You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistim imun akibat infeksi.Hal ini
merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan
pengobatannya yang sulit serta angka mortalitasnya yang tinggi meskipun selalu terjadi
perkembangan antibiotic yang baru.Sepsis terjadi di beberapa Negara dengan angka
kejadian yang tinggi, dan kejadiannnya yang terus meningkat.Berdasarkan data
Epidemiologi di Amerika Utara bahwa sepsis terjadi pada 3 kasus dari 1000 populasi
yang diartikan 75.000 penderita per tahun.(Guntur A H,2007)
Angka mortalitas sepsis mencapai 30% dan bertambah pada usia tua 40% dan
penderita syok sepsis mencapai 50 %.Meskipun selalu terjadi perkembangan antibiotic
dan terapi perawatan intensif,sepsis menimbulkan angka kematian yang tinggi dihampir
semua ICU.Sindrom sepsis mulai dari Sistemic Inflammatory Respond Syndrome
(SIRS) sampai sepsis yang berat (Disfungsi organ yang akut) dan syok sepsis (Sepsis
yang berat ditambah dengan hipotensi yang tak membaik dengan resusitasi
cairan).(Kasper,2005)
Terapi utama meliputi resusitasi cauran untuk mengembalikan tekan sirkulasi
darah, terapi antibiotic, mengatasi sumber infeksi, pemberian vasopresor untuk
mencegah syok dan pengendalian kadar gula dalam darah.Sepsis akan menyebabkan
terjadinya syok, sehinggga berdampak pada kerusakan organ.Respon sepsis dapat
dipicu oleh trauma jaringan, ischemia-reperfusion injury, endokrin dan
eksokrin.(Guntur A H,2007)
Bakteri gram negative terdpat endotoksin yang disebut lipopolisakarida (LPS)
yang terletak pada lapisan terluar.Lapisan luar membrane bakteri gram negative
tersusun atas lipid bilayer, yaitu membrane sitoplasmic dalam dan luar yang dipisahkan
peptidoglikan. .(Guntur A H,2007)
Sepsis terdapat produksi mediator-mediator inflamasi atau sitokin.Makrofag
merupakan salah satu mediator seluler, makrofag memegang peranan penting dalam
pathogenesis syok sepsis.Penelitian terakhir menunjukkan bahwa LPS dapat
menurunkan kemampuan IFN-gamma atau LPS untuk memacu Inducible nitric oxide
synthase (Inos) pada kultur makrofag sehingga NO mengalami penurunan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Syok Septik?
2. Apa etiologi dari Syok Septik?
3. Bagaimana patogenesis dari Syok Septik?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Syok Septik?
5. Bagaimana patofisiologi dari Syok Septik?
6. Bagaimana Penatalaksanaan dari Syok Septik?
1.3 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari Syok Septik
2. Mengetahui etiologi dari Syok Septik
3. Mengetahui patogenesis dari Syok Septik
4. Mengetahui manifestasi klinis dari Syok Septik
5. Mengetahui patofisiologi dari Syok Septik
6. Mengetahui Penatalaksanaan dari Syok Septik

2
BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang
melalui tubuh.(Kamus Keperawatan).
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
yang memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian
sel maupun jaringan.(Nasroedin,2007)
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah,
termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume darah
yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh
darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Infalammatory Respondense syndrome) di
tambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respons systemic
terhadap infeksi, adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang di buktikan (proven) atau
dengan suspek infeksi secara klinis.
Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih criteria :
1. Suhu >38 C atau <36
2. Denyut Jantung >90x/menit
3. Laju Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg
4. Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau >10 % sel imatur/band.
Penyebab respon sistemik dihipotesiskan sebagai infeksi local yang tidak
terkontrol,sehingga menyebabkan bakterimia atau toksemia (endotoksin/eksotoksin)
yang menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah atau organ lain.
Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis berat,
dan syok septic.Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ akibat
hipoperfusi.Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah
diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan.Pada 10% -30 % kasus
syok septic didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-150%.
Syok septik adalah Shock yang disebabkan infeksi yang menyebar luas yang
merupakan bentuk paling umum shock distributif.

