You are on page 1of 16

A.

Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, akhlak berasal dari kata KHALAQA yang kata asalnya KHULUQUN
yang berarti perangai, tabiat, adat, sistem perilaku yang dibuat. Oleh karenanya akhlak secara
kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya,
meskipun secara sosiologis di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, artinya
orang berakhlak berarti orang yang baik.
Menurut terminologi, sejumlah sarjana dan ahli fikir memberikan batasan yang berbeda-beda
penekanannya, namun semua sepakat menempatkan manusia pada posisi yang penting yakni
berfungsi sebagai subyek atau obyek yang antara lain dikemukakan sebagai berikut :
Ibnu Araby : akhlak adalah suatu keadaan jiwa manusia yang mendorongnya untuk
melaknsanakan/melakukan suatu perbuatan tanpa mengadakan pemikiran
atau pertimbangan lebih dahulu.
Al Ghazaly dan Al Jurany mengemukakan sebagai berikut :
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak melakukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu).
Dr. Ahmad Muhammad Al Huly :
Akhlak ialah kemauan yang kuat tentang sesuatu yang dilakukan berulang-
ulang sehingga menjadi adat yang mengarah kepada kebaikan atau
keburukan.

2. Ruang Lingkup Akhlak


Ruang lingkup ilmu akhlak adalah pembahasan tentang perbuatan-perbuatan manusia,
kemudian menetapkannya apakah perbuatan itu tergolong baik atau tergolong buruk. Ilmu
Akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah
laku manusia, obyek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika kita katakana baik atau buruk, maka ukuran
yang harus digunakan adalah ukuran normative.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia
yang baik maupun yang buruk sebagai individu maupun sosial.Tapi sebagian orang juga
menyebutkan ilmu akhlak adalah tingkah laku manusia, namun perlu ditegaskan bahwa yang
dijadikan obyek kajian ilmu akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan,
sebenarnya mendarah daging dan telah dilakukan secara continue atau terus menerus sehingga
mentradisi dalam kehidupannya.
Banyak contoh perbuatan yang termasuk perbuatan akhlak dan begitu juga sebaliknya. Seseorang
yang membangun mesjid, gedung sekolah, rumah sakit, jalan raya, dan pos keamanan termasuk
perbuatan akhlak yang baik karena itu berdasarkan kemauan manusia itu sendiri yang telah
dipersiapakan sebelumnya. Tetapi jikaseseorang yang memicingkan mata dengan tiba-tiba pada
waktu benda berpindah dari gelap ke terang, atau menarik tangan pada waktu tersengat api atau
binatang buas,bernapas, hati yang berubah rubah, orang yang menjadi ibu-bapak kita, tempat
tinggal kita, kebangsaan kita,warna kulit kita, dan tumpah darah kita itu tidak termasuk perbuatan
akhlak karena semua itu diluar perencanaan, kehendak atau pilihan kita.
Jadi sekarang kita bisa memahami yang dimaksud ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar,kemauan sendiri, tidak
terpaksa, dan sungguh-sungguh atau sebenarnya bukan perbuatan yang pura-pura. Perbuatan-
perbuatan demikian selanjutnya diberi nilai baik atau buruk.
Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang
buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk,
membayar utang kepada pemilik nya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang
termasuk perbuatan buruk.[8]
Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu ialah untuk membersihkan kalbu
dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehinggahati menjadi suci bersih bagaikan cermin
yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.[9] Keterangan tersebut memberikan panduan kepada
manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan
bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan baik atau buruk
Selanjutnya ilmu akhlak juga menentukan kriteria perbuatan yang baik dan yang buruk, serta
perbuatan apa saja yang termasuk perbuatan baik, dan perbuatan yang buruk itu, dan selanjutnya
ia akan banyak mengetahui perbuatan baik dan perbuatan yang buruk. Selain itu ilmu akhlak
berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dalam perbuatan dosa dan
maksiat.
Jika tujuan ilmu akhlak tersebut tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang
yang pada gilirannya melahirkan perbuatan terpuji. Dengan perbuatan terpuji ini, akan lahirlah
keadaan masyarakat yang damai, sejahtera, harmoni lahir dan batin, yang memungkinkan ia dapat
beraktifitas guna mencapai kebahagiaan hidup didunia dan juga di akhirat.

