor berukuran besar. CVP ini akan memberikan
refleksi terhadap kapasitan vena, volume darah, fungsi ventrikel kanan, dan
sebagai panduan dalam memberikan terapi cairan.
- Kateter arteri pulmonal diindikasikan pada pasien dengan hipertensi pulmonal,
cor pulmonal, atau disfungsi ventrikel kiri.

Induksi Anestesi:

- Lakukan preoksigenasi yang adekuat sebelum dilakukan induksi.


- Pada kebanyakan kasuss, induksi dilakukan dengan obat anestesi intravena
dengan pemilihan obat induksi didasarkan pada status preoperatif pasien.
- Laringoskopi direk dilakukan setelah dipastikan anestesi telah dalam untuk
mencegah reflek bronkospasme dan mengurangi respon kardiovaskular.
- Lakukan pemasangan ETT double lumen kemudian konfirmasi posisi ETT
sudah pada tempatnya.
- Untuk mencegah atelektasis, pernafasan paradoks, dan pergeseran mediastinal
berikan ventilasi kontrol tekanan positif.

174
Posisi:

- Prosedur operasi reseksi paru dilakukan melalui torakotomi posterior dengan


memposisikan pasien pada posisi lateral dekubitus.
- Pastikan posisi pasien yang benar untuk menghindari cedera dan memfasilitasi
lapangan operasi yang baik.
- Posisi lengan yang dibawah berada dalam keadaan fleksi, sedangkan lengan
yang di atas dalam keadaan ekstensi di atas kepala pasien sehingga kan
menarik scapula untuk menjauh dari lapangan operasi.
- Tempatkan bantal di antara tungkai dan lengan, kemudian untuk mencegah
cedera pada pleksus brakialis maka letakkan gulungan kassa atau kain yang
lembut di daera aksila yang dependen.
- Pastikan tidak ada penekanan pada bola mata dan telinga dependen.

Pemeliharaan Anestesi:

- Pemeliharaan anestesi dapat dilakuakan dengan memberikan kombinasi


anestesi inhalasi (halotan, isofluran, sevofluran, atau desfluran) dan opioid.
- Keuntungan memberikan anestesi inhalasi halogenasi adalah adanya efek
bronkodilatasi, depresi reflek jalan nafas, memungkinkan untuk memberikan
oksigen inspirasi konsentrasi tinggi, mudah untuk mengatur kedalam anestesi,
dan efek terhadap hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) yang minimal.
- Efek minimal anestesi inhalasi terhadap HPV didapatkan pada konsentrasi < 1
MAC.
- Keuntungan penggunaan opioid adalah efeknya yang minimal terhadap
hemodinamik, depresi terhadap reflek-reflek jalan nafas, dan efek analgesi
residual pascabedah.
- Penggunaan N2O sebaiknya tidak diberikan karena dapat menurunkan FiO2,
menghambat HPV, dan pada beberapa pasien dapat menimbulkan eksaserbasi
hipertensi pulmonal.
- Pemeliharaan dengan pelemas otot non depolarisasi akan mempermudah
mencapai kedalaman anestesi sehingga akan pula memfasilitasi saat operator
meregangkan tulang kostae.

175
- Apabila pada saat manipulasi pembedahan terjadi bradikardia akibat reflek
vagal, maka keadaan ini harus diatasi dengan memberikan sulfas atropine
intravena.
- Pada saat rongga dada dibuka maka tekanan negatif intratorakal akan hilang,
hal ini akan menyebabkan penurunan aliran balik darah vena, keadaan ini
dapat diatasi dengan memberikan bolus cairan intravena.
- Pemberian cairan intravena pada pasien yang akan menjalani reseksi paru pada
umumnya dibatasi dengan hanya memberikan kebutuhan maintenan dan cairan
penggantian darah yang hilang. Pemberian cairan yang berlebihan pada posisi
pasien lateral dekubitus akan mendorong timbulnya “lower lung syndrome”,
dimana terjadi transudasi cairan pada paru bagian bawah akibat dari gravitasi.
Keadaan ini akan meningkatkan terjadinya shunting intrapulmonary yang akan
memperbesar resiko terjadinya hipoksemia terutama pada saat dilakukan
ventilasi satu paru.
- Ada tidaknya kebocoran pada bronchial stump setelah dilakukan reseksi paru,
dinilai dengan memberikan tekanan posisitf 30 cmH2O pada bronchial stump
yang direndam dalam cairan.
- Sebelum dilakukan penutupan rongga dada harus dipastikan semua segmen
paru yang masih ada dapat mengembang dengan cara mengembangkannya
secara manual dalam penglihatan langsung.
- Kontrol ventilasi mekanik harus tetap diteruskan sampai chest tube
dihubungkan pada suction.

Manajemen Ventilasi Satu Paru:

- Resiko paling besar pada saat ventilasi satu paru adalah terjadinya hipoksemia.
- Untuk menurunkan resiko terjadinya hipoksemia maka periode ventilasi satu
paru harus dibatasi seminimal mungkin dan harus mempergunakan oksigen
dengan konsentrasi 100%.
- Bila peak airway pressure meningkat secara berlebihan ( >30 cmH2O ), maka
tidal volume harus dikurangi dengan memberikan volume 6-8 ml/ kg dan
frekuensi nafas ditingkatkan untuk tetap mencapai ventilasi semenit.
- Pulse oksimeter harus selalu dimonitoring secara ketat, analisis gas darah
dilakukan secara periodic untuk memastikan ventilasi yang adekuat.
Pemantuan yang hanya berdasarkan pada pengukuran end-tidal CO2 tidak
dapat memberikan gambaran pasien yang sebenarnya.
- Intervensi yang dilakukan bila terjadi hipoksemia selama ventilasi satu paru:

176
 Inflasi oksigen secara periodik pada paru yang kolaps
 Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri pulmonal ipsilateral (selama
pneumektomi)
 Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru yang kolaps
 Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru yang diventilasi
 Lakukan penyesuaian volume tidal dan frekuensi nafas.
- Tindakan yang pertama kali harus dilakukan bila terjadi hipoksia pada saat
ventilasi satu paru (melalui pengukuran pulse oksimeter) adalah dengan
memberikan CPAP pada paru yang kolaps, kemudian bila tidak terdapat
perbaikan maka berika PEEP pada paru yang diventilasi.
- Hipoksemia yang persisten harus diatasi dengan segera melakukan re-ekspansi
pada paru yang kolaps. Lakukan kembali konfirmasi posisi ETT yang
kemungkinan dapat berubah akibat manipulasi/ traksi pembedahan.
- Kedua lumen ETT harus dilakukan suctioning untuk memastikan tidak adanya
kumpulan darah/ sekret yang dapat menimbulkan obstruksi.
- Kemungkinan pneumotorak pada sisi dependen harus dipertimbangkan dan
disingkirkan, keadaan ini biasanya dapat timbul pada diseksi mediatinal yang
ekstensif atau akibat pemberian peak inspiratory pressure yang tinggi.

12. MANAJEMEN PASCAOPEARATIF

Perawatan Umum:

- Sebagian besar pasien dilakukan ekstubasi dini untuk menurunkan resiko


terjadinya barotrauma (terutama ruptur pada jahitan bronchial) dan resiko
infeksi paru.
- Pasien dengan reserve paru yang marginal sebaiknya tetap dalam keadaan
terintubasi sampai dengan standar untuk dilakukan ekstubasi terpenuhi. Bila
pasien tetap dipertahankan terintubasi maka ETT double lumen harus diganti
dengan ETT single lumen pada saat akhir operasi.
- Pasien harus diobservasi secara ketat di ruang pemulihan (PACU), kemudian
bila stabil dipindahkan ke ICU atau ruang perawatan intermediate paling tidak
selama 1 malam atau lebih.
- Posisikan pasien pada posisi setengah duduk ( >30 derajat) dan berikan
suplemen oksigen (40-50%).
- Lakukan pemantauan ketat terhadap EKG dan hemodinamik.
- Komplikasi pascabedah yang paling sering terjadi adalah hipoksemia dan
asidosis respiratorik. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh atelektasis

177
akibat kompresi surgical pada paru, gangguan pernapasan akibat nyeri operasi,
transudasi cairan akibat gravitasi pada paru dependen.
- Perhatikan tanda-tanda komplikasi perdarahan pascabedah, yaitu: peningkatan
drainase chest tube (> 200 ml/ jam), hipotensi, takikardi, dan penurunan
hematokrit.
- Lakukan evaluasi radiografik.
- Nyeri pasca operasi harus diatasi secara agresif.

13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah torak, dokter IPD/IKA,
dokter radiologi

15. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for thoracic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 594-601.

178
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
HAJI ADAM MALIK MEDAN EKSISI BLEBS ATAU BULLAE

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
blebs atau bullae paru yang akan menjalani tindakan torakotomi dan eksisi.

2. RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Pasien dengan giant bullae yang akan menjalani prosedur torakotomi
biasanya mempunyai pulmonary reserve yang terbatas dengan resiko operasi yang
besar dan juga resiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi pulmoner dan kardiak,
namun operasi harus tetap dilakukan untuk memperbaiki fungsi paru itu sendiri.

4. PENGERTIAN:
Kista paru atau bullae merupakan kelainan pada paru yang dapat merupakan kelainan
kongengital atau karena akibat dari keadaan emfisema paru. Bullae yang besar dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan akibat kompresi jaringan paru di
sekitar bullae. Kavitas udara ini sering kali memiliki katup satu arah sehingga menjadi
faktor predisposisi untuk terjadinya perbesaran secara progresif.

5. PATOFISILOGI:
Kista yang terbentuk dapat bersifat bronkogenik, post-infeksi, infantile, atau
emfisematous. Bullae terjadi akibat destruksi dari jaringan alveolar yang sering kali
merupakan representasi dari end-stage penyakit-penyakit emfisematosa yang biasanya
berhubungan dengan PPOK berat.

179
6. PENATALAKSANAAN BEDAH:
Blebs atau bullae paru mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai dari ukuran kecil
(apical blebs) yang paling sering terjadi pada usia muda yang menyebabkan terjadinya
pneumotoraks spontan, sampai dengan ukuran yang besar (giant bullae) yang
menimbulkan gangguan pernafasan. Pada bullae yang kecil dapat dilakukan eksisi
melalui torakoskopi, namun demikian sebagian ahli bedah lebih memilih untuk
melakukan dengan teknik terbuka. Pada bullae yang berukuran besar pada umumnya
dilakukan eksisi melalui teknik open thoracotomy. Tindakan reseksi paru dilakukan
pada kasus-kasus dengan pneumotoraks yang berulang dan dispnoe yang progresif.

7. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien dengan giant bullae yang akan menjalani prosedur torakotomi biasanya
mempunyai pulmonary reserve yang terbatas dengan resiko operasi yang besar dan
juga resiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi pulmoner dan kardiak, namun
operasi harus tetap dilakukan untuk memperbaiki fungsi paru itu sendiri. Dengan
persiapan preoperatif yang baik akan dapat menurunkan terjadinya resiko tersebut
pada pasien dengan resiko tinggi.
- Pada pemeriksaan fisik biasanya pasien akan kita dapatkan dalam keadaan sesak.
- Untuk membedakan dengan blebs pada anamnesa pasien dengan bullae tidak
didapatkan riwayat pneumotoraks yang berulang.
- Lakukan pemeriksaan tes fungsi paru dan AGD untuk mengetahui baseline
preoperatif. Pada pemeriksaan ini biasanya kita dapatkan bahwa pasien hanya
mempunyai pulmonary reserve yang kecil, dan terdapat retensi CO2.
- Evaluasi hasil pemeriksaan foto toraks, lihat apakah terdapat tanda-tanda
pneumotoraks. Dan apabila terdapat hasil CT evaluasi apakah terdapat tanda-tanda
obstruksi dan deviasi pada jalan nafas yang dapat mempersulit pemasangan double
lumen tube (DLT). Kemudian tentukan lokasi dari bullae/ blebs.
- Lakukan pemeriksaan EKG dan kalau diperlukan dengan echocardiography untuk
menilai baseline fungsi kardiak.
- Premedikasi sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan pernafasan
sedang-berat.

8. MANAJEMEN INTRAOPERATIF

180
- Teknik anestesi adalah dengan anestesi umum dengan intubasi dengan DLT yang
dapat dikombinasi dengan epidural.
- Pemilihan DLT diperlukan untuk melakukan pemisahan ventilasi kedua paru
sehingga memnungkinkan untuk diberikan IPPV pada paru yang normal.
- Resiko terbesar yang akan kita hadapi saat memberikan tindakan anestesi adalah
ruptur rongga udara saat diberikan ventilasi tekanan positif yang akan
mengakibatkan tension pneumothorax.
- Lakukan induksi dengan tetap mempertahankan nafas spontan sampai paru yang
dengan kista/ bullae terisolasi dengan DLT atau sampai chest tube terpasang.
- Kebanyakan pada pasien ini akan mengalami peningkatan dead space , oleh karena
itu lakukan assisted ventilation untuk menghindari terjadinya hiperkarbia yang
berlebihan.
- Ventilasi dilakukan dengan IPPV tidal volume yang kecil dan frekuensi yang lebih
sering sampai toraks terbuka,
- Inspiratory pressure tidak boleh melebihi 10 cmH2O untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya ruptur bullae.
- Apabila terjadi hipoksemia intraopratif berikan CPAP.
- Maintenan anestesi diberikan inhalasi dengan suplemen anestesi lokal melalui
epidural atau opioid i.v.
- Hindari penggunaan gas N2O karena dapat ekspansi ke dalam bullae atau kista
sehingga terjadi ruptur.
- Ruptur pada bullae/ kista ditandai dengan hipotensi yang terjadi secara mendadak,
bronkospasme, atau peningkatan peak inflation pressure secara tiba-tiba. Bila
terjadi ruptur lakukan segera pemasangan chest tube.
- Monitoring: indikasi pemasangan arterial line: one lung ventilation, reseksi tumor
yang besar, dan pada tiap prosedur yangdilakukan pada pasien dengan pulmonary
reserve yang terbatas atau dengan kelainan kardiovaskular yang signifikan.
Pemasangan CVC dianjurkan pada prosedur pneumonektomi dan reseksi tumor
yang besar.
- Pada akhir operasi lakukan pengecekan terhadap kebocoran udara dengan tindakan
re-ekspansi dengan memberikan ventilasi dengan PIP 30 cmH2O.

9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pasca bullectomy biasanya pasien akan mempunyai fungsi jaringan paru yang
lebih baik daripada preoperatif.
- Lakukan ekstubasi awal apabila kriteria ekstubasi sudah terpenuhi.

181
- Perawatan pascaoperasi untuk bullae/ blebs yang kecil dapat dilakukan di PACU
kemudian dipindahkan ke ruangan kalau sudah stabil. Untuk kasus dengan Giant
Bullae perawatan pasca operatif dilakukan di ICU.
- Komplikasi pascaoperatif:
 Respiratory failure: atelektasis, edema paru (kardiogenik/ non kardiogenik)
 Disritmia: kemungkinan penyebabnya adalah manipulasi terhadap jantung,
hipoksemia, terutama bila sebelumnya memang sudah terdapat kelainan
jantung.
 Perdarahan: apabila terjadi perdarahan > 100ml/ jam segera lakukan
pembedahan ulang untuk eksplorasi.
 Bronkopleural fistula: merupakan komplikasi serius yang dapat terjadi dalam 2
minggu pertama setelah pembedahan dimana terdapat kebocoran udara yang
dapat dideteksi dengan adanya gelembung udara pada tabung CTT.
 Obstruksi jalan nafas
 Truma pada saraf: pleksus brakialis, nervus ulnaris, interkostalis, torakodorsal.
- Manajemen nyeri pascaoperasi (pain score 5-7) diberikan dengan opioid melalui
epidural atau secara parenteral.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah toraks, dokter IPD

12. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for thoracic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 601.
- Jaffe RA, Samuel SI. Excision of blebs or bullae. Dalam: Anesthesiologist’s
Manual of Surgical Procedures.1996. h;185-188.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


HAJI ADAM MALIK MEDAN RESEKSI TRAKEAL

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/2

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN 1 April 2014 Haji Adam Malik Medan
ANESTESI

182
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien toraks
yang akan menjalani tindakan reseksi trakeal.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif .

3. KEBIJAKAN : Pemakaian pelemas otot harus dihindari pada saat induksi


dikarenakan potensi terjadinya obstruksi total jalan nafas.

4. BATASAN:
Reseksi trakeal dilakukan pada keadaan stenosis trakeal, tumor, atau pada kelainan
kongengital.

5. KONSIDERASI ANESTESI
- Gangguan pada lumen trakeal akan menyebabkan keadaan sesak yang progresif.
Keadaan sesak ini akan bertambah berat bila pasien dalam posisi berbaring akibat
obstruksi jalan nafas yang progresif.
- Keluhan hemoptisis sering terjadi pada tumor trakeal.
- Premedikasi sebaiknya tidak diberikan karena pada pasien yang akan menjalani
reseksi trakeal biasanya mengalami obstruksi jalan nafas moderat-berat.
- Induksi inhalasi yang perlahan dengan oksigen 100% diberikan pada pasien
dengan obstruksi yang berat.
- Anestesi inhalasi pilihan adalah halotan atau sevofluran yang hanya menyebabkan
iritasi minimal pada jalan nafas.
- Pada saat induksi harus dipertahankan agar pasien tetap bernafas spontan.
- Pemakaian pelemas otot harus dihindari pada saat induksi dikarenakan potensi
terjadinya obstruksi total jalan nafas.
- Lakukan laringoskopi bila pasien telah berada dalam keadaan teranestesi yang
dalam.
- Lidokain intravena (1-2 mg/ kg) dapat diberikan untuk memperdalam anestesi
tanpa menimbulkan depresi nafas.
- Operator kemungkinan akan memakai bronkoskopi rigit untuk menilai dan
kemungkinan dilakukan dilatasi lesi.
- Setelah dilakukan bronkoskopi dilakukan pemasangan tube dengan ukuran yang
memungkinkan untuk melewati bagian distal obstruksi.
- Setelah prosedur pembedahan dilakukan diusahakan untuk mengembalikan nafas
spontan pasien untuk kemudian di-ekstubasi.

183
- Posisikan leher pasien dalam keadaan fleksi segera seteah operasi selesai untuk
meminimalkan regangan pada jahitan.

6. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah torak, dokter IPD/IKA,
dokter radiologi

8. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for thoracic surgery. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 601-605.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


HAJI ADAM MALIK MEDAN TIMEKTOMI DENGAN MYASTENIA GRAFIS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/6

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien toraks
dengan myasthenia grafis yang akan menjalani tindakan timektomi.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

184
3. KEBIJAKAN : Optimalisasi kondisi pasien myasthenia secara signifikan akan
mengurangi resiko terhadap pembedahan.Idealnya operasi dilakukan pada keadaan
telah terjadi remisi dengan keadaan semua problem medis telah dioptimalkan.

4. Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko komplikasi pada pasien
dengan resiko tinggi.

5. BATASAN DAN PATOFISIOLOGI:


Myasthenia grafis adalah penyakit autoimun yang terjadi pada motor endplate, yang
ditandai dengan otot-otot volunter yang mudah lelah dan dapat pulih kembali setelah
istirahat. Terjadi pembentukan antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction, sedangkan pelepasan asetilkolin presinaptik tetap normal
atau bisa meningkat. Pasien dengan myasthenia grafis hanya sedikit memiliki reseptor
asetilkolin (70-80% lebih sedikit) dibandingkan pada orang normal. Berkurangnya
jumlah reseptor ini akan mengakibatkan blokade fungsional, meningkatnya degradasi
reseptor, atau lisis membran postsinaptik melalui mediasi komplemen. Penurunan
jumlah reseptor ini juga akan mengurangi batas keamanan transmisi neuromuskular,
dan akan meningkatkan sensitivitas terhadap semua agen yang mempengaruhi
transmisi neuromuskular.
6. DIAGNOSIS
- Diagnosis dibuat dengan adanya riwayat kelemahan otot skeletal dan otot-otot yang
mudah lelah yang dapat pulih kembali setelah diistirahatkan.
- Kelemahan ini dapat melibatkan setiap kelompok otot, tetapi kelompok otot yang
paling sering terlibat adalah otot-otot okular.
- Kelemahan otot bulbar akan menyebabkan kegagalan terhadap pernapasan,
kemampuan mengunyah, dan kontrol terhadap jalan napas.

Tes Konfirmasi:
- Edrophonium test: pemberian dosis kecil (2-5 mg) edrophonium akan meningkatkan
kekuatan otot pada pasien dengan myasthenia.
- Elektromiografi: Penurunan repon (minimal 10%) pada stimulasi akan tampak pada
pasien yang myasthenik.
- Regional kurare test: kenakan tornikuet pada lengan atas, kemudian suntikkan kurare
0,2-0,5 mg i.v pada daerah lengan di distal dari tornikuet dan lakukan pemeriksaan
EMG pada lengan tersebut. Pada pasien myasthenik akan terjadi penurunan respon

185
terhadap stimulus berulang yang diberikan, sedangkan pada orang normal tidak akan
ada pengaruhnya.
- Antibodi reseptor asetilkolin: Antibodi ini dapat ditemukan pada 85-90% pasien
dengan myasthenia, tetapi titer antibodi tersebut tidak berkorelasi dengan beratnya
penyakit.
- CT scan atau MRI: digunakan untuk mengkonfirmasi adanya kelenjar timus yang
abnormal.

7. KLASIFIKASI KLINIS (SISTEM KLAASIFIKASI OSSERMAN)


- Osserman I: kelemahan pada otot ekstraokular yang ditandai dengan diplopia.
- Osserman II: kelemahan otot secara general.
- Osserman III: kelemahan otot bulbar dan otot skeletal yang berat dengan gangguan
pernapasan.
- Osserman IV: Late severe myasthenia, penyakit yang sudah berat yang terjadi dalam 2
tahun setelah pertama kali didiagnosa dengan respon terapi yang buruk
8. PENATALAKSANAAN:
- Antikolinesterase; diberikan untuk meningkatkan jumlah asetilkolin sehingga akan
terjadi peningkatan interaksi agonis-reseptor yang pada akhirnya akan meningkatkan
transmisi neuromuskular. Antikolinesterase yang menjadi pilihan adalah piridostigmin
yang mempunyai efek samping muskarinik paling sedikit dibanding obat lainnya,
diberikan dengan dosis 2 mg i.v atau 60 mg peroral dengan durasi 3-6 jam.
- Kortikosteroid; diberikan untuk menurunkan produksi antibodi.
- Plasmafaresis; plasmafaresis juga akan menurunkan level pseudokolinesterase yang
akan mengakibatkan pemanjangan durasi suksinilkolin.
- Timektomi.

9. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Optimalisasi kondisi pasien myasthenia secara signifikan akan mengurangi resiko
terhadap pembedahan.
- Idealnya operasi dilakukan pada keadaan telah terjadi remisi dengan keadaan semua
problem medis telah dioptimalkan.
- Evaluasi secara cermat terhadap parameter respirasi dan kekuatan otot bulbar sebelum
memberikan premedikasi.
- Kekuatan otot respirasi dapat dinilai denghan melakukan tes fungsi paru dengan
menilai volume tidal, kapasitas vital, kapasitas pernapasan maksimum, dan kekuatan
inspirasi.
- Premedikasi harus dihindari pada pasien dengan gejala-gejala bulbar dan gangguan
respirasi.

