You are on page 1of 189

1|Hope

2|Hope

Hope
Copyright© Pujangga Tasikmalaya, 2018

Penulis:
Pipin Pirmansyah, Muhammad Idsan, Tista
Apryandani, dkk.
Penyelenggara:
Pujangga Tasikmalaya
PJ Event:
Salbiyah AT
Layout:
Lily Rosella
Desain Cover:
Lily Rosella
3|Hope

Daftar Isi
Juara
1. Pipin Pirmansyah
2. Muhammad Idsan
3. Tista Apryandani
Penulis Terpilih
4. Davit Kuntoro
5. Senja Larasati
6. Feti Nur Laily
7. Ananda Aprilia
8. Teguh S
9. Muh. Ichwan Aprilian
10. Atikah Nur Hidayati
11. Ina Widyaningsih
12. Firdan Fadlan Sidik
13. Ardhi Dwi Pranata
14. Sugeng Santoso
15. Seni Sumiati
16. Rizqi Amalia
17. Muhammad Erik Nurhidayat
18. Intan Nuraini
4|Hope

19. Risma R
20. Nurul Azizah
21. Muh. Ilham Ismail
22. Irzal Amin
23. Ani Nuryani
24. Umayati Khasanah
25. Rostan Yuniardi
26. Nurfaidah
27. Novy Dwy Safika
28. Nevia Ika Utami
29. Asyifa Nurul Qolbiah
30. Muhammad Rizik Fajri Tsani
31. Puspita Idola Pirsouw
32. Nur Aviva
33. Muthia Ipmasyari
34. Lukman Hakim
35. Lilis Nur Hafsoh
36. Kiki Alifah
37. Jayalin Ali
38. Inez Syawalytrie Favourita
39. Hilda Rahmawati
40. Diana Sari
5|Hope

41. Cici Elawati


42. Amril Sastra
43. Lusiane Benyamin
44. Hana Farhani Maulida
45. Zeyla Adillati
46. Ujang Ramlan Sopyian
47. Syifa Susilawati
48. Siti Humaero’
49. Nur Irdawana Nasution
50. Muhammad Nur Ikhwan
51. Latifah Ayu Kusuma
52. Ely Widayati
53. Elisabhet Mei Putri Mesuji
54. Latifah Yusri Nasution
55. Winda Khoirinnisa
56. Salma Sania
57. Nita Pujiasih
58. Esti Ade Saputri
59. Elisa Maharani
60. Ayu Erlinda
61. Rahayu Febriani
62. Santika
6|Hope

63. Rena Fitriani


64. Nasyatal Ula Hawa Hazuma
65. Meiby Yohannalisa
66. Ida Lalila
67. Eka Lestari Nurcahyani
68. Centia Pradevi
69. Utari Faradina Suhud
70. Rizal Fathurrahman
71. Kesya Kristina Natalina
72. Fendi Fabbima
73. Ana Nur Wahyuni
74. Aghnaita
75. Yeni Chan Niswa
76. Nuraisyah
77. Nur Vitasari Ningsih
78. Nur Imamah
79. Maria Ulfa
80. Muhammad Setyawan Wirapraja
81. Mira Yulia Putry
82. Raras Kusuma Sari
83. Rahmadsyah
84. Muhammad Salafudin Aryansyah
7|Hope

85. Haifa Humairah


86. Alvi Lailatil Qodriyatus Sholihah
87. Imam Solikin Dwi Laksono
88. Andi Wahda
89. Livia Ervita
90. Lina Susanti
91. Anju Eranti
92. Retno Palupi Miftahul Aniyah
93. Nurul Istiawati
94. Mutia Wulandari
95. Maftuhan
96. Lia Amalia
97. Elok Rosikhotul Fawazah
98. Edy Prastyo
99. Ulya Rohmatika
100.Didin Rahmatul Hasanah
8|Hope

Nyanyian Rindu Desaku

Pipin Pirmansyah

Masihkah embun pagi menetes di tanah


Tanah ibu pertiwi yang katanya subur gemah ripah lohjinawi?
Sambil tersenyum menyambut matahari
diriringi kicau burung menyanyikan lagu kenangan manis
dengan nada indah ditiup angin merdu ?
Masihkah hijaunya sawah menjadi penyejuk kalbu
dan petani memainkan cangkul meramu irama hingga
menjelang zuhur ?
Masihkah mojang desa menari menanam benih – benih di
sawah sambil tersenyum
senyum manis mengharap benih tumbuh subur ?
Sekian hari tak melihat itu
Sekian minggu tak saksikan itu
Sekian bulan tak buktikan itu
Sekian tahun tak ada lagi
9|Hope

Aku rindu manis desaku...


Rindu nyanyian petani
mendendangkan lagu harmoni
tak perlu basa-basi
lagu manis penuh inspirasi
Aku harap...
Jangan biarkan sawah yang hijau menjadi kering walau
dunia bergelut dengan globalisasi
Jangan hilangkan tempat yang cantik dan manis
walau kenangan dan nyanyian susah dinyanyikan lagi
10 | H o p e

Mati dalam Pelukanku


Muhammad Idsan

Masih terekam jelas rincian kenangan tiap incinya

Berdua memainkan peran cinta dengan irama peranannya

Menikmati lagu hujan yang memandikan tubuh dipenuhi kasih

Senyuman manismu menyambut tatapanku

Jemari lembutmu meraih tanganku tuk berputar

Di bawah kerelaan dan ketulusan

Dibasahi bulir-bulir bening kebahagiaan

Seperti rintikan yang membekas tak beranjak dari ingatan dan


tetap berpijak

Tampak terasa mimpi terkabulkan dalam fantasinya

Di ujung senja memandang jauh pada cakrabuana di tepi


danau

Serpihan-serpihan masa yang terlewatkan, terbang di balik


kabut

Berharap takkan pupus dan terkikis


11 | H o p e

Sayang, tanganku bukanlah pengabul doa

Bukan pula penerjemah mimpi dan keadaan

Kini kita berada di alam yang berbeda

Sesekali datanglah dalam mimpiku untuk memecahkan


kerinduan yang membeku ini

Terakhir yang kuingat dari petualangan hidup bersama

Engkau mati dalam pelukanku, sebelum kulingkarkan cincin


pernikahan

Datanglah kekasihku, kita menikah di batas yang terbatas

Bone, 11 Januari 2018


12 | H o p e

Harapan Si Miskin
Tista Apryandani

Tuhan perutku lapar pagi siang sore malam

Singkong harapanku kini mati digusur hama

Sawah tak ada mahalnya beras melejit tajam

Demam menyerang sakitku sudah kian lama

Badan kurus busung lapar jadi lukisan kemiskinan

Tanah tandus tersedia jadi kasur prihatin baringku

Jerit tangis “tolong hamba” biarkan hujan jadi kawan

Air mentah bukan masalah asalkan legakan hausku

Harap anak cucu datang menjenguk pintu ria kutatap

Pulanglah wahai keluarga aku butuh makanan saja

Biadab telantarkanku tega dikau anggap diriku lenyap

Puji Sang gubuk dikau setia melindungiku laksana raja


13 | H o p e

Atap bocor tetes hujan jadi santapan kecil tengah malam

Tak ada insan menemani tunggu aku mati baru kau hadir

Rintih menangis masa renta ini biarkan kurajut jadi anyam

Berdoa sampai wafat semoga kenyang di surga adalah takdir


14 | H o p e

Serumpun Doa yang Berpijar


Davit Kuntoro

Rintik hujan kemarin, kini menemuiku

Menyapa, lalu melambai kasih pada sekumpulan lampu


berpijar di taman

Riang. Aku duduk menerpa kebahagiaan itu

Datang dengan sapa di depan bola mataku

Barangkali aku ingin mengucap salam

Lantaran ingin aku bertasbih dan berdoa

Wahai pemberi kasih

Aku ingin memiliki cinta dari-Mu

Tentang Engkau penguasa langit

Dan penjelma kabut putoh di setiap pagi

Doa. Aku yakin sebait kata dariku


15 | H o p e

Akan menemui-Mu kelak


16 | H o p e

Perempuan Segelas Harapan


Senja Larasati

Di sudut kota ini kau ajari aku meracik teh melati


Di sebuah kedai kopi, kau mulai mengenalkan: perjuangan
Membaca, menulis, bergerak, berjuang dan melawan
Di kota ini, kau ajarkan aku bagaimana mengarahkan kemudi

Maka, Aku perempuan dengan segera–bergegas menjemput


harapan

Di kota ini kau rayu aku untuk memperkokoh kekuatan


Di sebuah kedai kopi kau kenalkan aku bagaimana mengatur
strategi
Kau mengajarkanku untuk tetap berhati-hati
Separuh kawan adalah lawan, kau tegaskan berulang kali

Kini aku semakin mahir mengaduk teh melati


Formula-formula rahasia telah kupelajari, hanya untuk
mencocokkan rasa
17 | H o p e

Di kota ini aku berani menawarkan: yang telah kupelajari

Aku perempuan dengan semangat berapi-api, berlari


menjemput harapan

Di sudut kota ini kau tawarkan lagi bagaimana meracik teh


melati
Tetapi
dengan air mataku sendiri
Aku perempuan, haruskah tetap menggenggam segelas
harapan?

Senja telah bermuara


Mendung telah tiba
Air mata setia mengalir
Biarkan aku tetap meneguk hingga bulir-bulir air tak sampai
lagi di pipi
Maka, Aku perempuan haruskah tetap bersahaja dalam
segelas harapan?

Kini, biarkan kuteguk teh melati berkali-kali


18 | H o p e

Sesungguhnya,
Aku Perempuan, tetap syahdu menaruh harapan
Tentunya–dalam segelas teh melati
19 | H o p e

Mekarlah Bunga
Feti Nur Laily

Bunga di kolam taman


Elokmu jadi jutawan
Sekali lagi kau jadi tawanan
Tangan-tangan bathil tak bertuan

Tetaplah tumbuh bunga


Mekarlah diantara kolam keruh itu
Tepis angin lalu
Dengan wujud nyatamu

Kuncup pun mulai muncul


Janganlah engkau pudar
Diterpa angin riakkan kolam
Apalagi mati

Bukankah engkau harapan kami


20 | H o p e

Meski tangan-tangan bathil itu merenggutmu


Untuk kesekian kali
21 | H o p e

Pukul 00:00
Ananda Aprilia

Pukul 00:00, RaeGa


Betapa aku ingin seperti hujan yang menceritakan pada siut
angin tumbang
;bahwa pada puisi ini kuselipkan kisah dari kota yang
menggigil kala kau datang

RaeGa,
Kulihat langit pernah begitu lapang dikepung luka-luka yang
menganga
Bait-bait metafora berserakan di marka jalan, stagnan
menyaksikan kita bersawala
_dan tertawa
Matamu terungku yang rebah di ingatanku; tak pelak riuh
berseru
bahwa pada dinginnya kota dan katamu
_aku dikepung rindu

Kau tahu, RaeGa, kotamu teramat sadis


22 | H o p e

Tak diberinya aku kesempatan untuk sekedar mampir ke


permukaan jendelamu sebagai gerimis
Diterkamnya batas paragraf dengan tragis—meyisakan
guratan tetes serupa tangis
RaeGa, betapa aku ingin seperti hujan yang mampu
menyentuhmu
_sekalipun di ujung jalan
Aku ingin seperti hujan yang basah di keningmu; guruh di
telingamu
_ meski kau maki berulang kali
sebagai jawaban atas dingin dan inginmu untuk kembali

Kau mawar di tubir tebing, RaeGa


_untuk meraihmu aku membutuhkan ribuan nyawa
Biar berkalang tanah pada akhirnya kekalahan telak
menghantamku juga
Di puisi terakhir ini, kumakamkan segala sedih—kubawa
serta keikhlasan mengantarmu pergi

Aku mencintaimu, RaeGa


23 | H o p e

bukan kotamu yang membuat kita berjarak tahun cahaya


;sebab pergimu paling jauh adalah saat kamu jatuh cinta pada
yang bukan aku
24 | H o p e

Karena Harapan Itu, Kita Bercumbu dalam Rindu


Teguh Shiddiq

Elok nian, meniduri batin di sudut malam yang dingin,


menunggu pagi seraya berpuisi ria
Akh, aku merayakan kepedihan dengan pesta air mata seorang
diri, ditemani lilin putih kecil
Menerangi pasir gelap yang kupijak, mendayu parau suaraku
dipecundangi seekor lalat tua
Di sekelilingku ribuan pungguk mendendangkan lagu cinta,
meninabobokan aku sepanjang malam
Katanya, kisah pungguk merindukan rembulan sedang terjadi
padaku, mereka bersorak gembira
Melemparkan jasadku ke lautan lepas, memanggil elang
beramai-ramai menggigit kepalaku
Oh, kali ini mereka berhasil mengoyak seluruh isi otakku
Mereka bersumpah tak akan berhenti mengulitiku, sebelum
aku berhenti menyebut namamu
Mereka mengutukku untuk segera melepas rohmu yang abadi
bersemayam di jasadku,
Perih!
Koyak!
25 | H o p e

