You are on page 1of 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/275338107

SASTRA DAN HERMENEUTIKA

Data · April 2015

CITATIONS READS

0 2,222

1 author:

Dipa Nugraha Suyitno


Universitas Muhammadiyah Surakarta
13 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Dipa Nugraha Suyitno on 23 April 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SASTRA DAN HERMENEUTIKA1

Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan (Palmer,
2005: 14). Istilah ini selalu dikaitkan dengan dewa Hermes. Dewa Hermes adalah dewa di
dalam mitologi Yunani yang bertugas membawa dan menjelaskan pesan dewa Zeus kepada
umat manusia. Dewa ini diyakini memiliki kemampuan tertentu yang mampu membuatnya
melintas antara dunia nyata dengan dunia gaib, alam sadar dengan alam bawah sadar, dan
berpindah ke tempat yang jauh dengan cepat (Palmer, 1999). Menurut Gerhard Ebeling (dalam
Palmer, 2005: 15), kata ini sendiri memiliki tiga bentuk penggunaan, yaitu: 1)
menyampaikan; to say; to express; to assert, 2) menjelaskan; to explain, 3) menerjemahkan; to
translate. Sedangkan ketiga aspek dari bentuk penggunaan kata hermeneuein sebenarnya
dapatlah diwakilkan di dalam satu kata kerja bahasa Inggris: to interpret(interpretasi). Namun
meskipun demikian, ketiga bentuk penggunaan kata interpretasi secara sendiri-sendiri
membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Sehingga dapatlah
dikatakan bahwa interpretasi dapat mengacu kepada tiga hal yang berbeda: penyampaian
verbal, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan. Tujuan dari interpretasi sendiri adalah
membuat sesuatu yang kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan
dapat dipahami (Palmer, 2005: 15 – 36).

Pada mulanya hermeneutika muncul sebagai teori interpretasi teks Bible[1] kemudian meluas
ke ranah lain sebagai metodologi filologi, ilmu pemahaman linguistik, pondasi
metodologis geisteswissenschaften (ilmu humaniora), fenomenologi eksistensi, kemudian
sistem interpretasi secara luas apapun bentuknya (Palmer, 2005: 38 – 49). Pada interpretasi
Bible, keadaan awal mula diperlukannya hermeneutika sebab Bible pada saat itu mengalami
masalah alih bahasa manakala penyebaran Kristen di masa awal begitu cepat terjadi sedangkan
pengalihbahasaan butuh waktu yang tidak sebentar. Pengalihbahasaan yang tanpa kontrol
tersebut membuat muncul berbagai versi Bible yang berselisih atau terkorup karena beberapa

1
ditulis pertama kali 27 Mei 2011, diedit terakhir kali 2 April 2015. Anjuran kutipan:
Dipa Nugraha. 2 April 2015. “Sastra danHermeneutika” [terbitan Blog]. Diakses dari http://dipanugraha.org/2011/05/27/sastra-
hermeneutika/

1
alih bahasa dikerjakan agar ritual dan pengajaran dapat pas dengan budaya lokal. Keadaan
inilah yang membuat baru pada abad ke-empat (382 M), Damasus I memerintahkan Santo
Jerome untuk menstandarisasi alih bahasa Bible yang beredar di masyarakat pada masa itu ke
dalam bahasa Latin, memberikan tambahan tulisan-tulisan prolog di dalam skriptur-skriptur
tersebut, mengadakan revisi interpretatif terhadap skriptur gospel, dan kemudian
membundelkan skriptur-skriptur yang bermacam-macam ke dalam satu jilid. Versi inilah yang
kemudian disebut sebagai The Vulgate, dianggap sebagai bentuk alih bahasa resmi dari Bible
dan juga menjadi Bible kanon yang menggantikan berbagai macam versi Bible yang pada waktu
itu beredar di masyarakat Kristen (Craddock dan Tucker, 2008).

Penggunaan istilah hermeneutika terhadap teks kitab suci, atau sekarang secara khusus
disebut exegesis, sebagai suatu metode sistematis dapat ditelusur pertama kali di dalam judul
buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum
Litterarum yang terbit tahun 1654 (Palmer, 2005: 39) yang lalu kemudian berkembang ke
ranah lain pada teks non-Bible sebagai suatu metode interpretasi untuk membedah makna yang
tersembunyi dan terdalam (Hunter dalam Palmer, 2005: 40) dan dapat melingkupi segala
macam teks yang secara umum tidak jelas atau simbolik sehingga butuh diinterpretasi dan
bukan hanya berlaku terhadap teks kitab suci lagi (Tylor dalam Palmer, 2005: 40). Pun di dalam
perkembangannya, hermeneutika yang merupakan niscaya di dalam eksegesis Bible[2] juga
merembet ke analisis teks kitab suci lain semisal Quran sebagaimana dilakukan oleh
Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman (Armas, 2004) dan di dalam
aktualisasi Buddhisme (bdk. Palmer, 1999, Lopez (ed.), 1988, dan Thurman, 1978).

Di dalam interpretasi Bible sebenarnya ada ketidaksetujuan mengenai pemakaian


hermeneutika. Namun sebagaimana kemudian cukup baik diulas oleh Herman C. Hanko (1998),
bahwa metode hermeneutika tetap diperlukan di dalam interpretasi Bible sebab skriptur Bible
ditulis dalam masa yang berbeda dan oleh penulis-penulis yang berbeda asalnya. Hank memberi
catatan mengenai ini dengan batasan bahwa Bible meskipun ditulis oleh manusia tetap "harus
diyakini oleh penafsir Kristen" mengenai sakralitas teks yang diilhami oleh wahyu Tuhan.

2
Bible sendiri tidak mungkin tidak adalah bentuk refleksi dari bahasa dan budaya lokal di mana
teks Bible tersebut diproduksi dan tidak bisa dipungkiri bahwa gaya tulis dari penulis-penulis
yang berkontribusi di dalam Bible turut mempengaruhi bentuk rupa. Gaya yang berbeda-beda
dari para penulsi Bible inilah yang membuat metode hermeneutika (exegesis) menjadi
penting (Hanko, 1998).

