You are on page 1of 56

DETEKSI MORFOLOGI DAN MOLEKULER

PARASIT Anisakis spp PADA IKAN TONGKOL (Auxis thazard)

SKRIPSI

LA ODE ALI RASYID SAPUTRA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
DETEKSI MORFOLOGI DAN MOLEKULER
PARASIT Anisakis spp PADA IKAN TONGKOL (Auxis thazard)

SKRIPSI

OLEH :

LA ODE ALI RASYID SAPUTRA

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Pada Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin
Makassar

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan : DETEKSI MORFOLOGI DAN MOLEKULER


PARASIT Anisakis spp PADA IKAN TONGKOL (Auxis
thazard)

Nama : LA ODE ALI RASYID SAPUTRA

No. Pokok : L 221 06 023

SKRIPSI
Telah Diperiksa dan Disetujui oleh :

Dr. Ir. Hilal Anshary, M.SC Dr. Ir Gunarto Latama, M. Sc


Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Mengetahui :

Dekan Ketua Program Studi


Fakultas Ilmu Kelautan danPerikanan Budidaya Perairan
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Ir. Hj. A. Niartiningsih, MP. Dr. Ir. Gunarto Latama, M.Sc
NIP. 19611201 198703 2 002 NIP. 196202241988111001

Tanggal Pengesahan : Agustus 2011


RINGKASAN

LA ODE ALI RASYID SAPUTRA L221 06 023. Deteksi Morfologi dan


Molekuler Parasit Anisakis spp Pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Dibawah
bimbingan Bapak Hilal Anshary sebagai pembimbing I dan Bapak Gunarto
Latama sebagai pembimbing II.

Tingginya kebutuhan pangan bagi masyarakat, utamanya ikan tongkol


(Auxis thazard) sebagai salah satu makanan pokok masyarakat pesisir pada
umumnya, menuntut perbaikan kualitas ikan. Kebiasaan makan ikan mentah
dapat menyebabkan timbulnya penyakit Anisakiasis pada manusia. Penyakit
Anisakiasis disebabkan oleh adanya infeksi parasit Anisakis spp pada ikan yang
dikonsumsi akibat pengolahan ikan yang kurang baik. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui tingkat infeksi parasit Anisakis spp pada ikan tongkol
(Auxis thazard) dengan menggunakan deteksi morfologi dan molekuler (PCR).

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – November 2010 di


Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan Universitas Hasanuddin Makassar,
Propinsi Sulawesi Selatan. Hewan Uji dalam penelitian ini adalah ikan tongkol
(Auxis thazard) yang dibeli dari beberapa TPI di Makassar (Beba, Rajawali dan
Paotere).

Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk morfologi Anisakis spp


melalui deteksi morfologi adalah berbentuk memanjang, memiliki
ventriculus yang nampak jelas di bawah stereomikroskop, memiliki booring
tooth pada bagian anterior, dan mucron pada bagian posterior. Anisakis
spp memiliki panjang ventriculus antara 10 – 98 µm. Tingkat prevalensi
70% dan intensitas 8,4257 ind/ekor. Parasit Anisakis spp banyak
ditemukan pada bagian usus, lambung dan hati ikan tongkol (Auxis
thazard). Dari hasil deteksi molekuler dengan menggunakan primer
universal ITS 1-5.8S-ITS 2, diperoleh visualisasi pita DNA parasit pada
kisaran 950 bps.
RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : LA ODE ALI RASYID S.


Tempat / Tanggal Lahir : Mandati, 03 November 1988
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat Makassar : Jl. Poltek. Pondok Arham.

Asal : Wangi-Wangi Selatan, Kab. Wakatobi (SULTRA)


Riwayat Pendidikan : SD Negeri 1 Mandati I Tahun 1994-2000
SLTP Negeri 1 Wangi-Wangi Tahun 2000-2003
SMK Negeri 4 Bau – Bau Tahun 2003-2006
FIKP Unhas Tahun 2006-2010
Riwayat Organisasi : Pengurus HIPMAWANGI Makassar periode 2007-2008
Pengurus HIMA- BDP- FIKP Unhas periode 2007-2008
Pengurus ASCM periode 2009-2010
Nama Orang Tua :
Bapak : La Ode Aliwau, S.Pd
Ibu : Rosmini
Alamat Orang Tua : Jl. Poros Mandati-Liya Kel. Mandati III, Kec. Wangi-
Wangi Selatan, Kab. Wakatobi
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa

penulis haturkan karena atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nyalah

sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

Universitas Hasanuddin.

Banyak kendala yang penulis hadapi dalam rangka penyusunan

skripsi ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka laporan ini

dapat selesai pada waktunya. Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang teramat besar kepada Bapak Dr. Ir. Hilal Anshary,

M.Sc sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Gunarto Latama, M.Sc

sebagai pembimbing II atas bimbingan, nasehat, petunjuk dan saran yang

senantiasa diberikan kepada penulis.

Dalam kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa hormat

yang sedalam-dalamnya dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Ibu Dr. Ir. Asmi Citra Malina, MSc., Ir. Sriwulan, MP., dan Ir.

Margaretha Bunga, MP sebagai dosen penguji yang telah

memberikan kritik dan masukan berharga dalam penyelesaian skripsi

ini.

2. Ibu Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas

Hasanuddin, para Pembantu Dekan dan seluruh karyawan beserta


Staf yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan di FIKP UNHAS.

3. Seluruh Dosen Perikanan Yang tidak bisa kami sebutkan satu

persatu, yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu kepada

kami selama masa perkuliahan.

4. Kanda Rahmi S.Pi yang telah banyak membantu penulis pada saat

kegiatan penelitian di Laboratorium.

5. Seluruh rekan seperjuangan mahasiswa Program Studi Budidaya

Perairan dan rekan – rekan Angkatan 2006 yang senantiasa menjaga

tali persaudaraan dengan kami. Tiada hal yang lebih berharga dari

persaudaraan sejati, karena hanya dengan bersaudara kita akan bisa

menghilangkan segala perbedaan diantara kita. Semoga

persaudaraan ini akan terus terjalin sampai dengan waktu yang tak

terbatas.

6. Dan kepada yang tidak bisa disebutkan satu persatu, lembar ini tidak

akan pernah cukup untuk bisa bertahan mengingat namamu, tetapi

hati ini akan senantiasa dipenuhi dan dihiasi oleh namamu.

Akhirnya dengan segala perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan

kata-kata, penulis mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua

yang sangat saya banggakan : LA ODE ALIWAU, S.Pd dan ROSMINI

atas segala perhatian dan motivator serta sumbangsih yang tidak terbatas

nilainya dalam kehidupan penulis selama menempuh pendidikan dan

penulisan skripsi ini.


Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan atau

kesalahan, Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi

kesempurnaannya.

Akhirnya kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

kita semua. Amin Yaa Rabbal Alamin.

Makassar, Juli 2011

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... ii

RINGKASAN ....................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP ................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................... v

DAFTAR ISI ......................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

Latar Belakang ...................................................................... 1

Tujuan Penelitian ................................................................... 3

Kegunaan Penelitian .............................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 4

Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tongkol ................................. 4

Daerah Penyebaran Ikan Tongkol ......................................... 5

Parasit dan Parasitisme ........................................................ 7

Jenis – Jenis Parasit Pada Ikan Laut .................................... 9

Klasifikasi dan Morfologi Parasit Anisakis spp ...................... 16

Penyebaran Cacing Anisakidae ............................................ 17

Siklus Hidup Parasit Anisakis spp ......................................... 18

Polymerase Chain Reaction (PCR) ........................................ 20


BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 22

Waktu dan Tempat ................................................................. 22

Alat dan Bahan ...................................................................... 22

Hewan Uji ............................................................................... 22

Prosedur Kerja ....................................................................... 23

Survei Ikan Auxis thazard Pada Beberapa Pelelangan

Ikan (Beba, Rajawali, dan Paotere)........................................ 23

Identifikasi Morfologi Parasit Anisakis spp ............................. 23

Ekstraksi DNA Parasit Anisakis spp ....................................... 24

Identifikasi Molekuler Parasit Anisakis spp ............................ 26

Perubah yang Diamati............................................................ 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 28

Bentuk dan Morfologi Anisakis spp ........................................ 28

Prevalensi dan Intensitas Serangan Parasit Anisakis spp

Terhadap Ikan Tongkol (Auxis thazard) ................................. 30

Hasil deteksi PCR Parasit Anisakis spp ................................. 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 36

Kesimpulan ........................................................................... 36

Saran .................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

LAMPIRAN ..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Bentuk Umum Morfologi Ikan Tongkol ................................ 4

Gambar 2. Morfologi Anisakis simplex .................................................. 16

Gambar 3. Siklus Hidup Larva Anisakidae ............................................ 20

Gambar 4. Morfologi Anisakis spp ........................................................ 28

Gambar 5. Bentuk Ventriculus Anisakis spp ......................................... 28

Gambar 6. Boring Tooth Anisakis spp .................................................. 28

Gambar 7. Mucron Anisakis spp ........................................................... 28

Gambar 8. Hasil deteksi PCR Parasit Anisakis spp .............................. 33


DA FTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Jumlah Parasit Anisakis spp Pada Pengambilan


Pertama di TPI Beba Takalar
Lampiran 2. Data Jumlah Parasit Anisakis spp Pada Pengambilan
Kedua di TPI Rajawali Makassar
Lampiran 3. Data Jumlah Parasit Anisakis spp Pada Pengambilan Ketiga
di TPI Potere Makassar
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim dengan jumlah pulau

kurang lebih 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya

menempatkan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi lebih dari itu

menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar dan belum

dimanfaatkan secara optimal (Dahuri, 2000). Kekayaan sumberdaya laut

Indonesia sangat berlimpah, menyusul dua per tiga wilayah Indonesia terdiri dari

laut, potensi perikanan sebesar 6,26 juta ton/tahun dengan keragaman jenis ikan

namun belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2005, total

produksi perikanan 4,71 juta ton, dimana 75 % (3,5 juta ton) berasal dari

tangkapan laut (Anonim 2007).