Dan perlahan tetapi pasti,


Lidahku kelu mengeja namamu,
Samar-samar nostalgia menjarah sejarah, tanpa ampun
Memaksa namamu muncul dan tenggelam
Entah masih ada harapan pulih batin ini?
Sulit bergerak, jantungku retak, di titik terakhir
Meniti peraduan
Bisakah untuk terakhir kalinya engkau datang,

Lalu melafalkan kalimat sakti penuh arti nan menyejukkan


Yang sering kita ucapkan dulu
Karena harapan itu, kita bercumbu dalam rindu
Hingga kita menua,
Aceh Sealatan, 31 Januari 2018
26 | H o p e

Rangkulan Serpihan Asa


Muh.Ichwan Aprilian

Di bawah payung langit hitam kumenanti sebuah harapan


Tak urung jua secercah cahaya menembus kabut gelap
Terpaku, meratapi nasib dalam rangkulan serpihan asa
Yang lama kelamaan bisa saja rapuh, retak, pecah dan
akhirnya tersungkur

Masih mendidih semangat dalam raga


Namun tak ada tanda yang dapat membangkitkan jiwa
Kapan tirai pahit ini akan tersingkap
Untuk dapat kulihat bahwa namaku terdaftar di atas
panggung pementasan
Tidak sekadar menjerit dan berteriak di belakang layar

Masa depan indah, masih meragu dalam benak


Akankah roda waktu membawaku ke sana?
Diperuntukkan untukku juga kah keindahan?
Aku dan telapak kakiku masih bertanya
27 | H o p e

Seberapa panjang lagi jarak yang harus kutempuh?


Tak bisakah kulipat?
Seberapa lama lagi gelap yang harus menelanku di sini?
Tak bisakah dipersingkat?
Tuntun aku dalam lintasanku
Agar aku tak kehilangan arah
28 | H o p e

Secarik Legalisasi
Atikah Nur Hidayati

Kepada birokrat berdasi


Tolong cermati tentang agitasi!
Walau Anda harus merisik aktualisasi
Anda tak perlu menyalahi asasi

Kami harap secarik legalisasi


dimana nurani dan aksi berkolaborasi,
mendidihkan larutan afeksi
hingga terkemasi pasifikasi

Kami yang tak memiliki dasi


berdikari merajut antisipasi
dari dunia yang semakin terkontaminasi
untuk sempurnakan hakikat privasi
29 | H o p e

Asa Tentang Pelangi


Ina Widyaningsih

Mendung murung bergelut kabut


Mentari sembunyi sendiri dari pagi tadi
Langkah mengarah resah tak bergairah
Tapi kaki tak berhenti menapaki hari
Jalanan seakan enggan tuk berteman
Berliku-liku berbatu-batu terpaku kaku
Jejak menanjak mengajak tuk beranjak
Pergi berlari mencari jati diri
Jiwa berkata masanya kan datang jua
Rintik-rintik mengusik dan menggelitik
Basah berpasrah walau resah tak berpindah
Angin yakin memimpin segala ingin

Asa menggelora, membara di dalam jiwa


Semangat tak pernah terlambat tuk tertambat
Air mengalir mengiringi rintik-rintik terhenti
30 | H o p e

Hujan reda bersama awan rupawan


31 | H o p e

Berjalan di Atas Harapan


Firdan Fadlan Sidik

Aku berjalan di atas jalan setapak


Menyusuri petak-petak sawah
Dan petani yang bercokol di atas jerami
Menggebrukkan seikat padi yang sudah masak

Aku kembali berjalan menuju hutan


Melihat-lihat pohon yang rindang
Dan fauna alam yang ada
Dengan ragam flora yang kaya

Aku lanjutkan perjalananku menuju sungai


Yang kejernihan airnya tak perlu kau tanyakan
Ikan tersenyum berseri tinggal di sungai
Dan nelayan hidup damai dengan alam mereka

Aku berjalan mengitari pesawahan, hutan, dan sungai


32 | H o p e

Berharap keasrian ini tak hanya tinggal kenangan


Berharap kearifan lokal ini terjaga
Sampai anak cucuku nanti bisa merasakannya
33 | H o p e

Asa Negeri Garuda


Ardhi Dwi Pranata

Kronik 2017 terjejak sendu


Getir kisah mewarnai 2017
Debu jalanan berpedar riang
Tiang tepi jalan tak luput dari sorotan

Hingar-bingar peralihan tahun teracik sejuta asa


Tiap nafas jiwa negeri garuda meracik asa
Simpul racikan asa menguatkan negeri garuda
2018 momentum negeri garuda merajut asa jiwanya

Siluet senja merasuk sukma negeri garuda


Persatuan menjadi penisilin negeri garuda
Gotong royong perekat persatuan

Isu 2017 menjadi cawang 2018


Diakhiri atau dituntaskan
34 | H o p e

Semoga 2018 negeri garuda bebas dari prahara


35 | H o p e

Gilimanuk (Sajak dalam Penantian)


Sugeng Santoso

(Berdiri di seberang timur, menantikan seorang dari


seberang.)

Sudah sewindu Nyoman tiada kembali


Merantau di negeri seberang demi Putu Suari
Pernikahan yang diangan tak kunjung terjadi
Hingga Suari bukan gadis lagi
Pengharapannya tiada bisa dihenti
Menunggu pujaan segera menghampiri

Setiap hari terus memandangi feri berlalulalang


Tapi feri pemberi harapan semu
Ferri tak berlabuh membawa kasihnya
Sementara masih kukuh dalam penantian
Rindu semakin ganas mencakar hatinya
36 | H o p e

Bli… mulih, Bli. Mulih...


37 | H o p e

Pupuk Kehidupan
Seni S.

semarak kusuma yang mekar


ialah buah dari perawatan nan sabar
di bawah atap surya yang merekah
dan atmosfer nan terlampau mewah

serupa itu pula haluan sebenih hasrat


yang pasti dirajut dengan saksama
tuk menciptakan buah kepuasan
pada sejauh ranting, masa keabadian

namun tabiat asa yang sahaja


hanyalah menjadi bakal kebahagiaan kita kelak
saat bermukim di alam baka, kayangan
rumah yang diberikan oleh Tuhan

semua itu akan kita dapati secara cuma


38 | H o p e

kala jadi memupuk harapan di lahan Tuhan


bukan menyemai harapan di tanah cucu Adam
karena ia sama derajat sebagai ciptaanNya

pun asalkan tak berladang kala meregang jiwa


apalagi bersegera menuainya kala terjadi kiamat
karena saat itu tak akan ada air yang menyuburkan
untuk menumbuhkan tanaman yang bisa mekar

karena destinasi itu tanaman keberuntungan


dan angan-angan itu pupuk kehidupan
yang tak akan bersemi melalui kobaran api
karena ia bukanlah buah dari kenistaan
39 | H o p e

Benih Tekad
Rizqi Amalia

Debur ilusi
Genggam desir kalutkan mimpi
Sekelumit resah basuhi sekujur tabah
Timang gundah di ayunan lelah

Sembari fajar merajut harap


Dari sehelai benang napas pemenang
Basah peluh lirih mendekap
Sebelum petang kembali datang, segeralah bertandang

Tuk menabur benih tekad di sebidang cita


Tak cukup subur tanpa doa ibunda
Hingga semesta menguras seluruh raga
Menelanjangi nyawa hingga kerangka
Selagi niat mengakar patuh
Berlalu waktu kobar tetap utuh
40 | H o p e

Asa yang Digantung di Bintang


Muhammad Erik Nurhidayat

Lengan ini masih terus aku gulung


Walau asa-asa tipis melengkung
Di ladang ubun-ubun kepala
Yang gersang dan kering menimbun maya

Hanya sebuah asa yang masih menggantung di sebuh bintang


paling terang
Di atas langit
Terang cahayanya menyala dari seribu meteor berjatuhan ke
bumi manusia
Dengan irama yang berjungkat-jungkit
Hanya satu dikaulah bintang harapan

Biduk telah memberi kode padaku


Jangan hanya mendagu lulu
Dalam buaian masa
Bertahan dan terus berdiri bara
41 | H o p e
42 | H o p e

Kutitipkan Doa Untuk Ibu


Intan Nuraini

Namaku terhampar di dedaunan kering


Senyum yang lama terpancar melambai
Kini sekejam hilang melayang dari pandangan
Barangkali hitam kelam menepikan senyum pada dinding
kematian

Tuhan. Engkau penentu kehidupan


Aku tiada kuasa melihat atau menemukan
Senyum yang hilang

Dari balik bola mataku yang berbinar


Aku titipkan doa pada sajadah yang melingkar
Setiap malam, aku renungkan
Berharap Engkau mengabulkan

Tuhan. Engkau dapat membolak balikkan hati


43 | H o p e

Hati yang kian rapuh


Hati yang kian mati
Bahkan sudah usam dimakan waktu

Dalam sujud tengah malam


Aku bertasbih melingkari dua waktu yang hampir bertemu
Ijinkan aku untuk menangis di pangkuanmu
Barangkali, lara yang aku timpa
Akan hilang menjelma putih senyum dari bibir ibuku
44 | H o p e

Asa Rindu Mengangkasa


Risma R. Istiqomah

Kepada senja memenuhi asa menjadi pilu


Pada sebuah fajar menaruhkan aliran asa semesta kaku
Nyawa insanku menua sekarat berbidang harap memaku
Berdiri untuk cahaya menyerpakkan flake bola matamu
Teruntuk asa tak pernah berhenti dalam nadi tuaku

Pencakar mega menggerogot ozon


Masa mati digondol harap penuh memohon
Nyawa bukan lagi berdiri tuk abdikan jati diri
Kala aku bersama senja memenuhi renungan hati

Kampungmu pada seguncang badai harap


Kau kian menghilangkan jejak nyawa pengap
Harap masa ini bak mega-mega
Hiasan hati dalam hidup hanya fana
45 | H o p e

Senja beradu bersama fajar


Jantungku bagai seperempat darah menghajar
Asaku padamu mengangkasa berpijar
Kau gadai harap hadapi rasa yang membesar

Teruntuk nyawa fajar cahaya penuh asa


Ia telah dibawa mengangkasa
Kembalilah kasih jiwa yang sungguh berada
Nantianku titik temu dari rindu yang dibawa
46 | H o p e

Berharap Cincin di Jari Manisku


Nurul Azizah

Menari pena ini di atas kertas yang tak ternoda


Kubiarkan air mata tumpah menjadi tintanya
Senyum terpaksa menungging di dalam jiwa yang
menanggung sayatan luka
Hingga aku bukanlah aku

Karangan penantian terus memenuhi lembaran berdebu dan


kian usang
Namun hati ini masih menunggumu
Sesekali rapuh, lelah dan resah
Inilah aku yang bertahan untukmu

Senja bersanding dengan danau, tempat aku masih setia


Bangku taman di bawah pohon rindang yang tahu tentang
perasaanku
Kehadiranmu akan terus un anti untuk memecahkan sangkar
rindu ini
Berharap sebuah cincin yang akan pasangkan di jari manisku
47 | H o p e

Perempuan Dalam Sarung


Muh. Ilham Ismail

Di sekejur tubuh di selimuti banyak nasib


Meliliti hingga ke jantung
Membekas, basah dan sayu
Di dalam sarung banyak yang bisa di lakukan;
Menangis, tertawa, menangisi yang di tertawakan dan tertawa
yang di tangisi
Perempuanku engaku sedang asik bermain di dalam sana
Jangan kau lupa untuk pulang;
pulanglah air mata tak bisa di bendung,
pulanglah luka tak bisaku pikul sendiri.
Engkau dan tubuhmu yang mungil
Masihkah kau ingin lama di dalam sana melempar gelisah?
Di kala ada yang lebih asik di luar,
di kaki-kaki senja,
mentap kosong ke ujung telaga
Berteriak di kala hujan,
48 | H o p e

bergaduh dalam sunyi,


diam dalam keramaian,
Kemari biar Aku yang memasangkan sarung dengan benar.
49 | H o p e

