You are on page 1of 13

BAB V

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Universitas Esa Unggul periode
Maret-Juli 2018, berdasarkan populasi yang dimiliki sebanyak 247 mahasiswi,
sedangkan besar sampel pada penelitian ini sebesar 84 mahasiswi.

5.1 Gambaran Kejadian Dysmenorrhea Primer pada Mahasiswi KESMAS


di Universitas Esa Unggul tahun 2018
Pada tabel 4.1 distribusi frekuensi kejadian dysmenorrhea primer pada
mahasiswi kesmas di Universitas Esa Unggul tahun 2018 menunjukkan
bahwa dari 84 mahasiswi, sebanyak 66,7% yang mengalami dysmenorrhea
primer setiap bulannya. Sedangkan mahasiswi yang tidak mengalami
dysmenorrhea primer ada 33,3%. Derajat nyeri yang dirasakan saat
menstruasi oleh mahasiswi rata-rata antara derajat 4-6 berdasarkan NRPS.
Dysmenorrhea bukanlah suatu penyakit, dan biasa terjadi pada wanita.
Namun, dapat merupakan gejala yang mengindikasi adanya penyakit.
Patofisiologi dysmenorrhea sampai saat ini masih belum jelas; tetapi teori
terakhir yang banyak digunakan adalah teori prostaglandin banyak
digunakan; dikatakan bahwa pada keadaan dysmenorrhea kadar
prostaglandin meningkat. Sehingga terjadilah nyeri saat haid ditandai dengan
nyeri pada perut bagian bawah, yang bisa menjalar ke punggung bagian
bawah dan tungkai. Biasanya nyeri dimulai timbul sesaat sebelum atau
selama menstruasi mencapai pucaknya dalam 24 jam dan setelah 2 hari akan
menghilang (Nugroho, 2014). Pada klasifikasi nyeri haid, terdapat derajat
nyeri berdasarkan hasil penelitian diatas, menurut Leppert (2004) skala nyeri
pada NPRS antara 4-6 dapat dikatakan nyeri sedang yaitu nyeri yang
diperlukan obat penghilang rasa nyeri tanpa perlu meninggalkan kerjanya.
Sehingga menurut penelitian Aziato et al (2014), diketahui bahwa
dysmenorrhea menyebabkan intoleransi aktivitas dan nyeri yang berat
mengakibatkan ketidakhadiran kerja atau sekolah. Hal ini menyebabkan
penurunan output kerja dan perhatian kelas. Wanita yang mengalami

44
45

dysmenorrhea menjadi murung, mudah marah, dan tidak dapat berinteraksi


secara efektif dengan orang lain. Nyeri dysmenorrhea juga berkontribusi
terhadap sulit tidur dan rasa gelisah.
Berdasarkan hasil observasi mayoritas mahasiswi mengalami
dysmenorrhea primer. Pada kasus normal, produksi prostaglandin tidak
berlebih, sehingga ketika menstruasi dinding rahim luruh dan terjadinya
kontrasi. Pada kasus ini munculnya dysmenorrhea dikarenakan adanya
peningkatan kadar prostaglandin didalam darah, yang merangsang
miometrium. Peningkatan kadar prostaglandin timbul karena adanya lesi
pada dinding rahim. Akibatnya terjadi peningkatan kontraksi dan disritmia
uterus, sehingga terjadi penurunan aliran darah ke uterus dan mengakibatkan
iskemia. Dysmenorrhea primer terjadi sesudah menarche (12 bulan atau
lebih), maka dari itu nyeri terjadi pada SMA sampai seorang wanita dapat
melahirkan karena kadar prostaglandin sudah berkurang. Namun, dampak
yang terjadi kepada mahasiswi berupa hilangnya konsentrasi saat
perkuliahan, mempengaruhi nilai dan absensi kehadiran, serta dapat menunda
mengerjakan tugas kuliah sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari. Upaya
yang dilakukan untuk mengurangi dysmenorrhea dengan kompres hangat
pada daerah abdomen, latihan atau olahraga, serta mempertahankan postur
tubuh yang baik.