Hanko (1998) mengakui bahwa hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi tetaplah
dibutuhkan di dalam interpretasi Bible namun menolak metode hermeneutika yang
“menyimpang” semisal metode tafsir redaction criticism[3] dan literary-historical
criticism[4] dengan argumentasi sebagaimana pendapat Smith bahwa:

“… tidaklah perlu diperdebatkan mengenai urgensi seorang pembaca untuk mengetahui


‘sejarah’ sebuah teks sehingga seorang pembaca dapat berinteraksi dengan teks tersebut
sehingga pemahaman utuh akan teks dapat tercapai adalah sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan doktrin reformasi pemahaman teks Bible … namun jika pemahaman akan teks
diperlukan di dalam konteks penebusan dan kita tidak dapat sampai pada pemahaman yang
tepat akan teks Bible tanpa bantuan dari teolog elite dan literatur yang telah mereka bakukan,
maka kita sebenarnya kembali pada masa di mana doktrin akan ‘penebusan’ dijadikan dogma
yang diterima begitu saja” (dalam Hanko, 1998).

Hanko (1998) kemudian menawarkan metode hermeneutika terhadap Bible dengan metode
Grammatico-Historical dalam Naungan Inspirasi Iman (Grammatico-Historical Method in the
Light of Divine Inspiration)[5] dengan langkah asumsi interpretasi sebagai berikut:

1. Metode Grammatico-Historical di dalam interpretasi teks Bible menerapkan beberapa


realitas yang tidak bisa disanggah akan teks Bible. Bahwa benar, pada mulanya memang
Tuhan menggunakan manusia untuk menulis skriptur. Manusia yang dipilih Tuhan ini
memiliki kepribadian dan ciri khas yang berbeda, dengan keadaan yang berbeda pula;
baik dari segi pendidikan, kekayaan, maupun kemampuan tulis. Tidaklah bisa dipungkiri
bahwa tiap manusia yang berkontribusi di dalam penulisan skriptur menyisakan jejak
karakter dan gaya masing-masing di dalam skriptur yang mereka tulis. Namun

3
bagaimanapun juga dapat dianggap bahwa skriptur adalah tetap ‘Kata-kata [dari] Tuhan’
karena sebagaimana ‘bimbingan iman’ kita yang menyatakan bahwa tiap manusia adalah
[dari] penciptaan Tuhan.
2. Bahwa di dalam metode Grammatico-Historical, tidak bisa disangkal akan adanya
sebuah kenyataan bahwa tiap pribadi yang berkontribusi di dalam penulisan skriptur
memiliki kondisi budaya yang berbeda, keadaan yang berbeda, masyarakat yang
berbeda, dan tujuan pengajaran yang berbeda. … Tiap pribadi penulis skriptur selalu
terkait dengan waktu, kejadian, keadaan, budaya, dan wilayah masing-masing.
3. Bahwa tidak bisa dinafikan, skriptur ditulis di dalam bahasa manusia, baik itu bahasa
Hebrew bagi penulis skriptur di masyarakat Yahudi, atau bahasa Yunani sebagai bahasa
yang dipakai sebagai bahasa resmi di jaman Romawi, adalah tetap kata-kata yang
bersumber langsung dari Tuhan. Bahasa-bahasa ini bukanlah bahasa yang tiba-tiba
dibuat oleh manusia namun adalah bahasa yang memang telah dipersiapkan oleh Tuhan
sebagai medium penyampaian pesan-Nya. Bahasa-bahasa ini secara khusus memang
telah dipersiapkan oleh Tuhan sebagai alat verbal untuk mentransferkan pesan Tuhan
kepada manusia lewat bentuk tulis. Sehingga dapatlah dikatakan dengan jelas bahwa
skriptur tersebut terikat dengan waktu, tempat, historisitas pribadi penulis skriptur dan
bukanlah berdasar cara berbahasa dan berpikir umat Kristen abad dua puluh. Oleh
karena itulah, penginterpretasian skriptur dengan cara yang benar adalah mem-
prakondisikan operasionalisasi interpretasi yang bersandar kepada gramatika, sintaksis,
dan logika yang dipakai di dalam bahasa Hebrew dan Yunani.

Jika berbicara hermeneutika sebagai metode interpretasi terhadap skriptur Islam, beberapa
teolog Islam menolak. Penolakan mereka cukup jelas karena metode interpretasi hermeneutik
yang diterapkan atas skriptur Biblikal tidaklah mungkin diterapkan kepada skriptur Islam.
Skriptur Islam sudah memiliki metode interpretasi sendiri yang berbeda dengan metode
interpretasi skriptur Biblikal dan juga teks sastra. Interpretasi skriptur Islam bukanlah terbuka
bagi siapa saja karena akan fatal[6] (bdk. Armas, 2004) sebab di dalam metode interpretasi
skriptur Islam, terdapat batasan-batasan yang telah digariskan oleh Muhammad [p.b.u.h] dan
beberapa pengikut awal Muhammad [p.b.u.h] yang menyaksikan bagaimana sebuah teks
skriptural diinterpretasikan dan diterapkan di dalam keseharian. Di dalam teologi Islam
interpretasi terhadap skriptur sudah dimarkai oleh kaitan Quran, hadist, dan pendapat orang-

4
orang terdekat Muhammad serta merujuk kepada pemahaman dua generasi semenjak kematian
Muhammad[7] sebagai pencatat langsung penceritaan orang-orang yang hidup bersama
Muhammad [p.b.u.h]. Bahkan terhadap skriptur Quran, berbeda dengan skriptur Biblikal,
teolog Islam menolak pendapat sembari menunjukkan bukti penyangkal bahwa penulisan teks
Quran sebagai proses redaction beberapa aliran di dalam masyarakat Islam awal sampai
kodifikasi Utsmani seperti dilakukan oleh al-Azami (2003) dan dengan tegas juga menyangkal
bahwa aktualisasi interpretasi berhenti total (Zainu, 2004: 143) sehingga menampik tuduhan
rigiditas dan ketidaklentukan hukum-hukum Islam terhadap isu-isu aktual.