Potensi perikanan yang dimiliki Indonesia, jika dikelola dengan baik maka

akan dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional dan rumah tangga.

Ketahanan pangan telah menjadi komitmen nasional berdasarkan pemahaman

atas peran strategis atas pembangunan nasional. Tiga aspek peran strategis

tersebut antara lain adalah: akses terhadap pangan dan gizi yang cukup

merupakan hak yang paling azasi bagi manusia, peranan penting pangan bagi

pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan ketahanan pangan

merupakan salah satu pilar yang menopang ketahanan pangan ekonomi dan

nasional (Anonim, 2003).

Terkait masalah kebutuhan pangan bagi masyarakat, masalah penyakit

pada ikan, terutama yang disebabkan oleh parasit dapat menyebabkan

penurunan kualitas ikan dan gangguan kesehatan pada manusia. Keberadaan

parasit dapat menyebabkan efek mematikan pada populasi inang dan


konsekuensinya dapat menyebabkan kerugian besar bagi industri perikanan dan

akuakultur. Parasit tidak hanya dapat merugikan industri perikanan, tetapi juga

manusia jika di konsumsi. Salah satu jenis parasit yang dapat merugikan adalah

parasit jenis nematoda dari genus Anisakis. Genus yang tersebar luas ini

diketahui sebagai penyebab dari penyakit Anisakiasis pada manusia (Palm dkk,

2008).

Anisakiasis merupakan penyakit parasit pada saluran pencernaan

manusia yang biasanya ditandai dengan gejala sakit pada perut, kejang dan

muntah oleh karena mengkonsumsi makanan mentah atau ikan laut yang belum

di olah, yang mengandung larva cacing Anisakis. Siklus hidup parasit ini di alam

meliputi transmisi larva dari satu predator ke predator lain, yaitu dari crustacea

yang dimakan oleh cumi, gurita atau ikan, lalu dimakan oleh mamalia laut

sedangkan manusia sebagai hospes incidental atau terjangkit akibat kesalahan

pola makan (Nyoman, 2000).

Parasit Anisakis akhir – akhir ini telah mendapat perhatian dunia oleh

karena adanya kecenderungan peningkatan Anisakiasis pada manusia seiring

dengan perubahan pola makan. Parasit golongan Anisakidae yang biasanya

menginfeksi ikan adalah dalam bentuk larva, sehingga sulit membedakan antara

genus yang satu dengan yang lainnya tanpa bantuan mikroskop dan analisis

molekuler.

Oleh karena mengingat kemungkinan bahaya serangan parasit Anisakis

spp terhadap ikan tongkol (Auxis thazard), yang pada umumnya banyak

dikonsumsi oleh masyarakat, maka penelitian tentang parasit Anisakis spp

dengan deteksi morfologi dan molekuler perlu untuk dilakukan untuk dapat

menentukan cara identifikasi dan diagnosa yang tepat terhadap parasit Anisakis

spp.
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara morfologi dan

molekuler serta untuk mengetahui tingkat infeksi parasit Anisakis spp pada ikan

tongkol (Auxis thazard).

Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan

dari penulis dan masyarakat pada umumnya tentang keberadaan parasit

Anisakis spp dengan deteksi cepat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tongkol (Auxis thazard)

Klasifikasi ikan tongkol (Auxis thazard) menurut Anonim (1979) :

Class : Pisces

Sub Ordo : Scombridae

Famili : Scombridae

Genus : Auxis

Species : Auxis thazard

Gambar 1. Bentuk morfologi ikan tongkol

Menurut Djuhanda, (1981), Ikan tongkol tergolong ikan Scombridae,

bentuk tubuh seperti betuto, dengan kulit yang licin . Sirip dada melengkung,

ujungnya lurus dan pangkalnya sangat kecil. Ikan tongkol merupakan perenang

yang tercepat diantara ikan-ikan laut yang berangka tulang. Sirip-sirip punggung,

dubur, perut, dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh,

sehingga sirip-sirip ini dapat dilipat masuk kedalam lekukan tersebut, sehingga

dapat memperkecil daya gesekan dari air pada waktu ikan tersebut berenang

cepat. Dan dibelakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat sirip-sirip

tambahan yang kecil-kecil yang disebut finlet. Menurut Anonim (1979), ikan

tongkol mempunyai ciri – ciri badan memanjang kaku, bulat seperti cerutu,

memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung pertama berjari – jari keras 10,
sedangkan yang kedua berjari jari keras 11 diikuti 6 – 9 jari – jari tambahan. Sirip

dubur berjari – jari lemah sebanyak 14 diikuti 6 – 9 jari – jari sirip tambahan.

Terdapat satu lidah atau cuping diantara sirip perutnya. Badan tanpa sisik kecuali

pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil di bagian belang.

Satu lunas kuat diapit dua lunas kecil pada daerah sirip ekornya.

Menurut Tabrani (1997), secara anatomi komposisi ikan tongkol terdiri

atas :

a. Tulang – tulang antara lain : tulang belakang, tulang kepala, tulang iga,

dan tulang sirip.

b. Otot, sebagian besar terdiri dari otot putih dan sebagian kecil pada

permukaan terdiri atas otot merah.

c. Kulit dan sirip

d. Viscera, usus dan termasuk didalamnya saluran kencing yang merupakan

factor utama penyebab pembusukkan.

Selain dari segi anatomi, komposisi ikan tongkol berdasarkan bagian protein dan

lemaknya : mengandung lemak 36,0%, protein 11,3%, air 52,5%, dan mineral

0,53%.

Daerah Penyebaran Ikan Tongkol (Auxis thazard)

Ikan tongkol (Auxis thazard) merupakan ikan golongan pelagis besar

yang memiliki sifat bergerombol, Ikan tongkol biasanya membentuk schooling

pada waktu ikan tersebut dalam keadaan aktif mencari ikan. Menurut Djamal

(1994), ikan tongkol lebih aktif mencari makan pada waktu siang hari daripada

malam hari. Ikan tongkol akan banyak muncul bila keadaan mendung dan hujan

rintik – rintik. Ikan tongkol biasannya memakan ikan – ikan kecil seperti ikan teri

dan cumi – cumi..


Jenis ikan tongkol mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas,

umumnya mendiami perairan – perairan pantai dan oseanik (Blackburn, 1965).

Secara umum distribusi ikan tongkol dibagi atas dua macam penyebaran, yaitu

penyebaran secara horizontal atau penyebaran menurut lintang dan penyebaran

secara vertikal atau penyebaran menurut kedalaman. Faktor utama yang

mempengaruhi penyebaran ikan, yaitu (1) ikan – ikan tersebut berusaha untuk

mencari daerah yang kaya akan makanan, (2) ikan – ikan tersebut berusaha

untuk mencari daerah pemijahan yang sesuai dan (3) karena adanya perubahan

beberapa faktor lingkungan seperti temperature, salinitas dan arus.

Kondisi oseanografi yang mempengaruhi migrasi ikan tongkol yaitu suhu,

salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, kandungan fosfat dan ketersediaan

makanan. Sedangkan faktor oseanografi yang langsung mempengaruhi

penyebaran ikan tongkol adalah arus, suhu, dan salinitas (Hela dan Laevastu,

1970). Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Gunarso (1985), bahwa ikan

tongkol sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan salinitas. Ikan tongkol pada

umumnya menyenangi perairan panas dan hidup dilapisan permukaan sampai

pada kedalaman 40 meter dengan kisaran optimum antara 20 - 28°C.

Penyebaran ikan tongkol sering mengikuti sirkulasi air. Demikian pula

kepadatan populasinya pada suatu perairan, sangat berhubungan dengan pola

arus tersebut. Pada umumnya jenis – jenis tuna mempunyai penyebaran di

sepanjang poros arus dan mempunyai kelimpahan yang besar (Blackburn, 1965).
Parasit dan Parasitisme

Parasit adalah merupakan organisme yang hidup pada organisme lain

yang mengambil makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga organisme

yang tempatnya makan (inang) akan mengalami kerugian. Menurut Grabda

(1991), parasit adalah organisme yang hidup di dalam atau pada organism lain

yang biasanya menimbulkan bahaya terhadap inangnya. Berdasarkan habitatnya

pada inang, parasit dapat dibedakan menjadi parasit eksternal (ektoparasit) dan

parasit internal (endoparasit). Ektoparasit hidup pada permukaan tubuh inang

atau tempat – tempat yang sering terbuka seperti mulut dan insang. Endoparasit

hidup dalam tubuh inang, yaitu organ dalam dan jaringan. Kelompok organisme

parasit yang berada diantara ektoparasit dan endoparasit disebut sebagai

mesoparasit.