Kekasih Masih Ada Kereta


Irzal Amin

Kekasih, masih ada kereta tempat berkirim surat cinta yang


mengisahkan kau dengan kutuk abadi
Menebar rindu laut yang purba dengan anak resah yang setia
menghempas pada ibu yang lengang
Hanya daun menunggu dengan resah kemarau, pada jejakmu
yang selalu bersemu
Pada kereta yang membawa namanama dalam gerbong sepi di
rel membeku
Ada isak di ujung stasiun, tempat aku menitipkan wajahmu
supaya hilang jarak antara kau dan aku yang diamuk kesumat
sampai di ujung rel
Dan aku tersesat pada jejak basah hujan terakhir yang masih
menyisakan diri

Kekasih, masih ada kereta tempat memaafkan aku tak


membalas suratmu yang sarat dendam
Aku masih menunggumu lewat membawa secangkir kantuk
yang bersama kita cecap ketika lelah bermain mimpi
Akan kusimpan mozaik yang tak pernah utuh menceritakan
kisahkisah yang terus menjadi tanya
50 | H o p e

Tentang kau, aku dan kita yang masih saja tak menemukan
tempat mengikrarkan jejak merpati yang tak lelah mengukur-
ukur matahari
Bila tiba di stasiun terakhir, dengan mudah kita saling
menggenggam bara untuk dilabuhkan pada kezaliman bulan
yang memanjangkan diri
Aku, kekasihmu yang abadi dalam memoar yang tak pernah
kau catat di lembar rindumu yang sarat
Kau, adalah lembar yang kukirim dari tapal perjjanjian kita,
nun jauh dari lembahlembah yang lengang
Dimana kita pernah tersesat dalam mencari rindu yang salah
alamat kau kirim
Dan aku melapuk dalam hujan yang memberi tanda dengan
rintiknya yang perih di sepanjang jalan kenang kau dalam
kenangan
Aku menunggu kereta lewat dengan harapan kau ada di salah
satu gerbonggerbong sepi
51 | H o p e

Kerinduan Ayah Bunda


Ani Nuryani

Terdiamku di hamparan sajadah


Sepertiga malam tengadahkan cita dan asa
Biji mata terasa berat oleh embun penyesalan
Tuhan, ampunkan segala khilaf daku yang aniaya

Terbayangku pada ayah dan bunda terkasih


Jerih payah upayakan segala apa yang kuingin
Tarsadarku dalam sujud malam ini
Bersimpuh malu meratapi ketidakberdayaan diri

Tak lagi ingin kurepotkan ayah bunda


Wujudkan harap tuk berpijak ke tanah haram
Senyum kulihat ayah bunda dibalik kain ihram
Ayah bunda bahagia, itulah satu inginku

Labbaikallahumma Labbaik,
52 | H o p e

Lantunan doa iringi ayah bunda ke tanah suci


Tiada apapun yang kuharap, hanya ingin wujudkan
kerinduan yang terkasih
Ayah bunda tunaikan haji, itulah harapan yang selalu
kuyakini
53 | H o p e

Kamuflase Fatamorgana
Umayati Khasanah

Desisan angin mengusik gamang dalam kesunyian


Tatkala lilin hampir padam terseret bersama kehampaan
Berombak, mengoyak sebuah keyakinan yang dulu membatu
pualam
Barangkali, kokoh tangan masih sanggup meraup harapan
Menangkupnya dalam sebungkus kepal genggaman

Remang bayangan itu tersihir dalam kamuflase fatamorgana


Menambat lautan tak bertepi pada bibir jurang kepulan asa
Menggaungkan impian yang berpantul pada sosok imaji
Tinggal selangkah, aku patah atau hancur karena tak sempat
purna

Lilin itu aku hidupkan dengan segenap roh sisa nyala


Ia berandaikan harapan pada dasar jurang gelap gulita
Setitik pelita, namun terang bagi mayapada
54 | H o p e

Celengan Mimpi
Rostan Yuniardi

Serdadu belia berlarian Dari kotak-kotak sawah, Hilir sungai


hingga Sudut pesisir sekalipun,
Mereka Lahir dari Rahim kandung Pertiwi sebagai Tunas-
tunas Muda keniscayaan
Tatih-tatih langkah mungilnya menjadi bibit, bukti begitu
Fajar Tapak bangsa kita,
Kader kader alam raya akan selalu berbuah jiwa membaja
batin membesi
Anakku, kau menjelma Teks Yang tajam, Rudal tanpa kendali,
Ombak pasang Berbahaya.

Otopsi isi kepala maka kau temukan Asa membara,


Pada sudut beranda, jemputlah doa-doa ibu yang segar mekar
berbunga
Disana angin akan menjatuhkan serbuk sari teladan di
permukaan dinding putik
Agar kelak kau tak buta hati serta sabda-sabda Tuhan
teduhkan setiap fase Jalanmu
Di waktu yang sama, telah bertengger mesra kupu-kupu
kepak-kepakkan sayap kejayaan
55 | H o p e

Ada sedikit ruang di dalam dada mungilmu, disanalah


sedalam-dalamnya Tekad berpondasi,
Sekarang ganti baju lalu sarapan pagi, kemudian keluarlah
mengisi Celengan mimpi
Barangkali Isi celengan itu dihimpit tangkai Di balik daun
Pohon tertinggi maka panjatlah
Barangkali mereka menyelinap diantara sela-sela pusar
lumpur terdalam maka galilah
Atau barangkali tersegel di jeda bebatuan karang paling
tenang maka selamilah
Anakku, berjanjilah kelak Kau masih Pandawa kokoh getarkan
instana.
56 | H o p e

Keraguan Cinta
Nurfaidah

Apakah cinta akan hilang dari pangkuan hati?


Lantaran ragu menjadi penimbang rasa
Bukan cinta yang kupertanyakan
Tapi hati yang memberikan keindahan itu kujadikan sebabnya

Harapku sama cinta yang diratapi


Selalu terselip sirat bahagia dalam suratan
Adakah hati salah menerjemahkan?
Atas rajut benang asa dan rasa yang tersulam

Dunia terbalik menghujam kenyataan


Atas nama cinta yang tak tulus itulah tersangkanya
Hati yang merangkul nasib
Mengharap balasan yang teramat berarti

Seperti pantulan yang tak berdusta


57 | H o p e

Menguak mana yang sebenarnya cinta


Bukan sekadar mulut sebagai pemanis kata
Tapi ikrar sakral yang patut membuktikan

Kubuka topeng dari wajah, mungkinkah ini aku?


Kuberjalan dari sekian kerikil, mungkinkah aku tidak
mengeluh?
Kuperlihatkan cinta ini kepadamu
Tetap saja harapanku masih meragu atas perlakuanmu
58 | H o p e

Yang Tercantum di Langit


Novy Dwy Safika

Merebahkan letih di atas rerumput sore


Menebak-nebak apa di balik birunya angkasa
Aku ingin menyentuhnya
Mahamegah indah tercurah sejauh juluran mata
Aku mengagumi langit itu
Yang menyelinapkan secercah pengharapan di saku celananya
Tentang mimpiku dan segenggam batu intan
Tempatku membela segala pisau mengiris
Dalam bentang kepercayaan
Sebongkah doa yang menerbitkan bongkah-bongkah
berikutnya
Menarik cleretan yang mengkilau di pelupuk polosku
Aku kan berjuang ...
Demi sang cita menawan
Menjemput kelepakan kusuma yang runtuh dari awan
Sergah menengadah sebumi cahya temaram
59 | H o p e

Dan mentari pun memapah jingga untuk pulang ke peraduan


Bergegas, berlari, bahkan tanpa pamit pada ilalang senja
Ia pergi, dan ia indah
Aku pun berkeling kepada hilangnya biru dan oranye
Bahwa harapan tetaplah harapan
Yang kan masih bertengger walau gelap bertandang
Ia di puncak bukit, menunggu tangan ini menjerit
Menjenggala memetik yang tercantum di langit
Hingga tautan indah pun bertahta di kepalan jemari dahaga
Dan impianku pun tertera
Menjadi yang nyata ...
60 | H o p e

Jejak Hijrahku
Nevia Ika Utami

Sekian lama diam ini menyeretku dalam kegamangan


Andai mereka cukup tahu, tak mudah dalam berbenah
Melangkah pergi menuju suatu perubahan

Aku dan jejak hijrahku


Berharap tetap meranggas, menyemai dan tetap menyerbak
Menelisik sisi yang tak pernah terjamah
Melebarkan sayap, arungi si anggun cakrawala

Aku dan jejak hijrahku


Beranjak dewasa, menjajal berbagai macam peran
Terampil elok dalam mahakarya sandiwara
Berbelantara kata bersenandung makna
Cukup aku dan Tuhanku yang tahu
Tak perlu kau campuri urusanku
61 | H o p e

Aku dan jejak hijrahku


Layaknya batu yang selalu tercumbu arus
Mengikut atau menetap itu pilihanku
Ketahuilah, wanita akhir zaman adalah gelarku

Maka, istiqamahkan aku dalam jalan-Mu


Yaa Rabbku...
62 | H o p e

Harapan yang Sirna


Asyifa Nurul Qalbiah

Di saat mata mulai tak sanggup menahan hasrat


Kutermenung di pagi buta yang diselimuti rasa kantuk
Menatap langit yang masih berhias kabut
Membayangkan suatu hal yang terlukiskan oleh selaksa
kesunyian
Membuat air mata menetes, menyimpulkan kekesalan –
belum tersampaikan.

Adalah benar seruan jangkrik itu memecahkan suasana sepi


Membentuk khayal sebuah sketsa
Berlampirkan sebuah doa yang senantiasa merasuki getaran
lubuh hati.

Jantung berdebar saat benak mulai terasa pecah berkeping


Kala memikirkan sesuatu yang masih membingungkan
; Mimpi, kenangan juga cinta yang telah sirna ditelan waktu.
Meski kutahu perputaran waktu tak dapat kupengaruhi
63 | H o p e

Walaupun begitu, masa lalu yang penuh sensasi kini menjadi


sebuah misteri
Lubuh hati menangis meratap kgerbong kosong berupa
kenyataan
Yang suatu saat kau isi hanya dengan berupa anganmu
Sebab perbuatanmu dahulu di batas sadarku.
64 | H o p e

Harapan
Muhammad Rizik Fajri Tsani

Angin datang tak selamanya bersangkar


Ia pergi membawa sisa ingatan yang semakin memudar
Jika hari berganti, Ada kisah lama yang terpenggal
Tahun baru pun datang menggiring ke dimensi samar

Tirai pagi terbit mengerucut di ujung udara


Karena warna langit berganti menguasai mega
Ialah pusat yang suatu saat akan terlintas dalam benak
biasnya
Pertanda insan berputar seperti roda

Esok adalah kantung harapan yang baru saja dicemaskan


Meski kau tunggu senja di penantian, waktu tetap berjalan
Keabsahannya tak terjamah mimpi semalaman
Juga tiada mampu ditebak oleh khayalan
65 | H o p e

Aku bersimpuh di atas perayaan


Melewati katastrofa lalu, dengan beribu ampunan
Membuka lembaran gapai harapan kemaslahatan
Menuju cinta Ilahi di lain kesempatan
66 | H o p e

Harapan Bocah Penyemir Sepatu


Puspita Idola Pirsouw

Duniaku bukan nirwana hanya halte tua


Bahkan di depan debu aku menghamba
Katanya tiap awal tahun surga terbuka
Mengizinkan asa sentuh bumbung angkasa
Apa boleh aku yang hina ini mendamba
Sungguh yang kuharap bukanlah harta
Sebab nafas pemberian Maha Kuasa
Jauh lebih berharga

Maaf Tuhan kali ini aku lancang menyembah


Meminta sesuatu tak pantas atas nama gundah
Kalau boleh rezekiku bulan ini diitambah
Bukannya tak tahu bersyukur menggerutu hidup
Aku punya alasan yang mana susah dijadikan redup
Ambil separuh nyawa yang terhubung pada jantung
Atau tukar saja dengan jiwaku yang bergelantung
Asal harapku Tuhan jadikan terkabul melengkung

Tuhan Maha Tahu hari ulang tahun ibuku hampir dekat


Belum pernah kuberi ibu hadiah dengan pita terikat
Sekali saja seumur hidup hasil jerih ingin aku memberi
Sesuatu yang indah tanda tulus cinta dari hati
Tuk wanita yang meski dilumat keriput hari
Tetap selalu kuanggap sebagai bidadari
67 | H o p e

Hanya itu harapanku Tuhan Maha Pemberi


Selain itu tak ada lagi
68 | H o p e

Puzzel Harapan
Nur Aviva

Di antara kolaborasi mimpi, senandung elegi berdentang


Meski nampak sekuel akumulasi rentang
Alih-alih saling menyisihkan antariksa kumbang
Kandas demi bertatap selaksa ruang

