Professional Documents
Culture Documents
EPILEPSI
oleh:
Preseptor:
Prof. dr. Basjiruddin A, Sp.S(K)
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)
2
kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West Syndrome dan Lennox-Gastaut Syndrome.
Bila salah satu orang tua Epilepsi (Epilepsi idiopatik), maka kemungkinan
4% anaknya Epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya Epilepsi maka
kemungkinan anaknya Epilepsi menjadi 20 – 30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan Epilepsi seperti hormon estrogen dan tiroid (hipotiroid
dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan Epilepsi, sebaliknya
hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid, dan testosteron dapat menurunkan
kepekaan terjadinya serangan Epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam
kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron),
misalnya dalam masa haid, kehamilan, dan menopause. Perubahan kadar hormon
ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan Epilepsi. Epilepsi mungkin
disebabkan oleh 1:
1. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain.
3. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksia atau hipoksia waktu
lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi
kongenital pada otak, atau infeksi.
4. Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah Epilepsi idiopatik,
sedangkan pada anak umur 5 – 6 tahun, disebabkan karena febris.
5. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi karena cedera kepala maupun
tumor.
3
4. Tumor otak merupakan penyebab Epilepsi yang tidak umum, terutama
pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti Fenilketonuria (FKU), Sclerosis Tuberose, dan
Neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya Epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal
diturunkan pada anak.
1.4. Faktor Pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
1. Kurang tidur
2. Stress emosional
3. Infeksi
4. Obat-obat tertentu
5. Alkohol
6. Perubahan hormonal
7. Terlalu lelah
8. Fotosensitif
1.5. Klasifikasi
4
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
1.5.2. Klasifikasi Umum
Ada dua klasifikasi Epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 1981 menetapkan klasifikasi Epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan Epilepsi) 4:
Serangan Parsial
o Serangan Parsial Sederhana (Kesadaran Baik)
Dengan Gejala Motorik
Dengan Gejala Sensorik
Dengan Gejala Otonom
Dengan Gejala Psikis
o Serangan Parsial Kompleks (Kesadaran Terganggu)
Serangan Parsial Sederhana Diikuti dengan Gangguan
Kesadaran
Gangguan Kesadaran saat Awal Serangan
Serangan Umum Sederhana
o Parsial Sederhana Menjadi Tonik-Klonik
o Parsial Kompleks Menjadi Tonik-Klonik
o Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
Serangan umum
o Absens (Lena)
o Mioklonik
o Klonik
o Tonik
o Atonik (Astatik)
o Tonik-klonik
Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
5
Klasifikasi menurut sindroma Epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
3,4
6
Epilepsi Umum Idiopatik Lain
o Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
Sindroma West (Spasmus Infantil)
Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsi Mioklonik Astatik
Epilepsi Lena Mioklonik
o Simtomatik
Etiologi Nonspesifik
Ensefalopati Mioklonik Dini
Ensefalopati Infantil Dini dengan Burst Supression
Epilepsi Simtomatik Umum Lainnya
Etiologi Spesifik
Bangkitan Epilepsi sebagai Komplikasi Penyakit Lain
Epilepsi dan Sindrom yang Tak Dapat Ditentukan Fokal atau Umum
o Bangkitan Umum dan Fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi Mioklonik Berat pada Bayi
Epilepsi Gelombang Paku (Spike Wave) Kontinua selama
Tidur Dalam
Epilepsi Afasia Didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
Epilepsi Bangkitan Umum dan Fokal Lainnya
o Tanpa Gambaran Tegas Fokal atau Umum
Sindrom khusus
o Bangkitan yang Berkaitan dengan Situasi Tertentu
Kejang Demam
Bangkitan Kejang atau Status Epileptikus Hanya Sekali
(Isolated)
Bangkitan Hanya pada Kejadian Metabolik Akut, Toksis,
Alkohol, Obat-Obatan, Eklamsia, atau Hiperglikemi
NonKetotik
Bangkitan dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)
7
Diagnosis pasti Epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung
terjadinya serangan namun serangan Epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh
dokter, sehingga diagnosis Epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan
alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan,
karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan
sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali
bahwa ia baru saja mendapat serangan Epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penderita Epilepsi adalah rekaman
Elektroensefalografi (EEG). 4,5
1.6. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-
juta neuron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
saraf dalam sinaps. Bangkitan Epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota
gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. 5
Otak Neuron GABA Menyalur dan Mengolah Aktivitas Listrik
Saraf Sinaps Neurotransmiter Pusat Listrik Saraf N. Eksidatif
Epileptogen
Depolarisasi Belahan Hemisfer Kejang Tanpa Hilang Kesadaran
8
Substansia Retikularis Kejang Penurunan Kesadaran
1.7.1.1. Major
9
1.7.1.2. Minor
10
pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang
luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi, dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis, dan berkeringat.