3. Urgensi (Kepentingan) Akhlak


Sebelum mengetahiu lebih dalam lagi tentang apa itu akhlak, maka kita harus mengenal
terlebih dahulu apa itu urgensi. Urgensi merupakan hal terpenting atau kepentingan. Sedangkan
akhlak merupakan tabiat, perangai, tingkah laku dan kebiasaan. Jadi, urgensi akhlak adalah hal-
hal yang penting atau kepentingan akhlak.
Pentingnya akhlak adalah untuk membentuk manusia menjadi budi pekerti yang baik dan sopan,
santun, ramah dan sebagainya. Sebenarnya apa hal-hal yang penting dalam akhlak? Jika kita lihat
dari sudut pandangnya maka ada beberapa hal-hal yang penting dalam akhlak, diantaranya;
bagaimana akhlak manusia terhadap sang pencipta (Allah), akhlak terhadap sesama manusia
(hidup bersosial) dan akhlak manusia terhadap alam atau lingkungan sekitar kita.
a. Akhlak kepada sang pencipta (Allah)
Hubungan manusia denga Allah adalah hubugan manusia dengan khlaiknya. Dalam
masalah ketergantungan hidup manusia selalau ketregantungsn kepada yang lain. Dan
tumpuan serta ketergantungan adalah kepada sang maha kuasa, yang perkasa, yang maha
bijaksana, yang maha sempurna ialah Allah Rabbul ‘alamiin, Allah tuhan maha esa.
Secara moral manusiawi, manusia mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai khaliknya,
yang telah member kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Menurut hadits Rasulullah
kewajiban manusia kepada Allah pada dasarnya ada 2, yaitu;
· Mentauhidkan Allah yaitu tidak mensyirikkan-Nya kepada sesuatupun
· Beribadat kepadanya
Sedangkan dalam al-Qur’anul Karim kewajiban manusia itu diformulasikan dengan:
· Iman
· Amal sholeh
4. Cara Memperoleh Akhlak Yang Baik
Akhlak dapat diperoleh :
a. Hidayah Allah, Yaitu karuniaNya Allah secara langsung, tidak memlalui pendidikan dan
pengalaman.
b. Melalui Latihan dan Pemibiasaan yakni dengan cara dilatih dan dibiasakan dengan sifat-
sifat yang baik sesuai dengan ajaran agama.
5. Pembinaan Akhlak
Ada beberapa hal yang akan diutarakan di bawah ini dapat menunjang terlaksananya
pembinaan akhlak yang antara lain sebagai berikut :
a. Meluaskan wawasan berfikir.
b. Berkawan dengan orang yang terpilih.
c. Membaca dan menyelidiki pada pahlawan dan yang berpikiran luar biasa.
d. Mewajibkan dirinya untuk senantiasa melakukan perbuatan baik bagi umum, yang selalu
diperhatikan olehnya dan dijadikan tujuan orang banyak.
e. Apa yang kita tuturkan ini di dalam “kebiasaan” tentang menekan jiwa melakukan
perbuatan yang tidak ada maksud kecuali menundukan jiwa.
6. Antara Moral, Etika dan Akhlak
a. Pengertian Moral, Etika dan Akhlak
Menurut Etimologi, kata moral berasal dari bahasa latin “mos” dan “mores” yang berarti
adat kebiasaan, atau dalam bahasa indonesia sering diterjemahkan dengan kesusilan.
Sedangkan kata Etika secara etimologi adalah berasal dari bahasa yunani Ethos, etchios
yang berarti adat kebiasaan.
b. Segi persamaan dan perbedaan moral, etika dan akhlak.
1. Persamaan :
a. Obyek/ruang lingkup, keduanya membahasa masalah perbuatan manusia.
b. Masalah baik dan buruk
c. Pengertian etimologi dan terminologi
2. Perbedaan :
Dari segi sumber :
a. Moral dan etika : b. Akhlak :
1. Hasil pikiran (ratio) manusia Al-Qur’an
2. Perasaan Al-Hadist
3. Adat Istiadat Ra’yu (ijma’ dan qias)
4. Kenyataan Alam

Dari segi sifat :


- Filosofos/rational - Religious
- Universal relatif/subyektif - Absolut/obyektif
- Temporer - Abadi
- Regional/Lokal - Universal
B. NILAI DAN NORMA
1. Pengertian Nilai dan Norma
Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu
identitas, yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan
maupun prilaku. Oleh karena itu sistim nilai dapat merupakan standar umum yang diyakini, yang
diserap dari pada keadaan yang obyektif, maupun yang diangkat dari keyakinan, sentiment
(perasaan umum), maupun identitas yang diwahyukan oleh Allah swt. Yang pada gilirannya
sentimen, kejadian umum, identitas umum yang karenanya menjadi syariat umum. Sistim nilai
adalah merupakan ketentuan umum, yang merupakan pendekatan pada hakikat filosofi dari ketiga
hal tersebut diatas ( keyakinan, sentiment dan identitas)

2. Sumber dan nilai norma


Berdasarkan uraian dan pengertian nilai dan norma diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
sumber nilai dan norma itu ada dua yaitu, nilai yang bersifat ilahi, sumbernya adalah Al-Qur’an
dan Hadits, dan nilai yang bersifat modial (duniawi) sumbernya adalah ra’yu (fikiran), adat
istiadat dan kenyataan alam.

