You are on page 1of 145

A.

DISKRIPSI MATA KULIAH

Dalam mata kuliah ini mahasiswa diperkenalkan sebuah paradigma baru


dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dimana kapasitas dan peran
organisasi pemerintah atau organisasi sektor publik semakin terbatas.
Sebagai respon terhadap semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat
modern terhadap pelayanan publik, maka dalam perkembangannya
semakin diperlukan peran serta aktif dari pihak swasta (privat). Dalam
mata kuliah ini difokuskan untuk membahas pola hubungan kerjasama
(nerworking) antara sektor publik dengan privat. Beberapa materi pokok
yang diketengahkan meliputi: pertumbuhan pemerintahan, pendorong
privatisasi, privatisasi: teori dan prakteknya, serta adaptasi manajemen
publik ke privat dan hubungan kerjasama publik-privat.

B. TUJUAN UMUM PERKULIAHAN

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat


memahami perkembangan pertumbuhan peran pemerintah (organisasi
sektor publik), mampu menjelaskan dan mengidentifikasi faktor-faktor
yang mendorong privatisasi, memahami dan menjelaskan teori dan
praktek privatisasi, serta beberapa pengertian terkait dengan adopsi
manajemen privat ke sektor publik, termasuk menjelaskan pola-pola
hubungan kerjasama antara sektor publik dan privat.

C. PENDEKATAN PROSES BELAJAR MENGAJAR (PBM)

Dalam perkuliahan ini PBM dilaksanakan sebagai berikut :

1. Belajar mandiri (minimum 2 jam per SKS perminggu)


1
Mempelajari materi yang telah ditetapkan oleh dosen

Membuat rangkuman dari materi yang dipelajari

Membuat tugas-tugas yang diberikan dosen

Menjawab butir-butir soal dari materi diatas.

Tatap muka (satu minggu sekali yang lamanya disesuaikan dengan


jumlah SKS per mata kuliah)

Mendiskusikan konsep-konsep teori yang ada


Mendiskusikan butir-butir soal dan jawaban yang dikemukakan oleh
mahasiswa.

D. EVALUASI HASIL BELAJAR

Mahasiswa dinyatakan lulus apabila :

Mengikuti tatap muka minimum 75% dari jumlah seluruh tatap muka.
Menyerahkan minimum 75% dari seluruh tugas
Mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester
(UAS).

Nilai akhir (NA) mahasiswa diperhitungkan sebagai berikut :

NA = 20% Tm + 20% Tgs. + 20% UTS + 40% UAS

Keterangan :

NA : Nilai Akhir

Tm : Nilai tatap muka dan peranserta dalam diskusi

(rerata dari nilai peran serta dalam diskusi)

Tgs : Nilai tugas (rerata dari beberapa nilai tugas)

UTS : Nilai UTS (Nilai Ujian Tengah Semester)


UAS : Nilai UAS (Nilai Ujian Akhir Semester)

2
E. KEGIATAN BELAJAR

E.1. Materi Perkuliahan 1 : Perkembangan Pemerintahan

E.1.1. Pendahuluan

Ada tiga alat ukur yang digunakan untuk memahami ukuran dari
pemerintahan, yaitu : jumlah dari unit-unit pemerintah, anggaran belanja,
dan jumlah orang yang dipekerjakan dalam organisasi pemerintah (PNS).
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut :

Jumlah Dari Unit-Unit Pemerintah

Masyarakat selalu berpikir bahwa organisasi pemerintahan itu sangat


besar, dengan diferensiasi unit-unit kerja yang cukup banyak didalamnya.
Unit-unit kerja ini bisa berubah setiap saat atau pada periode-periode
tertentu.

Anggaran Belanja

Ketika jumlah unit-unit dari pemerintah sedang tumbuh (walaupun


lambat) dalam beberapa dekade, anggaran belanja pemerintah meningkat
dengan pesat.

Pekerja Pemerintah

Dengan banyaknya diferensiasi unit-unit kerja dalam organisasi


pemerintah, maka pertumbuhan jumlah pekerja yang dimiliki pemerintah
juga naik. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat tidak efisien
dalam menggunakan anggaran belanja pegawai.

3
E.1.2. Mengapa Pemerintahan Berkembang

Ada tiga faktor utama yang berkontribusi dalam meningkatkan


pertumbuhan atau perkembangan pemerintah, yaitu : (1) Meningkatnya
permintaan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah; (2)
Meningkatnya persediaan pelayanan publik yang dimiliki oleh
pemerintah, dengan produk ; (3) Meningkatnya inefisiensi, yang
mengakibatkan meningkatnya jumlah staf-staf yang dimiliki pemerintah
dan membelanjakan anggaran untuk menyediakan pelayanan yang sama
(tumpang tindih).

E.1.2.1. Meningkatnya Permintaan Pelayanan Publik

Permintaan pelayanan publik ini meningkat karena beberapa alasan,


diantaranya :

Perubahan Demografi : inflasi, pertumbuhan populasi, dan


meningkatnya tanggungjawab menahan pembelanjaan anggaran untuk
pertumbuhan yang lebih absolut dari pemerintah, tetapi pertumbuhan
sebenarnya lebih besar bahkan setelah mempertimbangkan efek ini.
Penjelasan ini juga terkait dengan perubahan komposisi populasi yang
salah satunya menginginkan lebih banyak permintaan pelayanan publik.
Contohnya ketika jumlah pensiunan meningkat dan jika inflasi di
sesuaikan dengan pembayaran uang pensiun diatasi dari alokasi dana
pemerintah umum melainkan ditafsirkan dengan dana pensiun, anggaran
belanja pemerintah akan meningkat bahkan jika semua tanpa perubahan.
4
Pertumbuhan Pendapatan : pertumbuhan dalam pendapatan
perkapita riil berkontribusi kepada pertumbuhan dalam pembelanjaan
pemerintah, sebagai permintaan masyarakat, dan dapat diusahakan,
walaupun tidak sebanding dengan banyaknya pelayanan publik yang
tersedia. Hal ini mungkin dapat dilihat dari permintaan untuk
pembelanjaan di sector pendidikan yang lebih baik (misalnya kursus-
kursus yang lebih terspesialisasi, peralatan yang lebih mahal, fasilitas
dan bangunan sekolah yang lebih mewah), anggaran yang lebih besar
untuk perpustakaan dan acara-acara seni dan budaya, tingkat
pelayanan yang lebih baik seperti perbaikan jalan dan program
rekreasi, dan kesediaan untuk membelanjakan lebih banyak untuk
perlindungan lingkungan.

Pemerataan Pendapatan : suatu teori menunjukkan bahwa sebagian


besar pertumbuhan pemerintah faktanya bahwa pendapatan angka
median kurang dari rata-rata pendapatan, ini berarti sebagian besar
masyarakat memiliki pendapatan yang lebih rendah daripada
pendapatan rata-rata. Karenanya, “mereka yang memiliki pendapatan
yang lebih rendah menggunakan proses politik untuk meningkatkan
pendapatannya. Politikus, menarik pemilih dengan menawarkan
peningkatan pendapatan mereka dengan menawarkan berbagai
keuntungan, pemaksaan itu suatu jaringan berharga pada mereka yang
mempunyai pendapatan di atas angka median”.

Memuaskan Kepentingan-Kepentingan Khusus : kelompok

kepentingan yang khusus – yang disebut pembagian koalisis oleh

Mancur Olson – menggunakan kekuatan lobi-lobinya untuk


5
mempengaruhi kebijakan pemerintah dan mereka meraih keuntungan
dalam kesejahteraan social yang cukup besar.
Mengoreksi Penyakit Masyarakat : banyak permintaan terhadap
aksi pemerintah untuk mengoreksi atau setidaknya memperbaiki
banyak kekurangan di dalam masyarakat. Pendekatan ini
berlandaskan asumsi bahwa : (1) ada konsensus dimana konstitusi
menginginkan peningkatan; (2) kita mengetahui bahwa bagaimana
caranya membawa suatu improvisasi; (3) pemerintah dapat
melakukannya – anggapan tentang kemajuan bidang pemerintahan.
Resiko Kebencian : program pemerintah bertujuan untuk
meminimalisir resiko social. Resiko tersebut tidak hanya berpengaruh
terhadap individu, tetapi juga berkaitan dengan kepercayaan terhadap
pemerintah. Contohnya : jaminan tabungan di bank akibat kesalahan
manajerial, asuransi jiwa dan kesehatan, dan lain sebagainya.

Memajukan Kebudayaan : dalam beberapa Negara, pertumbuhan


dan perkembangan pemerintah diminta untuk turut berpartisipasi
dalam pengembangan teater, pertelevisian, dan kesenian lainnya yang
bertujuan untuk mempromosikan kebudayaan.
Ilusi Fiskal : menghabiskan peningkatan dalam pembelanjaan
pemerintah sesungguhnya adalah ilusi bahwa pelayanan publik adalah
tawar-menawar sebab pemerintah tidak bertujuan untuk membuat
suatu keuntungan. Pejabat publik biasanya tidak memperdulikan
kepada ongkos jasa mereka. Dalam beberapa

6
studi1 yang pernah dilakukan menemukan bahwa biaya sesungguhnya
jasa pelayanan publik tertentu adalah 30% lebih mahal dari rata-rata
dibandingkan yang dilaporkan dalam anggaran pemerintah
kota/kabupaten.

Pemeliharaan Program : seiring dengan perkembangan waktu dan


kebutuhan yang berubah-ubah, diperlukan suatu program baru yang
menggantikan program yang lama.

E.1.2.2. Meningkatnya Persediaan Pelayanan Publik

Ketika meningkatnya permintaan merupakan “tuntutan” atas


pelayanan publik yang lebih, keinginan produsen adalah untuk
menyediakan pelayanan yang lebih banyak merupakan suatu “dorongan”.
a. Memperoleh Dukungan : pejabat terpilih memperoleh
pendapatan politis ketika pemerintah berkembang, oleh karena itu hal ini
menguntungkan mereka dalam retribusi pajak dan
mendistribusikannya sebagai subsidi untuk semuanya kemudian bukan
untuk mengumpulkannya, walaupun masing-masing

warganegara mungkin tidak ada yang lebih baik atau lebih miskin b.
Imperealisme Budgeter : banyak pekerjaan pemerintah dan
anggaran yang dimiliki pemerintah berarti lebih banyak peluang untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar, status yang lebih tinggi, lebih
banyak penghasilan tambahan, dan uang suap yang lebih besar.

1
Friedman, Capitalism and Freedom.

7
Memperbesar Kampanye Staf : pemerintah yang lebih besar
membawa keuntungan politis lainnya. Pejabat Negara dapat
menggunakan stafnya untuk melakukan kampanye, sudah menjadi
tradisi.

Problem-Finding Elite : masyarakat kita memiliki banyak orang-


orang yang berpendidikan, banyak dari mereka melakukan sesuatu
yang lebih baik dalam pemerintahan daripada dalam sektor
privat/swasta. Mereka mendasari pilihan temuan masalah dimana
berbagai jumlah permasalahan yang mereka cari dan secara tanpa
pamrih menawarkan jasa untuk mencari solusi.
The Therapeutic State (Negara yang Mengobati) : saat
pemerintahan tumbuh, misi baru yang mucul dari pemerintah adalah
mengesahkan/melegitimasi perluasan pemerintah ke dalam lapisan-
lapisan dari kehidupan individu dan masyarakat. Memberantas
kriminalitas dan kekerasan yang menjadi penyakit masyarakat. Tetapi
Negara maju tidak hanya berkonsentrasi mengenai perilaku
masyarakat itu saja, tetapi juga secara internal memberdayakan
masyarakat, misalnya dengan meningkatkan pendidikan Negara
membutuhkan mindset percaya diri dan kebanggaan dirinya.

Memerintah dan Mengontrol Kebijakan : di banyak Negara


berkembang, yang dulunya adalah bekas Negara jajahan, masalah
pembangunan bangsa menjadi permintaan yang kuat, rencana yang
terpusat, dan kontrol yang kuat. Sedikit dari orang-orang yang

berpendidikan dibayar oleh pemerintah untuk menjalankan roda

perekonomian. Negara Barat memberikan pinajaman modal –


8
tetapi hanya untuk pemerintah, yang digunakan sebagai jaminan
keamanan modal dan kenyamanan yang menyesatkan. Perkembangan
pemerintah dipaksa, mempraktekkan semuanya seperti : pertanian,
perindustrian, pertambangan, perhotelan, sistem transportasi, dan
semua sector bisnis.

Monopoli Pemerintah : banyak agen-agen pemerintah menjalankan


tugas dan fungsinya secara monopoli, karena beberapa faktor.
Pertama, aktivitas umum dari pemerintah adalah untuk menyediakan
pelayanan yang secara alamiah juga termasuk bersifat monopolistis.
Kedua, dengan efisiensi administratif dan manajemen rasional,
banyak fungsi-fungsi dari biro-biro kemudian yang overlapping
dikombinasikan, menyelamatkan agen dengan status monopoli.
Ketiga, dalam tingkat pemerintahan lokal, konsolidasi, merger
sekolah, penggabungan, formasi dari pemerintahan regional atau
otoritas, dan ekspansi kota untuk meliputi hasil area yang tidak
disatukan dalam perluasan monopoli.

Purposeful Inertia : tekanan di sisi persediaan atas perkembangan


pemerintah tidak perlu diaktifkan, ketidakberdayaan itu sendiri dapat
dicukupi. Edward Gramlich mengutip Richard Rose dan Terence
Karaan mengenai efek yang datang dari perpajakan, “politikus
memilih non-decision making untuk decision making, pertumbuhan
pendapatan yang otomatis untuk kebebasan menentukan pertumbuhan
pendapatan, incrementalisme untuk perubahan fundamental, dan
semua aspek dari perilaku ketidakberdayaan. Perubahan ini berarti
system pendapatan, pada
9
sebagian besar waktu dan tempat bergerak secara otomatis.
Pertumbuhan ekonomi atau inflasi membawa pendapatan, yang
dibelanjakan, dan hanya sedikit peningkatan pertanyaan mengenai
perubahan fundamental perpajakan, kebenaran dalam perpajakan
meliputi indeks atas inflasi, dan semua keadaan yag tidak
menyenagkan.

Employee Voting : merupakan kepentingan pribadi pekerja


publik/pemerintah yang dimiliki pemerintah yang berkembang.
Sebagian pemilih rata-rata termotivasi untuk memilih dan memilih
kandidat yang memiliki program dalam meningkatkan anggaran
belanja pemerintah. Setelah itu, mereka secara langsung mengarahkan
dalam pembagian uang atas belanja pemerintah, kecuali untuk warga
negara dan perusahaan yang menerima pembayaran langsung dari
pemerintah. Lebih jauh, mereka secara kuantitas lebih besar dan
cukup kuat untuk mempengaruhi dampak dari pemilihan.

Permintaan untuk Pekerjaan Pemerintah : kontribusi lain atas


pertumbuhan pemerintah adalah permintaan sederhana mengenai
pekerjaan pemerintah. Banyak orang menginginkan pekerjaan sebagai
pegawai pemerintah alasannya antara lain karena gaji yang pasti, jam
kerja, jaminan hidup, dan keuntungan lainnya.

Overproduction : faktor positif lainnya dalam segi persediaan atas


pertumbuhan pemerintah adalah produksi yang berlebihan atas
pelayanan/jasa, yang mana menyediakan pelayanan yang lebih banyak
dan lebih baik daripada masyarakat akan dengan sepenuh
10
hati memilihnya jika itu merupakan pilihan langsung dan mengetahui
biaya yang sebenarnya.

E.1.2.3. Meningkatnya Inefisiensi

Faktor utama yang ketiga dari pertumbuhan pemerintah adalah


meningkatnya infefisiensi : membelanjakan lebih banyak uang dan
mepekerjakan lebih banyak orang untuk melakukan pekerjaan yang
sama. Tentu saja ini juga berlaku untuk perusahaan swasta, tetapi koreksi
yang kasar cenderung terjadi dengan cepat pada sektor ini.

Overstaffing : agen pelayanan publik dan perusahaan milik pemerintah


menunjukkan overstaffing secara konsisten. Dari keseluruhan sekitar
50% peningkatan personel telah diberikan bagi pemendekan pekan kerja,
pemanjangan jam makan siang dan waktu libur, dan menyediakan lebih
banyak hari libur dan cuti. Lebih jauh lagi, overstaffing ini dilegitimasi
oleh negara.

Overpaying : beberapa penelitian menunjukkan bahwa, diatas rata-rata,


pekerja publik dibayar lebih banyak daripada orang-orang yang bekerja
di sektor swasta/privat. Tetapi penelitian ini mendapatkan kritik, karena
tidak melakuka analisis pada pekerjaan atau aktivitas yang berbeda antara
pekerja pemerintah dan pekerja swasta. Studi yang lain menunjukkan
bahwa pada level yang rendah pekerja pemerintah mendapatkan bayaran
yang lebih banyak daripada pekerja di sektor swasta, tetapi pada level
yang lebih tinggi sektor swasta dapat menyediakan gaji yang lebih
banyak.
11
Overbuilding : kontribusi lainnya mengenai inefisiensi adalah
penyimpangan pemerintah dalam membelanjakan sumberdayanya dan
dalam melakukan perawatan rutin. Seperti ini, ketika inefisiensi
adalah tidak terbatas untuk aktivitas pemerintahan, menurunnya
produktivitas, dan meningkatnya inefisiensi berkontribusi kepada
pertumbuhan ukuran dan biaya yang dikeluarkan pemerintah.
12
E.2. Materi Perkuliahan 2: Adaptasi Manajemen Privat Ke Publik

E.2.1. Pendahuluan

Sekitar tahun 80-an berkembang konsep ang berlabel baru untuk


memberdayakan konsep administrasi publik seperti new public
administration (ballone, 1980), The new science of organization (Ramos,
1981), dan pada tahun 90-an muncul konsep New public management
(Ferlie, 1996). Khusus konsep new public management, konsep ini ingin
mengenalkan konsep-konsep dan praktek-praktek yang biasa dikenal dan
dilaksanakan pada organisasi sektor privat atau bisnis. Inti dari
munculnya konsep ini adalah untuk mentransformasikan kinerja yang
selama ini dicapai dalam sektor privat ke dalam sektor publik (Thoha,
2008). Dengan slogan yang sangat terkenal yakni –run government like
business--.

Untuk mewujudkan konsep new public management dalam birokrasi


publik, maka diupayakan agar para pimpinan birokrasi meningkatkan
produktivitas dan menemukan alternatif-alternatif pelayanan publik
berdasarkan perspektif ekonomi yakni lebih efisien dan efektif. Salah
satu konsekwensi dari penerapan konsep new public management ini
adalah dilakukannya pemangkasan terhadap birokrasi publik dan
privatisasi.

E.2.2. Manajemen Pada Sektor Publik

Menurut Anthony dan Young dalam Salusu (2003) penekanan organisasi


sektor publik dapat diklasifikasikan ke dalam 7 hal yaitu:
(1) Tidak bermotif mencari keuntungan.
13
Adanya pertimbangan khusus dalam pembebanan pajak.

Ada kecenderungan berorientasi semata – mata pada pelayanan.


Banyak menghadapi kendala yang besar pada tujuan dan strategi.
Kurang banyak menggantungkan diri pada kliennya untuk mendapatkan
bantuan keuangan.
Dominasi profesional.

Pengaruh politik biasanya memainkan peranan yang sangat penting.

Seorang ahli bernama Koteen menambahkan satu hal lagi yaitu less
responsiveness bureaucracy dimana menurutnya birokrasi dalam
organisasi sektor publik sangat lamban dan berbelit-belit. Sedangkan
pada sektor swasta penekanan utamanya pada pencarian keuntungan atau
laba dan tentunya kelangsungan hidup organisasi melalui strategi dan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sebenarnya praktek manajemen pada sektor publik ini didasarkan pada


prinsip-prinsip the old Public Administration (Simon, 1957), sbb:
Memusatkan perhatian pada jasa pelayanan yang diberikan langsung oleh
dan melalui instansi-instansi pemerintah yang berwenang,
Public policy dan administration berkaitan dengan merancang dan
melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan politik,

14
Administrasi publik hanya memainkan peran yang lebih kecil dari proses
pembuatan kebijakan pemerintah dan lebih banyak sebagai pelaksana
kebijakan,

Upaya memberikan pelayanan harus dilakukan oleh para administrator


yang bertangungjawab kepada pejabat politik yang dipilih secara
demokratis,

Program-program kegiatan diadministrasikan dengan baik melalui garis


hirarkhi organisasi dan dikontrol oleh para pejabat dari hirarkhi atas
organisasi,
Nilai-nilai utama dari administrati publik adalah efisiensi dan
rasionalitas,
Administrasi publik dijalankan dengan sangat efisien dan tertutup
sehingga keterlibatan warga negara sangat terbatas,
Peran dari administrasi publik dirumuskan secara luas seperti planning,
organizing, staffing, directing, coordinating, reporting dan budgeting.

