You are on page 1of 47

CASE REPORT

REGIONAL ANESTESI PADA BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


(BPH)

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. E.Cendra Pramana W Sp. AN

Disusun oleh:

Irfan Halim Perdana, S.Ked - J 510170093

BAGIAN ILMU ANESTESI


RSUD KABUPATEN SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
“Regional Anestesi Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)“

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Yang Diajukan Oleh :

Irfan Halim Perdana, S.Ked - J 510170093

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari

Pembimbing :

dr. E.Cendra Pramana W Sp. An (...................................)

Dipresentasikan di hadapan :

dr. E.Cendra Pramana W Cendra Sp. An (...................................)

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang sangat


berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter karena dapat mengurangi nyeri
dan memberikan bantuan hidup. Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani a =
tanpa dan aesthesis = rasa/sensasi yang berarti keadaan tanpa rasa sakit, dan
reanimasi berasal dari re = kembali dan animasi = gerak/hidup. Ilmu anestesi dan
reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk
“mematikan” rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman yang lain
sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana unuk menjaga/
mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami “kematian”
akibat obat anestesi.(1) Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran
yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi,
pengawasan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan
lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.(2)
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu(1) :
(1) Anestesi lokal/regional, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa
disertai hilangnya kesadaran, dan
(2) Anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan
oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh.
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya
dengan anestesi lokal / regional. Anestesi spinal merupakan salah satu macam
anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun
1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi
bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek
anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.
Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada daerah
abdominal bawah dan inguinal.(2,3)
Dalam pembedahan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat
mungkin terjadi saat pembedahan berlangsung. Usaha penanggulangan nyeri
terutama nyeri akut akibat trauma atau bedah, dilakukan untuk memperpendek

3
fase akut/katabolitik pasca trauma atau bedah sehingga pasien segera memasuki
fase anabolik dan proses penyembuhan luka lebih cepat.(3)
Penatalaksanaan BPH adalah tindakan bedah berupa prostatectomy. Pada
pembedahan ini menggunakan teknik anestesi spinal (subaraknoid). Tindakan ini
melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. BPH atau pembesaran prostat
jinak adalah kondisi ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun
tidak bersifat kanker dan memerlukan tindakan bedah secepatnya.(4)

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

4
Nama pasien : Tn. J
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Brenggalan RT 1/6 Tiyaran Bulu Sukoharjo
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 21 Februari 2018
Tanggal Keluar RS : 13 Maret 2018
No. rekam medik : 364xxx
Diagnosis Pre Operatif : BPH
Macam Operasi : Radical Prostatectomy
Macam Anestesi :Regional Anestesi dengan Teknik
Subarachnoid Block / Anestesi Spinal
Tanggal Operasi : 12 Maret 2018

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI


1. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
BAK tidak lampias
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik Bedah RSUD Sukoharjo
dengan keluhan BAK tidak lampias sejak 2 bulan yang lalu.
Keluhan disertai dengan BAK yang sering namun sedikit, BAK
pada malam hari tidak nyeri saat BAK, tidak disertai darah, yang
menurut pasien sangat mengganggu..
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes melitus : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat sakit jantung : diakui
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat penyakit yang sama : disangkal

5
 Riwayat mondok : diakui
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS : E4 V5 M6
Gizi : Baik
b. Vital Sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,2 0C

c. Keadaan Umum
1) Kepala
a) Bentuk : mesosefal, simetris, deformitas (-),
tanda trauma (-)
b) Rambut : putih, distribusi rata, tidak mudah
dicabut
c) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera
ikterik (-/-)
d) Mulut: tidak ada gangguan dalam membuka rahang,
tampak arkus faring, uvula dan palatum molle,
darah (-), susunan gigi baik, gigi bagian bawah
sudah tidak ada

2) Leher : retraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-),


peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar limfe (-/-)

3) Thorax :

6
a) Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
 Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
 Auskultasi : bunyi jantung S I-II irama regular,
bising jantung (-)
b) Pulmo :
 Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
 Palpasi : Fremitus kanan = kiri
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)

7
4) Abdomen :
 Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan dada,
tidak ada darm contour, tidak ada darm steifung,
ada luka bekas operasi
 Auskultasi : BU (+) dalam batas normal,
peristaltik (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-),
 Perkusi : timpani, pekakberalis (-)
5) Ekstremitas :
 Clubbing finger (-)
 Edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas (-/-)
 Akral hangat (+/+)

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tangggal : 21 Februari 2018

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


Hemoglobin 12,6 13.2 – 17.3 g/%
Hematokrit 37,7 40.0 - 52.0 Vol%
Leukosit 8,9 3.8 – 10.6 103/ul
Trombosit 185 150 – 450 mm3
Eritrosit 4,01 4.40 - 5.90 Juta/ul
MCV 94.0 80-100 Fl
MCH 31.4 26-35 Pg
MCHC 33.4 32 – 37 g/dl
Neutrofil% 57,4 53 – 75 %
Limfosit% 11,3 25.0-40.0 %
Monosit% 4,7 2-8 %
Eosinofil% 6,2 2-4 %
Basofil% 0.3 0.0-1.0 %
Gol Darah A
GDS 93 70-120 Mg/dl
Kreatinin 1,81 0.6-1.10 Mg/dl
Ureum 54,8 0-31 Mg/dl
Kontrol (PT) 11,30 Detik
Pasien (PT) 9,90 9,40-11,30 Detik
Kontrol (APTT) 34,50 25-35 Detik
Pasien (APTT) 37,8 25-35 Detik
HbsAg Non reaktif

8
b. EKG

Gambar 1. Hasil EKG

c. Ro Thorax

Gambar 2. Rontagen Thorax


Cor : Tak membesar

9
Pulmo : Tampak corakan bronchovasculer normal
Apex kedua pulmo tenang
Diafragma dan sinus baik
Sistema tulang intact
Kesan : Gbr. Bronchitis
Besar cor normal

4. Diagnosis
BPH
5. Terapi
Pasien ini dilakukan Radical Prostatrctomy dengan regional
anestesi
6. Kesimpulan
Seorang laki-laki usia 70 tahun dengan diagnosis BPH yang akan
dilakukan tindakan operasi radical prostatectomyh. Hasil laboratorium
darah dalam batas normal.
Kegawatan Bedah : (+)
ASA : II

C. LAPORAN ANESTESI
1. Pre Operatif
 Informed consent / persetujuan tindakan operasi dan anestesi
 Pasien puasa 8 jam pre operatif, untuk mencegah aspirasi lambung
dari regurgitasi dan muntah
 Keadaan umum dan vital sign baik (TD 138/87 mmHg, N
77x/menit, RR 20x/menit, S 36,5°C)
 Resusitasi cairan : Infus RL
 Preloading cairan (pasien 45kg):
= 10 x BB
= 10 x 45
= 450 cc
 Pengganti puasa (PP)
= 2 cc x BB/jam
= 2 x 45
= 90 cc/jam
= 720 cc/ 8jam
 Stresss operatif (SO)  (jenis operasi besar) :
= 8 x BB/jam
= 8 x 45

