Professional Documents
Culture Documents
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Universitas Esa Unggul periode
Maret-Juli 2018, berdasarkan populasi yang dimiliki sebanyak 247 mahasiswi,
sedangkan besar sampel pada penelitian ini sebesar 84 mahasiswi.
44
45
adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan,
apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang
dalam kehidupannya. Sehingga kecemasan juga sebagai ancaman terhadap
kesehatan. Faktor penyebab kecemasan diantaranya : faktor fisik,
trauma/konflik, lingkungan awal yang tidak baik (Lubis, 2011).
Pada dimensi Stres : “Saya takut bahwa saya akan terhambat oleh tugas-
tugas sepele yang tidak biasa saya lakukan” dengan jawaban “KD” sebesar
21%, “Saya menemukan diri saya berada dalam situasi yang membuat saya
merasa sangat cemas dan saya akan merasa sangat lega jika semua ini
berakhir” dengan jawaban “LS” sebesar 20%, dan “Saya merasa bahwa diri
saya menjadi marah karena hal-hal sepele” dengan jawaban “SS” sebesar
13%.
Hal ini sesuai dengan teori stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat
individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama
tanggapannya bagi orang lain, hal ini dipengaruhi oleh tingkat kematangan
berfikir, tingkat pendidikan dan kemampuan adaptasi seseorang terhadap
lingkungannya. Stressor akan membebani individu dan mengakibatkan
gangguan keseimbangan fisik ataupun psikis (Hartono, 2007). Menurut
Priyoto (2014) kondisi stres dapat diselesaikan oleh berbagai
penyebab/sumber atau dalam istilah lebih umum disebut stressor. Stressor
adalah keadaan atau situasi objek atau individu yang dapat menimbulkan
stres. Banyak hal yang dapat mempengaruhi tingkat stres antara lain : masalah
keluarga, masalah ekonomi, tekanan pekerjaan atau kepribadian serta
karakter yang melekat dalam diri seseorang. Stres memiliki dampak yang
terbagi menjadi 2 bagian yaitu dampak negatif pada individu, dampak negatif
tersebut dapat berupa dampak emosional seperti keletihan, menutup diri,
depresi dan harga diri rendah. Dan dampak terhadap fisik yaitu munculnya
berbagai masalah kesehatan seperti sering mengalami sakit dan nyeri,
masalah lambung, cemas saraf dan munculnya penyakit-penyakit lain.
Pada dimensi depresi : “Saya merasa sulit untuk bersantai” dengan
jawaban “KD” sebesar 11%, “Saya menemukan diri saya menjadi tidak sabar
ketika mengalami penundaan (kemacetan lalu lintas atau menunggu sesuatu)”
dengan jawaban “LS” sebesar 9%, dan “Saya merasa sulit meningkatkan
inisiatif dalam melakukan sesuatu” dengan jawaban “KD” sebesar 4%.
Sesuai dengan teori bahwa depresi merupakan gangguan perasaan (afek)
yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai
dengan gejala-gejala lain, seperti gangguan tidur dan menurunnya selera
makan. Depresi biasanya terjadi saat stres yang dialami oleh seseorang tidak
kunjung reda, dan depresi yang dialami berkorelasi dengan kejadian dramatis
yang baru saja terjadi atau menimpa seseorang. Penyebab depresi anatara lain,
faktor fisik (genetik, usia, gender, gaya hidup, penyakit, obatan-obatan, obat
terlarang, kurang cahaya matahari) faktor psikologi (kepribadian, pola pikir,
harga diri, stres, lingkungan keluarga, penyakit jangka panjang) (Lubis,
2011).
Sejalan dengan penelitian Ismail (2015) Tingkat stres mahasiswi
semester VIII Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNSRAT, yaitu ringan
sebanyak 26 responden (83,9%) dan sedang sebanyak 5 responden (16,1%).