1.7.2. Epilepsi Parsial (20% dari seluruh kasus Epilepsi)
11
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam.
Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran, atau
perasaan aneh
1.8. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang yang menderita Epilepsi, dapat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung, maka Epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. 3,5
1.8.1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler, dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Pola atau bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama, dan paskaserangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit Epilepsi dalam keluarga
1.8.2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis
12
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
Epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara
anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral. 3,5
1.8.3. Pemeriksaan Penunjang
1.8.3.1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien Epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis Epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
3,4
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal jika:.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya, misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal. Bentuk Epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya Spasme Infantil mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, Epilepsi Petit Mal dengan gambaran EEG berupa
gelombang paku ombak 3 siklus per detik, Epilepsi Mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku tajam lambat dan
paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
1.8.3.2. Rekaman Video dan EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
13
sumber serangan. Rekaman video dan EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus Epilepsi Refrakter. Penentuan lokasi fokus Epilepsi Parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. 5
1.8.3.3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah Neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan, maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3
1.9. Tata Laksana
14
1.9.2.2. Menentukan Kapan Dimulainya Terapi dengan OAE
1.9.2.2.1. Setelah Kejang Pertama
Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama,
menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko
terjadinya kejang selanjutnya, yaitu Treat, Possibly Treat dan Probably Treat.
Tabel 1
A. Treat:
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat Epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola Epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau strok, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todd’s Postical Paresis
f. Status Epileptikus
B. Possibly:
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan OAE. Risiko pengobatan OAE umumnya
rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.
Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan,
mempunyai risiko besar, atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.
C. Probably Not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
1. Putusnya alkohol
2. Penyalahgunaan obat
3. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemik
4. Kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah pukulan
di kepala)
5. Sindrom Epilepsi Benigna Spesifik, seperti: Kejang Demam atau
15
Epilepsi Benigna dengan Spikes Sentrotemporal.
6. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian
1.9.2.2.2. Setelah Kejang Dua Kali atau Lebih
Pada umumnya, pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), Sindrom Epilepsi Benigna
Spesifik, seperti: Kejang Demam atau Epilepsi Benigna dengan Spikes
Sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian, dan kejang akibat penyebab nonepileptik lainnya. 3,4
1.9.2.3. Memilih Obat yang Sesuai
Pemilihan OAE didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien.
1.9.2.3.1. Tipe Serangan
Tabel 2. Modifikasi Brodie et al (2005) dan Panayiotopoulos (2005)
Tipe Serangan First-Line Second-Line/Add Third Line/Add On
On
Parsial Sederhana &Karbamazepin Asam Valproat Tiagabin
Kompleks dengan atauFenitoin Levetiracetam Vigabatrin
Tanpa Sekunder UmumFenobarbital Zonisamid Felbamat
Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik-Klonik Asam Valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepin Okskarbazepin Levetiracetam
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam Valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
16
Fenobarbital
17
Sejumlah OAE memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis
awal, di antaranya Karbamazepin, Etosuksimide, Felbamate, Lamotrigin,
Pirimidon, Tiagabin, Topiramat dan Asam Valproat. Munculnya ruam pada
penggunaan Lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek
samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai
dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu
tercapainya cakupan dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi
selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat
ditoleransi pasien. Setelah simtom menghilang, proses titrasi dimulai kembali
dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. 4,5
18
Obat Dosis Awal Dosis yang Dosis Frekuensi Efek Samping
(mg/hari) Paling Rumatan Pemberian
Umum (mg/hari) (kali/hari)
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100 – 700 1–2 Hirsutisme,
hipertrofi gusi,
distres lambung,
vertigo,
hiperglikemia,
anemia
makrositik
Karbamazepin 200 600 400 – 2000 2–4 Depresi sumsum
tulang, distress
lambung, sedasi,
penglihatan
kabur, konstipasi,
ruam kulit
Okskarbazepin 150 – 600 900 – 1800 900 – 2700 2–3 Gangguan GI,
sedasi, diplopia,
hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin 12,5 – 25 200 – 400 100 – 800 1–2 Hepatotoksik,
ruam, sindrom
steven-johnson,
nyeri kepala,
pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400 – 600 1–2 Somnolen,
ataksia,
kelelahan,
anoreksia, pusing,
batu ginjal,
leukopenia
19
Ethosuximid 500 1000 500 – 2000 1–2 Mual, muntah,
BB ↓, konstipasi,
diare, gangguan
tidur
Felbamat 1200 2400 1800 – 3 gg. GI, BB ↓ ,
4800 anoreksia, nyeri
kepala, insomnia,
hepatotoksik
Topiramat 25 – 50 200 – 400 100 – 100 2 Faringitis,
insomnia, BB ↓,
konstipasi, mulut
kering, sedasi,
anoreksia
Clobazam 10 20 10 – 40 1–2
20
Vigabatrin 500 – 1000 3000 2000 – 1–2
4000
1.9.3.