10
= 360 cc
 Maitenance (M)
= 2xBB/jam
= 2x45
= 90 cc/ jam

2. Rencana Anestesi
a. Persiapan operasi
a) Persetujuan operasi tertulis
b) Puasa 8 jam pre operatif
c) Infus RL 20 tetes / menit
b. Jenis anestesi : Regional anestesi
c. Teknik Anestesi : Sub Arachnoid Block
d. Premedikasi : Injeksi Ondancetron 4mg dan Ketorolac
30mg
e. Induksi : Bupivacain HCL 0,5 %
f. Monitoring : Tanda vital selama anestesi setiap 5 menit,
cairan, perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi
anestesi.
g. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

3. Tata Laksana Anestesi


a. Di Ruang Persiapan
a) Cek Persetujuan Operasi
b) Periksa tanda vital dan keadaan umum
c) Lama Puasa 8 jam
d) Cek obat-obatan dan alat anestesi
e) Infus RL 20 tetes/menit
f) Injeksi Ondancetron IV
g) Injeksi Ketorolac IV
h) Injeksi Bupivacain HCL (spinal)
i) Posisi terlentang
j) Katater : Terpasang
b. Di Ruang Operasi
 Anestesi mulai : 10.00 WIB Operasi mulai : 10.15 WIB
 Anestesi selesai : 10.40 WIB Operasi selesai : 10.40 WIB
a) Jam 09.45 WIB pasien masuk kamar operasi, manset dan
monitor dipasang, tekanan darah 137/80 mmHg, HR 77
x/menit, Saturasi oksigen 98 %

11
b) Jam 10.00 WIB mulai dilakukan anestesi spinal dengan
prosedur sebagai berikut :
1. Pasien diminta duduk dengan punggung flexi maksimal
2. Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung
bagian bawah pasien dengan menggunakan iodine 1 %.
3. Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal
dilakukan menyuntikkan jarum spinal no.25 pada bidang
median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang
horizontal kearah cranial pada ruang antar vertebra lumbal
3-4.
4. Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai
dengan menetesnya LCS, stilet dicabut dan disuntikkan
Bupivacain HCL 20 mg
5. Pasien dikembalikan pada posisi terlentang dan kepala
diekstensikan.
c) Jam 10.15 WIB operasi dimulai, selama operasi dimonitor
tanda vital dan saturasi O2 tiap 5 menit.
d) Pemantauan dan observasi hemodinamik tiap 5 menit stabil
e) Jam 10.40 WIB Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan.

f) Monitoring Selama Anestesi


Jam Nadi TD Sp02
10.05 75 137/87 98%
10.10 80 145/84 98%
10.15 79 136/77 99%
10.20 88 136/77 98%
10.25 85 104/60 98%
10.30 79 111/63 98%
10.35 83 116/76 98%
10.40 88 115/65 98%
Tabel 1. Monitoring Anestesi

c. Di Recovery Room

12
Pasien masuk Ruang RR pukul 10.40 WIB dalam Posisi Supine
(terlentang), sadar penuh, dimonitoring tanda vital, infuse RL,
diberikan O2 3 liter/menit.
Jam 11.00 WIB pasien dipindah ke bangsal.
d. Intruksi pasca anestesi
a) Posisi supine dengan oksigen 3 L/ mnt
b) Kontrol vital sign, TD < 100 mmHg infus dipercepat, beri
efedrin
c) Bila muntah diberi ondancetron dan bila kesakitan diberi
analgetik
d) Lain-lain
 Antibiotik sesuai Bedah
 Analgetik sesuai Bedah
 Puasa sampai dengan flatus
 Post operasi, cek Hb. Bila < 10 mg/dl tranfusi sampai Hb ≥
10
 Kontrol balance cairan
 Monitor vital sign

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. PERSIAPAN PRA ANESTESI


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.

13
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah (3)
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
3. Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau
pasca bedah.
4. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
5. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
a. ASA I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
b. ASA II : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang.
c. ASA III : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa.
d. ASA IV : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.
e. ASA V : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak
dalam 24 jam pasien akan meninggal.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) di belakang


angka, misal ASA I E.

Pemeriksaan praoperasi anestesi (1,2,3)


1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang / pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan

14
obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca
bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, dan
muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi
leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal
dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk
menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi.
Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior
3) Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV : palatum durum saja

15
Gambar 3. Pemeriksaan Mallampati
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional.

B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain (3)
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, missal : pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal : pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu

16
dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh
terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan
rencana anestesi yang akan digunakan. (3)
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini (3)
1. Sedatif, misalnya diazepam, difenhidramin,
promethazin, midazolam.
2. Analgetik opiat, misalnya petidin, morfin, fentanil,
analgetik non opiat.
3. Antikolinergik, misalnya sulfas atropin.
4. Antiemetik, misalnya ondansetron, metroklopramid.
5. Profilaksis aspirasi, misalnya cimetidin, ranitidin,
antasid.
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara: (3)
(1) Suntikan intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi
anestesi.
(2) Suntikan intravena, diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesi.
Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :
Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali lebih
kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk
anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin
1:200.000. derajat relaksasinya terhadap otot tergantung terhadap kadarnya.
Presentase pengikatannya sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini
dimetabolisasi menjadi pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih
5% dalam keadaan utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya
metabolit-metabolit lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama
dengan mepivakain dapat digunakan selama kehamilan dengan kadar 2,5-5

17
mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain adalah yang paling sedikit
melintasi plasenta.(5)
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah
1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS
disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah hiperbarik.
Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik yang
diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan dekstrosa.(1)
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (decain)
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 mL)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1, 027 Hiperbarik 5.15g (1-3mL)
Tabel 2. Anestesi Lokal

C. REGIONAL ANESTESI (SPINAL)


1. Definisi
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf
yang menginervasi regio tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi
impuls aferen yang bersifat temporer. (3)
2. Klasifikasi
a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal,
epidural, dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
b. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regiona intravena, dan lainnya. (1)
3. Anestesi Spinal
Anestesi spinal atau disebut juga subarachnoid block adalah
teknik anestesi regional dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebrae L2-L3 / L3-4 (obat
lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebh cenderung
berkumpul di kaudal). Indikasi penggunaan teknik anestesi spinal adalah

18
untuk pembedahan pada daerah abdominal bawah dan inguinal, anorektal
(1,3)
dan genitalia eksterna, serta ekstremitas inferior.
Anestesi spinal dengan ukuran jarum (spinocan) 22-29 dengan
“Pencil point” atau “Quincke point”. insersi dilakukan dengan
menyuntikkan jarum sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid
yanag ditandai dengan keluarnya cairan LCS. (1,3)

