You are on page 1of 5

SCIENTIA VOL. 5 NO.

2, AGUSTUS 2015

RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA


PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS KUAMANG KUNING I
KABUPATEN BUNGO

Sanubari Rela Tobat, M. Husni Mukhtar dan Ida Hot Duma Pakpahan
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis Padang
Email : sanubari_relatobat@stifi-padang.ac.id

ABSTRACT

Infections of the respiratory tract is a common disease in the community. Based on data from
the Health Research 2013, incidence of Acute Respiratory Infections (ARI) in Indonesia in 2013 was
25,0 %. Antibiotics are widely prescribed to treat ARI so that the possibility of irrational drugs use is
higher. The purpose of this study was to determine the rationality of antibiotics usage in Kuamang
Kuning I Health Center outpatient ARI. This study was done descriptively using retrospective data in
year of 2013. Inclusion criteria for this study were outpatient at the Kuamang Kuning I Health Center
outpatient ARI regency period 1 January to 31 December 2013 with an outpatient card that can
provide clear and complete information. Patients who met the inclusion criteria were 300 patients.
Results of the quantitative analysis showed that the most widely used antibiotics were beta-lactam
groups of aminopenisilin namely amoxicyclin, and the rationality of antibiotics usage based on
standards of Pharmaceutical Care for Respiratory Disease are 100% appropriate indication, 96,67%
is appropriate drug selection, 86% is appropriate dose, 100% is appropriate route of administration.

Keywords : Acute Respiratory Infection, Antibiotics, Kuamang Kuning I Health Center.

PENDAHULUAN pengobatan pada penyakit yang disebabkan


oleh bakteri (Depkes RI, 2005).
Infeksi pada saluran nafas merupakan Konsekuensi yang tidak terhindarkan
penyakit yang umum terjadi pada masyarakat, akibat meluasnya penggunaan senyawa
yang merupakan salah satu penyebab kematian antibiotika adalah timbulnya patogen yang
tertinggi pada anak- anak dan dewasa (Depkes resisten antibiotika, dan peningkatan efek
RI, 2005). Berdasarkan data Riset Kesehatan samping (Goodman, Gilmann, 2008).
Dasar tahun 2013, prevalensi ISPA di Berdasarkan survey penggunaan antibiotika di
Indonesia adalah 25,0 % (Depkes RI, 2013). beberapa rumah sakit dan Puskesmas, banyak
ISPA merupakan salah satu penyebab utama dijumpai adanya penggunaan obat yang tidak
kunjungan pasien di sarana kesehatan. rasional seperti : penggunaan dalam dosis yang
Sebanyak 40- 60 % kunjungan berobat di kurang, cara pemakaian, waktu dan lama
Puskesmas dan 15- 30 % kunjungan berobat di pemberian antibiotika yang tidak memadai
bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Setiabudy, et all., 1995). Penggunaan obat
disebabkan oleh ISPA (Depkes, 2009). secara rasional adalah apabila pasien menerima
Infeksi saluran nafas bagian atas pengobatan sesuai kebutuhan klinisnya, dalam
meliputi influenza, rhinitis, sinusitis, faringitis, dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam
laringitis, epiglotitis, tonsillitis, otitis. Infeksi periode waktu yang sesuai dan dengan biaya
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) serta dampak yang terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
yang ditimbulkannya membawa akibat pada (Depkes RI, 2008)
tingginya komsumsi obat bebas (seperti anti Berdasarkan latar belakang diatas serta
influenza, obat batuk, multivitamin) dan survey awal yang dilakukan peneliti yang
antibiotika. Sebagian besar penyebab penyakit diperoleh dari data 10 penyakit terbanyak,
ini adalah virus. Pada kenyataannya antibiotika maka perlu dipelajari rasionalitas penggunaan
banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi ini, obat antibiotika pada penyakit ISPA di
sementara antibiotika ditujukan untuk Puskesmas sebagai evaluasi terpadu obat yang

