You are on page 1of 6

Mengatasi Kekuatiran Hidup

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th

Khotbah Ibadah Raya GBAP El Shaddai Palangka Raya


Minggu, 03 Maret 2013

Berdasarkan Ajaran Kristus dalam Matius 6:25-34

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak
kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu
pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada
pakaian?” (Matius 6:25)

Pendahuluan

Kekuatiran adalah “rasa takut tentang sesuatu hal yang belum pasti terjadi; merasa cemas; atau
merasa gelisah”. Kekuatiran hadir pertama kali dalam kehidupan manusia sebagai akibat dosa.
Kekuatiran merupakan dampak dari kejatuhan manusia pertama (Adam dan Hawa) dalam dosa.
Akibat dari kejatuhan itu, dosa telah menjalar kepada semua manusia dan menjangkau setiap
aspek natur dan kemampuan manusia: termasuk rasio, hati nurani, kehendak, hati, emosinya dan
keberadaannya secara menyeluruh (2 Korintus 4:4, 1Timotius 4:2; Roma 1:28; Efesus 4:18;
Titus 1:15).

Sebagaimana dosa bersifat universal, maka kekuatiran juga bersifat universal. Artinya, tidak ada
seorang pun manusia yang tidak pernah mengalami kekuatiran. Setiap orang pernah merasa
kuatir tentang sesuatu hal. Manusia selalu diserang oleh kekuatiran dan tekanan-tekanan hidup
yang dapat memperburuk keadaannya. Banyak orang yang kuatir mendererita kesulitan-kesulitan
jasmani seperti: gugup, tidak bisa tidur, gelisah, sakit kepala, sulit bernafas, keringat berlebihan,
dan sebagainya. Ketidakmampuan melepaskan diri dari kekuatiran dapat membawa seseorang
kepada keadaan yang lebih serius seperti stres, depresi dan gangguan mental lainnya, bahkan
bunuh diri. Itu sebabnya, Kristus memberikan pengajaran khusus tentang kekuatiran, dan
melarang sikap kuatir ini (Matius 6:25-34)

Bentuk-Bentuk Umum Kekuatiran

Bentuk kekuatiran yang dialami manusia secara umum, yaitu: Pertama, kuatir terhadap akibat
dari kejahatan atau kesalahan yang telah dilakukan. Tatkala Adam berdosa dengan cara
melanggar perintah, maka ia mulai sadar akan dirinya, menyadari kesalahannya, dan menjadi
takut kepada Tuhan. Ketakutan ini diekspesikan dengan menyembunyikan dirinya dari hadapan
Tuhan (Kejadian 3:7-11). yang menyatakan, “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka
tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.
Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu
pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di
antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan
berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?" Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa
Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku
bersembunyi." Firman-Nya: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau
telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” Saat ini,
banyak orang yang melakukan kesalahan atau kejahatan hidup di dalam ketakutan. Mereka kuatir
bahwa apa yang telah mereka lakukan diketahui orang lain, dan menyadari konsekuensi yang
akan dialami akibat perbuatan mereka tersebut. Supaya kesalahan atau kejahatan tersebut tidak
ketahuan, maka mereka berupaya sedemikian rupa untuk menutupinya. Tujuannya adalah supaya
dosa itu tidak diketahui orang lain! Tetapi justru hal ini yang menjadikan hidup mereka hancur
karena kekuatairan akan “terbongkarnya” kesalahan dan kejahatan terus membayangi hidup
mereka.

Kedua, kekuatiran pada realiatas kematian yang pasti akan dialami. Seseorang tidak dapat
memprediksi kapan kita mati. Masalah kematian merupakan misteri yang penuh dengan berbagai
teka-teki yang membingungkan. Kapan, dimana dan bagaimana seseorang mati adalah misteri
baginya. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan kematian itu akan datang menjemputnya. Tidak
ada seorang pun yang tahu pasti berapa panjang usianya di dunia ini. Bila kita melakukan riset
singkat ke kuburan, dan mencatat usia mereka yang meninggal, pastilah kita akan menemukan
berbagai jenis usia, mulai dari bayi, anak kecil, remaja, pemuda, dewasa, dan orang tua yang
usianya mungkin mencapai 100 tahun sesungguhnya kita tidak bisa mengukur atau menebak
berapa usia seseorang. Statistik dunia memberitahukan kita bahwa setiap dua setengah detik, ada
seorang manusia yang meninggal dunia. Bagaimana cara matinya pun bervariasi. Sekali lagi,
semua fakta memberikan kita teka-teki tentang misteri kematian, sekaligus memberikan tanda
peringatan agar kita bersiap-siap menghadapi kematian bila datang menjemput. Tetapi,
sayangnya banyak orang yang tidak siap ketika kematian kapan saja bisa datang menjemputnya.
Pilihan-pilihan dalam hidup kita sekarang ini akan menentukan kemana kita akan pergi setelah
kematian.