Ide konsep Old Public administration ini bisa berlangsung pada semua
sektor kehidupan pemerintahan, mulai dari sektor pertahanan,
kesejahteraan rakyat, pendidikan, transportasi, kesehatan, dan lain-
lain.namun dalam prakteknya tidak semua prinsip-prinsip tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik, melainkan cenderung terjadi penyimpangan
atau distorsi.

E.2.3. Konsep New Public Management

New public management (NPM) telah diakui dan semakin kuat

kedudukannya dalam paradigma administrasi negara (publik) dan telah


15
menggeser paradigma lama Old Public Administration. Ferlie dan kawan-
kawan (1996) berusaha membangun sebuah tipologi tipe-tipe ideal
manajemen publik baru yang terdiri dari empat model,yaitu:

Model pertama, disebut dengan The efficiency drive, yaitu model yang
menekankan pentingnya efisiensi. Model ini merupakan model awal yang
muncul pada awal dekade 1980-an yang mendorong agar sektor publik
berperilaku seperti layaknya usaha swasta, yang sarat dengan orientasi
efisiensi. Tema inti dari model ini meliputi: peningkatan pengawasan atas
manajemen keuangan, penghematan atau efisiensi keuangan, penguatan
fungsi penganggaran, serta penciptaan sistem informasi dan anggaran. Di
samping itu, model ini juga memberi perhatian pada pentingnya
peningkatan respons penyediaan pelayanan kepada konsumen dengan
memberikan peran yang semakin besar kepada sektor privat atau pasar
sebagai penyedia atau produsen pelayanan. Model ini juga menekankan
perlunya proses manajemen yang berorientasi pada pemerintahan
korporatis, penegakan standar kinerja yang ketat, proses penyelenggaraan
pelayanan yang tidak terlalu birokratis dan lebih ke arah manajemen yang
berjiwa wiraswasta dengan tetap berpegang pada prinsip akuntabilitas,
adopsi bentuk coorporate governance, serta pemberian wewenang
operasional ke bawah dan penggeseran kekuasaan penanganan kegiatan
yang strategis ke atas.
Model kedua, disebut dengan Downsizing dan Decentralization dimana
model ini menekankan pada upaya untuk memperkecil
16
lingkup sektor publik (down-sizing), menciptakan fleksibilitas
organisasi, menghindari standarisasi organisasi, mengembangkan
pola pelayanan yang fleksibel dan variatif, memperkuat
desentralisasi tanggung jawab kegiatan dan anggaran ke tingkat
bawah, pergeseran pola manajemen dari system hirarkis menuju
sistem contracting out, serta pemilahan organisasi puncak dengan
organisasi operasional. Dalam konteks ini, jaringan kerja (network)
dengan organisasi lain di luar pemerintah merupakan suatu hal
yang penting sehingga pemerintah dipandang perlu melakukan
aliansi strategis dengan badan-badan lain di luar pemerintah
sebagai bentuk baru koordinasi yang lebih luas, terbuka, dan
inklusif.

Model ketiga, dikenal sebagai In Search of Excellence yakni suatu


pola manajemen publik yang menekankan pada pencapaian hasil
yang prima. Model ini merupakan perwujudan dari aliran human
relations dalam teori manajemen yang memberikan perhatian pada
pentingnya budaya organisasi dan memberi perhatian khusus pada
pengaruh nilai, budaya, ritus, dan simbol-simbol yang dapat
mempengaruhi perilaku individu dalam bekerja. Model ini dapat
dibedakan atas dua pendekatan utama, yaitu pendekatan bottom-up
dan pendekatan top-down. Pendekatan bottom-up memberikan
penekanan pada pengembangan organisasi sebagai organisasi
pembelajaran (learning organization), pengakuan akan perlunya
budaya

organisasi sebagai pengikat proses kerja birokrasi,

desentralisasi manajemen, serta pengukuran kinerja


17
berdasarkan hasil yang dicapai. Sedangkan pendekatan top-down
menekankan upaya-upaya untuk memperlancar perubahan budaya
organisasi, proyeksi visi secara top-down, kepemimpinan
kharismatik, pemakaian simbol-simbol organisasi dan penetapan
misi yang jelas, adanya strategi komunikasi yang jelas, dan
penekanan pada fungsi manajemen sumberdaya manusia.

Model keempat, disebut dengan public service orientation


merupakan manajemen publik yang berorientasi pada pelayanan
publik. Model ini merupakan model yang paling jarang
dikembangkan tetapi memiliki manfaat yang besar jika diterapkan
dalam manajemen pelayanan publik. Model ini merefleksikan
penyelarasan ide-ide dalam manajemen sektor swasta ke dalam
manajemen sektor publik serta penguatan kembali peran manajer
sektor publik dengan menerapkan manajemen yang berkualitas
tinggi secara lebih meyakinkan yang sebelumnya telah dirusak
oleh berbagai malpraktek dan patologi. Disamping itu, model ini
mempunyai beberapa karakter penting seperti pelayanan yang
berkualitas tinggi (prima), proses manajemen yang lebih
merefleksikan kepentingan pengguna (users) lebih dari sekedar
kepentingan konsumen, penekanan pada pembelajaran masyarakat
lebih dari sekedar pendekatan penyediaan pelayanan yang
dilakukan secara rutin (misalnya manajemen berbasis masyarakat,
penilaian kebutuhan nyata masyarakat, dan sebagainya),
penekanan peran pasar dan swadaya masyarakat dengan tetap
18
memperhatikan berbagai keterbatasannya, serta menjamin partisipasi
masyarakat dan prinsip akuntabilitas sebagai bentuk perhatian terhadap
pentingnya legitimasi manajemen pelayanan publik.

Tema pokok dari NPM antara lain bagaimana menggunakan konsep pasar
dan mekanisme pasar dalam penyediaan pelayanan oleh organisasi sektor
publik. Dalam mekanisme pasar, konsep customer merupakan ‘raja’
sehingga apapun keinginan customer harus dapat diwujudkan.
Diharapkan dengan mengadopsi konsep customer ini, dapat merubah
kinerja organisasi publik dalam penyediaan pelayanan publik menjadi
lebih baik. Kalau biasanya organisasi publik bekerja berdasarkan aturan
(rule based) dan proses yang menggantungkan otoritas pejabat
(authority-process driven) menjadi berorientasi pada pasar dan customer
(market and customer-driven) dan dipacu untuk berkompetisi secara
sehat (Thoha, 2008).

E.2.4. Reinventing Government

Konsep NPM tersebut diterapkan pula di Amerika serikat seperti yang


ditulis oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya
“Reinventing Government“ yang mencoba meng-gambarkan model baru
yang muncul di Amerika. Mereka mengemukakan 10 prinsip dalam
pemerintahan yang seyogyanya diterapkan ialah tentang pelaksanaan :
“Manajemen wirausaha publik “. Pemerintah wirausaha bersedia
meninggalkan program dan model lama, bBersifat inovatif, imajinatif,
dan kreatif serta berani mengambil resiko, juga mengubah beberapa
19
fungsi pemerintah menjadi sarana penghasil uang ketimbang menguras
anggaran, menjauhkan diri dari alternatif tradisional yang hanya
memberikan sistem penopang hidup.

Pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian


bisnis yang mendalam, menswastakan diri mengadakan berbagai usaha
yang menghasilkan laba, berorientasi pasar, memusatkan perhatian pada
ukuran kinerja, memberi penghargaan terhadap jasa. Sebagian besar
pemerintahan wirausaha mendorong kompetisi antar pemberi jasa.
Memberi wewenang kepada warga dengan mendorong adanya kontrol
masyarakat terhadap birokrasi. Mengukur kinerja perwakilannya dengan
memusatkan pada hasil bukan pada masukan . Kegiatan digerakkan oleh
tujuan dan Misi bukan oleh ketentuan dan peraturan. Mereka
mendefinisikan kembali klien mereka sebagai pelanggan dan
menawarkan kepada mereka banyak pilihan, diantara berbagai sekolah,
program latihan dan pilihan perumahan dll.

Pemerintah juga lebih antisipatif. Lebih suka mencegah masalah sebelum


muncul, ketimbang hanya memberi service sesudah masalah itu muncul.
Mereka mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya
membelanjakannya. Pemerintah mendesentralisasikan wewenang dengan
menjalankan manajemen partisipasi, lebih menyukai mekanisme pasar
ketimbang mekanisme birokrasi. Tidak hanya memfokuskan pada
penyediaan pelayanan oleh pemerintah, tetapi juga menjadi katalisator
semua sektor- baik pemerintah, swasta dan lembaga sukarela - kedalam
tindakan untuk memecahkan masalah – masalah kemasyarakatan atau
masalah publik.
20
Meskipun demikian perbedaan utama dari organisasi sektor publik dan
privat masih tetap melekat. Pemerintahan dan bisnis adalah lembaga yang
berbeda secara mendasar, Pimpinan bisnis didorong oleh motif laba;
sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk bisa
dipilih kembali. Perusahaan memperoleh sebagian besar uang dari
pelanggannya, sedang pemerintah dari para pembayar pajak. Perusahaan
didorong oleh kompetisi sedang pemerintah lebih banyak mengunakan
kekuasaan monopoli. Pemerintah bersifat demokratis dan terbuka; maka
bergerak lebih lamban ketimbang bisnis. Misi pokok pemerintah adalah
melakukan kebaikan bukan menghasilkan uang.

Pokok-Pokok Isi Reinventing Government

Pemerintahan yang Katalis

Mengarahkan katimbang melaksanakan

Mendefinisikan ulang berkenaan dengan kepengawasan ;

Lebih sedikit berbuat lebih kuat ;


Memisahkan kegiatan mengarahkan (Visi) dan melaksanakan (Misi);
Sektor masyarakat dihidupkan,
Pemerintah membatasi diri pada pembuatan kebijaksanaan dan
pengarahan

Pemerintahan Milik Masyarakat

Memberdayakan ketimbang melayani

Mengalihkan kegiatan dari penguasaan birokrasi ke masyarakat;

Mengupayakan pengalihan pelayanan ke pemberi-an wewenang


(pemberdayaan), strategi :

21
Pemberian wewenang kepada warga negara melalui Demokrasi
Partisipatif.

3.`Pemerintahan Yang Kompetitif

Memasukkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.

Keuntungan kompetisi : efisiensi, merespon segala kebutuhan pelanggan,


menghargai inovasi, membang-kitkan harga diri.

Jenis kompetisi : Publik vs Swasta, Swasta vs Swasta (Load Shedding /


pelimpahan beban) dan (Procurement/ upaya mendapatkan perantaraan)
Publik vs Publik.

Menciptakan persaingan untuk pelayanan intern pemerintah. lembaga


pemerintah melayani lembaga pemerintah lainnya

Memanage kompetisi.

Pemerintahan yang Digerakkan oleh Misi :

Mengubah Organisasi yang digerakkan oleh Peraturan.

Suatu Strategi yang bermuara pada kerja organisasi pemerintah yang selalu
diarahkan untuk mencapai misi yang hendak dicapai;

Misi harus jelas dan diketahui, mudah untuk mencapainya, dasar budaya
organisasi dan harus mendapat dukungan;

Menciptakan sistem anggaran yang digerakkan oleh misi

d. Transformasi sistem kepegawaian yang di-gerakkan oleh

peraturan:

Pemerintahan yang Berorientasi Hasil.

Lebih menekankan hasil bukan input.

Akuntabilitas, kinerja dan hasil;


Perlunya pengukuran kinerja dan hasil kerja;
Membayar kinerja (tingkat jumlah, biaya dan mutu pelayanan),
22
Pengangaran berdasarkan hasil;

Membangun organisasi yang digerakkan misi

Pemerintah Berorientasi Kepuasan Pelanggan

Memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi.

Organisasi pemerintah harus mengetahui pelanggannya.;

Mendekatkan diri pada (perlu survai) pelanggan ;


Metode mutu terpadu, menekankan pengukuran secara konsisten dan
perbaikan mutu;
Menempatkan pelanggan di kursi pengemudi, (Menempatkan
sumberdaya ditangan pelanggan dan membiarkan mereka memilih);
Mendengarkan suara pelanggan,

Mengubah perhatian pemerintah yang berorientasi pada lembaga publik;

Keakraban dengan pemakai Keterbukaan dan holisme;

Pemerintahan Wirausaha

Menjadikan birokrasi yang mampu memperoleh pendapatan bukan


mengeluarkan biaya semata-mata.

Menggunakan laba untuk kepentingan publik;

Menghasilkan uang melalui pembebanan biaya:

Membelanjakan untuk menabung investasi untuk mendapatkan hasil;

Mengubah manajer menjadi wirausaha,

Mengidentivikasi biaya sesungguhnya dari

pelayanan.
Pemerintah Antisipatif.

Mencegah daripada mengobati.

23
Pencegahan : lebih memecahkan masalah ketimbang memberikan jasa, :

Pemerintah dengan pandangan masa depan Mengantisipasi masa, misal


Komisi Masa Depan

Mengubah insentif.

Pemerintahan Desentralisasi dari Hirarkhi Menuju Partisipasi dan


Tim Kerja.
Mendesentralisasikan organisasi publik melalui manajemen partisipatif;

Kerja sama buruh dengan manajemen;


Kebijakan tanpa pemecatan;
Memendekkan hirarkhi organisasi ;
Organisasi Tim Kerja;
Jenis teknik manajemen partisipatif,
Inovasi untuk karyawan. Perlu program pelatihan untuk meningkatkan
mutu karyawan.

10. Pemerintah Berorientasi Pasar.

Mendongkrak perubahan melalui pasar

Kesulitan pemerintah berdasarkan program ; Program dikendalikan oleh


parlemen dan digerakkan oleh politik, tidak swa-koreksi;
Bagaiman pemerintah merestrukturisasi pasar, misalnya:
Menetapkan peraturan pasar;
Menyediakan informasi bagi konsumen;
Memperbanyak permintaan;
Mengkatalisir penawaran sektor swasta;
Menciptakan institusi pasar;
Mepercepat pembentukan sektor pasar baru;
Mengubah kebijakan investasi publik;
Bertindak sebagai pialang;
Pemberian harga kegiatan melalui pajak.
24
E.2.5. Good Governance

Nilai-nilai yang diusung dalam pendekatan New Public Management


sebagaimana dipaparkan di atas banyak membawa perubahan dalam
upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, namun disisi lain dapat
pula membawa dampak yang perlu diwaspadai yaitu kecenderungan
orientasi profit yang berlebihan yang tentunya kurang ‘pas’ diterapkan
pada organisasi publik. Konsep governance dikembangkan sebagai
bentuk kekecewaan terhadap konsep government --yang menjadi titik
tekan paradigma tradisional—dan menyempurnakan konsep-konsep yang
diusung oleh paradigma New Public Management (NPM).

Dalam konsep government, Negara merupakan institusi publik yang


mempunyai kekuatan memaksa secara sah yang merepresentasikan
kepentingan publik (Pratikno, 2004). Governance lebih merupakan
kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan
keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh
tiga komponen yakni: pemerintah (government), rakyat (citizen) dan
usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan
Campos,1997 dalam Thoha, 2003:63).

UNDP (1997) yang mendefinisikan governance sebagai :

“pelaksanaan otoritas administratif, politik, dan ekonomi untuk


mengelola masalah suatu Negara pada semua tingkat yang menncakup
mekanisme, proses, dan lembaga ketika warga negara dan kelompok-
kelompok masyarakat menyampaikan kepentingan, melakukan hak

25
politiknya, memenuhi kewajibannya, dan mendiskusikan perbedaan di
antara mereka” (Dwiyanto, dkk, 2003:4).

Lembaga Administrasi Negara (LAN) menjelaskan governance dari segi


aspek fungsionalnya, sebagai berikut: “governance dapat ditinjau dari
apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya
mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya” (LAN, 2000:5).
Sementara United Nations Development Programme

(1997) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political,


economic, and administrative authority to manage a nations affair at all
levels” (Thoha, 2003:62).

Mengacu dari definisi UNDP tersebut, maka institusi dari governance


meliputi tiga kaki ( three legs), yaitu economic, political, dan
administrative (LAN,2000). Economic governance meliputi proses-
proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang
memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara
penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi
terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah
proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan.
Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan.

Selanjutnya, dalam penyelenggaraan governance melibatkan tiga unsur


utama (domain), yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector
(sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling
berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing (Taschereau dan
Champos, 1997; UNDP, 1997 dalam Thoha, 2003). Institusi
pemerintahan berfungsi menciptakan pekerjaan dan pendapatan,
26
sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan
politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

private society

State

Gambar 2.1. Keseimbangan tiga komponen Sumber: Thoha,2003


Konsep governance ini dalam prakteknya berkembang menjadi good
governance. Nilai good governance memang suatu hal yang sangat
didambakan oleh semua sector, baik publik maupun swasta mengingat
efek domino yang dapat diwujudkan dari implementasi good governance.
Efek domino yang dimaksud antara lain sebagai berikut :

Implementasi good governance cenderung membawa efisiensi dan


efektivitas dalam dunia usaha. Hal ini karena implementasi good
governance yang baik dapat memotong ekonomi biaya tinggi (high cost)
yang disebabkan adanya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh
oknum birokrasi pemerintah dan oknum aparat di lapangan.
Implementasi good governance akan membawa birokrasi pemerintahan
Indonesia ke dalam sistem birokrasi yang sehat dan bermutu.
27
Implementasi good governance dalam sektor publik akan membawa
dampak yang baik tidak hanya kepada pemerintah tetapi juga kepada
masyarakat sebagai stakeholder.

Oleh sebab itu dalam pengimplementasiannya untuk meningkatkan mutu


pelayanan dalam pencapaian nilai good governance maka, diperlukan
manajemen strategis yang tidak hanya bias digunakan pada sektor swasta
tetapi juga sudah diterapkan pada sektor publik. Penerapan manajemen
strategis pada kedua jenis institusi tersebut tidaklah jauh berbeda, hanya
pada organisasi sektor publik tidak menekankan tujuan organisasi pada
pencarian laba tetapi lebih pada pelayanan.
28
E.3. Materi Perkuliahan 3 : Pendorong Privatisasi

E.3.1. Pendahuluan

Privatisasi dapat berlangsung dalam berbagai bentuk di setiap sektor


kegiatan, misalnya saja melakukan kontrak kerjasama dengan pihak
swasta dalam hal pengelolaan sampah, perbaikan pesawat tempur
maupun pesawat sipil, perawatan dan pengelolaan fasilitas umum dan
bangunan-bangunan untuk kepentingan bersama, dan bisa juga
mengadakan kontrak dengan organisasi-organisasi nirlaba untuk
mendistribusikan makanan dan mengelola lembaga-lembaga sosial
(perlindungan anak, tenaga kerja, hukum, dan lain sebagainya).

Perbedaan antara public-private mungkin dapat sedikit terabaikan.


Misalnya saja dalam membicarakan taman atau gedung pemerintahan
yang keseluruhannya adalah milik warga negara, tidak ubahnya dalam
hal kepemilikan saham di suatu perusahaan swasta dimana masyarakat
umum juga dapat membeli bagian-bagian yang dimiliki perusahaan.
Perusahaan ini dapat dipahami sebagai perusahaan swasta yang dimiliki
publik. Hal ini dapat membingungkan, dalam menggunakan kata-kata
yang sama “publik’ dalam mendeskripsikan tiga kondisi yang sama sekali
berbeda, yaitu : kepemilikan pemerintah, kepemilikan yang tersebar
secara luas dan merata, dan akses kepemilikan yang terbuka.

E.3.2. Pendorong yang Mempengaruhi Privatisasi

Ada beberapa pendorong utama yang mempengaruhi privatisasi, yaitu :


pragmatis, ekonomi, filosofi, komersial dan populis. Tujuan dari
pendorong yang pragmatis adalah mencapai pemerintahan yang lebih
29
baik, yang berorientasi dalam mengeluarkan biaya yang lebih efektif.
Kemakmuran ekonomi dapat menurunkan ketergantungan warga negara
kepada pemerintah dan meningkatkan penerimaan mereka terhadap
pendekatan privatisasi. Tujuan dalam pendekatan di segi filosofi
(idiologi) adalah menciptakan less government, yang memainkan sedikit
fungsi dan aturan karena menyerahkan sebagian besar kepada pihak
swasta. Tujuan dari kepentingan komersial adalah mendapatkan bisnis
atau pekerjaan yang lebih banyak, dimana pemerintah membelanjakan
uangnya secara langsung dalam berbagai hal yang dapat diprivatisasikan.
Dan tujuan dari pendekatan populis adalah untuk mencapai masyarakat
yang lebih baik dengan memberikan kekuatan kepada masyarakat
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sewaktu
mengurangi kekuatan atas large public dan birokrasi swasta.