Gambar 4. Jenis Jarum Spinal


4. Keuntungan dan Kerugian
a. Keuntungan (7)
1) Murah
Dibandingkan dengan penggunaan gas dan obat anaesetesia lain,
biaya anestesi spinal dianggap lebih minimal.
2) Kepuasan pasien
Pasien lebih puas karena recovery time yang lebih cepat dan efek
samping yang lebih kecil.
3) Sistem respiratorik
Anaestesia spinal memberikan lebih sedikit efek pada sistem
respirasi bila dibandingkan General Anaesthesia. Respirasi bisa
spontan.
4) Manajemen Airway
Dikarenakan airway pasien tidak terganggu, lebih sedikit resiko
terjadinya obstruksi atau aspirasi dari isi lambung. Namun
keuntungan ini bisa hilang pada pemberian sedasi yang
berlebihan.
5) Pasien Diabetes Mellitus

19
Pada pasien yang sadar, akan lebih mudah melihat tanda
hipoglikemia.
6) Relaksasi otot
Spinal anaestesia memberikan efek relaksasi yang lebih baik
terutama pada abdomen inferior dan extremitas inferior.
7) Perdarahan
Perdarahan yang terjadi selama operasi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan general anaesthesia. Hal ini diakibatkan
berkurangnya tekanan darah dan denyut jantung serta
meningkatnya drainase vena.
8) Sistem Pencernaan
Fungsi normal pencernaan kembali lebih cepat setelah operasi.
9) Koagulasi
Komplikasi post-operatif trombhosis vena dalam dan emboli paru
lebih sedikit pada spinal anaesthesia.
10) Observasi dan post op care nya lebih mudah
b. Kerugian. (7)
1) Memerlukan banyak latihan terlebih dulu dalam pelaksanaan
induksinya
2) Kadang sulit menentukan dural space dan mendapatkan LCS.
Hal ini bisa diakibatkan karena teknik yang kurang tepat.
3) Hipotensi bisa terjadi saat terjadi blok di vertebrae yang lebih
tinggi.
4) Beberapa pasien merasa kurang siap secara mental dan
psikologis saat harus bangun selama operasi. Hal ini hendaknya
dijelaskan dulu pada pasien sebelum induksi dilakukan.
5) Walaupun penggunaan obat anestesia jangka panjang telah
digunakan, spinal anaestesia kurang cocok bila diberikan pada
operasi dengan durasi lebih dari 2 jam. Bila operasi ternyata
memerlukan waktu lebih panjang, perlu dipertimbangkan untuk
menggunakan general anaestesi.
6) Secara teori, ada resiko infeksi ke subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Hal ini bisa diminimalisasi dengan
penggunaan alat yang steril dan teknik aseptik-antiseptik yang
baik.
7) Dapat mengakibatkan Post Dural Puncture Headeache (PDPH)
5. Indikasi

20
Anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah dan inguinal, anorektal dan genitalia eksterna, serta
ekstremitas inferior. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama
anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat
lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat
diperpanjang sampai 2-3 jam. (3)
6. Kontra Indikasi
a. Kontra indikasi absolut (1)
1) Pasien menolak
2) Infeksi pada tempat suntikan
3) Hipovolemia berat, syok
4) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intra kranial meninggi
6) Fasiltas resusitasi minim
7) Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan anestesi
b. Kontra indikasi relatif (1)
1) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2) Infeksi sekitar suntikan
3) Kelainan neurologis
4) Kelainan psikis
5) Bedah lama
6) Penyakit jantung
7) Hipovolemia ringan
8) Nyeri punggung kronis

7. Anatomi

21
Gambar 5. Anatomi Columna vertebralis

Tulang punggung (kolumna vertebralis) terdiri dari 7 vertebra


servikal, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sakral menyatu
pada dewasa, dan 4-5 vertebra koksigeal menyatu pada dewasa. (1)
Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital.
Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens.
Garis lurus yang menghubungkan kedua krista iliaka tertinggi akan
memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara L4-L5. (1)
Medula spinalis diperdarahi oleh a. Spinalis anterior dan a.
Spinalis posterior. (1)
Beberapa jaringan yang akan ditembus jarum spinal antara lain(1):
a. Kulit
b. Lemak subkutan
c. Ligamen Suprasinosus
d. Ligamen Interspinosus
e. Ligamentum flavum
f. Ruang epidural
g. Durameter
h. Ruang subaraknoid

22
Medula spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh
cairan serebrospinalis, dibungkus meningen (durameter, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi
L3, dan sakus duralis berakhir setinggi S2. (1)
Cairan serebrosipinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang
berasal dari pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan
lateral. Cairan ini jernih tak berwarna mengisi ruang subaraknoid dengan
jumlah total 100-150 ml, sedangkan yang di punggung sekitar 25-45 ml. (1)

Gambar 6. Susunan Anatomis Jaringan

8. Fisiologi Spinal Anaestesia


Cairan anaestesia lokal diinjeksikan ke ruang sub arachnoid
untuk memblok konduksi impuls saraf, terutama di sekitar area injeksi.
Ada tiga jenis saraf: sensorik, motorik, dan otonom. Saraf motorik
mengatur kontraksi otot, dan bila di blok maka otot akan paralisis. Saraf
sensoris menerima rangsangan seperti nyeri dan sentuhan ke medulla
spinalis yang kemudian diteruskan ke otak, dan saraf otonom mengatur
diameter pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi –
fungsi yang tidak disadari. (1,3,7)
Secara umum, saraf otonom dan sensoris diblok terlebih dulu
baru saraf motorik. Hal ini akan menimbulkan beberapa efek, misal

23
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah saat saraf otonom di blok dan
pasien mungkin bisa tetap merasakan sentuhan namun tidak merasakan
nyeri. (1,3,7)
Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal (1,3,7) :
a. Pasien harus tetap dalam kondisi cukup cairan sebelum diinjeksi
anaestesi lokal dan tetap terpasang infus intravena selama operasi. Hal
ini bisa membantu fisiologis tubuh selain vasokonstriksi saat
terjadinya hipotensi.
b. Sebaiknya tidak bertanya “dapatkah anda merasakan ini?” berkali kali
pada pasien karena dapat menyebabkan pasien gelisah. Kadang
beberapa sensasi seperti tekan dan gerak masih terasa walaupun nyeri
sudah tidak. Lebih etis kita mencubit kulit dengan lembut
menggunakan klem arteri kemudian bertanya apakah masih sakit. Bila
tidak operasi bisa dilakukan.
Efek spinal anestesi (1,2,3,7)
a. Efek kardiovaskular
Akibat dari blok simpatis : penurunan tekanan darah. Vasodilatasi
arteri dan vena sehingga terjadi hipotensi.pencegahan dengan
pemberian cairan (preloading) untuk mengurangi hipovolemi relatif
akibat vasodilatasi sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi.
b. Efek respirasi
Hipoperfusi dari pusat nafas dibatang otak dapat terjadi respiratory
arrest. Bisa juga terjadi blok pada nervus Phrenicus sehingga
mengganggu gerakan diafragma dan otot perut yang dbutuhkan untuk
inspirasi dan ekspirasi.
c. Efek gastrointestinal
Mual dan muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20% terjadi karena
hiperperistaltik GI oleh aktivitas parasimpatik vagal.
d. PDPH (Post Dural Puncture Headache)
Disebabkan karena kebocoran cairan serebrospinal akibat tindakan
perusakan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan
LCS.
Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intrakranial
yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh darah, saraf, flak serebri,

