You are on page 1of 13

REFERAT

EPILEPSI PADA ANAK

Disusun Oleh:

Raninda Riani

1261050034

Pembimbing :

dr. Persadaan Bukit, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2017

0
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi masih menjadi masalah utama pada anak khususnya di bidang Neurologi
yang dapat mengakibatkan mobiditas dan disabilitas pada anak. Angka kematian anak
penderita epilepsi meningkat terutama pada anak dengan abnormalitas neurologic.Insiden
epilepsi pada anak adalah dua kali lipat dibandingkan insiden pada dewasa (sekitar 700 per
100.000 pada anak usia kurang 16 tahun dibandingkan dengan 330 per 100.000 pada
dewasa) .1,2
Menurut WHO 50 juta penduduk Bumi menderita epilepsi. Sekitar 80% penderita
epilepsi berada di negara berkembang. Di amerika, sebanyak 3 juta orang mengalami
epilepsi dan 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Di Australia sekitar 1 dari 120
penduduk menderita epilepsi. Dari sebuah studi di Peru, didapatkan bahwa 2016 dari 100.000
anak di bawah usia 15 tahun menderita epilepsi.2
Angka kejadian epilepsi sedikit lebih tinggi pada laki-laki disbanding perempuan.
Usia < 2 tahun adalah kelompok usia dengan insidens tertinggi. Beberapa faktor yang
meningkatkan risiko terjadinya epilepsi,seperti retardasi mental, palsi serebral,ayah atau ibu
dengan epilepsi, maupun riwayat kejang tanpa demam .5
Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan kerentanan sel neuron
terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek neurobiologis,psikologis,
kognitif dan social individu. Menurut ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu
dari kondisi berikut terdapat minimal dua episode kejang tanpa diprovokasi, terdapat satu
episode kejang tanpa diprovokasi,namun resiko rekurensi dalam 10 tahun sama dengan risiko
rekurensi setelah dua episode kejang tanpa provokasi,serta sindrom epilepsi berdasarkan
pemeriksaan elektroensefalografi.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Epilepsi berasal dari Bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang ditandai oleh kejang berulang dalam
waktu lebih dari 24 jam. Jika seorang anak mengalami kejang hanya satu kali, maka
belum dapat disebut sebagai epilepsi. Namun, jika terjadi dua atau lebih kejang dalam
waktu lebih dari 24 jam, maka anak dapat dinyatakan menderita epilepsi. Epilepsi
terjadi akibat ketidakseimbangan rangsangan (eksitasi) dan hambatan (inhibitor)
muatan listrik di neuron otak. Epilepsi dapat menimbulkan implikasi medis dan
psikososial.7,8,9,10,11
Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu,
epilepsi simtomatik dan epilepsi idiopatik. Jika epilepsi terjadi setelah peristiwa
tertentu (asfiksia, trauma kepala, meningitis), maka ini disebut sebagai epilepsi
simptomatik. Namun, jika epilepsi terjadi tidak diketahui penyebabnya maka disebut
sebagai epilepsi idiopatik.7,8

B. Epidemiologi
Prevalansi epilepso pada decade 1-2 kehidupan lebih tinggi dibandingkan dengan usia
lanjut di negara berkembang dibandingkan dengan negara yang sudah maju.
Penelitian berdasarkan populasi melaporkan prevalensi epilepsi pada anak 3,6 sampai
4,2 tiap 1000 anak di negara maju dan dua kali lipatnya di negara berkembang.

C. Etiologi 7
1. Idiopatik : tidak terdapat lesi structural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan pada umumnya
berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui
3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada
otak, misalnya cedera kepala, infeksi Susunan Saraf Pusat(SSP),kelainan

2
kongenital,lesi desak ruang,gangguan peredaran darah otak,gangguan
metabolic,kelainan neurodegeneratif.

D. Patofisiologi8
 Mekanisme Non-sinaptik Selama hipereksitasi terjadi peningkatan K+
ekstraseluler atau menurunnya Ca+ ekstraseluler, hal ini dapat disebabkan oleh
penurunan volume ekstraseluler. Kegagalan pompa Na+ dan K+ karena
hipoksia atau iskemia dikenal sebagai epileptogenesis, dan gangguan
transportasi Cl dan K+ dapat menyebabkan peningkatan eksitasi. Rangsangan
terminal sinaptik tergantung pada sejauh mana depolarisasi dan jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Sinkronisasi dari lonjakan percabangan
aksonal memainkan peran kunci dalam epileptogenesis. Interaksi yang terjadi
antara neuron tetangga dipisahkan dengan jarak ekstraseluler yang kecil dan
berkontribusi terhadap peningkatan sinkronisasi.16
 Mekanisme Sinaptik Patofisiologi Sinaptik pada epilepsi adalah berupa
berkurangnya inhibisi GABAergic atau eksitas glutamatergic yang
meningkat.16 a. GABA Pesien dengan jenis epilepsi tonik-klonik terbukti
memiliki jumlah GABA yang lebih sedikit dalam cairan cerebrospinal (CSS).
Jika jaringan otak yang mengalami epilepsi diangkat dari penderita dengan
epilepsi resistan terhadap obat, maka akan terjadi penurunan inhibisi pada
penderita.16 b. Glutamat Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar
telah menunjukkan peningkatan berkelanjutan di tingkat kadar glutamat
ekstraseluler selama dan sebelum kejang. Tingkat GABA tetap rendah di
daerah epileptogenik hipokampus, tetapi selama kejang konsentrasi GABA
meningkat, sebagian besar terdapat di daerah non-epileptogenik
hipokampus.16

Gambar 2. Mekanisme terjadinya reaksi anafilaksis

3
E. Manifestasi Klinis8
Secara klinis anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi
lokal terdiri dari urtikaria dan angioderma pada daerah yang kontak dengan antigen.
Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada organ
target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis,
dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan
penyebab.