Alangkah lalai laskar parvenu milik hikayat


Satu, dua ... lampion terbang merekayasa urat
Tentang separuh tubuh nan berpeluh karat
Hendak menanti jajal, perkara dendam kesumat

Kini, jiwa berharap nyawa tertinggal,


hati mengkaji naluri handal,
pun akal memohon seperkian paradigma terjal....
Seolah diri, rumit untuk diramal

Konon, Tuhan akan memilah ikhtisar angan


69 | H o p e

Memutar kembali neologisme sepadan


Barangkali, satu persatu puzzel mampu terpecahkan
70 | H o p e

Rona Delusi
Muthia Ipmasyari

Lima roda-roda bergemuruh dalam sengatan mentari


Menggerakkan bias bianglala memantulkan warna penuh
ilusi
Decitan hati berulang kali mengoyak lembaran mimpi
Entah sengaja menanti, atau hendak pergi

Kota-kota semakin tua, penuh fenomena


begitu juga ayah bunda
Angan semakin menjadi, entah kapan terealisasi
Aku belum bisa lagi

Diantara kepul ombak padang estuaria aku berkata


Akan berguna bagi negeri seindah nirwana cakrawala
Membanggakan kedua orang tua
Bukan hanya lewat lentikan manis penuh makna
Atau bualan semanis rupa Veela
71 | H o p e

Hari ini pasti


Tekadku kembali
Untuk membelikan sekantung teh
Juga serambi sebagai tempat meminumnya nanti
72 | H o p e

Pancing
Lukman Hakim

Pada aliran doa-doa


Aku lemparkan pengharapan; ikan-ikan
kabulkan permintaan

Gelembung-gelembung bertasbih, mengajarkan pelampung


istiqamah akan wiridan

Sebatang joran menunduk, melafalkan kesabaran


Tentang letihnya penantian
73 | H o p e

Lingkar Karya
Lilis Nur Hafsoh

Ketika sebuah titik tunas menjadi bakal nyiur


Dan sebuah titik yang membentuk garis jati diri
Dalam lingkar bangsa tempat nyiur tumbuh, disitulah titik
tunas berkarya
Terbentuk bentangan garis jati diri yang kongruen dengan
garis lingkar bangsa
Berkarya tanpa lupa, dengan tanah titik koordinat
Yang menjadi titik pusat asal sebuah lingakaran
Lingkaran yang berkata menuai kata harapan setiap
komponen
Yang bertitik pusatkan tanah kelahiran
Yang berjari-jarikan aspirasi kreatif
Yang berbusur rasa nasionalisme
Yang bertembereng kepedulian
Itulah pemuda pemudi variable X dan Y
Yang dicari dalam rumus peluang harapan bangsa
Dipundaknyalah, harapanku, kita, kami, dan bangsa ini
74 | H o p e

Wahai! Pemenuh harapan peluang majunya bangsa


Sekarang dan masa depan adalah nilai phi dan jari-jari
Yang dapat kau bentuk dalam keliling dan luas
Pandanglah bangsa ini, dengan rumus keliling lingkar bangsa
Luaskan cita mu, seluas dataran lingkar bangsa
Aku harap,
Kami harap,
Bangsa pun harap kau menjadi nilai peluang dalam harapan
bangsa
75 | H o p e

Meluncurkan Harapan
Kiki Alifah

Malam itu tulang rusukku terbalut hawa dingin


Udara hangat tiba-tiba mengalihkan konsentrasi
Keputusan akan ku ambil saat ini
Tangan menengadah, kepala menunduk ke bawah

Setumpuk harapan ku bawa di depan-Nya


Bibir berbisik lirih mengadu kegelisahan
Seberkas sinar muncul dalam genggaman
Seakan meronta agar segera diluncurkan

Ku tak mau menjadi matahari


Yang hanya bersinar seri setiap pagi hari
Ku tak mau menjadi bulan
Yang hanya menemani di tengah kesunyian

Seluruh alam telah mendengarku


76 | H o p e

Sekarang akan ku luncurkan harapan


Dengan semangat yang ku kobarkan
Membuat dua bintang selalu dihiasi senyuman
77 | H o p e

Mendayung Asa, Mewujudkan Harapan


Jayalin Ali

Rinai embun pagi laksa menelanjangiku dalam angan


Kala album jiwa terbang mengangkasa untuk melumat impian
Dermaga hati menyeruak asa dalam dimensi keindahan
Tiada lain untuk mendayung asa menjadi realitas kehidupan.

Harapan terus membentang dalam dada


Menyusuri ronggo-rongga sanubari dalam jiwa
Mengoyak cobaan yang ingin membuncahkan buah asa
Menggemai lantunan syair yang kupanjatkan dalam doa
Karena aku sadar usaha tanpa doa hanyalah angan belaka
Sebab semua terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Di sudut malam kutunggu seniman alam melukis keindahan


Kala tawakkal sedang berperan untuk merajut harapan
Derai hujan kian membingkai asa dalam jiwa
Di saat impian mendekapku dalam hangatnya buah asa
78 | H o p e

Cakrawala hati terpapar pelangi yang begitu sempurna


Dan kini aku bersanding asa dan bertahta cakrawala
Dalam dimensi keberhasilan usaha dan doa
Pada akhirnya aku bertabur harapan di luasnya samudera.
79 | H o p e

Sepenggal Asa
Inez Syawalytrie Favourita

Telah kubuka prolog hidupku…


Mengawali laku, dengan selangkah…
Pantai kehidupan mulai kujelajah…
Bahkan gunung kesabaran kubingkai sekuat baja…

Gelak duka mengiringi indah lantunan asaku …


Menoreh bait dalam setiap kisah…
Ingin kusandiwarakan syair ini pada-Mu…. Yaa Tuhan..
Agar melambangkan detik – detik sembilu…
Sedetik saja…

Andai lelucon terulang lagi…


Kan kutulis babak tragediku…
Dalam sehelai kertas esai…
Maka , detik itu juga hidup adalah epilog.
80 | H o p e

Mencabik Potret Kesunyian


Hilda Rahmawati

Saat itu kubidik sifat kedengkianmu


Dan ternyata tersimpan dalam alat potretku
Lalu kukalungkan berjuta harapan di dadaku
Untuk menjadi juru potret handal sepanjang waktu

Seperti yang Kau bilang, Aku ini memang tuli


Tak mampu mendengar derap langkah kaki
Bahkan olokanmu pun tak terdengar di telinga ini
Namun sangat terasa di lubuk hati

Kuterima dengan lapang dada


Meskipun luka masih menganga
Kuberikan sebait do’a
Agar pintu hatimu segera terbuka

Saat ini asa masih terus kurakit


81 | H o p e

Di saat kekuranganku juga terus Kau ungkit


Dan kebetulan Kita berada dalam satu perlombaan
Astaga, tingkahmu begitu pongah seakan pemenang kejuaraan

Begitu disiarkan, ternyata potretkulah yang terbingkai


Lalu Kau datang dengan langkah terkulai
Aku pun terkejut mendengar pengakuanmu dan memberiku
sambutan tangan
Aku tersenyum, Apakah ini mimpi atau kenyataan?
82 | H o p e

Anak Jalanan
Diana Sari

Hey!!! Teriakan diwaktu pagi


Badan lusuh baju usang dibadan
Berjalan enggan menelusuri kota
Cibiran lidah sepanjang jalan

Tangan menengadah dengan mulut komat kamit


Pagi dan petang penuh harapan
Orak arik tong sampah menjadi hobi
Senyum melebar saat menemukan

Tergenggam sebungkus nasi ditangan


Dibagi berlima dalam atap terbuka
Ternyata aku tak dapat suapan
Lahapnya adik-adikku membuatku bahagia

Suara rel setiap saat terdengar


83 | H o p e

Panas dan hujan yang menjadi saksi tempat tidur kami


Kardus-kardus kami kumpulkan
Menutupi tubuh-tubuh mungil kami

Bau harum masakan tercium


Lezatnya rasa menelan ludah
Receh demi receh jadi koleksi
Demi kehidupan kami
84 | H o p e

Asa Terselubung
Cici Elawati

Deras hujan memasung atma dalam lubang tak bercelah


Dinginnya membekukan rasa yang tak bernoktah
Nafas bayu menimang cemburu
Pekik guntur sibuk menggerutu
Kesabaran akan setia menanti di ujung senja
Meski gelap selalu mengurung cahaya
Menyentuh nanar bayang mentari yang selalu menepi
Rapuh memapah elegi
Siapa yang salah?
Anginkah, awan hitamkah, hujankah?
Suara berbisik pada airmata yang mengembun
Tuhan yang Pengampun ‘kan menyeka genangan yang
beruntun
Detik getir berjalan menggandeng keikhlasan
Ke duanya ‘kan berpisah di ujung penantian
Mengantar waruga ke negeri pelangi
85 | H o p e

Sang Mukhlis menari dipeluk hangatnya mentari


86 | H o p e

Asa yang Menjingga


Amril Sastra

Jangan sedih karena pedih


Jangan keluh karena peluh
Lantaran ...
Bukan luka sepahit duka
Tiada cinta melebihi makna

Asa yang kau letakan di atas senja, lantas kau biarkan malam
mengamit segala cita
Bukan malang merenggut segala harapan hanya urung tak jua
menghilang
Bukankah ini adalah rencana, atau kau berprasangka luka ?
Akan sebuah kepastian dalam ketidakpastian
Tapi kenapa kau masih menafsirkan makna ?

Ketika duga di penghujung berita


Jangan serah karena gundah
Ingatlah masih ada warna yang bercerita
87 | H o p e

Tidakkah kau lihat bejuta asa masih berkelana


Ada emas yang lebih berharga.

Duhai ...
Jangan berkhianat pada maklumat
Karena semua atas tulis tangan-Nya
Dibalik tirai yang masih membungkus mimpimu
Harapanmu ...
Ada waktu yang harus kau tunggu.

Dimanakah asamu kau titipkan


Renggut dan temukan jawaban
Bukankah malam menyimpan rembulan ?
Jangan pernah sia-siakan
Pun atau kau hilangkan

Akan ada waktu yang harus kau tunggu


Bukan hanya sekedar semu yang menjemu
Maka jangan lemah ketika kau goyah
88 | H o p e

Terus melangkah ...


Harapanmu, mimpimu selalu bertemu.
Walau dalam rupa yang tak tentu.
89 | H o p e

Membenahi Hati
Lusiane Benyamin

Waktu terus melaju


Fajar pun silih berganti petang
Bayangmu seketika mengajak tuk merindu
Bersemayam hingga larut sampai tak bisa kubuang

Kepergianmu bagaikan bencana


Di saat hati dilanda mabuk asmara
Kau putuskan tuk sudah
Aku pun hanya bisa pasrah

Di bulan baru kuingin bayangmu segera beralih


Membiarkan daku mengobati luka yang belum pulih
Menutup lembaran lalu yang telah mengusang
Karena kuingin membenahi potongan hati yang telah
menghilang
90 | H o p e

Mimpi Sang Hati


Hana Farhani Maulida

Bulan bertengger di atas sana, menyinari bumi ketika malam


tiba
Menggantikan peran matahari yang ingin rehat sejenak demi
melepas penat
Meski lelah, mereka tetap tabah, persis hati yang selalu ingin
disembah
Diangkat menjadi raja, dianggap yang paling istimewa lagi
sempurna, tetapi ia tetap tak dipuja

Terlalu besarkah mimpi sang hati?


Tapi, bukankah ia memang layak menerimanya?
Sebab karenanya semua hal di dunia dapat terjadi
Sebab dengannya sesuatu yang ada di semesta menjadi
berharga.

Lalu, apakah tetap terlalu tinggi mimpi sang hati?