24
dan meninges, dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS 20 ml.
PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan
diplopia, mual dan penurunan tekanan darah.(1,2,3)
Pencegahan dan penanganan : gunakan jarum sekecil mungkin
(pencil point), hindari penusukan jarum yang berulang-ulang, tusukan
jarum dengan bevel sejajar dengan serabut longitudinal durameter, bila
sudah terjadi : tetap posisikan pasien dalam kondisi tidur, hidrasi dengan
cairan yang adekuat, mobilisasi seminimal mungkin, berikan paracetamol.
(1,2,3)

e. Transient Radicular Iritation (Transient Neurologic Syndrom)


Kondisi ini ditandai dengan nyeri pada kedua tungkai yang menjalar
dari tulang belakang, disertai parestesi atau kesemutan yang dapat
berlangsung hingga 24-48 jam post anestesi. Hal ini banyak
dihubungkan dengan pangguanaan injeksi lidokain 5% hiperbarik
dosis tinggi pada subarachnoid yang memberi efek neurotoksik.
f. Cauda Equina Syndrom
Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Tanda-tanda
meliputi disfungsi otonomis, perubahan pengosongan kandung kemih
dan usus besar, pengeluaran keringat yang abnormal, kontrol
temperatur yang tidak normal dan kelemahan motorik. Penyebabnya
adalah trauma dan toksisitas. Ketika tidak terjadi infeksi traumatik
intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksi telah memasuki
LCS, bahan-bahan ini bisa menjadi kontaminan seperti detergen atau
antiseptik, atau bahan pengawet yang berlebihan. Penggunaan obat-
obat lokal anestesi yang tidak neurotoksik terhadap cauda equina
merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain
menghindari trauma pada cauda equina saat melakukan penusukan
jarum spinal.
g. Retensi urin
Blokade sakral menyebabkan atonia vesikaurinaria sehingga volume
urin di dalam vesika urinaria jadi lebih banyak. Blokade simpatis
eferan (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang

25
menghasilkan retensi urin. Spinal anestesi menurunkan 5-10% filtrasi
glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien hipovolemi.
Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang
karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonomik kecil dan
paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar.
Kateter urin harus dipasang bila anestesi atau analgesi dilakukan
dalam waktu lama. (1,2,3)
9. Perlengkapan Anestesi
Perlengkapan yang harus disiapkan sebelum melakukan blok
epidural / spinal antara lain : (1,3)
a. Monitor standar : EKG, tekanan darah, pulse oksimetri
b. Obat dan alat resusitasi: oksigen, bagging, suction, set intubasi
c. Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan
d. Sarung tangan, masker steril, kasa penutup steril
e. Perlengkapan desinfeksi dan duk steril
f. Obat anestesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi
lokal kulit dan jaringan subkutan.
g. Obat tambahan untuk anestesi epidural seperti narkotik dsb, serta
NaCl 0,9%.
h. Jarum spinal 24 – 25 gauge dengan ujung pensil untuk mengurangi
resiko PDPH.

10. Persiapan Pasien (1,2,3)


a. Pre-operatif visite
Pre operatif visite diperlukan untuk menganalisa keadaan umum
pasien, mengetahui kelainan-kelainan yang ada sebagai gambaran
komplikasi yang dapat terjadi. Juga memberikan informasi pada
pasien walaupun mungkin masih ada sensasi rasa tekan dan gerak saat
dianestesi, namun nyeri akan tidak terasa. Juga jelaskan bahwa akibat
anestesi, kaki akan terasa lemas, berat dan sedikit parasthesia.
b. Pre-loading cairan
Semua pasien spinal anaestesi harus diberikan cairan intravena
sebelum di anestesi. Jumlah cairan yang diperlukan bervariasi, sesuai
dengan umur dan lama operasi. Pada pasien muda yang sehat, untuk
operasi hernia perlu kurang lebih 1000 ml. Pasien tua yang sudah

26
tidak memiliki kemampuan vasodiatasi sebaik yang muda, serta
mungkin punya hipotensi mungkin perlu 1500 ml untuk operasi yang
sama. Untuk operasi caesar perlu setidaknya 1500 ml. cairan yang
digunakan bisa ringer lactate. Umumnya untuk dewasa 10 – 20
ml/kgBB selama 15 menit.
c. Penderita untuk operasi elektif dipuasakan setidaknya 6 jam
d. Premedikasi
Adalah tindakan yang penting disamping persiapan anestesi lainnya.
Maksud dan tujuan premedikasi adalah :
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien karena menghilangkan
rasa cemas dan takut, menimbulkan sedasi, amnesia dan analgesi.
2) Mencegah muntah
3) Memudahkan induksi
4) Mengurangi dosis obat anestesi
5) Mencegah terjadinya hipersekresi traktus respiratorius

Obat yang bisa digunakan adalah (5):


1) Sulfas atropin
Obat ini dapat mengurangi sekresi traktus respiratorius dan
merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronkial
dan kardial yang berasal dari parasimpatis akibat rangsangan
obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,4 - 0,6
mg) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan
perangsangan nervus vagus.
2) Pethidin
Adalah derivat fenil disperidin, suatu obat sintetik dengan rumus
molekul yang berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek
dan efek samping yang sama dengan morfin.
Efek analgesi hampir sama dengan morfin, tetapi mula kerja dan
masa kerjanya lebih singkat. Efek sedasi, euforia, dan eksitasi
hampir sama dengan morfin tetapi pethidin dapat menyebabkan
kedutan dan tremor akibat rangsangan SSP. Pada sistem respirasi
akan mendepresi dan menekan reaksi pusat pernafasan terhadap
rangsangan CO2. Obat ini juga menigkatkan kepekaan terhadap
alat keseimbangan sehingga menimbulkan muntah, pusing

27
terutama pada penderita rawat jalan, obat ini dapat mengatasi
kejang.
Pethidin biasa digunakan untuk nyeri berat atau pada penderita
dengan terapi inhibitor monoamin oksidase, karena tidak adanya
kemampuan untuk memetabolisme pethidin sehingga dapat
menyebabkan koma. Dosis pethidin untuk dewasa 1mg/kgBB
IM. Efek analgetik tercapai 15 menit, efek puncak 45-60 menit
durasinya 3-4 jam.