Bagi umat islam sumber nilai yang tidak berasal dari Al-qur’an dan sunnah hanya digunakan
sepanjang tidak menyimpan dari sistim nilai yang bersumber dari Al-qur’an dan sunnah.untuk
lebih jelasnya salah satu contoh nilai baik yang bersumber dari Alqur’an dan sunnah atas nilai
yang bersumber dari ra’yu, adat istiadat dan kenyataan alam sebagai berikut :

- Nilai yang berasal dari Alqur’an, perintah sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain.
- Nilai yang bersumber dari sunnah, tata cara pelaksanaan sholat, zakat, puasa, haji, thahara dan
lainnya.
- Nilai yang bersumber dari ra’yu, memberikan penafsiran dan penjelasan terhadap Al-qur’an
dan sunnah dalam hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang tidak diatur oleh Al-
qur’an dan sunnah.
- Nilai yang bersuber dari adat istiadat, tata cara komunikasi, sopan santun intraksi sesama
manusia atau intraksi social dan sebagainya.
- Nilai yang bersumber dari kenyataan alam, tata cara berpakaian, tata cara makan, dan lain
sebagainya.

3. pengaruh nilai dan norma terhadap tingkah laku

Pengaruh nilai dan norma terhadap tingkah laku/prilaku seseorang sangat bergantung pada :
- Keyakinan yang menyeluruh terhadap system nilai dan norma itu.
- Daya serap dari pada individu dan masyarakat dalam penggunaan sistim nilai dan norma
- Ada atau tidak adanya pengaruh dari sistim nilai dan norma yang lain.
- Kondisi fsikologi seseorang
- Kondisi fisiologis
- Kondisi fisik
C. MASALAH BAIK DAN BURUK

1. Pandangan Kaum Sekuler


Salah satu hal yang penting dari falsah moral adalah mencari standar untuk menentukan dan
membedakan yang baik dan yang buruk. Kaum sekuler mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Sebagian mengatakan bahwa pengalaman manusia adalah sumber yang dapat dipercaya. Adapula
yang mengatakan bahwa akal yang menjadi sumber kebaikan dan keburukan, sehingga
mengakibatkan timbulnya berbagai aliran, seperti :
a. Aliran Empericisme (pengalaman)
Bahwa pengalaman-pengalaman manusia melalui pancainderalah yang satu-satunya alat
yang terpercaya untuk mengetahui baik atau buruk
b. Aliran Intuitionisme
Bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik dan
buruk.
c. Aliran Rationalisme
Bahwa akallah satu-satunya alat yang dapat mengetahui secara pasti mana yang baik dan
mana yang buruk dan ia pula yang menjadi dasar utama ilmu pengetahuan.
d. Aliran Tradisionalisme
Bahwa yang menjadi norma baik dan buruk adalah tradisi atau adat kebiasaan.
e. Aliran Evolusionisme
Spencer mengatakan, bahwa pada mulanya perbuatan moral itu tumbuh secara sederhana dan
mulai berangsur-angsur meningkat menuju ke arah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan.