3
B. Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari
bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala
septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang
merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi
trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung
(Hermawan, 2007).
C. Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja
sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan
perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida
MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan
TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating
factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-

4
α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat
merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas.
IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan
mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,
yaitu:
a. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin
neutrofil dala mengikat ligan respektif
b. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
c. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang
melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal
bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga
akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan
vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel.( Meisner M,2000)
Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel
disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi
syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan fungsi
APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10
meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat
dicegah.(Hermawan, 2007).
D. Patofisiologi
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.( Vienna,2000)

5
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah
jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
E. Gejala Klinis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti
lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru,
tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis
akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal
organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
Sindrom distress pernapasan pada dewasa
1. Koagulasi intravascular
2. Gagal ginjal akut
3. Perdarahan usus
4. Gagal hati
5. Disfungsi sistem saraf pusat
6. Gagal jantung
7. Kematian. (Hermawan, 2007).
F. Diagnosis
1. Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah
pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
a. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
b. Hipotensi, oliguria, atau anuria
c. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
d. Perdarahan

6
2. PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan
inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan
rektum, pelvis, dan genital.
3. Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,
urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah
arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat
lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi
menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia
dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot
pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah
alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang
memperburuk hipotensi.(Hermawan, 2007).
G. Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis yaitu:
1. Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien
harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah
arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin.
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam
tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik dan pemberian
antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui
bahwa waktumemegang peranan penting dan krusial.Early Goal Directed
Therapy(EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok
septik, yang bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka
waktu tertentu.
7
Telah diketahui bahwa perfusi jaringan yang buruk pada keadaan sepsis berat dan
syok septik menyebabkan terjadinya global tissue hypoxia dan berbagai konsekuensi
yang menyertainya, dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya angka
mortalitas.EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian Rivers dkk
menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam jangka waktu 6 jam, dengan
tujuan mencapai target-target tertentu di unit gawat darurat pada pasien sepsis berat
dan syok septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas hingga 16,5% dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat terapi standar dengan mortalitas mencapai
46,5%. EGDT kini telah banyak diterapkan di berbagai rumah sakit, sebagai bentuk
implementasi Surviving Sepsis Campaign.Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali
masih menemui kendala akibat kurang mendukungnya sumber daya, sarana dan
prasarana yang tersedia.Agar EGDT dapat dilakukan dengan terorganisasi maka
klinisi harus memiliki pemahaman tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari
EGDT, serta memiliki keterampilan dan penguasaan prosedur medis dan teknis yang
akan dilakukan dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok septik.Berikut
ini akan dibahas mengenai teori yang mendasari EGDT, prinsip EGDT, serta
aplikasinya di rumah sakit.
Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk
mengembalikan dan mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai
waktu pengisian kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan
oksigenasi dan ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target berikutnya
diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif.
1.1 Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi pasien dengan
sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat berhubungan dengan
menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis berat dan syok septik. Dalam
waktu lima menit pertama ini pula secara simultan dilakukan manajeman jalan
nafas (airway) dan pernafasan (breathing), serta pemasangan akses intravena
(circulation).
a. Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada anak
dengan tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan diagnosis
bila trias di atas ditemukan, disertai dengan perubahan status mental yang
bermanifestasi sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk, hingga penurunan
kesadaran yang lebih dalam.Sepsis berat dan syok septik diketahui

8
berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada susunan saraf
pusat akan menyebabkan gangguan berupa penurunan kesadaran.
Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda gangguan
perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler pada sepsis.
Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm shock dan cold
shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang
hangat dan kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai oleh
curah jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang
lemah. Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukannya
takikardia, bounding pulse, serta gangguan kesadaran. Produksi urin kurang
dari 1 mL/kgbb/jam. Pada stadium yang lebih lanjut, dapat ditemukan waktu
pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir ditandai dengan hipotensi.
b. Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen
Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan mengacu
padaPediatric Advanced Life Support (PALS), di antaranya dengan
memposisikan kepala, serta pemberian terapi oksigen.
c. Memasang akses intravaskular
Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan bahwa
usaha pemasangan akses intravena perifer pada pasien dengan sakit kritis
memerlukan waktu rata-rata 4 menit 30 detik, tercepat 40 detik. American
Heart Association bersama dengan American Academy of Pediatrics dalam
PALS merekomendasikan untuk situasi darurat, pemasangan akses intravena
harus terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam jangka waktu tersebut belum
berhasil, maka dilakukan pemasangan akses intraoseus. Setelah terpasang
akses intravena segera diambil sampel darah untuk pemeriksaan penunjang.
1.2 Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya
Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan resusitasi cairan
hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan pemantauan terhadap
tanda-tandaoverload cairan.
Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik seperti
hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang mungkin
ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.
a. Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik

9
b. Koreksi hipoglikemia
Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan gangguan
kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian Dextrose-10% pada
cairan rumatan dengan kecepatan 8 mg/kg/menit pada neonatus, 5
mg/kgbb/menit pada anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada remaja. Bila disertai
dengan kegagalan fungsi hati, penderita mungkin membutuhkan kecepatan
infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai 16 mg/kgbb/menit.
Hiperglikemia dapat pula menyertai keadaan sepsis, yang didefinisikan
sebagai kadar glukosa sewaktu > 140 mg/dL. Penatalaksanaan hiperglikemia
dapat dengan menggunakan cairan Dextrose-5% dan dapat dikombinasikan
dengan terapi insulin.Direkomendasikan untuk mempertahankan kadar
glukosa > 80 dan <150 mg/dL. Insulin reguler yang digunakan dalam bentuk
bolus atau infus kontinu. Dosis yang diberikan yaitu 0,025 U/kgbb/kali atau
0,025 – 0,1 U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4% dengan
kecepatan 0,5 – 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram dextrose.
c. Koreksi hipokalsemia
Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5 –10,5
mg/dL untuk kalsium total dan 4,0 – 5,0 g/dL ion kalsium dalam darah.
Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan kontraktilitas dan irama jantung,
selain juga menyebabkan hipotensi serta kelainan neuromuskuler lainnya.
Koreksi hipokalsemia dapat diberikan peroral atau intravena. Pasien dengan
hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus kalsium glukonas 100-200
mg/kgbb dalam waktu 10-20 menit. Infus kontinu kalsium glukonas sebagai
alternatif diberikan dengan dosis awal 10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya
dititrasi sesuai dengan hasil pengukuran serum kalsium selanjutnya.
d. Pemberian terapi antibiotik
Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis (gambar 5),
dengan penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas di awal terapi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik cepat dan sesuai
berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan sepsis.Namun
harus dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik spektrum luas dapat
menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.
Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang peranan
penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam 4 jam
pertama berhubungan dengan menurunnya mortalitas hingga 6,8% sejak

10
pasien datang ke rumah sakit, dan menurunkan mortalitas hingga 11,6% dalam
30 hari perawatan, selain itu juga membantu mengurangi lama perawatan di
rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008, direkomendasikan pemberian
antibiotik dalam 1 jam pertama setelah dilakukan pengambilan kultur. Durasi
terapi antibiotik yang dianjurkan yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan
dengan hasil kultur. Namun pada pasien dengan neutropenia, durasi terapi
antibiotik dapat diperpanjang hingga 14 hari. Keputusan untuk menghentikan
pemberian antibiotik bergantung pada penilaian klinis. Terapi kombinasi
antimikroba dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan monoterapi,
sebagaimana dilaporkan dari penelitian Micek dkk. Terapi awal antibiotik
sangat kritis bagi pasien dengan sepsis, seperti halnya pasien dewasa.
1.3 Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya
Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik
responsif atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter terhadap
cairan bila belum menunjukkan perbaikan hemodinamika setelah mendapat terapi
cairan hingga 40 mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien dengan syok septik
yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan secara simultan melakukan
pemasangan akses vena sentral, memulai terapi inotropik dan vasopresor serta
melakukan pemantauan tekanan arterial.
Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses vena sentral
pada anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam pelaksanaannya. Pemasangan
vena sentral pada pasien pediatrik tidak familier, dalam prosedur pemasangannya
yang cukup sulit sehingga melampaui kerangka waktu (time-frame) yang
diharapkan pada EGDT khususnya di unit emergensi. Penatalaksanaan dalam
kerangka waktu 15 menit hingga 60 menit berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Memulai pemberian inotropik dan vasopresor
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan
kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi
vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian
vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta
mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan.Dalam penatalaksanaan
sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin untuk mengembalikan
hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan segera setelah resusitasi
cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif direkomendasikan bila syok