ISSN : 2087-5045 79
SCIENTIA VOL. 5 NO. 2, AGUSTUS 2015

rasional, sehingga dapat meminimalisir 2. ISPA ( Infeksi Saluran Pernafasan Akut)


dampak dari penggunaan obat yang tidak tepat adalah : infeksi akut yang terutama
demi keselamatan pasien. mengenai struktur pernafasan di atas laring
pada pasien dan kode 1302 pada laporan
bulanan data kesakitan (LB1)
METODE PENELITIAN 3. Tepat indikasi adalah : obat yang diberikan
harus sesuai dengan diagnose yang
Desain Penelitian ditegakkan oleh dokter
Penelitian ini merupakan penelitian 4. Pasien anak adalah : pasien yang berusia >
deskriptif dengan pengambilan data secara 0- 18 tahun
retrospektif. 5. Pasien dewasa adalah : pasien yang berusia
> 18 tahun- 64 tahun
Waktu dan Tempat Penelitian 6. Pasien lanjut usia (lansia) adalah : pasien
Penelitian ini dilaksanakan di yang berusia > 64 tahun
Puskesmas Kuamang Kuning I selama 3 bulan
(Juni – Agustus 2014)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Alat
Alat dalam penelitian ini berupa lembar Berdasarkan kartu rawat jalan pasien
pengumpul data untuk mencatat data dari kartu ISPA di Puskesmas Kuamang Kuning I
rawat jalan pasien. periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2013
diperoleh data seluruh pasien ISPA rawat jalan
Bahan adalah 4762 pasien. Jumlah sampel minimum
Bahan penelitian berupa kartu rawat menurut hasil perhitungan dari rumus adalah
jalan pasien ISPA selama tahun 2013. 98 orang, tetapi dalam penelitian ini seluruh
pasien yang memenuhi kriteria inklusi
Populasi (sebanyak 300 pasien) digunakan sebagai
Subyek dalam penelitian ini adalah sampel.
seluruh pasien penderita ISPA periode 1 Pada penelitian rasionalitas penggunaan
Januari – 31 Desember 2013. antibiotika pada penyakit ISPA rawat jalan di
Puskesmas Kuamang Kuning I ini, diperoleh:
Sampel 1. Hasil analisa kuantitatif :
Sampel adalah Semua subjek populasi a. Persentase pasien ISPA berdasarkan
yang memenuhi kriteria inklusi. usia.
Diperoleh hasil pasien ISPA usia anak-
Kriteria inklusi dan eksklusi anak 71,33 %, pasien ISPA dewasa
Kriteria Inklusi: Pasien ISPA rawat jalan 24,67 %, pasien ISPA lanjut usia 4 %
yang mendapat terapi antibiotika dengan kartu b. Persentase pasien ISPA berdasarkan
rawat jalan yang memberikan informasi yang jenis kelamin.
jelas dan lengkap. Analisa data menunjukkan pasien
ISPA perempuan sebanyak 55,63%,
Kriteria Eksklusi: dan pasien ISPA laki –laki sebanyak
1. Pasien ISPA yang tidak mendapat terapi 44,67 %
antibiotika c. Persentase penggunaan antibiotika
2. Pasien yang mendapat terapi antibiotika, tunggal dan kombinasi.
tetapi data pada kartu rawat jalannya Hasil analisa data menunjukkan
tidak lengkap dan resepnya tidak dapat penggunaan antibiotika tunggal
dikonfirmasi di apotik sebesar 100 %
Definisi Operasional d. Persentase jenis antibiotika yang
1. Penggunaan obat yang rasional adalah: digunakan.
penggunaan antibiotika memenuhi kriteria Golongan antibiotika yang paling
kerasionalan dalam hal tepat indikasi, tepat banyak digunakan adalah antibiotika
pemilihan obat, tepat dosis, dan tepat rute golongan betalaktam golongan amino
pemberian penisilin yaitu amoksisilin (79%),
diikuti oleh golongan sulfonamida