21
1.9.4. Penggantian Obat
Penggantian OAE pertama dilakukan jika:
1.9.4.1. Serangan terjadi kembali meskipun OAE pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka OAE kedua
harus segera dipilih. 3
1.9.4.2. Terjadi reaksi obat pertama, baik efek samping, reaksi alergi, ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi
dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada
cakupan dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus
diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang
pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan
sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal.
Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga
obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi
dipertimbangkan. 3
1.9.4.3. Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
Epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni:
1. Mudah dilakukan evaluasi hasil pengobatan;
2. Mudah dievaluasi kadar obat dalam darah;
3. Efek samping minimal (dapat ditoleransi pada 50 – 80% pasien) (Pellock,
1995); dan
4. Terhindar dari interaksi obat-obat.
Dewasa ini, terapi obat pada penderita Epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai
dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe Epilepsi atau
bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus
yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek
samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat.3
1.9.4.4. Politerapi
22
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt
(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan Vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus Epilepsi Parsial
Refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan Vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik. Penggunaan politerapi
memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi
obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu
interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif. 3
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,
misalnya: Valproat dan Etosuksimid dalam manajemen bangkitan absens
refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai
mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan
apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional
memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar
terapetik dan kadar toksik, serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal
dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:
1. Mempunyai mekanisme aksi berbeda;
2. Efek samping relatif ringan;
3. Indeks terapi lebar; dan
4. Interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapainya terapi Epilepsi antara lain ialah bangkitan terkendali
dengan efek samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali.
1.9.5. Pemantauan Terapi
Manajemen umum Epilepsi:
o Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis
yang tepat
o Menentukan dan mengobati penyebab
Mengobati serangan:
23
Menilai perlunya terapi obat:
o Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut
yang reversibel
o Terapi obat tidak perlu untuk Epilepsi Benigna yang diketahui
dengan pasti (Kejang Demam, Rolandic Epilepsy)
o Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai
apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien
dengan risiko tinggi.
o Pemberian OAE yang sesuai
o Temukan dan hindari faktor presipitat (alkohol, kurang tidur, stres
emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
o Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan
implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati
dengan OAE.
Mencegah komplikasi akibat serangan Epilepsi :
o Hentikan kejang
o Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
o Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
1.9.6. Ketaatan Pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
merupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada Epilepsi, di mana pada
penderita Epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6, 12, dan
24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat.
Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit
Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4
hal berikut:
1. Dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan
2. Durasi waktu minum obat di antara dosis sesuai yang dianjurkan
3. Jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan
4. Tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan. 5
24
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
pada penderita Epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter,
pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi,
pengaruh biaya pengobatan, serta adanya pengaruh stigma akibat Epilepsi. 3,4
1.9.7. Penghentian Pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan
memulai pengobatan. Di pihak lain, penderita atau orang tua pada umumnya
menanyakan berapa lama atau sampai kapan harus minum obat. Untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan, atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tua tadi
memang tak mudah. Untuk itu, perlu memahami diagnosis (termasuk
serangannya) dan prognosis Epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat
kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absens yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,
parsial, serangan yang lebih dari satu jenis, dan Epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal dua tahun terbebas dari serangan pada
umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian
jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat dan kepada
penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya. 3
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny.SF
Umur : 29 tahun
Kelamin : Wanita
25
No. RM RS : 641882
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
2.2. Anamnesis
Awalnya, kejang timbul saat bermain laptop. Pasien menjadi kaku, mata
mendelik ke atas, mulut berbusa, dan kesadaran menurun.