E.3.2.1. Tekanan Pragmatis

Ketika anggaran yang dikeluarkan untuk aktifitas pemerintah meningkat


tetapi perlawanan publik untuk pajak yang lebih tinggi juga meningkat,
pejabat pemerintah melihat atau berusaha menemukan alternatif lain yang
menjanjikan dan dapat membebaskan dari tekanan fiskal. Tempat
perlindungan pertama adalah pembukuan yang kreatif, yang
menyembunyikan perbedaan besar diantara pendapatan dan anggaran
pembelanjaan. Tetapi adopsi yang tumbuh dari prinsip-prinsip akuntansi
dalam pemerintahan cenderung mendekati pilihan-pilihan ini. Tempat
kedua adalah melakukan pinjaman modal atau sumber daya untuk
menutupi disparitas antara pendapatan dan pengeluaramn
30
anggaran. Tetapi biasanya pemilik modal (World Bank, IMF, dan lain-
lain) tidak akan mendukung kegiatan pemerintahan yang tidak berguna
dalam pembangunan negara.

Apabila dirunut kebelakang kata “govern” berasal dari kosa kata Yunani
“kybern”, yang artinya “mengendalikan atau to steer”, oleh sebab itu
tugas dari pemerintahan adalah untuk mengendalikan bukan untuk
mengayuh (to row). Mendistribusikan pelayanan – apakah itu
memperbaiki jalanan atau mengoperasikan penerbangan – adalah
mengayuh, dan pemerintah tidak pandai dalam mengayuh. Privatisasi
merupakan kebijakan pragmatis dalam memperbaiki pemerintahan kapda
peranan pokoknya, mengendalikan, saat mempercayakan sektor swasta
dalam melakukan peranan itu.

E.3.2.2. Tekanan Ekonomi

Meningkatnya tekanan pada data publik yang dicatat sebelumnya secara


paradoks ditemani dengan pertumbuhan kemakmuran pribadi. Ini berarti
bahwa masyarakat bisa lebih banyak menggunakan uangnya untuk
keperluan sehari-hari, lebih banyak orang yang membeli buku daripada
meminjamnya di perpustakaan, banyak orang yang menggunakan
kendaraan pribadinya daripada menggunakan transportasi umum, dan
mengeluarkan uang untuk rekreasi dan olahraga. Lebih jauh lagi Nathan
Glazer menulis bahwa “Kemakmuran ini menimbulkan kepercayaan
banyak orang untuk mengelola pendidikan anaknya,
kesehatan keluarga dengan lebih efektif dan kepuasan yang lebih
31
baik – dan mungkin saja dapat mengembalikan pengeluaran mereka
dengan lebih baik – dengan mengalokasikan sejumlah dana untuk
membeli saham di perusahaan yang kompetitif, lebih banyak daripada
mereka membayar pajaknya.

Dengan pertumbuhan kapasitas perekonomian masyarakat yang seperti


ini, sebagian besar warga negara dapat mengelola kehidupan mereka
sendiri. “Kesejahteraan” Negara sedang memburuk dengan mendapatkan
tekanan dari pasar, yang merubah kondisi permintaan dan penawaran atas
pendidikan, pelayanan kesehatan, pemukiman, pensiun, dan semua
komponen “kesejahteraan”. Komsumen dapat membayar lebih dan
meminta lebih banyak untuk pendidikan yang lebih baik, pelayanan
kesehatan yang memuaskan, penyediaan pemukiman yang layak, jaminan
pensiun yang cukup, dan penyediaan barang dan jasa yang secara
kuantitas dan kualitas lebih layak daripada yang ditawarkan oleh negara.
Kesimpulannya faktor ekonomi membuat masyarakat menurunkan
ketergantungannya kepada barang dan jasa yang disediakan pemerintah
dan lebih banyak menerima pendekatan privatisasi dalam pemenuhan
kebutuhan mereka.

E.3.2.3. Tekanan Filosofi

Peranan pemerintah berbeda pada masing-masing kondisi masyarakat


dan bahkan pada masyarakat tunggal berubah setiap saat, bertambah
besar dan menyusut pada tiap dekade. Barang dan jasa pelayanan publik
yang beredar di masyarakat beberapa
diantaranya disediakan oleh sektor publik dan yang lainnya
32
disediakan oleh sektor privat. Kuantitas dari jenis barang dan jasa yang
disediakan oleh sektor publik maupun sektor privat dapat berbeda-beda
di setiap negara (tergantung dari sistem yang dianut oleh negara tersebut
–sosialis atau liberal).

Alasan yang menjelaskan pandangan ini didasari atas filosofi politik dan
ekonomi. Sejarah mengatakan kepada mereka bahwa negara dapat
merupakan suatu ancaman kepada hak-hak asasi individu yang mereka
pertahankan. Insitutsi pemerindah dapat menjelma bersifat tirani bahkan
dalam masyarakat yang demokratis; mereka yang mengerahkan
pendukung mayoritas bisa menggunakan paksaan pemerintah untuk
menghalangi mereka yang minoritas.
Pandangan filosofi politik dan ekonomi tersebut, membantu penjelasan
ini dalam mengganti garis batas penyediaan barang dan jasa pelayanan
publik baik oleh sektor publik atau sektor privat, sehingga menggurangi
peranan pemerintah dan memperluas peranan sektor swasta. Anjuran
filosofis atas privatisasi menginginkan minimalisasi peranan pemerintah,
dalam kepemilikan kekuasaan, anjuran pragmatis menginginkan
pemerintahan yang lebih kecil, yang didasari keinginan untuk lebih
efisien.

E.3.2.4. Tekanan Komersial

Pendorong lain dari privatisasi adalah kepentingan komersial. Pemerintah


mengalokasikan banyak uang, dimana
sebagian besar adalah untuk membayar gaji pegawainya. Banyak
33
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah mengandung
aktivitas komersial rutin yang sama sekali bukan merupakan tugas
pemerintahan yang unik, seperti perawatan bangunan, pertanahan,
transportasi, perkapalan, dan penerbangan; mengetik dan
memproses data; melayani klaim asuransi dan mengirimkan
tagihannya; dan memunguti sampah serta memperbaiki jalan. Grup
bisnis sektor swasta menganjurkan untuk melakukan privatisasi di
dalam aktivitas internal pemerintah dan mendukung legislatif
untuk melarang menggunakan pegawai pemerintah untuk
melaksanakan pekerjaan swasta, yang dapat dilakukan oleh bisnis
sektor swasta.

Segmen lain dari sektor swasta melihat kesempatan bisnis


substansial dalam proyek yang membutuhkan modal besar seperti
pembangunan jalan, jembatan, bandara, dan lain sebagainya.
Perusahaan swasta dapat membiayai, membangun, atau
mengoperasionalkannya semua fasilitas tersebut. Di negara yang
memiliki industri dan asset nasional, dorongan komerisial datang
dari pemimpin bisnis yang melihat kesalahan manajerial, asset
yang tidak digunakan, dan praktek yang lamban sehingga
menghambat kompetisi. Mereka mendorong denasionalisasi,
bentuk lain dari privatisasi, karena pemimpin ini melihat prospek
yang bagus dalam perusahaan negara atau asset yang dimilikinya
jika diusahakan untuk dijual dan dibeli oleh sektor swasta.

Untuk alasan ini, tekanan komersial diharapkan sebagai pendukung


yang aktif dalam privatisasi, walaupun tentu saja
kepentingan mereka adalah sangat berbeda dari perhatian yang
34
pragmatis dan tentang mereka yang menguasakan privatisasi atas dasar
filosofi ekonomi atau politis.

E.3.2.5. Tekanan Populis

Sumber kelima yang mendukung privatisasi adalah tekanan populis, yang


melawan pemerintahan yang besar dan big business dan yang lainnya,
lebih banyak institusi lokal dan memperkuat masyarakat. Ada dua elemen
dari posisi populis, antara lain masyarakat harus memiliki banyak pilihan
dalam pelayanan publik dan mereka harus diberi kekuasaan untuk
memperoleh kebutuhan umum mereka dan menunjukkan mereka untuk
tidak percaya pada birokrasi yang sulit.
Penganut pandangan ini memahami bahwa aksi yang kolektif tidak
berarti perlu tindakan pemerintah. Mereka membenarkan privatisasi
sebab meningkatkan pilihan dan mengusahakan peluang ke penguatan
institusi tradisional dan menguatkan suatu kepemilikan masyarakat local.
Ini berarti bahwa pasar bebas, lokalisme, kesukarelawanan, dan
deregulasi. Mencari masyarakat sosial yang lebih baik, kaum populis
selalu menekenkan untuk privatisasi, dan mereka menggabungkan
kekuatan yang dilakukan secara filosofis untuk meminimalisir
pemerintahan, orang-orang pragmatis yang menginginkan pemerintahan
yang lebih baik, dan kepentingan-kepentingan komersial yang melakukan
pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang lebih banyak.
35
Tabel 3.1

Pengaruh yang Mendorong Privatisasi

Pengaruh
Efek

Alasan

Pragmatis
Pemerintahan
Privatisasi yang bijaksana mendorong efisiensi

yang lebih baik


dalam pembiayaan pelayanan publik.

Ekonomi
Sedikit

Meningkatnya kemakmuran memudahkan

ketergantungan
masyarakat
dalam
memenuhi
kebutuhan

kepada

pribadinya, membuat mereka lebih menerima

pemerintah
privatisasi.

Filosofi/Idiologi
Mengurangi
Pemerintahan terlalu besar, terlalu kuat, terlalu

peran pemerintah
mengganggu/turut campur dalam
kehidupan

masyarakat dan ini berbahaya bagi kehidupan

demokrasi. Keputusan politis yang diambil

pemerintah tidak dapat dipercaya apabila

dibandingkan dengan keputusan pasar bebas.

Privatisasi
dapat
mengurangi
tugas

pemerintah.

Komersial
Lebih
banyak
Pembelanjaan negara adalah bagian terbesar

kesempatan
dari kegiatan perekonomian, lebih dari itu

dalam berusaha
harus diarahkan secara langsung kepada sektor
swasta. Perusahaan dan asset yang dimiliki

negara dapat dimanfaatkan dan digunakan

lebih baik oleh sektor swasta

Populis
Masyarakat
Masyarakat harus mendapatkan pilihan yang

sosial yang lebih


lebih banyak dalam pelayanan publik. Mereka

baik

harus diperkuat untuk mendefinisikan dan

menambahkan kebutuhan umum, dan untuk

menetapkan
pengertian masyarakat
dengan

kepercayaan yang lebih sedikit pada struktur

birokrasi yang rumit, dan kepercayaan yang

lebih banyak kepada jaringan sosial di


masyarakat.

Sumber : Savas, 2000.

36
E.4. Materi Perkuliahan 4 : Teori Privatisasi

E.4.1. Pendahuluan

Krisis ekonomi memaksa pemerintah Indonesia menata ulang kebijakan


ekonominya. Di satu sisi pemerintah berusaha maksimal mengendalikan
pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu dalam rangka efisiensi dan di
sisi lain usaha yang sama dilakukan untuk menggali sumber-sumber
pendapatan baru dalam rangka menutup defisit anggaran. Salah satu
alternatif penggalian sumber-sumber pendapatan adalah mengubah
orientasi kegiatan pelayanan sosial layaknya menjalankan organisasi
bisnis. Upaya ini biasa disebut sebagai enterprising nonprofit (Dees,
1998). Tentunya privatisasi bukan monopoli negara-negara berkembang
seperti Indonesia, Philippines atau Thailand tetapi juga menjadi hal biasa
di negara-negara maju. Cunha and Cooper (1998) misalnya melaporkan
bahwa sejak tahun 1980-an negara-negara Eropa mulai melaksanakan
program privatisasi dalam skala yang cukup besar untuk ukuran negara
maju.

Dengan merujuk pada laporan OECD – Overseas Economic Cooperation


and Development, lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun 1995 Inggris
tercatat sebagai negara paling banyak melakukan program ini. Selain di
Eropa, program privatisasi juga terjadi di Amerika (Thurow; 1996).
Sebagai contoh, Departemen Pertahanan AS dibawah komando Menteri
Pertahanan William Cohen menjalankan Defend Reform Initiative –
swastanisasi kegiatan-kegiatan komersial yang ada dibawah dept.
tersebut (Peters, 1999). Dalam kurun waktu 17 tahun

mulai tahun 1979-1996, Peters menyatakan bahwa sebanyak 90.000


37
pegawai Departemen Pertahanan Amerika terpaksa harus menjadi
karyawan swasta akibat program swastanisasi. Angka ini diperkirakan
mencapai 230.000 pada tahun 2005. Mirsha, Spreitzer and Mirsha (1998:
83) bahkan menyebutkan bahwa sebanyak 1,1 juta orang – dihitung sejak
tahun 1978, yang bekerja pada industry pertahanan Amerika terpaksa
kehilangan pekerjaan akibat adanya program privatisasi dan pemotongan
anggaran belanja pemerintah.

Di Indonesia sendiri, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mulai


gencar melaksanakan program privatisasi. Keseriusan pemerintah
ditunjukkan dengan dibentuknya satu departemen tersendiri, khusus
untuk menangani dan memberdayakan BUMN. Pemerintah bahkan
sengaja mengangkat seorang manajer profesional yang sudah malang
melintang di dunia bisnis menjadi orang nomer satu di departemen
tersebut dengan harapan agar BUMN yang sebagian besar kinerjanya
kurang menguntungkan dapat disehatkan kembali dan kemudian di
swastakan. Penggabungan Bank Exim, BAPINDO, BBD dan BDN,
menjadi Bank Mandiri, meski belum sampai tahap privatisasi, merupakan
salah satu upaya penyehatan bank-bank pemerintah yang bukan tidak
mungkin target berikutnya adalah menswastakan bank tersebut. Hal yang
sama juga terjadi pada PT. PLN yang berencana melakukan
restrukturisasi dimana target berikutnya adalah merger atau aliansi
strategis dengan pihak swasta – suatu kangkah awal menuju privatisasi.

Program privatisasi, baik yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat maupun


yang sedang terjadi di Indonesia, semuanya betujuan untuk
meningkatkan efisiensi dalam rangka peningkatan daya saing organisasi,

melakukan deregulasi dan peningkatan pelayanan kepada pelanggan,


38
mendorong peningkatan produktivitas karyawan, memperkuat pasar
modal dan membantu mengurangi beban pemerintah (Cunha and Cooper,
1998: 201). Sayangnya tujuan mulia dari privatisasi ini juga membawa
konsekuensi yang sulit dihindarkan. Pertama, adalah terjadinya PHK
dalam jumlah yang cukup besar (Rama, 1999). Jika Departemen
Pertahanan Amerika harus memberhentikan puluhan ribu karyawan
seperti contoh di atas, di Indonesia misalnya, bersamaan dengan
berdirinya Bank Mandiri, ribuan karyawan sedang ditawari untuk
mengikuti program pensiun dini yang notabene adalah upaya manajemen
untuk merasionalisasi karyawan. Kedua, di samping terjadinya PHK
secara besar-besaran, privatisasi juga dikhawatirkan akan mempengaruhi
sikap dan perilaku karyawan yang masih tinggal, perubahan manajemen
sumber daya manusia dan perubahan budaya organisasi (Cunha and
Cooper, 1998). Ketiga, implikasi terakhir ini sering kali tidak
diperhatikan oleh para pengambil keputusan kadang lebih
memperhatikan aspek legal dan finansial ketimbang aspek manusianya
(Cartwright and Cooper, 1993a, 1993b, 1995).

E.4.2. Konsep Privatisasi

Banyak ahli-ahli ilmu sosial yang mendefinisikan privatisasi, antara lain


Savas (1987), yang memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan
mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta atas
penguasaan asset Negara. Konsep privatisasi tidak begitu jelas dalam
teori dan praktek (Bailey, 1987; Kolderie, 1986; Kay and Thompson,
1986). Seperti dicatat oleh R.W. Bailey, salah satu dari konsep di dalam
mode adalah privatisasi. Walaupun konsepnya sendiri belum jelas,
39
sementara digambarkan sebagai suatu usaha untuk menuju ke arah
efisiensi dalam organisasi publik sesuai dengan keinginan pasar. Ada
beberapa konsep privatisasi yang berbeda-beda (Bailey, 1987; 138). J.A.
Kay dan D.J. Thompson juga setuju dengan Bailey dengan mencatat
privatisasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menutupi beberapa
perbedaan, dan mungkin alternatif untuk mengubah hubungan antara
pemerintah dan sektor swasta" (Kay Dan Thompson,1986; 18). Ahli lain
yang berpendapat sejalan dengan Savas adalah Butler (1991), yang
mengatakan bahwa privatisasi adalah penggantian fungsi dari sektor
publik menuju sektor swasta/privat, baik secara keseluruhan maupun
sebagian.

Para ekonom dan pengambil kebijakan pada prinsipnya sependapat


tentang hakekat atau makna dari privatisasi. Basri (2002), misalnya,
berpendapat bahwa hakekat atau makna privatisasi adalah mengurangi
keterlibatan atau intervensi pemerintah ke ekonomi secara langsung.
Pemerintah cukup melaksanakan tugas-tugas yang tidak dapat
dilaksanakan oleh pasar termasuk pertahanan dan keamanan serta
redistribusi pendapatan. Dalam kata-katanya “Dalam keadaan yang ideal,
negara hanya bertindak sebagai pengatur, penata, penegak rule of law,
dan penjamin rasa aman.”

Pendapat ini mendapat dukungan yang luas dari para pengambil


kebijakan nasional. Deputi Menteri BUMN Bidang Restrukturisasi dan
Privatisasi, Mahmud Yasin (2002), berpendapat bahwa makna privatisasi
adalah perubahan peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana menjadi
sebagai regulator dan promotor. Dengan kata lain, kepemilikan

pemerintah pada badan-badan usaha perlu dikurangi sampai pada posisi


40
yang minoritas. Pelepasan kepemilikan pemerintah tersebut lebih
diprioritaskan untuk BUMN-BUMN yang berada pada pasar kompetitif
dan atau bukan melakukan tugas-tugas pelayanan dasar yang penting
(bukan public service obligations, PSO).

Privatisasi sering digunakan untuk menggambarkan pada penjualan suatu


aset perusahaan/Publicly Owned Enterprise (POE) atau berbagi kepada
individu atau suatu perusahaan swasta. Bagaimanapun, definisi ini
memberi hanya suatu pengertian privatisasi sempit. Dalam arti lebih luas,
privatisasi mengacu pada membatasi peran pemerintah dan untuk
mengemukakan beberapa metoda atau kebijakan dalam urutan
memperkuat ekonomi pasar bebas. Pengertian privatisasi yang terdahulu,
yaitu. penjualan suatu asset POE's atau berbagi kepada sektor swasta
disebut "denationalisasi". Dua terminologi ini - privatisasi dan
denationalisasi - sangat membingungkan dan kadang-kadang dapat
dipertukarkan di dalam berbagai literatur. Sebetulnya, denationalisasi
hanya salah satu metoda privatisasi. Peran dan fungsi pemerintah dapat
dikurangi atau dapat secara keseluruhan diakhiri dengan menerapkan
beberapa metoda lainnya.

E.4.2.1. Pengertian Privatisasi Terbatas: Denasionalisasi

Denationalisasi mengacu pada penjualan asset atau saham suatu


perusahaan publik kepada sektor swasta. Definisi ini, tentu saja tidaklah
lengkap sama sekali. Sebab, tidak menjelaskan saham atau asset apa yang
dimiliki perusahaan publik yang harus ditransfer ke sektor swasta.
Menurut definisi tersebut, ketika suatu bagian kecil dari saham/assets

dijual kepada sektor swasta, dapat disebut "denationalisasi".


41
Bagaimanapun, ini lebih sesuai untuk menggambarkan denationalisasi
ketika memindahkan sedikitnya 51% saham suatu POE kepada sektor
swasta. Dalam hal ini, perpindahan kepemilikan (penjualan saham)
mengakibatkan perpindahan manajemen dan operasi juga.
Bagaimanapun, denationalisasi total memerlukan semua saham dan asset
tentang suatu POE yang harus dijual kepada sektor swasta.