2. Menurut Pandangan Islam

Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumber wahyu Allah SWT, Al-Qur’an yang dalam
penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Masa-lah akhlak dalam ajaran
Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian
terdahulu.
Islam adalah agama dakwah yang harus disampaikan dan tentu saja yang disampaikan
adalah baik dan dengan cara yang baik. Seorang pendakwak itu harus berilmu yang mengetahui
secara persis permasalahan yang dia hadapi, baik dari segi hukum dan dalil maupun argumentasi,
atau apakah masalah kemung-karan yang dia lihat itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama atau tidak, dan sebagainya. Barang siapa melakukan kegiatan dakwah tanpa ilmu, dia akan
merusak atau menghancurkan banyak masalah yang seharusnya tidak perlu diusik-usik lagi.
Yang kedua ialah wara, jiwa wara akan membuat seseorang senang melakukan apa yang
telah diketahui (ilmu)nya, istiqomah dalam menatapi undang-undang peraturan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian seorang da’i itu harus berakhlak baik, sebab orang yang
buruk akhlaknya dia akan merusak apa yang banyak manfaatnya (lebih banyak membawa
madarat dalam dakwahnya daripada memberi manfaatnya). Seperti yang tersebut dalam sebauah
hadis yang diriwatkan Imam baihi, Rasulullah SAW bersabda:
Kemudian harus diketahui secara pasti (hukumnya), bukan hasil ijtihad (kemampuan
mengambil kesimpulan hukum), sebab jika hanya berdasarkan ijtihad, belum tentu semua ulama
sepakat menyatakan haramnya. Jadi kemungkaran itu harus dinyatakan secara pasti melalui nas
yang tidak dapat ditakwil ‘diartikan dengan pengertian lain.
Menurut ajara islam penentuan baik buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan
al-Hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah
yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Misalnya
mencela kepada kat-kat kasar, perbuatan yang diperbolehkan dalam mencela mereka yang bebuat
lemungkaran itu ialah dengan kata-kat yang tidak berlaku menyakitkan, misalnya, hai bodoh, hao
fasik, hai tolol, dan sebagainyayang semakna dengan ini. Masih ada tahapan lain, misalnya
dengan cara mengancam dan menakut-nakuti, tetapi ini lebih tepat menjadi tugas mereka yang
ada dudalam pemerintah yang seperti muhtasib dan bukan tugas serta wewenag pelaku dakwah
dari mubalig (dai). Kecuali dalam keadaan-keadaan yang memungkinkan, misalnya pemukulan
seorang anak oleh ayahnya, seorang ,istri oleh suaminya, dan majikan terhadap pembantunya,
atau memukul seorang yang menarik seorang perempuan yang akan dizinai, dan sebagainya.
Perbuatan manusia yang disengaja dalam situasi yang memungkinkan adanya pilihan dapat
diberi nilai baik atau buruk. Seperti telah dikemu-kakanbahwa setiap perbuatan manusia yang
dapat dinilai, lahir dari suatu kehendak. Setiap kehendak selalu menuju kepada satau tujuan.
Maka sebenarnya dalam member nilai perbuatan seseorang terletak pada kehendak dan tujuan
dari perbuatannya. Mengapa? Setiap kehendak menuju sebuah nialai, setiap tujuannya menuju
sebuah nilai. Dengan demikian pada pokoknya penilaian itu diletakkan dan diterapkan pada
kehendak dan tujuan dari perbuatan tersebut.
Setiap perbuatan lahir dari kehendak dan setiap kehendak lahir dari keyakinan yang
tertanam dalam hatinya, karena sangat ukar dibayangkan ada sebuah perbuatan yang lahir atau
muncul diluar kehendak dan keyakinannya. Mengapa dalam kemyataannya ada perbuatan yang
lahir dari kehendak yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam hal ini, untuk member nilai
suatu perbuatan tersebut menjadi tolak ukur penilain. Atau, niat seseorang sebagai dasar terbitnya
perbuatan adalah menjadi standar pengukurannya.
Jadi sebenarnya perbuatan itu dapat diberi niali baik atau buruk karena dilihat dari niat
orang yang melakukannya, tidak dilikat dari hasil sebagai akibat dari perbuatannya itu. Maka
perbuatan yang disertai niat baik, berniali baik, meskipun mengakibatkan keburukan. Dan
perbuatan dengan nilai buruk, tetap bernilai buruk meskipun menghasilkan kabaikan. Rasulillah
SAW bersabda:

Artinya: “Segala perbuatan selalu mempunyai niat. Dan perbuatan itu dinilai sesuai dengan
niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).

D. PEMBAHAGIAN AKHLAK DAN PENERAPANNYA

1. Akhlak Mahmudah/Karimah (akhlak terpuji/mulya) dan akhlak Madzamumah/Sayyi’ah


(akhlak tercela/buruk). Pada dasarnya akhlak itu terbagi atas 2 yakni akhlak mahmudah (akhlak
terpuji), yakni semua akhlak yang baik, yang harus dimiliki setiap orang dan akhlak madzmumah
(akhlak tercela) yaitu semua akhlak yang buruk yang harus dihindari oleh setiap orang. Adapun
yang tergolong akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah serperti yang dikemukakan oleh Drs.
Barmawie Umarie dalam bukunya Materi Akhlak adalah sebagai berikut :

a. Contoh-Contoh Akhlak Mahmudah


Dalam pembahasan ini kami akan menjabarkan akhlak mahmudah yang meliputi ikhlas,
sabar, syukur, jujur, adil dan amanah.
1. Ikhlas

Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-Qurtubi, ikhlas pada dasarnya
berarti memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi
mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, “Aku pernah
bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, “Aku telah menanyakan hal itu kepada
Allah,” lalu Allah berfirman, “(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke
dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.”

Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam QS. Al-Insan (76): 9, ”Sesungguhnya kami
memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”
Ikhlas adalah inti dari setiap ibadah dan perbuatan seorang muslim. Allah SWT berfirman dalam
QS. Al Bayyinah: 5), ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan –keikhlasan— kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.”

Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Anggota masyarakat
yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akhirat, bersih
dari sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan.

2. Amanah.

Secara bahasa amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan) sedangkan
secara definisi amanah berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk mengembalikan
titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar
menghukumi dengan adil…” (QS 4:58).

Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena
mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS. 33:72)

Amanah yang diberikan Allah kepda manusia meliputi :


1. Amanah Fitrah:
Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya,
bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa AllaH SWT sebagai Pencipta,
Pemelihara dan Pembimbing (QS 7:172).
2. Amanah Syari’ah/Din:
Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan AllaH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi
larangan-NYA, barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya
sendiri, dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh
terhadap Rabb-nya (QS. 33:72).
3. Amanah Hukum/Keadilan:
Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan hukum Allah SWT secara adil baik dalam
kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat
ifrath (ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
4. Amanah Ekonomi:
Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat
Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki
kurang sesuai dengan syariat (QS. 2: 283).
5. Amanah Sosial:
Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang
bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji
serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23: 8).
6. Amanah Pertahanan dan Kemanan:
Yaitu membina fisik dan mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa,
negara dan ummat tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai
musuh Islam lainnya (QS. 8:27).

Sifat mulia ini harus diamalkan oleh setiap orang. Dalam suatu sumber menyebutkan,
amanah adalah asas ketahanan umat, kestabilan negara, kekuasaan, kehormatan dan roh kepada
keadilan. Singkatnya, amanah berarti sesuatu yang dipercayakan sehingga kita harus menjaga
amanah tersebut. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “….maka
tunaikanlah oleh orang yang diamanahkan itu akan amanahnya dan bertakwalah kepada Allah
Tuhannya;….” (QS. Al Baqarah: 283).
c). Adil
Adil berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya. Adil juga tidak lain ialah
berupa perbuatan yang tidak berat sebelah. Para Ulama menempatkan adil kepada beberapa
peringkat, yaitu adil terhadap diri sendiri, bawahan, atasan/ pimpinan dan sesama saudara. Nabi
Saw bersabda, “Tiga perkara yang menyelamatkan yaitu takut kepada Allah ketika bersendiriaan
dan di khalayak ramai, berlaku adil pada ketika suka dan marah, dan berjimat cermat ketika susah
dan senang; dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikuti hawa nafsu, terlampau bakhil,
dan kagum seseorang dengan dirinya sendiri.” (HR. AbuSyeikh).

d). Bersyukur

Syukur menurut kamus “Al-mu’jamu al-wasith” adalah mengakui adanya kenikmatan dan
menampakkannya serta memuji (atas) pemberian nikmat tersebut. Sedangkan makna syukur
secara syar’i adalah : Menggunakan nikmat AllahSWT dalam (ruang lingkup) hal-hal yang
dicintainya. Lawannya syukur adalah kufur.Yaitu dengan cara tidak memanfaatkan nikmat
tersebut, atau menggunakannya pada hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT.

Definisi ini ditulis oleh Ibnu Quddamah dalam bukunya “minhajul qashidin”. Bersyukur pada
tataran menjadi pribadi unggul berlaku pada dua keadaan yaitu sebagai tanda kerendahan hati
terhadap segala nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah sama, baik sedikit atau banyak
dan sebagai ketetapan daripada Allah, supaya kebajikan senantiasa dibalas dengan kebajikan.
Allah berfirman, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan sekiranya kamu mengingkari –kufur— (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-
Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Al Baqarah ayat 152 : ‘Maka ingatlah Aku ( Allah ) niscaya
Aku akan mengingatimu dan syukurilah nikmatku serta jangan sekali-kali kamu menjadi kafir‘.