Tidak hanya terhadap skriptur Quran, bahkan metode hermeneutika terhadap hadist semisal
dilakukan oleh Kadarusman (2005: 91-98) dengan merujuk metode “dongeng” dari Fatima
Mernissi pun dikatakan terlalu longgar dan juga ditolak oleh mayoritas teolog Islam. Penolakan
metode “dongeng” ala Mernissi di dalam interpretasi skriptur hadist diajukan oleh Tamyiz
Burhanuddin dan Hidayat Nur Wahid (dalam Mahsun, 2006: 102-103). Mereka membuktikan
bahwa Mernissi tidak menguasai literatur standar mengenai periwayatan hadist (sebagaimana
“dongeng” Mernissi mengenai Abu Hurairah), tidak menguasai ilmu hadist sebagaimana
terbukti pemilihannya memprioritaskan pencurigaan kepada teks (matan) hadist
daripada sanad, dan gegabah karena melihat hadist hanya kepada teks-nya saja lalu
membumbui dengan “dongeng” dengan cara mengesampingkan asbabul wurud, penulisan, dan
analisis gramatikal hadist (bdk. Rasyid, 2006: 142-151 ketika mengkritik interpretasi Wardah
Hafidz atas hadist yang sama).

Interpretasi dengan gaya Mernissi memang diperbolehkan oleh segelintir teolog Kristen di
dalam konteks interpretasi beberapa skriptur Biblikal[8] sebab teks-teks Bible yang ada
memiliki banyak versi yang berbeda serta tidak memiliki bantuan pemarka interpretasi
sebagaimana sangat beda kasusnya di dalam interpretasi Quran[9].

Jika metode interpretasi Mernissi kepada Quran yang kemudian diekor oleh Kadarusman dan
Hafidz dilakukan di dalam interpretasi skriptur Islam maka hasil interpretasi justru menjadi
ganjil[10]. Status Quran [dan hadist] tidaklah seragam dengan Bible untuk diterapkannya
metode hermeneutika (Armas, 2004) dan landasan argumen tentang ini sebenarnya telah

5
diberikan dengan sangat bagus oleh al-Azami (2003) mengenai perbedaan besar antara teks
Quran dengan teks Bible[11] di dalam kanonisasi, sebagai landasan redaction criticism.

Pembicaraan tentang ini dapat diperluas tentang perbedaan masif beberapa isu lainnya di
dalam Quran dan Bible (Chand, 2003: 1-13) semisal mengenai salah tidaknya Eve sehingga
Adam dan Eve (p.b.u.t) dikeluarkan dari surga. Perspektif narasi di dalam Quran dengan yang
ada di Bible berbeda tentang kisah ini. Versi Bible menjadikan isu dosa asal sebagai kesalahan
[yang disebabkan oleh] Eve dapat memprovokasi, dan memang terjadi, gerakan feminisme. Hal
yang berbeda juga di dalam narasi Quran dengan Bible yang berbeda dalam hal dosa bawaan
(dosa asal - original sin) yang mendasari pemikiran eksistensialisme.

Contoh lain mengenai blunder serupa yang dilakukan Kadarusman adalah sebagaimana
dilakukan oleh Alimi di dalam buku Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana
Bangsa hingga Wacana Agama (2004).

Alimi hendak mendekonstruksikan oposisi biner pria-wanita bernuansa jender dengan


mengajukan the third sex dan juga upaya dekonstruktif atas keberterimaan aktivitas queer di
dalam teologi Islam. Ia bahkan di bagian awal bukunya pun sudah nampak gagal ketika dengan
gagah berteriak bahwa: “sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa … Bukan pula [karena] orientasi seksualnya! (2004: xxxiii).

Alimi gagal mensinkronkan pendapat yang ia kutip dari beberapa penulis mengenai cerita Luth
di dalam Quran (2004: xxiii) mengenai ketidaksukaan Tuhan kepada beberapa orientasi seksual
yang dianggap menyimpang dengan pendapatnya bahwa ketakwaan adalah hal yang terpisah
dengan ketidaksukaan Tuhan terhadap orientasi seksual seseorang.

Penggunaan istilah ”hermeneutika” sendiri sebagai suatu istilah untuk metode interpretasi
dalam arti luas dan mulainya pembahasan serius tentangnya adalah berkat jasa Friedrich
Schleiermacher. Metode interpretasinya dapat diringkas sebagai berikut (Abulad, 2007: 16-17
dan Rutt, 2006: 2) :

6
1. Pemahaman selalu melibatkan dua hal; pengetahuan mengenai bahasa dan pengetahuan
akan pengarang. Kalimat ini mengandung arti bahwa seseorang yang menginterpretasi
teks pasti sedang berhadapan dengan ujaran yang harus didecodingkan dan juga
berhadapan dengan ujaran yang memiliki arti sebagaimana pembuat ujaran tersebut
maksudkan. Proses pemahaman teks merupakan usaha membaca pikiran pengarang
(ranah psikologi) dan decoding teks yang melibatkan pengetahuan tata bahasa, arti tiap
kata – dan arti kata ketika bertemu dengan kata lain, makna, penggunaan dalam
konteks-konteks tertentu, dan konstruksi kata-kata (ranah linguistik/gramatika).
2. Untuk memahami teks, seseorang harus memahami itu semua sebagai satu kebulatan.
Tidak bisa pemahaman tidak melibatkan dua hal yang merupakan suatu kesatuan
pemahaman akan sebuah teks.
3. Di dalam pemahaman teks terkait dengan ranah gramatika, kita tidak dapat
memahaminya seluruh teks kecuali melibatkan pemahaman setiap kalimat, bahkan
setiap kata yang ada di dalam teks. Dan uniknya, kita tidak dapat memahami arti kata
jika tidak dibaca di dalam konteks kalimat dan kita tidak bisa memahami kalimat jika
tidak dibaca di dalam konteks keseluruhan teks. Keadaan demikian disebut sebagai
”lingkar hermeneutika” atau hermeneutic circle.
4. Di dalam pemahaman teks terkait dengan ranah psikologi, kita dapat memahami apa
yang ditulis oleh seorang pengarang jikalau kita melibatkan teks-teks yang menulis
tentang pengarang tersebut dan juga melibatkan teks-teks yang ditulis sebelum tulisan
pengarang tersebut sehingga dengan demikian kita tahu apa yang dimaksudkan oleh
pengarang. Keadaan seperti ini juga sama disebut dengan lingkar hermeneutika.
5. Oleh karenanya, Schleiermacher bahkan menyimpulkan bahwa interpretasi adalah
selalu berupa usaha kolektif; “the totality of understanding is always a collective work”.