11
tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat
yang digunakan yaitu katekolamin dan derivat sintetisnya, meliputi dopamin,
dobutamin, epinefrin, norepinefrin.
Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien pediatrik
dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan, atau pada
keadaan cold shock.Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Dopamin lebih poten
dibandingkan norepinefrin, dan lebih sering menyebabkan takikardia. Pada
dosis rendah, dopamin menyebabkan vasodilatasi sirkulasi renal dan
mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit, dopamin memiliki efek
inotropik positif dan kronotropik positif, sedangkan pada dosis yang lebih
tinggi menyebabkan vasokonstriksi perifer. Penelitian Levy dkk menemukan
bahwa populasi pasien syok septik yang resisten dengan terapi dopamin
meningkatkan risiko mortalitas. Bila syok refrakter terhadap terapi dopamin,
maka diberikan epinefrin. Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05- 0.3
mcg/kgbb/menit.
Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin. Norepinefrin
pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik untuk meningkatkan MAP, resistensi
vaskuler sistemik, penghantaran oksigen jaringan. Dobutamin dapat digunakan
sebagai agen inotropik pada pasien dengan curah jantung yang rendah,
diberikan dengan dosis 2,5–20 mikrogram/kgbb/menit.
b. Mempertahankan jalan nafas
Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians paru.
Keputusan untuk melakukan intubasi bergantung pada penilaian klinis usaha
nafas pasien, adanya hipoventilasi, atau akibat penurunan kesadaran. Intubasi
dipertimbangkan pada pasien dengan syok refrakter disertai dengan tanda
gagal nafas, penurunan kesadaran, serta untuk pemantauan hemodinamik
invasif. Selain itu, ventilasi mekanik juga dapat membantu mekanika sirkulasi.
Diketahui bahwa sekitar 40% curah jantung diperlukan untuk mendukung
fungsi pernafasan, sehingga ventilasi mekanik berguna untuk menurunkan
beban kerja paru-paru. tekanan intratorakal juga berperan
menurunkan afterload ventrikel kiri, sehingga dapat membantu pasien dengan
curah jantung rendah dan resistensi vaskuler perifer yang tinggi.
Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-intubasi
pada pasien dengan syok septik. Ketamin bekerja dengan cara menghambat

12
transkripsifactor-kappa B dan mengurangi produksi Interleukin-6 di sistemik,
namun mempertahankan fungsi adrenal, sehingga mempertahankan stabilitas
fungsi kardiovaskuler. Ketamin untuk fungsi sedasi diberikan dengan dosis 1-2
mg/kgbb i.v. Ketamin juga dapat berfungsi sebagai infus analgesia dan atau
sedasi untuk mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat
dilakukan pemasangan ventilasi mekanik.
Pada pasien dengan gagal nafas dan memerlukan ventilator, prinsip lung-
protective therapy perlu diterapkan sebagaimana pada pasien dewasa. Pasien
dengan Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome ditargetkan
mendapat volume tidal 6 mL/kgbb dan plateau pressure < cm
H2Ohypercapnia meminimalkan plateau pressure dan volume tidal.Positive
End Expiratory Pressure (PEEP) juga diterapkan untuk mencegah kolaps
alveolar di akhir ekspirasi. Posisi prone pada suatu penelitian multisenter
didapatkan berguna untuk memperbaiki hipoksemia.
1.4 Kerangka waktu: 6 jam berikutnya di Unit Perawatan Intensif
Bila ditemukan keadaan syok yang resisten dengan terapi katekolamin, maka
penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian hidrokortison.
Hidrokortison diberikan pula pada pasien yang diduga atau terbukti disertai
dengan insufisiensi adrenal. Pasien berisiko mengalami insufisiensi adrenal yaitu
pasien dengan syok septik, sebelumnya menerima terapi steroid untuk penyakit
kronis, dan anak dengan abnormalitas adrenal atau hipofisis. Bila jelas faktor
risikonya, maka disarankan pemberian hidrokortison secara intermiten atau infus
kontinu dengan dosis mulai 1-2 mg/kgbb/hari, dititrasi hingga 50 mg/kgbb/hari.
Keadaan insufisiensi adrenal ini dinyatakan bila kadar kortisol basal < 18
µg/dL kadar puncak ACTH-stimulated cortisol < 18 µg/dL. Pemberian
hidrokortison jangka panjang (6 mg/kgbb/hari selama 7 hari) telah dilaporkan
pada pasien dewasa, namun pada pasien masih menjadi kontroversi. Penelitian
berupa pemberian hidrokortison intermiten dengan dosis 3 mg/kgbb/hari selama 7
hari pada bayi dengan syok septik resisten katekolamin didapatkan bahwa
kebutuhan pemberian terapi dopamin dapat dikurangi, namun tidak memperbaiki
angka mortalitas. Penelitian multisenter di Eropa oleh CORTICUS
(Corticosteroid Therapy of Septic Shock) pada 499 pasien dengan syok septik,
membandingkan kelompok yang diberikan terapi hidrokortison dosis rendah dan
kelompok dengan plasebo selama 5 hari. Dari penelitian ini didapatkan tidak ada
perbedaan mortalitas di antara kedua kelompok.

