Professional Documents
Culture Documents
Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, akhlak berasal dari kata KHALAQA yang kata asalnya KHULUQUN
yang berarti perangai, tabiat, adat, sistem perilaku yang dibuat. Oleh karenanya akhlak secara
kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya,
meskipun secara sosiologis di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, artinya
orang berakhlak berarti orang yang baik.
Menurut terminologi, sejumlah sarjana dan ahli fikir memberikan batasan yang berbeda-beda
penekanannya, namun semua sepakat menempatkan manusia pada posisi yang penting yakni
berfungsi sebagai subyek atau obyek yang antara lain dikemukakan sebagai berikut :
Ibnu Araby : akhlak adalah suatu keadaan jiwa manusia yang mendorongnya untuk
melaknsanakan/melakukan suatu perbuatan tanpa mengadakan pemikiran
atau pertimbangan lebih dahulu.
Al Ghazaly dan Al Jurany mengemukakan sebagai berikut :
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak melakukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu).
Dr. Ahmad Muhammad Al Huly :
Akhlak ialah kemauan yang kuat tentang sesuatu yang dilakukan berulang-
ulang sehingga menjadi adat yang mengarah kepada kebaikan atau
keburukan.
Bagi umat islam sumber nilai yang tidak berasal dari Al-qur’an dan sunnah hanya digunakan
sepanjang tidak menyimpan dari sistim nilai yang bersumber dari Al-qur’an dan sunnah.untuk
lebih jelasnya salah satu contoh nilai baik yang bersumber dari Alqur’an dan sunnah atas nilai
yang bersumber dari ra’yu, adat istiadat dan kenyataan alam sebagai berikut :
- Nilai yang berasal dari Alqur’an, perintah sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain.
- Nilai yang bersumber dari sunnah, tata cara pelaksanaan sholat, zakat, puasa, haji, thahara dan
lainnya.
- Nilai yang bersumber dari ra’yu, memberikan penafsiran dan penjelasan terhadap Al-qur’an
dan sunnah dalam hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang tidak diatur oleh Al-
qur’an dan sunnah.
- Nilai yang bersuber dari adat istiadat, tata cara komunikasi, sopan santun intraksi sesama
manusia atau intraksi social dan sebagainya.
- Nilai yang bersumber dari kenyataan alam, tata cara berpakaian, tata cara makan, dan lain
sebagainya.
Pengaruh nilai dan norma terhadap tingkah laku/prilaku seseorang sangat bergantung pada :
- Keyakinan yang menyeluruh terhadap system nilai dan norma itu.
- Daya serap dari pada individu dan masyarakat dalam penggunaan sistim nilai dan norma
- Ada atau tidak adanya pengaruh dari sistim nilai dan norma yang lain.
- Kondisi fsikologi seseorang
- Kondisi fisiologis
- Kondisi fisik
C. MASALAH BAIK DAN BURUK
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumber wahyu Allah SWT, Al-Qur’an yang dalam
penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Masa-lah akhlak dalam ajaran
Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian
terdahulu.
Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan dan tentu saja yang disampaikan
adalah baik dan dengan cara yang baik. Seorang pendakwak itu harus berilmu yang mengetahui
secara persis permasalahan yang dia hadapi, baik dari segi hukum dan dalil maupun argumentasi,
atau apakah masalah kemung-karan yang dia lihat itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama atau tidak, dan sebagainya. Barang siapa melakukan kegiatan dakwah tanpa ilmu, dia akan
merusak atau menghancurkan banyak masalah yang seharusnya tidak perlu diusik-usik lagi.
Yang kedua ialah wara, jiwa wara akan membuat seseorang senang melakukan apa yang
telah diketahui (ilmu)nya, istiqomah dalam menatapi undang-undang peraturan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian seorang da’i itu harus berakhlak baik, sebab orang yang
buruk akhlaknya dia akan merusak apa yang banyak manfaatnya (lebih banyak membawa
madarat dalam dakwahnya daripada memberi manfaatnya). Seperti yang tersebut dalam sebauah
hadis yang diriwatkan Imam baihi, Rasulullah SAW bersabda:
Kemudian harus diketahui secara pasti (hukumnya), bukan hasil ijtihad (kemampuan
mengambil kesimpulan hukum), sebab jika hanya berdasarkan ijtihad, belum tentu semua ulama
sepakat menyatakan haramnya. Jadi kemungkaran itu harus dinyatakan secara pasti melalui nas
yang tidak dapat ditakwil ‘diartikan dengan pengertian lain.