Perkembangan yang lebih serius di dalam hermeneutika dikontribusikan oleh Hans-George


Gadamer. Gadamer mengemukakan ide yang sangat kompleks mengenai interpretasi.
Pemikirannya dapat diringkas sebagai berikut (Abulad, 2007: 17-19 dan Palmer, 2005: 290-
292):

1. Gadamer menyatakan bahwa subjek dan objek bukanlah sebuah entitas yang terpisah
atau sebuah dikotomi.

7
2. Objektivitas sebenarnya diperoleh lewat cara memandang yang memang sudah melekat
dalam diri subjek.
3. Cara memandang yang memang sudah melekat di dalam diri subjek sebagaimana
ditekankan oleh Gadamer adalah jumputan dari pemikiran Kant (buku Critique of Pure
Reason), Husserl (konsep noema, noesis; cogito, cogitatum), dan Heidegger
(konsep vorstruktur atau a fore-structure of consciousness[12]) bahwa kesadaran
adalah selalu kesadaran akan sesuatu; bahwa tidak ada pemikiran kecuali tentang
sesuatu.
4. Seseorang sebelum membaca suatu teks, ia telah mempunyai horizonnya sendiri; fore-
structure-nya sendiri. Sedangkan teks sudah mempunyai horizonnya sendiri, yaitu
horizon pencipta teks.
5. Kegiatan membaca dalam konteks interpretasi dapatlah disebut sebagai fusion of
horizons.
6. Perjumpaan antara subjek pembaca (I) dengan teks yang dipersonifikasikan (Thou)
merupakan perjumpaan yang saling mempengaruhi dan melibatkan ketegangan antara
teks dengan kekinian waktu. Dan dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa salah
satu kegiatan dari pendekatan hermeneutika adalah menampilkan horizon historis yang
berbeda dengan horizon kini. Keadaan ini dapatlah disebut bahwa pengalaman
hermeneutis merupakan sesuatu yang sebenarnya dibimbing oleh teks dan selalu
bersifat sekarang.

Dalam pemikiran Gadamer, dapatlah dikatakan bahwa isu hermeneutika adalah bersifat imanen
epistemologis (Hardiman, 1994: 7). Rasio atau objektivitas tidak pernah murni dari prasangka
dan pengetahuan tidak akan bisa melampaui sejarah dan tradisi yang ada kini. Subjek selalu
terikat kepada kondisi sosio-historis tempat dia berada dan oleh karenanya tidak bisa dihindari
maka penafsiran tentunya bersifat dinamis kekinian dan produksinya tidak akan pernah
stagnan. Tambahan pula, realitas tidak pernah dialami di dalam kesejatian realitas. Realitas
hanya dialami lewat bahasa, atau meminjam istilah Derrida; “tak ada sesuatu di luar teks”
(dalam Lye, 2008). Dus apabila being yang khas dari manusia adalah hanya dan hanya lewat
bahasa (Gadamer, 1976: 3) maka dapat dikatakan bahwa realitas dan kebenaran hanyalah suatu
produk dari fusi horizon intersubjektivitas; suatu bentuk interaksi permainan intersubjektif
(Benveniste, 1971: 224) dalam penjara bahasa. Subjek tidak pernah menjadi objektif, ia tidak

8
dapat menghindar dari penafsiran yang dilandaskan pada keterkondisian historis (historical
situatedness) sebagai karakteristik being dirinya dan dunia yang “dialaminya” [lewat bahasa]
(King, 1999: 138). Dalam keadaan seperti inilah maka kodrat penafsiran adalah selalu bersifat
kini dan terbuka.

Permainan keterkondisian historis di dalam metode hermeneutika dapat kita cermati pada
persepsi kita akan bola dunia sebagaimana disinggung oleh Simpson (1993: 179) ketika
membahas sebuah poster yang menampilkan slogan ’Australia: No Longer Down Under’. Pada
tampilan peta di bawah ini[13] terlihat bahwa teks slogan sebagai judul poster yang membuat
horizon kita berubah mengikuti teks. Bila sebelumnya kita disituasikan selalu melihat peta yang
menempatkan Australia selalu di bawah maka frame of reference kita menyatakan bahwa
“benua Australia memang letaknya di bawah”.

Perjumpaan kita dengan peta di bawah ini akan menjadikan persepsi lain atau “kesadaran lain”
bahwa bola dunia tidak bisa dikatakan bahwa kutub utara adalah utara atau atas dan kutub
selatan adalah selatan atau bawah, atau dengan kata lain bola dunia tidak punya sisi atas
maupun bawah, ini hanyalah masalah frame of reference kebenaran yang dibentuk oleh
kesadaran historis bahwa kita lazimnya diajarkan demikian dan kemudian dapat berubah
bersamaan dengan perjumpaan I (saya; subjek pembaca) dengan Thou (teks yang sudah
dipersonifikasikan) menjadi sesuatu yang kini atau “kesadaran lain yang baru”. Perubahan akan
persepsi tersebut adalah “pemahaman”; suatu produk dari pengalaman hermeneutika.