Lalu syukur dibagi menjadi tiga macam:


1. Syukur dengan hati,
yaitu niat melakukan kebaikan dan tidak menampakkannya kepada manusia. Adapun syukur
dengan hati ialah Syukur dengan lisan ialah Rasulullah SAW. bersabda: “Membicarakan
kenikmatan itu adalah syukur dan meninggalkannya adalahkekufuran(akan nikmat).”
(HR.Ahmad).
2. Syukur dengan lisan,
yaitu menampakkan rasa terima kasih kepada Allah SWT dengan pujian.
3. Syukur dengan anggota badan,
ialah menggunakan seluruh nikmat Allah dalam ketaatan kepadaNya. Oleh karena makna
syukur adalah menggunakan seluruh kenikmatan dengan cara yang dicintai oleh Allah, maka
tidak mungkin seseorang dapat mensyukuri nikmatNya kecuali dengan mengetahui apa-apa
yangdicintai oleh Allah dan apa-apa yang dibenci-Nya.

e). Sabar

Sabar yaitu sifat tahan menderita sesuatu (tidak lekas marah; tidak lekas patah hati; tidak
lepas putus asa, tenang dsb). Di dalam menghadapi cobaan hidup, ternyata kesabaran ini sangat
penting untuk membentuk individu/ pribadi unggul. Manusia diciptakan dengan disertai sifat
tidak sabar dan karenanya ia banyak berbuat kesalahan. Akan tetapi, agama meminta setiap orang
agar bersabar karena Allah. Orang beriman harus bersabar menunggu keselamatan yang besar
yang Allah janjikan. Inilah perintah di dalam Al-Qur`an, “Dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 7) Sabar merupakan salah satu sifat penting untuk
mencapai ridha Allah; itulah kebaikan yang harus diusahakan agar lebih dekat kepada Allah. “Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali
Imran: 200).

Al Qur`an juga menyatakan hal ini, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Al-
Baqarah: 45). Ayat lain dari surah yang sama menekankan bahwa kegembiraan diberikan kepada
orang-orang yang bersabar dalam menghadapi rintangan atau kesusahan. “Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.’”
(al-Baqarah: 155-156).

Sabar merupakan sifat mulia yang dapat meningkatkan kekuatan orang-orang beriman. Allah
menyatakan pada ayat berikut, betapa kekuatan sabar ini bisa mengalahkan sesuatu. “Sekarang,
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.
Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(al-Anfaal: 66).
Sabar merupakan sifat yang tergolong positif yang diterangkan dalam Al-Qur`an. Seseorang bisa
saja rendah hati, sederhana, baik budi, taat atau patuh; namun semua kebaikan ini hanya akan
berharga ketika kita menggabungkannya dengan kesabaran. Kesabaranlah yang diperlihatkan
dalam berdo’a dan merupakan sifat orang beriman, yang membuat do’a-do’a kita dapat diterima.
f). Jujur
Shiddiq (jujur, benar) adalah lawan kata dari kidzib (bohong atau dusta). Secara morfologi,
akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu
mengandung arti qabila qauluhu ‘pembicarannya diterima’.

Ayat Allah yang memberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq): “Agar Dia
menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia
menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab:8)

Imam al-Ghazali membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis:
1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata.
Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Menepati janji termasuk kategori
kejujuran jenis ini.
2. Jujur dalam berniat dan berkehendak.
Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang
dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan
dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini
dapat dikatakan pembohong. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadist Abu Hurairah yang
diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut: “Ketika Rasulullah saw bertanya kepada seorang
alim, ‘Apa yang telah kamu kerjakan dari yang telah kamu ketahui?’ Ia menjawab, ‘Aku telah
mengerjakan hal ini dan hal itu.’ Lalu Allah berkata, ‘Engkau telah berbohong karena kamu ingin
dikatakan bahwa si Fulan orang alim.”
3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam).
Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, “Jika
Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya.” Janji atau
obsesi ini harus diucapkan secara jujur.
4. Jujur dalam menepati obsesi.
Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyak mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu
untuk mengumbar obsesi. Kemudian, saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk
menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam
keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran
(shiddiq).
5. Jujur dalam beramal atau bekerja.
Jujur dalam maqam-maqam beragama. Merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya
adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja’ (mengharapkan rahmat
Allah), ta’dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawwakal
(mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan mencintai Allah.
E. ADAB PERGAULAN
I. Adab di dalam dan di Luar kampus

A. Adab di dalam Kampus

1. Menumbuh-kembangkan rasa Ukhuwah Islamiyah Rasulullah SAW pernah merumuskan


dalam sabdanya : Bahwa orang Islam itu ialah orang yang segala tingkah lakunya, baik yang
berupa perbuatan maupun perkataan tidak mengganggu orang Islam lainnya, sehingga orang
Islam lainnya itu merasa aman.