Menurut ajara islam penentuan baik buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan
al-Hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah
yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Misalnya
mencela kepada kat-kat kasar, perbuatan yang diperbolehkan dalam mencela mereka yang bebuat
lemungkaran itu ialah dengan kata-kat yang tidak berlaku menyakitkan, misalnya, hai bodoh, hao
fasik, hai tolol, dan sebagainyayang semakna dengan ini. Masih ada tahapan lain, misalnya
dengan cara mengancam dan menakut-nakuti, tetapi ini lebih tepat menjadi tugas mereka yang
ada dudalam pemerintah yang seperti muhtasib dan bukan tugas serta wewenag pelaku dakwah
dari mubalig (dai). Kecuali dalam keadaan-keadaan yang memungkinkan, misalnya pemukulan
seorang anak oleh ayahnya, seorang ,istri oleh suaminya, dan majikan terhadap pembantunya,
atau memukul seorang yang menarik seorang perempuan yang akan dizinai, dan sebagainya.
Perbuatan manusia yang disengaja dalam situasi yang memungkinkan adanya pilihan dapat
diberi nilai baik atau buruk. Seperti telah dikemu-kakanbahwa setiap perbuatan manusia yang
dapat dinilai, lahir dari suatu kehendak. Setiap kehendak selalu menuju kepada satau tujuan.
Maka sebenarnya dalam member nilai perbuatan seseorang terletak pada kehendak dan tujuan
dari perbuatannya. Mengapa? Setiap kehendak menuju sebuah nialai, setiap tujuannya menuju
sebuah nilai. Dengan demikian pada pokoknya penilaian itu diletakkan dan diterapkan pada
kehendak dan tujuan dari perbuatan tersebut.
Setiap perbuatan lahir dari kehendak dan setiap kehendak lahir dari keyakinan yang
tertanam dalam hatinya, karena sangat ukar dibayangkan ada sebuah perbuatan yang lahir atau
muncul diluar kehendak dan keyakinannya. Mengapa dalam kemyataannya ada perbuatan yang
lahir dari kehendak yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam hal ini, untuk member nilai
suatu perbuatan tersebut menjadi tolak ukur penilain. Atau, niat seseorang sebagai dasar terbitnya
perbuatan adalah menjadi standar pengukurannya.
Jadi sebenarnya perbuatan itu dapat diberi niali baik atau buruk karena dilihat dari niat
orang yang melakukannya, tidak dilikat dari hasil sebagai akibat dari perbuatannya itu. Maka
perbuatan yang disertai niat baik, berniali baik, meskipun mengakibatkan keburukan. Dan
perbuatan dengan nilai buruk, tetap bernilai buruk meskipun menghasilkan kabaikan. Rasulillah
SAW bersabda:
Artinya: “Segala perbuatan selalu mempunyai niat. Dan perbuatan itu dinilai sesuai dengan
niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-Qurtubi, ikhlas pada dasarnya
berarti memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi
mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, “Aku pernah
bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, “Aku telah menanyakan hal itu kepada
Allah,” lalu Allah berfirman, “(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke
dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.”
Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam QS. Al-Insan (76): 9, ”Sesungguhnya kami
memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”
Ikhlas adalah inti dari setiap ibadah dan perbuatan seorang muslim. Allah SWT berfirman dalam
QS. Al Bayyinah: 5), ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan –keikhlasan— kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.”
Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Anggota masyarakat
yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akhirat, bersih
dari sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan.
2. Amanah.
Secara bahasa amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan) sedangkan
secara definisi amanah berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk mengembalikan
titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar
menghukumi dengan adil…” (QS 4:58).
Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena
mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS. 33:72)
Sifat mulia ini harus diamalkan oleh setiap orang. Dalam suatu sumber menyebutkan,
amanah adalah asas ketahanan umat, kestabilan negara, kekuasaan, kehormatan dan roh kepada
keadilan. Singkatnya, amanah berarti sesuatu yang dipercayakan sehingga kita harus menjaga
amanah tersebut. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “….maka
tunaikanlah oleh orang yang diamanahkan itu akan amanahnya dan bertakwalah kepada Allah
Tuhannya;….” (QS. Al Baqarah: 283).
c). Adil
Adil berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya. Adil juga tidak lain ialah
berupa perbuatan yang tidak berat sebelah. Para Ulama menempatkan adil kepada beberapa
peringkat, yaitu adil terhadap diri sendiri, bawahan, atasan/ pimpinan dan sesama saudara. Nabi
Saw bersabda, “Tiga perkara yang menyelamatkan yaitu takut kepada Allah ketika bersendiriaan
dan di khalayak ramai, berlaku adil pada ketika suka dan marah, dan berjimat cermat ketika susah
dan senang; dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikuti hawa nafsu, terlampau bakhil,
dan kagum seseorang dengan dirinya sendiri.” (HR. AbuSyeikh).
d). Bersyukur
Syukur menurut kamus “Al-mu’jamu al-wasith” adalah mengakui adanya kenikmatan dan
menampakkannya serta memuji (atas) pemberian nikmat tersebut. Sedangkan makna syukur
secara syar’i adalah : Menggunakan nikmat AllahSWT dalam (ruang lingkup) hal-hal yang
dicintainya. Lawannya syukur adalah kufur.Yaitu dengan cara tidak memanfaatkan nikmat
tersebut, atau menggunakannya pada hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT.