Reaksi sistemik
 Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi ringan :
Rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam
mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat
dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa,
keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah
kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya
berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.

 Reaksi sistemik sedang


Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada
reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas,
dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioderma, urtikaria umum, mual dan
muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah.
Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik
ringan.

 Reaksi sistemik berat


Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam
beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan

4
edema laring disertai serak,stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti
napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia,
kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan
oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular
menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma.

F. Diagnosis 3,9
 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis dapat ditanyakan 3 kriteria yang dapat mengarah ke kejadian
anafilaksis atau mengancam jiwa pada ABC (Airway, Breathing, Circulation), seperti:
1. Didapatkan kejadian tiba-tiba (< 30 menit) setelah paparan dengan tambahan
gejala seperti pada kulit (kemerahan, gatal-gatal), bibir bengkak disertai gangguan
pada pernapasan (wheezing, sesak, batuk) dan gangguan kardiovaskular
( hipotensi, inkontinensia)
2. Dua atau lebih gejala yang diikuti dengan onset tiba-tiba setelah terpapar allergen,
seperti keluhan pada mukosa kulit (gatal, kemerahan pada seluruh badan), keluhan
pada respirasi ( wheezing, batuk, hipoksia, sesak), hipotensi atau disfungsi organ
(kolaps, inkontinensia), keluhan pada abdomen ( keram perut, muntah)
3. Pada bayi didapatkan penurunan tekanan darah (sistolik) kurang dari 70mmHg
pada usia 1 bulan sampai 1 tahun, pada usia 1 tahun sampai 10 tahun
(70mmHg+(2 x age)), kurang 90 mmHg pada usia 11-17 tahun. Denyut nadi
berada pada 80-100x/menit pada usia 1-2 tahun, 80-120x/menit sampai usia 3
tahun , 80-115x/menit pada usia diatas 3 tahun. Pada bayi lebih dikeluhkan
terhadap takikardia dibandingkan hipotensi.

5
Gambar
3. Kriteria
Klinis

Diagnosis Anafilaksis
Sumber : World Allergy Organization

G. Diagnosis Banding7

6
 Eritema multiforme : mempunyai lesi eritem makular atau papular berbentuk seperti
target, dapat menyerupai urtikaria, namun lesi ini biasanya terfiksir dan berlangsung
selama beberapa hari.
 Urtikaria pigmentosa : tampak sebagai makula makula hiperpigmentasi, berwarna
merah-coklat, yang dapat megalami koalesens. Apabila lesi ini tergores, ia akan
berubah menjadi urtikaria, yang dikenal sebagai Darier sign.

H. Penatalaksanaan

7
Gambar 4. Algoritma tatalaksana anafilaksis
Sumber : Resuscitation Council (UK) , Emergency Treatment of Anaphylactic Shock

1. Adrenalin
Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksimum 0,3 mg (larutan
1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.
Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml
(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi

8
antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5 menit bila
diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespon dengan
medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05 mg/kgBB (larutan
1:1000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang
dalam 5-20 menit.

2. Intubasi dan trakeostomi


Perlu dikerjakan apabila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas oleh edema.
Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.

3. Turniket
Kalau anafilaksis terjadi oleh karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan
hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat
gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.

4. Oksigen
Oksigen harus diberikan kepada penderita yang mengalami sianosis, dispneu yang
jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10
liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung.

5. Difenhidramin
Dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5-10 menit),
intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis
tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6
jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan
angioderma.

6. Cairan intravena
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis atau ringer
sebanyak 20 mg/kgBB secepatnya sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi,
cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak.

7. Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang
dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama.
Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari
tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan
0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila
memungkinkan kadar aminofilin serum harus di monitor.

8. Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol,
bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebgai suntikan tunggal secra
lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila aritmia jantung , pengobatan

9
dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan
darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1
mg (1 ml) dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau
dopamin (Intropine) yang dieberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2
mg/kgBB/jam.

9. Kortikosteroid
Berguna untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan
hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6
jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.

Gambar 5. Initial Treatment of Anaphylaxis


Sumber : World Allergy Organization

10
Gambar 6. Dosis Adrenalin (epinefrin)
Sumber : ASCIA Guidelines: Acute Management of Anaphylaxis 2016

11
BAB III
KESIMPULAN

1. Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan reaksi antigen-antibodi (antigen IgE).
Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen, seperti histamin,
serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial vaskuler disertai
bronkospasme.
2. Penyebab tersering syok anafilaktik adalah makanan, obat-obatan, racun
Himenoptera, latex, imunoterapi alergen, olahraga, vaksinasi, lain-lain, dan idiopatik.
3. Patofisiologi syok anafilaktik disebabkan oleh karena reaksi hipersensitivitas tipe I
(cepat).
4. Secara klinis anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik.
5. Diagnosis syok anafilaktik dapat ditanyakan dengan 3 kriteria yang dapat mengarah
ke kejadian anafilaksis atau mengancam jiwa pada ABC (Airway, Breathing,
Circulation).

12

You might also like