Berdasarkan sifat ketergantungannya pada inang, organisme parasit

dikelompokkan menjadi parasit fakultatif dan obligat. Parasit fakultatif adalah

organisme yang dapat hidup ada atau tanpa inang, sedangkan parasit obligat

adalah organisme yang seluruh siklus hidupnya bergantung kepada inang secara

mutlak. Organisme parasit yang bersifat parasit terhadap parasit yang lain

disebut hiperparasit. Protozoa Nosema dollfusi adalah organisme yang

hiperparasit terhadap Trematoda Buchephalus cuculus yang merupakan parasit

pada Oyster di Amerika (Cheng, 1973).

Parasitisme adalah hubungan dengan salah satu spesies parasit dimana

inangnya sebagai habitat dan merupakan tempat untuk memperoleh makanan

atau nutrisi, tubuh inang adalah lingkungan utama dari parasit sedangkan

lingkungan sekitarnya merupakan lingkungan keduanya (Kabata, 1985).


Menurut Cropton (1971) dalam Anshary (2008), parasitisme merupakan

suatu bentuk hubungan ekologi antara dua organisme, yang satu disebut parasit

dan yang lainnya disebut inang. Selanjutnya ditambahkan bahwa sifat - sifat

esensial yang dimiliki hubungan tersebut adalah :

1. Adanya ketergantungan fisiologi parasit terhadap inangnya,

2. Inang yang terinfeksi berat akan mengalami kematian

3. Distribusi frekuensi parasit pada populasi inang umumnya overdispers yang

berarti bahwa varians (S2) dari populasi parasit jauh lebih besar di banding

dengan rata – rata (X) populasi parasit

Beberapa golongan parasit yang bersifat ektoparasit antara lain adalah

ciliate, beberapa flagellate, monogenea, copepod, isopod, branchiuran dan lintah.

Sedangkan endoparasit adalah yang ditemukan pada organ bagian dalam inang.

Golongan parasit yang masuk endoparasit antara lain adalah Digenea, Cestoda,

Nematoda, Acantocephala, Coccidian, Microsporidia, dan Amoeba (Anshary,

2008).

Menurut Mollers dkk., (1986), salah satu penyakit parasit yang sering

menyerang ikan adalah Nematoda yang kebanyakan sebagai Endoparasit,

Secara umum infeksi endoparasit nematoda hanya menimbulkan kondisi

patologis yang ringan, bahkan pada kondisi lingkungan yang normal gejala

klinisnya kurang dapat di deteksi dengan jelas. Walaupun ikan yang terinfeksi

cacing tidak menimbulkan kematian, akan tetapi dapat mengakibatkan

menurunnya fekunditas inang, dan meningkatkan kerentanan terhadap patogen

lain, serta dapat mengakibatkan kerusakan jaringan pada usus.


Jenis – Jenis Parasit Pada Ikan Laut

A. Protozoa

Protozoa merupakan hewan uniseluler yang hidup soliter atau berkoloni,

diperkirakan 50.000 spesies Protozoa yang sudah teridentifikasi. Habitat

Protozoa adalah air laut, payau, air tawar, daratan yang lembab dan pasir kering.

Sebagian besar Protozoa hidup bebas dan menjadi makanan organisme yang

lebih besar. Beberapa Protozoa hidup sebagai parasit, diantaranya parasit pada

ikan, yaitu : Tichodina, Ichthyoptirius, dan Heneguya (Suwignyo dkk., 1997).

Parasit Protozoa dapat besifat fakultatif, obligat, ektoparasit dan endoparasit

(Mollers dkk., 1986).

Noble dan Noble (1989), menyatakan bahwa berdasarkan alat geraknya

Protozoa dibedakan atas lima golongan yaitu : Sarcomastighopora, Sarcodina,

Apicomplexa, Ciliophora dan Myxozoa. Sarcomastighopora mencakup kelompok

Mastighopora yang menggunakan flagella sebagai alat geraknya dan meliputi

semua Protozoa yang memiliki satu atau lebih flagel pada seluruh stadia dalam

siklus hidupnya. Sebagian besar Mastighopora hidup bebas, ditemukan pada

berbagai habitat tetapi banyak yang bersimbiosis (komensalisme, mutualisme

dan parasitisme) dengan vertebrata dan avertebrata. Mastighopora dibagi dalam

tiga kelas, yaitu : Phytomastighopora, Zoomastighopora dan Opalinata.

Phytomastighopora yang bersifat parasit pada ikan adalah Amyloodinium

pillularis. Parasit ikan yang berasal dari kelas Zoomastighopora adalah

Ichtyobodo necatrix yang menginfeksi kulit dan insang berbagai ikan air tawar.

Cryptobia menginfeksi insang, usus dan darah ikan air tawar dan air laut

(Grabda, 1991).
B. Platyhelminthes

Platyhelminthes berasal dari bahasa yunani ‘platy’ yang berarti pipih dan

‘helminthes’ yang berarti cacing. Filum ini merupakan kelompok hewan yang

peratama kali memeprlihatkan pembentukkan lapisan ketiga (mesodermis).

Keberadaan mesodermis pada embrio memungkinkan terbentuknya sebagian

besar system organ pada Platyhelminthes. Terbentuknya mesodermis dan

system organ bersamaan dengan pembentukkan daerah anterior, posterior dan

terjadinya simetri bilateral. Tubuh bagian anterior merupakan bagian yang

pertama kali berhadapan dengan lingkungan pada saat berjalan dan mempunyai

indera paling banyak dibandingkan posterior (Suwignyo dkk., 1997).

Filum platyhelminthes tidak memiliki organ khusus untuk bergerak.

Gerakannya merupakan akibat dari kontraksi kantung dermomuskular. System

reproduksi berkembang sangat baik dan mengisi hampir seluruh tubuhnya. Filum

Platyhelminthes terdiri dari empat kelas, yaitu Monogenea, Cestodaria, Cestoda

dan Trematoda (Grabda, 1991).

 Monogenea

Monogenea merupakan parasit yang panjangnya antara 1 mm sampai 20

mm. tubuh Monogenea pipih dorsoventral, memanjang dan oval. Monogea

memiliki organ penempel yang berada di ujung posterior yang disebut dengan

ophisthaptor (Grabda, 1991). Ophisthaptor terdiri dari satu piringan yang

menonjol dan dilengkapi dengan 2 – 3 pasang kait besar dan 16 kair marjinal

(Noble dan Noble, 1989).

Daur hidup Monogenea tidak memerlukan inang antara dan bersifat

vivipar atau ovipar. Daur hidup Monegea yang bersifat ovipar dimulai dari

menetasnya telur menjadi larva bersilia yang disebut Oncomirasidium.

Oncomirasidium memiliki bintik mata, pharink, kepala dan kelenjar – kelenjar


sebagaimana Monogenea dewasa. Oncomirasidium bergerak bebas selama 6 –

8 jam, kemudian mencari inang yang tepat. Oncomirasidium akan menempel

pada kulit inang dan berkembang hingga menjadi dewasa (Grabda, 1991).

Monogea vivipar memiliki larva yang berkembang dalam uterus dan dapat berisi

sel – sel embrionik (Noble dan Noble, 1989).

Sebagian besar Monogea merupakan parasit pada ikan. Monogenea

menginfeksi permukaan tubuh, sirip, mulut ikan dan insang. Makanan

Monogenea berasal dari lender ikan, dinding epitel yang mengelupas dan darah

(Grabda, 1991). Monogenea penyebab penyakit pada ikan adalah Dactylogyrus,

Microcotyle, Ancrycephalus dan Gyrodactylus. Berdasarkan pola makannya

terdapa dua tipe mulut monogenea, yaitu ventral (terletak di tengah) dan terminal

(terletak di ujung). Monogenea dari sub ordo Monophistocotylea memiliki posisi

mulut ventral sedangkan Monogenea dari sub ordo Polyophistocotylea memiliki

posisi mulut terminal (Cheng, 1973).

 Digenea

Digenea merupakan cacing yang berbentuk pipih dorsoventral, oval dan

memanjang. Tubuh Digenea tidak bersekat – sekat dan memiliki bagian posterior

yang jelas. Digenea memiliki dua organ pelengkap, yaitu oral sucker dan ventral

sucker (asetabulum). Asetabulum digunakan untuk menempel pada tubuh inang

(Kabata, 1985).

Siklus hidup Digenea biasanya melibatkan dua inang antara dan satu

inang akhir. Inang antara pertama berupa moluska. Ikan dapat menjadi inang

antara kedua atau inang akhir. (Moller dkk., 1986). Perkembangan stadia

Digenea terdiri dari telur, mirasidium, sporocist, redia, serkaria, metaserkaria, dan

Digenea dewasa (Grabda, 1991).


Digenea merupakan endoparasit yang menyerang usus, kandung kemih,

empedu, dan darah inang. Patogenitas Digenea dewasa pada usus ikan lebih

tinggi daripada larva yang menginfeksi jaringan. Parasit ini sangat berbahaya,

terutama bagi ikan dalam stadia juvenil.