5.2 Gambaran Usia Menarche pada Mahasiswi KESMAS di Universitas Esa


Unggul tahun 2018
Berdasarkan tabel 4.2 distribusi frekuensi usia menarche pada mahasiswi
kesmas di Universitas Esa Unggul tahun 2018 menunjukkan bahwa 53
mahasiswi (63,1%) mayoritas usia menarche pada kategori berisiko. Dan 31
mahasiswi (36,9%) pada kategori usia menarche tidak berisiko. Kategori
berisiko pada usia menarche antara kelas 5-6 SD. Dan kategori tidak berisiko
antara SMP-SMA.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gustina (2015) pada
remaja putri di SMK Negeri 4 Surakarta didapatkan hasil analisis usia
menarche menujukkan bahwa responden yang mengalami usia menarche

Universitas Esa Unggul


46

paling banyak yaitu pada usia 12 tahun sebanyak 70 siswi (47,3%).


Sedangkan usia menarche minimum responden adalah 10 tahun sebanyak 11
siswi (7,4).
Menarche menurut Proverawati dan Maisaroh (2009) merupakan
menstruasi pertama yang biasa terjadi dalam rentan usia 10-16 tahun atau
pada masa awal remaja tengah pubertas sebelum masa reproduksi. Proses
menstruasi bermula sekitar umur 12 atau 13 tahun walaupun ada yang lebih
cepat sekitar umur 9 tahun dan selambat-lambatnya umur 16 tahun. Salah satu
faktor resiko terjadinya dysmenorrhea primer adalah menstruasi pertama
pada usia amat dini (earlier age at menarche) (Sulistyawati, 2009). Adapun
faktor- faktor yang dapat mempengaruhi menarche dini yaitu status gizi,
genetik, konsumsi makanan tinggi kalori, tinggi lemak, sosial ekonomi,
keterpaparan media masa orang dewasa (pornografi), prilaku seksual dan
gaya hidup (Astuti, 2014).
Berdasarkan hasil wawancara mayoritas mahasiswi mengalami usia
menarche pada kategori berisiko ± kelas 5-6 pada Sekolah Dasar. Hasil
RisKesDas tahun 2010 menyatakan bahwa sebanyak 20,9% anak perempuan
di Indonesia telah mengalami menarche di usia kurang dari 12 tahun.
Memasuki era globalisasi banyak orang tua yang menfasilitasi anak
menggunakan TV, handphone bahkan internet, sehingga anak-anak kurang
melakukan aktifitas fisik. Cukup dengan bermain games online dan menonton
youtube anak-anak menjadi riang. Dapat diketahui bahwa pada situs internet
memiliki iklan yang terkadang fitur/tontonan yang disajikan bukan sesuai
dengan usia pertumbuhannya, sehingga rasa penasaran anak timbul dan mulai
mencoba, maka dari itu diperlukannya pengawasan orang tua. Dan faktor
lainnya adalah konsumsi makanan yang tersedia mayoritas orang tua
menyediakan makanan yang praktis. Lingkungan sosial disekitar pun menjadi
ancaman untuk pribadi anak tersebut, karena sedikit banyaknya akan
mempengaruhi pribadinya.

Universitas Esa Unggul


47

5.3 Gambaran Konsumsi Fast Food pada Mahasiswi KESMAS di


Universitas Esa Unggul tahun 2018
Berdasarkan tabel 4.3 distribusi frekuensi konsumsi fast food pada
mahasiswi kesmas di Universitas Esa Unggul tahun 2018 menunjukkan
bahwa dari 84 mahasiswi mayoritas yang menkonsumsi fast food pada
kategori sering sebanyak 60 mahasiswi (71,4%). Jenis fast food yang
dikonsumsi oleh mahasiswi yaitu fast food modern maupun lokal, diantaranya
: Fried chicken 71%, Gorengan 68%, Nasi padang 63%, Bakso 62%, Chicken
nugget 60%, Mie instan 60%, Siomay 59%, Kentang goreng 58%, Pempek
55%, Cireng 53%, Sosis 50%, Pizza 50%, Hamburger 44%, Spaghetti 40%,
Hotdog 0%.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristianti, dkk (2009)
pada siswi SMA Negeri Surakarta dari keseluruhan responden yang sering
mengkonsumsi fast food sebesar 54,7% dan yang jarang mengkonsumsi fast
food sebesar 45,3%. Dengan meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial dan
kesibukan pada remaja, akan mempengaruhi kebiasaan makan remaja.
Konsumsi makanan sering tidak teratur, sering jajan, sering tidak makan pagi
dan sama sekali tidak makan siang sehingga jarang remaja untuk
mengkonsumsi fast food.
Fast food yang berasal dari barat sering juga disebut fast food modern.
Makanan yang disajikan pada umumnya berupa hamburger, pizza, dan
sejenisnya. Sedangkan fast food lokal sering juga disebut dengan istilah fast
food tradisional seperti warung tegal, restoran padang, warung sunda, nasi
goreng, pempek (Andriani, 2012). fast food modern atau fast food tradisional
yaitu makanan yang mengandung tinggi lemak, tinggi garam, tinggi gula,
tetapi rendah serat dan vitamin. Kebiasaan menkonsumsi jenis makanan
tersebut sudah mulai tampak dikalangan remaja. Kebiasaan yang di peroleh
semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase dewasa dan usia
lanjut. Dampak yang akan di alami meliputi, : meningkatkan risiko serangan
jantung, membuat ketagihan,meningkatkan berat badan, menigkatkan risiko
kanker, memicu diabetes militus, serta memicu tekanan darah tinggi
(Khasanah, 2012).