91 | H o p e

Selembar Sajak
Zeyla Adillati

Satu huruf terlahir kembali


Dua huruf mulai berkembang
Tiga huruf menjadi penari
Selanjutnya adalah petani kembang
Bertajuk opini para pedagang
Mereka kayak gamping

Berletih-letih untuk esok yang gampang


Tinggal metik; lalu berdansa riang
Seperti ‘aku’; Gemilang
Semoga
Tuhan bersama bintang-bintang

Kuakhiri sajak bertabur hujan


Tanpa kuawali dengan petir berhamburan
92 | H o p e

Sebuah sajak untuk jiwa


Yang didamba
Yang mengasa
Sebuah teka teki harapan
93 | H o p e

Menanti Kembali
Ujang Ramlan Sopyian

Kini dirimu hanyalah bagian dari masa laluku


Seseorang yang pernah singgah dalam hatiku
Sosok yang telah memberikan warna baru dalam hidup
Yang kini hilang , namun masih membayang dalam angan
anganku
Aku tak mampu melupakanmu
Hatiku masih tertuju padamu
Hatiku selalu memanggil namamu
Tapi tetap , semesta seolah tidak setuju
Aku pernah mencoba melupakanmu , tapi aku gagal
Kamu seperti angin yang seolah ada di sekitarku
Yang membuatku tak mampu hidup tanpamu
Aku tahu , kembali bukanlah satu hal yang mudah
Tapi aku selalu berharap kamu dan aku bersatu kembali
Menata kembali harapan yang pernah musnah
Bersamamu hingga akhir hayatku
94 | H o p e

Harapan hitam
Syifa Susilawati

Laki laki tua berjalan bungkuk


Tampak sepilah hitam diwajahnya
Sedang kakinya nampak gemetar
Tak lagi mampu berlari
Hanya berjalan laun, berat akan beban
Dipenghujung jalan tanpa cahaya
Pun ditemani seongok bunga digenggam tangannya
Merekat seolah tak akan terlepaskan
Sorot mata layu tak berair ia tampakkan
Rambut gimbal hampir tutupi wajah hitamnya
"Aku hanya manusia jalang, tak bependidikan, tak ada
segumpal rohani hanya dibalut ribuan dosa; katanya
Jauh dari dampingan Tuhan
Jauh dari dekapan harapan
Dekat pun dikekang zaman
Hadir pun cepat diterjang kematian
95 | H o p e

Aku baik mati saja


Tak berguna!
Dimana kalian penggagas perubahan!
Jangan biarkan mereka bak aku,
hilang dari genggaman harapan!
96 | H o p e

Sah di Bulan Juni


Siti Humaero’

Sah, melabut ketenangan jiwa dengan resah dan gelisah


Meredam gerah pada tiap bibir berkicau: kapan nikah?
Bukan amarah, melainkan harapan itu kian membuncah
Seolah menjadi pemicu adrenalir segera menjalankan ibadah

Pengharapan serta iringan "semoga dipermudah" menghiasi


bibir
Menangkis tiap kicauan pencibir yang mondar-mandir
Gulita malam menyaksikan risau risih mengalir
Tenangnya angin membawa ingin ke harapan terakhir

Sah di bulan Juni


Merilis ending sebuah cinta sejati
Mengucap ikrar suci, janji sehidup semati
Peresmian kisah abadi yang paling dinanti-nanti
97 | H o p e

Sah, seruan gema yang kini kudamba


Berada di titik yang hanya mengalirkan air mata bahagia
Menghapus segala kegundahan jika bersama
Tiap tatapan dan sentuhan hanya memanen pahala
Sah di bulan juni, Semoga...
98 | H o p e

Sajak Harapan Terindah


Nur Irdawana Nasution

Maka
Meruyaklah paling luka di penghujung harapan
Menitis pedih, menuai miris
Kutampung merahnya darah
Di gaun hatimu yang putih jernih
Ahh
Kucoba menjahit sebuah hati
Tali sangkutannya pun sudah rapuh
Menanti jatuh bila disentuh
Hanya angan rawan
Dalam buaian kasih tak berkesudahan
Harapan ...
Begitu banyak luka terserak
Berceceran di jalan setapak yang kita injak
Bahagia pupus di padang tandus
Waktupun berlalu
99 | H o p e

Tahun dilumat impian nan terseret


Namun keramatmu tak bisa digugat
Harapan ...
Sore itu kita melukis cakrawala
Bercanda bahagia di ujung bayang senja
Mainkan simphoni dawai cinta
Kita kafani luka yang telah mati
Nisankan dalam genggaman
Larungkan ke laut biar hanyut tak berwujud
Tersenyumlah sayang....
Hari ini indah gemilang dendang sayang
Cintaku tak pernah sirna sekalipun dalam sinaran bayang
100 | H o p e

Embun Asa pada Sepucuk Daun Lemah


Muhammad Nur Ikhwan

Setitik embun menetes dari pucuk sebuah bunga


Bunga dengan kembang cerah, takkan luntur di pagi hari
Dari kejauhan nampak selembar daun muda yang tumbuh di
pucuknya
Daun itu gemulai, melambai-lambai diterpa angin pagi

Sayangnya, daun itu masih terlalu lemah


Terlalu lemah untuk menanggung semua badai
Hingga tetesan embun jatuh ke tanah, membawa pergi asa
Mungkin terlalu berat untuk si pucuk hijau

Biarlah orang-orang berpikir “bunga itu telah kehilangan asa”


Mereka hanya tidak tahu embun itu jatuh ke tanah
Mereka tak tahu pula bahwa di dalam tanah ada akar
Akar yang akan menyerap kembali embun asa yang masuk ke
tanah
101 | H o p e

Embun asa kembali kepada pangkuan bunga


Memang sudah takdir, akar berikhtiar mempertemukan
mereka
Embun asa kembali kepada sepucuk daun lemah
Sudah takdir pula, xilem mengangkut embun itu ke daun

Kali ini sepucuk daun lemah telah berjanji


Dia tak akan lagi kehilangan asa walau seembun
Apalah daya daun, tugasnya adalah membuat makanan
Makanan dari embun asa, yang akan mengisi energi bagi
setiap mili bunga bahagia itu
102 | H o p e

Sebongkah Penyesalan
Latifah Ayu Kusuma

Teramat kencang hatiku merangkak


Menembus kabut-kabut kelam tak terbatas ruang
Semakin jauh semakin tak nampak pandangan mata
Resah kian memburu tak terhingga

Akankah amarah mampu menghantarku pulang?


Terlalu sulit ku genggam berjuta realita pahit
Namun hanya satu keyakinan ku junjung tinggi
Secuil doa penuh harap

Aku inginkan diri ini dalam pelukmu lagi


Aku inginkan secercah maaf atas butir-butir khilafku
Aku tak mau lagi bertahan dalam sendu
Menapak rindu tanpa sosok tegar dirimu

Kasih.... Tengoklah diriku yang pilu


103 | H o p e

Jangan biarkan jiwa ini kian rapuh


Tergores kenangan-kenangan kisah tentangmu
Hancur bagai keping-keping kaca itu

Sungguh, kutunggu dirimu selalu


Hempaskan ragu dalam dadamu
Tumpahkan aksi nyata untukku
Maafkan atas bayang kelam diriku
Yang kian merenggut indahnya senyummu
104 | H o p e

Pembuktian Doa
Eli Widayati

Hari berlari tak pernah berhent


Rapanku selalu terpaku dalam sanubari
Aku malu pada diriku sendiri
Memohon secuil asa itu segera nyata

Doaku panjatkan setiap kuingat


Harapan itu masih ada
Menuntun hati dan langkah kaki
Menapaki tangga terjal kehidupan ini

Terasa lama diri ini menanti


Sederet meimpi seorang hamba yang lemah
Terseok kugapai harap dalam jari
Hingga mulut ini tak bosan menceritakan harapan demi
harapan
105 | H o p e

Diujung sana menanti pembuktian doa


Sedikti celah cahaya diantara jendela petunjuknya
Membias asa dalam langkah raga
Setitik harap menjadi nyata
106 | H o p e

Sarjana Cap Onthel


Elisabhet Mei Putri Mesuji

Onthel tua buruk rupa


Dua dasawarsa sudah usianya
Pedal yang menganga
Rantai korosi dimakan usia
Karat menghiasi setiap sudutnya

Seperempat hari menyusuri jalan desa


Menemani wanita paruh baya
Menjajakan usaha dalam doa
Dalam perjuangan mencetak sarjana muda

Wanita tangguh berbadan rapuh


Kuat tekad juga niat
Segala jalan ia tempuh
Berteman air mata dan juga peluh
107 | H o p e

Ketika langit mulai memerah


Harapan datang membawa berkah
Semoga lekas lulus kuliah
Doa Ibu yang tak pernah lelah
108 | H o p e

Dalam Genggaman Tuhan


Latifah Yusri Nasution

Teruntuk mimpi yang pernah jatuh


Yang pernah terinjak dan dibuang sia-sia
Masih terasa remah putus asa di seluruh tubuh
Menyentuh dan menyinggung segudang luka

Untuk perasaan yang sempat singgah dan berwarna


Namun akhirnya diabaikan hingga layu
Melapuk seperti kayu tua di belakang rumah
Dilahap habis oleh ribuan serangga

Bagi kamu yang dulunya bahagia


Menilik segala dari kata bersama
Akhirnya menuai duka
Dihempas dari ketinggian yang entah apa

Sudahlah.
Lepaskan semua
Ada mimpi, ada rasa, dan ada bahagia
Dibalik semua musibah
Pun sebaliknya
Kita masih punya Tuhan untuk segala-gala
Kita masih punya iman untuk segala duka
Dan tentu saja kita masih punya asa dalam sebuah doa untuk
segala dunia
109 | H o p e

Pupus
Winda Khoirin Nissa

Adakah yang lebih buruk


Dari kehilangan secercah harapan
Adakah yang masih baik-baik saja
Meski telah ditimpakan kehilangan

Kau tahu,
Sesal menggila dalam dadaku
Mencaci diri karena terlambat berlari
Mati-matian ku kejar materi
Nyatanya tak berarti apa-apa saat ini

Lilin itu terembus angin


Padam, sama seperti harapku yang telah redup
Bertahun-tahun aku merajut rindu
Merangkai doa, menanti suatu masa
Dimana dua perempuan terkasihku memelukku penuh rindu
110 | H o p e

Namun sampai saat itu tiba


Semuanya tak sesuai rencana
Siapa yang sangka gadis kecilku telah gugur
Membuat diriku tercabik, hancur

Malangnya, orang yang ia panggil ayah


Berdosa karena melewatkan senyum terakhirnya.
Dan akulah orang malang dan berdosa itu.
111 | H o p e

Persimpangan Jalan
Salma Sania

“Genggamlah harapan maka kau kan meraungi kehidupan”


Ucap Kakek tua di persimpangan jalan

Sore itu, ku bergurau pada hujan


Membahas sesuatu yang bagiku mengasyikan
Sesuatu yang kusebut harapan
Entah mengapa hujan menertawakan

Pagi itu, kusapa kenari yang menari


Senandung harapan ku pinta agar ia bernyanyi
Namun ia hanya tertawa, dan terus menari ceria
Seakan menolak senandung harapan yang ku pinta

Siang itu, ku terdiam di persimpangan jalan


Mencari siapa yang mau mendengarkan, kisah tentang
harapan
112 | H o p e

Siapa pun itu kuharap tiada lagi tawa pada harapan


Ayolah, aku lelah mendengar tawaan setiap ku ucap harapan

“Untuk apa kau membicarakan harapan?


Harapan hanyalah bahan olokan yang sekarang diucapkan
dan esok terlupakan.”
Ucap kakek tua keriputan yang sedikit mengejutkan lamunan
Tanyaku kini mendapat pasangan
Ku dapat jawaban harapan dari kakek keriputan di
persimpangan jalan
113 | H o p e

Terbang
Nita Pujiasih

Dunia begitu lepas


Perangainya kan menakjubkan
Bagi siapapun yang berani terbang
Maka ku biarkan sayap ini ku rentangkan
Terbang bebas ke langit mimpi
Menghembuskan sejuta proton
Mengalirkan setiap energi
Membuka cakrawala hati

Lihatlah
Rasakan peluhmu
Kembangkan dadamu
Guncangkan jiwamu
Tebaslah semua aral yang yang melintang
Tak perlu banyak cakap
Dan lihatlah dunia
114 | H o p e

Bahwa kau hanya perlu terbang bebas


Bebas dan lepaskan
Kepakkan sayap secara perlahan
Kemudian renggutlah satu bintang
Ingatlah dikau
Ayah dan bunda menanti
115 | H o p e

Ingin
Esti Ade Saputri

Mendung
Bersama gelap datang
Menyelinap dibalik pohon cemara.
Pagi ini, masih sama seperti hari lainnya
Aku suka pagi, aku suka berjalan menggapai mimpi.
Mimpi ku yang menggantung dilangit biru. Melalui sungai
aku
Berjalan melawan arus, aku yakin mimpi ku disana sedang
tersenyum
Menunggu ku. Sepatu ini sudah kusam dimakan usia,
dimakan jalanan, dimakan
Tajamnya kerikil perjuangan. Ibu bapak ku yang menanti toga
itu berdiri
Diatas kepala ku, membakar semangat didalam hati ku yang
bertahata.
Butir-butir tasbih dan nyanyian dzikir senantiasa selalu
Membasahi bibir mereka, rasanya harapan mereka
Terhadap ku begitu besar, terhadap
116 | H o p e

Masa depan ku, dalam


Sujud ini
Selalu punya mimpi yang sama, duduk diberanda memakai
toga
117 | H o p e

Harapan Ilalang
Elisa Maharani

Aku ilalang
Terbelenggu ilusi musim kemarau, bagai mati tapi bernyawa
Ingin berlari akar menjerat bumi, simpul dilepas malah
terperangkap
Kalut, bergelut angan dalam pikir, di antara tunggul yang
bercerita

Aku ilalang
Mengering dan terombang-ambing
Tatkala menengadah langit, terucap syukur pada-Nya
Tak henti, sampai habis tubuhku, rapuh termakan tanah

Aku ilalang
Telah berkecai diri ini dari rumpun yang kutempati
Kau tebas, kau hancurkan bentuk rupaku, berkeping-keping
Tidakkah kau lihat? Riuh angin menderu hujan, semesta
menangis
118 | H o p e

Sang Pemilik Kehidupan telah berbaik hati kepadaku


Berharap esok kan tumbuh sebagai rumpun yang baru

Aku ilalang, harapku tak kan hilang


119 | H o p e

Jeda yang Tertunda


Ayu Erlinda

Ku gantungkan asa di atas rembulan


Kelam kabut berganti benderang
Langit cerah, tak lagi berduka
Bersama awan, aku bercanda tawa

Namun kini, rembulan meretak


Langitku berteriak
Asa terjeda, harapanku tertunda
Batinku tersayat luka, membendung air mata

Ku pikir pisau tak berbisa


Ku sangka luka takkan merata
Aku tergeletak, terbujur pasrah
Oleh harapan yang tak berujung nyata

Duhai hati, bersabarlah.