 Cestoda

Cestoda dikenal sebagai cacing pita yang merupakan parasit pada

vertebrata. Tubuh cacing dewasa terdiri dari scolex, leher yang pendek dan

strobila. Scolex dilengkapi dengan alat penghisap dan kait untuk melekat pada

dinding usus ikan. Leher merupakan daerah pertunasan. Strobilisasi

menghasilkan strobila yang terdiri dari serangkaian proglotid dengan jumlah

dapat mencapai seribu buah. Proglotid yang paling dekat dengan leher

merupakan proglotid termuda dan sebaliknya. Pada proglotid terdapat alat

reproduksi jantan dan betina. Pembuahan terjadi dalam satu proglotid dari satu

cacing atau antara dua cacing (Suwignyo dkk., 1997).

Daur hidup Cestoda melibatkan beberapa inang. Perkembangan dari

cestoda dimulai dari telur yang menetas menjadi larva bebas atau Coracidium,

Procercoid, Plerocercoid, dan cacing dewasa (Moller dkk., 1986). Stadia larva

dan Cestoda dewasa ditemukan sebagai parasit pada ikan. Plerocercoid Cestoda

hidup pada rongga tubuh ikan, hati, ginjal dan gonad yang menyebabkan

penurunan funsi organ – organ tersebut. Cestoda dewasa pada usus ikan dapat

menyebabkan anemia dan penurunan berat badan (Grabda, 1991).

C. Crustacea

Tubuh Crustacea bersekat – sekat dan terdiri dari cephalothoraks,

thoraks dan abdomen (Fernando dkk, 1972). Crustacea dikelompokkan dalam

tiga ordo, yaitu : Copepoda, Branchiura dan Isopoda (Grabda 1991),


 Copepoda

Copepoda merupakan ektoparasit yang menempel pada permukaan

tubuh, mulut dan insang ikan. Copepoda memiliki karapas, dan memiliki 16

segmen. Bagian kepala bersatu dengan anterior membentuk Cephalothoraks

(Grabda, 1991).

Lebih daripada 2000 Copepoda bersifat parasit pada ikan laut dan ikan air

tawar, tetapi ada juga yang memiliki nilai ekonomis sebagai makanan ikan.

Serangan Copepoda dapat mengakibatkan luka yang serius dan berakibat fatal.

Parasit Copepoda yang menyerang ikan dikelompokkan menjadi dua, yaitu

Poeclostomatida dan Siphonostomatoida (Kabata, 1979; dalam Grabda, 1991).

Kelompok Poeclostomatida hidup bebas, komensal dan merupakan parasit pada

ikan. Termasuk dalam kelompok ini adalah Bomolocida dan Ergasilus. Kelompok

Siphonostomatoida tidak semuanya bersifat parasit, yang bersifat parasit

misalnya Caligus dan Lernaea (Grabda, 1991). Caligus merupakan ektoparasit

ikan yang memiliki mulut dan mampu berenang pada stadia dewasa (Noble dan

Noble, 1989).

Siklus hidup Copepoda terdiri dari 1 – 5 stadia bebas (Nauplius) dan

stadia parasit (Copepodid), I stadia pra dewasa dan stadia dewasa. Stadia

Copepodid yang dapat menginfeksi inang disebut dengan larva chalimus (Mollers

dkk., 1986).

 Isopoda

Mollers dkk., (1986), menyatakan bahwa 450 spesies Isopoda merupakan

parasit pada ikan Isopda dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu : Gnatiidae

dan Cymothoide. Ganatiidae merupakan Crustacea yang bersifat parasit pada

stadia larva yang disebut Praniza, sedangkan Cymothoide bersifat parasit pada
stadia dewasa. Praniza menyerang insang dan rongga mulut ikan (Grabda,

1991).

 Branchiura

Menurut Mollers dkk., (1986), sekitar 140 spesies Branchiura diketahui

menginfeksi ikan dan 35 diantaranya hanya menginfeksi ikan laut. Branchiura

memiliki mata faset besar, contohnya adalah Argulus sp. Tubuh Argulus sp,

terbagi menjadi tiga bagian yaitu : cephalothoraks, thoraks dan abdomen.

Struktur cephalothoraks Argulus sp mirip struktur cephalothoraks Caligus sp.

Argulus sp menginfeksi kulit ikan dengan cara menembusnya melalui

stylet lalu mengeluarkan enzim pencernaan melalui dua saluran syphon. Infeksi

Argulus sp dapat berakibat fatal bagi ikan kecil, belum diketahui sampai sejauh

mana infeksi yang ditimbulkannya (Mollers dkk., 1986). Umumnya hal ini

disebabkan oleh intensitas parasit yang menginfeksi dan perbedaan imunitas

antara ikan kecil dan besar, selain itu proses adaptasi antara parasit dan inang

juga dapat berpengaruh. Ikan besar yang telah berdaptasi dengan parasit yang

menginfeksinya tidak menunjukkan tanda tanda sakit.

D. Acanthocephala

Acanthocephala atau cacing berkepala duri memiliki ciri khusus yang

berupa proboscis yang dilengkapi duri (Mollers dkk., 1986). Proboscis berfungsi

untuk menempel pada dinding usus inang (Kabata, 1985). Tubuh

Acanthocephala berbentuk silindris, ramping dan berwarna putih kekuningan,

merah hijau dan hitam. Acanthocephala tidak memiliki alat pencernaan (Mollers

dkk., 1986). Acanthocephala menyerap nutrisi dengan seluruh permukaan

tubuhnya (Grabda, 1991).


Daur hidup Acanthocephala memerlukan satu inang antara berupa

Crustacea yang hidup di dasar perairan. Pada ikan air tawar Acanthocephala

banyak ditemukan pada ikan belut. Daur hidup Acanthocephala terdiri dari telur,

Acanthor, Pre acanthella, Acanthella, Reinkiste acanthella dan Acanthocephala

dewasa.

E. Nematoda

Nematoda disebut juga ‘round worm’ atau cacing bulat. Nematoda miliki

bentuk tubuh memanjang, silindris dan pada beberapa spesies menjadio pipih ke

arah posterior. Dilihat dari anterior, daerah mulut dan sekitarnya memiliki simetri

radial atau biradial (Suwignyo dkk., 1997). Parasit Nematoda biasanya hidup

pada usus ikan. Sebagian Nematoda mnginfeksi otot rangka yang menyebabkan

masalh serius dalam usaha buididaya (Mollers dkk., 1986).

Nematoda dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk kepala, ekor, daerah

peralihan antara oesophagus dan usus. Nematoda jantan lebih kecil daripada

Nematoda betina dan memiliki spikula yang dapat bergerak di bagian ujung ekor.

Beberapa spesies Nematoda memiliki sucker, contohnya Cuculanus

heteroshrous (Mollers dkk., 1986).

Daur hidup Nematoda terdiri dari empat stadia larva dan satu stadia

dewasa. Nematoda membutuhkan satu inang akhir dan satu atau dua inang

antara. Ikan merupakan inang Intermediet (antara) bagi parasit Nematoda. Inang

antara pertama yang menyebabkan ikan terinfeksi adalah Crustacea. Beberapa

spesies Nematoda menjadikan manusia sebagai inang akhir, misalnya cacing

Anisakis yang menyebabkan penyakit Anisakiasis dan cacing Askaris yang

menyebabkan Askariasis (Grabda, 1991).


Nematoda dewasa sering ditemukan pada usus dan jarang ditemukan

pada jaringan, dengan kata lain larva Nematoda hampir selalu menyerang

jaringan ikan. Parasit yang menyerang ikan lebih patogen disbanding parasit

usus. Hasil metabolism parasit dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Parasit

Nematoda yang menyerang jaringan adalah Cystoopsis, Philometra,

Skrjabillanus.

Klasifikasi dan Morfologi Parasit Anisakis spp

Anderson (2000), mengklasifikasikan parasit Anisakis spp., sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Order : Ascaridida

Super Family : Ascaridoidea

Family : Anisakidae :

Genus : Anisakis

Spesies : Anisakis spp

Gambar 2: Morphology of A. simplex from chum salmon in this study. a Cephalic


region; b Digestive tract; c Caudal region.lt larval tooth, ep excretory
pore,ed excretory duct, lb labia, eesophagus, vc ventriculkus, int
intestinum, a anus, g rectal gland, m mucron. (Setyobudi, dkk. 2010).
Berdasarkan gambar 2, dapat di lihat struktur tubuh dari parasit Anisakis,

dimana pada bagian (a) atau kepala terdapat beberapa bagian, yaitu (lt) = gigi

larva, (ep) = pori/ lubang pengeluaran, (ed) = saluran pengeluaran, (lb) = bibir.

Pada bagian (b) atau alat pencerna makanan, terdapat bagian (e) = esophagus,

(vc) = ventriculus, (int) = intestinum. Bagian (c) atau ekor, terdapat (a) = anus, (g)

= kelenjar dubur dan (m) = mucron.

Menurut Awik dkk., (2007) Morfologi cacing Anisakis spp mempunyai

warna putih, dengan panjang antara 10-29 mm, Anisakis mempunyai bibir

venterolateral yang berfungsi untuk menyerap bahan organik dari dinding usus.

Pada anterior dari Anisakis spp terdapat boring tooth yang berfungsi untuk

melubangi dinding usus halus dan sekaligus untuk berpegangan pada mukosa

dari usus halus agar tidak lepas pada waktu kontraksi intestinum mencerna

makanan.