186
- Ansiolisis dengan benzodiazepin dapat diberikan dengan dosis kecil pada pasien
myasthenia yang sudah terkontrol.
- Premedikasi dengan opioid harus dihindari untuk mencegah depresi terhadap
respiratory drive yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kegagalan
pernapasan pada myastenik atau krisis kolinergik.
- Pemberian antikolinesterase preoperatif saat ini masih kontroversial. Beberapa
peneliti berpendapat dengan menunda pemberian antikolinesterase akan menurunkan
interaksi terhadap obat lain yang akan diberikan. Interaksi tersebut dapat berupa
antagonism parsial dari pelemas otot golongan non depolarisasi dan memperpanjang
durasi kerja suksinil kolin. Penundaan pemberian antikolinesterase juga akan
mengeliminasi kemungkinan terjadinya krisis kolinergik yang merupakan penyebab
kegagalan pernapasan pascaoperatif. Tetapi pendapat ini tidak berlaku pada pasien
yang secara fisiologi dan fisik tergantung pada antikolinesterase. Namun beberapa
penulis lainnya berpendapat bahwa antikolinesterase tidak akan berinteraksi dengan
obat anestesi sehingga dapat tetap diberikan.
- Pemberian steroid pada pasien dalam terapi steroid yang kronik harus tetap diberikan.

10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF


- Monitor yang diperlukan pada setiap tindakan anestesi pada pasien myasthenia
adalah: EKG kontinyu, tekanan darah, pulse oksimeter, EtCO2, stimulasi saraf perifer
(bila dipergunakan pelemas otot), dan monitoring oksigen inspirasi.
- Induksi anestesi didahului dengan preoksigenasi dengan oksigen 100%.
- Induksi dapat dilakukan dengan memberikan injeksi obat-obatan dengan onset cepat
dan durasi pendek, seperti; barbiturat, propofol, atau etomidat.
- Intubasi trakeal pada pasien ini seringkali tidak memerlukan pelemas otot dan dapat
difasilitasi dengan hanya memberikan ventilasi dengan agen inhalasi yang poten.
- Pemberian suksinilkolin untuk kontrol yang cepat terhadap jalan napas dapat
diberikan dengan dosis 2 mg/ kgbb, akan tetapi akan menyebabkan pemanjangan
durasi kerja obat ini.
- Beberapa penulis berpendapat bahwa pada pasien dengan myasthenia sebaiknya
dihindari pemberian pelemas otot, relaksasi yang adekuat dapat dicapai dengan
pemberian anestesi inhalasi yang poten. Tetapi pada beberapa pasien tidak dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik yang diakibatkannya sehingga memerlukan
teknik balans dengan mempergunakan pelemas otot.
- Pelemas otot dapat diberikan dengan menggunakan pelemas otot intermediet
golongan non depolarisasi secara titrasi dengan bantuan alat nerve stimulator perifer.

187
- Pemberian antikolinesterase untuk mengatasi residual blokade neuromuskular harus
dipertimbangkan secara individual dengan melihat kondisi masing-masing pasien.
Harus dipertimbangkan antara besarnya resiko akibat pemberian inhibitor
kolinesterase (krisis kolinergik, bradiaritmia, dan sekresi) dan kemungkinan kerugian
akibat gangguan ventilasi pascaoperatif..
- Distres pernapasan dapat diatasi dengan memberikan 1/30 dosis piridostigmin secara
i.v.
- Kelemahan residual pada saat pemulihan dari anestesi tidak boleh hanya disimpulkan
sebagai blokade otot residual akibat pemakaian pelemas otot, hal ini dikarenakan
transmisi neuromuskular juga dapat terganggu akibat pengaruh dari anestesi inhalasi,
anestesi lokal, antikonvulsan, beta bloker, dan beberapa antibiotik.

11. KRISIS KOLINERGIK


- Krisis kolinergik terjadi akibat jumlah asetilkolin yang berlebihan pada reseptor
nikotinik dan muskarinik akibat pemberian antikolinesterase yang berlebihan.
- Manifestasi krisis kolinergik:
 Weakness
 Wheezing
 Peningkatan sekresi
 Fasikulasi
 Nausea
 Vomiting
 Diare
 Lakrimasi
 Bradikardia
 Hipotensi
 Kelemahan otot pernapasan dapat berkembang secara progresif menjadi kegagalan
pernapasan.
 Disfagia; predisposisi untuk terjadinya obstruksi jalan napas dan aspirasi.
- Harus dibedakan antara krisis kolinergik dan krisis myasthenia karena keduanya
memerlukan terapi yang bertolak belakang.
- Krisis kolinergik ditandai dengan pupil yang konstriksi dan tidak memberikan respon
terhadap pemberian edrophonium bahkan akan menyebabkan eksaserbasi dari
gejalanya, sedangkan pada krisis myasthenia ditandai dengan pupil yang dilatasi dan
memberikan respon terhadap pemberian edrophonium berupa peningkatan kekuatan.
- Progresi yang cepat terhadap terjadinya kegagalan pernapasan memerlukan tindakan
intubasi segera dan kemudian dilakukan kontrol ventilasi.
- Efek samping muskarinik pada krisis kolinergik dapat diatasi dengan pemberian
atropin atau glikopirolat.

188
12. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

13. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD/IKA, dokter
radiologi

14. REFERENSI:
- Abel A. Myasthenia gravis. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier,
2005, h:137-142.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:


HAJI ADAM MALIK MEDAN TAMPONADE JANTUNG

189
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
tamponade jantung.

2. RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.

3. KEBIJAKAN : Target hemodinamik pada saat dilakukan induksi adalah sebagai


berikut:
a. Status inotropik yang adekuat
b. Tingkatkan laju jantung
c. Tingkatkan tekanan pengisian
d. Hindari vasodilatasi
e. Hindari depresi miokardial

4. BATASAN DAN PATOFISIOLOGI:


Akumulasi cairan perikardial akan meningkatkan tekanan perikardial yang akan
menghambat pengisian atrial dan ventrikular sehingga terjadilah tamponade jantung.
Akumulasi yang cepat 200-250 ml pada ruang perikardial padas orang dewasa akan
meningkatkan tekanan pada vena sentral 10-12 cmH2O. Peningkatan tahanan pada
saat pengisisan ventrikel akan mengakibatkan terjadinya penurunan pada stroke
volume. Respon simpatis akibat peningkatan tekanan perikardial akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan laju jantung, dan konstriksi pada pembuluh darah perifer. Pada
awal terjadinya penurunan stroke volume, tubuh kita masih dapat mengkompensasi
penurunan cardiac output melalui kompensasi peningkatan laju jantung, tetapi akibat
penumpukan cairan yang lebih lanjut akan terjadi perburukan karena keterbatasan
pergangan otot jantung secara akut.

5. TANDA KLINIS
- Tanda triad klasik dari tamponade jantung:
o Bunyi jantung yang jauh

190
o Hipotensi
o Peningkatan CVP
- Malaise
- Weakness
- Tanda gagal jantung kanan; asites, edema perifer, azotemia prerenal, hepatomegali,
distensi vena jugular.
- Gagal jantung kiri: ortopnoe, dispnoe, hipotensi, penurunan urine.
- Kussmaul’s sign
- Rontgen toraks memberikan gambaran bayangan jantung (cardiac sihoutte) yang
besar.
- EKG; gambaran low voltage pada semua lead dengan perubahan gelombang ST-T
nonspesifik.
- Echokardiografi; tampak cairan perikardial, kolaps strium kanan saat sistol, dan
kolaps ventrikel kanan saat diastolik
- Diagnosis dibuat dengan adanya riwayat kelemahan otot skeletal dan otot-otot yang
mudah lelah yang dapat pulih kembali setelah diistirahatkan.
- Kelemahan ini dapat melibatkan setiap kelompok otot, tetapi kelompok otot yang
paling sering terlibat adalah otot-otot okular.
- Kelemahan otot bulbar akan menyebabkan kegagalan terhadap pernapasan,
kemampuan mengunyah, dan kontrol terhadap jalan napas.

6. PENATALAKSANAAN:
Temporer:
- Ekspansi volume untuk meningkatkan CVP sehingga meningkatkan peningkatan
pengisisan ventrikel kanan.
- Pemberian vasokonstriktor dan inotropik efikasinya terbatas, tetapi dapat memberikan
keuntungan sementara waktu. Dobutamin dapat diberikan dengan efek inotropik
positif, sedangkan alfa agonis akan meningkatkan perfusi koroner sehingga
melindungi jantung dari iskemik.
- Laju jantung merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga cardiac output,
oleh karenanya penggunaan beta bloker merupakan suatu kontraindikasi.
- Bila terjadi reflek vagal diatasi dengan memberikan atropin.
- Pernapasan harus dijaga tetap spontan, hal ini dikarenakan pemberian tekanan positif
akan mengakibatkan penurunan yang lebih besar terhadap pengisisan ventrikel kanan.

Definitif:
- Lakukan perikardiosentesis secepat mungkin dengan lokal anestesi

7. MANAJEMEN PREOPERATIF

191
- Induksi hanya boleh dilakukan setelah semua persiapan dilakukan dan telah dilakukan
drapping sehingga apabila terjadi perburukan hemodinamik akibat induksi dapat
segera dilakukan tindakan perikardiosentesis dengan cepat dan segera.

8. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Target hemodinamik pada saat dilakukan induksi adalah sebagai berikut:
a. Status inotropik yang adekuat
b. Tingkatkan laju jantung
c. Tingkatkan tekanan pengisian
d. Hindari vasodilatasi
e. Hindari depresi miokardial
- Induksi anestesi dilakukan dengan memakai ketamin atau etomidat.
- Pernapasan harus dijaga tetap spontan, hal ini dikarenakan pemberian tekanan positif
akan mengakibatkan penurunan yang lebih besar terhadap pengisisan ventrikel kanan.
- Penggunaan ketamin dosis tinggi atau pada pasien dengan kegagalan miokardial
kronik akan menyebabkan depresi miokardial.
- Obat-obatan inotropik dan vasokonstriktor yang poten harus tersedia untuk mengatasi
bila terjadi keadaan dekompensasi hemodinamik.

9. MANAJEMEN PASCAOPERATIF
- Monitor kemungkinan komplikasi pascadrainase; kolaps sirkulasi dan atau edema
paru.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD/IKA, dokter
radiologi

12. REFERENSI:
- Otrovsky M, Lesserson LJ. Cardiac tamponade. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia.
Edisi ke-3. Elsevier, 2005, h:47-49.

192
PANDUAN
193
ANESTESI PADA
GERIATRI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA GERIATRI


HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/8

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien geriatri
yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Perubahan fisiologis pada geriatrik, coexisting disease,


konsiderasi anestesi.

3. KEBIJAKAN: Pemilihan teknik anestesi dan obat anestesi yang akan diberikan harus
mempertimbangkan perubahan fungsi system organ dan perubahan respon obat akibat
perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik.

194
4. PENGERTIAN :
Geriatri merupakan populasi dengan batasan umur ≥ 65 tahun. Proses penuaan akan
menyebabkan perubahan terhadap fungsi sistem organ berupa penurunan functional
reserve dan ketidakmampuan untuk memberikan respon terhadap stress, sehingga
meningkatkan resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan proses
pembedahan.

5. PERUBAHAN FISIOLOGI GERIATRI (KONSIDERASI ANESTESI)

SISTEM KARDIOVASKULAR
- Penurunan elastisitas arteri yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan
afterload, peningkatan tekanan darah sistolik, dan hipertrofi ventrikel kiri.
- Penurunan aktivitas β-adrenergik sehingga terjadi penurunan laju jantung saat
istirahat, penurunan laju jantung maksimal, dan penurunan reflek baroresptor.

SISTEM RESPIRASI
- Penurunan elastisitas jaringan paru akan menyebabkan; penurunan alveolar
surface area sehingga efisiensi pertukaran gas menurun, kolaps small airways
meningkatkan volume residual dan closing capacity sehingga terjadi ventilation/
perfusion mismatching.
- Ruang rugi anatomis dan fisiologis meningkat
- Rigiditas dinding dada meningkat
- Penurunan kekuatan otot pernafasan diikuti dengan penurunan kemampuan untuk
batuk dan penurunan kapasitas dari pernafasan.
- Respon terhadap hiperkapnia dan hipoksia menjadi tumpul.
Ventilasi akan menjadi sulit pada pasien-pasien dengan pipi yang cekung,
sedangkan adanya arthritis pada sendi temporomandibular atau vertebrae servikal,
tidak adanya gigi-geligi bagian rahang atas juga akan mempersulit untuk
dilakukannya laringoskopi-intubasi.
- Pencegahan hipoksia perioperatif dilakukan dengan memberikan preoksigenisasi
yang lebih lama sebelum induksi, meningkatkan konsentrasi oksigen yang lebih
tinggi selama anestesi, dan sedikit meningkatkan PEEP.
- Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada geriatri akibat
penurunan progresif sejalan bertambahnya umur terhadap reflek-reflek
perlindungan jalan nafas/ laring.

195
- Pasien geriatri dengan penyakit paru berat yang menjalani prosedur operasi mayor
pada abdomen sebaiknya tetap terintubasi pada saat pascaoperasi karena sering
terjadi gangguan pernafasan saat di ruang pemulihan.
- Penanganan terhadap nyeri yang dapat mengganggu fungsi paru pascaoperasi
harus benar-benar dapat mengatasi nyeri tersebut (misal dengan anestesi lokal dan
opioid melalui epidural, blok saraf interkosta).

FUNGSI METABOLIK DAN ENDOKRIN


- Konsumsi oksigen maksimal maupun basal akan menurun seiring bertambahnya
usia.
- Produksi panas menurun, resiko hilangnya panas akan meningkat, dan
kemampuan pusat pengatur suhu di hipotalamus juga menurun.
- Resitensi terhadap insulin yang meningkat akan menurunkan kemampuan untuk
meregulasi glukosa dalam tubuh.
- Respon terhadap agen-agen β-adrenergik akan menurun.
- Penurunan aliran darah hati

FUNGSI GINJAL
- Jumlah dan ukuran glomerulus akan menurun.
- Aliran darah ginjal menurun.
- GFR dan klirens kreatinin berkurang.
- Kadar kreatinin serum tidak berubah karena terjadi penurunan massa otot dan
produksi kreatinin, sedangkan blood urea nitrogen secara gradual akan meningkat
0,2 mg/ dL pertahun.
- Penurunan fungsi tubular akan berakibat pada gangguan regulasi sodium,
penurunan kemampuan untuk mengkonsentrasi urin, penurunan kapasitas dilusi
terhadap dehidrasi atau kelebihan cairan, dan penurunan ekskresi obat-obatan.
- Penurunan responsivitas sistem renin-aldosteron sehingga ekskresi potassium
terganggu.
- Penurunan respon terhadap ADH.
- Kemampuan reabsorbsi glukosa menurun.
- Kombinasi penurunan aliran darah ginjal dengan berkurangnya massa nefron akan
meningkatkan resiko terjadinya kegagalan ginjal akut pada periode pascaoperatif.
- Menurunnya kemampuan ginjal untuk meregulasi cairan dan elektrolit
menyebabkan hipokalemia dan hiperkalemia lebih mudah terjadi. Untuk itu
196
monitoring terhadap elektrolit serum, cardiac filling pressure, dan dieresis harus
dimonitor lebih sering lagi.

FUNGSI GASTROINTESTINAL
- Massa hepar akan menurun sehingga aliran darah hepar dan fungsi hepar juga
akan menurun yang berakibat pada menurunnya biotransformasi dan produksi
albumin.
- Kolinesterase plasma menurun.
- pH lambung cenderung untuk meningkat, sedangkan kemampuan pengosongan
lambung akan menurun.

SISTEM SARAF
- Aliran darah serebral menurun sekitar 10-20%
- Keperluan dosis anestesi lokal dan umum menurun.
- Pemberian bolus epidural anestesi bertendensi untuk penyebaran yang lebih
ekstensif kearah sefalad, tetapi durasi analgesi dan blok motorik menjadi lebih
singkat. Sebaliknya durasi dari anestesi spinal akan lebih panjang.
- Waktu pemulihan secara komplit efek obat anestesi umum yang diberikan
terhadap susunan saraf pusat akan menjadi lebih lama, terutama pada pasien
dengan keadaan disorientasi atau confused pada saat preoperatif.
- Geriatri mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya keadaan konfusional
akut, delirium, dan disfungsi kognitif pascaoperatif.
- Penyebab disfungsi kognitif pascaoperasi adalah multifaktorial, antara lain adalah
karena efek obat, nyeri, demensia, hipotermia, menurunnya jumlah
neurotransmitter, dan gangguan metabolik.
- Geriatri sangat sensitive terhadap efek sentral dari antikolinergik seperti
scopolamine dan atropine.
- Tidak ada perbedaan antara insidensi delirum antara anestesi regional dan umum.

MUSKULOSKELETAL
- Atrofi pada kulit akan memudahkan terjadinya trauma akibat pemakaian plester,
electrocautery pads, dan electrode EKG.
- Degenerasi pada tulang servikal akan membatasi pergerakan leher yang dapat
mempersulit tindakan laringoskopi-intubasi.

197
PERUBAHAN FARMAKOLOGIS
- Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak tubuh (terutama wanita)
akan menyebabkan penurunan jumlah total cairan tubuh. Penurunan volume
distribusi dari obat-obatan yang larut dalam air akan menyebabkan konsentrasinya
dalam plasma akan meningkat, sebaliknya peningkatan volume distribusi dari
obat-obatan yang larut dalam lemak akan menyebabkan penurunan konsentrasinya
dalam plasma.
- Perubahan volume distribusi ini akan berpengaruh terhadap waktu paruh obat-obat
tersebut. Namun dikarenakan pada pasien geriatri juga akan terjadi penurunan
fungsi ginjal dan hati, hal ini akan membuat penurunan pada kliren sehingga
durasi kerja sebagian obat tetap akan memanjang.
- Prinsip perubahan farmakodinamik akibat usia tua adalah berupa penurunan
kebutuhan obat-obatan anestesi.
- Untuk menghindari efek samping obat dan pemanjangan durasi kerja obat adalah
dengan memberikan obat dengan cara titrasi.
- Pemilihan obat lebih baik bila diberikan obat-obatan dengan masa kerja yang
pendek, seperti: propofol, ramifentanil, dan suksinil kolin, serta obat-obatan yang
pemberiannya tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal, hati, dan aliran darah, seperti:
mivakurium,atrakurium, dan cisatrakurium.
- Pasien geriatrik dengan malnutrisi akan mengalami penurunan konentrasi albumin

ANESTESI INHALASI
- MAC dari obat anestesi inhalasi akan menurun 4% perdekade pada umur di atas
40 tahun. Misalkan MAC halotan pada pasien usia 80 tahun adalah (0,77-
(0,77x4%x4))= 0,65.
- Onset of action akan meningkat pada keadaan terdapat penurunan cardiac output,
sedangkan akan menjadi lambat jika terdapat gangguan ventilasi/ perfusi yang
signifikan.
- Efek volatile terhadap depresi miokardial pada geriatric akan semakin meningkat.
- Isofluran akan menurunkan cardiac output dan laju nadi pada orang tua.
- Pemulihan dari efek obat volatile anesthesia akan memanjang dikarenakan volume
distribusinya yang bertambah (peningkatan lemak tubuh), penurunan fungsi hati,
dan penurunan proses pertukaran gas di paru.
- Desfluran merupakan obat anestesi pilihan pada geriatric karena eliminasinya
yang cepat.

OBAT ANESTESI NONVOLATILE


198
- Pada umumnya geriatric membutuhkan dosis propofol, etomidat, barbiturate,
opioid, dan benzodiazepine yang lebih rendah. Biasanya hanya dibutuhkan
separuh dosis dari dosis induksi pada dewasa muda.
- Meskipun propofol merupakan obat induksi yang hampir ideal karena eliminasi
nya yang cepat, tetapi obat ini potensinya lebih besar untuk menimbulkan
hipotensi dan apnoe dibandingkan pada pasien usia muda.

PELEMAS OTOT
- Respon terhadap suksinilkolin dan golongan non depolarizing tidak dipengaruhi
oleh usia.
- Onset pelemas otot pada geriatri akan memanjang 2 kali lipat akibat penurunan
cardiac output dan penurunan aliran darah otot.
- Proses pemulihan pelemas otot nondepolarizing yang eliminasinya tergantung
pada ekskresi ginjal (seperti: pankuronium, metocurine, doxacurium,
tubocurarine) akan menjadi lebih lama karena penurunan dari klirens obat
tersebut.
- Proses pemulihan dan durasi kerja obat-obatan yang metabolismenya terjadi di
hepar (seperti: rokuronium dan vekuronium) juga akan menjadi lebih lama.
- Profil farmakologi atrakurium dam pipekuronium tidak dipengaruhi oleh usia.

CO-EXISTING DISEASE PADA GERIATRI


- Hipertensi esensial
- Penyakit jantung iskemik
- Gangguan konduksi jantung
- Gagal jantung bendungan
- Penyakit paru kronik
- Diabetes mellitus
- Hipotiroid
- Reumatoid arthritis
- Osteoartritis

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Resiko terhadap pemberian anestesi lebih dipengaruhi oleh co-existing disease
yang ada dibandingkan faktor usianya.
- Oleh karena itu pada saat pemeriksaan preoperatif harus lebih fokus untuk
mengidentifikasi adanya penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan
geriatri dan juga evaluasi terhadap fungsi fisiologis yang telah disebutkan di atas.
- Geriatri biasanya mengkonsumsi obat-obatan untuk pengobatan co-existing
disease-nya. Data obat yang sedang diminum harus didapatkan secara lengkap

199
karena kemungkinan terjadinya interaksi dengan obat anestesi yang akan
diberikan.
- Lakukan evaluasi preoperatif terhadap functional reserve dan jalan nafas.
- Osteoartritis atau rheumatoid arthritis pada servikal akan mempersulit tindakan
laringoskopi-intubasi.
- Insufisiensi arteri vertebrobasiler dapat dievaluasi dengan melihat efek posisi
kepala: rotasi dan ekstensi terhadap status mental.
- Pastikan status volume, biasanya geriatric mempunyai kecenderungan terjadinya
hipovolemia preoperatif.
- Premedikasi terbaik untuk geriatri adalah dengan kunjungan preoperatif. Jelaskan
proses yang akan dijalani selama perioperatif. Jika pasien masih tampak cemas
dapat diberikan golongan benzodiazepine.
- Premedikasi yang akan diberikan pada geriatri membutuhkan dosis yang lebih
rendah.
- Hindari memberikan premedikasi dengan atropine karena dapat meningkatkan
beban kerja jantung, dan sering menimbulkan confusion pascaoperatif.
- Pemberian metoklopramid dapat mempercepat pengosongan lambung, tetapi pada
pasien geriatri resiko untuk terjadinya efek samping gejala ekstrapiramidal juga
meningkat.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik anestesi regional maupun umum dapat menjadi pilihan pada geriatri
tergantung dari kondisi fungsi sistem organ masing-masing pasien dan jenis
operasi yang akan dijalani.
- Pemilihan obat-obatan juga harus mempertimbangkan fungsi sistem organ dan
perubahan respon obat akibat berubahnya farmakokinetik dan farmakodinamik
pada pasien

8. MANAJEMEN PASCAOPERATIF
- Direkomendasikan ambulasi dini untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia
dan thrombosis vena dalam.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent.

10.UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

11. REFERENSI:
200
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Geriatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 951-958
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease associated with aging.Dalam: Handbook for
Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 553-556.

PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN

201
DENGAN CO-EXISTING
DISEASE

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


HAJI ADAM MALIK MEDAN PENYAKIT LIVER (HEPATITIS AKUT)

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
penyakit Hepatitis akut yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Manifestasi klinis. Manajemen anestesi

3. KEBIJAKAN : Hindari faktor-faktor yang menyebabkan perburukan fungsi hepar

202
4. PENGERTIAN :
Hepatitis akut memberikan gambaran berupa trauma hepatoselular akut dengan
nekrosis selular pada sejumlah sel tersebut. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh
infeksi virus, reaksi obat, dan akibat toksin. Manifestasi klinis pada umumnya
tergantung dari beratnya reaksi inflamasi dan banyaknya nekrosis. Reaksi inflamasi
ringan biasanya asimptomatik dan hanya terjadi sedikit peningkatan serum
transaminase, sedangkan nekrosis hepatic massif meerupakan gambaran dari suatu
kegagalan hepatic fulminan akut.

5. MANIFESTASI KLINIS:
- Hepatitis viral terdiri atas hepatitis A, B, C, D, dan E.
- Gejala prodromal hepatitis akut timbul 1-2 minggu berupa keluhan fatigue,
malaise, demam, mual, dan muntah yang kemudian dapat diikuti dengan jaundice
maupun tidak diikuti dengan jaundice. Keadaan jaundice ini dapat terjadi 2-12
minggu, dan penyembuhan sempurna terjadi dalam waktu 4 bulan.
- Untuk menentukan penyebabnya harus dilakukan pemeriksaan serologis.
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien dengan hepatitis akut yang akan menjalani operasi elektif harus ditunda
sampai penyakitnya mengalami perbaikan yang ditandai dengan normalisasi
fungsi hati. Morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien dengan hepatitis
akut yang menjalani pembedahan sebesar 12% dan 10%.
- Pasien dengan hepatitis mempunyai resiko untuk terjadinya perburukan fungsi
hepar dan terjadinya komplikasi akibat kegagalan hepar, seperti encephalopati,
koagulopati atau hepatorenal sindrom.
- Tindakan pembedahan pada pasien dengan hepatitis akut hanya boleh dilakukan
pada pasien yang benar-benar emergensi.
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah BUN, elektrolit serum,
kreatinin, glukosa, transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, albumin, PT, dan
trombosit. Bila dimungkinkan dilakukan pemeriksaan HbsAg.
- Pada hepatitis yang disebabkan oleh virus kadar SGOT biasanya lebih tinggi
dibandingkan dengan SGPT kecuali pada pasien dengan hepatitis yang disebabkan
oleh alkohol.
- Bilirubin dan alkali fosfatase sedikit meningkat kacuali pada keadaan cholestasis.
- Indikator terbaik untuk fungsi sintesa dari hepar adalah PT, pemanjangan INR
lebih dari 3 detik setelah pemberian vitamin K merupakan indikasi terjadinya
disfungsi hepar yang berat.

203
- Hipoalbumin biasanya tidak terjadi kecuali pada kasus gangguan fungsi hepar
yang berat dengan malnutrisi atau penyakit hepar kronis.
- Pasien hepatitis akut yang akan menjalani operasi emergensi harus dilakukan
evaluasi mengenai penggunaan obat-obatan sebelumnya, konsumsi alcohol, obat-
obatan intravena, transfusi dan tindakan anestesi sebelumnya.
- Dehidrasi dan gangguan elektrolit akibat mual muntah harus dilakukan koreksi.
- Koagulopati dikoreksi dengan memberikan vitamin K atau FFP.
- Pada umumnya tidak perlu dilakukan premedikasi unuk meminimalkan pemberian
obat-obatan.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tujuan manajemen intraoperatif adalah untuk menjaga fungsi hepar dan
menghindari faktor-faktor yang memperburuk fungsi hepar.
- Pemilihan jenis dan dosis obat bersifat individual.
- Anestetik inhalasi lebih menjadi pilihan dibandingkan obat anestesi intravena.
- Dosis baku obat-obatan induksi anestesi intavena masih dapat digunakan karena
efek obat tersebut lebih banyak dihentikan oleh redistribusi dibandingkan dengan
metabolism atau ekskresi.
- Pemanjangan durasi obat anestesi intravena dapat dikurangi dengan memberikan
dosis yang besar atau dosis yang berulang.
- Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan utama adalah isofluran, hal ini
dikarenakan isofluran mempunyai efek yang paling kecil terhadap aliran darah
hepar.
- Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar harus dihindari.
Faktor-faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang berlebihan, tahanan
jalan nafas yang terlalu besar pada saat melakukan ventilasi kontrol.
- Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila tidak terdapat gangguan koagulasi
dan keadaan hipotensi.

8. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent.

9. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

10. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801

204
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of the liver and billiary track. Dalam: Handbook
for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 221-238.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT


HAJI ADAM MALIK MEDAN LIVER (HEPATITIS KRONIS)

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
penyakit Hepatitis kronis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Manifestasi klinis, klasifikasi child’s, manajemen anestesi.

3. KEBIJAKAN : Hindari faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar


dan factor-faktor yang memperburuk fungsi hepar.

4. PENGERTIAN :
Hepatitis Kronis didefinisikan sebagai keadaan inflamasi hepar persisten yang terjadi dalam
waktu > 6 bulan, hal ini dibuktikan dengan peningkatan aminotransferase serum. Pasien
dengan hepatitis kronik aktif mengalami inflamasi hepar kronis dengan destruksi struktur sel
normal. Penyebab tersering dari hepatitis kronis adalah hepatitis B atau C.

5. MANIFESTASI KLINIS:

205
- Gejala klinis bervariasi mulai dari asimptomatik sampai kegagalan hepar
fulminant
- Gejala yang paling sering adalah fatigue dan nyeri ringan di daerah abdomen.
- Jaundice yang berulang
- Kadang-kadang terdapat manifestasi ekstrahepatik: arthritis dan serositis.
- Manifestasi sirosis pada pasien dengan penyakit yang progresif
- Pada pemeriksaan laboratorium terdapat sedikit peningkatan aminotransferase
serum, dan pada kasus yang berat akan terjadi penurunan kadar albumin serum
dan pemanjangan Protrombin time.

6. KLASIFIKASI CHILD’S
Klasifikasi child dipergunakan untuk melakukan evaluasi preoperatif untuk menilai
kapasitas fungsi hati sebagai prediksi terhadap resiko operasi.

KELOMPOK RESIKO A B C
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin serum (g/dL) >3,5 3-3,5 <3
Asites Tidak ada Terkontrol Tidak terkontrol
Ensefalopati Tidak ada Minimal Koma
Nutrisi Sangat baik Baik Jelek
Mortality Rate (%) 2-5 10 50

7. MANAJEMEN ANESTESI
- Pada pasien dengan hepatitis kronik persisten, manajemen anestesi sama dengan
manajemn pada hepatitis akut. (Lihat Panduan pelayanan anestesi pada pasien
dengan hepatitis akut)
- Pasien dengan hepatitis kronik aktif dianggap telah mengalami sirosis dan
pengelolaan anestesinya sama dengan pengelolaan pada pasien dengan sirosis.
(Lihat panduan pelayanan anestesi pada pasien dengan sirosis hepatis).

8. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

9. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

10. REFERENSI:

206
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of the liver and billiary track. Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 221-238.

207
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN
HAJI ADAM MALIK MEDAN PENYAKIT HEPATOBILIER (KOLELITIASIS &
KOLESISTITIS)

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
penyakit Hepatobilier yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP :

3. KEBIJAKAN : Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk mencegah kegagalan renal


pascaoperasi akibat kadar bilirubin yang tinggi.

4. PENGERTIAN :
Penyakit hepatobilier biasanya ditandai dengan adanya kolestasis yang menimbulkan
gangguan aliran empedu. Penyebab tersering adalah obstruksi ekstrahepatik pada
saluran empedu (obstructive jaundice) akibat dari adanya batu empedu, striktur, atau
tumor. Pasien dengan obstruksi yang komplit atau hampir komplit menunjukkan
gejala jaundice yang progresif, urin yang berwarna gelap, feses berwarna pucat, dan
pruritus.

5. DIAGNOSA BANDING DAN TES FUNGSI HATI


Disfungsi Bilirubin Enzim Alkaline Penyebab
Hepatik Aminotransferase Phosphatase
Prehepatik Unconjugated Normal Normal Hemolisis,
meningkat resorbsi hematom,
transfusi WB
Intrahepatik Conjugated Sangat meningkat Normal - Virus,obat, sepsis,
meningkat sedikit hipoksemia,sirosis
meningkat
Posthepatik Conjugated Normal – sedikit Sangat Batu, sepsis

208
(kolestatik) meningkat meningkat meningkat

6. MANIFESTASI KLINIS:
- Pasien dengan batu empedu biasanya tidak menunjukkan gejala. Diagnosa
biasanya dibuat berdasarkan pemeriksaan USG.
- Gejala yang timbul biasanya merupakan akibat sekunder dari obstruksi duktus
sistikus yang menyebabkan terjadinya kolik.
- Kolesistitis memberikan gejala berupa triad: Abdomen kanan atas tegang secara
tiba-tiba, demam, dan leukositosis.
- Demam yang tinggi menunjukkan telah terjadi infeksi bakteri yang menjalar
ascending ke system bilier (cholangitis).
- Biasanya kolesistitis akut akan mengalami resolusi dalam 2-7 hari setelah
pengobatan.
- 5-10% dari kolesistitis akut merupakan kolesistitis akalkulus yang biasanya
berhubungan dengan trauma yang serius, luka bakar, persalinan lama, operasi
besar, atau penyakit kritis.

7. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien dengan tanda-tanda kolesistitis akut harusdistabilkan terlebih dahulu
dengan medikamentosa sebelum dilakukan tindakan kolesistektomi.
- Terapi yang diberikan berupa: nasogastic suction, pemberian cairan intravena,
antibiotik, dan analgetik.
- Apabila terjadi komplikasi: empyema, perforasi, gangrene, hidrops, fistula, atau
gallstone ileus, maka dilakukan operasi emergensi.
- Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit kritis dan
beresiko tinggi untuk terjadinya gangrene dan perforasi. Pada pasien seperti ini
merupakan indikasi untuk dilakukan operasi emergensi.
- Pasien dengan obstruksi ekstrahepatik oleh sebab apapun akan mengalami
defisiensi vitamin K, oleh karena itu harus diberikan vitamin K parenteral yang
membutuhkan waktu 24 jam untuk memberikan respon penuh.
- Pemberian FFP bila PT belum bias dikoreksi sebelum pembedahan.
- Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk mencegah kegagalan renal pascaoperasi
akibat kadar bilirubin yang tinggi.

8. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Kolesistektomi per laparoskopi dapat mempercepat penyembuhan pasien tetapi
dengan berbagai kekurangan yang terjadi (lihat panduan anestesi pada prosedur
laparoskopi).

209
- Pemberian opioid biasanya ditunda apabila akan dilakukan tindakan kolangiogram
karena dapat menimbulkan spasme sehingga didapatkan hasil positif palsu.
- Pemberian obat yang diekskresikan lewat saluran empedu akan menyebabkan
efeknya memanjang, oleh karenanya sebaiknya memilih obat-obatan yang
diekskresikan melalui ginjal.
- Diuresis harus dimonitoring ketat dengan kateter.
- Pasien dengan kolesistitis akalkulus dan kolangitis berat adalah pasien dengan
penyakit kritis dengan mortalitas perioperatif yang tinggi, oleh karena itu
sebaiknya dipasang monitoring hemodinamik invasif.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

11. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of the liver and billiary track. Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 221-238.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


HAJI ADAM MALIK MEDAN SIROSIS HEPATIS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/6

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

210
1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
penyakit sirosis hepatis yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Gejala, manifestasi sistemik, komplikasi, klasifikasi Child’s,


manajemen pre,intra, dan pascaoperasi

3. KEBIJAKAN : Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar


harus dihindari. Faktor-faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang
berlebihan, tahanan jalan nafas yang terlalu besar pada saat melakukan ventilasi
kontrol.

4. PENGERTIAN :
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh penyakit hati yang kronis
dan progresif yang sebagian besar karena konsumsi alkohol yang berlebihan dan
hepatitis viral kronis.

5. GEJALA KLINIS:
- Jaundice dan asites ditemukan pada sebagian besar pasien
- Fatigue
- Malaise
- Pemeriksaan fisik nondiagnostik: palmar eritema, spider nevi, ginekomastia, atrofi
testis, splenomegali.
- Penurunan aliran darah hepar
- Penurunankonsentrasi albumin serum
- Pemanjangan Protrombin Time

6. MANIFESTASI SISTEMIK SIROSIS


- Gastrointestinal: Hipertensi portal (asites, varises esophagus, hemoroid,
perdarahan saluran cerna)
- Sirkulasi: Keadaan hiperdinamik, systemic arteriovemous shunts, resistensi
vascular sistemik yang rendah, kardiomiopati sirotik
- Pulmoner: Peningkatan shunting intrapulmoner, penurunan FRC, efusi pleura,
gangguan ventilasi restriktif, alkalosis respiratorik.
- Renal: Penigkatan reabsorbsi sodium di proksimal dan distal, gangguan
pengeluaran air (penurunan perfusi renal, hepatorenal syndrome)
- Hematologis: Anemia, koagulopati (hiperslenisme, trombositopenia, leukopenia)
- Infeksi: spontaneous bacterial peritonitis
- Metabolik: hiponatremia, hipokalemia, hipomagnesemia, hipoalbuminemia,
hipoglikemia
- Neurologis: Ensefalopati.

211
7. KLASIFIKASI CHILD’S
Klasifikasi child dipergunakan untuk melakukan evaluasi preoperatif untuk menilai
kapasitas fungsi hati sebagai prediksi terhadap resiko operasi.

KELOMPOK RESIKO A B C
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin serum (g/dL) >3,5 3-3,5 <3
Asites Tidak ada Terkontrol Tidak terkontrol
Ensefalopati Tidak ada Minimal Koma
Nutrisi Sangat baik Baik Jelek
Mortality Rate (%) 2-5 10 50

8. KOMPLIKASI
- Perdarahan varises akibat hipertensi portal
- Sindrom hepatorenal
- Ensefalopati atau koma hepatic

9. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien dengan sirosis sangat beresiko mengalami perburukan fungsi hati
dikarenakan fungsi cadangannya yang terbatas.
- Identifikasi semua kemungkinan timbulnya manifestasi akibat sirosis.
- Apabila terdapat perdarahan gastrointestinal harus dilakukan endoskopi untuk
memastikan perdarahan akibat pecahnya varises esogagus atau ulkus peptikum/
gastritis. Varises esophagus diterapi secara suportif dengan memberikan cairan
pengganti / transfusi atau dengan skleroterapi. Apabila perdarahan tidak dapat
dihentikan maka merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan darurat.
- Pemberian transfusi harus dengan indikasi yang ketat dikarenakan pemberian
transfusi yang masif akan meningkatkan kadar nitrogen akibat pemecahan protein
yang akan mempresipitasi terjadinya ensefalopati.
- Koagulopati harus dikoreksi sebelum operasi. Faktor pembekuan harus diperbaiki
dengan memberikan produk darah yang sesuai, misalnya FFP dan kriopresipitat.
Transfusi trombosit bila < 100.000.
- Bila PT memanjang berikan vitamin K
- Lakukan pemeriksaan foto toraks dan AGD
- Lakukan parasentesis pada pasien dengan asites masif yang mengganggu
pernafasan. Parasentesis harus dilakukan dengan hati-hati dikarenakan dapat
menyebabkan kolaps sirkulasi apabila dikeluarkan cairan asites yang terlalu
banyak.

212
- Pastikan status volume intravaskular cukup, lakukan koreksi apabila terdapat
defisit cairan intravaskular.
- Restriksi cairan pada keadaan hiponatremia.
- Lakukan koreksi terhadap ketidakseimbangan elektrolitlainnya.
- Hipoglikemia merupakan kondisi yang sangat mungkin menyertai. Berikan
larutan glukosa untuk koreksi selama periode perioperatif.
- Ensefalopati harus dikoreksi secara agresif dengan melakukan koreksi terhadap
factor pencetus. Pemberian Laktulosa oral 30-50 ml tiap 8 jam atau neomisin
4x500 mg berguna untuk menurunkan absorbs ammonia.
- Hindari pemberian sedasi pada pasien dengan ensefalopati.

10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF


- Hindari kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh pasien, hal ini
dikarenakan kemungkinan pasien menderita hepatitis B atau C.
- Pilihan obat-obatan dan teknik anestesi yang tebaik pada pasien dengan sirosis
tidaklah diketahui.
- Respon terhadap obat anestesi pada pasien sirosis tidak dapat diperkirakan. Hal ini
dikarenakan terjadi perubahan pada sensitivitas saraf pusat, volume distribusi,
ikatan proein, dan eliminasi obat.
- Peningkatan volume distribusi pada obat dengan struktur ion yang besar seperti
pelemas obat menyebabkan kebutuhan dosis obat yang lebih besar, tetapi untuk
obat-obatan yang metabolismenya terjadi di hati (pancuronium, vecuronium,dan
rocuronium) harus dikurangi dosisnya.
- Apabila kita memakai suksinilkolin sebagai pelemas otot, terdapat resiko untuk
pemanjangan efek obat dikarenakan penurunan kadar pseudokolinesterase.
- Pada pasien sirosis telah terjadi penurunan aliran darah vena porta. Hindari
penurunan perfusi hepar.
- Induksi dengan menggunakan barbiturat atau propofol dengan pemeliharaan
memakai isofluran dengan campuran oksigen dan air merupakan teknik yang
sering dipergunakan.
- Lakukan intubasi awake atau rapid sequence induction dengan penekanan krikoid
pada pasien yang tidak stabil atau dengan perdarahan aktif dengan menggunakan
ketamin atau etomidat dan suksinilkolin.
- Hindari penggunaan halotan.
- Penggunaan suplemen opioid dapat mengurangi pemakaian volatile sehingga
meminimalisasi penurunan MAP, tetapi waktu paruh opioid akan memanjang
secara signifikan yang akan menyebabkan depresi pernafasan yang memanjang.
- Atrakurium merupakan pelumpuh otot pilihan dikarenakan metabolismenya yang
bersifat nonhepatik.
213
- Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan utama adalah isofluran, hal ini
dikarenakan isofluran mempunyai efek yang paling kecil terhadap aliran darah
hepar.
- Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran darah hepar harus dihindari.
Faktor-faktor ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang berlebihan, tahanan
jalan nafas yang terlalu besar pada saat melakukan ventilasi kontrol.
- Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila tidak terdapat gangguan koagulasi
dan keadaan hipotensi.
- Pada saat preoperatif kita sering melakukan restriksi sodium, tetapi pada masa
intraoperatif prioritas kia adalah menjaga volume intravascular dan dieresis.
- Gunakan cairan predominan koloid untuk menghindari kelebihan sodium dan
untuk meningkatkan tekanan onkotik.
- Berikan manitol bila diuresis tidak mencukupi secara persisten setelah
sebelumnya diberikan cairan intravascular yang cukup.
- Pada pemberian transfusi terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya
keracunan sitrat, hal ini dikarenakan metabolismenya oleh hati yang terganggu
sehingga teradi hipokalsemia akiat kalsium serum yang diikat oleh sitrat. Berikan
kalsium intravena untuk mencegah efek inotopik negatif akibat penurunan
konsentrasi kalsium ionisasi.

11. MONITORING
- EKG
- Pulse oksimetri
- Pemeriksaan AGD untuk melakukan evaluasi status asam basa
- Intraarterial pressure (pada pasien dengan resiko perdarahan dan perpindahan
cairan ke ruang ketiga yang banyak)
- CVP
- Urine output

12. MANAJEMEN PASCAOPERASI


- Observasi terhadap kemungkinan perburukan fungsi hepar akibat pemakian obat
anestesi.
- Pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol terdapat resiko alcohol withdrawal
syndrome setelah 48-72 jam dari waktu terakhir mengkonsumsi alkohol.

13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

214
14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

15. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with liver disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 789-801
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease of the liver and billiary track. Dalam:
Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 221-238.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PASIEN DENGAN CHRONIC


HAJI ADAM MALIK MEDAN KIDNEY DISEASE (CKD)

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

215
1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
CKD yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP :
- Memahami penyebab dari sindrom uremia
- Mengoptimalkan fisiologi tubuh yang terganggu akibat CKD/ sindrom uremia
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.

3. KEBIJAKAN :
- Mengelola kondisi. gangguan organ dan keseimbangan (elektrolit, asam basa,
hormonal)
- Menentukan tindakan hemodialisa sesuai indikasi
- Mempertahankan aliran darah ginjal seoptimal mungkin
- Menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan

4. PENGERTIAN :
Sindrom Uremia merupakan kumpulan keadaan klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit, hormonal, asam basa, serta kelainan metabolic yang
berkembang seiring dengan terjadinya kerusakan ginjal.

5. MANIFESTASI CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN UREMIA


- Neurologis: neuropati perifer, neuropati otonom, muscle twitching, ensefalopati
(asterixis,myoclonus, letargi, confusion, kejang, koma)
- Kardiovaskular; kelebihan cairan, congestive heart failure, hipertensi,
perikarditis, aritmia, blok konduksi, kalsifikasi vascular,aterosklerosis.
- Pulmonal: hiperventilasi, edema interstisial, edema alveolar, effuse pleura.
- Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, gangguan pengosongan lambung,
hiperasiditas, ulserasi mukosa, perdarahan, ileus.
- Metabolik; metabolic asidosis, hiperkalemia, hiponatremia, hipermagnesemia,
hiperfosfatemia,hipokalsemia, hiperurisemia, hipoalbuminemia.
- Hematologis; anemia,disfungsi platelet, disfungsi leukosit.
- Endokrin; intoleransi glukosa, hiperparatiroid skunder, hipertrigliseridemia.
- Skeletal; osteodistrofi, kalsifikasi
- Kulit; hiperpigmentasi, ekimosis, priritus

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Evaluasi prabedah dimulai dengan mengumpulkan data-data untuk mengetahui
riwayat medis lengkap tentang keadaan kondisi umum yang meliputi tanda
manifestasi dari uremia dan hasil pemeriksaan laboratorium/ penunjang secara

216
lengkap untuk memastikan apakah pasien berada dalam kondisi medis yang
optimal. Semua manifestasi uremia yang telah disebutkan di atas harus dikontrol.
- Pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium harus difokuskan pada pemeriksaan
fungsi jantung dan respirasi.
- Perhatikan tanda-tanda hipovolemia atau hipervolemia. Periksa kesadaran,
membrane mukosa, perubahan ortostatik terhadap laju nadi dan tekanan darah,
dieresis, laju nadi, isi dan tekanan nadi, tekanan darah, dan turgor kulit.
- Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda hiperkalemia atau hipokalsemia,
iskemik, blok konduksi, hipertropi ventrikel.
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah rutin,waktu perdarahan
dan faktor koagulasi (terutama bila akan dilakukan anestesi regional), serum
elektrolit, BUN, kreatinin, gula darah.
- Pada pasien yang sesak sebaiknya diperiksa AGD untuk mengetahui apakah
terdapat hipoksemia dan status asam basa.
- Transfusi darah hanya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hb < 6-7 g/dL)
atau bila diperkirakan pada saat operasi akan terjadi perdarahan yang banyak.
- Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda hiperkalemia atau hipokalsemia,
iskemik, blok konduksi, hipertropi ventrikel.

7. INDIKASI HAEMODIALISA
- Hipervolemia
- Hiperkalemia
- Asidosis berat
- Ensefalopati metabolic
- Perikarditis
- Koagulopati
- Gejala gastrointestinal yang refrakter
- Toksisitas obat

8. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik anestesi dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional
(disesuaikan dengan daerah operasi dan kondisi masing-masing pasien).
- Monitoring:
 Alat monitoring standar: EKG, pulse oxymetri, NIBP, temperature, kateter
urin dipergunakan pada operasi yang tidak lama dan kehilangan cairan
yang diperkirakan hanya sedikit.
 Monitor intraarterial, vena sentral, dan arteri pulmonal diperlukan pada
operasi yang diperkirakan akan terjadi perdarahan/ perpindahan cairan
yang banyak.