3) Diazepam
Merupakan obat hipnotik sedatif sebagai premedikasi untuk
menghilangkan rasa takut dan gelisah serta sebagai anti konvulsi
yang baik. Dapat mendepresi pusat pernafasan dan sirkulasi.
e. Pengaturan posisi pasien
Ada dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum / kateter epidural yaitu : posisi lateral dengan lutut ditekuk ke
dada, posisi lainnya adalah posisi duduk fleksi dimana pasien duduk
dipinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Fleksi akan membantu
identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra
sehingga dapat mempermudah akses ke ruang epidural. Penentuan
posisi ini didasarkan pada kondisi pasien dan kenyamanan ahli
anestesi. (1,2,3)

Gambar 7. Posisi Tulang Belakang saat Fleksi (kiri) dan


Ekstensi (Kanan)
11. Obat Anastetik Lokal Untuk Spinal Anestesia
Ada 3 jenis obat sesuai dengan kondisi LCS yaitu : Hiperbarik
(lebih berat), Hipobarik (lebih ringan), dan isobarik (sama beratnya
dengan LCS). Cairan Hiperbarik cenderung menyebar ke bawah tingkat

28
injeksi, sementara isobarik tidak. Lebih mudah untuk memprediksi
penyebaran spinal anaestesia bila menggunakan jenis hiperbarik. Larutan
isobarik bisa juga diubah menjadi hiperbarik dengan menggunakan
tambahan dextrose. (1,2,5)
a. Bupivakaine
Obat ini berjenis hiperbarik 0,5%. Saat ini buvicaine merupakan salah
satu obat paling baik. Durasi bupivacain cukup panjang, umumnya
mencapai 2 -3 jam.
b. Lignocaine
Obat ini juga berjenis hiperbarik 5%. Durasi anestesi lidokain kurang
lebih 45-90 menit. Efek lidokain bisa diperpanjang dengan
menambahkan adrenalin 1:1000.
Lidocain multi-dose sebaiknya tidak digunakan intratekal karena
berpotensi menyebabkan kerusakan. Gunakan selalu ampul single.
c. Cinchocaine
Larutan hiperbarik 0,5 %, hampir seperti bupivacain.
d. Amethocaine
1% larutan ini bisa dicampur dengan dextrose, saline atau aquades
untuk injeksi.
e. Mepivacaine
Larutan hiperbarik 4%, mirip lignocaine.
12. Teknik Anestesi
Cara melakukan anestesi spinal: (1,2,3)
a. Perlu mengingatkan pasien tentang hilangnya kekuatan motorik dan
berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya bersifat sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi
obat anestesi lokal
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi.
d. Inspeksi : “Garis Tuffier”, garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi
krista iliaka kanan dan kiri akan memotong garis tengah punggung
setinggi L4-L5.

29
G
Gambar 8. Lokasi Injeksi pada Spinal Anaestesi

e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis

Gambar 9. Palpasi Ruang Intervertebrae


f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal ke arah cranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir
ditembus adalah durameter subarachnoid.

30
Gambar 10. Sudut Injeksi pada Tulang Belakang
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid.
Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor keadaan tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama,
jika terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal ephedrin IV 5 mg, infus
500 – 1000 ml NaCl cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
13. Kondisi Medis Khusus Yang Perlu Diperhatikan Pada Spinal
Anaestesi (2)
a. Pasien dengan Gangguan Pernafasan
Spinal blok rendah tidak memiliki efek pada sistem respirasi dan
cocok pada pasien dengan gangguan pernafasan kecuali dengan batuk
sering. Batuk sering menyebabkan ketidaknyamanan pada operator
dan asisten. Blok spinal tinggi bisa menyebabkan kelumpuhan otot
intercostalis.
b. Hipertensi
Hipertensi sebenarnya bukan merupakan kontraindikasi anestesi
spinal, namun sebaiknya dikontrol dulu sebelum dilakukan anestesi.
Pasien dengan hipertensi harus terus dipantau dan bila terjadi
hipotensi harus segera ditangani.
c. Sickle cell disease (anemia sel sabit)
Yang penting adalah pastikan pasien mendapatkan cukup oksigen,
cukup cairan dan jangan sampai terjadi hipotensi. Pertimbangkan
menghangatkan cairan intravena dan pastikan pasien jangan sampai
hipotermi. Serta hindari penggunaan torniquet.
14. Komplikasi Pada Spinal Anestesi (1)

31
a. Hipotensi
Hipotensi disebabkan sympathectomy temporer, komponen blokade
midthoracic yang tidak dapat dihindari dan tidak diinginkan.
Berkurangnya venous return dan penurunan afterload menurunkan
maternal mean arterial pressure (MAP). Hal ini dapat disebabkan oleh
karena posisi terlentang terjadi kompresi parsial atau total vena kava
inferior dan aorta oleh masa uterus.
b. Blokade Spinal total
Penyebab tersering, oleh karena pemberian dosis agen analgesia jauh
melebihi toleransi. Hipotensi dan apneu cepat timbul dan harus segera
diatasi untuk mencegah henti jantung.
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
Kebocoran cairan serebrospinal dari tempat pungsi meninges
dianggap merupakan faktor utama timbulnya sakit kepala. Dengan
tetap berbaring 24 jam pasca operasi, nyeri kepala jelas membaik pada
hari ketiga dan menghilang pada hari kelima.
d. Disfungsi kandung kencing
Dengan anelgesi spinal, sensasi kandung kencing mungkin
dilumpuhkan dan pengosongan kandung kencing terganggu selama
beberapa jam setelah pembedahan.
e. Arakhnoiditis dan meningitis
15. Penatalaksanaan Komplikasi (2,7)
a. Hidrasi akut
Sebelum induksi harus dipasang infus intravena, dengan memberikan
cairan kristaloid sebanyak 1000 – 1500 ml tidak menimbulkan bahaya
overhidrasi. Dianjurkan pemberian cairan tidak mengandung
dekstrosa, karena infus dekstrosa 20 g/jam atau lebih sebelum
melahirkan menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah
dilahirkan. Hal ini disebabkan pankreas bayi yang cukup umur akan
menaikkan produksi insulin sebagai reaksi atas glukosa yang melewati
sawar uri.
b. Pemberian Vasopressor
Pemberian efedrin, seringkali dipakai untuk pencegahan maupun
terapi hipotensi. Obat ini merupakan suatu simpatomimetik non
katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak langsung.