ISSN : 2087-5045 80
SCIENTIA VOL. 5 NO. 2, AGUSTUS 2015

kombinasi (sulfametoksazol kombinasi 17,67%, siprofloksasin 3 %, dan metronidazol


trimetoprim) yaitu kotrimoksazol 0,33%. Hal ini sudah sesuai karena antibiotika
(17,67%), golongan kuinolon yaitu empiris yang direkomendasikan untuk infeksi
siprofloksasin (3%), dan metronidazol saluran pernafasan adalah amoksisilin atau
(0,33%) kotrimoksazol, atau kombinasi amoksisilin-
klavulanat (Mandall, et all ., 2008).
2. Hasil analisa kualitatif Indikasi yang tepat menentukan
a. Tepat indikasi ketepatan pemilihan zat terapi. Indikasi yang
Penggunaan antibiotika pada penyakit benar didasarkan kepada diagnosa yang akurat,
ISPA di Puskesmas Kuamang Kuning I misalnya antibiotika hanya diberikan bila
berdasarkan kriteria tepat indikasi adalah terbukti penyebab penyakit adalah bakteri.
100 %. (Dirjen Yanfar, 2006) Diagnosa dapat
b. Tepat pemilihan obat antibiotika ditegakkan melalui pemeriksaan terhadap
Analisa kualitatif tentang rasionalitas gejala klinis, pemeriksaan secara fisik, dan
penggunaan antibiotika pada penyakit hasil pemeriksaan laboratorium. Bukti infeksi
ISPA diperoleh hasil tepat obat sebesar dapat berupa demam, inflamasi di tempat
96,33% dan tidak tepat obat sebesar infeksi, leukositosis, serta hasil pemeriksaan
3,67%. laboratorium (Depkes RI, 2005). Hasil analisa
c. Tepat dosis menunjukkan ketepatan indikasi sebesar 100
Analisa kualitatif ketepatan dosis, %.
diperoleh data tepat dosis sebesar 86% Analisa data menunjukkan bahwa
dan tidak tepat dosis sebesar 14%. pemberian antibiotika tepat karena adanya
d. Tepat rute bukti infeksi berupa demam. Bukti infeksi
Analisa kualitatif mengenai ketepatan berupa inflamasi di tempat infeksi tidak dapat
rute diperoleh hasil tepat rute sebesar dilihat karena penelitian didasarkan pada data
100 % yang telah lalu sehingga kondisi yang
sesungguhnya dari pasien tidak dapat dilihat ,
ISPA merupakan penyakit infeksi akut serta leukositosis tidak dapat diketahui karena
yang penyebarannya sangat luas, yaitu pada Puskesmas Kuamang Kuning I tidak memiliki
bayi, anak- anak dan dewasa (Depkes RI,2005) sarana untuk pemeriksaan leukosit.
Penyebaran infeksi tergantung dari pertahanan Pemilihan obat yang tepat dapat
tubuh dan virulensi kuman yang bersangkutan. ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis
Hasil analisa menunjukkan persentase pasien obat yang sesuai dengan diagnosa. Analisa
ISPA anak lebih banyak daripada pasien ISPA data pada penelitian ini mengacu pada standar
dewasa. Hal ini disebabkan karena sistem Pharmaceutical Care untuk Penyakit ISPA dan
pertahanan tubuh anak masih rendah. standar Pharmacoterapy Dipiro. Analisa
(Tambayong, 2000) ketepatan pemilihan obat menunjukkan hasil
Analisa persentase pasien ISPA yang berbeda pada kedua standar.
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan Berdasarkan standar Pharmaceutical
bahwa ISPA lebih sering terjadi pada wanita. Care untuk Penyakit ISPA, hasil analisa
Dalam pengobatan terkadang diperlukan menunjukkan ketepatan pemilihan obat sebesar
kombinasi obat untuk mengadisi daya kerja 96,33% . Hal ini didasarkan karena indikasi
terapeutisnya. Adapun indikasi untuk menunjukkan adanya bukti infeksi sehingga
menggunakan antibiotika kombinasi yaitu : diberikan terapi antibiotika, dan antibiotika
pengobatan infeksi campuran, pengobatan yang dipilih merupakan antibiotika lini
awal pada infeksi berat yang etiologinya belum pertama.
jelas, untuk memperlambat timbulnya Tidak tepat pemilihan obat antibiotika
resistensi, mendapatkan efek sinergis terdapat pada pasien nomor 58, 100, 103, 112,
(Goodman, Gilmann, 2008). Dari hasil analisa 116, 122, 124, 126,130, 136 dan 139. Pasien
data didapatkan bahwa tidak ada penggunaan nomor 58 adalah penderita faringitis yang
antibiotika kombinasi untuk mengatasi ISPA. mendapatkan antibiotika saat tanda/ gejala
Hasil analisa terhadap persentase obat muncul ± 3 hari, sementara terapi antibiotika
antibiotika yang digunakan, didapatkan bahwa pada faringitis dapat ditunda sampai dengan 9
antibiotika yang paling banyak digunakan hari sejak tanda pertama kali muncul dan tetap
adalah amoksisilin (79%), kotrimoksazol