Ketiga, kekuatiran terhadap hidup dan kehidupan yang harus dijalani setiap hari. Orang yang
kuatir sedemikian tercekam tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Sampai mereka lupa
mengurus masa kini. Mereka ditandai oleh kekuatiran tentang segala macam hal. Hal-hal kecil
yang tak berarti akan dibesar-besarkan. Mereka kuatir kesulitan masa depan, kuatir tentang
kesehatan, kuatir tentang pekerjaan, kuatir tentang keluarga, dan lainnya yang sebnarnya hanya
ada dalam angan-angan mereka.

Alasan Mengapa Kita Tidak Perlu Kuatir?

Kristus memerintahkan agar kita tidak perlu kuatir tentang hidup kita, tentang apa yang kita
makan minum dan pakai, serta tidak perlu kuatir tentang masa depan kita (Matius Tetapi disini
perlu ditegaskan beberapa salah tafsir mengenai ajaran Yesus dalam Matius 6:25-34 ini, yaitu:
(1) Ada yang beranggapan bahwa orang Kristen tidak perlu bekerja. Ini adalah kesalahan dalam
memahami ayat 32. (2) Ada juga yang mengajarkan orang Kristen tidak perlu membuat rencana
mengenai masa depan mereka. Ini adalah kesalahan dalam memahami ayat 34. (3) Ada juga yang
salah memahami ayat 33 sehingga motivasinya bukan mencari kerajaan Allah dan kebenarannya,
tetapi mencari “semua yang akan ditambahkan”. Ini jelas keliru!
Berdasarkan yang dikatakan Tuhan Yesus tersebut beberapa alasan yang menjadikan kita tidak
perlu kuatir, yaitu:

Pertama, kita tidak perlu kuatir karena kita memiliki Allah Bapa yang mahabaik dan
berkemurahan (Matius 6:26,28-30). Dalam ayat 26 ini, Tuhan Yesus menguatkan lagi
kepercayaan kepada Bapa di Sorga dengan menggunakan contoh bagaimana Allah memelihara
burung-burung itu. Walaupun burung itu tidak menjalankan menabur dan menuai, serta
mengumpulkan dalam lumbung, namun binatang itu menerima makanan dari Tuhan. Kalau
Tuhan memelihara binatang itu, apalagi anak-anak-Nya, Ia pasti memelihara mereka. Sebagai
anak-anak Allah, kita mempunyai tempat yang lebih penting dan berharga daripada burung-
burung itu.

Kemudian, dalam ayat 28-32. Tuhan Yesus mengambil contoh “bunga bakung di ladang" untuk
melukiskan kasih Allah Bapa yang memelihara. Sebenarnya, Bunga Bakung yang dimaksudkan
disini kemungkinan besar adalah bunga anemone, yang banyak sekali di lereng gunung pada
bulan Februari dan Maret di Palestina, dengan warnanya yang ungu, sama dengan pakaian
kebesaran seorang raja. Kemudian yang dimaksud dengan “rumput” dalam ayat 30 mengacu
pada bunga-bunga anemone itu. Jadi, apa yang dimaksud dalam ayat 29 merujuk kepada Raja
Israel Salomo yang terkenal akan kekayaannya, bunga anemone yang begitu singkat umurnya,
dan yang tidak lama kemudian ikut terpotong bersama rumput yang dipakai sebagai bahan bakar
untuk memenuhi kebutuhan manusia (lihat Yakobus 1:11). Bunga itu, kata Yesus, mempunyai
“pakaian” lebih indah daripada raja Salomo. Dan semuanya itu, karena Allah yang
menghiasinya; karena bunga itu tidak bekerja dan tidak memintal untuk memperoleh “pakaian”
tersebut. Jadi, jikalau Tuhan sedemikian rupa memelihara bunga yang dianggap sebagai tidak
berharga, maka pastilah Bapa di Sorga akan memberi pakaian kepada anak-anak-Nya yang
percaya akan Dia dan yang mau taat kepada-Nya.

Sebagai anak-anakNya, kita perlu mengetahui bahwa merupakan kesenangan bagi Bapa
memenuhi semua kebutuhan kita. Yesus sendiri menegaskan “Akan tetapi Bapamu yang disurga
tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu” (matius 6:32b).