Dari hal tersebut, sebagai konsekwensinya dari ajaran persaudaraan Islam sekurang-
kurangnya adalah sebagai berikut :
a. Seorang muslim tidak boleh menyakiti sesamanya muslim
b. Memelihara hak sesama muslim

B. Adab di luar kampus.


1. Memilih teman di dalam pergaula teman adalah sangat berarti dan berpengaruh dalam
pergaulan sesama. Seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang filosof yang mengatakan :
“Kabarilah saya siapa kawanmu, saya akan memberi kabar kepadamu siapa engkau”.
2. Saling doa’ mendoa’kan
3. Tawadhu atau merendahkan diri kepada sesama serta tidak bersikap sombong.
4. Lemah lembut, santun dan sabar.
5. Memenuhi kepentingan umat Islam.

C. Sikap dan Tingkah Laku


a. Berpakaian
1. Pakaian yang dipakai adalah menutupi aurat.
2. Sederhana dan tidak berlebih-lebihan, sekalipun orang tersebut mampu berpakaian yang
berlebihan
3. Disunnatkan memakai pakaian kemeja panjang serta berwarna putih.
4. Tertib cara berpakaian

D. Berjalan dan Berkendara


1. Berjalan
Adab berjalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ialah sebagai berikut :
a. Rasulullah jika berjalan, sedikit agak cepat
b. Jika beliau berjalan, kepalanya agak merunduk seoah-olah jalanan yang dilaluinya adalah
menurun.
2. Berkendara
a. Berdoa ketika hendak naik di kendaraan
b. Jika telah berada di atas kendaraan, maka ambillah tempat sekedar perlu.
c. Jika ada orang tua atau ibu hamil di atas kendaraan, maka berilah tempat kepadanya,
d. Jika anda makan, maka tawarilah penumpang yang dekat dengan anda
e. Jangan negebut atau mendesak sopir untuk ngebut.
f. Berbicaralah yang sopan diatas kendaraan.
g. Turunlah dari kendaraan dengan tenang dan janganlah terburu-buru
E. Sikap dan Tingkah Laku di Dalam Masjid
1. Berjalan menuju ke masjid dengan perasaan hati yang tenang dan sikap yang tenang pula.
2. Masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan disertai dengan doa ketika masuk masjid

F. Etika Agama dalam Islam


SIAPA pun yang terjun dalam bidang politik pasti memiliki kepentingan kekuasaan.
Kekuasaan di mata Islam bukanlah barang terlarang, sebaliknya kekuasaan dan politik dianjurkan
selama tujuannya untuk menjalankan visi-misi kekhalifahan. Untuk itu kekuasaan harus
didapatkan dengan tetap berpegang pada etika Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah
memberikan panduan etika dalam kehidupan manusia. Karena itu etika dalam politik menjadi
suatu keharusan.
Fakta memperlihatkan bahwa tidak sedikit yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh
dan mempertahankan kekuasaan. Bertemunya berbagai kepentingan antarkelompok dalam
kalangan elite politik adalah sebuah keniscayaan akan terjadinya konflik bahkan berujung pada
penyelesaian dengan jalan kekerasan, jika tidak ada kesepahaman bersama.
Etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena politik dipandang sebagai
bagian dari ibadah, maka politik harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Di samping
itu, politik berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat, karena itu prinsip-
prinsip hubungan antarmanusia seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan
kehendak harus berlaku dalam dunia politik.
Mestinya ketika membahas tentang etika politik saat ini tidak dipandang seperti berteriak di
padang pasir yang tandus dan kering. Sementara realitas politik itu sebenarnya pertarungan antara
kekuatan dan kepentingan yang tidak ada kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan dari yang
ideal dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah
tujuan menghalalkan segala cara seperti yang diajarkan oleh Machiavelli. Sementara Immanuel
Kant menyebutkan bahwa ada dua watak yang terselip di setiap insan politik, yaitu watak merpati
dan watak ular.
Pada satu sisi insan politik memiliki watak merpati yaitu memiliki sikap lemah lembut dan penuh
kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme, tetapi di sisi lain juga memiliki watak ular yang
licik dan selalu berupaya untuk memangsa merpati. Jika watak ular yang lebih menonjol daripada
watak merpati, inilah yang merusak pengertian politik itu sendiri yang menurut filosof Aristoteles
bahwa politik itu sendiri bertujuan mulia. Untuk itulah pentingnya etika politik sebagai alternatif
untuk mewujudkan perilaku politik yang santun.
Pemikiran Aristoteles sejalan dengan konteks pemikiran Islam, al-Ghazali yang tidak
memisahkan antara etika dan politik, keduanya saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan.
Keduanya akan menentukan nilai baik-buruk atau benar-salah dari setiap tindakan dan keinginan
masyarakat. Maka politik sebagai otoritas kekuasaan untuk mengatur masyarakat agar sesuai
dengan aturan-aturan moral, bertanggung jawab, dan mengerti akan hak serta kewajibannya
dalam hubungan kemasyarakatan secara keseluruhan.