9
Contoh lain pelibatan teks-teks pendahulu sebuah karya kepada interpretasi dan juga
interpretasi beranah gramatika pada produk pop culture maka dapat dicontohkan pada
interpretasi bunga mawar (merah) dan kumbang pada lagu A. Riyanto berikut ini:

Sebagai penutup, maka sekali lagi perlu ditekankan bahwa tugas hermeneutika menurut
Gadamer (dalam Gregory, 1979: 144) adalah: ”is not to develop a procedure of understanding
but to clarify the the conditions in which understanding can take place”. Dapatlah dikatakan
bahwa standarisasi pembuatan prosedur pemahaman teks adalah bukan tujuan utama dari
hermeneutika. Tujuan utama sesungguhnya dari hermeneutika adalah memberikan jalan
kepada pemahaman terhadap suatu teks.

Jadi ketika metode interpretasi ini diterapkan ke dalam analisis karya sastra atau teks oleh
seorang penafsir maka penafsir di dalam interpretasinya bertindak sebagaimana hermes yaitu
menjadi penghubung atau jembatan pemahaman arti dari sebuah karya sastra atau teks baik
yang tersirat maupun yang tersurat sebagaimana dimaksudkan oleh pencipta teks.

Lalu jika metode ini bertujuan sangat mulia yaitu memberikan jembatan pemahaman atas
sebuah teks, mengapa hermeneutika semodel telah dipraktikkan atas skriptur biblikal dan teks
sastra kepada skriptur Quran dihindari? Memang benar bahwa di dalam perkembangannya

10
istilah hermeneutika menjadi 'metode tafsir' dan istilah ini terjumput juga di dalam memahami
skriptur Quranic namun juga perlu dipahami bahwa masalah dari hermeneutika ala kajian
biblikal dan teks sastra adalah kelonggaran yang tidak bisa diterapkan di dalam penafsiran
skriptur Quran yang bisa jadi mengangkangi runtut tafsir yang digariskan di dalam hadist
percakapan nabi Muhammad [pbuh] dengan Muadz.

DAFTAR PUSTAKA

Abulad, Romualdo E. 2007. ”What is Hermeneutics?” dalam Kritike Vol 1 No. 2 hlm. 11 – 23.
ISSN 1908-7330.
al-Azami, Muhammad Mustafa. 2003. The History of the Qur’anic Text from Revelation to
Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments. Leicester: UK
Islamic Academy.
Al-Albani, Muhammad Nashirudin. 2007. Sifat Sholat Nabi edisi lengkap terjemahan Abu
Zakaria Al-Atsaryi. Jakarta: Griya Ilmu.
Alimi, Moh Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bangsa hingga
Wacana Agama. Yogyakarta: LKiS.
Armas, Adnin. 2004 (?). Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-
Qur’an sebuah paper diunduh pada Selasa, 24 Mei 2011 pukul 16:40 WIB dari:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_filecabinet&view=files&id=3&Itemid
=6
Bardzell, Jeffrey. 2009. Two Takes on the Hermeneutic Circle diakses pada Jumat, 27 Mei 2011
pukul 18:31 WIB dari laman:
http://interactionculture.wordpress.com/2009/03/09/two-takes-on-the-hermeneutic-
circle/

11
Benveniste, E. 1971. Problems in General Linguistic terjemahan Meck, Coral Gables. Florida:
University of Miami Press.
bin Abdullah Abu Zaid, Bakar. 2007. Koreksi Penting Tata Cara Sholat terjemahan Tim Al-
Qowam. Solo: Al Qowam.
bin Baz, Abdul Aziz Abdullah. (t.t.). Tiga Risalah Shalat terjemahan Hawin Murtadho. Solo: Al
Qowam.
Chand, Muhammad Umar. 2003. Halal & Haram; The Prohibited & Permited Foods & Drinks
according to Jewish, Christian & Muslim Scriptures. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen.
Craddock, Fred B., and Tucker, Gene M. 2008. “Bible.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft Corporation.
Eastlick, Pam. 25 October 2006. The Top and The Bottom. Diakses pada Selasa, 5 Juni 2012,
pukul 13:37 WIB di:
http://www.thedeepradioshow.com/Column/2006/06-10-25.html
Gadamer, H.G. 1976. Philosophical Hermeneutics. Berkeley: University of California Press.
Gregory, Derek. 1979. Ideology, Science and Human Geography. London: Hutchison & Co. Ltd.
Hanko, Herman C. 30-Aug-1998. “Issues in Hermeneutics”, seri kumupulan 4 artikel
dalam Protestant Reformed Theological Journals of April and November, 1990, and
April and November, 1991. Diakses pada 24 Mei 2011 pukul 16:34 WIB pada laman:
http://www.prca.org/articles/issues_in_hermeneutics.html#Return12
Hardiman, Budi. 1994. “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-
Modernisme” (Suplemen) dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an Nomor
1, Vol. V, Jakarta.
Ibrahim, Abu. 2010. “Faham Asy’ariyah dan Kembalinya Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari kepada
Manhaj Salaf” Majalah As Sunnah No.01/Th.I Nov 1992 diakses Sabtu, 28 Mei 2011
pukul 10:36 WIB dari laman:
http://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/20/sesatnya-faham-asyariyah-dan-
kembalinya-syaikh-abul-hasan-al-asyari/
Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender & Feminisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
King, Richard. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial Theory, India and The Mystic
East. New York: Routledge.
Lopez, Donald S. (ed.). 1988. Buddhist Hermeneutics. Honolulu: University of Hawaii Press.