Kedua, kekuatiran tidak pernah menyelesaikan masalah-masalah kita (Matius 6:27). Pada ayat 27
ini, Tuhan Yesus ingin menegaskan bahwa kekuatiran itu tidak berguna. Walau makanan itu
penting bagi pertumbuhan seseorang, tetapi pertumbuhan itu sendiri Allahlah yang
mengendalikan. Waktu seorang anak bertumbuh menjadi dewasa. Allah menambahkan jauh
lebih daripada sehasta (46 cm). Para ahli Alkitab memberi arti istilah Yunani “tên hêlikian” atau
“tinggi badan” tersebut dengan pengertian “umur”. Sedangkan dan kata Yunani “Pêkhun hena”
atau “satu hasta” diartikan sebagai ukuran waktu (bukan ukuran tinggi badan). Naskah asli
Yunani di sini sebenarnya diterjemahkan menjadi "dengan kekuatiran, kamu tidak dapat
menambahkan satu hasta pada ketinggian badanmu". Tetapi karena jarang ada orang yang ingin
supaya tingginya bertambah dengan satu hasta, maka kebanyakan Ahli kitab menganggap
“hasta” sebagai waktu tambahan kepada umur. Dengan demikian jelaslah bahwa dengan
kekuatiran, kehidupan manusia tidak dapat diperpanjang.

Ringkasnya, kekuatiran tidak membantu kesulitan esok hari, tetapi benar-benar merusak
kebahagiaan hari ini. Semakin kita kuatir semakin sulit dan berat kehidupan yang kita jalani
karena itu jangan pernah membiarkan kekuatiran mengarahkan hidup kita. Sehari penuh
kekuatiran lebih melelahkan ketimbang sehari penuh bekerja. Kekuatiran akan hidup dan masa
depan adalah pemborosan masa sekarang. Jika kita tidak dapat menghindar dari rasa kuatir,
ingatlah kuatir juga tidak akan pernah membantu kita.

Ketiga, pilihan untuk tidak kuatir adalah sikap percaya dan ketaatan pada perintah Tuhan Yesus
Kristus. Tuhan memberikan perintah kepada kita untuk tidak kuatir. Berulang-ulang Ia
mengingatkan kita akan perintah tersebut yang mengatakan “janganlah kamu megkuatirkan
hidupmu! (Yunani: mê merimnate tê psukhê humôn)” (Matius 6:25). Tuhan mengajarkan agar
kita menyerahkan segala keinginan kita kepadaNya dalam doa dan permohonan dengan ucapan
syukur (Filipi 4:6).

Bagaimana mengatasi kekuatiran kita?

Pertama, percaya dan berserah kepada Tuhan. Perhatikan frasa "hai orang yang kurang percaya"
dalam ayat 30 ini adalah kata Yunani “oligopistoi” yang berari “hai yang beriman kecil”.
Ungkapan ini dipergunakan 4 kali dalam Injil Matius, satu kali dalam Injil Lukas, sebagai
dorongan pertumbuhan maupun tegoran yaitu “jangan menjadi orang yang kurang percaya!” atau
“jangan menjadi kuatir dan gelisah!” Sementara, bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah
hidup dalam kekuatiran karena mereka tidak mengenal Bapa di Sorga; tidaklah demikian dengan
orang-orang percaya yang mengenal Allah, Bapa yang mengetahui kebutuhan anak-anak-Nya
dan dengan murah hati memberi kepada kita.

Kata Yunani “dicari” dalam ayat 32 adalah “epizêtei” yang berarti “berusaha keras mencari”
yang bermakna “pencarian sekuat tenaga dengan kerja keras dan beban berat”. Orang-orang yang
tidak mengenal Allah mengejar meteri karena kekuatiran mereka dengan cara “epizêtei” ini.
Tuhan tidak menginginkan kita mengejar materi dengan cara seperti orang-orang yang tidak
mengenal Allah ini. Tuhan mau supaya kita mendahulukan mencari kerajaanNya dan
kebenaranNya. Saat kita melakukannya, semuanya itu akan ditambahkan kepada kita. Karena itu
tetaplah percaya dan setia pada Tuhan. Pemazmur mengatakan “Serahkanlah hidupmu kepada
TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5). Ketika kita tidak
memiliki apapun, selain Tuhan, itu cukup bagi kita, karena memang hanya Dia yang kita
perlukan! Kita akan selalu mengalami kesulitan jika berusaha mengatasi masalah hidup tanpa
Tuhan. Carilah Dia dengan segenap hati. Selanjutnya Pemazmur mengatakan lagi “TUHAN
menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh,
tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. Dahulu aku muda, sekarang
telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya
meminta-minta roti; tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak
cucunya menjadi berkat” (Mazmur 37:23-26).