13
Penggunaan steroid juga berpotensi terhadap kejadian kandidiasis
diseminata.Kortikosteroid dapat bermanfaat pada stadium awal dari sepsis.
Sebagai alternatif bila tidak tersedia hidrokortison maka dapat diberikan
metilprednisolon 30 mg/kgbb/dosis intravena atau deksametason 3 mg/kgbb/dosis
intravena. Pemberiannya dapat diulang 4 jam kemudian, namun bila tidak
memberikan respon maka pemberiannya dihentikan. Namun demikian, masih
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efikasi terapi kortikosteroid pada
sepsis di populasi pediatrik.
Pasien dengan syok resisten katekolamin dapat memberikan tampilan klinis
curah jantung rendah/resistensi vaskuler sistemik tinggi, curah jantung
tinggi/resistensi vaskuler sistemik rendah, atau curah jantung rendah dengan
resistensi vaskuler sistemik rendah. Oleh karena itu, pemantauan hemodinamik
dapat dilakukan dengan pemasangan kateter vena sentral, serta monitoring
kontinu tekanan arterial. Dilakukan pemantauan CVP dengan target mencapai
MAP-CVP dan ScvO2 > 70%. Untuk mempertahankan saturasi tersebut juga
dilakukan dengan mempertahankan kadar Hb > 10 g/dL. Saturasi vena sentral
(ScvO2) akan memberikan informasi keseimbangan antara kebutuhan dan
pemenuhan oksigenasi di jaringan, yang dilaporkan berhasil mengurangi
mortalitas hingga 40% dibandingkan pada pasien yang tidak dilakukan
pemantauan ScvO2. Flow ScvO2 juga bergunauntuk memperkirakan aliran darah
dari otak. Nilai > 40 mL/kgbb/menit berhubungan denganoutcome neurologis
yang lebih baik dan juga survival pasien.
Dengan pemasangan vena sentral, dapat dilakukan pemantauan terhadap
keberhasilan penatalaksanaan syok, khususnya pada keadaan syok yang refrakter,
yaitu karena titrasi cairan, inotropik, dan vasopresor ataupun vasodilator
dilakukan dengan memerhatikan parameter-parameter di atas.
a. Cold shock dengan tekanan darah normal
Pada keadaan cold shock, dilakukan titrasi cairan dan pemberian epinefrin,
untuk mencapai ScvO2 > 70%, dengan mempertahankan kadar hemoglobin >
10 g/dL. Bila kadar ScvO2 masih di bawah 70%, kemungkinan didapatkan
syok dengan Cardiac Index yang rendah, tekanan darah normal, dengan
resistensi vaskuler sistemik yang tinggi. Hal ini serupa dengan anak yang
mengalami syok kardiogenik, yang dalam penatalaksanaannya bertujuan untuk
mengurangi afterload untuk memperbaiki aliran darah dengan
berkurangnya afterload ventrikel, sehingga akan dapat meningkatkan