217
 Arterial line juga diperlukan pada pasien dengan hipertensi tidak
terkontrol dimana dapat terjadi perubahan tekanan darah yang cepat.
- Induksi:
 Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid sequence induction dengan
penekanan krikoid pada pasien dengan riwayat mual, muntah serta
perdarahan gastrointestinal.
 Dosis obat induksi pada pasien sakit berat/ kritis harus dikurangi, dapat
diberikan thiopental 2-3 mg/ kg, propofol 1-2 mg/ kg, sedangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dapat diberikan etomidat
0,2-0,4 mg/ kg.
 Respon hipertensi terhadap intubasi dapat ditumpulkan dengan
menggunakan opioid, beta bloker (esmolol), atau lidokain.
 Penggunann suksinilkolin sebagai pelumpuh otot masih dapat ditolerir
pada kadar kalium < 5 meq/L.
 Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan hiperkalemia adalah
rocuronium (0,6 mg/kg), cisatrakurium (0,15 mg/kg), atrakurium (0,4
mg/kg), atau mivakurium (0,15 mg/kg). Sebagai alternatif masih mungkin
untuk menggunakan vekuronium 0,1 mg/ kg dengan tetap memperhatikan
kemungkinan terjadinya efek obat yang memanjang.
- Pemeliharaan
 Idealnya kita harus mampu mengontrol tekanan darah tanpa
mempengaruhi cardiac output.
 Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan adalah gas yang metabolitnya
tidak memperburuk gangguan fungsi ginjal yang telah ada, yaitu:
isofluran dan desfluran.
 Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel
yang tidak baik dan sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar
hb yang sangat rendah (<7 g/dL).
 Hindari penggunaan meperidin, hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi
metabolit aktif normeperidin yang dapat mencetuskan terjadinya kejang.
Penggunaan morfin masih memungkinkan dengan kemungkinan efek
yang akan memanjang.
 Lakukan kontrol ventilasi untuk menghindari terjadinya hiperkarbia
karena pernafasan yang tidak adekuat dan dapat menyebabkan terjadinya
asidosis respiratorik yang akan memperberat kondisi asidosis yang sudah
ada, depresi pernafasan, dan akan meningkatkan kadar potassium serum.

218
 Alkalosis repiratorik juga harus dihindari karena akan menyebabkan
pergeseran ke kiri kurva disosiasi hb dan akan menurunkan aliran darah
serebral.
- Bila dilakukan anestesi regional harus dipastikan terlebih dahulu tidak adanya
gangguan koagulasi. Keadaan asidosis dapat menurunkan ambang kejang yang
berhubungan dengan pemakaian anestesi lokal.

9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pemantauan dilakukan di ruang intermediet dengan monitoring standar untuk
mengevaluasi kesadaran, pernafasan, hemodinamik, dan dieresis.
- Penggunaan opioid sebagai analgetik pascaoperasi harus dipantau terhadap
kemungkinan terjadinya penurunan kesadarn dan hipoventilasi. Berikan nalokson
jika terjadi efek samping akibat pemakaian opioid.
- Hindari penggunaan analgetik golongan NSAID yang dapat memperburuk fungsi
ginjal
- Lakukan pemeriksaan EKG serial untuk mengevaluasi disritmia akibat
hiperkalemia.
- Berikan oksigen suplemen terutama pada pasien dengan anemia dan perdarahan
yang memerlukan transfuse.
- Kesadaran dan pernafasan yang tidak adekuat, asidosis berat dan hemodinamik
yang tidak stabil menendakan adanya kegagalan organ dan merupakan indikasi
untuk perawatan di ruang intensif dan penilaian untuk perlu tidaknya dilakukan
hemodialisa pascaoperatif.

10. UNIT TERKAIT: Anestesiologi dan terapi intensif, Ilmu penyakit dalam sub divisi
ginjal dan hipertensi, kardiologi, dan bedah di lingkungan RSHS.

11. DOKUMEN TERKAIT: Status rawat pasien, status anestesi, surat izin operasi, surat
izin anestesi.

12. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with kidney disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 746-751.
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia
and Co-existing Disease.2002,h: 255-268.
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PPOK
HAJI ADAM MALIK MEDAN (BRONKITIS KRONIS DAN EMFISEMA)

219
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
PPOK yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa, tanda klinis, komplikasi, manajemen pre, intra, dan
pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN : Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan


untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.

4. PENGERTIAN :
Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada paru-paru dengan karakteristik
berupa adanya hambatan terhadap aliran udara yang berkembang progresif dan
bersifat irreversible. Terminologi PPOK lebih mengarah kepada bronchitis obstruktif
kronis (obstruksi pada small air way), dan emfisema (pelebaran ruang udara dan
destruksi parenkim paru, hilangnya elastisitas paru, dan penutupan dari small air
way).

5. TANDA KLINIS DAN DIAGNOSIS


Bronkitis kronis dan emfisema ditandai dengan:
- Riwayat merokok
- Batuk produktif kronis (> 3 bulan)
- Sesak
- Keterbatasan aktivitas fisik karena sesak
- Pasien yang predominan bronchitis kronis lebih dominan dengan gejala batuk
produktif kronis, sedangkan pada pasien predominan emfisema lebih didominasi
dengan gejala sesak nafas.
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda obstruksi jalan nafas saat ekspirasi
dengan masa ekspirasi yang memanjang

220
- Pada pemeriksaan Tes Fungsi Paru terdapat penurunan rasio FEV 1/ FVC, dan
terdapat penurunan Forced Expiratory Flow antara 25%-75% dari Vital Capacity.
Residual Volume meningkat, FRC dan Kapasitas paru total dapat normal atau
meningkat.
- Rongent toraks: Hiperlusen dan hiperinflasi
- AGD: pada pasien Bronkitis kronis biasanya meningkat (>40 mmHg), sedangkan
pada emfisema PaCO2 normal atau < 40 mmHg.

6. EVALUASI FAKTOR RESIKO KOMPLIKASI PARU PASCAOPERASI:


- Pre-existing pulmonary disease
- Operasi pada abdomen bagian atas atau toraks
- Merokok
- Obesitas
- Umur >60 tahun
- Anestesi umum yang memanjang (>3 jam)

7. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pada operasi elektif pasien dengan PPOK harus optimal terlebih dahulu (tidak ada
sesak, wheezing, dan batuk, atau dengan sesak/ wheezing/ batuk minimal)
- Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia, bronkospasme, mengurangi sekresi,
dan bila ada infeksi pada saluran nafas harus diberikan terapi dengan antibiotic.
- Hentikan merokok selama 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi sekresi
dan komplikasi pascabedah. Paling tidak pasien yang tidak merokok selama 24
jam akan meningkan Oxygen Carrying capacity.
- Fisioterapi pernafasan preoperative dengan perkusi dan drainase postural.
- Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus diterapi dengan meningkatkan
oksigenasi, dan apabila terdapat corpulmonal dilakukan digitalisasi terutama bila
terdapat gagal jantung kanan.
8. MANAJEMEN INTRAOPERASTIF
- Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik pilihan untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi pascaoperasi.
- Pemberian sedasi pada pasien yang dilakukan regional anestesi diberikan secara
incremental oleh karena pada pasien ini (terutama geriatric) sangant sensitive
terhadap efek depresan dari obat0obat sedative.
- Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali harus dilakukan preoksigenasi
untuk mencegah terjadinya desaturasi oksigen yang cepat.
- Induksi harus dilakukan dengan smooth. Reflek bronkospasme dapat ditekan
dengan memberikan tambahan thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan volatile 2-
3 MAC selama 5 menit, atau pemberian lidokain intravena atau intratrakeal 1-2
mg/ kg

221
- Pemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang bersifat histamine release
(kurare, atrakurium, morfin, meperidin), atau bila digunakan harus diberikan
dengan sangat perlahan.
- Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan pilihan adalah propofol,
etomidat, dan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil pilihannya
adalah ketamin yang bersifat sebagai bronkodilator.
- Halotan dan sevofluran merupakan obat pilihan induksi inhalasi yang paling
smooth.
- Selama operasi harus dilakukan ventilasi kontrol dengan tidal volume yang kecil-
sedang dan frekuensi yang lambat untuk menghindari “air trapping”
- Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien dengan bullae dan hipertensi
pulmanal.
- Pengukuran kadar CO2 harus dilakukan sebelumnya sebagai panduan dalam
melakukan ventilasi selama operasi.
- Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan smooth. Ekstubasi pada saat
anestesi dalam dapat menurunkan resiko reflek bronkospasme, tetapi harus
dipastikan terlebih dahulu bahwa pernafasan pasien sudah adekuat.

9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dipertimbangkan untuk dilanjutkan pada
operasi abdominal dan intratorakal pada pasien yang sebelumnya (preoperative)
didapatkan hasil pemeriksaan PCO2> 50 mmHg dan FEV1/ FVC < 0,5.
- PaO2 harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan PaCO 2 harus berada pada
rentang yang mempertahankan pHa 7,35-7,45
- Lakukan maneuver untuk ekspansi volume paru (bernafas dalam, CPAP,
spirometri insentif)
- Chest fisioterapi
- Analgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxial opioids, blok interkostal, PCA)

10. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialisAnestesi

12. REFERENSI:

222
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 576-578.
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia
and Co-existing Disease.2002,h: 137-146.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


HAJI ADAM MALIK MEDAN ASMA BRONKIAL

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/7

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
asma bronkial yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Manifestasi klinis, diagnosis, terapi asma/ status asmatikus,


manajemen pre,intra, dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN: Target utama pemberian anestesi umum adalah induksi dan


emergence yang harus smooth.

223
4. PENGERTIAN :
Asma merupakan penyakit kronis dengan karakteristik berupa inflamasi dan
hipereaktifitas pada jalan nafas (bronkus) akibat berbagai stimulus yang
mengakibatkan terjadinya obstruksi aliran udara ekspirasi yang reversibel.

5. MANIFESTASI KLINIS
- Manifestasi klinis klasik asma adalah: wheezing, batuk, dan sesak.
- Beratnya derajat obstruksi terhadap ekspirasi direfleksikan dari Forced exhaled
volume in 1 second (FEV1) dan maximum mid expiratory flow rate.
FEV1 FEF25-75 PaO2 PaCO2
Severity (% predicted) (% predicted) (mmHg) (mmHg)
Mild (asimptomatik) 65-80 60-75 >60 <40
Moderat 50-64 45-59 >60 <45
Marked 35-49 30-44 <60 >50
Severe (status asthmaticus) <35 <30 <60 >50
FEV1: Forced Expiratory Volume in 1 second; FEF 25-75: Forced Expiratory Flow 25-75% forced
vital capacity

- Asma yang ringan biasanya ditandai dengan PaO2 normal dan PaCO2 normal atau
menurun. Takipnoe dan hiperventilasi selama serangan asma akut lebih merupakan
refleksi dari reflek-reflek neural pada paru-paru dibanding dengan hipoksia arterial.
Pada keadaan terjadi kelelahan pada otot-otot pernafasan akan mengakibatkan
terjadinya hiperkarbia.
- Nilai PaCO2 normal atau tinggi merupakan indikasi bahwa pasien tidak dapat lebih
lama lagi mengkompensasi work of breathing dan merupakan tanda impending
respiratory failure.
- Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas yang berat ditandai dengan pulsus
paradoksus, perubahan ST-segment, right-axis deviation, dan RBBB.
- Diagnosa banding asma adalah: trakeobronkitis, sarkoidosis, rheumatoid arthritis,
epiglotitis, croup, gagal jantung kongestif, emboli paru.

6. TERAPI FARMAKOLOGI
Antiinflamasi:
- Glukokortikoid; menurunkan responsivitas jalan nafas dengan menurunkan
inflamasi pada jalan nafas dan meningkatkan stabilitas pada membran. Pemberian
glukokortikoid sangat berguna baik pada keadaan serangan akut maupun sebagai
terapi maintenan, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam untuk bekerja dengan
efektif.

224
- Cromolyn; menghambat proses inflamasi dengan menghambat pelepasan mediator-
mediator kimia. Diberikan secara inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi paparan
terhadap allergen, dan tidak efektif apabila dalam serangan.
- Leukotien inhibitor

Bronkodilator:
- Agonis β-adrenergik (misal: albuterol); merupakan obat yang paling bermanfaat dan
paling sering digunakan. Efek samping yang mungkin terjadi adalah stimulasi
simpatis (takikardia, disritmia) dan perpindahan potassium ke dalam sel.
- Antikolinergik (iptratropium); efek bronkodilatasinya disebabkan oleh aksi
antimuskariniknya dan dapat memblok reflek bronkokonstriksi.
- Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi dengan cara menghambat
phosfodiesterase.
7. TERAPI STATUS ASMATIKUS
- β2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi yang paling efektif pada saat
emergensi)
- Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5 mg/ kg/ jam, atau
metilprednisolon 60-125 mg iv tiap 6 jam
- Oksigen suplemen
- Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dilakukan apabila PaCO2 > 50 mmHg.
- Terapi antibiotik

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Anamnesa yang harus dilakukan adalah tentang: onset terjadinya serangan, pencetus,
riwayat dirawat di rumah sakit akibat asma, faktor alergi, batuk, sputum (warna dan
karakteristiknya), terapi sebelumnya.
- Keadaan yang optimal untuk operasi elektif adalah apabila dari pemeriksaan tidak
didapatkan wheezing, batuk, dan sesak. Pada keadaan operasi emergensi harus
diberikan terapi yang agresif sebelumnya.
- Pasien yang sering mengalami serangan bronkospasme atau dalam kondisi kronik
harus mendapatkan terapi regimen bronkodilator yang optimal.Terapi yang dapat
diberikan berupa β2-agonis dan glukokortikoid.
- Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya air trapping (hiperinflasi,
diafragma datar, jantung terlihat kecil, paru-paru hiperlusen).
- Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk mengkonfirmasi keadaan klinis yang
didapatkan.
- Pemeriksaan AGD hanya dilakukan apabila kita meragukan adekuasi ventilasi atau
oksigenasi arterial.

225
- Sedasi preoperatif dapat diberikan terutama pada pasien yang penyakitnya
dipengaruhi oleh komponen emosional. Secara umum benzodiazepine memberikan
efek yang memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada pasien asma.
- Hindari pemberian premedikasi dengan opioid, antikolinergik, dan antagonis H-2.
Antikolinergik diberikan apabila terdapat sekresi yang kental atau apabila akan
memakai ketamin sebagai obat induksi.
- Premedikasi dengan antagonis H-2 karena akan menyebabkan aktivitas H-1
lebihdominan sehingga dapat terjadi bronkokonstriksi.
- Terapi asma harus tetap diberikan sampai menjelang operasi
- Pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid jangka panjang harus mendapatkan
terapi suplemen untuk mengkompensasi supresi adrenal. Terapi suplemen yang
paling sering diberikan adalah hidrokortison 50-100 mg pada saat preoperatif dan
pada saat postoperatif diberikan 100 mg tiap 8 jam selama 1-3 hari berikutnya.
- Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan kristaloid untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan mengurangi kekentalan sekret.

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Saat yang paling berbahaya pada pemberian anestesi pada pasien asma adalah pada
saat akan dilakukan tindakan instrumentasi pada jalan nafas.
- Pemilihan teknik anestesi umum dengan memakai masker atau regional anestesi
akan mengatasi masalah di atas, tetapi tetap tidak menghilangkan resiko terjadinya
serangan bronkospame.
- Target utama pada manajemen anestesi umum adalah induksi dan emergence yang
smooth/ lancer.
- Bronkospasme juga dapat dicetuskan oleh stimulasi dalam keadaan anestesi yang
dangkal, nyeri, dan stress emosional.
- Pastikan kedalaman anestesi telah tercapai sebelum dilakukan tindakan laringoskopi-
intubasi dan stimulasi bedah.
- Hindari penggunaan obat-obatan yang menyebabkan pelepasan
histaminekurare,atrakurium, mivakurium, morfin, dan meperidin) atau bila terpaksa
digunakan berikan dengan sangat perlahan.
- Propofol dan etomidat merupakan pilihan obat induksi yang relatif aman.
- Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi yang mempunyai efek bronkodilator
dan merupakan pilihan yang baik pada pasien yang juga dalam keadaan
hemodinamik yang tidak stabil. Jangan memberikan ketamin pada pasien dengan

226
level teofilin yang tinggi karena interaksi kedua obat tersebut dapat memicu
terjadinya kejang.
- Reflek bronkospasme akibat laringoskopi-intubasi dapat ditumpulkan dengan
sebelumnya memberikan tambahan dosis thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan
volatile 2-3 mac selama 5 menit, atau dengan memberikan lidokain i.v 1-2 mg/ kg.
Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau glikopirolat 1 mg) dapat juga
memblok reflek bronkospasme kan tetapi dapat menyebabkan takikardia.
- Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi inhalasi pada anak yang
paling smooth. Isofluran dan desfluran juga sebenarnya mempunyai efek
bronkodilatasi yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan tetapi tidak
cocok digunakan untuk induksi inhalasi.
- Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan keuntungan pada pasien
asma karena mempunyai efek bronkodilator.
- Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan sebagai maintenan anestesi, maka
dosisnya harus ditingkatkan secara perlahan agar tidak menimbulkan iritasi pada
jalan nafas.
- Hindari pemakaian halotan bersamaan dengan aminofilin dan β-agonis karena akan
menyebabkan sensitisasi pada jantung.
- Lakukan ventilasi kontrol dengan gas humidifikasi yang telah dihangatkan. Berikan
tidal volume ≤ 10 ml/ kg dengan memanjangkan fase ekspirasi sehingga dapat
menyeragamkan distribusi aliran udara kedua paru dan mencegah air trapping.
- Bronkospasme yang berat ditandai dengan peningkatan peak inspiratory pressure
dan ekshalasi inkomplit.
- Bila terjadi bronkospasme intraoperatif akan didapatkan tanda-tanda berpa
wheezing, peningkatan peak pressure, penurunan volume tidal ekshalasi, atau
terdapat bentuk peningkatan gelombang kapnograf yang melambat.
- Tindakan yang dilakukan bila terjadi bronkospasme intraoperatif adalah dengan
mendalamkan anestesi dengan meningkatkan konsentrasi volatile.
- Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan meningkatkan konsentrasi volatile
maka harus disingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain sebelum memberikan
obat-obatan yang lebih spesifik.
- Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
seperti: ETT yang tertekuk, sekret, overinflasi balon, intubasi bronchial, edema paru,
emboli paru, atau pneumotoraks.
- Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan memberikan β-agonis dalam bentuk
inhaler atau metered dose melalui jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan

227
hidrokortison i.v. 1,5-2 mg/ kg terutama pada pasien yang sebelumnya telah
mendapatkan terapi glukokortikoid.
- Pemberian reversal pelemas otot dengan antikolinesterase tidak akan menyebabkan
bronkokonstriksi apabila disertai dengan pemberian entikolinergik dengan dosis
yang tepat.
- Lakukan ekstubasi dalam (bila tidak ada kontraindikasi) untuk mencegah terjadinya
bronkokonstriksi saat pasien bangun.
- Untuk menumpulkan reflek jalan nafas saat ekstubasi dapat diberikan bolus lidokain
1,5-2 mg/ kg atau dengan infus kontinyu 1-2 mg/ menit.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

12. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with respiratory
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 573-576
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Asthma. Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-
existing Disease.2002,h: 147-156.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN


HAJI ADAM MALIK MEDAN OBESITAS

228
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
obesitas yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Klasifikasi obesitas, manifestasi klinis, manajemen pre,intra,


dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN : obesitas biasanya disertai dengan penyakit penyerta dan perubahan


fisiologis pada pasien.

4. PENGERTIAN :
Overweight dan obesitas diklasifikasikan menggunakan indeks massa tubuh (Body
Mass Index/ BMI). Overweight didefinisikan apabila BMI ≥ 24 kg/ m 2, Obesitas bila
BMI ≥ 30, dan morbid obesity bila BMI ≥ 40. Resiko penyakit akan semakin
meningkat dengan meningkatnya derajat obesitas.

5. MANIFESTASI KLINIS:
Obesitas biasanya berhubungan dengan berbagai penyakit penyerta, seperti:
- Hipertensi sistemik ringan-sedang; hipertensi pada pasien dengan abesitas terjadi
karena peningkatan volume cairan ekstraselular, peningkatan cardiac output, dan
hiperinsulinemia. Pada keadaan hipoksia arterial kronik/ peningkatan volume darah
paru akan disertai dengan hipertensi pulmonal.
- Congestive heart failure; keadaan hipertensi sistemik yang kronis akan
menyebabkan terjadinya hipertropi konsentrik pada ventrikel kiri, bila disertai
dengan hipervolemia akan meningkatkan resiko terjadinya congestive heart failure.
- Diabetes mellitus; peningkatan jaringan lemak akan meningkatkan resistensi
jaringan perifer terhadap efek insulin.

229
- Penyakit hepatobillier; Pada pasien obesitas sering ditemui tes fungsi hati yang
tidak normal dan infiltrasi fatty liver.
- Penyakit tromboembolik; resiko untuk terjadinya deep vein thrombosis pada
pasien obesitas yang akan menjalani pembedahan akan meningkat.
- Sindrom metabolik: obesitas, hipertensi, dan DM tipe II.
- Walaupun tidak terdapat penyakit penyerta, pada morbid obesity akan terjadi
perubahan fisiologis sebagai konsekuensinya.

Perubahan Fisiologis pada pasien obesitas:


- Perubahan fisologis yang terjadi dapat berupa peningkatan laju metabolik yang
proporsional terhadap berat badan sehingga terjadi peningkatan kebutuhan oksigen,
produksi CO2, dan ventilasi alveolar.
- Komplain, resistensi paru, dan work of breathing; Jaringan lemak yang berlebihan
pada dinding dada akan menurunkan komplain dinding dada, walaupun komplain
dari paru sendiri sebenarnya tidak berubah. Work of breathing akan meningkat
sehingga pasien bernafas cepat dan dangkal terutama pada posisi supine.
- Peningkatan massa intraabdomen akan mendesak diafragma ke sefalad sehingga
menyebabkan gambaran penyakit paru restriksi.
- Pengurangan volume paru akan bertambah besar dengan posisi supine atau
trendelenburg.
- Apabila FRC turun di bawah closing capacity maka beberapa alveoli akan menutup
saat ventilasi dengan tidal volume sehingga terjadi ketidaksesuaian ventilasi/ perfusi.
- Pasien obesitas biasanya ditemukan dalam keadaan hipoksik, apabila terjadi keadaan
hiperkapnik maka kita harus waspada akan segera timbulnya komplikasi.
- Sindrom obesitas-hipoventilasi (Pickwickian syndrome) merupakan komplikasi dari
morbid obesity yang ditandai dengan hiperkapnia, sianosis, polisitemia, gagal
jantung kanan, dan somnolen.
- Pasien dengan Obstuctive Sleep Apnoe Syndrome (OSAS) biasanya berhubungan
dengan komplikasi pascaoperasi: hipertensi, hipoksia, aritmia, myocardial infark,
edema paru, dan stroke.
- Beban kerja jantung akan meningkat oleh karena memberikan perfusi ke tambahan
ke simpanan lemak. Peningkatan cardiac output dengan meningkatkan stroke
volume pada suatu saat akan menyebabkan terjadinya hipertensi dan hipertropi
ventrikel kiri.
- Peningkatan aliran darah pulmonal dan vasokonstriksi pembuluh darah paru akibat
hipoksia yang persisten akan menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor pulmonal.