Definisi ini ditulis oleh Ibnu Quddamah dalam bukunya “minhajul qashidin”. Bersyukur pada
tataran menjadi pribadi unggul berlaku pada dua keadaan yaitu sebagai tanda kerendahan hati
terhadap segala nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah sama, baik sedikit atau banyak
dan sebagai ketetapan daripada Allah, supaya kebajikan senantiasa dibalas dengan kebajikan.
Allah berfirman, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan sekiranya kamu mengingkari –kufur— (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-
Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Al Baqarah ayat 152 : ‘Maka ingatlah Aku ( Allah ) niscaya
Aku akan mengingatimu dan syukurilah nikmatku serta jangan sekali-kali kamu menjadi kafir‘.
e). Sabar
Sabar yaitu sifat tahan menderita sesuatu (tidak lekas marah; tidak lekas patah hati; tidak
lepas putus asa, tenang dsb). Di dalam menghadapi cobaan hidup, ternyata kesabaran ini sangat
penting untuk membentuk individu/ pribadi unggul. Manusia diciptakan dengan disertai sifat
tidak sabar dan karenanya ia banyak berbuat kesalahan. Akan tetapi, agama meminta setiap orang
agar bersabar karena Allah. Orang beriman harus bersabar menunggu keselamatan yang besar
yang Allah janjikan. Inilah perintah di dalam Al-Qur`an, “Dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 7) Sabar merupakan salah satu sifat penting untuk
mencapai ridha Allah; itulah kebaikan yang harus diusahakan agar lebih dekat kepada Allah. “Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali
Imran: 200).
Al Qur`an juga menyatakan hal ini, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Al-
Baqarah: 45). Ayat lain dari surah yang sama menekankan bahwa kegembiraan diberikan kepada
orang-orang yang bersabar dalam menghadapi rintangan atau kesusahan. “Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.’”
(al-Baqarah: 155-156).
Sabar merupakan sifat mulia yang dapat meningkatkan kekuatan orang-orang beriman. Allah
menyatakan pada ayat berikut, betapa kekuatan sabar ini bisa mengalahkan sesuatu. “Sekarang,
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.
Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(al-Anfaal: 66).
Sabar merupakan sifat yang tergolong positif yang diterangkan dalam Al-Qur`an. Seseorang bisa
saja rendah hati, sederhana, baik budi, taat atau patuh; namun semua kebaikan ini hanya akan
berharga ketika kita menggabungkannya dengan kesabaran. Kesabaranlah yang diperlihatkan
dalam berdo’a dan merupakan sifat orang beriman, yang membuat do’a-do’a kita dapat diterima.
f). Jujur
Shiddiq (jujur, benar) adalah lawan kata dari kidzib (bohong atau dusta). Secara morfologi,
akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu
mengandung arti qabila qauluhu ‘pembicarannya diterima’.
Ayat Allah yang memberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq): “Agar Dia
menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia
menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab:8)
Imam al-Ghazali membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis:
1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata.
Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Menepati janji termasuk kategori
kejujuran jenis ini.
2. Jujur dalam berniat dan berkehendak.
Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang
dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan
dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini
dapat dikatakan pembohong. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadist Abu Hurairah yang
diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut: “Ketika Rasulullah saw bertanya kepada seorang
alim, ‘Apa yang telah kamu kerjakan dari yang telah kamu ketahui?’ Ia menjawab, ‘Aku telah
mengerjakan hal ini dan hal itu.’ Lalu Allah berkata, ‘Engkau telah berbohong karena kamu ingin
dikatakan bahwa si Fulan orang alim.”
3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam).
Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, “Jika
Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya.” Janji atau
obsesi ini harus diucapkan secara jujur.
4. Jujur dalam menepati obsesi.
Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyak mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu
untuk mengumbar obsesi. Kemudian, saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk
menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam
keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran
(shiddiq).