Penyebaran Cacing Anisakidae

Mamalia laut seperti Lumba – Lumba dan Paus merupakan inang definitif

dari cacing Anisakidae. Walaupun cacing ini merupakan parasit yang lazim

ditemukan dalam tubuh beberapa mamalia laut, pola migrasi dari Lumba –

Lumba atau Paus dapat menjadi sarana penyebaran cacing parasitik tersebut

terhadap satwa lainnya. Perairan Indonesia di sekitar Taman Nasional Komodo,

Pulau Alor, Pulau Antar, dan Lembata, Nusa Tenggara Timur merupakan jalur

lintasan ikan Paus dari Samudera Pasifik dan perairan Timur Indonesia ke

Samudera Indonesia dan juga sebaliknya melewati daerah ini disamping satwa

setempat (residen) yang menggunakan jalur lintasan ini sebagai daerah jelajah

mereka (Kahn 2001). Infestasi dan sebaran parasit ini pada ikan sangat terkait

erat dengan ketahanan inang definitifnya yaitu mamalia laut. Daya tahan inang
yang rendah akan meningkatkan infestasi parasit cacing pada ikan yang

mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh ikan (Baladin, 2007).

Desrina dan Kusumastuti (1996) mengemukakan bahwa saluran

pencernaan ikan merupakan organ yang paling banyak diserang oleh cacing

Anisakis spp. Habitat dan penyebaran cacing parasit usus dapat dipengaruhi

oleh struktur dan fisiologis usus sehingga mempengaruhi keberadaan dan jumlah

parasit. Terdapatnya cacing parasit pada saluran pencernaan karena banyaknya

sumber bahan organik yang biasa diserap oleh cacing parasit. Menurut Roberts

(2000), makanan dari parasit nematoda adalah darah, sel jaringan dan cairan

tubuh. Hal ini dikarenakan parasit Nematoda tidak dapat merombak bahan

organik yang belum disederhanakan. cacing parasit belum mampu untuk

menyederhanakan bahan organik dikarenakan tidak sempurnanya saluran

pencernaan dan enzim pencernaan cacing parasit.

Siklus Hidup Parasit Anisakis spp

Anisakis spp memiliki siklus hidup yang kompleks melewati beberapa

inang dalam perjalanan hidupnya. Telur menetas dalam air laut dan larva

dimakan oleh krustasea, biasanya Euphausids. Krustasea terinfeksi kemudian

dimakan oleh ikan atau cumi-cumi dan nematoda masuk ke dalam dinding usus

dan membentuk cysta dalam mantel pelindung, biasanya di bagian luar visceral

organ, tetapi kadang-kadang di otot atau di bawah kulit. Siklus hidup selesai

ketika ikan terinfeksi dimakan oleh mamalia laut, seperti ikan paus, anjing laut,

atau lumba-lumba sedangkan manusia terinfeksi karena memakan ikan yang

telah terinfeksi dan tidak diolah dengan baik.

Anisakis spp dewasa ditemukan di dalam perut mamalia laut, dimana

mereka melekat dalam mucosa secara berkelompok. Produksi telur parasit

dewasa dilepaskan keluar melalui feses mamalia. Perkembangan telur secara


embryonase terjadi di dalam air, dan larva L1 dibentuk dalam perut. Larva

mengalami molting, menjadi L2 yang berenang bebas di badan air setelah

mereka lepas dari telur. Larva tersebut termakan oleh krustacea. Larva yang

termakan akan berkembang menjadi L3 yang menginfeksi ikan dan cumi-cumi.

Setelah inang mati, larva dapat bermigrasi ke jaringan otot. Ketika ikan atau

cumi-cumi yang terkandung larva L3 Anisakis termakan oleh mamalia laut, larva

akan mengalami molting kedua dan berkembang menjadi cacing dewasa (Parker

dan Parker, 2002).

Parasit yang masuk ke tubuh manusia adalah parasit stadium ketiga yang

masuk bersama daging ikan yang dimakan. Dalam tubuh manusia larva akan

hidup dan pada umumnya tetap sebagai larva stadium ketiga, namun terkadang

juga berkembang hingga larva stadium keempat atau larva yang sedang berganti

kulit. Dalam hal ini manusia berperan sebagai hospes paratenik. Kebanyakan

larva menyerang sub mukosa namun bisa juga mencapai organ – organ di

rongga abdomen (Miyazaki, 1991).


Gambar 3. Siklus hidup larva Anisakidae.

Berdasarkan Gambar (3), dapat dijelaskan bahwa siklus hidup larva

Anisakidae sebagai berikut: (a) telur anisakis dewasa dikeluarkan dari tubuh ikan

mamalia laut melalui feses. Kemudian telur menetas menjadi larva (b) dimakan

oleh udang (c) lalu ikan haring dan (d) cod. Manusia terinfeksi (e) jika makan ikan

mentah atau kurang masak.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR atau reaksi berantai polymerase adalah teknik amplifikasi in vitro

fragmen gen tertentu yang terletak diantara pasangan oligonukleotida primer

spesifik. Teknologi ini pertamakali ditemukan oleh Carry Mullis dkk pada tahun

1985. Saat ini PCR banyak digunakan dalam bidang biologi molekuler dan

secara luas digunakan juga dalam bidang – bidang terapan seperti zoologi,

botani, ilmu lingkungan dan ilmu forensik. Dalam bidang perikanan, saat ini PCR
sudah banyak digunakan dalam identifikasi parasit secara molekuler. Secara

morfologi, identifikasi cukup sulit dilakukan pada fase larva sehingga dibutuhkan

identifikasi secara molekuler untuk menentukan spesiesnya. Metode identifikasai

secara molekuler telah dikembangkan dengan beberapa teknik oleh para peneliti

dahulu. Beberapa metode identifikasi untuk spesies anisakis antara lain adalah

polymerase chain reaction restriction fragment lengh polymorphism (PCR-RFLP)

dan sequencing dari ribosomal DNA (rDNA), internal transcribed spacers (ITS-1

dan ITS-2) dan 5,8S rDNA (riboprinting) dan mtDNA cox2 gene markers

(Quiazon, 2009).

Quiazon (2009), melakukan identifikasi larva Anisakis spp yang

menginfeksi Alaska polloc (Theragra chalcogramma) secara molekuler

menggunakan PCR-RFLP dan sequencing ITS region (ITS1-5,8S rDNA-ITS2)

serta gen marker mtNDA cox 2. Mereka menemukan empat spesies dari Anisakis

spp., yaitu Anisakis simplex, A. pegreffi (Anisakis Type I), A. brevispiculata, dan

Anisakis sp, yang termasuk dalam Anisakis Type II. Hal ini sesuai dengan

pendapat Berland (1961) dalam Zubaidy (2007), bahwa A. simplex dan A.

pegreffi merupakan Anisakis larva Type I. Sedangkan A. physeteris dan A.

brevispiculata menurut Mattiucci dkk., (2001) dalam Zubaidy (2007), adalah

merupakan Anisakis larva Type II.


BAB III

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelintian ini dilaksanakan pada bulan September – November 2010 di

Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan Universitas Hasanuddin Makassar,

Propinsi Sulawesi Selatan.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah slide glass, cover

glass, stereomicroskop, compound mikroskop, gunting bedah, pisau bedah,

pinset, nampan bedah, autoclave, oven (pemanas kering), inkubator, pipet,

tabung eppendoff (1,5 ml), mikro pipet (40-5000 ul), cawan petri (diameter 90

mm), thermocycler, elektrophoresis, UV transluminator, freezer dan alat tulis

menulis.

Bahan yang digunakan adalah 150 µl nucleus lysis solution, 4,3 µl

proteinase K, 0,75 µl RNase, 50µl larutan protein precipitation, 150 µl

isopropanol, 150 µl etanol 70%, 25 µl larutan DNA rehidrasi, tissue, kertas serap,

glyserol, larutan fisiologis (0,85% NaCl), alkohol 70%, ikan tongkol (Auxis

thazard), dan isolasi parasit Anisakis spp.

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah ikan tongkol (Auxis thazard) yang di

kumpulkan dari beberapa TPI di Makassar (Beba, Rajawali dan Paotere)

sebanyak 30 ekor dengan ukuran panjang ikan 33,5 – 41 cm.


Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Survei Ikan Tongkol (Auxis thazard) Pada Beberapa Pelelangan Ikan

(Beba, Rajawali dan Paotere)

Survei ikan tongkol (Auxis thazard) dilakukan di 3 lokasi Tempat

Pelelangan Ikan (Beba, Rajawali dan Paotere). TPI Beba berlokasi di Takalar,

TPI Rajawali dan Paotere berlokasi di Makassar. Dari 3 lokasi TPI di lakukan

pengambilan sampel secara acak yang dilakukan secara bertahap selama 3 kali

pengambilan sampel hingga mencapai jumlah sampel sebanyak 30 ekor.

2. Identifikasi Morfologi Parasit Anisakis spp

Setelah dilakukan pengumpulan sampel, kemudian ikan di ukur panjang

tubuhnya untuk dan dilakukan pembedahan guna mengambil jeroan ikan yang

akan diperiksa. Jeroan atau bagian organ dalam ikan yang diperiksa adalah

usus, lambung, jantung dan hati ikan tongkol. Setelah jeroan ikan diperoleh,

kemudian diletakkan di atas cawan petri dan dilakukan pemeriksaan akan

adanya infeksi parasit Anisakis spp secara visual dan di bawah mikroskop jeroan

ikan yang sudah diberikan larutan fisiologis. Larutan fisiologis diberikan

secukupnya untuk menjaga agar jeroan ikan tidak basah. Kemudian setelah

parasit diperoleh, lalu di kumpulkan pada cawan petri yang digenangi oleh

larutan fisiologis untuk kemudian parasit yang ditemukan dibersihkan dari debris-

debris yang melekat dan selanjutnya dilakukan fiksasi pada alkohol 70 %.