32
Meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui
stimulasi adrenegik alfa dan beta, menimbulkan bronkhodilatasi
melalui stimulasi reseptor beta 2.
c. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat – obat narkotik, anestesi
umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang
berat. Faktor – faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya FRC sehingga kemampuan paru – paru untuk
menyimpan O2 menurun.
2) Naiknya konsumsi oksigen.
3) Airway closure.
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine.
16. Terapi Cairan (1,6)
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk (1,6):
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
(1,6)
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB /
jam. Setiap kenaikan suhu 1o Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 -
15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 2- 4 ml/kgBB/jam
2) Sedang = 4 - 6 ml / kgBB/jam
3) Berat = 6 - 8 ml / kgBB/jam

33
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3
kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran
dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

17. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca anestesi. Ruang pulih
sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal
atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya. (1,2,3)
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Maka dilakukan penilaian dengan aldrete score pada
Tabel 3. (3)

Aldrete Score Jam ke Jam ke Jam ke Jam ke


1/ 15’ 2/15’ 3/15’ 4/15’
Aktivitas
Gerak ke 4 extremitas atas perintah 2
Gerak ke 2 extremitas atas perintah 1
Tidak respon 0
Respirasi
Bisa bernafas dalam dan batuk 2
Dispnoe, hipoventilasi 1
Apnoe 0
Sirkulasi
Perubahan sirkulasi <20% dari TD PreOP 2
Perubahan sirkulasi 20-50% dari TD PreOP 1
Perubahan sirkulasi > 50% dari TD PreOP 0

34
Kesadaran
Sadar Penuh 2
Dapat dibangunkan 1
Tidak respon 0
Warna kulit
Merah 2
Pucat 1
Sianotik 0
Aldrete skor > 7  boleh pindah ke ruang perawatan.
Tabel 3. Aldrete Scoring System

D. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)


1. Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat
jinak adalah kondisi ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan,
namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat merupakan sebuah kelenjar
berukuran kecil yang terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih
dan penis.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang berfungsi untuk
menyuburkan dan melindungi sel-sel sperma. Pada saat terjadi ejakulasi,
prostat akan berkontraksi sehingga cairan tersebut akan dikeluarkan
bersamaan dengan sperma, hingga menghasilkan cairan semen. (4)
Karena kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria, maka tentu saja
seluruh penderita BPH adalah pria. Umumnya pria yang terkena kondisi
ini berusia di atas 50 tahun. Banyak penderita yang berpikiran bahwa
menderita BPH berarti memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita
kanker prostat. Ternyata anggapan ini tidak benar, karena hingga saat ini
masih belum ditemukan keterkaitan antara BPH terhadap peningkatan
risiko kanker prostat.
2. Gejala
Berikut ini gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita
pembesaran prostat jinak (BPH):

35
1. Selalu ingin berkemih, terutama pada malam hari.
2. Nyeri saat buang air kecil.
3. Inkontinensia urine atau beser.
4. Sulit mengeluarkan urine.
5. Mengejan pada waktu berkemih.
6. Aliran urine tersendat-sendat.
7. Mengeluarkan urine yang disertai darah.
8. Merasa tidak tuntas setelah berkemih.

Munculnya gejala-gejala tersebut disebabkan oleh tekanan pada


kandung kemih dan uretra ketika kelenjar prostat mengalami pembesaran.
Konsultasi pada dokter disarankan jika seseorang merasakan gejala
BPH, meski ringan. Pemeriksaan sangat diperlukan mengingat ada
beberapa kondisi lain yang gejalanya sama dengan BPH, di antaranya:

a. Prostatitis atau radang prostat.


b. Infeksi saluran kemih.
c. Penyempitan uretra.
d. Penyakit batu ginjal dan batu kandung kemih.
e. Bekas luka operasi pada leher kandung kemih.
f. Kanker kandung kemih
g. Kanker prostat.
h. Gangguan pada saraf yang mengatur aktivitas kandung kemih.

3. Penyebab
Sebenarnya penyebab persis pembesaran prostat jinak (BPH)
masih belum diketahui. Namun kondisi ini diperkirakan terjadi karena
adanya perubahan pada kadar hormon seksual akibat proses penuaan.
Secara umum, prostat akan terus tumbuh seumur hidup. Pada
beberapa kasus, prostat akan terus berkembang dan mencapai ukuran yang
cukup besar sehingga secara bertahap akan menghimpit uretra. Uretra
yang terjepit ini menyebabkan urine susah keluar, sehingga terjadilah
gejala-gejala BPH seperti yang telah disebutkan di atas.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena
BPH adalah:
1. Kurang berolahraga dan obesitas.
2. Faktor penuaan.
3. Menderita penyakit jantung atau diabetes.
4. Efek samping obat-obatan penghambat beta (beta blockers).
5. Keturunan.

36
4. Diagnosis

Dalam mendiagnosis pembengkakan prostat jinak (BPH), dokter


akan menanyakan gejala yang dirasakan oleh pasien terlebih dahulu,
misalnya:
 Apakah aliran urine sering lemah atau tersendat-sendat?
 Seberapa sering pasien merasa berkemih tidak sepenuhnya tuntas?
 Seberapa sering pasien terbangun di malam hari untuk berkemih?
 Seberapa sering pasien mengejan untuk mulai berkemih?
 Apakah pasien sering sulit menahan keinginan untuk berkemih?
 Apakah pasien berkemih lebih dari satu kali dalam kurun waktu
dua jam?
Guna mengetahui ukuran kelenjar prostat secara fisik, dokter akan
melakukan pemeriksaan colok dubur.
5. Pemeriksaan penunjang

Ada beberapa jenis tes lanjutan yang bisa dilakukan untuk


mendiagnosis BPH, antara lain:
a. Tes urine.
Tes ini dilakukan jika dokter mencurigai gejala yang dirasakan
oleh pasien bukan disebabkan oleh BPH, melainkan oleh kondisi
lainnya, seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal.
b. Biopsi prostat.
Dokter akan mengambil sampel jaringan prostat pasien untuk
diperiksa secara seksama di laboratorium.
c. Tes darah.
Komponen yang diperiksa dalam tes ini adalah protein prostat
spesifik antigen (PSA), yaitu suatu protein yang dihasilkan Jika
kadar PSA pasien tinggi, maka kemungkinan pasien menderita
BPH juga akan besar. Jika kenaikan tersebut terjadi secara
signifikan, maka risiko pasien untuk terkena kanker prostat juga
ada.
d. Tes kelancaran aliran urine.
Dalam pemeriksaan ini, dokter akan memasukkan kateter yang
dilengkapi kamera ke dalam saluran kemih pasien. Melalui
monitor, dokter akan dapat melihat besarnya tekanan di dalam