120 | H o p e

Harapan akan tetap menatap, meski ia tak bermata


Ia mampu meraba seperti orang buta
Membawa pelita agar rembulan kembali tertawa
121 | H o p e

Janji yang Tak Terbalas


Rahayu Febriani

Berdiam di sudut lorong waktu


Hanya untuk menunggu kedatangan dirimu
Menghentikan segala rasa yang tak sanggup ku bendung
Entah, bagaimana rasa yang tak berujung
Menyimpan segala tanda tanya dalam memory
Ingin mengungkapkan rasa dalam melodi
Untuk kesekian kali nya kau melukai
Mengingkari semua janji
Harapan yang kian hari ku nanti
Hanya untuk bertemu denganmu wahai dambaan hati
Tak terhitung waktu yang telah kuberi
Rasa kecewa yang kian menjadi
Angin sampaikan salamku pada tuanmu
Temuilah aku di pantai semu
Seperti kisah ini yang tak henti berteman dengan rindu
122 | H o p e

Jiwa berikan kedamaian dalam menepis segala ketidakpastian


ini
Biarkan aku menghilang bersama rindu yang kau beri
Biarkan aku yang menetap dan silakan kamu pergi
Jika kamu ingin pulang
Kembalilah pada hati yang telah kamu titipkan rasa kasih
sayang
Tapi, ingat tidak seperti di awal rasa cinta. Biarkan ia kembali
datang
123 | H o p e

Ingin Menjadi Pujangga


Santika

Aku selalu tergoda aroma buku baru


untai kata berjalan beriringan
asumsiku di buatnya menangis
kemudian berseri terbelalak

Harapanku muncul dari kandungan baka khas sastrawan


aku ingin seperti mereka
pujangga dalam etalase jagat raya

Mulutku keranjingan dengan gelayutan pena


ingin selalu ku makan malam dengan
aroma kataku yang belum khas

Aku ingin menulis dengan lahap


sampai kematian punya bayi nan bercucu
dan aku di kawini tanah
124 | H o p e

tulisan sebagai mas kawin yang tak akan pudar

Kuharap tuhan mengijinkan


untaian kata ini ku sebut puisi kalau tidak
di akhirat aku akan tetap menggurat walau
disayat sampai keramat
125 | H o p e

Secercah Asa
Rena Fitriani

Aku terdiam dalam hening


Menghadapi ombak kehidupan
Yang singgah nan betah
Menerpa, membawa lemahnya diri
Dalam derasnya arus, aku merintih
Lelahnya raga mulai ku rasa
Aku sakit memetik senar kehidupan
Letih rasanya menggapai asa
Yang tak berujung, tak bersua
Oh tuhan …
Akankah ada seberkas titik terang
Yang akan menghiasi gemerlapnya duniaku
Akankah ada secercah harapan
Yang akan menghapus derita dalam hidupku
Aku yakinkan semua pada-Mu
Sang raja pemilik semesta
126 | H o p e

Aku percaya akan rencana-Mu


127 | H o p e

Puncak Tertinggi Harapan


Natasyal Ula Hawa Nazuma

Ketika kalbu jatuh sedalam-dalamnya


Ketika jiwa telah benar-benar mati
Gairah hidup tak ingin kembali menyelimuti
Kokohnya tungkai pun tak mampu menopang lagi
Aspirasi, opini tak pernah dipercayai.
Dilahirkan seperti ini kami tak meminta
Meronta-ronta ditengah abainya dunia
Tak heranlah bagaimana piciknya ia
Dengan berjuta gaya, bumi angkasa pikir miliknya
Sirna, leburlah saja kau di neraka sana.
Beribu tapak kaki menjadi saksi gerilya kami
Luapan emosi meledak, membakar memenuhi relung hati
Kabut fajar menyeruak lembap menampar wajah berambisi
Mengusir paksa burung-burung gereja dari persinggahannya
Membopong semangat membangun harap melawan
ketidakadilan.
128 | H o p e

Sakit yang sebegitu kuat telah kembali bangun selepas tidur.


Satu yang kami ingat lekat-lekat dalam otak nan dangkal
Bahwa harapan selalu setia menemani derap perjuanganmu
Harapan ada dalam kepalan tanganmu yang tergenggam
penuh tekad
Maka iringilah niatmu dengan untaian doa kepada Sang Maha
Cinta
Kalaupun kau ragukan doa, lalu dengan cara apa Yusuf
danYunus bebas dari petaka?
Bukankah doa adalah pengharapan yang setinggi-tingginya?
129 | H o p e

Harapan di Balik Lentera


Meiby Yohannalisa

Dunia, ku tak mau seorang


Yang mengaliri darah debu
Pada pembaringannya di ruang kosong
Seperti kegaduhan, orang di tembak peluru.

Tuhan
Engkau kah yang menitip lentera itu?
Pada serpihan malam, mengapa?
Tuhan, sapu lah bekas luka darah debu itu
Aku tak ingin melihat tangisan sendu

Untukmu darah debu yang berkedip


Pada lentera dan tangis, Semoga cepat sembuh!
Disini ada gadis-gadisnya yang menunggu
Dengan Do’a pada tuhan, dan mawar
130 | H o p e

Lentera, terbitlah tawa dengan penuh harap ibu engkau


sembuh
131 | H o p e

Jelmaan Harapan di Bulan Januari


Ida Laila

Januari kali ini masih sama perihal hujan yang tak henti
menjatuhkan butir- butir basahnya
Masih dengan dinginnya angin usainya kisah dan sendiri sepi
tanpa ampun

Masih dengan rangkaian kata yang begitu setia menyisipkan


jelmaan harapan yang dulu pernah terbangun meski sekarang
telah runtuh
Harapan adalah sakit yang tertunda
Bukankah ini telah menjadi kesepakatan
Siap menaruh harapan siap pula jatuh sejatuh-jatuhnya akibat
kekecewaan

Meski terkesan bukan hal tabu yang tak masuk akal


Pada akhirnya sebuah harapan akan berakhir dengan
sendirinya
Entah hura ataupun haru
132 | H o p e

Harapan memang ditakdirkan untuk tinggal dan dikenang


Begitu juga dengan kisah yang terbilang usang dan telah usai
kapan hari

Namun mengertilah setiap harapan akan sampai pada


masanya
Begitu juga dengan kisah dulu yang telah runtuh
Bisa saja diperbaiki meski mustahil dapat utuh seperti
sediakala

Namun tak ada yang tak mungkin


Jika semesta merestui
tak mustahil kita tak kembali
133 | H o p e

Setitik Inginku
Eka Lestari Nurcahyani

Angin bertiup kepada sang penghidupan


Memberitahu tentang sujud dalam sajadah
Menyampaikan suatu doa dalam tengadah
Membalas dengan sebuah janji yang tak mungkin dusta

Ku lukis indah sayap mega


Ku ukir batu berlian cleopatra
Ku rajut asa dalam hidup
Ku rangkai mimpi dalam nyata

Ku ubah bergantinya awan hitam


Menjadi awan biru keindahan
Matahari bangun dari singgasana
Burung terbang mencari yang dia cari

Aku ...
134 | H o p e

Tak hanya berharap bergaun sutra


Tersorot kamera puluhan juta
Berlaga dalam catwalk impian

Aku ...
Mengharap sebuah surga dalam akhirat
Tempat semua bidadari
Yang mengalir telaga kautsar didalamnya
135 | H o p e

Setitik Pena Menggapai Impian


Centia Pradevi

Sekarang aku adalah tulisan


Yang hanya diam dalam lembaran
Sekarang aku adalahbenih dihamparan
Yang ditanam dengan teknik kemandirian

Langkahku berjalan terfokus pada tujuan awal


Sesekali ada liku yang selalu menerjang
Tapi benteng pertahanan selalu menggenggam
Seolah menuntunku melanjutkan perjalanan

Perjalananku belum usai, perjalananku masih panjang


Menggenggam impian tak semudah yang dibayangkan
Tapi idahnya harapan selalu membekas dalam angan
Dan pantas untuk selalu aku perjuangkan

Kelak, segala ambisiku akan menjadi kenyataan


136 | H o p e

Kelak, segala peluhku akan terehapuskan


Meski menatih-natih penopang diri ini membuatku kelelahan
Segala kulakukan sebab harapan yang kupercaya akan
tersemogakan
137 | H o p e

Terjaga Menggapainya
Utari Faradina Suhud

Aku percaya pada nirwana


Aku yakin pada arah asa
Meski kadang hatiku terasa letih
Meski kadang jiwaku memaksa runtuh

Harapan, jangan biarkan pudar


Asa, jangan biarkan lenyap
Walau tak seperti ingin yang menetap
Tetap saja harap tercipta untuk tegar

Kini, ku hapuskan nelangsa


Menutup netra sesaat
Untuk percaya pada harapan
Untuk terjaga menggapainya
138 | H o p e

Mimpi Belia Jalanan


Rizal Fathurrahman

Sedang meraba guratan dahi-dahi


Pagi ini mereka kembali dihujat terik. Bahkan lambung
mungil itu berteriak, meninggi. Sebab rumput-rumput belum
menjelma sesuap; rupiah, bulir jagung, dan lauk-lauk peluh.
Di belainya urat-urat usang, ukulele yang hanya terdiam
dipaksa memuntahkan, dawai-dawai nada, demi pemeluknya;
belia jalanan. Ingin merasakan derita pada tumpukan judul;
matematika, hingga bahasa-bahasa, susah.
Setidaknya bola mata itu tetap subur, memandang merah
putih; bersepatu hitam, yang sedang mengayuh roda-roda
menuju maktab, “gudang ilmu” katanya.
“Kapan saya bisa bersekolah? menelan ilmu-ilmu aksara,
jendela dunia. Padahal menyambung sesuap napas demi hari
ini saja susah” rintihnya, dibawah cemoohan prasasti mega-
mega.
Sudah berkali-kali mereka belajar menuangkan mimpi ke
dalam cangkir, lalu diteguknya untuk meneguhkan tiap
rengkuhan cita-cita yang tinggal cerita. Mereka hanya butuh
pendidikan ramah, bukan sandiwara iba, bualan tikus-tikus
berdasi nusantara.
Hanya itu!
139 | H o p e
140 | H o p e

Menggapai Angan
Kesya Kristina Natalia

Ketika embun pagi menebarkan kelembutannya


Begitupun setiap tetesan air yang membasahi daun-daun
Ketika hembusan udara menerbangkan kesejukannya
Begitupun setiap hembusan nafas terasa begitu nikmatnya
Seakan larut dalam angan yang melintasi benak ini

Kumeratap bersama keheningan yang terasa menyesak


Bayang-bayang parasmu melintasi ruang dan waktu
Kumengharap akan penantian antara kau dan aku
Bibir tak mampu berucap
Hati yang kian bergejolak

Khayalku kian tak berujung


Seakan sandiwara yang tak mampu menorehkan kisahnya
Inginku bukanlah inginmu
Diriku bukanlah dambaanmu
141 | H o p e

Hasratku hanyalah sebuah ilusi semata

Senandungku hanya untuk cinta


Anganku hanya milikmu saja
Hanya doa yang dapat kulakukan
Akankah angan menjadi nyata?
142 | H o p e

Tertindas Sebatang Harap


Fendi Fabbima

Senyuman layu yang kini terikat


Dari sebuah nada cinta merenggut hayat
Ratusan purnama berlalu
Dalam sebuah barisan yang menjajar pekat
Berlalu dan takberalasan
Menjadikanmu sebagai bintang
Dan mejadikanku sebagai rembulan
Hatimu dan hatiku
Telah menyatu dalam genggaman
Tapi ragamu dan ragaku
Lepas landas dan saling berjauhan
Mengungkit cerita dalam ensiklopedia nyata
Saling menutup diri dalam tempurung dunia
Hatimu tak mungkin lagi bisa kumiliki
Jikalau masih tersandar dilain hati
Dan kehadiran ini tak lagi berati
143 | H o p e

Meski dalam penantian yang abadi


Apalah arti memiliki sebuah hati
Jikalau ragamu tak pernah kudapati
Meskipun ada bintang disisinya
Namun bulan masih merasa sendiri

Go Ahead and Be Profesional.