26
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
2.3.1. Umum
Nadi : 84 kali/menit
Nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36,3°C
27
Abdomen : Dalam batas normal
o N. I : Tidak dilakukan
o N. IX : Tidak dilakukan
o Keseimbangan
28
Romberg Test : Tidak ditemukan kelainan
o Koordinasi
oBadan
o Ekstremitas
Kekuatan
555 555
29
555 555
Pemeriksaan Sensibilitas
Sistem Refleks
o Fisiologis
Kornea : +/+
Bisep : ++/++
Trisep : ++/++
KPR : ++/++
APR : ++/++
o Patologis
Hoffmann-Tromner : -/+
Babinski : -/-
Chaddoks : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaeffer : -/-
30
Miksi : Tidak ditemukan kelainan
EEG
MRI Intrakranial
2.6. Diagnosis
Diagnosis Sekunder : -
Diagnoisis Banding :-
2.8. Terapi
Umum
o Makan teratur
o Hindari stres
31
o Kontrol teratur
Khusus
BAB 3
DISKUSI
32
Berdasarakan riwayat penyakit yang dikeluhkan pasien, dapat diarahkan
bahwa pasien menderita Epilepsi. Kejang timbul saat stres disebabkan karena stres
merupakan faktor pencetus Epilepsi.
Pada pemeriksaan fisik umum, tidak ditemukan kelainan pada pasien.
Pada status neurologikus, tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fungsi
otonom dan luhur juga tidak ditemukan kelainan. Sedikitnya kelainan yang
didapatkan pada pemeriksaan fisik penderita Epilepsi disebabkan karena kelainan
Epilepsi hanya timbul saat serangan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dan menetapkan klasifikasi Epilepsi.
Untuk menegakkan diagnosis dan menetapkan klasifikasi Epilepsi,
dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang. EEG dapat digunakan untuk
melihat tipe gelombang listrik otak yang khas pada pasien meskipun serangan
Epilepsi tidak terjadi. Observasi pasien dengan menggunakan rekaman video dan
EEG hingga pasien mengalami serangan dapat menambah keakuratan diagnosis
dan klasifikasi Epilepsi. Selain itu, dibutuhkan pula MRI untuk memastikan fokus
lesi jika terdapat lesi pada otak pasien.
Diagnosis yang ditegakkan pada pasien Epilepsi sebagian besar didapat
dari auto anamnesis karena kelainan yang timbul pada pemeriksaan fisik tidak
timbul di luar serangan Epilepsi. Diagnosis klinis pada pasien ini adalah Epilepsi
Umum. Diagnosis topik penderita Epilepsi adalah intrakranial. Sementara
diagnosis etiologisnya belum diketahui, sehingga dibutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menegakkan diagnosis etiologis. Tidak terdapat diagnosis sekunder
pada pasien ini. Diagnosis banding tidak ditemukan karena kekhasan dari
penderita Epilepsi menyingkirkan diagnosis lain yang memungkinkan.
Prognosis dari penyakit ini adalah dubia. Pasien membutuhkan pengobatan
yang lama dan teratur untuk menghilangkan serangan Epilepsi. Pengobatan baru
dihentikan ketika pasien telah terbebas dari serangan selama dua tahun.
Terapi umum yang diberikan pada pasien bertujuan untuk menghindari
faktor pencetus Epilepsi. Pasien diharuskan untuk tidur yang cukup, makan
teratur, menghindari kegiatan fisik yang berlebihan, menghindari stres, dan
kontrol teratur. Terapi khusus bertujuan untuk mengendalikan serangan dengan
efek samping obat yang ringan atau tidak ada sama sekali. Pasien diberikan
33
Karbamazepin 2x200mg selama dua pekan. Karbamazepin dipilih karena
merupakan lini pertama dari OAE Parsial Sederhana. Dosis yang rendah sebagai
dosis awal diputuskan mengingat beberapa efek samping dari Karbamazepin
berupa depresi sumsum tulang, distres lambung, sedasi, penglihatan kabur,
konstipasi, dan ruam kulit. Pemberian obat selama dua pekan bertujuan untuk
evaluasi pengobatan yang diberikan kepada pasien berupa intensitas serangan
Epilepsi dan efek samping obat. Berdasarkan evaluasi pengobatan, dosis OAE
pasien mungkin dapat diturunkan, tetap, ditingkatkan, atau dilakukan politerapi.
Selain OAE, pasien juga diberikan asam folat sebagai suplemen untuk sistem
saraf pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF
Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran
No. 157, 2007.
3. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1985
5. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17th
edition. Saunders. Philadelphia. 2004.
34