14
pengosongan ventrikel. Oleh karena itu, nitroprusside atau nitrogliserin
menjadi vasodilator lini pertama pada syok resisten epinefrin dengan tekanan
darah normal. Vasodilator diberikan dengan sebelumnya
dilakukan loading cairan terlebih dahulu.Nitrogliserin pada dosis 10-60
µg/menit dapat membantu menurunkan afterload.5Vasodilator yang termasuk
di dalamnya yaitu Milrinone, yang pemberiannya dipertimbangkan bila masih
didapatkan curah jantung yang rendah. Milrinone (Primacor®) diberikan
dengan dosis 50 mcg/kg i.v. bolus selama 15 menit, dilanjutkan dengan infus
kontinu 0,5 – 0,75 mcg/kgbb/menit dan dititrasi hingga tercapai efek yang
diinginkan.
b. Cold shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiac Index yang rendah,
tekanan darah yang rendah, serta resistensi vaskuler perifer yangrendah pula.
Untuk penatalaksanaan selanjutnya yaitu dilakukan titrasi cairan dan epinefrin
untuk meningkatkan tekanan darah diastolik dan meningkatkan resistensi
vaskuler perifer. Bila tekanan darah yang adekuat sudah tercapai, maka untuk
memperbaiki Cardiac Index dan mencapai ScvO2 > 70% dapat diberikan
dobutamin, selain itu kadar Hb juga dipertahankan > 10 g/dL. Bila pasien
masih hipotensi, pertimbangkan pemberian norepinefrin. Bila ScvO2 masih di
bawah 70%, pertimbangkan dobutamin, milrinone, enoximoneatau
levosimendan. Levosimendan bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas
kalsium dari aparatus kontraktil miokardium, juga berfungsi seperti
halnya type III PDE inhibitor-activity lain. Enoximone juga merupakan type
III PDE inhibitor yang lebih selektif dan menjaga cadangan c-AMP yang
diproduksi β-1 aktivator reseptor sel miokardium, sehingga dapat memperbaiki
performa jantung dengan lebih sedikit efek hipotensi.
c. Warm shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiax Index tinggi, dan
resistensi perifer yang rendah. Maka penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan
pemberian titrasi cairan dan norepinefrin, untuk mempertahankan ScvO2 >
70%. Bila masih didapatkan hipotensi, pertimbangkan vasopresin, terlipresin,
atau angiotensin untuk memperbaiki tekanan darah; namun perlu diperhatikan
pula bahwa obat-obat vasokonstriktor di atas dapat menyebabkan
berkurangnya curah jantung, sehingga dalam penggunaan obat tersebut
direkomendasikan dengan pemantauan curah jantung dan ScvO2. Bila

15
ScvO2 masih di bawah 70% pertimbangkan untuk pemberian epinefrin dosis
rendah. Vasopresin (Vasopressin®, Pitressin®) diberikan dalam infus
kontinu mulai dari 0.5 mili-unit/kgbb/jam, dosis dinaikkan tiap 30 menit
sesuai kebutuhan hingga maksimal 10 mili-unit/kgbb/jam (0.01 U/kgbb/jam).
d. Syok resisten katekolamin yang persisten
Bila pasien masih belum responsif dengan terapi yang diberikan di atas,
maka dikatakan sebagai syok resisten katekolamin yang persisten. Untuk itu
perlu disingkirkan dan diperbaiki berbagai keadaan yang berkontribusi
terhadap syok refrakter terapi cairan dan katekolamin, di antaranya yaitu
adanya efusi perikardial, pneumotoraks, peningkatan tekanan intraabdomen
lebih dari 12 mmHg. Pertimbangkan pula kemungkinan adanya perdarahan,
keadaan imunosupresi, ketidaksesuaian kontrol pengendalian infeksi (misalnya
jenis dan dosis antibiotik yang diberikan belum memadai). Pada saat ini,
dipertimbangkan untuk memandu titrasi cairan, inotropik, vasopresor,
vasodilator dan terapi hormonal dengan pemasangan akses arteri pulmonalis,
PICCO (pulse cardiac output), atauFemoral Arterial
Thermodilution (FATD) Cathether, dan atau ultrasonografi doppler untuk
memantau curah jantung. Kateter arteri pulmonalis dapat mengukur tekanan
penutupan arteri pulmonaris sehingga dapat mengidentifikasi disfungsi
ventrikel kiri, serta dapat digunakan untuk menentukan kontribusi relatif
fungsi ventrikel kanan dan kiri. PICCO berguna untuk memperkirakan volume
akhir diastolik keseluruhan ruang jantung serta mengukur cairan paru
ekstravaskuler, sehingga dapat membantu penilaian apakah preload sudah
adekuat atau belum. Monitoring non-invasif seperti penggunaan pulse
oxymetri, saturasi oksigen vena per-kutan, dan lainnya masih dalam tahap
evaluasi. Tujuan terapi pada saat ini yaitu mencapai dan
mempertahankan Cardiac Index 3.3 – 6 L/menit/m2.
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan salah satu
alternatif terapi yang perlu dipertimbangkan, telah dilakukan secara terbatas
pada syok yang refrakter dan atau keadaan gagal nafas yang tidak bisa
ditangani dengan terapi konvensional. ECMO telah dilakukan pada pasien
dengan syok septik, namun pengaruhnya sendiri masih belum jelas. Penelitian
yang menganalisis 12 pasien sepsis dengan ECMO, 8 orang di antaranya
bertahan hidup dan pada follow uprentang 4 bulan hingga 4 tahun, didapatkan

