You are on page 1of 2

Spirit Korporatisasi BUMN

H. Sri Sulistyanto1
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang

Hampir dua tahun sejak dikeluarkannya, belum ada tanda-tanda pemerintah akan
merealisasi PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan PP Nomor 44 Tahun 2005
tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan
Perseroan Terbatas. Yang menekankan pentingnya holding company bagi perusahaan-
perusahaan negara. Khususnya yang in line usahanya.
Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, banyak kasus hukum yang menjerat
eksekutif BUMN. Kok bisa ya?

Powerhouse
Ya. Tanpa bermaksud skeptis, harus diakui, keinginan pemerintah untuk
membangun powerhouse memang tidak cukup bermodalkan peraturan di atas. Terkesan
seolah untuk membangun powerhouse bisa dilakukan hanya dengan menggelembungkan
ekuitas sebuah perusahaan “baru” hasil merger BUMN. Khususnya yang bergerak
dibidang minyak dan gas, pertambangan, perbankan, jalan tol dan konstruksi, perumahan,
serta pangan.
Padahal, menurut Kasali (2008), powerhouse tidak bisa hanya didefinisikan
sebagai perusahaan besar. Tapi sebagai entitas yang selalu berinovasi untuk menciptakan
lapangan pekerjaan. Memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Dan menjadi
simbol kemajuan bangsa.
Itu sebabnya, di berbagai negara, powerhouse ditahbiskan sebagai lokomotif
pembangunan. Bahkan semakin banyak dan beragam jenisnya semakin maju pula
negaranya. Karena itu tidak mengherankan jika banyak negara ingin membangun
powerhouse.
Baik dengan menghandalkan sumberdaya alamnya (resources-based). Seperti
Malaysia dengan Petronas, Saudi Arabia dengan Saudi Aramco, dan Brazil dengan
Petrobras. Maupun dengan memanfaatkan teknologi (knowledge-based) dan sumberdaya
manusia (people-based). Seperti, sebagai contoh, Amerika Serikat dengan Microsoft.
Jerman dengan Mercedez. Korsel dengan Samsung. India dengan Bajaj. Maupun Jepang
dengan Toyota.
Lantas, bagaimana dengan BUMN? Entitas ini sebenarnya mempunyai potensi
menjadi powerhouse. Karena rata-rata merupakan perusahaan besar. Dengan kapitalisasi
trilyunan. Mempunyai ribuan karyawan. Tercatat di bursa efek. Bahkan ada yang menjadi
negara ini.

1
HP/WA 081 2295 8524. Email: hsrisulistyanto@gmail.com.
Cuma, sayangnya, dibalik kelebihan itu, BUMN kadang dikelola tanpa spirit
korporatisasi (corporatization spirit). Atau semangat untuk mengedepankan nilai-nilai
profesionalitas, akuntabilitas, regenerasi, strategi, dan customer satisfaction. Baik dari
aspek operasi maupun keuangan.
Betapa tidak, lihat saja, sampai saat ini pemerintah masih saja keukeuh
mempertahankan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Yang mengatur
bahwa pengelolaan BUMN sebagai bagian tak terpisahkan dari keuangan negara.
Padahal, menurut teori agency, kekayaan pemilik perusahaan mestinya cukup diakui
sebagai penyertaan modal.
Tujuannya, agar BUMN bisa seperti perusahaan pada umumnya. Yaitu dikelola
secara inovatif. Oleh orang yang kompeten dan capable. Mampu mencari celah dan
peluang. Serta mempunyai keberanian untuk membuat diskresi. Meskipun tidak sejalan
dengan rencana bisnisnya.
Jika tidak maka BUMN menjadi tak ubahnya seperti instansi pemerintah yang
fully regulated. Dimana customer satisfaction-nya tak lebih sebagai kepanjangtanganan
pemerintah. Dan bukan bagian dari orientasi bisnisnya. Apalagi jika produknya bersifat
monopolis.
Ironisnya, dengan posisi itu, BUMN juga acap dimanfaatkan oleh pihak-pihak
tertentu yang mempunyai kekuatan politis. Baik pemerintah, parlemen, maupun partai
politik. Untuk mengintervensinya. Dengan menjadikannya sebagai sapi perah (cash cow)
bagi pribadi maupun kelompoknya.
Akibatnya BUMN terpaksa kerap harus berurusan dengan KPK. Atau penegak
hukum lainnya. Karena dinilai salah langkah. Seperti dalam kasus Garuda Indonesia,
Pelindo II, Barata Indonesia, dan lainnya. Karena itu jangankan menjadi powerhouse.
Yang terjadi justru sebaliknya. Banyak eksekutif perusahaan plat merah yang menjadi
pesakitan.
Karenanya memang bukan tanpa alasan jika Indonesia, misalnya, meniru
Singapura ketika membangun super powerhouse Temasek. Atau Malaysia dengan
Khazanah. Yang, menurut Abeng (2015), mengamputasi invisible hand yang berani
menjahili kedua holding company tersebut.
Sebab tanpa itu, semua cara tampaknya bakal sia-sia. Seperti yang pernah
dilakukan pemerintah di awal reformasi BUMN. Dengan program restrukturisasi,
revitalisasi, dan privatisasinya. Yang ternyata hanya indah di atas kertas. Dan menarik
untuk didiskusikan saja.

Catatan Penutup
Maka, memang tidak bisa tidak, jika tetap ingin menjadikan BUMN sebagai
powerhouse. Pemerintah harus berani mengkaji ulang UU Nomor 17 Tahun 2003.
Maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sebagai dasar untuk
membangun spirit korporatisasi di perusahaan plat merah tersebut. Agar mereka bisa
dikelola lebih profesional dan accountable. Setuju?

You might also like