Dalam denasionaliasi ada dua tujuan penting yang ingin dicapai, yaitu :
efiseinsi yang lebih besar dan kepemilikan privat yang menyebar luas
(Bös, 1986). Hasil yang ingin dicapai adalah kompetisi yang dibawa oleh
denasionalisasi itu sendiri. Pasar yang kompetitif menciptakan efisiensi
dalam alokasi dan produksi. Efisiensi alokatif berarti sumber daya
ekonomi dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang
dibutuhkan orang banyak. Dalam kata lain, kompetisi menyebabkan
penghargaan sumber daya ekonomi yang sangat tinggi. Sedangkan
efisiensi dalam produksi, menggambarkan situasi dimana total
capaian/output dari perusahaan dapat dicapai dengan biaya penggunaan
sumber daya yang rendah. Kompetisi memaksa perusahaan untuk
memproduksi output dengan biaya yang seminimal mungkin.
Denasionalisasi tidak mudah untuk diimplementasikan, banyak masalah
yang mungkin menjadi penghambat dalam pengimplementasiannya.
Masalah-masalah utama dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
Waktu dan perencanaan dari proses denasionalisasi : denasionalisasi
dapat adalah isu periodik. Ini sangat penting untuk membuat suatu jadwal
untuk meraih outcome yang baik.oleh
42
karena itu, langkah-langkah berikut dapat menjadi pertimbangan
dalam pengimplementasiannya, yaitu :

Promosi program denasionalisasi dan strategi-strateginya untuk


masyarakat,
Studi untuk persiapan denasionalisasi,

Kerangka legalitas,

Mengimplementasikan program denasionalisasi secara terpadu dan


berkelanjutan.
Masalah utama : masalah yang menjadi prioritas dalam
denasionalisasi adalah menentukan perusahaan publik mana yang
asset atau sahamnya akan dijual pertama kali, menentukan kelompok-
kelompok, asset atau saham yang ditawarkan adalah masalah lainnya.
Beesley dan Littlechild ada tiga criteria untuk menemukan masalah
prioritas itu, antara lain :

Kriteria ukuran : sesuai dengan hokum ceteris paribus, industri yang


lebih besar menawarkan potensi ruang lingkup uang simpanan yang
lebih besar. Pendek kata, industri yang lebih besar harus
dipertimbangkan untuk denasionaliasi lebih dulu.

Kriteria mengubah kekuatan pekerja : menurut kriteria ini perusahaan


nasional yang memiliki jumlah pekerja yang lebih besar harus
dipertahankan.

Kriteria kompetisi : Beesley Dan Littlechild berpendapat bahwa


promosi kompetisi - dengan pemindahan pembatasan tiruan pada
masukan, membuat sumber daya tersedia untuk pesaing

potensial, dan merestrukturisasi industri yang ada - adalah

sangat efektif memaksimalkan keuntungan konsumen dan


43
menahan kekuatan monopoli (Beesley and Littlechild, 1983; 18).

Masalah-masalah lain : beberapa masalah lain akan timbul sebelum


pengimplementasian program denasionalisasi, antara lain:
Penilaian asset yang dimiliki perusahaan publik adalah tidak mudah
untuk dilakukan.
Beberapa masalah akan timbul sebelum penjualan saham yang dimiliki
POE. Masalah yang penting adalah bagaimana menentukan nilai saham
atau asset yang dimilikinya, apakah pasar domestic bisa menyerap
penjualan saham atau asset kekayaan, apa yang menjadi harapan dari
permintaan dan penawaran dalam pasar modal, dan ukuran apa yang
digunakan agar bursa saham tidak dikumpulkan ke dalam satu tangan
atau

oleh beberapa tangan.

Pada sisi lainnya penghalang dari penerapan program denasionalisasi


adalah sebagai berikut :
Ketidakseimbangan dan ketidakpastian aspek politis yang dimiliki suatu
Negara,
Ketidakseimbangan dan ketidakpastian perekonomian yang dimiliki
suatu Negara, dan
Pasar modal yang belum belum berkembang dan lemah.

E.4.2.2. Pengertian Privatisasi Luas

Dalam pengertian yang lebih luas privatisasi dimaknai sebagai


pemindahan fungsi-fungsi eksklusif yang biasanya dilakukan organisasi
publik kepada sektor-sektor organisasi swasta/privat. Dengan kata lain,
44
privatisasi sebagai landasan dalam memotong semua metode atau
implementasi kebijakan untuk meningkatkan peran kekuatan pasar dalam
perekonomian nasional. Dalam konteks ini konsep privatisasi meliputi
beberapa pengaturan untuk mendistribusikan barang dan jasa yang
dilakukan oleh sektor swasta/privat. Pengaturan-pengaturan ini antara
lain sebagai berikut :

Contracting-Out (pemborongan/kontrak) : berdasarkan pengaturan ini


pemerintah mengontrak organisasi provit sebagai organisasi non
provit/nirlaba untuk mendistribusikan barang dan jasa. Dengan kata lain,
pemerintah membeli jasa dari perusahaan privat/swasta atau organisasi
nirlaba. Kontrak kerja ini biasanya dapat dapat dilihat pada pengelolaan
jasa lahan parker, pariwisata, pelayanan kesehatan dan keamanan, dan
sebagainya. Sedangkan untuk sector barang-barang yang dimiliki
pemerintah misalnya adalah mobil pemadam kebakaran, ATK,
pembangunan gedung, dan lain-lain.

Pemborongan atau kontrak kerja ini memiliki keunggulan antara lain :


Kontrak kerja dan pemborongan ini dapat meningkatkan perkembangan
dan kompetisi,
Menyediakan system manajemen swasta yang lebih baik dibandingkan
dengan manejemen public,
Membantu dalam mengurangi ukuran pemerintah, dalam hal ini adalah
jumlah pekerja,

45
Membantu mengurangi ketergantungan atas monopoli yang
dilakukan pemerintah yang menyebabkan inefisinsi dan
inefektivitas dalam pelayanan public,

Dalam metode ini, kontraktor dapat dihukum jika kualitas


pelayanannya buruk dan tidak memuaskan, dan
Kontraktor lebih fleksibel dalam merespon kebutuhan warga
Negara.
Kebalikannya kontrak kerja atau pemborongan ini memiliki
kelemahan antara lain :
Korupsi bisa saja terjadi pada saat proses kontrak kerja pada
individu atau perusahaan swasta.
Melakukan kontrak mungkin membatasi fleksibilitas
pemerintah dalam merespon keadaan darurat sebab kontraktor
dapat melakukan kelalaian dan kebangkrut atas aktivitas
mereka.

Tender yang kompetitif tidaklah tanpa biaya, ada biaya-biaya


yang dikeluarkan untuk otoritas Negara dalam mengurangi
pengawasan dan menguatkan/memaksakan kontrak.
Kontraktor mungkin membayar personil yang kurang
pengalaman dengan gaji yang rendah dan ini meningkatkan
kualitas pelayanan.
Kontrak kerja atau pemborongan ini memberhentikan pekerja
publik/PNS, akibatnya pemerintah harus membayar
kompensasi pengangguran kepada publik yang diberhentikan.
46
Franchising : Di bawah suatu persetujuan franchise, pemerintah
memberi suatu hak monopoli khusus kepada suatu perusahaan
swasta untuk menghasilkan dan menyediakan beberapa bagian
layanan tertentu . Di samping hak eksklusif yang diberikan kepada
perusahaan swasta ini, pemerintah boleh juga memberikan
penghargaan berbagai franchise.

Deregulation dan Decontrol : deregulasi dan dekontrol


merupakan dua kebijakan untuk memperkuat pasar ekonomi bebas.
Ide pokoknya adalah untuk menghapus semua “regulasi publik”
dalam berbagai sektor. Ini menjelaskan bahwa semua tipe “kontrol
publik” harus dihapuskan. Sebagian dari regulasi dan control ini
memerlukan agen ekonomi “untuk melakukan” atau “untuk tidak
melakukan” atau “ mendapatkan ijin untuk melakukan” beberapa
aktivitas. Control dan regulasi publik mencakup “legal
administratif” atau “ekonomi”. Beberapa contoh regulasi
administratif dan hukum adalah : peraturan lalu-lintas, pajak, wajib
militer, dan lain-lain. Regulasi ekonomi meliputi praktek yang
dilaksanakan oleh pemerintah ketika memberikan penghargaan
jabatan, hak paten, franchise, tariff dan kuota untuk perdagangan
internasional dan lain sebagainya.
User Charges (Biaya Penggunaan) : Beberapa jasa dan barang-
barang publik disediakan secara gratis dan dibiayai dana
pemerintah. Sesungguhnya. ini adalah suatu kebutuhan karena
karakteristiknya "tak dapat dibagi" dan "bukan merupakan
pengeluaran" beberapa barang-barang dan jasa tersebut. Seperti
pertahanan keamanan dan jurisdiksi hokum yang merupakan
47
contoh dari pelayanan itu. Walaupun ada beberapa tipe dari barang
dan jasa lain yang manfaatnya dapat dengan mudah dibagai dan
para penggunanya dapat mengkonsumsinya dengan mudah. Seperti
pendidikan yang lebih tinggi, pelayanan kesehatan yang lebih baik,
entertainment, Cable TV, daya listrik, dan transportasi massa.

Grant System (Sistem Tunjangan/Dana) : Dana atau tunjangan


adalah berbentuk financial atau kontribusi kepada individu atau
perusahaan swasta yang diberikan oleh pemerintah. Dengan kata
lain, tunjangan ini diberikan untuk mendukung dan mendorong
proses produksi. Tunjangan tersebut bisa berwujud dana tunai,
pajak perangsang, pinjaman dengan bunga rendah dengan suatu
jaminan tertentu.
Sistem Voucer : Sistem voucer ini dirancang untuk mendorong
konsumsi atas barang-barang dan jasa oleh para kalangan kelas
konsumen tertentu. Metode ini dapat diterapkan di berbagai arena.
Contoh yang dapat diterapkan dalam sistem voucer ini antara lain
perawatan kesehatan, iuran sekolah, pembelanjaan makanan,
transportasi, perawatan anak, dan lain sebagainya. Sistem voucer
ini dapat bekerja dengan baik apabila memenuhi kondisi berikut :

Sistem voucer harus menyediakan insentif kepada para masyarakat


untuk berbelanja secara bijak.
Masyarakat harus mendapatkan informasi dengan jelas mengenai
kondisi pasar termasuk lokasi, kualitas dan harga dari produk
barang dan jasa yang mereka inginkan.
48
Kualitas barang dan jasa yang dengan mudah dapat diukur.

Produk barang dan jasa yang merupakan subjek dari sistem vouver
ini harus relatif murah dan dapat dibeli kapanpun juga
(kuantitasnya banyak).

Pembeli dapat menganti merek dan supplier dari waktu ke waktu,


mempunyai periode dalam membandingkan kualitasnya dengan
berbagai pilihan alternatif yang berbeda.

Management Contract : Pemerintah bisa mempertahankan


kepemilikan perusahaan pulik atau penyedia fasilitas umum dalam
suatu waktu, tetapi memindahkan manajemennya pada persahaan
swasta. Alasan rasionalnya adalah untuk menjaga efisiensi
produksi. Manajemen pada umumnya bekerja sebagai berikut :

Pemerintah mempertahankan kepemilikan penuh atas perusahaan


publik.
Pemerintah menyediakan dana yang diperlukan manajerial untuk
menjalankan aktivitas perusahaan itu.
Manajer menyediakan paket yang terintegrasi dari kemempuan
manajerial yang diperlukan untuk membangun, beroperasi, atau
merehabilitasi perusahaan publik tersebut.
Manajer kadang-kadang memiliki sejumlah saham kekayaan
perusahaan publik. Hal ini memotifasi manajer untuk menjalankan
perusahaan ini secara efektif.
49
Leasing : Leasing sebetulnya secara prinsip dalam tidak jauh
berbeda dengan metode contracting-out atau franchising dalam
mentransformasikan manajerial dan operasional dari manajemen
swasta ke sektor publik, tetapi dalam hal ini yang membedakan
adalah pengaturannya. Dalam model leasing kepemilikannya
masih ditahan oleh pemerintah, dan dalam model leasing ini
pemerintah membuat kontrak kepada perusahaan swasta untuk
mendistribusikan barang dan jasa.

Joint Venture (Usaha Patungan) : Joint venture ini adalah


hubungan kerjasama dua atau lebih perusahaan, dimana
perusahaan yang tergabung ini sepakat untuk memenuhi target
bisnis yang sama, berbagi keuntungan, kerugian dan menanggung
resiko secara bersama-sama. Joint venture ini dapat diaplikasikan
dalam berbagai bidang antara lain perdagangan, pertukaran
komuditas, pembangunan dan pengadaan teknologi, program-
program pelatihan, konsultasi, product development, eksplorasi gas
alam, minyak bumi, dan galian pertambangan, pemasaran
internasional, dan konstruksi bangunan. Joint venture ini bisa
dilakukan oleh perusahaan swasta yang berkolaborasi dengan
perusahaan publik, dan bisa disebut “perusahaan gabungan”.

Build-Operate-Transfer System (BOT) : Sistem ini sangat


sederhana dan dapat dengan mudah menarik modal asing. Investasi
modal asing diarahkan untuk membangun fasilitas

infrastruktur, stasiun eksplorasi bahan bakar, pusat pertunjukan,

fasilitas rekreasi dan lain-lain, dalam negara yang sedang


50
berkembang atau yang menjadi objek. Penanaman modal swasta
asing, terutama yang berwujud investasi langsung memaninkan
peranan penting dalam pembangunan ekonomi di negara-negara
sedang berkembang. Penanaman modal swasta dalam negeri tidak
cukup dalam kaitannya dengan minimnya akumulasi modal swasta,
keengganan dalam mpengambil resiko, dan ketidakpastian lainnya.

Non-Provit Organization : Biasa disebut organisasi volunteer,


juga menyediakan beberapa jasa dan barang publik. Suatu
perusahaan yang non-profit, adalah suatu organisasi yang dihalangi
dalam membagikan keuntungannya, ada individu yang melakukan
kontrol yaitu anggota, apra pejabat, dan direktur. Dalam hal ini
karakteristik utamanya dapat disebut “nondistribution constraint”,
organisasi non-profit memiliki beberapa cirri khusus antara lain :

Mereka selalu mendapatkan berbagai tunjangan subsidi pajak


seperti donasi yang bisa mengurangi pajak yang dibayarkan, tariff
pos khusus, pembebasan dari pajak pendapatan dan property.
Mereka pada umumnya tidak memiliki akses ke hasil pajak untuk
mendukung keuangan, bagaimanapun kadang-kadang mereka
mendapatkan dana dari pemerintah.
Mereka biasanya menerima hanya sebagian kecil dari pendapatan
total yang diperoleh dari donasi baik dari sumber swasta maupun
sumber publik. Keseluruhan
51
pendapatan mereka bahkan lebih bergantung pada sebagian besar
termasuk biaya penggunaan atas penjualan jasa atau dari anggota.

Berpedoman pada karakteristik yang terakhir, maka organisasi nirlaba itu


memiliki dua sisi yaitu “donatif” dan “komersial”. Organisasi nirlaba
yang donatif menerima sebagian besar atau keseluruhan pendapatannya
dalam bentuk tunjangan atau donasi dari individu, perusahaan swasta,
atau juga dari pemerintah. Berlawanan dengan itu, organisasi nirlaba
komersial menggantungkan pendapatannya dari pembayaran biaya
penggunaan atas pelayanan yang diberikan.

E.4.3. Manfaat dan Tujuan Privatisasi

Secara umum, ada lima hal penting yang patut menjadi perhatian dalam
program privatisasi yaitu: alasan ekonomi dan keuangan, informasi,
strategi, pengawasan dan kultural (Cunha and Cooper, 1998: 202).

Pertama, berdasarkan alasan ekonomis dan keuangan, program


privatisasi diharapkan dapat membantu mengurangi defisit yang dialami
perusahaanperusahaan sektor publik sehingga perusahaan ini mampu
membiayai diri sendiri mengingat pemerintah sedang mengalami defisit
anggaran.

Kedua, tujuan informatif dari privatisasi umumnya dikaitkan dengan cara


pemberian insentif bagi manajer dan karyawan lainnya. Pemberian
insentif bagi manajer atau karyawan perusahaan negara
52
umumnya tidak didasarkan pada performance based tetapi didasarkan
pada masa kerja, senioritas, loyalitas dan kedudukan karyawan. Dengan
privatisasi, perusahaan dituntut untuk memberikan insentif bagi manajer
dan karyawan berdasarkan performance based – sesuai dengan kinerja
masing-masing. Untuk itu perusahaan harus efisien, baik productive
efficiency (meminimalkan biaya) maupun allocative efficiency
(penentuan harga jual yang merefleksikan besarnya biaya produksi).
Selanjutnya agar bisa efisien, perusahaan harus mempunyai informasi
yang lengkap, baik informasi pasar untuk tujuan pengukuran kinerja
perusahaan maupun informasi tentang kinerja karyawan sebagai dasar
pemberian insentif.

Ketiga, dalam kaitannya dengan tujuan strategis, privatisasi diharapkan


dapat mengubah orientasi perusahaan menuju ke pencapaian satu tujuan
yang lebih spesifik (berkonsentrasi pada core business). Perubahan
orientasi ini tentu saja membutuhkan strategi perusahaan yang koheren –
kebalikan dari strategi perusahaan negara yang umumnya tidak terarah
(disarray).

Keempat, dengan privatisasi berarti terjadi perubahan fungsi pengawasan


perusahaan, dari pemerintah ke pihak swasta. Jika sebelumnya
pemerintah mempunyai wewenang untuk menentukan siapa yang harus
menjadi pimpinan puncak perusahaan, menentukan besarnya jumlah
karyawan dan mengarahkan tujuan perusahaan, dengan privatisasi semua
fungsi ini dikendalikan oleh pihak swasta

atau paling paling tidak peranan pemerintah menjadi sangat minimal.


Perubahan fungsi pengawasan ini biasanya diikuti dengan
53
pengurangan jumlah karyawan dan adanya tuntutan agar karyawan yang
tinggal bekerja lebih baik (Nijhof and Fissher, 1997). Minimal ada tiga
alasan mengapa hal ini terjadi (1) setelah adanya privatisasi, posisi
pemerintah dan serikat kerja sebagai alat kontrol menjadi semakin lemah
(2) karena perusahaan negara cenderung padat karya dan inefisien dalam
pengeloaan sumber daya manusia dan (3) dalam rangka pengurangan
beban biaya gaji karyawan karena adanya over staffing.

Kelima, privatisasi dapat menciptakan budaya perusahaan yang selaras


dengan lingkungan bisnis yang baru. Sebagaimana kita ketahui, pada
umumnya perusahaan negara mempunyai budaya yang sangat birokratis,
kepemimpinan yang cenderung otoriter – tidak visioner, tidak inovatif,
tidak efisien, sentralistik dan bahkan sering dikatakan sebagai non-
komersial atau anti komersial.

Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa tujuan utama


privatisasi ada dua, yaitu : pertama, untuk mengurangi defisit fiskal dan
atau menutupi kewajiban-kewajiban (hutang-hutang) pemerintah yang
jatuh tempo, dan kedua, untuk mendorong kinerja ekonomi makro atau
efisiensi makro. Tujuan pertama umumnya diadopsi oleh negara-negara
maju (industri) dan tujuan kedua umumnya diadopsi oleh negara-negara
berkembang utamanya dalam kerangka tujuan jangka pendek.

Negara-negara maju yang menggulirkan program privatisasi dengan


tujuan utama adalah efisiensi makroekonomi termasuk: Inggeris (1979,
1984, dan 1997); Perancis (1986, 1988, dan 1997); dan Jepang
54
(1980, 1987, dan 1988). State owned enterprises, SOEs, yang mereka
privatisasi umumnya dimulai dari sektor telekomunikasi: British Telcom
(Inggeris); French Telkom (Perancis); dan Nippon Telegraph and
Telephone, NTT, (Jepang). Sedangkan negara-negara berkembang yang
mengadopsi program privatisasi dengan tujuan utama untuk menutupi
defisit fiskal dan atau untuk menutupi kewajiban-kewajiban (hutang-
hutang) pemerintah yang jatuh tempo, termasuk: RRC (1999); Chile
(Telefones de Chile) (1990); Mexico (1982, 1992); Brazil (1998); Bolivia
(1998); dan Afrika Selatan (1995). Lihat, Megginson dan Netter (2001).