Universitas Esa Unggul


48

Berdasarkan hasil wawancara mayoritas mahasiswi tidak tinggal dengan


orang tua/merantau (kost) dengan demikian mahasiswi cenderung untuk
membeli makanan cepat saji/instan (fast food). Kampus memang memiliki
kantin, namun dengan jumlah mahasiswa yang banyak, tidak mencukupi
sehingga ada beberapa warga sekitar berjualan di dekat kampus dan pedagang
lainnya pun ikut berjualan. Letak kost mahasiswi pun memang dekat dengan
tempat “kuliner” sehingga memang strategis untuk menikmati makanan yang
pedagang jual. Jenis-jenis makanan yang dijelaskan diatas beberapa
diantaranya memang dijual disekitar jajanan kampus. Selain itu, tempat asal
mahasiswi baik di perkotaan maupun di desa, orang tua mereka memberikan
asupan makanan yang berbeda-beda. Sehingga status gizi individu
mempengaruhi metabolisme tubuh.

5.4 Gambaran Tingkat Stres pada Mahasiswi KESMAS di Universitas Esa


Unggul tahun 2018
Berdasarkan tabel 4.4 distribusi frekuensi tingkat stres pada mahasiswi
kesmas di Universitas Esa Unggul tahun 2018 menunjukkan bahwa 47
mahasiswi (56%) tingkat stres mahasiswi cenderung pada kategori ringan.
Tingkat stres yang diukur menggunakan kuesioner (DASS 42) terdiri dari 42
pernyataan terdiri dari 3 dimensi yaitu : kecemasan, stres dan depresi. Berikut
jawaban yang pernah dirasakan oleh mahasiswi dengan presentase :
kecemasan 30%, stres 48%, dan depresi 11%. Beberapa pernyataan dari 3
dimensi tersebut dengan proporsi tertinggi yang dirasakan, mahasiswi
menjawab:
Pada dimensi kecemasan : “Saya merasa bibir saya merasa sering kering”
dengan jawaban “LS” sebesar 18%, “Saya mengalami kesulitan saat
menelan” dengan jawaban “KD” sebesar 9%, dan “Saya merasa lemas seperti
mau pingsan” dengan jawaban “KD” sebesar 6%.
Sesuai dengan teori bahwa kecemasan adalah respon terhadap situasi
tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan

Universitas Esa Unggul


49

adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan,
apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang
dalam kehidupannya. Sehingga kecemasan juga sebagai ancaman terhadap
kesehatan. Faktor penyebab kecemasan diantaranya : faktor fisik,
trauma/konflik, lingkungan awal yang tidak baik (Lubis, 2011).
Pada dimensi Stres : “Saya takut bahwa saya akan terhambat oleh tugas-
tugas sepele yang tidak biasa saya lakukan” dengan jawaban “KD” sebesar
21%, “Saya menemukan diri saya berada dalam situasi yang membuat saya
merasa sangat cemas dan saya akan merasa sangat lega jika semua ini
berakhir” dengan jawaban “LS” sebesar 20%, dan “Saya merasa bahwa diri
saya menjadi marah karena hal-hal sepele” dengan jawaban “SS” sebesar
13%.
Hal ini sesuai dengan teori stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat
individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama
tanggapannya bagi orang lain, hal ini dipengaruhi oleh tingkat kematangan
berfikir, tingkat pendidikan dan kemampuan adaptasi seseorang terhadap
lingkungannya. Stressor akan membebani individu dan mengakibatkan
gangguan keseimbangan fisik ataupun psikis (Hartono, 2007). Menurut
Priyoto (2014) kondisi stres dapat diselesaikan oleh berbagai
penyebab/sumber atau dalam istilah lebih umum disebut stressor. Stressor
adalah keadaan atau situasi objek atau individu yang dapat menimbulkan
stres. Banyak hal yang dapat mempengaruhi tingkat stres antara lain : masalah
keluarga, masalah ekonomi, tekanan pekerjaan atau kepribadian serta
karakter yang melekat dalam diri seseorang. Stres memiliki dampak yang
terbagi menjadi 2 bagian yaitu dampak negatif pada individu, dampak negatif
tersebut dapat berupa dampak emosional seperti keletihan, menutup diri,
depresi dan harga diri rendah. Dan dampak terhadap fisik yaitu munculnya
berbagai masalah kesehatan seperti sering mengalami sakit dan nyeri,
masalah lambung, cemas saraf dan munculnya penyakit-penyakit lain.
Pada dimensi depresi : “Saya merasa sulit untuk bersantai” dengan
jawaban “KD” sebesar 11%, “Saya menemukan diri saya menjadi tidak sabar
ketika mengalami penundaan (kemacetan lalu lintas atau menunggu sesuatu)”

Universitas Esa Unggul


50

dengan jawaban “LS” sebesar 9%, dan “Saya merasa sulit meningkatkan
inisiatif dalam melakukan sesuatu” dengan jawaban “KD” sebesar 4%.
Sesuai dengan teori bahwa depresi merupakan gangguan perasaan (afek)
yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai
dengan gejala-gejala lain, seperti gangguan tidur dan menurunnya selera
makan. Depresi biasanya terjadi saat stres yang dialami oleh seseorang tidak
kunjung reda, dan depresi yang dialami berkorelasi dengan kejadian dramatis
yang baru saja terjadi atau menimpa seseorang. Penyebab depresi anatara lain,
faktor fisik (genetik, usia, gender, gaya hidup, penyakit, obatan-obatan, obat
terlarang, kurang cahaya matahari) faktor psikologi (kepribadian, pola pikir,
harga diri, stres, lingkungan keluarga, penyakit jangka panjang) (Lubis,
2011).
Sejalan dengan penelitian Ismail (2015) Tingkat stres mahasiswi
semester VIII Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNSRAT, yaitu ringan
sebanyak 26 responden (83,9%) dan sedang sebanyak 5 responden (16,1%).
Berdasarkan hasil jawaban dari pernyataan mahasiswi, dapat dikatakan
untuk tingkat kecemasan kondisi mahasiswi yang dirasakan, biasanya terjadi
pada hal-hal yang baru, sehingga ada rasa cemas/khawatir. Namun untuk
kasus ini mahasiswi sudah menjalani aktivitas perkuliahan sebagai mahasiswi
sehingga fisik dan mentalnya sudah siap menerima konsekuensi pada hal baru
tersebut. Untuk tingkat stres, sebagian mahasiswi memang merasakan, namun
masih pada kategori ringan yang berarti respon tubuh dan pola pikir
mahasiswi masih bisa mengontrol dengan baik sehingga cepat tertangani dan
tidak berkepanjangan. Pada tingkat depresi, sebagian mahasiswi memang
merasakan, namun masih dalam kategori ringan, sehingga tidak diperlukan
tindaklanjut. Mayoritas jawaban mahasiswi juga pada tingkat depresi yaitu
“tidak pernah” karena pencapaian depresi merupakan awal mula terjadinya
stres yang tidak tertangani dan berkorelasi dengan faktor-faktor penyebab
lainnya, sehingga terjadilah afek tersebut. Namun pada kasus ini, didapatkan
bahwa mahasiswi terlihat ceria, semangat, dan berpikir positif serta tidak ada
ciri-ciri timbulnya sikap stres.