Selanjutnya dilakukan identifikasi secara morfologi dengan melihat bentuk

ventriculus, bagian ujung anterior dan posterior pada stereo mikroskop. Parasit

yang ditemukan dikelompokkan kedalam Anisakis tipe I dan Tipe II. Setelah itu

dilakukan penghitungan Prevalensi dan Intensitas parasit. Prevalensi adalah


presentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam populasi ikan, dan

Intensitas rata-rata adalah menggambarkan jumlah parasit tertentu yang

ditemukan pada ikan yang diperiksa dan terinfeksi.

3. Ekstraksi DNA Parasit Anisakis spp

Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan petunjuk ekstraksi DNA

dari Pro-mega dengan mengikuti prosedur sesuai dengan yang tertulis dalam

protokol dengan sedikit modifikasi. Secara berurutan ekstrasksi DNA dilakukan

sebagai berikut:

1. Parasit yang telah difiksasi pada alkohol 70% dibersihkan beberapa kali,

sehingga tidak ada jaringan lain yang terikut hanya jaringan dari parasit.

2. Ambil 3 buah tabung eppendorf 1.5 mL dan tambahkan masing-masing

lysis buffer sebanyak 600µL (500µL buffer yang ditambahkan 120µL 0,5M

EDTA) yang didinginkan pada es. Kemudian tambahkan 12,5µL dari 20

mg/mL proteinase K, Inkubasi semalam pada water bath shaker suhu 55

ºC.

3. Inkubasi lysate semalam, atau inkubasi 3 jam pada suhu 55 ºC pada

shaking incubator dan setiap jam dilakukan vortex. Tambahkan 3 uL

RNase pada lysate lalu campur dengan membolak balik tabung 2 - 5 kali.

4. Inkubasi suhu 37 ºC selama 15 - 30 menit. Biarkan sampel dingin pada

suhu ruang selama 5 menit.

5. Menambahkan 200 uL larutan protein precipitation dan vortex keras pada

kecepatan tinggi selama 20 detik. Kemudian sampel di dinginkan pada es

selama 5 menit. Sentrifus selama 4 menit pada 13000 rpm.

6. Protein yang mengendap akan membentuk pellet putih yang keras.

Pindahkan supernatan yang mengandung DNA (jangan ambil protein)

pada tabung eppendorf 1.5 mL yang mengandung 600 uL isoprophanol


pada suhu ruang. Campur secara perlahan larutan sampai tampak

adanya warna putih seperti benang.

7. Sentrifus selama 1 menit 13000 rpm pada suhu ruang. DNA akan tampak

seperti pellet putih yang mengendap. Kemudian supernatan dibuang

dengan hati-hat dengan menggunakan pipet sequensing. Ditambahkan

600 uL ethanol 70% suhu ruang dan bolak balik tabung beberapa kali

secara perlahan untuk mencuci DNA.

8. Sentrifus pada 13000 rpm 1 menit. Ethanol dibuang dengan

menggunakan pipet sequensing atau pipet pasteur. Pellet DNA mudah

lepas, hati-hati agar pellet DNA tidak ikut terbuang. Kemudian tabung

diletakkan dengan kondisi terbalik di atas kertas pengisap, untuk

mengisap sisa-sisa cairan yang masih ada pada tabung sampai kering

selama 10 - 15 menit.

9. Stelah itu, kemudian ditambahkan 100 uL larutan DNA rehydrasi. Lakukan

rehydrasi dengan inkubasi pada suhu 65 ºC selama 1 jam.

10. Secara periodik campur larutan dengan melakukan tapping pada tabung.

Atau rehydrasi DNA dengan inkubasi larutan semalam (overnight) pada

suhu ruang atau pada suhu 4ºC. Simpan DNA pada freezer – 20ºC

sebelum diproses lebih lanjut.

4. Identifikasi Molekuler Parasit Anisakis spp

Identifikasi molekuler dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap Amplifikasi

dan Elektroforesis dan Visualisasi DNA.


Amplifikasi DNA

Metode PCR dengan teknik Amplifikasi DNA dilakukan dengan komposisi,

primer, dan kondisi PCR sebagai berikut :

Komposisi PCR

 Master mix 10 µl

 Primer 1 µl x (2 psg)

 Template DNA 1 µl

 Coralload 2 µl

Primer Universal (ITS 1-5.8S-ITS 2 )

Primer Universal yang digunakan adalah F: (5’GTC GAA TTC GTA GGT

GAA CCT GCG GAA GGA TCA3’) dan R: (5’GCC GGA TCC GAA TCC TGG

TTA GTT TCT TTT CCT3’).

Kondisi PCR

Kondisi PCR adalah pre-denaturasi 94ºC 3 menit, denaturasi 94 ºC 30

detik, 55 ºC annealing, 46 ºC 1 menit, extension 72 ºC 10 menit dan final

extension 72 ºC 5 menit. Siklus PCR sebanyak 30 siklus.

Elektroforesis

Pada tahap elektroforesis, dilakukan persiapan gel agarose yang

ditimbang sesuai dengan keperluan. Konsentrasi agarose yang digunakan

adalah 1 %. Dengan menggunakan pemanas hotplate, agarose dilarutkan

sampai mendidih dan setelah itu dibiarkan selama kurang lebih 25 menit sampai

suhunya sekitar 50 °C kemudian dicetak dalam tray agarose yang telah

dilengkapi dengan sisir untuk membentuk sumur gel. Setelah agarose dingin,
sisir tray diangkat kemudian gel dimasukkan kedalam elektroforesis apparatus

yang telah diisi dengan TAE 1 x sebagai buffer elektroforesis. Gel hasil

elektroforesis direndam dalam ethidium bromida (konsentrasi 1 mg/ml).

Kemudian gel dicuci dengan aquadest selama 10 – 15 menit. DNA

divisualisasikan pada UV trasilluminator dan dilakukan pengambilan gambar.

Perubah yang Diamati

Tingkat infeksi parasit dinyatakan dalam prevalensi dan intensitas,

dihitung berdasarkan petunjuk Fernando dkk., (1972) sebagai berikut :

Prevalensi

𝑁
𝑃𝑟𝑒𝑣 = × 100%
𝑛

Dimana :

Prev : Persentase ikan yang terserang penyakit (%)


N : Jumlah sampel ikan yang terinfeksi parasit (ekor)
n : Jumlah sampel yang diamati (ekor)

Intensitas

Ʃ𝑝
𝐼𝑛𝑡 =
𝑛

Dimana :

Int : Intensitas serangan penyakit (Individu/ekor)


Ʃp : Jumlah total parasit (Individu)
n : Jumlah sampel ikan yang terinfeksi parasit (ekor).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bentuk Morfologi Anisakis spp

Berdasarkan hasil penelitian dengan deteksi morfologi parasit Anisakis

spp dengan jumlah parasit sebanyak 177 individu dari pemeriksaan 30 ekor

sampel, diperoleh bentuk morfologi Anisakis spp seperti pada Gambar (4, 5 6 7) :

Gambar 4. Morfologi parasit Anisakis spp. Gambar 5. Ventriculus larva Anisakis


spp.

Gambar 6. Boring tooth Gambar 7. Mucron

Berdasarkan Gambar (4, 5, 6 dan 7), dijelaskan bahwa cacing parasit

Anisakis spp memiliki tubuh bulat panjang berwarna putih transparan pada

larutan glyserol. Pada salah satu ujung anterior terdapat ventriculus dengan
panjang antara 10 – 98 µm, terdapat mucron pada bagian ujung posterior dan

boring tooth pada ujung anterior larva Anisakis spp. Pada penelitian ini, cacing

parasit Anisakis spp banyak ditemukan pada bagian usus, lambung dan hati dari

ikan tongkol (Auxis thazard) dan tidak ditemukan pada daerah otot ikan.

Hal tentang bentuk morfologi parasit Anisakis dikemukakan oleh Awik.,

dkk (2007) dalam penelitiannya tentang Pola Distribusi Anisakis sp pada usus

halus ikan kakap putih (Lates calcarifer) yang Tertangkap di TPI Brondong,

Lamongan mengemukakan bahwa morfologi dari cacing Anisakis pada usus

halus ikan kakap yang tertangkap di TPI Brondong mempunyai warna putih,

panjang total 10-29 mm. Cacing Anisakis mempunyai bibir venterolateral yang

berfungsi untuk menyerap bahan organik dari dinding usus dan pada anterior dari

Anisakis sp terdapat boring tooth yang berfungsi untuk melubangi dinding usus

halus dan sekaligus untuk berpegangan pada mukosa dari usus halus agar tidak

lepas pada waktu kontraksi intestinum mencerna makanan. Hal ini diperkuat

dengan pendapat Simangunsong (1986), bahwa cara mengambil makanan

cacing Nematoda dari Famili Ascarididae adalah dengan cara menancapkan

boring toothnya hingga ke dalam lapisan muskularis mukosa yang terdapat

dalam lipatan mukosa usus.