ISSN : 2087-5045 81
SCIENTIA VOL. 5 NO. 2, AGUSTUS 2015

dapat mencegah komplikasi (Depkes RI, Departemen Kesehatan RI, lama terapi
2005). antibiotika untuk otitis media akut adalah 5
Pada pasien nomor 100, 103, 112, 116, hari (Depkes RI,2005), dan menurut standar
122, 124, 126, 130, 136, tidak tepat pemilihan Pharmacoterapy Dipiro lama terapi antibiotika
obat antibiotika karena antibiotika yang yang diberikan untuk otitis media akut dan
digunakan adalah siprofloksasin yang faringitis adalah 7-10 hari. (Dipiro, 2008)
merupakan antibiotika untuk pneumonia dan Pada pasien kategori usia anak- anak
bronkitis. Ketidak- tepatan pemilihan obat yang mendapatkan terapi kotrimoksazol sirup,
antibiotika pada pasien nomor 139 karena perhitungan dosis dengan menggunakan
antibiotika yang diberikan adalah metronidazol standar berat badan didapatkan hasil sebanyak
yang bukan antibiotika pilihan untuk ISPA. 12 pasien anak- anak mendapatkan takaran
Metronidazol adalah antibiotika yang kotrimoksazol yang kurang. Tetapi
berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi berdasarkan penandaan yang tertulis pada
bekerja fungisid terhadap jamur tertentu (Tjay, etiket sirup kotrimoksazol yang tersedia di
2010) tempat penelitian, takaran kotrimoksazol pada
Hasil analisa tepat pemilihan obat 12 pasien tersebut sudah tepat.
berdasarkan standar Pharmacoterapy Dipiro, Kotrimoksazol sirup yang digunakan
didapatkan hasil tepat pemilihan obat adalah kemasan 60 ml dengan komposisi : tiap
antibiotika sebesar 1,66 % dan tidak tepat sendok teh (5 ml) mengandung kotrimoksazol
pemilihan obat antibiotika sebesar 98,34 %. 240 mg. Pada etiket tertulis bahwa dosis
Hal ini berkaitan dengan gejala demam yang kotrimoksazol untuk :
menandakan adanya infeksi mikroorganisme.  Anak usia di bawah 6 bulan: 2x sehari ½
Demam berdurasi singkat dan tidak terdapat sendok teh.
tanda- tanda terlokalisasi, kemungkinan  Anak usia 6 bulan hingga 6 tahun : 2x
berkaitan dengan infeksi virus. Oleh karena itu sehari 1 sendok teh.
terapi antibiotika tidak diperlukan (Goodman, Pada penelitian ini dosis untuk 12 orang
Gilman, 2008). Infeksi virus cenderung untuk pasien anak tersebut ditetapkan sebagai tepat
berkurang pada 7-10 hari. Gejala yang dosis, karena sirup kotrimoksazol yang
menetap melebihi waktu tersebut atau gejala digunakan sudah mendapatkan ijin edar dari
yang memburuk biasanya menunjukkan infeksi Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
bakteri. (Dipiro, 2008) Republik Indonesia. Obat yang memiliki ijin
Analisa data menunjukkan bahwa edar harus memenuhi beberapa kriteria antara
umumnya antibiotika sudah diberikan saat lain penandaan berisi informasi yang lengkap
gejala muncul pada hari pertama. Influenza dan objektif yang dapat menjamin penggunaan
yang sering disebut sebagai common cold obat secara tepat, rasional dan aman.
(Priyanto, 2010) menurut standar Dipiro Penandaan berupa antara lain: komposisi,
terapinya menggunakan anti virus seperti khasiat/kegunaan, cara pemakaian. (BPOM,
amantadin dan rimantadin (Dipiro, 2008) 2003)
Dosis yang tidak tepat dapat Rute pemberian obat adalah jalur obat
menyebabkan kegagalan terapi atau timbul masuk ke dalam tubuh. Rute yang salah dapat
efek yang tidak diinginkan. Pada penggunaan berakibat obat yang diberikan tidak efektif.
antibiotika, dosis yang terlalu kecil atau kurang Jika obat diberikan tidak untuk kepentingan
dari dosis terapi dapat menimbulkan bahaya emergensi, obat harus diberikan secara oral
resistensi (Widjajanti, 1988). (Priyanto, 2010). Antibiotika oral menjadi
Hasil analisa tepat dosis antibiotika pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
didapat hasil tidak tepat dosis sebesar 14 %. infeksi sedang sampai berat dapat digunakan
Tidak tepat dosis berupa tidak tepat lama antibiotika parenteral (Kemenkes RI, 2011).
pemberian obat sebanyak 2,67% dan takaran Hasil analisa tepat rute didapatkan hasil tepat
antibiotika yang kurang dari standar sebanyak 100 %.
11,33%.
Tidak tepat lama pemberian antibiotika
terdapat pada pasien dengan diagnosa faringitis
dan otitis media akut. Antibiotika yang
diberikan adalah untuk 3 hari. Pada standar
Pharmaceutical Care untuk Penyakit ISPA