230
- Obesitas menyebabkan gangguan gastrointestinal berupa: hiatal hernia, refluk
gastroesofageal, gangguan pengosongan lambung, hiperasiditas cairan lambung, dan
beresiko untuk terjadinya kanker lambung.

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien obes beresiko untuk terjadinya pneumonia aspirasi. Oleh karena itu
pertimbangkan untuk diberikan premedikasi dengan antagonis H2 dan
metoklopramid.
- Pemberian premedikasi dengan obat yang dapat menimbulkan depresi pernafasan
harus dihindari pada pasien yang sebelumnya sudah terdapat hipoksia, hiperkapnia,
dan obstructive sleep apnoe.
- Pemeriksaan fisik pada pasien dengan morbid obesity harus difokuskan pada fungsi
kardiopulmonal dengan didukung pemeriksaan penunjang foto toraks, EKG, AGD,
dan tes fungsi paru.
- Tekanan darah harus diukur dengan manset yang berukuran tepat.
- Perhatikan kemungkinan terdapatnya kesulitan jalan nafas. Pasien obesity biasanya
sulit untuk dilakukan intubasi dikarenakan pergerakan sendi temporomandibula dan
atlantooksipital yang terbatas, jalan nafas atas yang sempit, dan pendeknya jarak
antara mandibula dengan lemak di sternum.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik sampai saat ini tidak diketahui.
- Bila dilakukan anestesi umum, harus dipertimbangkan terdapatnya kesulitan
ventilasi dengan masker dan intubasi trakeal (timbunan lemak pada wajah dan pipi,
leher pendek, lidah besar, jaringan lunak palatal dan faring yang berlebihan, dada
yang besar).
- Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi pulmonal.
- Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi maka sebaiknya intubasi dilakukan
dalam keadaan awake, direkomendasikan dengan memakai bronkoskopi fiberoptik.
- Pemakaian gas anestesi belum terbukti menyebabkan lama bangun pada pasien
meskipun pada operasi yang lama, hal ini dikarenakan distribusi gas anestesi ke
jaringan lemak yang begitu lambat.
- Obat-obatan yang larut dalam lemak (benzodiazepine, opioid) diberikan dengan
dasar berat badan aktual.
- Obat-obatan yang larut dalam air (misal; pelemas otot) diberikan dengan dosis
berdasarkan berat badan ideal untuk menghindari kelebihan dosis.

231
- Lakukan kontrol ventilasi dengan konsentrasi oksigen inspirasi yang relatif tinggi
untuk mencegah terjadinya hipoksia, terutama bila pasien berada pada posisi
litotomi, trendelenburg, atau tengkurap.
- Pemakaian abdominal pack yang diletakkan pada daerah subdiafragma akan
memperburuk ventilasi pasien dan mengganggu venous return.
- Untuk meningkatkan oksigenasi dapat dilakukan dengan memberikan PEEP saat
ventilasi. Namun pemberian PEEP pada pasien dengan morbid obesity dapat
memperburuk keadaan hipertensi pulmonal bila didapatkan sebelumnya.

8. MANAJEMEN PASCAOPERATIF
- Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan adekuat.
- Ekstubasi dilakukan setelah tidak ada lagi efek dari pelemas otot dan pasien sudah
benar-benar bangun.
- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan suplemen oksigen saat transportasi
pasien ke ruang pemulihan.
- Posisikan pasien setengah duduk ( 45˚) untuk meningkatkan ventilasi dan
oksigenasi.
- Resiko terjadinya hipoksia dapat berlangsung selama beberapa hari pascaoperasi,
oleh karenanya harus tetap dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di ruangan.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

11. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 813-815
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Nutritional disease and inborn errors of metabolism.
Dalam: Handbook for Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 333-344.

232
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI PADA PASIEN DENGAN
HAJI ADAM MALIK MEDAN DIABETES MELLITUS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/7

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
diabetes yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Pemeriksaan preoperatif, komplikasi terhadap target organ,


manajemen kadar gula darah perioperatif.

233
3. KEBIJAKAN:Tujuan utama dalam manajemen untuk mengatasi keadaan
hiperglikemia adalah menghindari terjadinya hipoglikemia.

4. PENGERTIAN :
Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin dimana terjadi gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut maupun relatif atau
gangguan pada responsivitas insulin yang menimbulkan keadaan hiperglikemia dan
glukosuria.

5. KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu:
- Tipe I (IDDM) : defisiensi insulin absolut akibat gangguan imunitas atau idiopatik,
onset pada usia muda, resiko terjadi ketosis, terdapat antibodi terhadap sel islet.
- Tipe II (NIDDM): resistensi insulin walaupun sekresi insulin adekuat, onset
biasanya pada usia > 40 tahun, resistensi ketosis, obesitas.
- Tipe III (Diabetes Sekunder): tipe diabetes mellitus spesifik sebagai akibat sekunder,
seperti: penyakit pankreas.
- Tipe IV (gestasional): terjadi intoleransi glukosa, onset 24-30 minggu usia
kehamilan.

6. MANIFESTASI KLINIS
- IDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan.
- NIDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, gula darah
puasa >140 mg/ dL, tes toleransi glukosa peroral abnormal.
- DM gestasional: tes toleransi glukosa peroral abnormal.
- DM sekunder: hiperglikemi, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan.
- Pasien dengan NIDDM biasanya asimptomatik atau hanya menunjukkan sedikit
gejala ( 50% tidak terdiagnosis).

7. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS dan PENATALAKSANAANNYA


Terdapat 4 komplikasi dari DM, yaitu:
- Metabolik: ketoasidosis, hipoglikemia
- Makrovaskular: CAD, CVD, peripheral vascular disease.
- Mikrovaskular: retinopati, nefropati.
- Nervous system: neuropati otonom, neropati perifer.
Komplikasi akut yang paling mengancam jiwa adalah: Diabetik Ketoasidosis
(DKA), koma hiperosmolar nonketotik, dan hipoglikemia.

DIABETIK KETOASIDOSIS (DKA):


- DKA merupakan komplikasi yang berhubungan dengan DM tipe I.

234
- Penurunan aktivitas insulin akan menyebabkan katabolisme dari asam lemak bebas
menjadi benda keton (asetoasetat dan β-hidroksibutirat) yang akan berakumulasi
menyebabkan anion gap metabolic asidosis.
- Penyebab tersering dari DKA adalah proses infeksi
- Manifestasi klinis DKA, yaitu: takipnoe (sebagai kompensasi asidosis metabolic),
nyeri abdomen, nausea, dan muntah.
- Penatalaksanaan DKA difokuskan pada hipovolemia, hiperglikemia, dan defisit
potasium.
- Target penurunan kadar glukosa darah pada DKA yaitu 75-100 mg/ dL/ jam atau
10% / jam, dengan memberikan infuse insulin 0,1 u/ kg/ jam atau Kadar glukosa
darah-60 x 0,1u/ jam, kecepatan koreksi bias ditingkatkan apabila tidak terjadi
penurunan kadar gula darah.
- Kadar gula darah, potassium, dan keton serum harus diukur minimal tiap 2 jam dan
bila memungkinkan lebih baik lagi bila dilakukan tiap jam.
- Dehidrasi dikoreksi dengan memberikan cairan normal saline; 1-2 liter pada 1 jam
pertama dilanjutkan dengan 200-500 ml/ jam.
- Hindari pemberian RL. Pada keadaan hipoperfusi di jaringan maka akan terjadi
konversi laktat menjadi bikarbonat oleh liver. Maka koreksi cairan yang paling aman
adalah dengan cairan normal saline.
- Bila kadar glukosa sudah mencapai 250 mg/dL, tambahkan D 5W pada infuse insulin
untuk menurunkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia dan menyediakan
kebutuhan glukosa untuk proses normalisasi metabolism intraselular.
- Lakukan dekompresi lambung dengan pemasangan NGT dan monitoring dieresis
dengan pemasangan kateter urin.
- Koreksi asidosis berat (pH<7,1) dengan bikarbonat tidak diperlukan. Koreksi cukup
dilakukan dengan ekspansi volume dan normalisasi hiperglikemia.

KOMA HIPEROSMOLAR NON-KETOTIK


- Pada keadaan ini terdapat sumber insulin yang cukup sehingga tidak terbentuk benda
keton.
- Keadaan hiperglikemik akan menimbulkan diuresis yang menyebabkan terjadinya
dehidrasi dan hiperosmolalitas.
- Dehidrasi berat akan mengakibatkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan predisposisi
untuk terjadinya thrombosis intravascular.
- Hiperosmolal ( > 360 mOsm/ L) akan menimbulkan gangguan keseimbangan air di
otak sehinggah dapat terjadi perubahan status mental dan kejang.

235
- Tiap 100 mg/ dL peningkatan glukosa plasma akan menurunkan konsentrasi natrium
sebesar 1,6 mEq/ L, sehingga pada keadaan hiperglikemia berat akan menyebabkana
terjadinya hiponatremia.
- Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan resusitasi cairan dengan normal
saline, dosis kecil insulin, dan suplemen potasium.

HIPOGLIKEMIA
- Hipoglikemia pada pasien diabetes disebabkan karena kelebihan relative insulin
terhadap intake karbohidrat.
- Terlebih lagi pada pasien diabetic tidak bias mengkompensasi keadaan hipoglikemia
dengan sekresi glucagon atau epinefrin ( counterregulatory failure).
- Ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energi menyebabkan otak
menjadi sangat sensitive tehadap keadaan hipoglikemia.
- Jika hipoglikemia tidak teratasi akan terjadi perubahan status mental dari keluhan
kepala yang melayang menjadi confusion, konvulsidan koma yang permanen.
- Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah puasa < 50 mg/ dL.
- Terapi hipoglikemia adalah dengan memberikan dekstrosa 50% dimana tiap ml dari
gukosa 50% akan meningkatkan kadar glukosa darah pasien dengan berat 70 kg
kira-kira sebesar 2 mg/ dL.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Level Hemoglobin A1c akan membantu untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko
terbesar untuk terjadinya hiperglikemia perioperatif sehingga akan meningkatkan
komplikasi dan memperburuk outcome.
- Morbiditas perioperatif pada pasien diabetik berhubungan dengan kerusakan end-
organ preoperative akibat komplikasi DM. Oleh karenanya tentukan gangguan target
organ preoperatif.
- Lakukan pemeriksaan yang teliti terhadap fungsi paru, kardiovaskular, dan system
renal.
- Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai adanya kemungkinan
pembesaran jantung, kongesti pembuluh darah paru, atau efusi pleura.
- Lakukan pemeriksaan EKG. Pada pasien diabetes terjadi peningkatan abnormalitas
pada ST-segmen dan gelombang T. Lakukan evaluasi apakah terdapat tanda iskemia
myocardial walaupun dari anamnesa tidak didapatkan riwayat hal ini dikarenakan
terdapat resiko terjadinya silent myocardial ischemia/ infarct.

236
- Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai 50% kemungkinan untuk terjadinya
neuropati otonom.
- Tanda-tanda neuropati otonom adalah: hipertensi, painless myocardial ischemia,
hipotensi ortostatik, hilangnya variabilitas denyut jantung (variabilitas denyut
jantung pada orang normal pada saat bernafas dalam/ 6x permenit adalah lebih dari
10 denyut/ menit), resting takikardia, neurogenic bladder, tidak berkeringat,
impotensi.
- Neuropati otonom akan membatasi kemampuan kompensasi jantung terhadap
perubahan volume intravascular dan merupakan factor predisposisi instabilitas
hemodinamik (hipotensi post induksi) dan dapat menyebabkan kematian mendadak.
Insiden akan meningkat dengan pemakaian ACE inhibitor.
- Neuropati otonom juga akan memperlambat pengosongan lambung. Oleh karenanya
berikan premedikasi dengan antacid non partikulat dan metoklopramid pada pasien
dengan tanda neuropati otonom.
- Disfungsi renal pertama kali ditandai dengan proteinuria dan diikuti peningkatan
serum kreatinin.
- Perhatikan tanda-tanda limited-mobility joint syndrome yang terjadi akibat
glikosilasi protein jaringan pada keadaan hiperglikemia kronik.
- Lakukan evaluasi rutin terhadap gerakan sendi temporomandibular dan mobilitas
servikal untuk mengantisipasi kesulitan intubasi.
- Pemakaian obat-obat anti hiperglikemik oral dapat terus diberikan sampai hari
operasi, KECUALI sulfonylurea dan metformin yang memiliki waktu paruh yang
panjang.
- Sulfonilurea dan metformin harus dihentikan 24-48 jam sebelum pembedahan, dan
dapat diberikan lagi pascaoperasi setelah pasien boleh minum dan telah dipastikan
fungsi ginjal dan hati yang adekuat.
- Perlu diperhatikan pula bahwa pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal akan
terjadi pemanjangan efek obat antihiperglikemia oral dengan masa kerja yang
singkat.
- Manajemen gula darah preoperatif pada pasien yang mendapatkan terapi insulin
dilakukan dengan memberikan setengah dari dosis insulin (intermediate acting) yang
seharusnya diberikan pada pagi hari menjelang operasi.
- Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, maka pemberian insulin
dapat diberikan setelah dilakukan pemasangan jalur intravena dengan pemberian
cairan dekstrosa 5% (1,5 ml/ kg/ jam) dan pemeriksaan kadar gula darah pagi.

237
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Target utama dari pengelolaan gula darah adalah menghindari keadaan hipoglikemia.
Keadaan hiperglikemi sendiri berhubungan dengan hiperosmolalitas, infeksi,
gangguan penyembuhan luka dan dapat memperburuk fungsi neurologis
- Hiperglikemia yang terjadi intraoperatif dikoreksi dengan memberikan regular
insulin intravena dengan metode sliding scale atau dengan infuse kontinyu.
- Keuntungan dengan metode infusa kontinyu adalah dapat mengkontrol kadar gula
darah yang lebih presisi.
- Infus insulin kontinyu dimulai dengan dosis 0,1 u/ kg/ jam. Penyesuaian dosis
berikutnya mengikuti formula sebagai berikut:
Unit perjam = Glukosa plasma (mg/dL) / 150
- Target kadar gula darah intraoperatif adalah 120-150 mg/ dL
- Untuk menghindari resiko terjadinya hipokalemia karena perpindahan kalium
kedalam intrasel akibat pemberian insulin maka harus diberikan tambahan 20 mEq
KCL untuk setiap liter cairan.
- Teknik manajemen gula darah perioperatif:
Pemberian Bolus Infus Kontinyu
Preoperatif D5W (1,5 ml/ kg/ jam) D5W (1ml/ kg/ jam)
NPH insulin (setengah dosis Regular insulin:
Unit/jam= Glukosa plasma/ 150
pagi)
Intraoperatif Regular insulin (sliding scale) = preoperatif
Pascaoperatif Regular insulin (sliding scale) = preoperatif

10. MANAJEMEN PASCAOPERATIF


- Monitoring gula darah harus dilanjutkan post operatif karena terdapat variasi
individual dari onset dan duration of action dari insulin (regular dan NPH), selain itu
dapat terjado progresi dari stress hiperglikemia saat periode pemulihan.
- Apabila durante operasi diberi banyak Ringer Lactate (RL) gula darah biasanya akan
naik 24-48 jam postoperatif saat hepar mengkonversi laktat menjadi glukosa.

- Karakteristik dan bioavaibilitas dari insulin :


Insulin type Onset Peak action Duration
Short acting Lispro 10-20 min 30-90 min 4-6 hr
Regular, Actrapid, Velosulin 15-30 min 1-3 hr 5-7 hr
Semilente, Semitard 30-60 min 4-6 hr 12-16 hr
Intermediate Lente, Lentard, NPH, 2-4 hr 8-10 hr 18-24 hr
Monotard
Long Acting Ultralente, Ultratard, PZI 4-5 hr 8-12 hr 25-36 hr

238
11.DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

13. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 808-809
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and
Co-existing Disease.2002,h: 301-315.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPERTIROID


HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Tanggal Terbit Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


1 April 2014 Haji Adam Malik Medan

239
PANDUAN PELAYANAN
ANESTESI
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
hipertiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa hipertiroid, manajemen pre,intra, dan pascaoperasi,


krisis tiroid, komplikasi tiroidektomi.

3. KEBIJAKAN : Pada operasi elektif pasien harus dalam keadaan eutiroid dan gejala
klinis yang sudah terkontrol.

4. PENGERTIAN :
Hipertiroid merupakan suatu keadaan disfungsi kelenjar tiroid dengan produksi
hormone triiodotironin (T3) dan atau tiroksin (T4) yang berlebihan. Hormon tiroid
menyebabkan peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak yang sangat
berperanan dalam kecepatan pertumbuhan dan metabolism. Peningkatan metabolism
akan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2 yang secara
tidak langsung meningkatkan ventilasi semenit, denyut jantung, kontraktilitas, dan
produksi panas/ energi.

5. MANIFESTASI KLINIS:
- Goiter
- Takikardia
- Ansietas
- Tremor halus
- Penurunan berat badan
- Intoleransi terhadap panas.
- Kelemahan otot
- Fatigue
- Eksoptalmus
- Cardiac signs dapat berupa: sinus takikardia, atrial fibrilasi, gagal jantung kongestif.

6. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertiroid ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi tiroid yang abnormal
dimana terjadi peningkatan kadar total (terikat dan tidak terikat) T4, T3 serum dan T4
bebas (tidak terikat).

240
7. TERAPI HIPERTIROID
Terapi Medikamentosa
- Inhibitor sintesa hormon: propiltiourasil, metimazol
- Inhibitor pelepasan hormon: potassium, sodium iodide
- Aktivitas adrenergik yang berlebihan diatasi dengan antagonis β- adrenergic, misal:
propanolol, nadolol, atenolol.
- Pemberian antagonis β-adernergik juga akan menurunkan konversi T4 menjadi T3 di
perifer.
- Iodine radioaktif dapat menghancurkan fungsi sel tiroid. Pemberian iodine radioaktif
ini dapat menyebabkan keadaan hipotiroid dan dikontraindikasikan pada wanita
hamil.
- Reflek-reflek hiperaktif

Terapi Pembedahan
- Tiroidektomi subtotal merupakan alternative dari terapi medikamentosa
- Biasanya tindakan pembedahan ini dilakukan pada struma multinodular toksik yang
berukuran besar, adenoma soliter toksik, struma berukuran besar yang dapat
menimbulkan kompresi trakea, atau untuk alasan kosmetik.

8. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Semua prosedur operasi elektif harus ditunda sampai gejala-gejala klinis terjadi
perbaikan dan pasien harus dalam keadaan eutiroid dengan terapi medikamentosa.
- Pada pemeriksaan preoperatif harus dipastikan keadaan eutiroid dengan tes fungsi
tiroid yang normal dan direkomendasikan laju nadi dalam keadaan istirahat < 100 x/
menit.
- Terapi antitiroid dan antagonis β tetap diteruskan sampai saat pagi menjelang
operasi.
- Pada keadaan emergensi pasien dapat dioptimalisasi dalam waktu kurang dari 1 jam
dengan mengkontrol keadaan sirkulasi yang hiperdinamik menggunakan infus
esmolol secara titrasi dengan dosis 100-300 ug/ kg/ menit atau dengan propanolol
dengan target laju nadi < 100x/ menit.
- Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi jalan nafas bagian atas.
- Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah dengan obat golongan benzodiazepine.
- Hindari obat antikolinergik sebagi premedikasi.

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik regional anestesi (bila memungkinkan) dapat memberikan keuntungan yang
sangat besar karena dapat memblokade system saraf simpatis/ stress response.

241
- Bila dilakukan anestesi umum harus dipilih obat-obatan induksi yang mempunyai
efek minimal terhadap kardiovaskular. Tiopental merupakan pilihan yang terbaik
karena mempunyai efek antitiroid pada dosis besar.
- Hindari pemakaian ketamin, pankuronium, dan obat-obatan yang dapat
menstimulasi system saraf simpatis karena dapat menyebabkan peningkatan laju
nadi dan tekanan darah.
- Pastikan kedalaman anestesi yang adekuat sudah tercapai sebelum melakukan
laringoskopi/ intubasi atau saat stimulasi pembedahan untuk menghindari
terjadinyaq takikardia, hipertensi, dan aritmia ventrikel.
- Pastikan pasien dalam keadaan normovolum sebelum induksi karena pasien-pasien
hipertiroid biasanya dalam keadaan hipovolemik kronis dengan sirkuasi yang
cenderung mengalami vasodilatasi.
- Maintenance anestesi dapat dilakukan dengan isofluran, desfluran, atau sevofluran
dengan N2O.
- Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestetik.
- Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi kardiovaskular dan suhu tubuh untuk
mengetahui tanda-tanda badai tiroid/ thyroid storm.
- Lindungi mata pasien selama operasi dengan baik, karena keadaan eksoptalmus akan
meningkatkan resiko terjadinua abrasi dan ulkus kornea.

10. KRISIS TIROID/ THYROID STORMdan PENATALAKSANAANNYA


- Krisis tiroid merupaka keadaan emergensi medikal yang memerlukan manajemen
dan monitoring yang agresif. Tanda dari krisis tiroid adalah munculnya gejala-gejala
hipertiroid secara tiba-tiba akibat pelepasan hormon T3 dan T4 secara mendadak.
- Tanda-tanda yang didapatkan berupa: takikardia, hipertermia, agitasi/delirium/
koma, kelemahan oto skeletal, gagal jantung kongestif, dehidrasi, syok.
- Krisis tiroid dapat terjadi pada periode intraoperatif akan tetapi paling sering terjadi
pada saat 6-24 jam pascaoperasi.
- Gejala krisis tiroid yang terjadi intraoperatif sangat mirip dengan malignant
hyperthermia, yang membedakannya adalah pada malignant hyperthermia terjadi
rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, dan asidosis respiratorik/ metabolik yang
berat.
- Penatalaksanaan krisis tiroid adalah dengan hidrasi dan pendinginan dengan
menggunakan cairan infus yang dingin, infus kontinyu esmolol atau propanolol
(dosis incremental dimulai dengan 0,5 mg sampai laju nadi < 100/ menit), PTU
(250-500 mg tiap 6 jam secara oral atau melalui NGT), sodium iodide (1g dalam 12
jam), dan lakukan koreksi terhadap faktor pencetus.

242
- Pemberian kortisol 100-200 mg tiap 8 jam direkomendasikan untuk mencegah
timbulnya komplikasi akibat supresi kelenjar adrenal.

11. MAJEMEN PASCAOPERATIF


- Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda krisis tiroid paling tidak selama 24 jam,
hal ini dikarenakan krisis tiroid paling sering terjadi pada periode 6-24 jam
pascaoperasi.
- Lakukan evaluasi terhadap terjadinya komplikasi tiroidektomi subtotal, yaitu:
1. Kerusakan nervus laryngeus recurrent; bila unilateral ditandai dengan paralisis
pita suara dan suara serak, bilateral ditandai dengan paralisis pita suara, afonia
dan stridor (obstruksi jalan nafas). Fungsi pita suara dapat segera dinilai
dengan laringoskopi segera setelah dilakukan ekstubasi dalam. Kegagalan 1
atau kedua pita suara untuk bergerak memerlukan tindakan intubasi untuk
membebaskan jalan nafas.
2. Perdarahan pascaoperatif pada daerah leher; keadaan ini menimbulkan
hematom yang dapat menimbulkan gangguan jalan nafas akibat kompresi pada
trakeal. Tindakan yang dilakukan adalah dengan sesegera mungkin membuka
kembali luka insisi untk evakuasi bekuan darah.
3. Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah diperlukan tindakan intubasi.
4. Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar paratiroid yang tidak sengaja terangkat.
Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia akut yang terjadi
dalam 12-72 jam.
5. Pneumotoraks; dapat terjadi secara tidak sengaja saat dilakukannya eksplorasi
pada daerah leher. Segera lakukan pemasangan CTT untuk mengatasinya.
6. Hipotiroid permanen.

12. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

13. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

14. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine disease.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 807-808.
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia and
Co-existing Disease.2002,h: 315-319.

243
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA PASIEN DENGAN HIPOTIROID
HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
hipotiroid yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa hipotiroid, gejala klinis, komplikasi, terapi,


manajemen anestesi pre, intra, dan pascaoperasi.

3. KEBIJAKAN : Keadaan paling ideal untuk dilakukan operasi elektif adalah eutiroid,
tetapi hipotiroid ringan-sedang bukanlah kontraindikasi absolute. Operasi elektif
ditunda pada hipotiroid berat (T4< 1mg/ dL)

4. PENGERTIAN :
Hipotiroid merupakan disfungsi kelenjar tiroid yang ditandai dengan penurunan
produksi hormone tiroid T3 dan atau T4. Hipotiroid dapat disebabkan primer oleh
penyakit autoimun, tiroidektomi, pemakaian iodine radioaktif, medikasi dengan
antitiroid, defisiensi iodine, atau sekunder akibat kegagalan hypothalamic-pituitary
axis.

5. MANIFESTASI KLINIS:

244
- Hipotiroid yang terjadi pada masa neonatal akan mengakibatkan kretinism yang
ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik, dan retardasi mental.
- Pada dewasa gejala hipotiroid tidak begitu jelas terlihat.
- Letargi
- Peningkatan berat badan
- Intoleransi terhadap dingin
- Fatigue
- Konstipasi
- Hiporeflek
- Depresi
- Bradikardia
- Kontraktilitas jantung, stroke volume, dan cardiac output menurun.
- Ekstremitas dingin dan mottled akibat vasokonstriksi perifer
- Atropi kortek adrenal
- Hiponatremia
- Kadang terdapat efusi pleural, abdominal, dan pericardial.
- Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan kardiovaskular jarang terjadi

6. DIAGNOSIS
- Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar T4 bebas yang rendah.
- Hipotiroid primer dibedakan dengan hipotiroid sekunder dengan peningkatan kadar
TSH.

7. TERAPI
Terapi pengganti dengan preparat hormone tiroid (T4)

8. PERMASALAHAN PERIOPERATIF
- Peningkatan sensitivitas terhadap obat yang menimbulkan depresi
- Hipodinamik kardiovaskular
- Penurunan laju jantung
- Penurunan cardiac output
- Metabolisme obat menjadi lambat
- Reflek baroreseptor yang tidak responsif
- Kegagalan respon ventilasi terhadap hipoksemia dan hiperkarbia
- Hipovolemia
- Gangguan pengosongan lambung
- Hiponatremia
- Hipotermia
- Anemia
- Hipoglikemia
- Insufisiensi adrenal

9. KOMPLIKASI HIPOTIROID (KOMA MYXEDEMA)


- Koma Myxedema merupakan komplikasi dari hipotiroid yang ekstrim.

245
- Gejalanya yaitu: penurunan kesadaran, hipoventilasi, hipotermi, hiponatremia
(akibat sekresi ADH), kolaps kardiovaskular, koma, dan dapat menyebabkan
kematian.
- Sering terjadi pada orang tua yang dicetuskan oleh proses pembedahan, infeksi,
atau trauma.
- Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan hormon tiroid T3 atau T4
intravena, dengan dosis awal levotiroksin sodium 300-500 mg (pada pasien tanpa
penyakit jantung) diikuti dengan dosis pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid
(misalnya hidrokortison 100 mg tiap 8 jam). Selama terapi lakukan pemantauan
EKG terhadap tanda-tanda iskemik atau aritmia.
- Pertimbangkan bantuan ventilasi dan pemanasan eksternal bila diperlukan.

10. MANAJEMEN PREOPERATIF


- Pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan keadaan hipotiroid berat (T4 <
1 mg/ dl) atau koma myxedema harus ditunda.
- Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dL) atau koma myxedema yang akan
menjalani operasi emergensi harus mendapatkan terapi dengan hormone tiroid
terlebih dahulu sebelum operasi.
- Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien dalam keadaan eutiroid, tetapi
keadaan hipotiroid ringan-sedang bukan merupakan kontraindikasi absolute untuk
dilakukan operasi.
- Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poin no.8)
- Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk mencapai keadaan eutiroid pada saat
operasi.
- Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi preoperatif.
- Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif terhadap obat-obatan sedasi yang
dapat menimbulkan depresi jalan nafas dan pada keadaan ini mereka tidak mampu
mengkompensasi hipoksia dengan meningkatkan ventilasi semenit. Biasanya pada
pasien hipotiroid tidak memerlukan sedasi preoperatif.
- Berikan premedikasi dengan antagonis histamine H-2 dan metoklopramid karena
pada pasien ini terjadi perlambatan pengosongan lambung.
- Pasien yang mendapatkan terapi tiroid harus tetap diberikan sampai saat pagi
menjelang operasi.

11. MANAJEMEN INTRAOPERATIF


- Obat pilihan untuk induksi adalah dengan ketamin, hal ini dikarenakan pasien
dengan hipotiroid sangat rentan terhadap efek hipotensi dari obat anestesi akibat

246
dari penurunan cardiac output, reflek baroreseptor yang tidak responsif, dan
penurunan volume intravaskular.
- Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada akibat hipotiroid (poin no.8)
- Pada keadaan hipotensi yang refrakter pertimbangkan kemungkinan terjadinya
insufisiensi adrenal dan gagal jantung kongestif.
- Kemungkinan terdapat kesulitan intibasi dikarenakan lidah yang besar.
- Pemeliharaan anestesi dapat diberikan inhalasi, N2O, dan bila diperlukan
diberikan opioid kerja singkat, benzodiazepine, atau ketamin.
- Lakukan pemantauan terhadap kemungkinan depresi kardiovaskular dan hipotermi
(naikkan temperatu kama operasi, pakai selimut penghangat, berikan cairan infus
yang hangat).

12. MANAJEMEN PASCAOPERASI


- Proses pemulihan dari anestesi umum dapat menjadi lambat akibat keadaan
hipotermi, depresi nafas, atau metabolism obat yang lambat. Pada keadaan ini
sering kali terjadi memanjangnya ventilasi mekanik yang diberikan.
- Pasien harus tetap terintubasi sampai bangun dan normotermi.
- Pilihan obat untuk manajemen nyeri adalah obat golongan non-opioid (misal
ketorolak) dikarenakan pasien sensitif terhadap efek depresi nafas dari obat yang
diberikan.

13. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent
14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD

15. REFERENSI:
- Morgan GE,Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patient with endocrine
disease. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 808-809
- Stoelting RK, Dierdorf SF. Endocrine disease. Dalam: Handbook for Anesthesia
and Co-existing Disease.2002,h: 318-321.

247
PANDUAN
248
ANESTESI REGIONAL

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PROSEDUR ANESTESI SPINAL


HAJI ADAM MALIK MEDAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi spinal pada pasien
yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP :

3. KEBIJAKAN :

249
4. PENGERTIAN :Suatu teknik regional anestesi dengan melakukan blockade
neuroaksial melalui penyuntikan obat anestesi ke dalam sub arachnoid.

5. PROSEDUR :
Penentuan Indikasi:
Operasi abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rectal, dan ekstremitas bagian
bawah

Kontra Indikasi:
Absolut:
- infeksi pada daerah tempat tusukan
- Pasien menolak
- Koagulopati atau gangguan perdarahan
- Hipovolemia berat
- Peningkatan tekanan intracranial
- Severe aortic/ mitral stenosi
Relatif:
- Sepsis
- Pasien tidak kooperatif
- Defisit neurologis sebelumnya
- Severe spinal deformity

Kontroversi:
- Bekas operasi pada tempat tusukan
- Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
- Prosedur operasi yang kompleks (durasi lama, perdaraha banyak)

PERSIAPAN ALAT/ OBAT:


- Sumber oksigen
- Peralatan manajemen Jalan Nafas (lihat pedoman persiapan pra-bedah)
- Obat-obatan emergensi/ resusitasi
- Monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG
- Regional set steril, bethadine, alkohol
- Jarum spinal no. 25/27/29
- Spuite 3cc / 5cc
- Obat anestesi local untuk spinal (hiperbarik atau isobaric)

PERSIAPAN PASIEN:

250
- Pada prosedur pembedahan elektif pasien tetap harus dipuasakan 6-8 jam sebelumnya
- Dilakukan informed consent tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan,
keuntungan, dan kerugiannya
- Sebaiknya diberikan sedasi untuk memfasilitasi kooperasi pasien pada tingkatan sedasi
yang membuat pasien nyaman tetapi tetap kooperatif dan komunikatif

TEKNIK PELAKSANAAN:
- Dilakukan terlebih dahulu pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan saturasi oksigen
perifer
- Pemasangan jalur intravena dengan kateter vena no. 18
- Preloading cairan RL sebanyak 10-20 cc/ kgbb 15 menit sebelum penyuntikan spinal
- Posisi pasien:
Lateral Decubitus:
Pasien diposisikan tidur miring ke salah satu sisi badan dengan punggung yang paralel
dengan meja operasi. Sendi panggul dan lutut di-fleksikan maksimal sehingga lutut pasien
berada dekat dengan abdomen dan dada bagian bawah. Leher berda pada posisi fleksi.
Bahu dan panggul harus berada dalam satu garis lurus sehingga tidak terjadi rotasi pada
tulang punggung. Posisi dan kelengkungan pada tulang belakang harus dipertahankan oleh
seorang asisten.
Posisi Duduk:
Pasien diposisikan duduk dengan tungkai menggantung di sisi meja operasi dan kaki
ditopang dengan kursi/footrest. Bantal diletakkan di pangkuan pasien dengan kedua lengan
atas berada pada posisi merangkul bantal. Kemudian pasien diperintahkan untuk
menunduk dan melenkungkan ke depan tulang belakangnya sambil memeluk bantal. Posisi
dan kelengkungan tulang belakang ini harus dipertahankan oleh seorang asisten.

- Dilakukan identifikasi ruang intervertebral L2-3, L3-4, L4-5 dengan panduan Tuffier
Line
- Untuk mengurangi resiko infeksi maka dokter anestesi harus mencuci tangan terlebih
dahulu dengan prosedur cuci tangan yang telah ditetapkan. Kemudian mengenakan
sarung tangan steril.
- Dilakukan tindakan desinfeksi kulit pada daerah tusukan dengan menggunakan povidon
iodine dan biarkan mongering. Kemudian dibersihkan dengan kassa sehingga daerah
tusukan bersih dari zat antiseptik
- Daerah tusukan ditutupi dengan kain/ duk bolong steril.
- Penusukan jarum spinal:

251
Midline approach:
- Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah celah intervertebral yang telah ditentukan
dengan arah angulasi sedikit sefalad dan sumbu jarum searah dengan sumbu tulang
belakang pasien.
- Jarum spinal akan menembus kulit, sub kutis, ligamentum supra spinosus, ligamentum
interspinosus, dan ligamentum flavum.
- Bila tusukan berada pada arah yang tepat, maka kita akan merasakan dua perubahan
tahanan.
- Tahanan pertama terjadi saat kita menembus ligamentum flavum dan tahanan kedua saat
menembus permukaan membrane dura-arachnoid.
- Setelah tahanan yang kedua (terasa seperti loss of resistance atau “pop”), tusukan jarum
dihentikan. Pada saat ini ujung telah berada di ruang sub arachnoid.
- Tarik stylet dari jarum spinal sehingga LCS mengalir bebas. Apabila LCS tidak keluar
maka dicoba untuk mendorong jarum spinal.
- Urutan tindakan di atas diulangi sampai didaptkan LCS

Paramedian Approach
- Biasanya dilakukan pada pasien yang telah mengalami kalsifikasi pada ligamentum
interspinosus atau kesulitan untuk memposisikan pasien pada posisi fleksi.
- Tentukan daerah tusukan dengan menarik garis 2 cm ke lateral dari aspek inferior dari
prosesus spinosus superior dari daerah yang diinginkan.
- Jarum spinal ditusukkan dengan membentuk sudut 10-25 derajat kea rah garis tengah.
- Identifikasi ligamentum flavum pada paramedian tidak begitu dapat kita rasakan
dibandingkan dengan pendekatan median.
- Jika jarum membentur tulang pada saat jarum masuk tidak begitu dalam, maka biasanya
jarum membentur bagian medial dari lamina bagian bawah. Untuk itu jarum harus
diarahkan kembali sedikit ke atas dan lebih ke lateral.
- Sebaliknya bila jarum membentur tulang setelah jarum dimasukkan begitu dalam, maka
biasanya jarum membentur bagian lateral dari lamina bawah. Jarum harus diarahkan
kembali sedeikit lebih ke atas dan medial dari garis tengah.
- Sebelum menghubungkan spuit dengan hub dari jarum spinal, pastikan terlebih dahulu
tidak ada darah pada aliran LCS. Tunggu sampai aliran LCS benar-benar bening.
- Lakukan barbotase dan kemudian masukkan obat lokal anestesi dengan kecepatan
0,5cc/detik. Dosis yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:

252
Dosis (mg)
Obat (hiperbarik) Perineum, Abdomen Abdomen
Lower Limbs Bawah Atas
Procaine 75 125 200
Bupivacaine 4-10 12-14 12-18
Tetracaine 4-8 10-12 10-16
Lidocaine 25-50 50-75 75-100
Ropivacaine 8-12 12-16 16-18

- Posisikan pasien sesuai dengan kebutuhan prosedur operasi yang akan dilakukan.
- Pengukuran tekanan darah dan laju nadi harus sesegera mungkin dilakukan setelah obat
disuntikkan.Pengukuran dilakukan tiap menit pada 15 menit pertama kemudian tiap 3
menit setelahnya.
- Bila terjadi hipotensi berikan vasopresor (efedrin 5-10 mg) dan/ cairan
- Sensasi suhu diperiksa dengan menggunakan kapas alcohol, dan distribusi blok sensoris
dinilai dengan tes pinprick
- Selama operasi berikan suplemen oksigen dengan nasal kanul 2-3 l/menit.

6. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis Anestesi

253
PANDUAN
ANESTESI PADA
PROSEDUR MINIMAL
INVASIF

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PELAYANAN ANESTESI PADA


HAJI ADAM MALIK MEDAN
LAPARASKOPI

254
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam memberikan tindakan anestesi pada prosedur


laparaskopi.
2. RUANG LINGKUP : Persiapan, tindakan anestesi umum, dan monitoring selama
tindakan laparaskopi
3. KEBIJAKAN: Sebelum menyetujui untuk dilakukan tindakan laparoskopi, harus di
analisa bahwa pasien tidak merupakan kontra indikasi untuk dilakukan laparoskopi
4. PROSEDUR:Teknik anestesi yang menjadi pilihan pada laparoskopi adalah teknik
anestesi umum dengan intubasi menggunakan endotracheal cuff dengan balon, dan
dilakukan ventilasi control dengan tekanan positif

PERSIAPAN PRA-BEDAH:
 Lakukan kunjungan pre-operatif (lihat Pedoman pelayanan dasar anestesi/ kunjungan
preoperative H-2 dan H-1)
 Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah pemeriksaan darah rutin, urinalisis,
factor koagulasi, elekrolit,fungsin ginjal. Pemeriksaan EKG, foto toraks dan Tes
fungsi paru (sesuai indikasi)
 Informed consent tentang prosedur anestesi yang akan dilakukan, keuntungan dan
kerugian yang mungkin terjadi, dan pasien harus diberitahukan bahwa selalu terdapat
kemungkinan prosedur operasi dirubah menjadi operasi terbuka apabila selama
operasi terdapat indikasi untuk dilakuka prosedur pembedahan terbuka.
 Sebelum menyetujui untuk dilakukan tindakan laparoskopi, harus di analisa bahwa
pasien tidak merupakan kontra indikasi untuk dilakukan laparoskopi.
Kontra indikasi laparoskopi atau sebaiknya dihindari pada keadaan:
 Koagulopati
 Hernia diafragmatika
 Penyakit kardiovaskular berat
 Penyakit paru berat
 Peningkatan tekanan intracranial

255
 Gangguan fungsi ginjal
 Riwayat operasi besar atau perlengketan sebelumnya
 Morbid obesity
 Sickle cell disease
 Peritonitis
 Massa intra abdomen yang besar
 Shock hipovolemik
 Pasien dengan VP shunt
 Pasien menolak
 Peralatan monitoring yang dibutuhkan: EKG, NIBP, pulse oksimetri, kapnograf.
 Persiapan alat dan obat (lihat pedoman Persiapan Sebelum Tindakan Anestesi)

TEKNIK ANESTESI
 Teknik anestesi yang menjadi pilihan pada laparoskopi adalah teknik anestesi umum
dengan intubasi menggunakan endotracheal cuff dengan balon, dan dilakukan
ventilasi control dengan tekanan positif.
 Hampir semua kombinasi obat anestesi (hipnotik, analgetik, dan relaksan) dapat
diberikan, tetapi gas Halotan sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan aritmia
dengan adanya hiperkarbia.
 Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.
 Gas N2O dapat diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 50%
 Setelah dilakukan induksi dan intubasi dilakukan pemasangan NGT dan kateter urin
untuk dekompresi.
 Pada saat insersi Veress needle dan kanula pasien diposisikan trendelenburg
 Posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan prosedur operasi yang akan dijalani.
 Perhatikan tanda-tanda vital pasien pada saat dilakukan insuflasi gas CO2 terhadap
kemungkinan vagal reflek akibat peregangan peritoneum
 Apabila terjadi vagal reflek berikan obat vagolitik
 Tekanan intra abdominal saat insuflasi dibatasi tidak lebih dari 15 mmHg untuk
mengurangi perubahan fisiologi akibat pneumoperitoneum
 Durante operasi dilakukan monitoring terhadap tekanan darah, laju nadi, saturasi,
diuresis, EKG, dan end tidal CO2. Disamping monitoring mekanik harus dilakukan
pula monitoring visual dan taktil dengan menilai warna kulit, turgor kulit, capillary
refill, edema pada konjungtriva dan kornea akibat posisi, emfisema sub kutan pada
dada. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara periodic karena selama laparoskopi
dapat terjadi perubahan yang mendadak.
 Pada laparoskopi tidak terjadi evaporasi dan perpindahan cairan yang besar ke ruang
ketiga, sehingga pemberian cairan pengganti dibatasi dengan pemberian RL 2,5-4 ml/
kgbb/ jam ditambah dengan cairan maintenan.

256
 Selama operasi harus dipantau tanda-tanda adanya komplikasi emboli dan
pneumotoraks.
 Berikan profilaksis terhadap PONV
 Dokter anestesi harus memutuskan untuk dilakukan konversi tindakan laparoskopi
menjadi laparotomi apabila durante operasi terjadi perdarahan yang sulit untuk di
atasi, perforasi organ, prosedur yang telah berlangsung terlalu lama, keadaan pasien
yang memburuk, dan adanya penyakit lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.

5. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, SIO, Surat izin tindakan anestasi, Status
preoperative anestesi, Status Anestesi

6. UNIT TERKAIT: Dokter anestesi, peñata anestesi, konsulen

PANDUAN ANESTESI
257
PADA PASIEN
HIPERTENSI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PENATALAKSANAAN ANESTESI


HAJI ADAM MALIK MEDAN
PERIOPERATIF PADA PASIEN DENGAN
HIPERTENSI
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1 / 10

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Sebagai acuan dalam penatalaksanaan tindakan anestesi pada pasien


dengan hipertensi yang akan menjalani tindakan pembedahan.

2. RUANG LINGKUP : Diagnosa hipertensi, penatalaksanaan perioperatif hipertensi.

3. KEBIJAKAN : Pada operasi elektif, tekanan darah pasien harus dalam keadaan
klinis yang sudah terkontrol.

258
4. PENGERTIAN :
- Hipertensi sistemik : tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada dua saat
pengukuran yang terpisah paling sedikit 1 sampai 2 minggu.
- Hipertensi krisis : tekanan darah > 180/120 mmHg, dibagi menjadi 2 kategori
o Hipertensi emergensi : bila didapatkan kerusakan target organ yang akut.
Tujuan terapi : menurunkan tekanan diastolik secara cepat namun bertahap
(penurunan MAP sebanyak 20% dalam 60 menit pertama dan kemudian
secara bertahap)
o Hipertensi urgensi : peningkatan tekanan darah yang berat, tetapi tidak
didapatkan tanda-tanda kerusakan target organ. Gejala yang mungkin
timbul adalah nyeri kepala, epistaxis, atau kecemasan.
- Hipertensi borderline : tekanan diastolik 85-89 mmHg atau tekanan sistolik 130-
139 mmHg
- Hipertensi berat : peningkatan tekanan darah secara progresif dan terus menerus,
di mana tekanan diastolik melebihi 110-119 mmHg dan didapatkan disfungsi
renal.
- Hipertensi malignan : ‘true medical emergency’, dengan tanda-tanda hipertensi
berat (> 210/120 mmHg), papilledema, dan ensefalopati.

5. PATOFISIOLOGI :
- Essensial/primer (idiopatik) : 80-95% kasus dan berhubungan dengan
peningkatan yang abnormal dari baseline cardiac output, tahanan vaskuler
sistemik, atau keduanya.
- Sekunder : penyakit ginjal, hiperaldosteronism primer, sindroma Cushing,
acromegaly, pheochromocytoma, kehamilan, atau terapi estrogen.

6. DIAGNOSIS
- Diagnosis hipertensi tidak dapat dibuat hanya berdasarkan satu kali pemeriksaan
preoperasi saja, namun memerlukan konfirmasi melalui adanya riwayat
peningkatan tekanan darah yang konsisten.
- Dalam hal ini, hasil pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh postur, waktu
dilakukan pemeriksaan (siang atau malam), kondisi emosi, aktivitas yang baru
saja dilakukan, dan obat-obatan yang telah diminum.

7. TERAPI HIPERTENSI
 Pengobatan jangka panjang :
- Untuk mengurangi progresivitas hipertensi, insidens stroke, CHF, CAD, dan
kerusakan ginjal.
- Pada hipertensi ringan, dapat diberikan satu jenis obat dari golongan diuretik,
ACE inhibitor, ARB, β-adrenergic blocker, ca channel blocker.