E.4.4. Pelaksanaan Privatisasi

Terdapat beberapa hal penting yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan


privatisasi BUMN, sebagai berikut :
Privatisasi seharusnya berasal dari usulan internal BUMN, karena antara
lain adanya keterdesakan ekonomi, seperti pencabutan hak monopoli,
pengurangan subsidi, masalah hutang dan pembiayaan pengembangan
bisnis, menuntut manajemen agar lebih kreatif dalam mencari
sumberdaya keuangan atau untuk mempertahankan eksistensi perusahaan
dimasa depan. Bila privatisasi diusulkan oleh pihak manajemen, maka
manajemen akan lebih serius melaksanakan kebijakan privatisasi melalui
beberapa terobosan. Terobosan yang dapat dilakukan antara lain,
melakukan restrukturisasi organisasi, melakukan initial public offering
(IPO), dan merancang strategi korporasi yang visible, feasible,
transferable dan measurable.
55
Kebijakan privatisasi yang merupakan gagasan (diinisiasi)
pemerintah karena beberapa tuntutan politis – seperti masalah
APBN, dan kepentingan politik yang tersembunyi (vested interest)
– tidak akan memberikan hasil yang optimal. Nilai perusahaan
yang akan diprivatisasi akan menurun manakala intervensi
pemerintah ke dalam manajemen terlalu besar. Political cost yang
harus ditanggung oleh perusahaan pada saat privatisasi menjadi
tinggi, sehingga perusahaan menjadi tidak menarik bagi investor.

Hasil positif dari privatisasi yang ditunjukkan oleh BUMN yang


telah melaksanakannya antara lain perbaikan pelaksanaan good
corporate governance, perubahan fundamental organisasi, dan
peningkatan kinerja dapat diaplikasikan dalam praktik privatisasi
BUMN di masa yang akan datang. Serta mampu memberikan
kontribusi deviden dan pajak yang cukup signifikan pasca
privatisasi.

56
E.5. Materi Perkuliahan 5 : Privatisasi Praktis

E.5.1. Pendahuluan

Para pendiri bangsa telah menyadari sejak awal bahwa Indonesia sebagai
kolektivitas politik tidak memiliki modal yang cukup untuk
melaksanakan pembangunan ekonomi, sehingga ditampung dalam pasal
33 UUD 1945, khususnya ayat 2 yang menyatakan: “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara”, Secara eksplisit ayat ini menyatakan
bahwa Negara akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi. Selama
pasal 33 UUD 1945 masih tercantum dalam konsitusi maka selama itu
pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam perekonomian
Indonesia masih tetap diperlukan.
Visi UUD mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
Pengelolaannya diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Visi
ini harus diterjemahkan dalam ukuran yang lebih rinci dan kemudian
dilakukan identifikasi jenis usaha yang masih perlu dikelola oleh negara,
sehingga dapat menghasilkan jenis BUMN yang masuk kategori public
service obligation atau PSO.

Sungguhpun suatu BUMN masuk dalam kategori PSO, pengelolaannya


harus didasarkan pada prinsip prinsip bisnis. Dalam hal ini harus ada
perhitungan yang jelas, berapa biaya produksi per unit yang efisien dan
berapa banyak porsi biaya yang harus menjadi beban fiskal dan atau
subsidi silang. Kriteria manfaat yang diperoleh rakyat harus

jelas dan terukur sehingga dapat dihitung pula sumbangannya terhadap


57
kemajuan tingkat kemakmuran sebagaimana diamanatkan oleh founding
fathers republik ini.
Selanjutnya, BUMN non PSO harus diarahkan dan dibina menjadi
perusahaan komersial murni yang sebagian atau keselurahan pemilikan
sahamnya oleh negara. Dengan prinsip komersial ini, visi BUMN harus
diarahkan menjadi perusahaan yang sustainable dengan kinerja diatas
rata-rata industri dan secara bertahap bisa berperan dari national player
menjadi global player.
BUMN merupakan pelaku bisnis yang dominan di banyak negara yang
sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Walaupun rata-rata kinerja
operasional dari BUMN secara empiris sungguh memprihatinkan, namun
peranannya dalam perekonomian masih cukup besar. Peranan BUMN
dalam bidang perekonomian untuk memenuhi kebutuhan publik, yang
relatif besar adalah di sektor listrik, air bersih, bahan bakar,
telekomunikasi, bahan pangan, dan perbankan yang masih dikerjakan
oleh BUMN.
Secara akademik privatisasi memiliki perlindungan teori yang kuat,
karena sebagian dari teori-teori yang mendukung privatisasi BUMN itu
didasarkan kepada akar dari kegagalan pemerintah dalam mengelola
perekonomian, teori property rights, hubungan principal agent, dan
masalah insentif. Masalah pertama terkait dengan kegagalan pemerintah
dalam mengelola perekonomian adalah dengan diberikannya hak
monopoli kepda BUMN sehingga sering menyebabkan BUMN tidak
efisien dalam mengasilkan output. Sementara property rights yang
diberikan kepada pihak swasta dapat menciptakan insentif bagi

terciptanya efisiensi perusahaan. Masalah agency theory terkait dengan


58
hubungan principal agent dimana ketidakjelasan pendefinisian tentang
pemilik/owner sering menjadi bahan politisasi yang merugikan BUMN
itu sendiri. Pendapat ini sejalan dengan Osborne dan Gaebler (1992)
dalam Reinventing Government dimana pemerintah harus fokus kepada
pekerjaannya dan tidak mengurus hal-hal yang diluar core competence-
nya.

E.5.2. Sejarah Privatisasi di Indonesia

Timbulnya BUMN sesungguhnya karena adanya kegagalan mekanisme


pasar mencapai alokasi sumber daya secara optimal disebabkan adanya
monopoli dan eksternalitas, pertimbangan ideologi, pertimbangan sosial
politis atau sebagai warisan
sejarah. Sejak Indonesia merdeka, posisi dan peranan perusahaan negara
menjadi perdebatan di kalangan founding fathers. Perdebatan tersebut
terutama berkisar pada kata “dikuasai oleh negara” (Pasal 33, ayat 2).
Presiden Soekarno menafsirkan bahwa karena kondisi perekonomian
pasca kemerdekaan masih lemah, maka negara harus menguasai sebagian
besar bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi.
Sedangkan, Wakil Presiden Mohammad Hatta memandang bahwa negara
hanya cukup menguasai perusahaan yang benar-benar menguasai
kebutuhan pokok masyarakat, seperti listrik dan transportasi. Pandangan
Hatta ini sejalan dengan paham ekonomi modern, dimana posisi negara
hanya cukup menyediakan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan
pembangunan (Rice, The Origin of Basic Economic Ideas and Their
Impact on New Order Policies, 1983).
59
Posisi dan peranan negara dalam perekonomian nasional pasca
kemerdekaan sangat dominan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut: (1) situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak
memiliki social overhead capital (SOC) sebagai modal pembangunan;
(2) Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities sebagai akibat
perang; dan (3) terpinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas
ketiga setelah pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China).
Berbagai permasalahan tersebut mendorong pemerintah untuk berperan
lebih besar dan melakukan beberapa intervensi untuk mendorong
tumbuhnya perekonomian nasional.

Upaya menggerakkan perekonomian dalam masa demokrasi parlementer


diimplementasikan melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan
Program Benteng yang ditujukan untuk membantu pengusaha pribumi.
Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah juga diarahkan untuk
mendorong perekonomian nasional dengan mendirikan perusahaan
negara melalui proses nasionalisasi. Nasionalisasi terutama terjadi pada
beberapa perusahaan Belanda di bidang infrastruktur yang bersifat
natural monopoly.

KLM dinasionalisasi menjadi Garuda Indonesia Airways, Batavie


Verkeers Mij dan Deli Spoorweg Mij dinasionalisasi menjadi Djawatan
Kereta Api (DKA), Post, Telegraph en Telephone Dienst (PTT)
dinasionalisasi menjadi Jawatan Pos, Telegraph dan Telepon yang pada
tahun 1961 diubah menjadi Perusahaan Negara Pos Giro dan
Telekomunikasi. Pada awal tahun 1950-an, pendirian perusahaan negara
dibatasi pada beberapa sektor vital (sesuai pendapat Hatta). Namun pada

tahun 1958 pemerintah melakukan nasionalisasi hampir semua sektor


60
(sesuai dengan pendapat Soekarno). Kekalahan partai Masyumi dan dan
Partai Katolik yang mendukung pendapat Hatta di parlemen, terkait
dengan Undang-undang Nasionalisasi, berimplikasi pada nasionalisasi
yang dilakukan secara besar-besaran terhadap perusahaan Belanda (Ralph
Anspach, Underdevelopment and Economic Nasionalism in Southeast
Asia,1969).

Nasionalisasi secara besar-besaran ini oleh para pakar dipandang sebagai


by accident dan bukan by design. Ironisnya sebagian besar perusahaan
Belanda yang dinasionalisasi sudah mengalihkan assetnya ke Belanda.
Pemerintah banyak menasionalisasi perusahaan boneka yang secara
ekonomis sebenarnya tidak memberikan kontribusi positif bagi
perekonomian, bahkan di kemudian hari menjadi beban pemerintah.
Untuk menambah aset BUMN, pemerintah harus menyisihkan kekayaan
negara dari APBN, sehingga membengkakkan anggaran pembangunan
dan belanja negara.

Kondisi ini diperparah dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
mulai saat itu Indonesia menganut sistem Demokrasi Terpimpin. Pada
masa itu Pemerintah menasionalisasi kurang lebih 600 perusahaan,
dimana setengahnya adalah perusahaan perkebunan, lebih dari seratus
perusahaan dalam bidang pertambangan, dan sisanya sektor perdagangan,
perbankan, asuransi, komunikasi dan konstruksi. Setelah dilakukan
restrukturisasi pada akhir masa Demokrasi Terpimpin, jumlah perusahaan
yang dikuasai oleh negara menjadi 233 perusahaan (Mardjana, Public
Enterprises under the New Order,1999).

Pada masa pemerintahan Orde Baru sebagian besar paradigma

pembangunan merupakan antitesis dari Orde Lama. Perbedaan yang


61
nyata adalah bahwa Presiden Soeharto menerapkan azas pragmatisme
dalam ekonomi yang dijalankan oleh para teknokrat dengan memperoleh
dukungan dari kelompok militer.

Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, dalam batas tertentu


Orde Lama dan Orde Baru memiliki banyak kesamaan. Yakni
menempatkan perusahaan negara sebagai tulang punggung
perekonomian. Dalam pemerintahan Suharto, dominasi perusahaan
negara secara berangsur-angsur dikurangi sebagaimana dinayatakan oleh
Robert C. Rice (1983) bahwa :

“Both the Soekarno and Soeharto’s governments have declared that the
roles of the state owned enterprises and cooperative sectors are
important, but the Soeharto’s government has moved to decrease the role
of the state owned enterprises and has greatly increased the role of
private sector (including foreign enterprises) in the economy”.

Pragmatisme ekonomi ditunjukkan dengan penerapan kebijakan makro


ekonomi khas barat yang menjadi rujukan strategi pembangunan.
Kebijakan ini dipadu dengan keterbukaan pemerintah terhadap arus
modal asing dari negara-negara barat. Kebijakan pemerintah untuk
membuka diri bagi sektor swasta untuk berperan dalam perekonomian
nasional dan mengurangi peran perusahaan negara juga dipandang
sebagai wujud pragmatisme.

Dalam kondisi tabungan masyarakat yang masih rendah, membuka diri


terhadap masuknya modal asing merupakan salah satu upaya pemerintah
untuk membiayai pembangunan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan
Undang Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan
Undang Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN). Dalam
62
prakteknya pemerintah Orde Baru tidak melakukan kontrol atas arus
(masuk dan keluarnya) modal asing dalam perekonomian nasional.

Dalam kaitan dengan pengelolaan BUMN, pada awal Orde Baru,


pemerintah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan BUMN yang terdiri
dari: dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Hal ini ditujukan
untuk membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk terlibat dalam
proses pembangunan. Upaya perbaikan kinerja BUMN dilakukan melalui
pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 9
Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara.

Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut,


BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan peran sosial ekonomisnya,
yaitu Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan
Terbatas. Dalam perkembangannya, BUMN di Indonesia mengalami
beberapa perubahan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan
kebijakan pemerintah.

BUMN sebagai salah satu tulang punggung perekonomian (asset


produktif yang dimiliki oleh pemerintah) diharapkan mampu
memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam bentuk dividen dan
pajak. Meskipun pemerintah sangat berkepentingan pada kesehatan
BUMN, namun kenyataannya justru banyak BUMN yang merugi.
Penyebab utama kerugian di banyak BUMN adalah pengelolaan yang
tidak profesional, tidak berdasarkan prinsip ekonomi perusahaan, serta
tidak transparan, yang pada akhirnya beban berat harus dipikul oleh
rakyat.

63
E.5.3. Mengapa dan Bagaimana Strategi Privatisasi

Pro dan kontra terhadap kebijakan privatisasi BUMN masih terus


berlanjut dengan argumentasi dari masing-masing pihak. Pihak yang
setuju dengan privatisasi BUMN berargumentasi bahwa privatisasi perlu
dilakukan untuk meningkatkan kinerja BUMN serta menutup devisit
APBN. Dengan adanya privatisasi diharapkan BUMN akan mampu
beroperasi secara lebih profesional, efisien, dan semakin produktif dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat. Logikanya, dengan privatisasi di atas
50% (kepemilikan saham dan asset), maka kendali dan pelaksanaan
kebijakan BUMN akan bergeser dari pemerintah ke investor swasta.
Sebagai pemegang saham terbesar, investor swasta baru tersebut tentu
akan berupaya untuk bekerja secara efisien, sehingga mampu
menciptakan laba yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang
lebih banyak, serta mampu memberikan kontribusi yang lebih baik
kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan pembagian dividen.

Di lain pihak ada yang tidak setuju dengan privatisasi, berargumen bahwa
apabila privatisasi tidak dilaksanakan, maka kepemilikan BUMN tetap di
tangan pemerintah. Dengan demikian segala keuntungan maupun
kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Mereka
berargumentasi bahwa devisit anggaran APBN tahun-tahun sebelumnya
harus ditutup dengan sumber lain, bukan dari hasil “penjualan” BUMN.
Mereka memprediksi bahwa defisit APBN juga akan terjadi pada tahun-
tahun mendatang. Apabila BUMN dijual setiap tahun untuk menutup
defisit APBN, suatu ketika BUMN akan habis terjual dan defisit APBN
pada tahun-tahun mendatang tetap akan terjadi.
64
Dewasa ini sektor BUMN tengah mendapat sorotan dari masyarakat
karena kinerjanya yang belum optimal. Menurut Setyanto P Santoso,
rendahnya kinerja BUMN terlihat pada rendahnya deviden yang diterima
negara dari BUMN. Dari jumlah 158 BUMN yang ada saat ini, hanya 76
perusahaan saja yang dapat menyetorkan deviden kepada negara
(Mahsun, 2006). Dampak lain dari menurunnya kinerja BUMN adalah
menurunnya market share masing-masing produk BUMN akibat dari
daya saing yang rendah dan makin meningkatnya persaingan dimasing-
masing bidang usaha. Selain itu motif lainnya adalah perkembangan
ekonomi dunia yang berlangsung sangat cepat dan dinamis terutama
berkaitan dengan globalisasi seperti kesepakatan World Trade
Organisation (WTO), Asean Free Trade Assosiation (AFTA) dan lain
sebagainya. BUMN perlu mengoptimalkan perannya dalam
perkembangan perekonomian global agar siap berkompetisi dan terhindar
dari kebangkrutan. Salah satu yang harus dilakukan BUMN adalah
dengan mereformasi kinerja pegawai untuk meningkatkan efisiensi dan
daya saing.

Beberapa tahun terakhir negara mempunyai perusahaan pengelola aset


(PPA) yang berfungsi menangani BUMN-BUMN yang berkinerja buruk.
BUMN ini akan dikategorikan dalam intensive care unit (ICU)
dikarenakan menjadi penyumbang kerugian terbesar negara. BUMN yang
merugi tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

65
Tabel 5.1

BUMN Yang Merugi (Dalam Milyar Rupiah)

Nama BUMN
2006
2007

PT Merpati NA
283,432
101,637

PT PELNI
159,888
88,048

PT Inhutani V
11,078
5,255

Perum Produksi Film


2,840
2,157
Nasional

Sumber: Kementrian BUMN, Jawa Pos, 21 April 2008

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa PT Merpati Nusantara Airlines


menduduki peringkat merugi tertinggi dengan kerugian sebesar 283,432
pada tahun 2006 dan 101,637 pada tahun 2007. Selanjutnya disusul oleh
PT PELNI, PT Inhutani V, dan Perum Produksi Film Nasional.
Perusahaan lain yang juga termasuk merugi namun tidak masuk dalam
kategori ICU adalah PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Industri
Sandang Nusantara, PT Primissima, PT Survei Udara Panas, PT Boma
Bisma Indra, dan PT Kertas Kraft Aceh.

Keberadaan kinerja sektor jasa pelayanan publik (public services) dalam


BUMN juga masih dikatakan rendah. Terbukti dalam kurun tahun 2008,
penyumbang deviden terbesar BUMN bukan berasal dari sektor jasa.
Sebagaimana digambarkan pada tabel berikut ini:

66
Tabel 5.2

Prosentase Deviden BUMN Tahun 2008

Sektor BUMN
Prosentase

Sektor pertambangan, industri strategis, energi, dan


74,5
telekomunikasi.

Sektor keuangan dan perbankan.


18,6

Sektor jasa pelayanan publik, perhubungan, dan pariwisata.


3,4

Sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.


3

Sektor farmasi, konstruksi, dan kawasan industri


0,5

Total
100

Sumber: Suara Karya, 1 Agustus 2008

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sektor jasa hanya menyumbang
deviden negara sebesar 3,4%. Dengan demikian keberadaan sektor jasa
juga turut mendapat prioritas untuk lebih ditingkatkan kinerjanya.
Selain itu penyebab belum optimalnya kinerja BUMN adalah penggunaan
modal yang tidak efisien. Berdasarkan capaian ROA (Return On Asset) dan
ROE (Return On Equity) riil selama tahun 2001 sampai tahun 2004, data
menunjukkan bahwa kinerja BUMN yang direncanakan sesuai master plan
BUMN belum dapat tercapai secara efektif karena masih di bawah target,
sebagai berikut:

67
Tabel 5.3

Target Capaian ROA Dan ROE BUMN Tahun 2001-2004

Tahu

Return On Asset (%)


Return On Equity (%)

Targ
Capaia
Selisi
Targ
Capaia
Selisi

et
n
h
et
n
h
2001

3,60
2,32
-1,28
19,90
14,18
-5,72

2002

3,68
2,73
-0,95
19,45
9,21
-

10,24
2003

3,82
2,81
-1,01
19,94
10,32
-9,62

2004

3,90
2,49
-1,41
20,56
6,10
-
14,46

Sumber: www.bumn_news.com/index.php?page=peta/implementasi&=off

E.5.3.1. Privatisasi BUMN

Peranan BUMN dari waktu ke waktu dirasa semakin penting sebagai


pelopor sektor usaha yang strategis. Badan ini memiliki fungsi sebagai
pelaksana pelayanan publik, serta membantu pengembangan usaha kecil
dan koperasi. Selain itu BUMN juga merupakan salah satu sumber
penerimaan negara yang sangat signifikan. Maka tidak heran jika badan
ini menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk memulihkan
perekonomian Indonesia. Masyarakat berharap BUMN mampu
menciptakan tambahan lapangan kerja baru. Sehingga mampu
memberikan keuntungan yang tinggi guna membantu APBN dan mampu
menjalin hubungan dengan mitra swasta. Dengan demikian dunia
68
usahapun dapat bangkit kembali seperti sebelum terjadi krisis ekonomi
tahun 1997.

Privatisasi dapat mendatangkan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat


Indonesia apabila setelah privatisasi BUMN mampu bertahan hidup dan
berkembang di masa depan, mampu menghasilkan keuntungan, dapat
memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat
yang ada disekitarnya. Dengan demikian, privatisasi BUMN diharapkan
untuk :
mampu meningkatkan kinerja BUMN,

mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan


BUMN,

mampu meningkatkan akses ke pasar internasional,

terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi,

terjadinya perubahan budaya kerja, serta

mampu menutup defisit APBN.

Peningkatan kinerja BUMN diharapkan bukan hanya terjadi pada jangka


pendek, tetapi juga pada jangka panjang. Untuk itu, fokus perhatian
bukan hanya difokuskan pada perspektif keuangan saja, tetapi harus lebih
komprehensif dengan memperhatikan perspektif pelanggan, proses bisnis
internal, pertumbuhan, dan pembelajaran.