Hal yang kemungkinan menyebabkan cacing parasit Anisakis spp lebih

menyukai daerah organ dalam ikan di bandingkan otot karena mungkin

diperkirakan bahwa di daerah seperti usus dalam lambung ikan adalah

merupakan tempat memproses makanan. Oleh karena itu Anisakis spp lebih

banyak di temukan di daerah intestinum untuk memanfaatkan sisa – sisa bahan

organik dalam tubuh ikan. Menurut Schopf (2002), tingginya jumlah larva pada

mesentrium dan dinding viseral dibandingkan dalam organ pencernaan mungkin

disebabkan oleh kondisi sistim pertahanan inang (IL-4 dan IL-10) yang

menyebabkan larva Anisakidae bermigrasi ke luar saluran cerna dan memilih


jaringan lemak di mesentrium usus dan dinding viseral untuk bertahan hidup dan

tumbuh.

Pada kasus infeksi berat Anisakis yang menyerang jaringan organ hati

ikan Cod, dilaporkan bahwa hati ikan tersebut mengecil dan kehilangan

fungsinya sengkan infeksi pada otot kemungkinan kecil pengaruhnya sehingga

diduga infeksi yang berbahaya adalah infeksi sekunder yang ditimbulkan karena

adanya penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (Kahl, 1938; dalam

Latama, 2006).

2. Prevalensi dan Intensitas Serangan Parasit Anisakis spp Terhadap

Ikan Tongkol (Auxis thazard)

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa dari jumlah ikan

tongkol yang diperiksa sebanyak 30 ekor terdapat 21 ekor ikan tongkol yang

terinfeksi oleh parasit Anisakis spp dengan Prevalensi 70% dan Intensitas

serangan 8,4 ind/ekor dengan lokasi pemeriksaan pada bagian usus, hati,

lambung dan otot ikan. Dimana pada bagian otot tidak ditemukan adanya infeksi

parasit..

Salah satu faktor yang kemungkinan menyebabkan tingginya tingkat

prevalensi dan intensitas serangan parasit terhadap ikan tongkol adalah karena

ukuran ikan tongkol yang terinfeksi cukup besar dengan panjang tubuh yang

berkisar antara 33,5 – 41 cm, dimana dari 30 ekor sampel yang diperiksa

diperoleh jumlah anisakis yang tertinggi sebanyak 60 ekor parasit pada sampel

ikan dengan ukuran 40 cm (Lampiran 1). Sedangkan yang terendah diperoleh

pada sampel dengan ukuran panjang tubuh 34 dan 38 cm yang pada masing –

masing ikan hanya diperoleh 1 ekor parasit Anisakis spp.

Menurut Baladin (2007) dalam penelitiannya tentang studi ketahanan

larva Anisakidae dengan suhu pembekuan dan penggaraman pada ikan


kembung (Rastrelliger spp), Prevalensi larva Anisakis simplex yang diperoleh

menginfeksi ikan kembung adalah 70,8% pada lokasi hati, rongga abdomen,

mesenterium, dinding viseral, usus ikan dan tidak ditemukan pada daerah otot.

Hasil penelitian ini yang tidak menemukan adanya larva dalam otot sejalan

dengan temuan larva Anisakis yang relatif sedikit pada ikan Barracouta oleh

Wharton dkk., (1999) yaitu 0,3% dan ikan Horse-mackerel oleh Roepstorff dkk.,

(1993); dan Adroher dkk., (1995) yaitu 1,8%. Temuan yang terbanyak pada

mesentrium dan peritoneum yaitu 88,3%. Kemudian jika membandingkan

keberadaan larva pada otot hypaxial dan epiaxial ditemukan hanya ada satu

Anisakis sp dan satu Pseudoterranova sp di dalam otot epiaxial selebihnya

terdapat pada otot hypaxial (Herreras dkk., 2000; Levsen dkk., 2004).

Hal tentang prevalensi diungkapkan oleh Asnita (2011), bahwa Prevalensi

infestasi cacing parasitik lebih tinggi pada bulan September dibandingkan

dengan bulan April. Prevalensi infestasi cacing parasitik meningkat dengan

bertambahnya ukuran ikan. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ikan yang

berukuran besar lebih rentan terinfeksi cacing parasitik dibandingkan dengan

ikan yang berukuran kecil. Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik

Jepara umumnya terdapat di usus dengan prevalensi tertinggi adalah

Pseudempleurosoma sp. sebesar 21,87%.

Menurut Stromnes dan Andersen (2003), tingkat penularan suatu parasit

dipengaruhi beberapa faktor, seperti jenis ikan, ukuran ikan, umur ikan, jenis

kelamin ikan, waktu dan tempat serta kondisi perairan tempat ikan itu berada.

Stromnes dan Andersen menambahkan bahwa sejumlah larva Anisakis spp,

memiliki panjang lebih dari 28 mm dan terus bertambah panjang seiring dengan

bertambahnya usia ikan. Penelitian Stromnes dkk., (1997), menyatakan bahwa

pola distribusi parasit lebih dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada masing-

masing organ daripada panjang tubuh ikan. Secara umum, infestasi patogen
parasitik jarang mengakibatkan wabah penyakit yang bersifat sporadis, namun

hal ini dapat terjadi pada intensitas penyerangan yang sangat tinggi dan areal

terbatas. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya infestasi patogen parasitik secara

ekonomis sangat merugikan. Selain dapat mengakibatkan kematian, juga dapat

menurunkan bobot tubuh, menurunkan ketahanan tubuh dan kualitas sehingga

ikan mudah terinfeksi oleh patogen lain seperti jamur, bakteri dan virus.

Pengaruh parasit pada ikan bukan hanya mempengaruhi individu ikan,

bahkan ada yang dapat mempengaruhi tingkah laku migrasi suatu populasi ikan.

Banning dan Becker (1978) dalam Latama (2006), mengungkapkan bahwa

populasi ikan Herring, Clupea harengus yang terinfeksi oleh larva Anisakis di

Laut Utara mengalami perubahan tingkah laku migrasi. Parasit ini menginfeksi

otot ikan dan rongga perut, tetapi distribusi pada setiap jaringan berbeda

tergantung jenis ikannya.

Selain pengaruh terhadap pola fisiologis dan kualitas ikan, parasit

Anisakis juga dapat mempengaruhi manusia yang mengkonsumsi ikan mentah

atau kurang masak yang terinfeksi oleh parasit Anisakis, yang biasanya disebut

sebagai penyakit Anisakiasis. Hal tentang resiko zoonosis terhadap manusia di

ungkapkan oleh Miyazaki (1991), bahwa parasit yang bisanya masuk ke tubuh

manusia adalah larva stadium ketiga yang masuk bersama ikan yang dimakan.

Dalam tubuh manusia larva akan hidup dan pada umumnya tetap sebagai larva

stadium ketiga, namun diungkapkan bahwa terkadang juga dapat berkembang

hingga larva stadium keempat atau larva yang sedang berganti kulit. Dalam hal

ini manusia berperan sebagai hospes paratenik, dan kebanyakan larva

menyerang sub mukosa namun bisa juga mencapai organ – organ di rongga

abdomen.
3. Hasil Deteksi PCR Parasit Anisakis spp

Berdasarkan hasil uji PCR Anisakis spp dengan dengan menggunakan

primer F: (5’GTC GAA TTC GTA GGT GAA CCT GCG GAA GGA TCA 3’) dan R:

(5’GCC GGA TCC GAA TCC TGG TTA GTT TCT TTT CCT3’) ITS 1-5.8S-ITS 2,

diketahui bahwa pita DNA Anisakis spp berada pada kisaran 950 bps.

M 1 2 3 4 5 6 7

950 bps

Gambar 8. Hasil Amplifikasi PCR Memperlihatkan Anisakis spp Pada Pita


950 bps

Setyobudi., dkk (2010) metode PCR-RFLP untuk mengetahui spesies

Anisakis spp dengan menggunakan tiga jenis enzim yaitu Hhal, Hinfl, dan Taqi.

Dengan enzim Hhal dihasilkan dua pita DNA (620 dan 250 bps), Hinfl

menghasilkan dua pita DNA pada kisaran 620 dan 250 bps, sedangkan Taqi

menghasilkan dua pita pada kisaran 430 dan 400 bps. Semua sampel yang diuji

menunjukkan pola fragmen yang sama yang sesuai dengan Anisakis simplex.
Di Indonesia, penelitian tentang jenis – jenis Anisakis spp, telah dilakukan

di perairan Jawa dan Bali, dimana dari penelitian tersebut telah ditemukan bahwa

Anisakis yang dominan adalah Anisakis typica, selain itu juga ditemukan Anisakis

Sp 1 dan Anisakis Sp 2 (Palm., dkk. 2008).


BAB V

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Bentuk morfologi parasit larva Anisakis spp adalah berbentuk bulat

memanjang yang berwarna putih transparan yang memiliki boring tooth,

mucron dan ventriculus yang berwarna gelap.

2. Prevalensi dari larva parasit Anisakis spp pada ikan tongkol (Auxis

thazard) adalah 70%, dengan rata – rata intensitas 8,4 ind/ekor.

3. Larva Anisakis spp ditemukan pada bagian usus, lambung dan hati ikan

tongkol (Auxis thazard).

Saran

Adapun saran yang dapat diberikan, yaitu agar kiranya dapat dilakukan

penelitian lanjutan tentang deteksi larva parasit Anisakis spp pada Ikan Tongkol

(Auxis thazard) dengan analisis panjang – bobot tubuh ikan kaitannya dengan

tingkat serangan parasit.