ISSN : 2087-5045 82
SCIENTIA VOL. 5 NO. 2, AGUSTUS 2015

KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan Kesehatan Departemen


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Kesimpulan Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke,
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008.
bahwa rasionalitas penggunaan antibiotika Pharmacotherapy : a Pathophysiologic
pada penyakit ISPA berdasarkan analisa Approach. 6th Edition, The McGraw-Hill
kualitatif yang telah dilakukan pada Puskesmas Companies Inc , New York.
Kuamang Kuning I, berdasarkan standar Direktorat Jenderal Pelayanan Kefaramasian
Pharmaceutical Care untuk Penyakit ISPA dan Alat Kesehatan Departemen
ditemukan tepat indikasi 100 %, tepat Kesehatan Republik Indonesia, 2006,
pemilihan obat 96,33 %, tepat dosis 86 %, Standar Pelayanan Kefarmasian di
tepat rute 100 %. Berdasarkan standar Apotik, Keputusan Menteri Kesehatan
Pharmacotherapy Dipiro ditemukan tidak tepat Republik Indonesia Nomor 1027/
pemilihan obat sebesar 98,34 % . Menkes/SK/IX/2004, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Goodman& Gilmann, 2008. Dasar
Saran Farmakologi Terapi. Edisi 10, Penerbit
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Buku Kedokteran EGC , Jakarta.
Kabupaten Bungo untuk dapat memberikan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
standar penggunaan antibiotika pada 2011. Pedoman Umum Penggunaan
pengobatan berbagai penyakit khususnya Antibiotik, Direktorat Jenderal Bina
pengobatan penyakit ISPA di wilayah kerja Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo Jakarta.
Mandal, B.K., Wilkins, E.G.L., Dunbar, E.M.,
Mayon White, R.T., 2008. Penyakit
DAFTAR PUSTAKA Infeksi, Edisi ke 6, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
BPOM, 2003, Keputusan Badan POM Nomor Priyanto, 2010, Farmakologi Dasar untuk
HK.00.05.3.1950 tahun 2003 tentang Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan,
Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Leskonfi, Jakarta.
Obat, Jakarta Setiabudy,S.G., Suyana, F.D., Purwatyastuti.,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4,
2005, Pharmaceutical Care untuk Infeksi Penerbit Ganiswara, Jakarta.
Penyakit Saluran Pernafasan, Direktorat Tambayong, J., 2000, Patofisiologi untuk
Bina Komunitas dan Klinik Dirjen Bina Keperawatan, Jakarta : EGC
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Tjay, T.H., 2010. Obat- Obat Penting. Edisi 6,
Jakarta Penerbit Gramedia , Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Widjajanti, V.N., 1998. Obat-Obatan,
2008, Materi pelatihan Peningkatan Kanisius, Semarang.
Pengetahuan dan Keterampilan Memilih
Obat bagi Tenaga Kesehatan, Direktorat
Bina Penggunaan Obat Tradisional
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2009, Pedoman Pengendalian Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut,
Direktorat Jenderal pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Hidup, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2013, Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS)2013 dalam Laporan
Nasional 2013, Badan Penelitian dan

ISSN : 2087-5045 83

You might also like