Berdasarkan hasil jawaban dari pernyataan mahasiswi, dapat dikatakan
untuk tingkat kecemasan kondisi mahasiswi yang dirasakan, biasanya terjadi
pada hal-hal yang baru, sehingga ada rasa cemas/khawatir. Namun untuk
kasus ini mahasiswi sudah menjalani aktivitas perkuliahan sebagai mahasiswi
sehingga fisik dan mentalnya sudah siap menerima konsekuensi pada hal baru
tersebut. Untuk tingkat stres, sebagian mahasiswi memang merasakan, namun
masih pada kategori ringan yang berarti respon tubuh dan pola pikir
mahasiswi masih bisa mengontrol dengan baik sehingga cepat tertangani dan
tidak berkepanjangan. Pada tingkat depresi, sebagian mahasiswi memang
merasakan, namun masih dalam kategori ringan, sehingga tidak diperlukan
tindaklanjut. Mayoritas jawaban mahasiswi juga pada tingkat depresi yaitu
“tidak pernah” karena pencapaian depresi merupakan awal mula terjadinya
stres yang tidak tertangani dan berkorelasi dengan faktor-faktor penyebab
lainnya, sehingga terjadilah afek tersebut. Namun pada kasus ini, didapatkan
bahwa mahasiswi terlihat ceria, semangat, dan berpikir positif serta tidak ada
ciri-ciri timbulnya sikap stres.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR= 3,54, yang berarti mahasiswi dengan
konsumsi fast food sering mempunyai peluang 3,54 kali untuk mengalami
dysmenorrhea primer dibandingkan dengan konsumsi fast food jarang.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indahwati (2017) Dari
hasil penelitian yang didapat berarti ada hubungan mengonsumsi makanan
cepat saji. Penelitian Fitriana (2013) yang menyatakan bahwa hasil penelitian
didapatkan ada pengaruh antara status gizi dengan kejadian dysmenorrhea
primer pada mahasiswi di Akademi kebidanan meuligoe Meulaboh tahun
2013.
Sesuai dengan teori yang ada bila asupan nutrisi dalam jumlah yang
kurang optimal akan berdampak pada perlambatan proses pertumbuhan dan
perkembangan maturasi/pematangan seksual. Sebaliknya bila asupan nutrisi
terlalu berlebih akan terjadi percepatan proses pertumbuhan perkembangan
seksual. Remaja membutuhkan nutrisi lebih dibandingkan dengan waktu
anak-anak. Kebutuhan nutrisi mencapai puncaknya terutama pada saat pacu
tumbuh mencapai maksimal. Status gizi dikatakan baik, apabila nutrisi yang
diperlukan baik protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, maupun air
digunakan oleh tubuh sesuai kebutuhan (Paath, 2005). Menurut Kristina
(2010) masalah gizi pada remaja timbul karena perilaku gizi yang salah, yaitu
ketidakseimbangan antara konstitusi gizi dengan kecukupan gizi yang
dianjurkan. Remaja putri sering melewatkan dua kali waktu makan dan lebih
memilih kudapan. “Makanan Sampah” (junk food) kini semakin digemari
oleh remaja, baik sebagai kudapan maupun “makan besar”. Semakin banyak
lemak semakin banyak pula prostaglandin yang dibentuk, sedangkan
peningkatan kadar prostaglandin dalam sirkulasi darah diduga sebagai
penyebab dysmenorrhea.
Berdasarkan hasil analisa didapatkan proporsi tertinggi 2 jenis makanan
yang sering di konsumsi oleh mahasiswi adalah Fried Chicken 71% dan
Gorengan 68%. Pedagang disekitar kampus memang menjual jenis makanan
diatas, sehingga tidak dapat dihindari dalam setiap harinya, mahasiswi
menkonsumsi makanan tersebut. Karena jadwal kuliah yang padat dan waktu
istirahat yang sempit, mahasiswi membeli makanan praktis yang bisa