Di sini terlihat Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang baik dan memiliki moral code
atau rule of conduct dalam melayani rakyat. Islam datang dengan resource yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan yaitu Alquran sebagai sumber utama dan dipertegaskan dengan Sunnah
Nabi. Alquran sebagai dasar bagi manusia kepada hal-hal yang dilakukan memberikan tekanan-
tekanan atas amal perbuatan manusia (human action) dari pada gagasan. Artinya Alquran
memperlakukan kehidupan manusia sebagai keseluruhan aspek yang organik, semua bagian
harus dibimbing dengan petunjuk dan perintah-perintah etik yang bersumber dari wahyu, yang
mengajarkan konsep kesatuan yang padu dan logis.
Dalam etika politik yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari masyarakat karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan
antara pandangan seseorang (etika individual) dengan tindakan kolektif membutuhkan perantara
yang berfungsi menjembatani kedua pandangan ini berupa nilai-nilai. Melalui nilai-nilai inilah
politikus berusaha meyakinkan masyarakat agar menerima pandangannya sehingga mendorong
kepada tindakan bersama. Karena itu, politik disebut juga seni meyakinkan melalui wicara dan
persuasi, bukan manipulasi dan kekerasan.
Nilai-nilai kebenaran
Etika politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan
tangung jawab atas realitas kehidupan. Untuk itu realitas politik diupayakan dengan
mengkonsepkan dan mengelaborasikan secara mendalam fenomena terhadap pandangan Alquran
tentang etika dalam pelayanan rakyat.
Islam menetapkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan politik, yaitu: Pertama, prinsip musyawarah
(syura), dalam Islam tidak hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan yang
direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas keagamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh
Nabi dan diteruskan oleh khulafaur rasyidin. Firman Allah Swt: “..dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu...” (QS. Ali Imran: 159)
Kedua, prinsip persamaan (musawah), dalam Islam tidak mengenal adanya perlakuan
diskriminatif atas dasar perbedaan suku bangsa, harta kekayaan, status sosial dan atribut
keduniaan lainnya. Yang menjadikannya berbeda di mata Allah hanya kualitas ketakwaan
seseorang sebagaimana firmanNya: “...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13).
Ketiga, prinsip keadilan (‘adalah), menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam
Islam, terutama bagi para penguasa. Islam juga memerintahkan untuk menjadi manusia yang
lurus, bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan kontrol sosialnya sehingga terwujud
keharmonisan dan keadilan hidup, sebagaimana firman Allah Swt: “...Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Keempat, prinsip kebebasan (al-Hurriyah), dalam Islam prinsip kebebasan pada dasarnya adalah
sebagai tanggung jawab terakhir manusia. Konsep kebebasan harus dipandang sebagai tahapan
pertama tindakan ke arah perilaku yang diatur secara rasional berdasarkan kebutuhan nyata
manusia, baik secara material maupun secara spiritual. Kebebasan yang dipelihara oleh politik
Islam adalah kebebasan yang mengarah kepada ma’ruf dan kebaikan. Allah berfirman: “... Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” (QS. Al-An’am: 164).

F. TASAWUF

1. Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf, antara lain :
1. Shuffah ( serambi tempat duduk ), yakni serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan
untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa
Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi
masjid itulah mereka bernaung.
2. Shaf ( barisan ), karena kaum shufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa
memilih barisan yang paling depan dalam sholat berjamaah atau dalam perang suci.
Shafa : bersih atau jernih.
Shufanah : Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.
3. Shuf (bulu domba), disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba
yang kasar, sebagai lambang akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong,
serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba
disebut “ mutashawwif ”, sedangakan perilakunya disebut “ tasawuf ”

Theosofi : Ilmu ketuhanan. Tetapi yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia
cenderung kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba).

2. Pengertian Tasawuf Secara Terminologi


Sedangkan menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi,
antara lain yaitu :
Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat
mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.

Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan
tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).

Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari
kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan
kerikil” 4).

Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah,
dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan
yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam
agar kebijaksanaan menjadi nyata”.

Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem
latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan
memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan
itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.

Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam,
karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina
akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir
dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif
sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki
tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan
terhindar dari sifat-sifat tercela.
TUGAS
RESUME AKHLAK

OLEH
NIZAR IKBAL
093 2013 0067

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR
2016

You might also like