12
Lye, John. 2008. Deconstruction: Some Assumptions. diakses Sabtu, 28 Mei 2011 pukul 10:45
WIB di:
http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/deconstruction.php
Ma’rifat, Muhammad H. 1996. “Concept of Kitab in the Qur’an”, The Message of Thaqalayn,
Vol. 3, Nos. 1 & 2, Spring and Summer, 1417/1996, diterjemahkan oleh A.N. Baqirshahi.
Diakses pada 5 Juni 2012, pukul 13:05 WIB di:
http://www.quran.org.uk/articles/ieb_quran_kitab.htm
Mahsun. 2006. “Feminisme Teologis (Studi Pemikiran Fatima Mernissi)” dalam Jurnal Studi
Gender & Anak Yin Yang Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2006 ISSN 1907-2791 hlm. 91-
107.
Martyn, J. Louis. 2008. “Apocryphal New Testament.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft Corporation.
Palmer, Richard E. 1999. The Relevance of Gadamer’s Philosophical Hermeneutics to Thirty Six
Topics or Fields of Human Activity a published lecture, diakses pada 24 Maret 2011
pukul 16:10 WIB di:
http://www.mac.edu/faculty/richardpalmer/relevance.html
________________. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi terjemahan
Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rasyid, Daud. 2006. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun
Nasution.Bandung: Syaamil.
Rutt, Jessica. 2006. “On Hermeneutics” dalam E-Logos ISSN 1121-0442.
Simpson, Paul. 1993. Language, Ideology and Point of View. New York: Routledge.
Stein, Robert H. 1969. “What is Redaktionsgeschichte”, Journal of Biblical Literature 88.1
(March 1969), hlm. 45-56.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya.
Thurman, Robert A. F. 1978. “Buddhist Hermeneutics” dalam Journal of The American
Academy of Religion Vol. XLVI, Issue 1, hlm. 19-39.
Vawter, Rev. Bruce. 2008a. ”Apocrypha.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA:
Microsoft Corporation, 2008.
________________. 2008b. “Biblical Criticism.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft Corporation.

13
Vriezen, Th. C. 2001. Agama Israel Kuno. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.
Willis, John T. 2003. “A Reading Resource Guide on Eighth-Century Prophecy for Ministers and
Teachers”, Leaven: Vol. 11: Iss. 2, Article 9. Available at:
http://digitalcommons.pepperdine.edu/leaven/vol11/iss2/9/
Woods, Andy. 2005. Dispensational Hermeneutics: The Grammatico- Historical
Method diunduh pada Jumat, 27 Mei 2011 pukul 17:23 WIB dari:
http://www.spiritandtruth.org/teaching/documents/articles/25/25.pdf
Zainu, Muhammad Jamil. 2004. Pro & Kontra Dakwah Wahhabi terjemahan Abu Umar
Abdillah. Solo: Pustaka Ats-Tsauri.

Sastra dan Hermeneutika by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-
NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Endnotes

[1] Digunakan istilah ‘Bible’ bukan ‘Alkitab’ di dalam tulisan ini sebab di dalam bahasa
Indonesia ada kerancuan mengenai istilah ‘Alkitab’ jika dipadankan dengan istilah di dalam
bahasa Inggris ‘Bible’.

Istilah Bible (Inggris) sebenarnya berasal dari bahasa Yunani biblia; byblos yang artinya kurang
lebih adalah “kumpulan buku”. Bible secara istilah merujuk kepada kitab suci umat Kristen dan
Yahudi meskipun juga perlu diketahui bahwa Bible Kristen berbeda dengan Bible Yahudi
(Craddock dan Tucker, 2008).

Bible Kristen sendiri terdiri dari dua bagian; Old Testament (Perjanjian Lama) dan New
Testament (Perjanjian Baru). Perjanjian Lama pada Bible Kristen Katholik terdiri dari Bible
Yahudi, 7 buku lain, dan tambahan lainnya sedangkan Perjanjian Lama pada Bible Kristen
Protestan adalah sebagian Bible Yahudi (39 buku saja yang dipakai).

14
Menurut umat Kristen Katholik, 7 buku lain dan tambahan lain atas Perjanjian Lama disebut
sebagai deuterocanonical books sedangkan oleh umat Kristen Protestan disebut
sebagai apocrypha (tidak dipakai, yang disembunyikan) (Craddock dan Tucker, 2008)
sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 dokumen yang aslinya tertulis di dalam bahasa
Yunani bukan Aramaic. Sebelum akhirnya menjadi 27 dokumen yang diterima sebagai
Perjanjian Baru di dalam Bible umat Kristen yang dipakai sekarang ini, pada mulanya terdapat
lebih dari seratus buku Perjanjian Baru yang dipakai oleh jemaat yang berbeda-beda di masa
kekristenan awal (Martyn, 2008) dalam perjalanan waktu kemudian diseleksi sejumlah seperti
sekarang ini diterima sebagai kanon sedangkan lainnya disebut sebagai apocrypha. Hingga kini
tidak ada penjelasan ilmiah mengenai tolok ukur sebuah buku ditolak atau diterima di dalam
kanonisasi Perjanjian Baru oleh Fathers of the Church (Para Pendiri Awal Gereja) (Craddock
dan Tucker, 2008).

Awalnya komposisi Bible yang sah diterima adalah terdiri dari 20 buku namun kemudian pada
tahun 367 Santo Athanasius menetapkan menjadi 27 buku yang diterima yaitu: empat Gospels
(Matius, Markus, Lukas, Yohanes), Kisah Para Rasul, Romans, 1 Korintus, 2 Korintus, Galatia,
Efesus, Filipi, Kolose, 1 Tesalonia, 2 Tesalonia, 1 Timotius, 2 Timotius, Titus, Filmon, Hebrews,
James, 1 Peter, 2 Peter, 1 Yohanes, 2 Yohanes, 3 Yohanes, Yudea, and Wahyu (Craddock dan
Tucker, 2008). Jadi Bible yang dipakai oleh umat Kristen berubah-ubah berdasarkan keputusan
konsili gereja (bdk. The History of the Quranic Text).

Di dalam bahasa Indonesia, ‘Bible’ ditransliterasikan sebagai ‘Alkitab’. Istilah ‘Alkitab’ ini
sendiri tidak sesuai dengan konteks total tulisan ini sebagaimana telah dikemukakan di atas
karena:

1) Di dalam bahasa Yunani (bahasa asli teks sumber Perjanjian Baru), digunakan istilah
‘biblos  biblia’ ketika berbicara mengenai ‘kumpulan teks’ dan istilah ini pun kemudian
dijumput oleh bahasa Inggris menjadi ‘Bible’ untuk menamai kumpulan skriptur (bdk.
Craddock dan Tucker, 2008),

15
2) Kata ‘Alkitab’ merupakan jumputan bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Istilah ini
berakar dari kata Arab: kitab. Kata kitab sendiri berkembang di dalam teologi Islam
menjadi mempunyai arti sebagai berikut: a) kata-kata dari Tuhan baik tertulis maupun
tidak, b) hasil dari perencanaan, c) suatu kewajiban yang diberikan Tuhan, d) aturan
Syariah, e) skriptur, f) pengetahuan yang dimiliki Tuhan, g) takdir dan takarannya, h)
Quran. Sehingga secara istilah, kata 'Alkitab' tidak memiliki hanya satu makna saja (bdk.
Ma’rifat, 1996),

3) Di dalam terminologi Islam, Alkitab sebagai istilah, tidak hanya merujuk kepada
ajaran Yesus [p.b.u.h] saja. Istilah ini merujuk juga kepada ajaran nabi-nabi lain.