259
- Pada hipertensi sedang sampai berat, dapat diberikan dua sampai tiga jenis
obat dari golongan diuretik, β-adrenergic blocker, ACE inhibitor.
 Efek samping terapi antihipertensi jangka panjang :
- Diuretik :
 Thiazide : hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemia, hiperurisemia,
hipomagnesemia, hiperlipidemia, hiperkalsemia.
 Loop : hipokalemia, hiperglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia,
alkalosis metabolik
 Potassium sparing : hiperkalemia
- Simpatolitik :
 β-adrenergic blocker : bradikardia, blokade konduksi, depresi miokard,
sedasi, fatique, depresi, meningkatnya tonus bronkhial.
 α-adrenergic blocker : hipertensi postural, takikardia, retensi cairan.
 Central α2-agonists : hipertensi postural, sedasi, bibir kering, depresi,
berkurangnya kebutuhan obat-obat anestesi, bradikardia, hipertensi
rebound, Coombs test positif dan anemia hemolitik (methyldopa),
hepatitis (methyldopa)
 Penghambat ganglionik : hipotensi postural, diare, retensi cairan,
depresi (reserpin)
- Vasodilator :
 Calsium channel blockers : depresi jantung, bradikardia, blokade
konduksi (verapamil, diltiazem), edema perifer (nifedipin), takikardia
(nifedipin), bertambahnya blokade neuromuskular nondepolarisasi
 ACE inhibitor : batuk, angioedema, reflek takikardia, retensi cairan,
disfungsi renal, gagal ginjal bilateral, stenosis arteri renal,
hiperkalemia, depresi bone marrow (captopril)
 Angiotensin-receptor antagonists : hipotensi, gagal ginjal pada stenosis
arteri renal bilateral, hiperkalemia
 Direct vasodilators : reflek takikardia, retensi cairan, nyeri kepala,
systemic lupus erythematosus-like syndrome (hydralazine), effusi
pleura atau perikardial (minoxidil)

8. PENATALAKSANAAN PRE-OPERASI
8.1. Anamnesa :
 Riwayat lamanya penyakit hipertensi
 Riwayat terapi yang telah diberikan
 Ada tidaknya komplikasi yang timbul
 Adanya gejala-gejala : iskemik miokard, gagal jantung, gangguan
perfusi serebral, penyakit vaskuler perifer
 Riwayat keteraturan / kontrol dalam pengobatan
 Adanya nyeri dada, keterbatasan aktivitas
260
 Adanya sesak napas (terutama pada malam hari)
 Adanya edema, nyeri kepala ringan pada perubahan posisi
 Adanya pingsan/syok, amaurosis, claudication
 Adanya efek samping dari obat-obat antihipertensi yang diberikan
 Riwayat infark miokard dan stroke sebelumnya
8.2. Pemeriksaan Fisik :
 Kesadaran, nadi, tekanan darah, laju napas
 Tekanan darah :
o Diukur pada posisi berbaring dan berdiri
o Perubahan tekanan darah ortostatik dapat disebabkan karena
kurangnya volume intravaskuler, vasodilatasi yang berlebihan,
atau terapi obat-obat simpatolitik
 Pemeriksaan jantung dan paru :
o S4 gallop menunjukkan adanya LVH
o Pulmonary rales dan S3 gallop menunjukkan adanya CHF
8.3. Pemeriksaan Penunjang :
o Ophthalmoscopy : perubahan yang tampak pada struktur
vaskularisasi retina sesuai dengan beratnya dan progresivitas dari
arteriosklerosis dan kerusakan organ akibat hipertensi.
o Doppler : didapatkan carotid bruits
o EKG : adanya iskemia, abnormalitas konduksi, infark lama, LVH
(EKG yang normal belum dapat menyingkirkan adanya CAD atau
LVH)
o Rontgen thorax : kemungkinan LVH, kardiomegali, atau kongesti
pembuluh darah pulmonal (ukuran jantung yang normal belum
dapat menyingkirkan kemungkinan hipertrofi ventrikel)
o Echocardiography : tes yang lebih sensitif pada LVH (untuk
menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel pada pasien dengan
gejala-gejala gagal jantung)
o Laboratorium :
 Fungsi ginjal : kadar ureum dan kreatinin
 Serum elektrolit : pada pasien yang mendapat terapi
diuretik atau digoksin, atau dengan gangguan ginjal
 Hipokalemia ringan sampai sedang (3-3,5 mEq/L)
 Terapi penggantian kalium : pada pasien dengan
gejala atau mendapat terapi digoksin
 Hiperkalemia : pada pasien dengan gangguan fungsi
renal yang mendapat terapi hemat kalium atau ACE
inhibitor
 Hipomagnesemia : aritmia perioperatif

261
8.4. Premedikasi :
 Untuk mengurangi kecemasan pada masa preoperatif
 Pada hipertensi preoperatif ringan sampai sedang dapat diberikan obat
anxiolytic (midazolam)
 Obat antihipertensi preoperatif :
- Obat yang telah diberikan dilanjutkan sampai saat hari operasi
dijadwalkan.
- ACE inhibitor dapat menimbulkan efek hipotensi intraoperatif
- Central α2-adrenergic agonists (clonidine 0,2 mg) merupakan
obat tambahan untuk premedikasi pasien hipertensi, dapat
menambah efek sedasi, menimbulkan hipotensi intraoperatif
dan bradikardia.
8.5. Penundaan operasi :
 Untuk operasi elektif : bila didapatkan tekanan darah diastolik > 110
mmHg, operasi ditunda sampai tekanan darah terkontrol.
 Keputusan penundaan operasi dengan mempertimbangkan :
- Derajat beratnya peningkatan tekanan darah yang ditemukan
- Penyakit penyerta yang didapatkan seperti iskemik miokard,
disfungsi ventrikel, komplikasi serebral atau ginjal
- Jenis pembedahan
 Hipertensi preoperatif dapat disebabkan karena ketidakteraturan pasien
dalam menjalani terapi yang telah diberikan.
 Pasien dengan hipertensi yang tidak mendapat terapi atau tidak
terkontrol dapat mengalami iskemia miokard, aritmia, hipertensi,
maupun hipotensi selama intraoperatif.

9. PENATALAKSANAAN INTRA-OPERASI
9.1. Tujuan :
 Mempertahankan stabilitas tekanan darah yang sesuai dengan kisaran awal
(baseline)
 Pasien dengan hipertensi borderline diperlakukan sebagai pasien dengan
normotensi
 Pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau hipertensi lama mengalami
perubahan pada autoregulasi aliran darah serebral (CBF), sehingga tekanan
darah rata-rata dipertahankan sedikit lebih tinggi dari normal untuk menjaga
aliran darah serebral yang adekuat.
 Tekanan darah arteri dipertahankan dalam kisaran 10-20% dari level
preoperatif :
 Penurunan MAP sampai 25% akan mencapai batas autoregulasi yang lebih
rendah.

262
 Penurunan MAP sampai 55% akan mengakibatkan hipoperfusi serebral
simtomatis.
 Bila terjadi hipertensi berat (>180/120 mmHg) pada saat preoperatif, tekanan
darah arterial dipertahankan dalam kisaran normal tinggi (150-140/90-80
mmHg)
9.2. Induksi :
 Induksi dan intubasi endotrakheal merupakan periode yang rawan untuk
terjadinya ketidakstabilan hemodinamik. Hal ini disebabkan karena dalam
periode tersebut dapat terjadi respon hipotensi yang menonjol akibat induksi
anestesi, diikuti dengan respon hipertensi yang berlebihan akibat tindakan
intubasi.
 Respon hipotensi terjadi akibat efek samping depresi sirkulasi oleh obat-obat
anestesi maupun dari obat antihipertensi (vasodilator, depresi jantung, atau
kedua-duanya), atau berkurangnya volume cairan intravaskuler.
 Obat-obat simpatolitik dapat menurunkan tonus simpatis dan meningkatkan
aktivitas vagal.
 Sekitar 25% pasien dengan hipertensi dapat mengalami hipertensi berat
setelah intubasi endotrakheal, sehingga tindakan intubasi sebaiknya dilakukan
pada tahap anestesi dalam.
 Teknik anestesi yang dapat dilakukan untuk menumpulkan respon hipertensi :
o Mendalamkan anestesi dengan menggunakan obat inhalasi selama 5-10
menit
o Pemberian opioid : fentanyl 2,5-5 µg/kg iv, alfentanyl 15-25 μg/kg,
sufentanyl 0,25-0,5 μg/kg, atau remifentanyl 0,5-1 μg/kg
o Pemberian lidokain 1,5 mg/kg iv atau intratrakheal
o Memberikan β-adrenergic blocker seperti esmolol 0,3-1,5 mg/kg,
propranolol 1-3 mg, atau labetalol 5-20 mg
o Menggunakan obat topikal
 Obat induksi : propofol, barbiturat, benzodiazepine, dan etomidate
 Ketamin : kontraindikasi untuk prosedur elektif, karena menyebabkan
stimulasi simpatis (bila digunakan dapat disertai dengan pemberian dosis kecil
propofol atau benzodiazepin)
 Obat pelumpuh otot :
o Semua obat pelumpuh otot dapat digunakan secara rutin
o Pancuronium dapat menyebabkan blokade vagal dan melepaskan
katekolamin, terutama bila diberikan dengan dosis besar secara bolus,
sehingga dapat menimbulkan efek hipertensi pada pasien dengan
hipertensi yang tidak terkontrol

263
o Pancuronium bermanfaat bila digunakan pada keadaan di mana terjadi
tonus vagal yang berlebihan akibat obat opioid atau menipulasi
pembedahan
9.3. Monitoring :
 Tekanan darah arterial invasif, pada pasien dengan keadaan :
o Perubahan tekanan darah dalam kisaran yang lebar
o Menjalani pembedahan mayor yang berhubungan dengan perubahan
yang besar dan cepat terhadap preload atau afterload jantung
 EKG : deteksi tanda-tanda iskemik
 Urine output : pemasangan folley catheter pada prosedur pembedahan yang
diperkirakan > 2 jam, atau pada pasien dengan gangguan ginjal.
 Pemasangan monitor hemodinamik invasif (PA catheter) :
o Tekanan pulmonary capillary wedge yang tinggi (12-18 mmHg)
diperlukan untuk mempertahankan volume left ventricular end-
diastolicdancardiac output.
9.4. Rumatan :
 Dapat dilanjutkan penggunaan obat inhalasi dengan atau tanpa nitrous
oxide
 Balanced technique : opioid + nitrous oxide+ obat pelumpuh otot, atau
teknik intravena total
 Penggunaan obat inhalasi atau penambahan vasodilator intravena dapat
mempermudah pengendalian tekanan darah selama intraoperatif
 Obat inhalasi yang diberikan secara titrasi dapat menyebabkan
vasodilatasi dan depresi miokard secara cepat dan reversibel dalam
menurunkan tekanan darah
 Penggunaan obat vasopresor :
- Pada pasien dengan hipertensi dapat terjadi respon yang
berlebihan, baik yang disebabkan oleh katekolamin endogen
(akibat intubasi atau manipulasi pembedahan) maupun secara
eksogen akibat pemberian obat sympathetic agonists
- Bila terjadi hipotensi dapat diberikan dosis kecil direct acting
agent (phenylephrine 25-50 μg) atau ephedrine 5-10 mg iv (bila
terjadi peningkatan tonus vagal)
- Pemberian epinephrine dengan dosis yang tidak tepat pada
pasien dengan hipertensi dapat mengakibatkan morbiditas
kardiovaskuler yang bermakna
 Bila terjadi hipertensi :

264
 Kedalaman anestesi dapat ditingkatkan dengan obat-obat
anestesi terutama obat inhalasi. Bila masih terjadi hipertensi,
dipertimbangkan obat antihipertensi/vasodilator parenteral (iv).
 Sebelum mulai memberikan obat antihipertensi iv, dipastikan
terlebih dahulu tingkat kedalaman anestesi sudah adekuat, tidak
terjadi hipoksemia maupun hiperkapnia.
 Pemilihan obat antihipertensi berdasarkan :
 Beratnya, timbulnya dan penyebab hipertensi
 Derajat beratnya hipertensi
 Fungsi ventrikel baseline
 Laju nadi
 Ada tidaknya penyakit bronkhospastik pulmonal
 Pengelolaan tekanan darah :
o Selama operasi berlangsung, tekanan darah dipertahankan dalam
batas normal tinggi MAP untuk mempertahankan autoregulasi dan
perfusi serebral, di mana perubahan tekanan darah dijaga pada
level 10-20% preoperatif.
o Obat-obat yang dapat digunakan :
 β-adrenergic blockade: obat terpilih untuk pasien dengan
fungsi ventrikel yang baik dan terjadi peningkatan laju nadi
 Nicardipine : digunakan pada pasien dengan penyakit
bronkhospastik
 Nitroprusside : paling cepat dan efektif untuk
penatalaksanaan hipertensi moderat dan berat intraoperatif
 Nitroglycerin : bermanfaat untuk terapi atau mencegah
iskemik miokard
 Fenoldopam : memperbaiki atau mempertahankan fungsi
renal
 Hydralazine : mengontrol tekanan darah secara konstan,
mula kerja lebih lambat, dapat menimbulkan efek takikardi

9.5. PENATALAKSANAAN PASCA-OPERASI


 Hipertensi pasca operasi dapat terjadi dan harus diantisipasi terutama pada
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol.
 Observasi ketat dilakukan terhadap tekanan darah selama periode dini pasca
operasi di ruang pemulihan.
 Penyebab hipertensi pada pasca operasibersifat multifaktorial : masalah
respirasi, volume overload, nyeri, distensi bladder, dan diawasi secara ketat

265
pula adanya iskemik miokard, CHF, terjadinya hematom di daerah luka
operasi maupun gangguan vaskularisasi.
 Bila penyebab tersebut sudah diatasi dan masih terjadi hipertensi, dapat
diberikan obat antihipertensi parenteral, seperti labetalol (hipertensi disertai
takikardi) atau nicardipine (menurunkan laju nadi terutama bila dicurigai
adanya iskemik miokard atau bronkhospasme).
 Bila pasien sudah memungkinkan untuk minum, obat-obat antihipertensi oral
sebelumnya dapat diberikan.

10. DOKUMEN TERKAIT :


- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT :


Dokter spesialis anestesi, dokter bedah, dokter IPD, dokter Kardiologi

266
PANDUAN
ANESTESI PADA
BEDAH SARAF

267
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI KRANIOTOMI
HAJI ADAM MALIK MEDAN
SOL SUPRATENTORIAL

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Memperjelas hal-hal mengenai persiapan untuk kraniotomi supratentorial.

2. RUANG LINGKUP : Persiapan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif.

3. KEBIJAKAN: Untuk memperbaiki outcome pasien dari dari operasi tumor


supratentorial.

4. PROSEDUR :
A. Pre operatif
Anamnesa:
 Tanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit yang menyertainya
 Obat obatan yang dikonsumsi
 Adakah gangguan penglihatan atau adanya gangguan neurologis
 Peningkatan tekanan intracranial
 Operasi serebral sebelumnya

Pemeriksaan Fisik:
 Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien untuk ekstensi,rotasi muka
mulut, dan jarak antara tiroid dengan mandibula)
 Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronkhi atau wheezing)
 Tanda vital (tekanan darah dan frekwensi nadi)
 Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)

Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah rutin (Hb,Leukosit, Trombosit, Ht)
 Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang diberikan pengobatan
kortikosteroid atau gangguan endokrin)

268
 Pemeriksaan elektrolit ( bila pasien mendapatkan terapi osmotik diuretik
atau loop diuretik)
 Pemeriksaan foto thorak ( bila usia > 50 thn atau ada indikasi)
 Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau ada indikasi)
 Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
 Permeringsaan CT-Angiografi bila ada indikasi ( tumor besar dengan
kecurigaan gangguan vaskuler)

B. Intra operatif
 Premedikasi :
 Hindari penggunaan narkotik
 Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5 mg/kgbb.
 Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan dokter anestesi atau dengan
pemantauan monitor.

 Monitoring :
 Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2 dan tekanan darah non
invasive)
 Pemasangan CVP perifer atau sentral (bila kemungkinan terjadinya
perdarahan yang banyak atau kemungkinan terjadinya diabetes insipidus).
 Pemasangan arteri line apabila
- operasi memiliki resiko terjadinya perubahan tekanan darah yang
cepat,
- hipotensi kendali ,
- penyakit sertaan tertentu
 pemasangan kateter urine

 Induksi :
 Posisikan pasien head up 300
 Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
 Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil 1-3 μr/kgbb) secara perlahan
selama 1 menit hindari terjadinya batuk.
 Pasien diberikan pelumpuh otot non depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah
dosis yang akan diberikan.
 Pasien diberikan hipnotik sedatif (contoh propofol 2-2,5 mg/kgbb
thiopental 2-5 mg/kgbb).
 Selah refleks bulu mata hilang ( kecuali bila GCS < 9).
 Kemudian dilakukan ventilasi dengan oksigen 6 L/menit dengan gas
anestesi (contoh : Sevoflurane 1,5 MAC atau Isoflurane 1 MAC).

269
 Setelah dipastikan pasien mampu untuk dilakukan untuk ventilasi berikan
sisa dari pelumpuh otot (contoh: vecuronium 0.15 mg/kgbb, rocuronium
0.6 mg/kgbb atau atracurium 0.5 mg/kgbb)
 Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di berikan 3 menit sebelum
dilakukannya intubasi.
 Berikan setengah dosis ulangan hipnotik sedatif dari dosis induksi 30 detik
sebelum dilakukkannya intubasi.
 Tekanan darah non invasif mengukur selama 1 menit sekali selama
induksi.
 Dilakukan laringoskopi intubasi
 Plester mata dengan menggunakan plester kertas sebanyak 3 lapis yang
terlebih dahulu menggunakan salep mata.
 Setelah selasai induksi dan pastikan posisi pasien
 Pastikan tidak adanya obstruksi vena jugularis
 Dilakukan pemasanga kateter i.v nomor besar, kateter urin dan CVP atau
arteri line bila diperlukan
 Diberikan anestesi lokal bupivakain sebelum dilakukan pemasangan head
pin
 Diberikan hipnotik sedatif ( propofol atau thiopenthal) secara kontiyu
 Diberikan pelumpuh otot secara intermiten atau kontiyu
 Diberikan osmotik diuretik dan atau loop diuretic pada saat dilakukan
pengeboran tulang
 Pemberian kortikostreroid pada pasien tetap dilanjutkan.

 Rumatan
 Setelah dilakukan intubasi pasien di berikan rumatan anestesi O 2-Air –
sevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC atau isoflurane tidak lebih dari 1
MAC.
 Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh: propofol 50-150 μg/kgbb/menit
atau Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
 Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu atau secara berkala.
 Cairan rumatan dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Ringger laktat
dengan pebandingan 3:1
 Bila pasien mendapatkan osmotik diuretik dan/ atau loop diuretik cairan
penganti diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari jumlah diuresis/jam.

C. Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi kriteria masuk ICU
 Komplikasi :

270
 Pasien dilakukan pemantauan tekanan darah, pernafasan, nadi dan
cairandrainase perdarahan.
 Kemungkinan diabetes insipidus
 Perdarahan ulang (rebleeding) yang ditandai dengan:
- Penurunan kesadarah atau GCS
- Pupil anisokor
- Kejang

5. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

6. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesiologi, dokter bedah saraf


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI
HAJI ADAM MALIK MEDAN
SOL INFRATENTORIAL (FOSSA
POSTERIOR)
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Memperjelas hal-hal mengenai persiapan untuk craniotomy Intratentorial


(Fossa Posterior).

2. RUANG LINGKUP : Persiapan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif serta


komplikasi yang mungkin terjadi.

3. KEBIJAKAN : Untuk memperbaiki outcome pasien dari operasi tumor Intratentorial


(Fossa Posterior).

4. PROSEDUR :
D. Pre-operatif
Anamnesa:
 Tanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit yang menyertainya
 Obat obatan yang dikonsumsi
 Adakah gangguan penglihatan atau adanya gangguan neurologis
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Operasi serebral sebelumnya

271
Pemeriksaan Fisik:
 Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien untuk ekstensi,rotasi muka
mulut, dan jarak antara tiroid dengan mandibula)
 Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronkhi atau wheezing)
 Tanda vital (tekanan darah dan frekuensi nadi)
 Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)

Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah rutin (Hb,Leukosit, Trombosit, Ht)
 Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang diberikan pengobatan
kortikosteroid atau gangguan endokrin)
 Pemeriksaan elektrolit ( bila pasien mendapatkan terapi osmotik diuretik
atau loop diuretik)
 Pemeriksaan foto thorak ( bila usia > 50 thn atau ada indikasi)
 Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau ada indikasi)
 Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
 Permeringsaan CT-Angiografi bila ada indikasi ( tumor besar dengan
kecurigaan gangguan vaskuler)

E. Intra operatif
 Premedikasi :
 Hindari penggunaan narkotik analgesik
 Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5 mg/kgbb.
 Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan dokter anestesi atau dengan
pemantauan monitor.

 Monitoring :
 Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2 ,tekanan darah non invasive
dan end tidal CO2)
 Pemasangan CVP perifer atau central (bila kemungkinan terjadinya
perdarahan yang banyak atau kemungkinan terjadinya diabetes insipidus).
 Pemasangan arteri line apabila
- operasi memiliki resiko terjadinya perubahan tekanan darah yang
cepat,
- hipotensi kendali ,
- penyakit sertaan tertentu
 pemasangan kateter urin

 Induksi :
 Posisikan pasien head up 300
 Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.

272
 Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil 1-3 μr/kgbb) secara perlahan
selama 1 menit hindari terjadinya batuk.
 Pasien diberikan pelumpuh otot non depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah
dosis yang akan diberikan.
 Pasien diberikan hipnotik sedatif ( contoh propofol 2-2,5 mg/kgbb
thiopental 2-5 mg/kgbb).
 Setelah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila GCS < 9), kemudian
dilakukan ventilasi dengan oksigen 6 L/menit dengan gas anestesi (contoh
: Sevoflurane 1,5 MAC atau Isoflurane 1 MAC).
 Setelah dipastikan pasien mampu untuk dilakukan untuk ventilasi berikan
sisa dari pelumpuh otot (contoh: vecuronium 0.15 mg/kgbb, rocuronium
0.6 mg/kgbb atau atracurium 0.5 mg/kgbb)
 Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di berikan 3 menit sebelum
dilakukannya intubasi.
 Berikan setengah dosis ulangan hipnotik sedatif dari dosis induksi 30 detik
sebelum dilakukkannya intubasi.
 Tekanan darah non invasif mengukur selama 1 menit sekali selama
induksi.
 Dilakukan laringoskopi intubasi
 Plester mata dengan menggunakan plester kertas sebanyak 3 lapis yang
terlebih dahulu menggunakan salep mata.
 Setelah selasai induksi dan pastikan posisi pasien
 Pastikan tidak adanya obstruksi vena jugularis
 Dilakukan pemasanga iv kateter nomor besar, kateter urine dan CPV atau
arteri line bila diperlukan
 Diberikan anestesi lokal bupivakain sebelum dilakukan pemasangan head
pin
 Diberikan hipnotik sedatif ( propofol atau thiopenthal) secara kontiyu
 Diberikan pelumpuh otot secara intermiten atau kontiyu
 Diberikan osmotik diuretik dan atau loop diuretic pada saat dilakukan
pengeboran tulang
 Pemberian kortikosteroid pada pasien tetap dilanjutkan.

 Rumatan
 Setelah dilakukan intubasi pasien di berikan rumatan anestesi O 2-Air –
sevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC atau isoflurane tidak lebih dari 1
MAC.
 Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh: propofol 50-150 μg/kgbb/menit
atau Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).

273
 Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu atau secara berkala.
 Cairan rumatan dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Ringer laktat
dengan pebandingan 3:1
 Bila pasien mendapatkan osmotik diuretik dan/ atau loop diuretik cairan
penganti diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari jumlah diuresis/jam.

F. Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi kriteria masuk ICU
 Komplikasi :
 Pasien dilakukan pemantauan tekanan darah, pernafasan, nadi dan
cairandrainase perdarahan.
 Kemungkinan diabetes insipidus
 Perdarahan ulang (rebleeding) yang ditandai dengan:
- Penurunan kesadaran atau GCS
- Pupil anisokor
- Kejang

5. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
6. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesiologi, dokter bedah syaraf

274
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI
HAJI ADAM MALIK MEDAN
NEUROENDOKRIN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/5

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. TUJUAN : Memperjelas hal-hal mengenai persiapan untuk kraniotomi neuroendokrin

2. RUANG LINGKUP : Persiapan preoperatif, intraoperatif, postoperatif serta


komplikasinya .

3. KEBIJAKAN : Untuk memperbaiki outcome pasien dari dari operasi tumor


neuroendokrin.