Dalam menjalankan tugasnya, manajemen BUMN dituntut untuk lebih


transparan serta mampu menerapkan prinsip-prinsip good corporae
governance. Manajemen BUMN harus sadar bahwa setelah privatisasi,
pengawasan bukan hanya dari pihak pemerintah saja, tetapi juga dari
investor yang menanamkan modalnya ke BUMN tersebut.
69
Pada tahun-tahun mendatang, BUMN akan menghadapi persaingan
global, di mana batas wilayah suatu negara dapat dengan mudah
dimasuki oleh produsen-produsen asing untuk menjual produk-produk
dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang sangat kompetitif. Oleh
karenanya, BUMN harus meningkatkan kualitas produknya serta
memperluas jaringan pasar, bukan hanya pada tingkat nasional tetapi juga
di pasar global. Dengan privatisasi, terutama dengan metode strategic
sale kepada investor dari luar negeri, diharapkan BUMN memiliki
partner yang mempunyai akses yang lebih baik di pasar global.
Kebijakan privatisasi seperti ini diharapkan dapat mendorong BUMN
untuk mengembangkan jangkauan pasarnya di pasar luar negeri.

Ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus berkembang. Pemanfaatan


ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam proses produksi
menghasilkan produk lebih cepat, kualitas yang lebih baik, dan harga
pokok yang lebih kompetitif. Dibidang pemasaran teknologi baru,
khususnya teknologi informasi dan komunikasi, dapat dipakai sebagai
sarana strategis untuk menjalin relationship secara kualitas dan semakin
intensif dengan customer dan supplier. Harapan privatisasi adalah untuk
memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru kepada
BUMN untuk diaplikasikan, sehingga BUMN akan mampu memberikan
berbagai sarana kepada para karyawan untuk terus melakukan
pembelajaran dan terus mengembangkan diri, sehingga mampu
menghasilkan produk barang dan jasa yang berkualitas, dengan harga
yang kompetitif.

Masuknya investor swasta baru dari proses privatisasi diharapkan

dapat menimbulkan suasana kerja baru yang lebih produktif, dengan visi,
70
misi, dan strategi yang baru. Perubahan suasana kerja ini diharapkan
menjadi pemicu adanya perubahan budaya kerja, perubahan proses bisnis
internal yang lebih efisien, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru yang diadopsi BUMN setelah proses privatisasi.

E.5.3.2. Strategi Privatisasi BUMN

Privatisasi BUMN dapat ditempuh melalui beberapa metode, antara lain


sebagai berikut :
melalui penjualan saham di pasar modal,

private placement oleh investor dalam negeri dengan penyertaan di


bawah 50%,
private placement oleh investor dalam negeri dengan penyertaan di atas
50%,
private placement oleh investor luar negeri dengan penyertaan di bawah
50%, dan

private placement oleh investor luar negeri dengan penyertaan di

atas 50%.

Setiap model tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing,


oleh karenanya untuk memilih strategi privatisasi apa yang digunakan
sebaiknya mempertimbangkan kondisi perusahaan publik atau BUMN
yang akan di-privatisasikan.

a. Privatisasi Melalui Pasar Modal

Pada strategi privatisasi melalui pasar modal, pemerintah menjual kepada


publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu
kepada publik melalui pasar modal.

Umumnya, pemerintah hanya menjual sebagian dari saham yang


71
dimiliki atas BUMN tersebut (biasanya 51% sahamnya masih
dimiliki pemerintah dan 49% lainnya dijual ke publik). Strategi ini
akan menghasilkan suatu perusahaan yang dimiliki bersama antara
pemerintah dan swasta. Proporsi kepemilikan pemerintah atas
BUMN ini akan menurun.

Privatisasi melalui pasar modal cocok untuk memprivatisasi


BUMN yang besar, memiliki keuntungan yang memadai, atau
potensi keuntungan yang memadai yang dalam waktu dekat dapat
direalisasi. Privatisasi melalui pasar modal dapat dilaksanakan
apabila BUMN bisa memberikan informasi lengkap tentang
keuangan, manajemen, dan informasi lain-lain, yang diperlukan
masyarakat sebagai calon investor.

Privatisasi melalui pasar modal akan menghasilkan dana yang bisa


dipakai untuk menutup devisit APBN. Namun demikian,
privatisasi tidak akan banyak merubah pola pengelolaan BUMN.
Privatisasi BUMN melalui pasar modal akan mendatangkan
investor dalam jumlah banyak dengan rasio penyertaan yang relatif
kecil. Pemerintah masih menjadi pemegang saham mayoritas.

Tidak ada pergeseran peran pemerintah dalam BUMN setelah


privatisasi. Tidak ada transfer ilmu pengetahuan dan teknologi,
tidak ada perubahan budaya kerja, serta tidak ada perluasan
pasar di pasar global.

Privatisasi melalui pasar modal belum tentu dapat memacu


pertumbuhan perekonomian. Hal ini terjadi bisa dilihat dari
komposisi investor yang membeli saham BUMN di pasar modal.

Apabila sebagian besar penyertaan modal dilakukan oleh


72
investor dalam negeri, berarti tidak banyak pertambahan uang
beredar di masyarakat, sehingga sulit untuk mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya, apabila sebagian besar
investor berasal dari luar negeri, maka akan menyebabkan
peningkatan uang beredar, yang pada akhirnya akan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Privatisasi Melalui Private Placement oleh Investor Dalam Negeri


dengan Penyertaan di bawah 50%
Pada strategi ini, pemerintah menjual sebagian kecil (kurang dari
50%) dari saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau
sekelompok investor dalam negeri. Calon investor pada umumnya
sudah diidentifikasi terlebih dulu, sehingga pemerintah dapat memilih
investor mana yang paling cocok untuk dijadikan partner usahanya.

Privatisasi dengan private placement oleh investor dalam negeri akan


menghasilkan dana bagi pemerintah yang dapat dipakai untuk
menutup devisit APBN. Namun dengan penyertaan modal di bawah
50%, investor baru tidak memiliki kekuatan yang dominan untuk
ikut menentukan kebijakan perusahaan, sehingga peran
pemerintah masih tetap dominan dalam BUMN.

Secara umum kebijakan manajemen tidak akan mengalami perubahan,


demikian pula teknologi dan budaya kerja yang ada tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Strategi penyertaan modal dari investor
dalam negeri ini tidak menambah jumlah uang

73
yang beredar di masyarakat, sehingga perekonomian tidak
terdongkrak dengan adanya privatisasi.

Privatisasi Melalui Private Placement oleh Investor Dalam Negeri


dengan Penyertaan di atas 50%
Seperti halnya alternatif sebelumnya, privatisasi melalui private
placement oleh investor dalam negeri dengan penyertaan di atas 50%
akan menghasilkan dana bagi pemerintah untuk menutup devisit
anggaran. Namun demikian alternatif ini tidak dapat mendongkrak
perekonomian nasional, karena dana yang ditanamkan di BUMN
berasal dari dalam negeri (sektor swasta).

Penyertaan investor di atas 50% akan menyebabkan investor baru


memiliki kekuatan untuk ikut menentukan kebijakan dalam
menjalankan kegiatan operasional BUMN, sehingga akan terjadi
pergeseran peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana usaha
menjadi regulator dan promotor kebijakan. Visi, misi dan strategi
BUMN mungkin mengalami perubahan. Demikian pula pemanfaatan
teknologi informasi, proses bisnis internal, serta budaya kerja akan
mengalami perubahan. Kemampuan akses ke pasar internasional
barangkali masih diragukan, karena sangat tergantung dari
kemampuan investor swasta baru yang menjalankan BUMN
tersebut untuk menembus pasar internasional.

74
Privatisasi Melalui Private Placement oleh Investor Luar Negeri
dengan Penyertaan di bawah 50%

Alternatif ini akan menyebabkan adanya aliran dana masuk ke


Indonesia, yang sangat berarti untuk mempercepat perputaran
perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Investor luar negeri pada
umumnya menginginkan adanya good corporate government dalam
mengelola BUMN.
Dengan penyertaan kurang dari 50% investor baru tidak memiliki
kekuatan untuk memaksakan kehendaknya. Investor luar negeri
dapat diharapkan untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan
teknologi baru kepada BUMN. Keikutsertaan investor luar negeri
dalam pengelolaan BUMN diharapkan dapan memberikan suasana
baru dalam lingkungan BUMN, dan diharapkan dapat merubah
budaya kerja karyawan BUMN menjadi lebih baik. Namun demikian
semua harapan tersebut masih tergantung kepada pemerintah
Indonesia yang masih memegang mayoritas saham BUMN tersebut.

Privatisasi Melalui Private Placement oleh Investor Luar Negeri


dengan Penyertaan di atas 50%

Strategi privatisasi melalui private placement oleh investor luar negeri


dengan penyertaan di atas 50% akan membawa dampak yang
signifikan bagi BUMN dan pemerintah Indonesia. Pemerintah akan
memperoleh dana yang diperlukan untuk menutup devisit APBN.
Penyertaan modal dari luar negeri akan menyebabkan
bertambahnya uang beredar di Indonesia, yang
75
diharapkan dapat mendongkrak percepatan perputaran perekonomian
dan penyediaan lapangan kerja. Dengan penyertaan yang lebih besar,
investor asing memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan dalam
BUMN, sehingga akan terjadi pergeseran peran pemerintah dari pemilik
dan pelaksana usaha menjadi regulator dan promotor kebijakan.

Strategi atau metode dan prosedur lain yang dapat digunakan dalam
melakukan privatisasi juga dikemukakan oleh Helen (1989), sebagai
berikut :

a. Public Offering

Pada strategi public offering, pemerintah menjual kepada publik semua


atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik
melalui pasar modal. Umumnya, pemerintah hanya menjual sebagian dari
saham yang dimiliki atas BUMN tersebut. Strategi ini akan menghasilkan
suatu perusahaan yang dimiliki bersama antara pemerintah dan swasta.
Proporsi kepemilikan pemerintah atas BUMN ini akan menurun.

Public offering ini cocok untuk memprivatisasi BUMN yang cukup besar,
memiliki potensi keuntungan yang memadai dalam waktu dekat dapat
direalisasi. BUMN harus bisa memberikan informasi lengkap tentang
keuangan, manajemen, dan informasi lainnya, yang diperlukan
masyarakat sebagai calon investor. Public offering ini akan dapat
terealisasi apabila telah tersedia pasar modal, atau suatu badan formal
yang dibentuk dalam rangka

menginformasikan, menarik, dan menjaring publik. Di samping itu


76
harus cukup tersedia likuiditas di pasar modal tersebut. Metode public
offering telah dipilih dalam rangka privatisasi beberapa BUMN di
Indonesia, antara lain PT. Semen Gresik, PT. Indosat, PT. Timah, PT.
Telkom, PT. Aneka Tambang, dan Bank BNI (Artjan, 2000).

b. Private Sale

Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian saham yang
dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau sekelompok investor
tertentu. Calon investor pada umumnya sudah diidentifikasi terlebih
dulu, sehingga pemerintah dapat memilih investor mana yang paling
cocok untuk dijadikan partner usahanya. Strategi private sale ini
fleksibel, tidak harus melalui pasar modal. Cocok untuk privatisasi
BUMN yang memiliki kinerja rendah, yang belum layak untuk
melakukan public offering. BUMN ini memerlukan investor yang
memiliki usaha di bidang industri yang sama, memiliki posisi
keuangan yang kuat, dan memiliki kinerja dan teknologi yang baik.
Strategi ini juga cocok untuk negara-negara yang belum memiliki
pasar modal, atau belum memiliki badan formal yang mampu
menjaring investor publik. Metode private sale telah dipakai oleh
Bangladesh untuk memprivatisasi lebih dari 30 pabrik tekstil yang
dimiliki oleh pemerintah.
c. New Private Investment

New private investment dapat ditempuh oleh pemerintah apabila


pemerintah atau BUMN menghadapi keterbatasan untuk

mengembangkan usaha BUMN tersebut. Dalam hal ini, pemerintah


77
tidak menjual saham yang dimiliki atas BUMN, tetapi mengundang
investor untuk menyertakan modal, sehingga modal BUMN akan
bertambah. Penambahan modal tersebut sepenuhnya masuk ke
BUMN, dan tidak ada dana yang diterima oleh pemerintah secara
langsung. Kebijakan ini akan menyebabkan proporsi kepemilikan
saham pemerintah atas BUMN tersebut menjadi berkurang.

New private investment cocok untuk mengembangkan BUMN, namun


BUMN mengalami kekurangan dana, misalnya dalam rangka
meningkatkan kapasitas produksi atau menyediakan infrastruktur
dalam rangka peningkatan produksi. Jadi, sasaran utamanya bukan
untuk menjual BUMN. Metode ini telah diimplementasikan oleh
pemerintah Gambia untuk memprivatisasi Senegambia Hotel, dan
pemerintah Zambia untuk memprivatisasi Zambia Breweries

d. Sale of Assets

Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas
saham BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN secara langsung
kepada pihak swasta. Alternatif lain, pemerintah tidak menjual aset
BUMN secara langsung, tetapi menggunakannya sebagai kontribusi
pemerintah dalam pembentukan perusahaan baru, bekerjasama dengan
pihak swasta. Dalam memilih mitra usaha, tentunya pemerintah akan
memilih pihak-pihak yang telah dikenal sebelumnya.
Kebijakan penjualan aset ini lebih fleksibel dan lebih mudah

dilaksanakan, dibandingkan menjual perusahaan secara


78
keseluruhan. Kebiajakan ini cocok untuk dilaksanakan apabila menjual
perusahaan secara keseluruhan merupakan target yang sulit dicapai.
Pemerintah dapat menjual seluruh aset yang dimiliki BUMN, write off
semua utang, dan melikuidasi BUMN tersebut. Metode sale of assets
ini dipakai oleh pemerintah Australia pada waktu memprivatisasi
Bellconen Mall, pemerintah Togo pada waktu memprivatisasi Sodeto,
serta pemerintah Gabon pada waktu memprivatisasi Societe de Bois
Piza.

e. Fragmentation

Dalam strategi fragmentation, BUMN direorganisasi atau dipecah-


pecah menjadi beberapa perusahaan, atau dibuat suatu holding
company dengan beberapa anak perusahaan. Salah satu atau beberapa
anak cabang kemudian dijual kepada pihak swasta. Kebijakan ini akan
menghasilkan beberapa pemilik baru atas satu BUMN, sehingga
diharapkan dapat menciptakan suasana bisnis yang lebih kompetitif.
Strategi ini cocok untuk menjual BUMN yang besar, dengan harga
yang mahal. Karena mahalnya, biasanya tidak banyak calon investor
yan tertarik untuk membeli. Dengan dipecah-pecah, harganya menjadi
lebih murah, dan alternatif untuk seorang investor menjadi lebih
banyak. Ia dapat memilih bagian mana yang paling menarik untuk
dibeli.

Suatu BUMN yang besar dapat menjadi perusahaan monopoli. Dengan


dipecah-pecah, BUMN bisa menjadi beberapa perusahaan yang saling
bersinergi, dan dapat menimbulkan suatu persaingan yang sehat.
Indonesia telah menerapkan metode
fragmentaion pada saat memprivatisasi PT. Krakatau Steel.
79
Metode ini juga telah dipakai oleh pemerintah Singapura pada saat
memprivatisasi Port of Singapore, dan pemerintah Malaysia pada saat
memprivatisasi Port Kelong.

f. Management/Employee Buy Out

Pada strategi ini, Pemerintah mengalokasikan sejumlah saham untuk


dibeli oleh para manajer dan karyawan BUMN, atau koperasi
karyawan BUMN. Strategi ini cocok untuk transfer kepemilikan
BUMN dari pemerintah kepada para manajer dan karyawan BUMN.
Dengan memiliki saham, para manajer dan karyawan BUMN
diharapkan akan bekerja lebih serius, sehingga kinerja BUMN akan
meningkat. Strategi ini juga cocok untuk BUMN yang akan
diprivatisasi, namun belum layak untuk melakukan public offering
karena kinerjanya yang kurang baik.

Daripada BUMN dilikuidasi, maka strategi ini merupakan alternatif


yang lebih baik. Strategi Management/Employee Buy Out dipilih oleh
pemerintah Iceland untuk memprivatisasi Icelandair. Pemerintah
Inggris juga menerapkan metode yang sama untuk memprivatisasi
National Bus Company dan British Ship Builder.

g. Kontrak Manajemen

Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah mengundang


perusahaan swasta untuk "mengelola" BUMN selama periode tertentu,
dengan memberikan imbalan tertentu (dituangkan dalam kontrak
kerjasama). Perusahaan tersebut harus bergerak dibidang yang sama,
memiliki pengalaman yang cukup, memiliki teknologi dan sumber
daya manusia yang lebih baik. Strategi
kontrak manajemen dimaksudkan untuk : (1) meningkatkan kinerja
80
BUMN, melalui peningkatan efisiensi dan atau efektifitas penggunaan
aset BUMN, (2) memperoleh keuntungan yang optimal, (3) transfer
manajemen, budaya kerja, skill, dan teknologi. Tidak ada transfer
kepemilikan dalam strategi ini. Privatisasi yang dilakukan hanya
bersifat privatisasi pengelolaan, bukan privatisasi kepemilikan.
Strategi kontrak manajemen dapat dipakai sebagai strategi antara
sebelum privatisasi kepemimpinan dilaksanakan. Kontrak manajemen
merupakan strategi yang baik apabila kondisi BUMN belum layak
untuk dijual. Strategi ini dapat dipakai untuk meningkatkan kinerja
BUMN, baik untuk BUMN yang memberikan pelayanan umum
kepada masyarakat, maupun BUMN yang akan diprivatisasi
kepemilikannya.

Pemerintah Malaysia menerapkan metode kontrak manajemen dalam


rangka privatisasi North Kelong Bypass dan Labuan Water Supply.
Pemerintah Srilanka menerapkan metode yang sama dalam rangka
memprivatisasi Airlanka dan Sugar Corporation. Sementara itu,
pemerintah Fiji juga menerapkan metode ini dalam rangka privatisasi
Air Pacific.

h. Kontrak/Sewa Aset

Kontrak/sewa aset adalah strategi di mana pemerintah mengundang


perusahaan swasta untuk menyewa aset atau fasilitas yang dimiliki
BUMN selama periode tertentu. Pemerintah/BUMN dengan segera
akan mendapatkan uang sewa dari perusahaan penyewa, tanpa melihat
apakah perusahaan tersebut memperoleh keuntungan atau tidak.
Perusahaan penyewa berkewajiban untuk
memelihara aset atau fasilitas yang disewanya. Aset atau fasilitas
81
yang disewa bisa termasuk SDM yang mengelola fasilitas atau aset
tersebut. Strategi ini cocok untuk meningkatkan return on assets
(ROA), sehingga aset BUMN bisa dimanfaatkan secara optimal.

PT. Tambang Timah (Indonesia) telah menerapkan metode ini.