5. Jujur dalam beramal atau bekerja.
Jujur dalam maqam-maqam beragama. Merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya
adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja’ (mengharapkan rahmat
Allah), ta’dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawwakal
(mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan mencintai Allah.
E. ADAB PERGAULAN
I. Adab di dalam dan di Luar kampus
Dari hal tersebut, sebagai konsekwensinya dari ajaran persaudaraan Islam sekurang-
kurangnya adalah sebagai berikut :
a. Seorang muslim tidak boleh menyakiti sesamanya muslim
b. Memelihara hak sesama muslim
Di sini terlihat Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang baik dan memiliki moral code
atau rule of conduct dalam melayani rakyat. Islam datang dengan resource yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan yaitu Alquran sebagai sumber utama dan dipertegaskan dengan Sunnah
Nabi. Alquran sebagai dasar bagi manusia kepada hal-hal yang dilakukan memberikan tekanan-
tekanan atas amal perbuatan manusia (human action) dari pada gagasan. Artinya Alquran
memperlakukan kehidupan manusia sebagai keseluruhan aspek yang organik, semua bagian
harus dibimbing dengan petunjuk dan perintah-perintah etik yang bersumber dari wahyu, yang
mengajarkan konsep kesatuan yang padu dan logis.
Dalam etika politik yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari masyarakat karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan
antara pandangan seseorang (etika individual) dengan tindakan kolektif membutuhkan perantara
yang berfungsi menjembatani kedua pandangan ini berupa nilai-nilai. Melalui nilai-nilai inilah
politikus berusaha meyakinkan masyarakat agar menerima pandangannya sehingga mendorong
kepada tindakan bersama. Karena itu, politik disebut juga seni meyakinkan melalui wicara dan
persuasi, bukan manipulasi dan kekerasan.
Nilai-nilai kebenaran
Etika politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan
tangung jawab atas realitas kehidupan. Untuk itu realitas politik diupayakan dengan
mengkonsepkan dan mengelaborasikan secara mendalam fenomena terhadap pandangan Alquran
tentang etika dalam pelayanan rakyat.
Islam menetapkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan politik, yaitu: Pertama, prinsip musyawarah
(syura), dalam Islam tidak hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan yang
direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas keagamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh
Nabi dan diteruskan oleh khulafaur rasyidin. Firman Allah Swt: “..dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu...” (QS. Ali Imran: 159)
Kedua, prinsip persamaan (musawah), dalam Islam tidak mengenal adanya perlakuan
diskriminatif atas dasar perbedaan suku bangsa, harta kekayaan, status sosial dan atribut
keduniaan lainnya. Yang menjadikannya berbeda di mata Allah hanya kualitas ketakwaan
seseorang sebagaimana firmanNya: “...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13).
Ketiga, prinsip keadilan (‘adalah), menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam
Islam, terutama bagi para penguasa. Islam juga memerintahkan untuk menjadi manusia yang
lurus, bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan kontrol sosialnya sehingga terwujud
keharmonisan dan keadilan hidup, sebagaimana firman Allah Swt: “...Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Keempat, prinsip kebebasan (al-Hurriyah), dalam Islam prinsip kebebasan pada dasarnya adalah
sebagai tanggung jawab terakhir manusia. Konsep kebebasan harus dipandang sebagai tahapan
pertama tindakan ke arah perilaku yang diatur secara rasional berdasarkan kebutuhan nyata
manusia, baik secara material maupun secara spiritual. Kebebasan yang dipelihara oleh politik
Islam adalah kebebasan yang mengarah kepada ma’ruf dan kebaikan. Allah berfirman: “... Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” (QS. Al-An’am: 164).
F. TASAWUF
1. Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf, antara lain :
1. Shuffah ( serambi tempat duduk ), yakni serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan
untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa
Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi
masjid itulah mereka bernaung.
2. Shaf ( barisan ), karena kaum shufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa
memilih barisan yang paling depan dalam sholat berjamaah atau dalam perang suci.
Shafa : bersih atau jernih.
Shufanah : Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.
3. Shuf (bulu domba), disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba
yang kasar, sebagai lambang akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong,
serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba
disebut “ mutashawwif ”, sedangakan perilakunya disebut “ tasawuf ”
Theosofi : Ilmu ketuhanan. Tetapi yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia
cenderung kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba).
Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan
tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).
Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari
kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan
kerikil” 4).
Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah,
dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan
yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam
agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem
latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan
memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan
itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam,
karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina
akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir
dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif
sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki
tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan
terhindar dari sifat-sifat tercela.
TUGAS
RESUME AKHLAK
OLEH
NIZAR IKBAL
093 2013 0067
MAKASSAR
2016