“Tidak ada satu detik pun yang terbuang melainkan untuk
sebuah perubahan”
144 | H o p e

Melukis Fajar
Ana Nur Wahyuni

Di ujung penghabisan malam


Terduduk seorang insan diatas peraduan
Dengan tangan terangkat menatap malam gelap gulita
Bulir suci jatuh membasahi nampan kehidupan
Mantera suci telah mengalir
Semoga asa tak hanya untaian kata
Hati penuh gejolak ambisi
Semangat, air mata, senyuman
Bertempur menjadi satu
Asa lain yakni semoga ini langkah yang di cintai
Seperti melukis fajar di angkasa
Begitu juga dengan gemuruh ambisi di dalam hati ini
145 | H o p e

Bingkisan Hati
Aghnaita

Kala kenangan ku bingkis rapi


Penuh dengan rupamu
Ku titipkan pada embun yang mengintip di jendela
Semakin jauh terbawa pekatnya malam

Otakku menggerutu pada hati


“Apakah aku rindu?”
Mulai menyelinap seketika, lalu pergi
Tapi kenapa aku mau?

Ku bingkis untuk yang kedua kali


Anggap saja inilah akhir cerita
Rupanya hatimu enggan berlalu meski sejengkal

Nyatanya, kata “melupakan” hanyalah alibi


Agar ku dapat mendustai hati
146 | H o p e

Kemaren senja aku salah


Pagi ini kamu menjadi harapan lagi
147 | H o p e

Pelik Harap dalam Senja di Kaki Desember


Yeni Chan Niswa

Mungkinkah,
Jika mengharap penuh, seraya sesekali merayu
Tuhan kita akan mengganti takdir insan?
Haruskah kita menerjang skenario Tuhan demi itu,
Lalu menulis yang pantas untuk kita dapatkan?
Memang itulah,
Secuil harapan kecil dalam palung nuraniku
Senoktah jingga yang menemani setiap do’aku
Seakan kau hadir dalam sisi paling gelap jiwaku
Menghias sudut bibirku dengan sesimpul senyuman
Menyapaku dalam diam seakan hati yang berkencan
Walau mata tak saling memandang, namun
Dalam setiap sujud selalu namamu yang bergema
Sayup melantun penuh harap dan cita
Agar kelak kita dapat bersama
Senja di kaki Desember,
148 | H o p e

Selalu hadir bersama jingga yang menyapa


Bila insan datang bermaya
Sungguh takdir takkan kemana
Terpisah sekejap bagiku tiada apa
Asal bersama dikemudian masa
149 | H o p e

Mengejar Hadirmu
Nuraisyah

Dalam gelap yang pengap


Bayang hadirmu menghampiri seketika
Menuntun langkahku ke suatu lembah
Berlari dan terus mencari

Menepis segala ketakutan akan harapan


Membawaku pada sebuah kenyataan
Harapan semu yang tak berujung temu

Malam semakin gelap,


Hatiku masih saja berharap
Malam semakin larut,
Hatiku masih saja berkabut
Adakah kamu dibalik cahaya itu???
150 | H o p e

Bintang Bersinar
Nur Vitasari Ningsih

Adalah bintang yang bersinar


Di hamparan langit hitam membentang
Adalah sebuah rajutan
Dari tangan tua tanpa letih
Melantun menutur damba
Seperti lentera dengan api di atas sumbu
Berjalan mencari makna
Menyelami semesta
Pada sebutir pasir di kawanan debu
Bintang bersinar adalah tetes embun di pipi
Yang ia ingin rengkuh adalah sejuta harap
Sejuta teriakan kidung yang merangkak
Pada ranah ini. Dari nenek yang terduduk
Dengan mata sayunya
Menatap bintang. . . .
151 | H o p e

Kembalinya Sebuah Harapan


Nur Imamah

Saatnya diriku harus bangkit


Kehilanganmu bukanlah akhir dari perjalanan
Sudah cukup rasa sakit buat hati menjerit
Hilang harapan ditengah riuhnya penikmat kehidupan

Bukan aku yang gagal dalam sebuah hubungan


Tapi memang Tuhan tidak pernah mengijinkan
Itulah kesalahan. Terjerat dalam sebuah ikatan yang tidak
dihalalkan
Ku telah berdosa pada Tuhan

Ku yakin inilah jalan untuk kembali dengan ketaqwaan


Kepahitan hidup yang telah menjadi kenangan
Ku tinggalkan dan ku ambil dalam hikmah kehidupan
Tuhan......ku telah terbangun dari mimpi yang sangat
melelahkan
Melemahkan jiwa dan iman
152 | H o p e

Dan aku berharap ku bisa bertahan, Istiqomah dalam


menjalankan

Ternyata sungguh indahnya kehidupan


Dihiasi mahabbah kepada sang Tuhan
Butir-butir harapan semakin terisi oleh keimanan
Terarahkan pada sridho Tuhan.
153 | H o p e

Asa di Ujung Senja


Maria Ulfa

Gelombang air penantian berdesir di ujung lautan


Mendayu serpihan kisah pengantar sembilu harapan
Perlahan, arus membentuk sebuah gerakan tiada duga
Mengulur rentetan masalah tenggelam di dasarnya
Arus itu kembali memuncakkan getaran
Bahkan, lebih kuat dari sebelumnya
Namun, ada keyakinan akan akhir bahagia menggebu
Temui jiwa yang sedari dulu membelenggu
Asa itu akan segera tiba
Tepat di bulan ketiga dalam aksara rembulan
Saat raga berdiri diantara ribuan tatap mata
Yang menunggu irama melantunkan sajak lama
Sepenggal lagu yang sengaja disembunyikan pencipta
Demi ketenangan yang dianggap perusak
Kini, tibalah nada tunjukkan rupa
Ungkap setiap jiwa yang kekurangan makna
154 | H o p e

Harapan ini akan menyelinap lewati dawai gitar


Bisikkan pesan dengan lirik sebagai sandaran
Dan kini, tibalah di ujung senja
Saat malam akan tunjukkan bayang
Disanalah harapan derapkan langkah
155 | H o p e

Lepas
Muhammad Setyawan Wirapraja

Puluhan tahun lalu kau mengendap


tumbuh menjadi pohon lain
di luar hidup sangat garang
induknya tak bisa berkata lagi

Bendera warna-warni sudah lama hidup


dibawah kasur kau. jejak-jejak takdir
kau injak dengan sandal jepit berdaki
jingga milik tetangga yang kau curi

Semenjak perjempuan sepuluh menit kita


dalam bus hari selasa. hati kau berdoa
untuk pertama kali dengan bilang:
bolehkah aku terlepas dari tubuh lelaki ini?
bolehkah aku dilepas sekamar lelaki itu?
aku terjebak—oleh dunia atau tubuh
156 | H o p e

untuk menghambatku mencintai sesuatu.


157 | H o p e

Harapan sendu
Mira Yulia Putry

Langit mendung membawa kabar duka


Akan kemustahilan harapan yang mengikat kita
Harapan yang menyatukan kita bersama
Kuyakinkan tak pernah menjadi nyata

Seorang dewi yang merindukan senyuman ksatrianya


Yang terus menerus menjanjikan harapan
Harapan yang hanya sebatas ilusi semata
Namun meninggalkan luka mendalam di kalbu

Namun kenapa tetap mengharapkannya?


Akan cinta palsu yang membuat sesak di dada
Hancur lemah hati telah diremuknya
Karena sungguh takdir tak pernah berpihak padanya

Engkau tak pernah menghargai setiap harapanku


158 | H o p e

Atau menjadikannya sedikit lebih indah


Mungkin tidak lagi untuk diriku
Namun telah kau berikan pada yang lainnnya.
159 | H o p e

Ekspektasi
Ares

Kaki-kaki kokoh, kebas


Menopang tubuh-tubuh penjaga batas
Tak pedulikan anyir darah, seolah tlah mengawan
Mereka itu—manusia tanpa ketakutan

Tak pantang mundur


Seolah dicipta oleh api semangat yang tak pernah kendur
Mereka bukan pecundang yang akan berlari
Nyatanya rela mati demi sepupuk ekspektasi

Nafas yang merdeka


Bersembunyi dibalik mayat dan luka
Ranah berbayar darah
Ranah berbayar lelah

Namun, masih ada meski hanya sepercik kecil


160 | H o p e

Harapan itu masih ada, hidup


Kelak langkah ini tak lagi redup
Kelak wajah-wajah pribumi tak lagi sayup

Harap itu menyala bak api yang tak pernah padam


Temaramnya berani memberingas kelam
Ia tak pernah menjelma menjadi arang
Kian lama kian membesar, tak pernah hilang

Tiap keringat lelahmu adalah ekspektasi


Tiap tetes darahmu adalah ekspektasi
Kaki-kaki itu tak akan roboh
Hingga kelak ibu pertiwi yang merengkuh
161 | H o p e

Kisah Senja
Rahmadsyah

Denting waktu menggema cepatnya


Tiada hambat lajunya hingga tak terhentikan
Siapa sangka gemawan pun merubah warna dan pola
Hingga sampai pada jingga merona

Hari itu, dimana ia menyapa


Sebagai batas mentari dan rembulan
Pertanda waktu terbagi dua
Pertanda pula bagi pengetahu isyarat

Indah memang saat – saat itu


Kala yang mengagumkan kemudian ditutup kegalauan
Keriuhan kemudian kesunyian
Kecerahan kemudian keredupan

Akankah ia dibiarkan berlaku begitu saja?


162 | H o p e

Waktu mu, waktu ku, dan waktu kita bersama


Senja yang meliputi kita kelak
Akan meronakan sisa hayat
Melingkupi perlahan sampai akhirnya
Menelan hasrat, cita, dan asa

Selagi senja masih bersinar cerah


Selagi senja belum menjadi pembatas
Atau belum menghantar pada ketiadaan
Patutlah diukir hendak yang berangan itu
Sebagai harapan mekar pada tangkainya
163 | H o p e

Impian Hati yang Suram


M. Salafudin A

Terkuak diri ini


Dewakan dunia tak berujung guna
Mencari makhluk-Mu pada setiap anggap
Selungkup suara nenuju tahta
Hati menggelap
Ternyata semua itu nestapa

Kucoba melangkah perlahan


Menjauh seluruh gemerlap dunia
Meraih ketenteraman.
Sulit, deru , dilema, dan derita sungguh teresa
Pada peluru asa dunia
Biarlah... rasa sakit yang berasa perih merintih
Pasti bakal berguling manis,
Bilangmu itu sebuah perjuangan,
Kan kulakukan hingga datang ajal menikam
164 | H o p e

Kucoba melangkah perlahan


Sehingga...
Mekar sukma putih di dada
Menggenangi harapan cita-cita
Menghapus kelabu kehidupan
Rintis hidup searah
Sesuai takdir sang pencipta
165 | H o p e

Lembaran Baru
Haifa Humairah

Lelah mencari tempat untukku pulang


Bahagia berganti dengan kekosongan hati
Rapuh bagaikan kayu yang dibakar sang api
Butuh lentera penerang seperti mentari
Seakan tak tahu arah kemana akan pergi
Sampai kapan aku menanti hal yang tak pasti
Ketika berada disisimu langkahku terhenti
Ku sadari sosokmu begitu berarti dan sumber inspirasi
Semua tak lagi sama, segalanya telah berlalu
Kisah yang kita dulu telah tutup buku
Kini beralih ke lembaran baru
Menuliskan cerita aku dan kamu yang tak menyatu
Kutitipkan salam rindu lewat alunan lagu
Syair yang menjelaskan harapanku untukmu
Meski kita telah terpisah jauh, kamu selalu ada dalam doaku
Mengukir prestasi dengan jalan kita masing-masing
166 | H o p e
167 | H o p e