Di dalam terminologi Islam, istilah khusus untuk merujuk kepada ajaran Yesus [p.b.u.h]
adalah ‘Injil’ dan 'Alkitab'.

4) Bible yang merupakan kanon terstandarisasi oleh Para Pendiri Awal Gereja dan
sekarang menjadi pegangan umat Kristen di dalam terminologi Islam tidak dianggap
sama dengan Injil. Menurut teolog Islam, Injil adalah “wahyu yang langsung” dari Bapa
di surga kepada Yesus [p.b.u.h] sedangkan Bible yang disebut ‘Alkitab’ di dalam bahasa
Indonesia terdiri dari gabungan “wahyu yang langsung” dan “tulisan yang diinspirasi
oleh Roh Kudus” sebagaimana dikatakan sendiri oleh Hanko (1998) dan Th. C. Vriezen
(2001: 7).

Dari empat argumen tersebut, maka penulis lebih memilih istilah ‘Bible’ dan bukan ‘Alkitab’
(juga bukan ‘Injil’) karena istilah ‘Bible’ ini lebih tepat mengena terhadap topik yang disinggung
di dalam tulisan ini.

[2] Dikatakan niscaya oleh sebab sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pada waktu
kanonisasi Bible, terdapat lebih dari seratus naskah (Martyn, 2008). Dari ratusan naskah
tersebut kemudian diseleksi menjadi bentuk kanon yang sekarang dan yang lainnya disebut
sebagai apocrypha (yang tidak dipakai, yang disembunyikan) (Vawter, 2008a). Sedangkan

16
problem lain yang muncul adalah selain banyaknya teks juga mengenai isu identifikasi penulis
teks. Sebagai misal di dalam konteks ke-empat Gospel yang awalnya diidentifikasi ditulis oleh
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes di dalam penelusuran historis ternyata identifikasi
tersebut merupakan bentuk yang berbunyi “dianggap ditulis oleh” Matius atau Markus dst. dan
tidak ada kepastian siapa sebenarnya penulis naskah-naskah Bible itu (Vawter, 2008b).
Kemudian juga mengenai pemilihan naskah asli pada buku yang sama yang hendak dijadikan
rujukan utama interpretasi, apakah naskah berbahasa Aramaic ataukah naskah berbahasa
Yunani (Vawter, 2008b).

[3] Kritik redaction atau redaction criticism adalah suatu bentuk usaha penyingkapan makna
sebenarnya dari teks skriptural sebagai suatu respon atas sebuah fakta bahwa para penulis atau
kontributor Bible mentransfer segala sumber yang berbentuk “tradisi oral” dan “tulisan-tulisan
sumber rujukan” di dalam penyusunan Bible karya mereka (bdk. Marxsen dalam Stein, 1969:
48-49).

[4] Kritik dengan pendekatan literary-historical atau literary-historical criticism adalah bentuk
interpretasi skriptur dengan berusaha menyingkap “pandangan teologis” yang dimiliki oleh
penulis skriptur dengan menggunakan sumber-sumber teks dan sejarah yang menjadi inspirasi
dari penulisan skriptur tersebut (Willis, 2003: 1-2).

[5] Bahwa istilah ini secara umum adalah suatu bentuk interpretasi teks skriptural dengan di
bawah naungan keimanan akan keyakinan bahwa teks skriptural yang diinterpretasi adalah suci
karena teks skriptural tersebut dikarang oleh mereka yang diberi inspirasi oleh Tuhan dan
bukan karangan ngawur mereka (bdk. Hanko, 1998).

[6] Pendapat ini juga sebenarnya mirip dengan pandangan E.D. Hirsch yang mulai balik
mempertanyakan sampai sejauh mana validasi kebebasan interpretasi dan lalu ia merumuskan

17
adanya bedeutung dan sinn (dalam Teeuw, 1984: 174-176). Demikian juga problematik jika
kebebasan menginterpretasi diletakkan pada konteks agama (apalagi di dalam teologi Islam,
agama bukan bersifat individual sebagaimana diajarkan di dalam liberalisme). Ia adalah
komunal; jama’ah yang terpandu oleh hadist dan interpretasi teks kitab suci bukanlah bermain-
main dengan sinn(meminjam istilah E.D. Hirsch) atau kebebasan ala rezeption-aesthetic atau
pertanyaan dan asumsi-asumsi yang bertele-tele sebagaimana amsal kisah Penyembelihan Sapi
Betina. Sedangkan di dalam teologi Islam, untuk menyebut bedeutung dapatlah dikatakan
kurang lebih: jika benar 2, jika salah 1.

“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua
pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu
pahala”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Mengenai jama’ah yang terpandu oleh hadist juga menunjukkan bahwa pengembangan teologi
Islam tidak sama sedikitpun dengan sistem Demokrasi. Di dalam Islam, ulama dan atau imam
berhak untuk dikoreksi bahkan oleh anggota jamaahnya ketika pendapatnya gagal disinkronkan
dengan Quran dan Hadist. Kisah tentang terkoreksinya pendapat ulama dan atau imam oleh
kegagalan sinkronisasi dengan Quran dan Hadist meskipun baik dan rasional kerap terjadi di
dalam sejarah teologi Islam. Di dalam demokrasi, suara terbanyak dan rasionalisasi selalu
menjadi acuan. Di dalam teologi Islam, keadaan seperti itu sulit terjadi sebagaimana dapat kita
baca di dalam kisah Abu al Hasan al Asy’ary sehingga sampai kepada tulisannya Al Ibanah fi
Ushul Al-Diyanah sebab bukan akal yang menjadi dasar rujuk pemikiran namun Quran dan
hadist (Ibrahim, 2010). Metode interpretasi teks Quran-nya adalah sebagai berikut (Ibrahim,
2010):

1. Menafsirkan ayat dengan ayat.


2. Menafsirkan ayat dengan hadits.
3. Menafsirkan ayat dengan ijma`.
4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan k[e]cuali ada dalil.
5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam
memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.