Demikian pula Port Kelang dan National Park Facilities dari Malaysia,
serta Port of Singapore dari Singapura. BUMN-BUMN tersebut telah
menyewakan asset yang dimiliki dalam rangka meningkatkan ROA.

i. Likuidasi

Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan


pemerintah terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih apabila
BUMN tersebut adalah BUMN komersial, bukan BUMN public
utilities atau memberikan public services, tetapi dalam kenyataannya
tidak pernah mendapatkan keuntungan dan selalu menjadi beban
negara.

j. Initial Public Offering

Initial Public offering merupakan strategi privatisasi BUMN dengan


cara menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada
investor publik untuk yang pertama kalinya. Artinya, saham BUMN
tersebut belum pernah dijual melalui pasar modal pada waktu
sebelumnya. Metode IPO dapat menghasilkan dana segar dalam
jumlah yang besar bagi pemerintah, tanpa harus kehilangan kendali
atas BUMN tersebut. Investor publik pada umumnya membeli saham
untuk tujuan investasi, dengan persentase kepemilikan yang relatif
kecil. Pada umumnya mereka

tidak bermaksud untuk ikut serta dalam kegiatan operasional


82
perusahaan. Dengan demikian IPO ini cocok untuk dipilih apabila nilai
saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN
memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen
yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta cukup
tersedia likuiditas dana di pasar modal.

k. Right Issue (RI)

Right Issue adalah strategi privatisasi BUMN dengan cara menjual


sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada publik, di mana
BUMN tersebut telah melakukan penjualan saham melalui pasar
modal pada waktu sebelumnya. Pada dasarnya metode Right Issue
tidak jauh berbeda dengan metode Initial Public Offering. Metode
Right Issue tidak menyebabkan pemerintah kehilangan kendali atas
BUMN yang diprivatisasi, apabila masih menjadi pemegang saham
mayoritas.
Right issue cocok untuk dipilih apabila nilai saham yang akan
diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN pernah melakukan
penawaran saham melalui IPO, memiliki kondisi keuangan yang baik,
memiliki kinerja manajemen yang baik, tersedia cukup waktu untuk
melaksanakan IPO, serta tersedia likuiditas dana di pasar modal.

l. Strategic Sale (SS)

Strategic Sale merupakan strategi privatisasi untuk menjual saham


BUMN yang dikuasai pemerintah kepada investor tunggal, atau
sekelompok investor tertentu. Beberapa metode yang termasuk dalam
kelompok strategic sale, antara lain strategi
private sale, new pivate investment, management/employee buy
83
out, dan fragmentation. Pada dasarnya, strategic sale dimaksudkan
untuk mendatangkan dan melibatkan investor baru dalam pengelolaan
BUMN. Disamping membawa dana segar, diharapkan investor baru
juga membawa sesuatu yang strategis untuk meningkatkan kinerja
BUMN, misalnya teknologi baru, budaya dan metode kerja yang
efektif dan efisien, perluasan penguasaan pasar, dsb. Dengan
demikian, pemilihan investor baru harus dilakukan dengan selektif,
dikaitkan dengan permasalahan BUMN yang diprivatisasi. Strategic
sale merupakan pilihan yang baik, apabila BUMN yang diprivatisasi
memiliki kinerja yang kurang baik, atau memiliki kondisi keuangan
yang kurang sehat. Strategi ini dapat dilaksanakan dalam tempo yang
relatif lebih cepat, dengan biaya yang lebih kecil dibandingkan strategi
penjualan saham kepada publik, sehingga cocok untuk
diimplementasikan apabila waktu yang diperlukan untuk privatisasi
sangat terbatas atau nilai saham yang diprivatisasi kecil. Strategic sale
juga merupakan pilihan yang baik apabila likuiditas pasar modal
kurang memadai.

m. Other Private Offering

Other private offering merupakan strategi privatisasi dengan target


individual investor atau sekelompok investor tertentu, melalui strategi
selain yang disebutkan dalam metode strategic sale. Beberapa metode
yang dapat diterapkan dalam strategi ini antara lain metode sale of
assets, management contract, sewa asset, dan likuidasi. Metode ini
pada dasarnya tidak dimaksudkan

untuk menjual saham BUMN yang dikuasai oleh pemerintah,


84
melainkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya BUMN yang
dinilai masih di bawah standar.

E.5.3.3. Pemilihan Strategi Privatisasi BUMN

Dari alternatif-alternatif metode privatisasi yang diuraikan di atas, strategi


yang paling baik ditempuh adalah yang paling banyak memenuhi kriteria
model privatisasi yang ideal. Tabel dibawah ini adapat memberikan
gambaran seberapa jauh masing-masing model dapat memenuhi kriteria
sebagai model privatisasi yang ideal.

Tabel 5.4

Strategi Privatisasi BUMN

Investor
Investor

Kriteria Privatisasi yang

Pasar
Swasta/Privat
Swasta/Privat

Ideal

Modal
Dalam Negeri
Luar Negeri

< 50%
> 50%
< 50%
> 50%

Mampu meningkatkan kinerja

X
X
V
X
V

BUMN

Mampu menerapkan prinsip-

prinsip good corporate

X
X
V
X
V
governance dalam

pengelolaan BUMN

Mampu meningkatkan akses

X
X
V
V
V

ke pasar internasional
Terjadi transfer ilmu

X
X
V
X
V

pengetahuan dan teknologi

Terjadinya perubahan budaya

X
X
V
X
V
kerja

Mampu berkontribusi dalam

V
V
V
V
V

menutup defisit APBN


85
Tabel di atas menunjukkan bahwa di antara ke lima alternatif
model privatisasi BUMN tersebut, yang paling mendekati ideal
adalah model privatisasi dengan private placement oleh investor
luar negeri dengan penyertaan di atas 50%. Namun tidak semua
investor luar negeri dapat memenuhi kriteria sebagai investor ideal.
Kriteria di atas akan dapat terpenuhi apabila investor swasta baru
memenuhi syarat sebagai berikut:

Merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama


dengan BUMN yang akan diprivatisasi,
Memiliki reputasi yang baik di tingkat internasional,

Memiliki jaringan pemasaran yang baik di tingkat internasional,

Telah menerapkan prinsip-prinsip good corporae governance


dalam perusahaannya,

Telah memiliki budaya kerja yang baik dalam perusahaannya, serta


Memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan kriteria investor seperti ini dapat diharapkan BUMN
setelah privatisasi akan mampu mengembangkan diri serta
memperluas pasar sehingga unggul dalam persaingan di pasar
global, melalui proses pembelajaran dan pertumbuhan,
peningkatan proses bisnis internal, peningkatan kepuasan
pelanggan, serta memperkuat keuangan BUMN.

86
E.5.4. Hasil Privatisasi

Realisasi hasil privatisasi BUMN dipengaruhi beberapa faktor


diantaranya adalah;
Kondusif tidaknya pasar modal domestik dan internasional untuk melakukan
initial public offering (IPO),
Persepsi pemodal internasional mengenai risiko negara (country risk), tuntutan
masyarakat dalam kaitannya dengan otonomi daerah yang dapat mengganggu
program privatisasi terhadap BUMN yang berlokasi di daerah tertentu,

Masalah internal BUMN,

Kecenderungan investor untuk mengejar saham BUMN yang mempunyai


prospek cerah,

Serta kestabilan perekonomian dalam negeri.

Faktor lain yang turut mempengaruhi pencapaian realisasi privatisasi


BUMN adalah perkembangan situasi politik dan keamanan, perubahan
tuntutan masyarakat terhadap reformasi, serta kurang cepatnya
melakukan penawaran di pasar, karena BUMN yang akan diprivatisasi
harus direstrukturisasi terlebih dahulu, sehingga proses privatisasi
mengalami kelambatan.

E.5.5. Hambatan Privatisasi

Hambatan atau yang dihadapi dalam proses privatisasi berbeda diantara


negara maju dan berkembang. Beberapa perbedaan pokok adalah sebagai
berikut :

Motivasi untuk melakukan divestiture berbeda diantara negara

maju dan negara berkembang. Di negara maju privatisasi


87
diarahkan untuk mencari more dynamic management, sementara sebagian
besar negara negara berkembang mengarahkan privatisasi untuk
“melenyapkan“ BUMN yang merugi.

Privatisasi di negara maju mudah dilakukan melalui pasar modal dan


persoalan politik dapat diminimalisir, sementara di negara negara
berkembang keberadaan pasar modal masih sangat terbatas dan isu
politik sangat berperan besar
Kondisi hukum di negara maju relatif lebih jelas dan tegas, sementara di
negara negara berkembang kondisi hukum tidak terlalu jelas.

E.5.6. Masa Depan Privatisasi

Privatisasi memiliki tujuan ke masa depan yang tidak dapat mundur


kembali, dan beberapa permasalahan dalam privatisasi menggambarkan
keberlanjutan dari pejabat publik yang tidak memiliki akal dalam
mengaplikasikan konsep baru ini. Area utama lain yang bermanfaat bagi
privatisasi adalah perusahaan pemerintah (BUMN), infrastruktur, dan
jaminan sosial.

E.5.6.1. The New Public Management

Perubahan administrasi publik terjadi di banyak negara, dan memiliki


karakteristik yang umum. New Public Management (NPM) adalah suatu
‘label’ yang diterapkan untuk perubahan inovasi, dimana
menggambarkan corak memasukkan prinsip-
prinsip pasar ke dalam dunia politik. Secara spesifik, ini berarti ;
88
(1) bekerja keras untuk efisiensi dalam menghadapi birokrasi yang tidak
responsif, (2) pemanfaatan model pasar ekonomi untuk hubungan politik
dan administrasi : pilihan publik, kontrak yang dinegosiasi, biaya
transaksi, dan principal-agent theory, dan (3) menerapkan konsep
kompetisi, kontrak berdasarkan kinerja, pelayanan antar, pemenuhan
kepuasan pelanggan, insentif pasar, dan deregulasi.

Privatisasi sungguh-sungguh dalam mainstream dari NPM,


memperlihatkan semua karakteristiknya. Manajer publik
mengoperasikannya dalam lingkungan ini memperkenalkan kompetisi
dan mengontrak perusahaan swasta secara kompetitif untuk menyalurkan
pelayanan untuk lebih efisien dan efektif.

E.5.6.2. Perusahaan Pemerintah

Privatisasi serupa dapat diterapkan pada perusahaan pemerintah baik


yang berskala nasional maupun perusahaan pemerintah daerah. Beberapa
perusahaan tersebut mungkin dapat menerapkan privatisasi yang baik
dengan menyerahkannya (menjualnya) dan mengijinkan perusahaan
swasta untuk mengelola fungsinya, jika diperlukan.
Meskipun tidak sepenuhnya pola privatisasi di sebagian besar negara
dapat dijadikan contoh, namun beberapa skenario dan strategi dapat
dijadikan acuan pemerintah yang akan melakukan privatisasi. Jalan
menuju privatisasi ditiap-tiap negarapun berbeda-beda. Ada negara yang
dengan mudah mendapat dukungan dari

wakil rakyat namun ada pula yang sangat sulit bahkan terhambat
89
karena tidak dapat meyakinkan para unsur pembuat keputusan untuk
mendukung program privatisasi. Sehingga hanya pemerintahan yang kuat
keinginannya saja yang akan dapat mencapai tujuan dari program
privatisasi. Dan harus disadari pula bahwa unsur yang berkepentingan
(stake-holders) dari privatisasi bukan hanya pemerintah dan badan
legislatif saja tetapi juga manajemen dan karyawan BUMN yang
bersangkutanpun memainkan peran yang sangat menentukan
keberhasilan program ini.

Sesungguhnya proses privatisasi yang ideal adalah apabila dimulai dari


rencana usulan manajemen BUMN bukan berdasarkan instruksi dari
pemerintah. Privatisasi yang berasal dari usulan BUMN biasanya lebih
lancar, dan pemerintah bertindak sebagai fasilitator, hanya tinggal
menentukan besarnya saham yang akan dilepas, saat tiba waktunya,
modusnya apakah melalui penawaran umum ataukah aliansi strategis.

E.5.6.3. Infrastruktur

Negara-negara maju maupun yang sedang berkembang membutuhkan


telekomunikasi yang lebih banyak dan lebih baik, sumber daya listrik,
lebih banyak air, pembangunan jalan, rel kereta api, dan secara umum
lebih banyak infrastruktur fisik untuk mempromosikan keberhasilan dan
pertumbuhan ekonomi. Dalam memenuhi tuntutan kebutuhan akan
infrastruktur ini diperlukan peraturan dalam melibatkan sektor swasta,
untuk berkompetisi, dan

memenuhi sumberdaya dan keahlian yang biasanya diluar


90
kapasitas dan kemampuan pemerintah lokal. Sehingga munculnya
hubungan kerjasama antara sektor publik dan sektor privat/swasta
(public-private partnership).

E.5.6.4. Infrastuktur Sosial

Lebih dari satu abad lalu, orang lebih memperhatikan jaminan-jaminan


social yang diberikan pemerintah untuk pendapatan pensiunan, perawatan
medis/kesehatan, dan jaminan kesejahteraan masyarakat miskin.
Privatisasi dari semua program jaminan sosial sudah dijalankan dalam
berbagai cara. Pelayanan sosial sudah lama dikontrakkan kepada sektor
swasta atau organisasi nirlaba. Ini bisa menjadi “pelukan fatal” karena
perusahaan swasta atau organisasi nirlaba sejarah/latar belakang yang
berbeda menjadi, wakil dari pemerintah yang didasari kepada paksaan
peraturan yang melemahkan inisiatif mereka dan merintangi usaha
mereka untuk menemukan cara yang lebih baik untuk membantu kaum
fakir miskin atau yang membutuhkan.

91
E.6. Materi Perkuliahan 6: Kerjasama Publik-Privat Untuk

Infrastruktur

E.6.1. Pendahuluan

Pembangunan infrastruktur sangatlah penting, berguna untuk masyarakat,


dan membutuhkan banyak sumber daya modal yang tidak dapat hanya
dipercayakan pada sektor privat/swasta saja atas tanggungjawab ini tetapi
juga melibatkan peran sektor publik dan dalam berbagai banyak peristiwa
mereka kekurangan sumber daya ini. Hal ini adalah alasan yang sangat
serius. Karena fasilitas (fisik khususnya) merupakan sangat vital
pengaruhnya pada perekonomian bangsa, sehingga perlu untuk didorong
dengan insentif untuk menarik investasi dalam proyek yang sehat, sesuai
dengan harganya untuk memenuhi permintaan dan penawaran
dibandingkan unsur politis, dioperasionalkan secara efisien, dan dirawat
dalam kondisi yang baik.

Kebutuhan akan infrastruktur sudah melebihi persediaan dana publik


yang konvensional. Sehingga meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur
ini dapat diselesaikan oleh kelompok sektor swasta dalam hal
pembiayaan, desain, pembangunan, mengoperasikan, dan memiliki
infrastruktur tersebut melalui kerjasama publik-privat yang inovatif.
Sehingga hal ini akan dapat mengurangi peranan pemerintah, dan dapat
memberikan kepuasan kepada masyarakat.

E.6.2. Keuntungan Privatisasi Infrastruktur

Kurangnya keahlian dan simpanan dalam biaya permodalan,

adalah selalau menjadi alasan untuk menuju privatisasi fasilitas


92
infrastruktur, dan alasan lainnya berkenaan dengan simpanan dalam biaya
operasional adalah sangat terbatas. Studi lainnya memperkuat alasan dalam
privatisasi infrastruktur adalah implementasi yang lebih cepat, menyediakan
pelayanan yang selama ini belum ada, memecahkan masalah politik dan
tenaga kerja, dan sharing risk.

Gambar 6.1

Siklus Nasionalisasi-Privatisasi

Cut service or

Privatize

Private

Industry

raise taxes ?

enterprices

consolidates

start
Inefficiency

Government
grows

regulates

Government

Government

Service

Firm lose
subsidizes

takes over

declines

money
Sumber : Jose Gomez-Ibanez dan John R. Meyer, 1993

Dalam stadium entrepreneurial, banyak perusahaan kecil mulai tumbuh dan


menyediakan berbagai layanan. Sebagai industri baru yang sedang tumbuh,
merger dan konsolidasi sedang berlangsung, diikuti oleh regulasi
pemerintah yang tidak dapat dielakkan atas pembayaran dan monopoli
dalam merespon pengaduan mengenai ongkos/biaya yang
93
dikeluarkan dan dalam usaha untuk mengendalikan kompetisi yang
“kacau”. Setelah itu, biaya secara berangsur-angsur meningkat karena
inflasi dan kebutuhan untuk meningkatkan perawatan atas usia fasilitas
tersebut, tetapi dengan dalih untuk “melindungi masyarakat”, politikus
menolak memberikan hak dalam meningkatkan tarif atau penyesuaian
pelayanan. Sebagai hasilnya, pendapatan menjadi tidak mencukupi dan
perusahaan mulai kehilangan uangnya.

Pada gilirannya ini akan menuju pada pengurangan anggaran untuk


perawatan dan perbaikan, tidak ada lagi investasi dalam pengadaan
peralatan baru, meningkatnya pengurangan dan jasa layanan yang tak
menentu, membutuhkan penanganan pemerintah, sehingga pemerintah
mengambil alih, tunjangan publik untuk apapun sekarang kembali
kedalam sistem pemerintah, dan menurunnya efisiensi di bawah
operasionalisasi publik/pemerintah.

Pada capaian titik tertentu diluar dimana subsidi tidak bisa didukung
sepenuhnya, dan oleh karena itu juga pelayanan harus dipotong kembali
atau menggunakan biaya tambahan atau pajak harus ditingkatkan. Pada
akhirnya silklus privatisasi terjadi secara penuh ini bisa disebut sebagai
obat mujarab untuk mengatasi masalah.

Kerjasama publik-private untuk masalah infrastruktur ini akan membantu


memuaskan kebutuhan akan :
meningkatkan sistem untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi,
untuk memuaskan pemenuhan regulasi yang dipererat, atau untuk
menarik investasi dan pembangunan;
untuk meminimalisir biaya atas infrastruktur baru dan sebagai akibat
“guncangan peningkatan tarif” antar warga negara; dan
94
meningkatkan modal untuk proyek lain yang diinginkan oleh menerima
pembayaran dimuka untuk pemberian infrastruktur.

Sektor swasta membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan


infrastruktur dalam berbagai cara :
Membantu mengidentifikasi dan membangun sesuatu yang baru,
desainisasi inovatif, pembiayaan penggunaan, fasilitas memperoleh
keuntungan dalam kebutuhan rehabilitasi, renovasi, atau ekspansi. Sektor
swasta, adalah suatu sistem bisnis yang berorientasi keuntungan memiliki
insentif pembiayaan langsung untuk mencari dan membawa proyek baru
yang akan memuaskan kebutuhan publik dimana harganya dapat
disesuaikan dengan kemampuan publik. Proyek tidak akan menunggu
sampai dana pemerintah cair. Pemerintah mendukung proyek yang selalu
sering tidak ekonomis, membangun monument megah yang hanya
memuaskan ego secara personal atau kebutuhan politis.

Dengan melibatkan dukungan swasta dan lembaga bantuan financial


yang berpengalaman, memberikan jaminan kelayakan teknis dan
pendanaan dari proyek tersebut.

Memberikan akses pada pasar modal untuk mendukung atau mensubtitusi


sumberdaya dari pemerintah yang sulit untuk didapatkan. Modal baru
datang dari investor swasta yang memiliki kepentingan tertentu, dalam
menanggung resiko yang tinggi, dan tentu saja pengembalian modal
investasi yang tinggi pula, merupakan suatu keuntungan sektor swasta.
Hal ini dapat
95
mendorong keterbatasan dana publik dan dapat meningkatkan rating
pinjaman pemerintah.

Membangun lebih cepat dan lebih efektif daripada yang dapat


dilakukan oleh pemerintah, dan oleh karena itu meningkatkan
kepuasan pemenuhan kebutuhan publik lebih cepat dengan biaya yang
murah. Bidang konstruksi berkembang lebih pesat karena
development swasta lebih fleksibel dan tidak perlu terlalu birokratis
dan taat pada peraturan pemerintah yang dapat mengahambat
perencanaan dan schedule dalam konstruksi.
Mengoperasionalisasikan fasilitas secara lebih efisien daripada yang
biasa dilakukan oleh pemerintah, mematuhi regulasi standar, seperti
penjaminan akan kualitas produk barang atau jasa yang dikeluarkan.
Pembayaran pajak oleh perusahaan swasta menyediakan sumber baru
untuk pendapatan pajak negara. Dengan semakin banyaknya
kesempatan bisnis yang diperoleh sektor swasta akan semakin
memperbesar pendapatan di sektor perpajakan dapat direalisasikan.

Menerima resiko yang tidak terdapat pada sektor publik.

Mentransformasikan teknologi dan memberikan pelatihan kepada


pegawai pemerintah selama proyek berlangsung.
Membentuk suatu standar pengukuran swasta yang dapat digunakan
untuk mengukur proyek yang sama, dan meningkatkan manajemen
proyek publik untuk proyek di masa depan.

96
E.6.3. Spektrum Hubungan Kemitraan Publik-Privat Dalam

Penyediaan Infrastruktur

Kemitraan publik-privat dalam infrastruktur memiliki bentuk yang


beraneka ragam. Di bawah ini akan disajikan spectrum atas model-model
prinsip, dimulai dari yang sepenuhnya dikuasai publik hingga
sepenuhnya dikuasai swasta.

Gambar 6.2

Spektum Model Kemitraan Publik-Privat

Government Departement
Fully Public

Public Authority

Service Contract

Operation & Maintenance


Contract

Cooperative

Lease‐Build‐Operate

Build Transfer Operate (BTO)

Build (Own) Operate Transfer (BOT or BOOT)

Wraparound Addition

Buy‐Build Operate (BBO)

Fully Private
Build Own Operate (BOO)
97
A. Government Departement

Metode tradisional dalam menyediakan infrastruktur yang dilandasi


oleh pelayanan adalah secara langsung disediakan oleh departemen
pemerintah. Pemerintah sebagai pemilik fasilitas umum
bertanggungjawab atas desainisasi, pembiayaan, pembangunan, dan
operasionalisasinya.