Harapan Bulan Lalu


Alvi Lailatil Qodriatus Sholihah

Sepertinya angin telah menghianati pagi


Sepertinya sunyi telah mengikat janji kepada bumi
Sehingga tulisan-tulisanku tak pernah sampai
Entah hilang atau termakan kemudian mati

Harapan bulan lalu


Berbicara bersama semu
Atas apa yang pernah ada padaku
Kemudian hilang sirna meninggalkanku

Harapan bulan lalu


Akankah begitu saja berlalu
Tanpa ada jawaban atas aku
Ataukah sekedar pelipur lara menunggu waktu
168 | H o p e

Diary Sendu
Imam Solikin DL

Kubuka lagi lembaran lembaran tua penuh kenangan


Dengan tinta yang pernah ku lukiskan
Dalam sebait kertas yang penuh kebanggaan
Bersama imajinasi suci penuh khayalan

Kini rambutku telah sedikit menua


Puluhan tahun lalu, sejak aku menulis harapan itu
Yang kugambarkan dengan secarik asa yang tersisa
Tanpa ada noda dan dosa yang melekat di dada

Apakah aku masih pantas mengingat itu semua


Dengan segala dosa yang berlumur dikepala
Namun aku percaya bahwa Tuhan Maha Bijaksana
Yang mengampuni hamba Nya yang penuh keburukan

Ku coba lagi merangkai harapan yang pernah kutinggalkan


169 | H o p e

Dalam pelukan orang-orang yang sangat kusayang


Harapan, tekad, dan cinta semua akan kuberikan
Demi kehidupan lebih baik lagi di masa akan datang
170 | H o p e

Menuju Gerbang Kesuksesan


Andi Wahda

Aliran waktu terus bergulir mengarungi kehidupan


Tiap detik dalam genggaman tersirat seuntai harapan
Relung hati tersimpulkan asa tuk tercapaikan
Pun bersimpuh dan menyematkan harap kesuksesan agar
terwujudkan

Ku menelisik jalan kehidupan dengan leka


Nan menyeru pada setiap lorong yang nyaris meluka
Dalam langkah ku merangkai alur tuk tercipta
Kehidupan dengan kesuksesan yang terpampang nyata

Sekalipun takdir dan esok masih sulit tuk diterka


Ku tak akan lengah tuk mencari celah tuk tiba
Di gerbang itulah kutujukan setumpuk asa
Gerbang kesuksesan yang menjadi harapan segenap jiwa
171 | H o p e

Lentera Harapan
Livia Ervita

Awalnya aku tak pernah mengejar cahaya


Gelap merundung nan mengayun derita
Senyap berkawan alangkah menggila
Asa tiada pernah berbaik padaku saja

Hingga nyatanya kau menggenggam lentera


Mengaitkan di antara gulitanya jiwa
Sekalipun tidak sedahsyat surya
Namun cukup buatku istimewa

Perlahan kumulai gantung harap sahaja


Agar kelam segera purna
Biarkan asaku yang musnah bisa jumpa
Enggan aku mati sia-sia
172 | H o p e

Racun Madunya Pengharapan


Lina Susanti

Berderu berlari pacu kian menggebu


Berdesir mengalir hangat nan getir terasa sembilu
Menguras emosi tak berdermaga menambah pilu
Aku bersorak, aku menyerah, dan mengalah-lah aku
Bersembunyi sesaat di balik selembar daun
Dengan beribu alasan yang menggelayut

Sekejap terbesit olehku,


Aku teringat lontaran angan kecilmu
Secuil dalam bongkahan yang menyiksa batinku
Tertatih perlahan dalam pemaksaan serasa racun dalam madu
Aku tak gesit mengelak tuk berlari darimu
Aku terpatahkan oleh permohonan mautmu
Demi pengharapan terbesarmu
Itu harapanmu, bukan harapanku
Ya, harapanmu yang mengikat aku
173 | H o p e

Kini, bisa apa aku?


Aku pun menggenggam harapan dalam tangan mungilku
Apakah kamu tahu itu? Mana mungkin kamu tahu
Memang tak kusampaikan, lidahku kelu
Hati tak sekuat karang yang terbentur ombak laut
Kubungkus rapi dan tersimpan rapat olehku
Ku tak ingin orang tau apa yang kumau
Tak kupaksa orang menyeret aku kepada harapanku
Karena aku yakin, diri ini mampu
Aku enggan membuat cetakan kedua sejalan kisahmu dan aku
174 | H o p e

SETITIK ASA
Anju Eranti

Gelitik embun seolah meramah kan suasana


Sejuk, tenang dan menghanyutkan
Menghilangkan biasa yang tersamar kan
Kala hati bimbang penuh keraguan

Dari sudut lorong gelap


Terlihat binar yang mendekat
Sebuah pertama sebagai pelita
Merajut kepingan harapan yang telah hancur

Yang dulu terenyak dihantam kegagalan


Saat kepastian tak kunjung datang
Berharapan keteguhan diri masih Ku miliki
Walau bisikan suara hati tak terdengar lagi
175 | H o p e

Merekah
Retno Palupi Miftahul Aniyah

Burung camar masih berjalan dalam lengkung lelah yang


lengket tuk pergi
Mendesak-desak karbon dioksida supaya lari
Sampai sesak yang dirasa.
Beriring rindu yang tak lagi berbisik merdu
Beriring api yang tak lagi merindu embun

Hai pemenang!
Nanti terlalu jauh dari sekarang; esok terlalu jauh dari
kemarin
Kapan lagi pijakan nyaring di gendang telinga
Tidak sampai mata terpatung

Ada sihir terkuat di belakang


Menemani jauhnya tanah berdebu
Ada impuls kebangkitan
Menjadi sayap Jibril seluas langit
176 | H o p e

Maka berlarilah tanpa lupa setiap huruf pada kalimat-kalimat


kehidupan
Langkah di depan masih tegar untuk dipijak
Bersiap mengepalkan tangan
Bercerita tentang ujung-ujung pena yang kemarin terketik
Kemarin.
177 | H o p e

Semoga Bertemu
Nurul Istiawati

Setiap detik yang rontok tipis-tipis menjelma sunyi yang lebat


Kubaca detak sang waktu yang menggigilkan penjuru
ruangan
Dan musim bergulir tenggelam lalu mengembun diantara
bulu mataku
Aku tengah menantimu pada langit penuh getar dan kabar

Di pucuk kemarau yang jalang terguyuri embun


Kita terpisah diantara kutub, kusebut kutub rindu
Angin meniup helai dedaun bermuncul namamu dan masih
kulangitkan harapan kita bertemu di atas jembatan awan-
awan kecil yang kusebut kebahagiaan
Harapan begitu menyala selaksa ayat-ayat api yang memecah
gelisah

Hei! Aku tengah menantimu


178 | H o p e

Adakah Mukzizat Itu


Mutia Wulandari

Dalam senyum ku pendam rasaku


Menahan nyeri yang tak dapat ku gambarkan
Menyusup diantara tulang rusuk dan belakang
Menusuk seperti belati mencabik rasa

Tuhan…
Sampai kapan perjuangan ini berakhir
Sampai kapan rasa sakit ini mampu ku tahan
Harus berapa milliliter lagi racun itu mengalir dalam darahku
Menghancurkan sel lain dalam tubuhku yang mulai rapuh

Tuhan …
Adakah keajaiban yang tersisa untukku
Ketika suatu saat aku tak lagi mampu bertahan
Tuhan…
Terima kasih telah kau beri banyak cinta untukku
179 | H o p e

Jika saja masih tersisa satu untukku


Ku harap mukzizat itu terjadi dalam hidupku
180 | H o p e

Bangkit
Maftuhan

Tahun yang baru


Di iringi dengan agenda baru
Membuka lembaran kertas putih
Tanpa ada noda sedikitpun

Masa lalu adalah pengalaman


Masa kini aku mengukir karya
Tanpa batas tidak mencari aman
Saatnya bangkit menuju dunia

Pahitnya masa lalu


Hanyalah sementara
Maninya masa kini
Lebih berarti untuk dimakna

Pengorbanan yang tak sia-sia


181 | H o p e

Ternyata Tuhan Maha Adil


Segala apa yang dikehendaki-Nya
Kini bangkitku
Setinggi samudera
Bersyukur pada-Mu
182 | H o p e

Harapanku
Lia Amalia

Anakku
Bukan kalian pengembara yang lugu
Ada hal lain yang mendasari perangai hati
Sebabkan luka nan perih

Kau tahu
Apa yang kamu mau, keinginanku
Apa yang kamu harapkan, impianku

Bukan cerita bagaimana masa kelam


Pun masa pesakitan
Tapi, dengarkanlah kisah
Layang – layang terbang melayang
Sampai jatuh menjauh
183 | H o p e

Harapan
Elok Rosikhotul Fawazah

Dalam sepi terdiam,


Kadang sepi melingkari hari
Menjebak segala hiruk pikuk kehamparan mega-mega,
Kadang hening.

Menyanyikan melodi terindah


Yang tak tertera dalam nada
Terasa indah dalan alunan jiwa
Biarkan menempati ruang dan waktu
Merenda waktu.
Yang terus berlalu
Meniti mimpi menjadi sebuah harapan
Mencari kekuatan untuk bertahan
Terasa sulit jika berburu keajaiban
Yang semakin berakhir dan berserah pada-Mu
184 | H o p e

Harapan dari pengorbanan


Edy Prastyo

Kuterlahir dari sebuah segumpal darah


Menggumpal memadat mendaging
Lahir dengan darah pengorbanan
Bergeliat tak mampu bertindak

Dari berjerit-jerit teriakan keinginan


Ku dibesarkan dengan penuh harapan
Dari hasil sebuah pengorbanan
yang tak ternilai dengan apapun

Kutermenung dalam simpuh tegeletak


Lambaian daun menebarkan angan bersama angin
Dalam sepi sunyi membalut diri dalam usaha
Secarik modal hidup dalam usaha

Ku ingin bahagiakan ia yang penuh pengorbanan


185 | H o p e

Ku ingin membalas ia yang telah membesarkan


Kuharapkan kesuksesan apa yang diinginkannya
Kuharapkan kepuasan balasan dari pengorbanannya
186 | H o p e

Impian Hijrahku
Ulya Rohmatika

Waktu sudah merekam semua sejarah hidupku


Hingga sejarah harapanku dimasa lalu
Diri ini tak pernah letih maupun tertatih
Dalam menggapai impian dalam berhijrah
Ranting tak akan pernah tau rasanya terluka
Sebelum sang ranting terjatuh dari pohonnya
Terbakar oleh api
hingga jadi sekedar abu
Apalah daya bermimpi lebih baik?
Jika harapan tak pernah diusahakan
Hijrah tak semudah membalikkan tangan
Menggapai mimpi tak semudah terbangun dari tidur
Wahai sajak yang mampu menjelaskan bait-bait harapan
Apakah setiap kata mampu kau artikan?
Apakah setiap harapan ada bukti nyata bukan?
187 | H o p e

Seperti impian hijrahku...semoga akan ada mentari yang tetap


bersinar
Aku bagai bola yang tertendang
Terombang-ambing hingga aku menemukan titik gawang
Memantapkan hati, menetap pada satu tujuan
Yaitu... berhijrah agar hidup berkah
188 | H o p e

Menapaki Senja
Didin Rahmatul Hasanah

Jangan lagi terjatuh di lembah tanpa jiwa


Sendiri telusuri jati gelap tanpa cahaya
Menangis dan tertawa pun terlihat sama
Terlihat baik baik saja namun terluka batin dan jiwa

Ku sebrangi lautan dengan kaki yang tersenyum bahagia


Berharap sang mentari menemani sampai ujung senja
Terlihat kaki yang tak lagi utuh
Tapi biarlah, kalaupun kaki ini tak lagi bisa berlari jauh
Kugunakan tangan untuk berjalan teduh
Ketika tangan ini melemah
Putuspun tak masalah
Masih bisa kugunakan badanku merangkak suka cita untuk
perjalananku
Jikapun badanku tak lagi sanggup
Kugunakan kepala untuk menengadah menyanggah badanku
189 | H o p e

Dan lihat,
Aku yang tanpa kaki, tanpa tangan, badan pun telah rusak
karna batuan terjal
Tersenyum menatap senja di ujung pelangi
Karna aku percaya
Harapan bagai air mengalir yang tak pernah mati

You might also like