16
bahwa rata-rata setelah 1 tahun mereka dapat menjalani kehidupan dengan
normal.
e. Monitoring hemodinamik dan pencapaian target-target terapeutik
Tujuan akhir resusitasi syok septik yaitu tercapainya normalisasi denyut
jantung, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas yang hangat, produksi
urin yang cukup (> 1mL/kgbb/jam), skala kesadaran yang normal, serta kadar
glukosa dan kalsium yang normal. Tujuan akhir lainnya yang juga digunakan
pada populasi dewasa yaitu berkurangnya kadar laktat serum serta defisit basa,
ScvO2 >70% atau SvO2 > 65%, CVP 8-12 mmHg atau dengan metode lainnya
untuk menilai fungsi pengisian jantung, yaitu mencapai dan
mempertahankan Cardiac Index 3,3 – 6 L/menit/m2. Target pencapaian
ScvO2 > 70%, didukung pula dengan transfusi PRC bila hematokrit kurang
dari 30%, maupun dengan pemberian inotropik. Untuk pemberian transfusi,
sebuah penelitian multisenter terandomisasi mendapatkan bahwa batas ambang
transfusi Hb 7 g/dL dibandingkan dengan ambang batas Hb 9,5 g/dL, ternyata
memberikan outcome yang sama. Namun, dalam rangka memperbaiki
penghantaran oksigen ke jaringan, Hb dipertahankan di atas 10 g/dL.
Target-target di atas diharapkan tercapai dalam 6 jam sejak pasien masuk
unit gawat darurat maupun pada tempat perawatan intensif, ternyata berhasil
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat sepsis, sepsis berat, dan syok
septik.
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara
dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas
luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan
agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat,
misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin dengan
gentamisin.

17
3. Pemberian antibiotik
3.1 Golongan penicillin
 Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
 Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
3.2 Golongan penicillinase—resistant penicillin
 Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-10 hari sering
dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat
diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah
ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
 Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
3.3 Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati
terhadap efek nefrotoksiknya.

18
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom kardiorenal terjadi pada pasien yang mengalamai sepsis berat dan syok
septik. Patogenesis terjadinya CRS dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
baik fungsi jantung dan atau ginjal, termasuk keadaan syok yang dihubungkan dengan
hipoperfusi ginjal, vasodilatasi pembuluh darah sistemik maupun intrarenal, reaksi
inflamasi jaringan, disfungsi endotel dan terjadinya gangguan permeabilitas vaskular.
Pada kasus sepsis berat dan syok sepsis keberhasilan terapi terletak pada
penatalaksanaan yang adekwat dan implementasi dari 3 pilar sepsis yakni resusitasi
cairan sedini mungkin dapat mencapai target hemodinamik, pemberian antibiotik yang
tepat dan adekwat serta source control yang baik.

B. Saran
Syok dapat mengancam nyawa seseorang,jika tidak diobati, biasanya berakibat fatal.
Jika diobati, hasilnya tergantung kepada penyebabnya, jarak antara timbulnya syok
sampai dilakukannya pengobatan serta jenis pengobatan yang diberikan. Kemungkinan
terjadinya kematian pada syok karena serangan jantung atau syok septik pada penderita
usia lanjut sangat tinggi.
Mencegah syok lebih mudah daripada mencoba mengobatinya. Pengobatan yang
tepat terhadap penyebabnya bisa mengurangi resiko terjadinya syok.

19

You might also like