B. Public Authority (Otoritas Publik)

Baik di negara maju maupun negara berkembang, otoritas publik ini


umumnya ditemukan dalam pengelolaan air, transportasi, pelayanan
telekomunikasi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu dibentuk dengan
komersialisasi (otonomi finansial dan manajerial dan pembagian
keuangan berdasarkan kinerja individu atau unit) dan korporasi (status
perusahaan/badan hukum dengan persebaran kepemilikan dan
manajemen). Perubahan ini ditujukan untuk meraih efisiensi dan
akuntabilitas sama seperti perusahaan swasta lainnya daripada badan
politik. Dampak positif dari model ini adalah (1) manajerial yang baik
dan stabilitas yang terjaga di manajemen tingkat menengah dan posisi
yang diisi oleh para professional di bidangnya;

(2) kekuatan finansial, dengan tarif yang masuk akal yang menutupi
biaya operasional; (3) hubungan yang baik dengan pelanggan; (4) di
beberapa kasus, kontraktor swasta untuk operasionalisasi dan
perawatan, modal swasta, sistem akuntansi biaya yang baik, dan
pendefinisian yang jelas mengenai peranan pemerintah, adanya dewan
direksi dan manajemen.
98
C. Service Contract (Kontrak Jasa)

Perusahaan swasta dapat mengontrak beberapa jasa pelayanan yang


berhubungan dengan infrastruktur. Misalnya pencatatan meteran
listrik, pembayaran rekening air, dan pembersihan jalan-jalan utama
dari sampah dan pasir. Agen-agen publik mempertahankan semua
tanggungjawab atas operasional dan perawatan sistem, kecuali untuk
jasa kontrak tertentu dan membawa resiko komersial tertentu. Kontrak
jasa ini biasanya berlangsung kurang dari lima tahun.

D. Operation and Maintenance Contract

Mitra swasta mengoperasikan dan memelihara fasilitas publik


dibawah kontrak manajemen dengan didukung oleh pemerintah, yang
memiliki fasilitas tersebut. Model ini hampir sama dengan kontrak
jasa, perbedaanya adalah mitra swasta disini memiliki semua
tanggungjawab untuk mengoperasikan dan memelihara sistem dan
membuat keputusan sehari-hari, tidak menerima resiko modal apapun.
Tujuannya adalah untuk mencapai efesiensi dan efektifitas yang lebih
besar dari pelayanan.

E. Cooperative (Kerjasama)

Organisasi nirlaba, sukarelawan, asosiasi korporatif menerima


tanggungjawab pelayanan. Misalnya saja dalam manajemen irigasi di
negara-negara berkembang yang disediakan oleh pihak-pihak nirlaba,
dimana asosiasi pengguna air mengambil
alih dan mengoperasikan irigasi lokal agar bisa berfungsi. Mereka
99
menggunakan sumber daya pribadi, termasuk pekerja dan modalnya,
dan kebanyakan mereka berhasil dalam membentuk jaringan antar
kanal, dan bahkan bendungan, dimana apabila hal ini dioperasikan
secara terpusat oleh otoritas pengairan pemerintah akan mengalami
kegagalan.

F. Lease Build Operate (Sewa Pakai Bangunan)

Perusahaan swasta diberikan sewa jangka panjang untuk membangun


dan mengoperasikan pengembangan fasilitas. Hal ini akan
mengembalikan investasi, terlebih lagi dengan adanya biaya
persewaan fasilitas tersebut. Karena fasilitas tersebut menyisakan
kepemilikan publik, model ini menghindari kemungkinan masalah
hukum yang dihubungkan dengan kepemilikan swasta atas fasilitas
yang mulanya dibangun dengan biaya milik masyarakat (publik).

G. Build Transfer Operate (BTO)

Pengembang swasta membiayai dan membangun fasilitas, terus-


menerus menyelesaikan, mentransformasikan kepemilikan legal
kepada agen pemerintah yang mendukung. Agen tersebut kemudiaan
menyewakan fasilitas itu kembali kepada pengembang atas sewa
jangka panjang, selama pengembang mengoperasikan fasilitas itu dan
mempunyai kesempatan untuk memulihkan investasinya dan
mendapat kembalian yang masuk akal atas biaya pemakaian dan
aktivitas komersial.

100
H. Build Operate Transfer

Pengembang swasta dihadiahi suatu monopoli/franchise


(pemberian/hadiah) untuk membiayai, membangun, memiliki, dan
mengoperasikan suatu fasilitas ( karenanya ini adalah kadang-kadang
dikenal sebagai BOOT – membangun, membangun, mengoperasikan,
dan mentransformasikan), dan untuk mengumpulkan pembayaran
pemakai untuk suatu periode tertentu, setelah kepemilikan fasilitas
dipindahkan ke sektor publik. Hal ini sama seperti BTO tetapi dapat
melawan undang-undang, regulasi, dan isu kewajiban yang timbul
sepanjang masa yang lama atas kepemilikan swasta sebelum
perpindahan terjadi. Meskipun demikian, BOT merupakan model
yang umum atas kemitraan publik-private untuk membangun suatu
infrastruktur yang baru.

I. Wraparound Addition

Pengembang swasta membiayai dan membangun suatu penambahan


bagi suatu fasilitas publik yang sudah ada, dan kemudian
mengoperasikan mengkombinasikan fasilitas yang manapun untuk
suatu periode tetap atau sampai pengembang tersebut memulihkan
biaya-biaya yang dikeluarkan (dan memperoleh sedikit laba) atas
biaya modal yang telah dikeluarkan.

J. Buy Build Operate

Fasilitas publik yang sudah ada dijual kepada mitra swasta yang
merenovasi atau memperluasnya, dan mengoperasikan dalam

sistem franchise. Hal ini setara dengan pelepasan perusahaan, yang


101
kemudian beroperasi di bawah suatu model franchise. Dalam model
franchise lainnya, sebelum negosiasi utama untuk dijual, pemilik publik
dapat menggunakan kesepakatan franchise untuk melatih kendali/kontrol
publik atas penetapan harga, aksesibilitas, keselamatan, kualitas, aspirasi,
dan kapasitas ekspansi masa depan.

K. Build Own Operate

Pengembang swasta membiayai, membangun, memiliki, dan


mengoperasikan fasilitas dalam franchise, subjek intinya adalah untuk
menghambat regulasi atas penetapan harga dan operasional. Hak
kepemilikan jangka panjang menyediakan insentif keuangan penting untuk
investasi modal dalam fasilitas infrastruktur.

Tabel 6.1

Model Privatisasi Infrastruktur

Tipe Fasilitas
Model

Deskripsi

Fasilitas yang sudah


Dijual
Perusahaan swasta membeli fasilitas,
ada

mengoperasikannya

dengan

franchise, dan mengumpulkan biaya

penggunaan.
Disewakan
Pemerintah
menyewakan
fasilitas

kepada
perusahaan
swasta,
yang

mengoperasikannya

dengan

franchise dan mengumpulkan biaya

penggunaan.

Kontrak Operasional
Perusahaan
swasta
merawat
dan

dan Perawatan
mengoperasikan
fasilitas

yang

dimiliki
pemerintah, pemerintah
membayar
biaya
operasional
dari

perusahaan swasta itu.

102
Fasilitas

yang
Lease Build Operate
Perusahaan
swasta
menyewa
atau

membutuhkan

(Sewa

Pakai
membali
fasilitas dari
pemerintah,

investasi
modal
untuk
Bangunan)

mengoperasikannya
atas ijin
yang

ekspansi

atau
Buy Build Operate
diberikan,
dan
memperluas
atau

rehabilitasi

merehabilitasinya,
mengumpulkan
sejumlah

biaya
pemakaian
dan

membayar biaya franchise.

Wraparound Adition
Perusahaan
swasta
memperluas

fasilitas
yang dimiliki
pemerintah,

hanya memiliki
perluasan
tersebut,
tetapi
mengoperasikan
fasilitas

tersebut secara utuh, mengumpulkan

biaya penggunaan.

Fasilitas
baru
yang
Build
Transfer
Perusahaan swasta membangun dan

akan dibangun

Operate

membiayai

fasilitas
baru,

mengalihkannya kepada kepemilikan

publik,

kemudian

mengoperasikannya selama 20 atau

40 tahun,
mengumpulkan
biaya
pengguna.

Build
Own Operate
Sama seperti BTO, tetapi fasilitas

Transfer yang
juga
tersebut
akan
dialihkan
kepada

bisa
disebut
Build
kepemilikan publik setelah 20-40

Operate Transfer
tahun.
Build Own Operate
Perusahaan
swasta
membiayai,

membangun,
memiliki,

dan

mengoperasikan

fasilitas
dan

mengumpulkan
biaya
pengunaan,

dibawah
franchise
secara
terus

menerus.

Sumber : Steve Stecler dan Livinia Payson, 1992


E.6.4. Isu Strategis

Dalam memanfaatkan kemitraan publik-privat berhadapan dengan


beberapa isu strategik : peranan partai yang berbeda, kompetisi, regulasi,
resiko, pengadaan, dan pembiayaan.
103
A. Peranan dan Fungsi

Tanggungjawab untuk peranan penting dan fungsi harus dialokasikan :


memiliki asset, menyediakan pembiayaan modal, menyediakan modal
kerja, membuat penanaman modal tambahan, mengoperasikan dan
merawat fasilitas, melatih otoritas manajerial sehari-hari, dan
menegaskan resiko komersial. Faktor penting lainnya untuk dikenali
dan dipecahkan adalah kompensasi kepada mitra swasta dan janga
waktu pengaturan

B. Kompetisi

Keuntungan dari kompetisi adalah : biaya murah, harga murah,


inovasi yang lebih besar, meningkatnya investasi, dan pelayanan yang
lebih baik. Meskipun, sering diargumentasikan infrastruktur yang
berbasiskan pelayanan secara alami dimonopoli dan hanya franchise
yang eksklusif yang dapat berhasil, untuk stabilitas dan keuntungan
yang lebih besar adalah prasyarat investasi.

C. Regulasi

Pembarian ijin privatisasi infrastruktur membutuhkan regulasi


pemerintahan yang efektif, yang dilandasi dari stabilitas dan sistem
yang dipercaya atas hukum yang dapat dilaksanakan mengenai hak
kepemilikan, kontrak, perselisihan, dan kewajiban. Regulasi harus
didesain dan diadministrasikan untuk memberikan

perlindungaln kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan dan


104
mitra perusahaan swasta. Elemen kunci dalam kerangka regulasi
termasuk pendapatan, tingkat tariff, kinerja, kehandalan, derajat
kompetisi, dan akses untuk berhubungan dengan sistem yang lain.

D. Resiko

Privatisasi infrastruktur menghadirkan resiko yang penting yang


ditanggung kemitraan public-private. Bersamaan dengan hadirnya
resiko, ada penghargaan dan tanggungjawab yang dialokasikan secara
berhubungan. Resiko ini dikategorisasikan atas tiga kelompok : resiko
bisnis, resiko finansial, dan resiko politik.

Resiko bisnis : Cost-overrun risk (resiko biaya tinggi) adalah resiko


dimana keterlambatan konstruksi, perubahan desain, keterlambatan
penemuan lokasi permasalahan, kegagalan dalam memperoleh ijin,
dan lain sebagainya, akan membuat biaya yang dikeluarkan lebih
besar dari yang diharapkan. Operating risk (resiko operasional) adalah
resiko dimana biaya operasional dari perusahaan menjadi lebih besar
daripada yang ditentukan atau kualitas atau kapasitasnya menjadi
tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan tingakatan yang diharapkan.
Revenue risk (resiko pendapatan) adalah resiko dimana permintaan
menjadi tidak cukup atau tingkatan tarifnya menjadi lebih rendah
untuk menghasilkan pendapatan yang diinginkan

Resiko financial. Debt-service coverage risk (resiko pemenuhan


pelayanan pinjaman) adalah resiko dimana mengoperasikan aliran
dana tunai (cash flow) menjadi tidak cukup

untuk memenuhi kebutuhan utama dan pembayaran bunga atas


105
pinjaman yang digunakan untuk membiayai proyek. Exchange rate
risk (resiko nilai tukar) adalah resiko dimana nilai mata uang lokal
tidak dapat dirubah menjadi nilai mata uang asing sebagaimana
pada suatu kurs mata uang yang diharapkan, salah satunya
dikarenakan nilai kurs mata uang menurun atau karena kebijakan
tertentu yang dikeluarkan pemerintah.

Resiko politis. Rate regulation risk (resiko peraturan tingkat tarif)


adalah resiko dimana pemerintah mengeluarkan aturan yang tidak
mengijinkan atau selalu meningkatkan tarif untuk memberikan
suatu keuntungan atas investasi, atau selalu memberikan perintah
untuk menurunkan tarif. Expropriation risk (resiko
pengambilalihan) adalah resiko dimana pemerintah akan
menasionalisasikan kembali fasilitas-fasilitas atau memaksakan
pajak atau regulasi yang mengurangi nilai-nilai perusahaan.
Repatriation risk adalah resiko dimana investor tidak dapat
memindahkan modal dan penghasilannya keluar negeri. Dispute
resolution risk (resiko resulusi perselisihan) adalah resiko dimana
perselisihan kontrak antara pengembang swasta dan agen
pemerintah tidak dapat diselesaikan secara adil dalam jurisdiksi
netral.

Resiko lainnya. Resiko teknologi adalah resiko dimana penggunaan


teknologi baru mengakibatkan munculnya masalah yang tidak
diharapkan, yang akan menghambat atau mencegah pelaksanaan
proyek. Resiko lingkungan adalah resiko dimana perusahaan,
ketika masih dikendalikan pemerintah, menyebabkan

kerusakan lingkungan dimana pemilik perusahaan swasta atau


106
operator dibutuhkan untuk melakukan koreksi. Force majeure risk
(resiko paksaan) adalah resiko dimana terjadi suatu hal yang terjadi
diluar kendali publik atau mitra swasta, seperti banjir atau
peperangan, akan merusak kemampuan perusahaan dalam
memperoleh keuntungan.

E. Pengadaan

Ada tiga jenis penawaran yang biasa digunakan untuk memilih mitra
swasta : advertised procurement (pengadaan yang diiklankan),
competitive negotiation (negosiasi kompetitif), dan tiga tahapan
proses.

Advertised procurement. Masyarakat mensponsori isu dan


mengiklankan suatu undangan pelelangan, mengevaluasi lelang,
mengeliminasi peserta lelang yang tidak sesuai dengan permintaan
negara, dan memberikan kontrak kepada peserta lelang yang
berkualitas yang menyampaikan harga penawaran paling rendah.

Competitive negotiation. Sponsor mengeluarkan permintaan untuk


proposal, menerima dan mengevaluasi proposal, menegosiasikannya
dengan peserta lelang, dan memberikan kontrak kepada salah satu
peserta lelang yang proposalnya paling bagus, walaupun harga
penawarannya bukan yang paling rendah.

Three-step procurement. Sponsor publik pada mulanya mengeluarkan


kualifikasi dan meneliti atas kondisi finansial yang dimiliki
perusahaan swasta untuk memastikan agar bisa menyelesaikan
proyek. Langkah kedua adalah meminta kepada

perusahaan yang terpilih, untuk mengajukan proposal teknis dan


107
ekonomis secara terpisah. Proposal yang teknis yang mencetak skor di
bawah suatu ketentuan dihapuskan dan amplop dengan proposal yang
ekonomi dibuka, kontrak akan diberikan kepada peserta lelang yang
memiliki keseimbangan antara jasa teknis dan ekonomis. Semua
proposal yang mencetak skor di atas kekuatan minimum teknis
diperlakukan sama, dengan penawar yang paling rendah yang
memenangkan poject itu.

F. Pembiayaan

Keuntungan dari pembiayaan publik adalah mengijinkan akses kepada


pinjaman bebas pajak dan dana pemerintah, mengurangi biaya proyek.
Pelayanan pinjaman adalah kemudian dibayar dengan keuntungan dari
proyek. Pembiayaan publik adalah paling sesuai untuk proyek yang
menawarkan potensi komersial yang kecil. Pemilik dana internasional
dapat membiayai proyek di negara sedang berkembang.

Capital cost. Kelayakan suatu proyek tergantung sampai besaran


tertentu pada perolehan pembiayaan modal atas batas kepuasan.
Pembiayaan pemerintah dapat meliputi obligasi bebas pajak, obligasi
pajak, obligasi pendapatan, dan, dana. Pembiayaan swasta dapat
meliputi hutang dan penjaminan kekayaan, pinjaman, dan pembiayaan
oleh kontraktor dan vendor atas proyek.

Sumber pendapatan. Ada beberapa sumber pendapatan setelah proyek


berjalan. (1) biaya penguna; (2) subsidi pemerintah;
(3) pajak yang didedikasikan secara khusus; (4) perolehan nilai; (5)

bentuk lain atas implementasi perolehan nilai di mata masyarakat; (6)


108
penjualan hak siaran atau operasional; (7) pendapatan yang tak
diduga atas periklanan, pelayanan, dan pengembangan yang lebih
intensif dari fasilitas-fasilitas umum.
109
Daftar Pustaka

Artjan, M. Faisal, 2000, IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN,


Majalah Usahawan No. 02 Th. XXIX, Februari 2000.
Bailey, Robert W., 1987, "Uses and Misuses of Privatization", in Steve
H. Hanke (Ed.) Prospects for Privatization, The Acedemy of Political
Science, New York.

Basri, Faisal H., 2002, Konsep Privatisasi, makalah yang disampaikan


dalam Seminar Terbatas: Privatisasi Ditinjau dari Aspek Ekonomi Makro,
yang diselenggarakan oleh Kantor Badan Usaha Milik Negara, Graha
Sawala, Gedung Utama Departemen Keuangan, Jakarta, 21 Mei 2002.

Cartwright, S. and C.L. Cooper, 1993, The Role of Culture Compatibility


in Successful Organizational Marriage, Journal of Management
Executive, May; 7(2), pp. 57-70.

Cartwright, S. and C.L. Cooper, 1993, Of Mergers, Marriage and


Divorce: The Issues of Staff Retention, Journal of Managerial
Psychology, 8(6), pp. 7-10.

Cartwright, S. and C.L. Cooper, 1995, Organizational Marriage:"Hard"


versus "Soft" Issues, Personnel-Review, 24(3), pp. 32-42.
Cunha, R.C.E., and C.L. Cooper ,1998, Privatization and Human Factor,
Journal of Applied Management Studies, December, pp.201-210.
Dees, J.G. ,1998, Enterprising Nonprofits, Harvard Business Review,
January-February, pp.55-67.

110
Gomez, Jose-Ibanez, and John R. Meyer, 1993, Going Private :
The International Experience with Transport Privatization,
Brookings Institution, Washington, D.C.

Kay, J.A. and D.J. Thampson, 1986, Privatization: A Policy in


Search of A Rationale, The Economic Journal, Vol. 96, March
1986, pp 18-32.

Kolderie, Ted, 1986, The Two Different Concept of Privatization,


Public Administration Review, Vol 46, No: 4, July-August 1986,
pp 285-291.

Mahsun, Mohamad, 2006, Pengukuran Kinerja SektorPublik,


BPFE, Yogyakarta.
Megginson, William L. dan Netter, Jeffry M., 2001, From State to
Market: A Survey of Empirical Studies On Privatization,
Forthcoming, Journal of Economic Literature (June 2001), www.
worldbank.org, diunduh pada tanggal 29 Nopember 2009.

Mirsha, K.E., G.M. Spreitzer, and A.K. Mirsha, 1998, Perserving


Employee Morale during Downsizing, Sloan Management Review,
Winter, pp. 83-95.

Nankani, Helen, 1989, Techniques of Privatization of State-owned


Enterprises, The International Bank for Reconstructive and
Development / The World Bank.

Peters, K., 1999, Down to the Core, Government Executive, May,


31(5), pp. 20-28.
Rice, 1983, The Origin of Basic Economic Ideas and Their Impact
on New Order Policies,
111
Rama, M., 1999, Public Sector Downsizing: An Introduction, The
World Bank Economic Review, January, 13(1), pp. 1-22.

Savas, E.S., ed., 1992, Report of the New York State Senate
Advisory Commision on Privatization, Steve Steckler and Livinia
Payson,

“Infrastucture” in Privatization for New York : Competing for a


Better Future, pp. 194.
Thoha,Miftah, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Thurow, L., 1996, The Future of Capitalism, Nicholas Brealy
Publishing Ltd., London.
Yasin, Mahmud, 2002, Restrukturisasi dan Privatisasi, pointers
seminar/rapat koordinasi direksi/komisaris BUMN di Jakarta, 17
April 2002.
112

You might also like