18
6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut.
7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-
duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.

dan sebagaimana juga metodologi tersebut di atas terverifikasi oleh percakapan Muhammad
[p.b.u.h] dengan salah satu sahabatnya sebagaimana berikut ini:

“Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau [Rasulullah saw.] bertanya:
apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?,
Muadz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi: Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab: Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:Jika kasusnya
tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?, Muadz menjawab:Saya akan berijtihad
dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau,
seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.” (HR.Abu Dawud)

Sedangkan jika merujuk pada pelibatan teks-teks sebelum di dalam interpretasi, justru Quran
menyatakan di dalam dirinya sebagai “batu ujian” (5:48) atau sebagai verifikator, Quran sendiri
konsisten di dalam dirinya sendiri; “tidak ada keraguan di dalamnya” (2:2), bagi yang meyakini
(45:20). Jadi Quran sebagaimana beberapa kitab suci lainnya selalu kembali pada: bagi yang
meyakini atau dengan kata lain, tidak ada interpretasi yang tepat kecuali sesudah keyakinan;
bahwa di dalam teologi Islam, agama adalah satu paket dengan pemarkaan yang bukan
manasuka.

[7] Contoh di dalam revitalisasi sebuah isu yaitu tentang tata cara salat sebagaimana dapat kita
bandingkan di dalam buku tulisan Abdul Aziz Abdullah bin Baz (t.t), Bakar bin Abdullah Abu
Zaid (2007), dan Muhammad Nashirudin Al-Albani (2003).

19
[8] Kelonggaran di dalam interpretasi teks Bible dapat dilihat pada interpretasi Martin Luther
dan John Calvin (Woods, 2005). Jauh sebelum itu, interpretasi Bible sudah pernah mengalami
ketegangan antara aliran Alexandria dengan aliran Antioch di Turki (Interpretation and the
Bible di: http://gbgm-umc.org/umw/bible/cei.stm). Hal serupa juga sebenarnya terjadi di
dalam Islam meskipun prosedur interpretasi skriptur sudah demikian ketatnya sebagaimana
dapat dilihat pada selisih interpretasi antara mainstream Islam (Sunni) dengan deviasi
dari mainstream serupa Syiah dan Mu'tazilah.

[9] bdk. catatan kaki nomor 6

[10] Meskipun demikian, di dalam Islam sendiri gerakan untuk menginterpretasi teks Quran
dengan menggunakan sesuatu yang tidak merujuk kepada pemarkaan Muhammad [p.b.u.h] dan
orang-orang sekitarnya serta 2 generasi sesudahnya dapat dirujuk awalnya pada kisah
perselisihan yang disulut oleh aliran Mu’tazilah mengenai: “Apakah Quran adalah makhluk”.

[11] Bandingkan pula dengan pernyataan Th. C. Vriezen (2001: 7): “Ada beberapa kesulitan yang
harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung
jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang
diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-
temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber
kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu
adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam
naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah
historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”

[12] Contoh dari maksud fore-structure di dalam pembacaan adalah misalnya sebagai berikut
(Bardzell, 2009):

20
Penelitian yang dilakukan oleh Csikszentmihalyi & Robinson dengan pendekatan grounded
theory menunjukkan adanya fore-structure.

(perlu dicatat bahwa pendekatan grounded adalah berdasarkan pra-asumsi mengenai


urgensi bukti empiris di dalam munculnya sebuah teori).

Csikszentmihalyi & Robinson mewawancarai hampir 70 kurator museum.

(perlu dicatat sebagai tambahan, bahwa ‘populasi’ ini ‘dipilih’, sekali lagi, berdasarkan
metodologi ilmu sosial yang sudah mapan).

Jadi, sebelum Csikszentmihalyi & Robinson melakukan studi terhadap suatu subjek, studi
mereka sendiri sudah disituasikan oleh the hermeneutic circle of empirical social
science (lingkar hermeneutika dari ilmu sosial empiris).

Lalu bagaimana dengan data studi mereka? Analisis data mereka menyimpulkan bahwa para
kurator mengekspresikan pengalaman estetika melalui empat dimensi yang saling berkaitan:
persepsual, emosional, intelektual, dan komunikatif. Hasil analisis ini mungkin cukup
mengejutkan karena seakan nampak sebagai sebuah kajian psikologi dan bukannya estetika.

Csikszentmihalyi & Robinson mengutip kata-kata yang dipakai oleh para kurator di dalam
mempersepsikan karya lukis semisal: “warna dan bentuk”, “manipulasi pewarnaan”, “garis yang
tegas dan jelas”. Masalahnya adalah, istilah-istilah ini memiliki referensi sebagai suatu bentuk
karya lukis “cubist” dan kita pun memang mengasosiasikan hal-hal ini dengan lukisan-lukisan
“cubist”.

Secara ringkas, persepsi itu, “menurut temuan dan analisis Csikszentmihalyi &
Robinson” tanpa mereka sadari adalah bentuk temuan yang sudah dimediasi oleh lingkar
hermeneutika. Istilah “cubist” sendiri adalah bentuk kategori yang sudah ditetapkan secara
subjektif oleh seniman-seniman, kritikus-kritikus seni, dan filosof estetika dan bukan suatu
kategori yang bersifat empiris.

21
[13] Gambar diambil dari tulisan Eastlick (2006), The Top and The Bottom.

22

View publication stats

You might also like