Universitas Esa Unggul


51

5.5 Hubungan Usia Menarche Dengan Kejadian Dysmenorrhea Primer pada


Mahasiswi KESMAS di Universitas Esa Unggul tahun 2018
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan proporsi tertinggi kejadian
dysmenorrhea primer sebanyak 40 mahasiswi (75,5%) pada usia menarche
berisiko. Sedangkan proporsi tertinggi pada usia menarche tidak berisiko ada
16 mahasiswi (51,6%) yang mengalami dysmenorrhea primer. Hasil uji
statistik menggunakan Chi-Square didapatkan p-value 0.046 (p<0.05) maka
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia menarche
dengan kejadian dysmenorrhea primer. Dari hasil analisis diperoleh nilai
OR= 2,88, yang berarti mahasiswi pada kategori usia menarche berisiko
mempunyai peluang 2,88 kali untuk mengalami dysmenorrhea primer
dibandingkan dengan kategori usia menarche tidak berisiko.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathiyani (2015)
didapatkan hasil dysmenorrhea primer yang dialami oleh responden sebanyak
62.7% dengan riwayat usia menarche ≤ 12. Sehingga terdapat hubungan usia
menarche dan kejadian dysmenorrhea primer. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Fitriana (2013) yang menyatakan bahwa hasil penelitian didapatkan ada
pengaruh antara umur menarche dengan kejadian dysmenorrhea primer pada
mahasiswi di Akademi kebidanan meuligoe Meulaboh tahun 2013. Kemudian
penelitian yang dilakukan oleh sophia (2013) pada siswi SMK Negeri 10
Medan, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia
menarche dengan dysmenorrhea.
Usia menarche atau saat mentruasi pertama telah mencatat sebagai faktor
resiko pada dysmenorrhea primer antara lain usia < 12 tahun (Sulistyawati,
2009). Namun secara global dan termutahir. Perempuan mengalami
menstruasi dini (premature). Hal ini disebabkan faktor internal dan eksternal.
Faktor internal karena ketidakseimbangan hormon bawaan lahir. Hal ini juga
berkolerasi dengan faktor eksternal seperti asupan gizi pada makanan yang di
konsumsi. Menarche terlambat terjadi pada kelompok sosial ekonomi sedang
sampai tinggi yang memiliki selisih sekitar 12 bulan. Kemudian orang yang
berasal dari kelompok keluarga biasa mengalami menarche lebih dini.
Berdasarkan wanita yang mengkonsumsi vegetaraian kejadian menarche nya

Universitas Esa Unggul


52

lebih lama dibanding non-vegetaria menarche nya 6 bulan lebih awal


(Proverawati dan Maisaroh, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara mayoritas mahasiswi mengalami usia
menarche berisiko, dikarenakan beberapa faktor baik secara internal maupun
eksternal. Salah satu nya adalah konsumsi fast food, semakin banyak anak-
anak yang sudah makan fast food dan bahkan menjadi kebiasaan mereka
yang kemudian membuat tubuh menjadi lebih gemuk dari biasanya atau
obesitas, kondisi ini bisa membuat lebih cepat menstruasi karena lemak di
tubuh akan mengirimkan sinyal impuls ke otak yang kemudian membuat
menstruasi lebih cepat terjadi. Tidak hanya bermasalah di pemilihan asupan
makanan yang lebih didominasi makanan cepat saji yang kurang baik,
kebiasaan seperti kurangnya aktivitas fisik juga memengaruhi kondisi
menstruasi dini. Sehingga kejadian tersebut tidak dapat dirubah. Dapat
disimpulkan bahwa mahasisiwi yang mengalami usia menarche dini, dapat
meningkatkan kadar prostaglandin dikarenakan fungsi reproduksi berjalan
terlalu dini (belum siap) yang mengakibatkan dysmenorrhea. Peran orang tua
sangat berpengaruh oleh tumbuh kembang anak. Menciptakan suasana rumah
aman dan nyaman pun termasuk kedalam faktor pengaruh, terutama pada
konsumsi makanan anak, teman bermain disekolah maupun dirumah, sampai
kepenggunaan gedget perlu diperhatikan, agar anak-anak tetap melakukan
aktifitas fisik.

5.6 Hubungan Konsumsi Fast Food Dengan Kejadian Dysmenorrhea Primer


Pada Mahasiswi KESMAS di Universitas Esa Unggul tahun 2018
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan proporsi tertinggi pada konsumsi
fast food sering 45 mahasiswi (75%) yang mengalami dysmenorrhea primer.
Sedangkan proporsi tertinggi pada konsumsi fast food jarang ada 13
mahasiswi (54,2%) dan tidak mengalami dysmenorrhea primer. Hasil uji
statistik menggunakan Chi-Square didapatkan p-value 0.021 (p<0.05) maka
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian dysmenorrhea
primer antara konsumsi fast food sering dan jarang (ada hubungan yang
signifikan antara konsumsi fast food dengan kejadian dysmenorrhea primer).