DAFTAR PUSTAKA

Adroher, F. J., Valero. A., Ruiz. J., Iglesias. L. 1995. Larval Anisakids
(Nematoda: Acaridoidea) in Horse-Mackeral (Trachurus
trachurus) from The Fish Market in Granada, Spain. Prasitol
Res 82 : 319 – 322.

Anderson, R. C. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates: their


development and transmission. 2nd edition. CAB. International.
UK. P. 650.

Anonim. 1979. Ciri – Ciri Spesifik Ikan Tongkol (Auxis thazard).


http://www.google.com.

Anonim. 2003. Analisis Ketahanan Pangan Dalam Era Globalisasi Dan


Otonomi Daerah. Kerjasama Badan Bimas Ketahanan
Pangan Deptan Dengan Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian, Deptan.
pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono26-3.pdf.

Anonim. 2007. Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Perikanan


Untuk Pemenuhan Gizi Masyarakat.
www.litbang.deptan.go.id/special/HPS/kebijakan_perikanan.pdf.

Anshary. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center


Learning (SCL) Mata Kuliah Parasitologi Ikan. Jurusan
Perikanan. Universitas Hasanuddin.

Asnita. 2011. Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan


Histopatologi Pada Ikan Bunglon Batik Jepara
(Cryptocentrus leptocephalus) Dari Kepulauan Seribu. IPB.

Awik, P. D. N., Hidayati D., Ressa P., Setiawan. E. 2007. Pola Distribusi
Anisakis sp Pada Usus Halus Ikan Kakap Putih (Lates
Calcarifer) yang Tertangkap di TPI Brondong,Lamongan.
Prodi Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya,
Lab. Zoologi. Alumni Prodi Biologi Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya

Baladin, La ode. 2007. Studi Ketahanan Hidup Larva Anisakidae


dengan Suhu Pembekuan dan Penggaraman pada Ikan
Kembung (Rastrelliger spp.). Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Blackburn, M. 1965. Oceanography and the technology of thunnus. In
Bames N. (Editor). Oceanography and The Marine Biology. Vol
III. G. Allen and Unwin Ltd. London. P 10 – 37.

Cheng, T.C. 1973. General Parasitology. Academic Press. Inc. London.


965 hal.

Desrina dan Kusumastuti,G. 1996. Profil Cacing Pada Ikan Jeruk


(Abbalistes stelatus) yang didaratkan di TPI Batang. In Press.

Djamal, S. J. 1994. Analisis Musim dan Tingkat pemanfaatan Ikan


Tongkol ( Euthynus affinis) di Perairan Utara Brondong,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Skripsi. Program Studi
Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 76
hal.
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico.Bandung. 76 hal.

Fernando, C. H., A. V. Gussev, G. Hane, J. I. Furtado dan S. A. Kakonge.


1972. Methods for Study of Freshwater Fish Parasites.
University of Waterloo. Canada. Biology series. 12:76 pp.

Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology: An Outline. Weinheim. New


York. PWN-Polish Scientific Publisher. Warszawa.
.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan
Alat Tangkap, Metode Dan Teknik Penangkapan. Diktat Kuliah
tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 88 hal.

Hela, I and Laevastu, T. 1970. Fisheries Oseanography. Fishing News


(Books) Ltd. 110 Fleet Street. London. 238p.

Herreras, M. V., Aznar, F. J., Balbuena, J. A., Raga, J. A. 2000. Anisakid


Larvae in The Musculature of The Argentinean Hake.
Merluccius hubbsi. J Food Prot 63 : 1141 – 1143.

Kabata, Z. 1985. Parasites and Diseases of fish cultured in the


tropics. Taylor and Francis. London. 318 pp.

Latama, G. 2006. Parasit Metazoa Pada Ikan Tenggiri,


Scomberomorus commerson (Lacepede, 1800), di Perairan
Sekitar Sulawesi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.

Levsen, A., Lunestad, B. T., Berland, B. 2004. Low Detection Efficiency


of Candling as a Commonly Recommended Inpection
Method for Nematode Larvae in The Flesh of Pelagic Fish. J
Food Prot 68: 828 – 832.
Miyazaki I. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis. Tokyo;
International Medical Foundation of Japan.

Mollers, H and Andreas, K. 1986. Diseases and Parasites of Marine


Fish. Verlang Muller. German.

Noble, E. R, G. A. Noble, G. A. 1989. Parasitology L The Biology of


Animal Parasites. Lea dan Febiger. Philadelphia. London.

Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.

Palm., Damriyasa., Linda and Oka. 2008. Meolekuler genotiype on


Anisakis. Journal of Helminthologia, 4, 1 : 3 – 12.

Parker, J.N. and Parker P.M. 2002. The Official Patient’s Sourcebook of
Anisakiasis. ICON Health Publication, San Diego, USA. PP 120.

Quaizon, K. M. A. 2009. Morphologicaldifferences between larvae and in


vitro-cultured adults of Anisakis simplex (sensustricto) and
Anisakis pegreffii(Nematodes: Anisakidae). Parasitol. Int., 57(4):
483-489.

Roberts. 2000. Foundation Of Parasitology. 6th edition, University Of


Miami, McGraw Hill.

Roepstorff, A., Karl, H., Bloemsma, B., Hush, H. H. 1993. Catch Handling
and The Possible Migration of Anisakis Larvae in Herring,
Clupea Harengus. J. Food Prot 56 : 783 – 787.

Schopf. 2002. IL – 10 Is Critical for Host Resistance and Survival


During Gastrointestinal Helminth Infection. J Immunol 168 :
2383 – 2392.

Setyobudi., Hyeok Jeon., Ho Lee., Baik Seong and Ho Kim. 2010.


Occurrence and Identification of Anisakis spp. (Nematoda:
Anisakidae) Isolated from Chum Salmon (Oncorhynchus
keta) in Korea.

Simangunsong, B.R, (1986). Parasitologi. Penerbit Karunia Jakarta,


Universitas Terbuka.

Stromnes, Einar, Andersen and Karin. 1997. Distribution of Whaleworm


(Anisakis simplex,Nematoda, Ascaridoidea) L3 Larvae in
three species of narine fish ; saithe (Pollachius virens), cod
(Gadus morhua) and redfish (Sebastes marinus) from
Norwegian waters. Journal of Springer-verlag 1998.
Stromnes and Andersen. 2003. Growth of Wholewarm (Anisakis
simplex, Nematodes, Ascaridoidea, Anisakidae) Third-Stage
Larvae in Paratenic Fish Hosts. Parasitol. Res 89 : 335 – 341.

Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardianto dan Krisanti. 1997. Avertebrata


Air. Jilid 1. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.

Tabrani. 1997. Komposisi Ikan Tongkol. http://www.google.com.

Wharton, D. A., Aalders, O., Hassall, M. L. 1999. Seroepidemiology of


Five Major Zoonotic Parasite Infections in Habitants of
Sidoarjo, East Java, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 3 : 556 -561.

Zubaidy, A. B. 2007. Third-Stage Larvae of Anisakis simplex


(Rudolphi, 1809) in The Red Sea Fishes, Yemen Coast.
Department of Marine Biology & Fisheries. Faculty of Marine
Science & Environment Hodeidah University, Yemen.
Lampiran 1. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan
pertama pada hari Kamis 16 september 2010 pada
pelelangan ikan Beba di Kabupaten Takalar.

panjang
Panjang Ikan Jumlah Jumlah ventriculus
No.
(cm) Nematoda Anisakis sp. (pembesaran
40x)
tanggal: 16 September 2010
1 39 2 2 25
30
2 39 21 19 20
30
15
20
15
20
15
10
25
20
25
20
20
20
25
15
15
35
15
3 39 0 0
4 39 8 6 30
20
20
30
25
20
5 39 0 0
6 38.5 6 6 30
26
25
25
30
20
7 40.5 5 5 25
20
25
20
20
8 38 1 1 45
9 38 2 2 35
45
10 36 0 0

Lampiran 2. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan


kedua pada hari Jumat 17 september 2010 pada
pelelangan ikan Rajawali, Makassar.

11 37 9 8 20
25
25
20
15
22
20
22
12 33.5 0 0
13 37 2 2 20
23
14 34 1 1 25
15 36.5 8 8 40
20
20
40
26
25
13
25
16 34 0 0
17 37 0 0
18 38 2 2 25
15
19 36 0 0
20 35 0 0
Lampiran 3. Data jumlah parasit Anisakis spp., pada pengambilan
ketiga pada hari Rabu 22 september 2010 pada
pelelangan ikan Potere, Makassar.

21 40 23 13 30
55
48
50
47
65
55
55
55
49
45
45
45
22 39 4 4 70
65
40
35
23 39 7 7 35
45
40
70
98
68
58
24 41 5 5 35
32
32
40
31
25 39 4 4 35
35
31
32
26 39 4 3 34
37
43
27 39 18 17 20
32
40
17
28
35
27
28
30
32
20
22
20
30
40
38
35
28 41 0 0
29 40 60 60 20
28
25
22
34
22
30
25
35
39
30
25
30
30
22
22
30
35
40
15
35
20
15
25
30
24
22
20
22
20
35
40
20
15
35
20
25
28
30
30
40
35
20
32
25
20
25
25
25
16
30
35
19
20
35
29
20
40
35
45
30 38 2 2 35
28

You might also like