Kedua, mencari kerajaan Allah dan Kebenarannya. Ayat 33 : Adalah ucapan yang monumental,
kalau Tuhan Yesus mengatakan: “Carilah (lebih) dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran Allah”.
Frase Yunaninya adalah “zêteite prôton tên basileian tou theou kai tên dikaiosunên autou”. Kata
“carilah” dalam ayat ini adalah “zeteite” berasal dari kata “zeteo” yang yang berarti “mencari”
adalah bentuk kata kerja aktif yang bermakna “menunjuk terjadinya keasyikan terus-menerus
ketika mencari sesuatu; berusaha dengan sungguh-sungguh dan tekun untuk memperoleh
sesuatu”. Sedangkan kata Yunani untuk kata “dahulu” dalam ayat 33 ini adalah “proton” yang
berarti “pertama dalam urutan atau kepentingan; menempati tempat yang tertinggi dari semua
kesenangan kita”. Ini artinya, kita diminta untuk mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenaran-
Nya diatas segala hal. Jadi prioritas pertama dan utama kita setiap hari adalah mencari kerajaan
Allah dan kebenaranNya. Dan saat kita melakukannya, maka kita akan mengalami “panta
prostethêsetai humin”, yaitu “semua akan diberikan dan ditambahkan kepadamu”. Kata Yunani
“prostithêmi” dapat diterjemahkan dengan “diberikan” atau “ditambahkan”. Kedua arti tersebut,
baik “diberikan” maupun “ditambahkan” dapat kita pergunakan secara bersama-sama. Hal ini
dapat dipahami karena Allah yang mengetahui kebutuhan kita, Ia juga akan menyediakan,
memberikan, dan menambahkan yang kita perlukan baik jasmani maupun rohani (Bandingkan 2
Korintus 9:8).

Lalu, apakah yang dimaksud dengan “mencari kerajaan Allah dan KebenaranNya?” Yang
dimaksud dengan frasa “tên basileian tou theou” atau “kerajaan Allah” adalah otoritas dan
pemerintahan Allah. Kita harus menempatkan sungguh-sungguh kepemimpinan, otoritas dan
supremasi Allah dinyatakan melalui kehidupan kita. Dengan mencari kerajaan Allah berarti
bahwa kita hendak melakukan dan memberlakukan kehendak dan otoritas Allah dalam setiap
aspek kehidupan kita. Sedangkan kata “tên dikaiosunên autou”, atau “kebenaran-Nya” disini
berkaitan dengan sifat atau karakter yang ada pada Allah. Mencari kebenaran disini berarti kita
berkata, bertindak dan bertingkah laku yang sesuai dengan karakter Allah. Pertama-tama
kebenaran yang kita cari adalah kedudukan kita yang benar dihadapan Allah melalui anugerah
yang kita terima dalam Kristus (Roma 5:17). Kedua, dengan augerahNya kita tetap berpegang
pada kebenaran melalui kasih dan ketaatan kepada Allah (Efesus 4:16). Dengan demikian,
mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaranNya berarti kita mengutamakan dan
memberlakukan terus menerus supremasi dan perintah Allah dalam hidup kita. Menempatkan
Allah sebagai yang pertama dan terutama, berarti kita merelakan Dia memerintah atas hidup kita.

Penutup

Tuhan kita, Yesus Kristus mengakhiri ajaranNya tentang kekuatiran ini dengan berkata, “Sebab
itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri.
Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34). Frase Yunani untuk ayat ini adalah “mê
oun merimnêsête eis tên aurion hê gar aurion merimnêsei ta eautês arketon tê hêmera hê kakia
autês”, dapat diterjemahkan menjadi “Janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok
akan mengurus persoalan-persoalannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”.
Terjemahan yang lebih ringkas tetapi tepat adalah sebagai berikut: "Biarkanlah besok mengurus
persoalan-persoalannya sendiri". Dalam bahasa Yunani, kata “merimnêsei” berarti “akan
mengkuatirkan” (kata kerja dalam bentuk future active indicative (future tense)) kadang-kadang
dipakai dengan arti "biarkanlah" (imperatif). Sedangkan yang dimaksud dengan frase
“Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari", mengandung makna bahwa kesusahan yang
dimaksud jelas jasmaniah maupun batiniah, mengacu kepada persoalan-persoalan yang mungkin
timbul. Dengan demikian maknanya jelas, bahwa kita tidak perlu menambahkan masalah esok
kepada masalah hari ini.

Tuhan mengetahui bahwa di dalam kehidupan kita masing-masing setiap hari ada persoalan,
entah kecil atau besar, yang harus kita hadapi dengan pertolongan Tuhan. Jika kita
mengkuatirkan hari esok, maka beban kita justru akan bertambah. Disini, kita mendapat
pelajaran yang berharga dari Yesus Kristus, Tuhan kita, agar kita “Janganlah kuatir tentang
apapun juga”. Hal yang sama juga dikatakan Paulus “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang
apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan
permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6). Demikian juga dengan Petrus yang menasihati
supaya “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1
Petrus 5:7). Amin.

You might also like