Universitas Esa Unggul


53

Dari hasil analisis diperoleh nilai OR= 3,54, yang berarti mahasiswi dengan
konsumsi fast food sering mempunyai peluang 3,54 kali untuk mengalami
dysmenorrhea primer dibandingkan dengan konsumsi fast food jarang.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indahwati (2017) Dari
hasil penelitian yang didapat berarti ada hubungan mengonsumsi makanan
cepat saji. Penelitian Fitriana (2013) yang menyatakan bahwa hasil penelitian
didapatkan ada pengaruh antara status gizi dengan kejadian dysmenorrhea
primer pada mahasiswi di Akademi kebidanan meuligoe Meulaboh tahun
2013.
Sesuai dengan teori yang ada bila asupan nutrisi dalam jumlah yang
kurang optimal akan berdampak pada perlambatan proses pertumbuhan dan
perkembangan maturasi/pematangan seksual. Sebaliknya bila asupan nutrisi
terlalu berlebih akan terjadi percepatan proses pertumbuhan perkembangan
seksual. Remaja membutuhkan nutrisi lebih dibandingkan dengan waktu
anak-anak. Kebutuhan nutrisi mencapai puncaknya terutama pada saat pacu
tumbuh mencapai maksimal. Status gizi dikatakan baik, apabila nutrisi yang
diperlukan baik protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, maupun air
digunakan oleh tubuh sesuai kebutuhan (Paath, 2005). Menurut Kristina
(2010) masalah gizi pada remaja timbul karena perilaku gizi yang salah, yaitu
ketidakseimbangan antara konstitusi gizi dengan kecukupan gizi yang
dianjurkan. Remaja putri sering melewatkan dua kali waktu makan dan lebih
memilih kudapan. “Makanan Sampah” (junk food) kini semakin digemari
oleh remaja, baik sebagai kudapan maupun “makan besar”. Semakin banyak
lemak semakin banyak pula prostaglandin yang dibentuk, sedangkan
peningkatan kadar prostaglandin dalam sirkulasi darah diduga sebagai
penyebab dysmenorrhea.
Berdasarkan hasil analisa didapatkan proporsi tertinggi 2 jenis makanan
yang sering di konsumsi oleh mahasiswi adalah Fried Chicken 71% dan
Gorengan 68%. Pedagang disekitar kampus memang menjual jenis makanan
diatas, sehingga tidak dapat dihindari dalam setiap harinya, mahasiswi
menkonsumsi makanan tersebut. Karena jadwal kuliah yang padat dan waktu
istirahat yang sempit, mahasiswi membeli makanan praktis yang bisa

Universitas Esa Unggul


54

dibungkus. Untuk kelas pararel kemungkinan setelah pulang kerja langsung


berangkat kuliah dengan keadaan perut kosong sehingga membeli makanan
praktis. Kehidupan diperkotaan pun yang notaben-nya pekerja memaksakan
mereka untuk mengkonsumsi makanan cepat saji (praktis) karena letih
seharian beraktifitas. Dapat disimpulkan selain mahasisiwi mengalami usia
menarche dini, mereka pun mengkonsumsi fast food yang dapat
meningkatkan kadar prostaglandin dalam sirkulasi darah sehingga terjadi
dysmenorrhea.
Budaya jajan pun menjadi bagian dari keseharian hampir semua
kelompok usia dan kelas sosial. Berdasarkan Survei yang dilakukan oleh
Badan POM tahun 2011 yang melibatkan 108.000 responden pada 4500 SD
dan Madrasah Ibtidaiyah di 18 provinsi menunjukkan 99 % anak sekolah
selalu jajan. Sehubungan dengan kasus ini mengakibatkan pemerintah turun
tangan untuk menangani bagaimana menanggulangi kasus tersebut, dengan
cara budaya membawa bekal. Beberapa sekolah swasta memang sudah
menerapkan program tersebut, dan jajanan kantin pun memang di kontrol
oleh pihak sekolah. Penerapan program tersebut dimulai dari sekolah dini,
sekolah menengah hingga sekolah lanjut/perguruan tinggi. Sehingga program
tersebut berhasil dan berjalan dengan lancar. Upaya lain yang dapat dilakukan
adalah dengan mengkonsumsi makanan giziseimbang serta menerapkan pola
hidup sehat.