37
kandung kemih dan seberapa baik kinerja organ tersebut saat
pasien berkemih.
e. Tes neurologi.
Dokter akan memeriksa secara singkat kesehatan mental serta
sistem saraf pasien untuk membantu mendiagnosis adanya
gangguan buang air kecil karena penyebab lain selain
pembesaran prostat.
f.CT urogram.
Metode pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui keadaan
saluran kemih pasien, misalnya apakah ada kerusakan pada
saluran tersebut atau apakah ada penyumbatan yang disebabkan
kondisi selain BPH, seperti penyakit batu kandung kemih atau
batu ginjal.
g. Pielografi intravena.
Pada prosedur ini, dokter menyuntikkan bahan kontras melalui
pembuluh darah lalu mengambil gambaran ginjal dengan foto
Rontgen, untuk memeriksa fungsi ginjal dan aliran urine dari
ginjal menuju kandung kemih.
h. USG transrektal atau USG melalui dubur.
Melalui pemeriksaan dengan menggunakan gelombang suara
ini, dokter akan mendapatkan gambar kelenjar prostat dan
bagian di sekelilingnya secara lebih rinci guna mengetahui
apakah pasien menderita BPH atau kondisi lainnya seperti
kanker.

i.Sistoskopi.
Dokter akan memasukkan sistoskop untuk memeriksa keadaan
uretra dan kandung kemih dari dalam.
Selain untuk memastikan bahwa gejala yang dirasakan oleh pasien
adalah akibat BPH dan bukan disebabkan oleh kondisi-kondisi lainnya,
tes-tes lebih lanjut juga dapat membantu dokter memberikan pengobatan
yang tepat.
6. Pengobatan

38
Penanganan BPH berbeda-beda pada setiap penderitanya. Dokter
akan memilih jenis penanganan yang paling sesuai berdasarkan beberapa
faktor seperti:
1. Kondisi kesehatan penderita secara umum.
2. Tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penderita.
3. Usia penderita.
4. Ukuran prostat.
Penanganan pembesaran prostat jinak (BPH) sendiri dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu penanganan BPH dengan gejala ringan
dan penanganan BPH dengan gejala sedang hingga parah.
BPH ringan biasanya cukup ditangani dengan obat-obatan, terapi
menahan berkemih, dan perubahan gaya hidup.
Obat BPH yang sering digunakan adalah dutasteride dan
finasteride. Obat yang mampu menurunkan ukuran prostat dan meredakan
gejala BPH ini bekerja dengan cara menghambat efek dari hormon
dihidrotestosteron. Namun penggunaan kedua obat ini tidak boleh
sembarangan dan harus melalui petunjuk dari dokter karena memiliki efek
samping yang cukup serius. Beberapa efek samping dari dutasteride dan
finasteride adalah turunnya kuantitas sperma, impotensi, dan risiko cacat
bayi jika penderita menghamili perempuan saat sedang menjalani
pengobatan dengan kedua obat ini.

Selain dutasteride dan finasteride, obat BPH lainnya yang juga


sering digunakan adalah golongan penghambat alfa, seperti alfuzosin dan
tamsulosin. Obat penghambat alfa ini biasanya dikombinasikan dengan
finasteride. Obat ini mampu memperlancar laju urine dengan cara
melemaskan otot-otot kandung kemih. Efek samping yang mungkin terjadi
setelah mengonsumsi alfuzosin dan tamsulosin adalah badan lemas, sakit
kepala, dan turunnya kuantitas sperma. Sedangkan efek samping yang
lebih serius dari kedua obat ini adalah berupa risiko terjadinya hipotensi
(tekanan darah rendah) atau bahkan pingsan.
Selain obat-obatan di atas, dokter juga dapat meresepkan obat
disfungsi ereksi, seperti tadalafil, untuk menangani kasus pembesaran
prostat yang menyebabkan penderitanya mengalami disfungsi ereksi.

39
Terapi menahan kemih. Terapi ini dilakukan di bawah bimbingan
medis. Di dalam terapi ini pasien akan diajarkan bagaimana cara menahan
keinginan berkemih setidaknya dalam jeda waktu dua jam antara tiap
berkemih, termasuk diajarkan bagaimana cara mengatur pernapasan,
mengalihkan pikiran ingin berkemih, serta relaksasi otot.
Perubahan gaya hidup yang dimaksud adalah dengan:
a. Mulai berolahraga secara teratur, misalnya berjalan kaki tiap
hari selama setengah hingga satu jam.
b. Mulai mengurangi atau berhenti mengonsumsi kafein dan
minuman keras.
c. Mencari jadwal minum obat yang tepat agar terhindari dari
nokturia (meningkatnya frekuensi buang air kecil sepanjang
malam).
d. Mulai membiasakan diri untuk tidak minum apa pun dua jam
sebelum waktu tidur agar terhindar dari nokturia.
Sedangkan cara untuk menangani BPH dengan tingkat keparahan
gejala sedang hingga parah adalah melalui operasi, yaitu:

a. Reseksi prostat transuretral (TURP). Prosedur yang


dilakukan dengan bantuan alat yang disebut resektoskop ini
bertujuan untuk menurunkan tekanan pada kandung kemih
dengan cara menghilangkan kelebihan jaringan prostat. Efek
samping operasi TURP adalah pembengkakan uretra. Karena itu
pasien yang menjalani TURP biasanya tidak akan bisa berkemih
secara normal selama dua hari dan harus dibantu dengan
menggunakan kateter. Alat ini akan dilepas dokter setelah
kondisi uretra pulih kembali. Selain efek samping, operasi
TURP juga dapat menimbulkan komplikasi berupa ejakulasi
retrograde, yaitu sperma tidak akan mengalir melalui penis
melainkan masuk ke dalam kandung kemih.
b. Vaporisasi prostat transuretral (TUVP). Tujuan prosedur ini
hampir sama dengan TURP. Namun dalam TUVP, bagian
prostat yang ditangani akan dihancurkan dan tidak dipotong.
Jika penghancuran jaringan prostat dalam prosedur TUVP