4. PROSEDUR :
Pre operatif
Anamnesa:
 Tanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit yang menyertainya
 Obat obatan yang dikonsumsi
 Adakah gangguan penglihatan atau adanya gangguan neurologis

275
 Peningkatan tekanan intrakranial ( mual, muntah, nyeri kepala)
 Operasi serebral sebelumnya

Pemeriksaan Fisik:
 Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien untuk extensi,rotasi muka
mulut, dan jarak antara tiroid dengan mandibula)
 Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronkhi atau wheezing)
 Tanda vital (tekanan darah dan frekuensi nadi)
 Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)
Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah rutin (Hb,Leukosit, Trombosit, Ht)
 Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang diberikan pengobatan
kortikosteroid atau gangguan endokrin)
 Pemeriksaan elektrolit ( bila pasien mendapatkan terapi osmotik diuretik
atau loop diuretik)
 Pemeriksaan foto toraks (bila usia > 50 thn atau ada indikasi)
 Pemeriksaan EKG (bila usia > 40 thn atau ada indikasi)
 Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
 Permeringsaan CT-Angiografi bila ada indikasi (tumor besar dengan
kecurigaan gangguan vaskuler)

Intra operatif
 Premedikasi :
 Hindari penggunaan narkotik analgetik
 Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb per oral, midazolaam 0.5-1
mg/kgbb atau lorazepam 0.02-0,5 mg/kgbb.
 Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan dokter anestesi atau dengan
pemantauan monitor.

 Monitoring :
 Pemasangan monitoring rutin (EKG, SpO2 dan tekanan darah non invasif)
 Pemasangan end tidal CO2
 Pemasangan CVP perifer atau sentral (bila kemungkinan terjadinya
perdarahan yang banyak atau kemungkinan terjadinya diabetes insipidus).
 Pemasangan arteri line apabila
- operasi memiliki resiko terjadinya perubahan tekanan darah yang
cepat,
- hipotensi kendali ,
- penyakit sertaan tertentu
 pemasangan kateter urin
 Induksi :
 Posisikan pasien head up 300

276
 Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
 Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil 1-3 μr/kgbb) secara perlahan
selama 1 menit hindari terjadinya batuk.
 Pasien diberikan pelumpuh otot non depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah
dosis yang akan diberikan.
 Pasien diberikan hipnotik sedatif (contoh propofol 2-2,5 mg/kgbb
thiopental 2-5 mg/kgbb).
 Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila GCS < 9).Kemudian dilakukan
ventilasi dengan oksigen 6 L/menit dengan gas anestesi (contoh :
Sevoflurane 1,5 MAC atau Isoflurane 1 MAC).
 Setelah dipastikan pasien mampu untuk dilakukan untuk ventilasi berikan
sisa dari pelumpuh otot (contoh: vecuronium 0.15 mg/kgbb, rocuronium
0.6 mg/kgbb atau atracurium 0.5 mg/kgbb)
 Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di berikan 3 menit sebelum
dilakukannya intubasi.
 Berikan setengah dosis ulangan hipnotik sedative dari dosis induksi 30
detik sebelum dilakukkannya intubasi.
 Tekanan darah non invasive mengukur selama 1 menit sekali selama
induksi.
 Dilakukan laringoskopi intubasi
 Plester mata dengan menggunakan plester kertas sebanyak 3 lapis yang
terlebih dahulu menggunakan salep mata.
 Setelah selasai induksi dan pastikan posisi pasien
 Pastikan tidak adanya obstruksi vena jugularis
 Dilakukan pemasangan kateter i.v. nomor besar, kateter urin dan CVP atau
arteri line bila diperlukan
 Diberikan anestesi lokal bupivakain sebelum dilakukan pemasangan head
pin
 Diberikan hipnotik sedatif( propofol atau thiopenthal) secara kontiyu
 Diberikan pelumpuh otot secara intermiten atau kontiyu
 Diberikan osmotik diuretik dan atau loop diuretic pada saat dilakukan
pengeboran tulang
 Pemberian kortikostreroid pada pasien tetap dilanjutkan.

 Rumatan
 Setelah dilakukan intubasi pasien di berikan rumatan anestesi O 2-Air –
sevoflurane tidak lebih dari 1,5 MAC atau isoflurane tidak lebih dari 1
MAC.

277
 Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh: propofol 50-150 μg/kgbb/menit
atau Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
 Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu atau secara berkala.
 Cairan rumatan dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Ringger laktat
dengan pebandingan 3:1
 Bila pasien mendapatkan osmotik diuretik dan/ atau loop diuretik cairan
penganti diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari jumlah diuresis/jam.
 Bila pasien dicurigai terjadinya diabetes insipidus dengan danda sebagai
berikut :
 Periksakan elektrolit intraoperatif
 Bila terjadi hipernatremia dapat dikoreksi dengan cairan yang mengandung
dextrose
 Dilakukan periksaan elektrolit dan gula dearah sewaktu secara berkala ( 1
jam sekali)

Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi kriteria masuk ICU

 Komplikasi :
 Pasien dilakukan pemantauan tekanan darah, pernafasan, nadi dan
cairandrainase perdarahan.
 Kemungkinan diabetes insipidus
 Perdarahan ulang (rebleeding) yang ditandai dengan:
- Penurunan kesadarah atau GCS
- Pupil anisokor
- Kejang

5. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

6. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis Anestesiologi, dokter bedah saraf

278
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN ANESTESI PADA KRANIOTOMI
HAJI ADAM MALIK MEDAN
SOL SUPRATENTORIAL

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
Tanggal Terbit
ANESTESI 1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS

1. TUJUAN:
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.

2. RUANG LINGKUP:
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.

279
- Menjamin ICP yang adekuat
- Teknik neuroanestesi diharapkan mampu memfasilitasi operator dengan lapangan
operasi yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral blood flow
seoptimal mungkin

3. KEBIJAKAN:
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin

4. DEFINISI:
Daerah supratentorial adalah daerah yang dibatasi oleh tentorium. Terletak di atas
tentorium, dan terdiri dari Serebrum.

5. PROSEDUR:

Pre operatif

 Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi umum
seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
 Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi sebelumnya.
 Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan
SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
 Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
 Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat operasi

Intraoperatif

 Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking


 Induksi :
o Adekuat anxiolisis preoperatif di kamar operasi
o Furosemid 1 mg/kg
o Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian Fentanyl 1-2 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25 mg/kg, atau etomidate 0,3
mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6-
0,8mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O2 atau O2 – Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%.

280
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi
dan ⅟2 dosis obat diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar
mungkin yang masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.

 Pemeliharaan :
o Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%, atau Desfluran 3-6%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg
(saat pemasangan pin kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya menghasilkan intrakranial dinamik
yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak RL secara regular)
 Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien belum bangun, perdarahan
banyak saat manipulasi.

Standar Monitor :

EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur tekanan arteri invasif, pemasangan
CVP.

Pasca operatif

 Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan, pembengkakan dan peningkatan


tekanan intrakranial
 Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg
drip 15 gtt/mnt.

6. UNIT TERKAIT: Dokter spesialis Anestesiologi, dokter bedah saraf

7. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi

281
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN ANESTESI PADA OPERASI
HAJI ADAM MALIK MEDAN
PADA MEDULLA SPINALIS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. DEFINISI:
Daerah Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf Pusat. Terbentang dari
foramen magnum sampai L1. Kompresi pada medulla spinalis bisa oleh karena tumor,
abses, atau hematom.
Macam tumor yang dapat terjadi seperti, meningioma, neurofibroma, atau kelainan
pembuluh darah arteriovenous malformation. Dapat mengalami penekanan oleh
massa ekstradural seperti limfoma primer, tumor metastatic, epidural abses, atau
hematoma.

2. TUJUAN:
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.

3. RUANG LINGKUP:
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin ICP yang adekuat
- Teknik neuro anestesi diharapkan mampu memfasilitasi operator dengan lapangan
operasi yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral blood flow
seoptimal mungkin.

4. KEBIJAKAN:
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin

5. PROSEDUR:

282
i. Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi
umum seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala sakit kepala, mual muntah dan askit kepala (tanda
kenaikan ICP), penurunan kesadaran, gangguan penglihatan. Adanya defisit
neurologis fokal akibat penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum,
dan koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.

ii. Intraoperatif
- Teknik anestesi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking .
- Regional anestesi : bisa digunakan untuk operasi di daerah di daerah lumbal.
Posisi pasien tergantung dari letak tumor dan tergantung permintaan operator.
Kebanyakan posisi prone.
- Induksi dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi gangguan jantung akibat
spinal shock, trauma jantung, atau hipovolemia.
- Induksi :
o Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi untuk mengurangi sekresi, spasme
bronkus, dan refleks bradikardi.
o Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian Fentanyl 1-2 μg/kg
o Sebagai hipnotik sedative digunakan ketamin (1-2 mg/kg) merupakan pilihan
asal tidak tidak ada kontra indikasi absolut. Hati-hati penggunaan Thiopental,
dapat menyebabkan hipotensi berat.
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : Pancuronium (0,08-0,12 mg/kg)
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan N2O-O2 atau O2 – Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan sebagai analgetik.
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar
mungkin yang masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien, diplester kuat
pada mandibula.
- Pemasangan CVP untuk melihat status volume karena perdarahan selama operasi
bisa banyak dan tiba-tiba, sehingga monitoring tekanan darah harus ketat. Bila ada
kemungkinan perdarahan hebat dapat dipasang arteri line.
- Pemeliharaan :

283
o Infus Propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, dapat
memakai ketamin. Dan dengan menggunakan volatile N2O. bila dapat ditolerir
volatile seperti Isofluran juga dapat diberikan
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg
(saat insisi kulit)
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi, fungsi respirasi, lokasi dan ukuran tumor, durasi dan derajat kesulitan
pada operasi.
o ETT dipertahankan bila : manipulasi luas, pasien belum bangun, perdarahan
banyak saat manipulasi.

iii. Standar Monitor


- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur tekanan arteri invasif,
pemasangan CVP, thermometer.

iv. Pasca operatif


- Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intrakranial
- Penatalaksanaan nyeri : opioid (tramadol ).

6. UNIT TERKAIT:
Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi

7. DOKUMEN TERKAIT
Dokter spesialis Anestesiologi, dokter bedah saraf

284
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PANDUAN ANESTESI OPERASI
HAJI ADAM MALIK MEDAN
KRANIOTOMI PADA PASIEN DENGAN
ANEURISMA SEREBRAL DAN
MALFORMASI ARTERIOVENOSA
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/2
Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat
PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. DEFINISI:
Dua penyebab utama SAH (Subarachnoid Hemorrhage) adalah pecahnya aneurisma
serebral atau malformasi arterivenosa (AVM).

2. TUJUAN:

285
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
- Mengatasi agar otak pulih dari efek SAH dan mencegah rebleeding dan
vasospasme.
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.

3. RUANG LINGKUP:
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin ICP yang adekuat
- Teknik neuro anestesi diharapkan mampu memfasilitasi operator dengan lapangan
operasi yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral blood flow
seoptimal mungkin

4. KEBIJAKAN:
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin.

5. PROSEDUR:

Pre operatif

- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi


umum seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP, sakit kepala hebat yan timbul secara
akut, dengan atau tanpa hilangnya kesadaran, demam. Riwayat operasi
sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum,
dan koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
- Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat operasi
- Pemberian sedatif seperti benzodiazepin atau barbiturat supaya pasien tenang.
- Phenitoin untuk mencegah kejang.
- Kendalikan tekanan darah sistol antara 120-150 mmHg sampai dilakukan
clipping.

Intraoperatif

- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking.


- Induksi :
o Preoksigenasi O2 100% dengan sungkup. Kemudian Fentanyl 2-5 μg/kg
286
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6-
0,8mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O2 atau O2 – Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi
dan ⅟2 dosis obat diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar
mungkin yang masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, digabung
dengan Isofluran < 1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg
(saat pemasangan pin kepala, insisi kulit), dapat ditambahkan prnthotal 100-
200 mg.
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya menghasilkan intrakranial dinamik
yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,25-1 gr/kg, untuk menurunkan ICP.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien belum bangun, perdarahan
banyak saat manipulasi.

Standar Monitor

- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur tekanan arteri invasif,


pemasangan CVP.

Pasca operatif :

287
- Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intracranial
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol 1000 iv, dan metamizol
2000 mg drip 15 gtt/mnt.

6. UNIT TERKAIT:
Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi

7. DOKUMEN TERKAIT:
Dokter spesialis anestesi, dokter bedah saraf

288
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI KRANIOTOMI PADA PASIEN
HAJI ADAM MALIK MEDAN
CEDERA KEPALA

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. DEFINISI
Kerusakan otak akibat cedera kepala dapat dibagi ke dalam injuri primer dan injuri
sekunder.Injuri primer adalah yang terjadi ketika terjadinya trauma. Efek yang segera
dari trauma adalah laserasi otak, robekan yang difus, robeknya pembuluh darah, atau
kerusakan neuron, axon, dan dendrit.Injuri sekunder adalah injuri yang terjadi setelah
terjadinya trauma. Penyebab injuri sekunder bisa sistemik atau intrakranial. Penyebab
sistemik adalah hipoksemia, hiperkapni, arterial hipotensi anemia, hipoglikemia,
hiponatremia, dan osmotic imbalance, hipertermia, sepsis, koagulopati, hipertensi.
Penyebab intrakranial adalah epidural/subdural hematom, kontusio/intraserebral
hematom, peningkatan ICP, edema serebral, vasospasme serebral, infeksi intrakranial,
epilepsi posttrauma.

2. TUJUAN
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.

3. RUANG LINGKUP
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin ICP yang adekuat

289
- Teknik neuro anestesi diharapkan mampu memfasilitasi operator dengan lapangan
operasi yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral blood flow
seoptimal mungkin

4. KEBIJAKAN
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin

5. PROSEDUR
i. Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi
umum seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari trauma/hematom. Riwayat operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital harus segera diperiksa, adakah tanda
hipotensi dan hipertensi, kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum,
dan koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
- Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat operasi

ii. Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking
- Induksi :
o Preoksigenasi dengan memberi O2 100 %, sampai tercapai saturasi 100%.
Kemudian Fentanyl 1-4 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15 mg/kg (i.v) merupakan
pilihan karena kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP minimal.
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O2 atau O2 – Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%.
o Lidokain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi
dan ⅟2 dosis obat diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar
mungkin yang masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :

290
o Harus mempunyai efek paling kecil terhadap autoregulasi serebral dan
kemampuan merespon CO2 . Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt
dapat menurunkan CBF, atau Sevofluran 0,5%-1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg
(saat pemasangan pin kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya menghasilkan intrakranial dinamik
yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien belum bangun, perdarahan
banyak saat manipulasi.

iii. Standar Monitor


- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur tekanan arteri invasif,
pemasangan CVP.

iv. Pasca operatif


- Komplikasi : Kejang, hipertensi, arritmia, neurogenic pulmonary edema, emboli
lemak, emboli udara, defisit neurologis, perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intracranial
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol 1000 iv, dan metamizol
2000 mg drip 15 gtt/mnt.

6. UNIT TERKAIT
Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi

7. DOKUMEN TERKAIT
Dokter spesialis Anestesiologi, dokter bedah saraf

291
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA OPERASI VP-SHUNT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
PADA PASIEN DENGAN HIDROSEFALUS

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/2

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. DEFINISI:
Hydrocephalus dapat terjadi secara kongenital atau didapat, penyebabnya kelainan
kongenital, neoplasma, peradangan, atau produksi yang berlebihan dari LCS.

2. TUJUAN:
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.
- Menjaga kestabilan fungsi respirasi dan kardiovaskuler.

3. RUANG LINGKUP

292
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin ICP yang adekuat
- Teknik neur anestesi diharapkan mampu memfasilitasi operator dengan lapangan
operasi yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral blood flow
seoptimal mungkin

4. KEBIJAKAN
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin, mempertahankan
CPP yang baik, relaksasi otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.

5. PROSEDUR
i. Prosedur Operasi
Termasuk ventriculoperitoneal shunt, ventriculoatrial shunt, ventriculopleural
shunt, ventriculojugular shunt, dan ventriculostomy. Yang paling sering adalah
ventriculoperitoneal shunt.
ii. Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi
umum seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, bradikardi, hipertensi). Adanya kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum,
dan koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
- Pemberian obat-obatan untuk cerebaral vasokostriksi (barbiturate), dan diuretic
(manitol, dan furosemid) sampai operasi dilakukan, untuk menurunkan ICP.
- Premedikasi dengan antiemetik.
iii. Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking
- Induksi :
o Adekuat anxiolisis preoperative di kamar operasi
o Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian Fentanyl 1-2 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25 mg/kg, atau etomidate 0,3
mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6-
0,8mg/kg i.v

293
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O2 atau O2 – Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%. HindaripenggunaanN2O.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi
dan ⅟2 dosis obat diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar
mungkin yang masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%, atau Desfluran 3-6%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg
(saat pemasangan pin kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya menghasilkan intrakranial dinamik
yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi
o Hemodinamik stabil, suhu > 350 C, reflex-reflek baik dapat dilakukan
ekstubasi.
iv. Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur tekanan arteri invasif,
pemasangan CVP.

v. Pasca operatif
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol 1000 iv, dan metamizol
2000 mg drip 15 gtt/mnt.

6. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi

7. UNIT TERKAIT:Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP Dr.Hasan Sadikin.

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NEUROANESTESI PADA PASIEN


HAJI ADAM MALIK MEDAN
PEDIATRIK

294
No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/4

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. DEFINISI:
Pediatrik bukan merupakan bentuk kecil dari orang dewasa. Terdapat fisiologi,
patologi, dan farmakologis yang berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai
cadangan fisiologis yang terbatas dan volume darah yang sedikit. Perkembangan SSP
pada bayi baru lahir belum lengkap, maturasi terjadi pada tahun pertama.

2. TUJUAN:
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi) pada pediatrik.
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.
- Menjaga kestabilan fungsi respirasi dan kardiovaskuler.

3. RUANG LINGKUP:
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin ICP yang adekuat
- Teknik neuro anestesi pada pediatrik diharapkan mampu memfasilitasi operator
dengan lapangan operasi yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan
Cerebral blood flow seoptimal mungkin.

4. KEBIJAKAN :
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin, mempertahankan
CPP yang baik, relaksasi otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.
a. PROSEDUR:
i. Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi
umum seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis.
- Pastikan infus terpasang dengan baik, aliran lancar.

295
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal akibat
penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum,
dan koagulasi, evaluasi adanya elektrolit imbalans, kadar glukosa darah.
- Pemeriksaan penunjang CT scan atau MRI.
- Pemberian premedikasi dengan antiemetik. Hindaripemberian sedatif.
- Persiapan darah untuk keperluan saat operasi dengan pemeriksaan crossmatch.
ii. Intraoperatif
- Pengunaan alas selimut penghangat.
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking
- Induksi :
o Pastikan akses infus lancar sebelum induksi
o Posisi kepala dan manajemen jalan nafas (terutama pada encephalocele yang
besar). “Netral Position” pada pasien cedera kepala.
o Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi untuk mengurangi sekresi, spasme
bronkus, dan reflex bradikardi.
o Preoksigenasi dan ventilasi, kemudian Fentanyl 3-5 μg/kg diberikan sebagi
analgetik.
o Pentotal 4-6 mg/kg, atau propofol 3 mg/kg sebagai hipnotik sedative.
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15 mg/kg atau rocuronium 1,2
mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O2 atau O2 – Isofluran
konsentrasi terendah 0,5%. HindaripenggunaanN2O.
o Lidocain 1 mg/kg untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi dan
obat diberikan 15 detik sebelum dilakukan intubasi.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar
mungkin yang masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25 mg/kg
atau propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg
(saat pemasangan pin kepala, insisi kulit, membuka tulang tengkorak)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya menghasilkan intrakranial dinamik
yang lebih stabil.
296
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Pastikan cairan adekuat dan hangat penggunaan RL (kebutuhan cairan pada
anak untuk 10 kg pertama 4 ml/kgBB, untuk 10 kg kedua 2 ml/kgBB, dan
selanjutnya 1 ml/kgBB).
Pastikan EBV pada pediatrik dan ganti perdarahan dengan cairan kristaloid 3x
jumlah perdarahan dan bila menggunakan cairan koloid jumlah sama dengan
perdarahannya.
Pada bayi-bayi prematur atau bayi baru lahir, perdarahan harus diganti dengan
pemberian darah.
 Monitor kadar gula darah (pada bayi kadar gula darah lebih rendah) tiap 1-2
jam sekali.
 Manitol : 0,25-0,5 gr/kg selama 20-30 menit, bila dikombinasi dengan
furosemid dosis 0,3-0,4 mg/kgBB (untuk menurunkan ICP).
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan
operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien belum bangun, perdarahan
banyak.

iii. Standar Monitor


- Stetoskop Prekordial, EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, temperature
probe.

iv. Pasca operatif


- Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intrakranial
- Penataksanaan nyeri : metamizol bolus iv 10 mg/kgBB, dan metamizol drip 15-20
mg/kgBB dalam cairan maintenance/ 8 jam.

5. UNIT TERKAIT: Dokter spesialis Anestesiologi,dokter bedah saraf


6. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi.

297
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT ANESTESI PADA KRANIOTOMI PADA PASIEN
HAJI ADAM MALIK MEDAN DENGAN KEHAMILAN

No. Dokumen
No. revisi Halaman
OT. 01.01/VI. 16/
…/2014
1 1/3

Ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Pusat


PANDUAN PELAYANAN Haji Adam Malik Medan
ANESTESI Tanggal Terbit
1 April 2014
DR.dr.Yusirwan,Sp.B, Sp.BA (K), MARS
NIP:196211221989031001

1. BATASAN: Operasi kraniotomi yang dilakukan pada pasien dengan kehamilan

2. TUJUAN:
- Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika
intrakranial (neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah timbulnya komplikasi.

3. RUANG LINGKUP:
- Memahami tipe, berat penyakit, dan lokasi tumor.
- Pasien mengalami relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin ICP yang adekuat
- Teknik neuro anestesi diharapkan mampu memfasilitasi operator dengan lapangan operasi
yang baik (tidak kembung) dan mempertahankan Cerebral blood flow seoptimal mungkin

4. KEBIJAKAN :
- Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal mungkin

298
5. PROSEDUR :
5.1.1. Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaan kondisi umum
seperti kesadaran, respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal akibat penekanan
lokal dari trauma/hematom. Riwayat operasi sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital harus segera diperiksa, adakah tanda hipotensi dan
hipertensi, kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP.
Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk sel darah, kimia serum, dan
koagulasi, EKG, CT scan atau MRI.
- Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat operasi
5.1.2. Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan ETT non kingking

- Induksi :
o Preoksigenasi dengan memberi O2 100 %, sampai tercapai saturasi 100%. Kemudian
Fentanyl 1-4 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15 mg/kg (i.v) merupakan pilihan
karena kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP minimal.
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi
terendah 0,5%.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi dan ⅟2
dosis obat diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking dengan ukuran sebesar mungkin yang
masih dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Harus mempunyai efek paling kecil terhadap autoregulasi serebral dan kemampuan
merespon CO2 . Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt sampai dosis total 20-25
mg/kg atau propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg (saat
pemasangan pin kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya menghasilkan intrakranial dinamik yang
lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% - tidak RL secara regular)

299
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada kondisi saat dilakukan operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien belum bangun, perdarahan banyak
saat manipulasi.
5.1.3. Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur tekanan arteri invasif, pemasangan
CVP.
5.1.4. Pasca operatif
- Komplikasi : Kejang, hipertensi, arritmia, neurogenic pulmonary edema, emboli lemak,
emboli udara, defisit neurologis, perdarahan, pembengkakan dan peningkatan tekanan
intracranial
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg
drip 15 gtt/mnt.

6. UNIT TERKAIT: Dokter spesialis Anestesiologi, dokter bedah saraf.


7. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi

300

You might also like