5.7 Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Dysmenorrhea Primer Pada


Mahasiswi KESMAS di Universitas Esa Unggul tahun 2018
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan proporsi tertinggi kejadian
dysmenorrhea primer sebanyak 25 mahasiswi (67,6%) pada tingkat stres
sedang. Sedangkan proporsi tertinggi pada tingkat stres ringan sebanyak 31
mahasiswi (66%) yang mengalami dysmenorrhea primer. Hasil uji statistik
menggunakan Chi-Square didapatkan p-value 1.000 (p>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres
dengan kejadian dysmenorrhea primer. Dari hasil analisis diperoleh nilai
OR= 1,07, yang berarti mahasiswi pada tingkat stres ringan mempunyai

Universitas Esa Unggul


55

peluang lebih rendah 1,07 kali untuk mengalami dysmenorrhea primer


dibandingkan dengan tingkat stres sedang.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fitriana (2013) yang menyatakan bahwa hasil penelitian didapatkan ada
pengaruh antara Psikologis dengan kejadian dysmenorrhea primer pada
mahasiswi di Akademi kebidanan meuligoe Meulaboh tahun 2013.
Sedangkan penelitian Pundati (2016) didapatkan hasil analisis statistik
bivariat dengan uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara tingkat stres dan kejadian dysmenorrhea pada siswa
semester 8. Diperkuat dengan penelitian Fitriana (2017) didapatkan hasil
bahwa masih ada responden yang mengalami dysmenorrhea ringan dan berat.
Ternyata responden yang tidak mengalami stres masih banyak terdapat di
dysmenorrhea ringan sebanyak 9,1% (4 responden), sedangkan yang
mengalami dysmenorrhea berat sebanyak 2,3% (1 responden). Sehingga,
responden yang tidak stres bisa terjadi dysmenorrhea karena kemungkinan
adanya faktor lain, seperti adanya riwayat dysmenorrhea sebelumnya.
Perempuan yang mengalami dysmenorrhea setiap bulan secara rutin bisa
dikatakan mempunyai riwayat dysmenorrhea. Hasil uji statistik pada
penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat stres
dengan kejadian dysmenorrhea.
Sesuai dengan teori yang digunakan bahwa dysmenorrhea timbul oleh
ketidakseimbangan pengadilan syaraf otonom terhadap miometrium. Pada
keadaan ini terjadi rangsangan yang berlebihan oleh syaraf simpatis sehingga
serabut-serabut sirkuler pada istimus dan istium uteri internum menjadi
hipertonik. Tubuh yang bereaksi saat mengalami stres akan memproduksi
hormon adrenalin, esterogen, progesteron serta prostaglandin yang
berlebihan. Esterogen dapat menyebabkan peningkatan kontraksi uterus
secara berlebihan, sedangkan peningkatan progesterone bersifat menghambat
kontraksi. Peningkatan kontraksi berlebihan ini menyebabkan rasa nyeri.
Selain itu hormon adrenalin juga meningkat sehingga menyebabkan otot
tubuh tegang termasuk otot rahim dan dapat menjadikan nyeri ketika
mentruasi (Isnaeni, 2010).

Universitas Esa Unggul


56

Berdasarkan hasil observasi penelitian pada variabel tingkat stres tidak


berhubungan karena responden pada penelitian ini merupakan mahasiswi
yang usianya diantara 19-25 tahun, dimana usia tersebut sedang
mengeksplore dirinya sendiri sehingga untuk terjadi stres sangat minim.
Faktor lainnya adalah kekeluargaan yang tercipta didalam kelas saling
mendukung satu sama lainnya. Sehubungan dengan usia rata-rata responden
sudah memasuki usia remaja dewasa dimana usia tersebut sudah bisa
mengontrol emosi yang menggebu-gebu. Maka, dapat disimpulkan bahwa
pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara stres dengan
dysmenorrhea primer karena stres bukan penyebab dysmenorrhea di
Universitas Esa Unggul pada angkatan 2016.

Universitas Esa Unggul

You might also like