40
dibantu dengan sinar laser, maka metode tersebut dinamakan
photovaporization (PVP).
c. Transurethral microwave thermotherapy (TUMT). Dokter
akan memasukkan alat yang dapat memancarkan gelombang
mikro ke area prostat melalui uretra. Energi gelombang mikro
dari alat tersebut akan menghancurkan bagian dalam dari
kelenjar prostat yang membesar, sehingga mengecilkan ukuran
prostat serta memperlancar aliran urine. Prosedur ini umumnya
hanya dilakukan untuk BPH yang ukurannya tidak terlalu besar
dan sifatnya hanya sementara, sehingga seringkali dibutuhkan
TUMT ulangan.
d. Transurethral needle ablation (TUNA). Dokter akan
menancapkan jarum-jarum pada kelenjar prostat pasien,
kemudian gelombang radio akan dialirkan pada jarum-jarum
tersebut. Efeknya, jaringan prostat yang menghalangi aliran
urine akan memanas dan hancur. Sama seperti TUMT, tindakan
ini hanya bersifat sementara sehingga dibutuhkan terapi
ulangan.
e. Insisi prostat transuretral (TUIP). Prosedur ini menggunakan
alat yang sama dengan TURP, yaitu resektoskop. Namun pada
TUIP, dokter akan memperluas saluran uretra agar urine bisa
mengalir secara lancar dengan cara membuat irisan pada otot
persimpangan antara kandung kemih dan prostat. Efek samping
prosedur ini sama dengan TURP, yaitu pasien tidak akan bisa
berkemih secara normal selama waktu tertentu dan harus
dibantu dengan menggunakan kateter. Prosedur ini berisiko
lebih rendah dalam menyebabkan ejakulasi retrograde.
f. Prostatektomi terbuka.
Di dalam prosedur ini, dokter akan mengangkat prostat secara
langsung melalui irisan yang dibuat pada perut. Prosedur ini
awalnya dianggap sebagai prosedur paling efektif untuk
mengobati kasus BPH parah. Namun seiring munculnya metode

41
lain, seperti operasi prostat transuretral, prostatektomi terbuka
jarang lagi digunakan pada saat ini.
g. Holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP). Tujuan
prosedur ini sama seperti TURP, yaitu untuk menurunkan
tekanan pada kandung kemih dengan cara menghilangkan
kelebihan jaringan prostat. Di dalam HoLEP, jaringan prostat
berlebih akan dihilangkan dengan sinar laser dari sebuah alat
khusus yang dimasukkan melalui uretra.
h. Prostatic urethral lift implants. Tujuan dilakukannya prosedur
ini adalah untuk meredakan gejala-gejala gangguan berkemih
dengan cara mengganjal pembesaran prostat agar tidak
menyumbat saluran uretra menggunakan sebuah implan kecil.
Dibandingkan dengan TURP atau TUIP, risiko terjadinya efek
samping berupa gangguan fungsi seksual dan kerusakan
jaringan dalam prosedur prostatic urethral lift implants terbilang
lebih kecil.

7. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah
pada komplikasi akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam
mengosongkan urin. Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul
antara lain:
1. Infeksi saluran kemih.
2. Penyakit batu kandung kemih.
3. Retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih.
4. Kerusakan kandung kemih dan ginjal.
Komplikasi-komplikasi tersebut dapat muncul apabila pembesaran
prostat jinak yang terjadi tidak diobati secara efektif.
8. Pencegahan
Risiko pembesaran prostat jinak (BPH) dapat dicegah melalui
konsumsi makanan yang kaya akan serat dan protein, serta rendah lemak.
Berikut ini contoh-contoh makanan dengan kadar serat tinggi:

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pembedahan yang akan dilakukan yaitu berupa radical


prostatectomy diperlukan tindakan anestesi untuk menghilangkan rasa nyeri yang
ditimbulkan akibat pembedahan tersebut. Sebelum anestesi dilakukan perlu
dilakukan tindakan pre anestesi.
Permasalahan pada kasus ini :

A. Permasalahan dari segi medik


Pada pasien ini kondisi medis pasien dalam batas normal, tetapi
ditemukan penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi jalannya operasi dan
proses penyembuhan post operasi yaitu penyakit jantung, tetapi terkontrol

B. Permasalahan dari segi bedah


Perdarahan

C. Permasalahan dari segi Anestesi


Pada pasien dengan anestesi regional spinal dapat terjadi: hipotensi,
kejang, hipoventilasi, mual-muntah, post operatif headache
Pada kasus ini dilakukan anestesi spinal, saat operasi terjadi penurunan
tekanan darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal biasanya
sering terjadi. Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 100 mmHg atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi
untuk menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, diantaranya dengan
memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus. Selain itu dapat
diberikan injeksi efedrin HCl 5 mg IV.
Hipotensi terjadi karena :

43
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
2. Penurunan resistensi perifer.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk
mengatasi bradikardi yang terjadi dapat diberikan Sulfas atropin 0,25 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernapasan, abdominal dan intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat
mengalami kesulitan bernapas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu
pemberian oksigen yang adekuat. Pada kasus ini disiapkan pemberian
oksigen 3 lpm.
Terapi cairan
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 45 kg)
1. Defisit cairan karena puasa 8 jam = 2 X 45 X 8 = 720 cc
2. Kebutuhan cairan selama operasi dan karena trauma operasi besar selama
40 menit (0,70 jam) = kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi
besar
= (2 X 45 X 0,70) + (6 X 45 X 0,70) = 63 + 189 = 252 cc
3. Perdarahan selama operasi 100 cc
EBV = 75 X 45 kg = 3375 cc.
Kehilangan darah = 500/3375 X 100% = 14,81 % dari EBV.
4. Jadi kebutuhan cairan total = 720 + 252 + 100 = 1.072 cc
5. Jumlah cairan yang telah diberikan :
a. Pra anestesi : 500 cc
b. Saat operasi : 500 cc
Total cairan yang diberikan 1000 cc, kurang 72 cc, sehingga pengawasan
terhadap pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di bangsal
ditambah kebutuhan cairan per hari selama 24 jam.
Setelah selesai operasi, kondisi pasien distabilkan dulu sebelum dipindah
ke bangsal. Perhatikan selalu tanda vital pasien. Setelah stabil, pasien dibawa
ke bangsal. Yang harus diperhatikan yaitu:
 Pasien tidur terlentang dengan bantal tinggi selama minimal 12
jam pasca operasi.

44
 Jika pasien sadar penuh dan peristaltik (+) atau flatus (+) boleh
minum/makan sedikit-sedikit setelah operasi.
 Kontrol vital sign setiap 1 jam.
 O2 2 lpm.
 Cairan infus RL 30 tpm.
 Kontrol balance cairan.

45
BAB V
KESIMPULAN

Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar
tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
anestesi. Dalam hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada
setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti
memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang
mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik
anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus benar-
benar diperhatikan agar tidak mendepresi janin, dimana hampir semuanya dapat
mendepresi nafas janin.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi spinal pada
operasi prostatectomy pada pasien laki-laki 70 tahun, status fisik ASA II, dengan
diagnosis BPH. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di
ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, Said A., Kartini A. Suryadi, M.


Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI.
2. Muhiman, M. dkk. 1989. Anestesiologi.
Jakarta: FKUI.
3. Mangku, Gde, Tjokorda Gde Agung
Senapathi. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks.
4. De Jong, Wim. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. EGC. Jakarta.
5. Gunawan Sulistia Gan. 2007. Farmakologi
dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI
6. Hartanto, W.W. 2007. Terapi Cairan dan
Elektrolit Perioperatif. Bandung: FK Unpad.
7. Lubis A.B., 2010. Agen Anestesi Lokal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Yarsi.

47

You might also like