You are on page 1of 29

LAPORAN PENDAHULUAN

“STATUS EPILEPTIKUS”
DI RUANG 7A IRNA IV
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun oleh :

IRMA INDRIANA

2015.01.016

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan konsep askep denga status epilepikus ini telah disetujui dan di sahkan

pada tanggal :

Malang, Agustus 2018

(IRMA INDRIANA )

Pembimbing Klinik/CI Pembimbing Institusi

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
A. DEFINISI

Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau

lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau

aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat

dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang

tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai

status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan

pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas

yang menyertai (Haslam, 2010).

Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang

yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang

terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara

luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat

dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika

kejang terus-menerus lebih dari 5 menit (Sirven, 2013).

Status Epileptikus bangkitan umum (GCSE) adalah bangkitan umum yang

berlangsung 30 menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang yang

terjadi lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan. Definisi

operasional status epileptikus yang dipakai saat ini untuk dewasa dan anak, yaitu

bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau terdapat 2 atau

lebih bangkitan tanpa pulih kesadaran di antaranya (Mastrangelo, 2012)

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab utama SE pada anak adalah infeksi (meningitis dan

ensefalitis), demam, trauma kepala, ketidakpatuhan terhadap obat antiepilepsi, tumor

pada susunan saraf pusat, trauma serebrovaskular, ensefalopati hipoksik-iskemia,

gangguan elektrolit, dan sindrom neurokutaneous. Sekitar 25% penyebab SE

diklasifikasikan sebagai idiopatik. Sebuah penelitian prospektif berbasis populasi di

Amerika serikat telah melakukan stratifikasi penyebab SE pada anak. Urutan

penyebab terbanyak sebagai berikut :


Tabel 1.Etiologi terbanyak status epileptikus pada anak.

Akut

Simptomatis akut (17%-52%)

Infeksi SSP akut (meningitis bakteri, meningitis viral, ensefalitis)

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia,

sedera anoksia)

Ketidakpatuhan minum obat anti epilepsi

Overdosis obat anti epilepsi

Penyebab di luar ketidakpatuhan dan overdosis obat anti epilepsi

Prolonged febrile convulsion (23%-30%)

Influenza

Exantema Subitum

Remote symptomatic/simptomatis berulang (16%-39%)

Cerebral Migrational Disorders (lissencephaly, schizencephaly)

Cerebral Dysgenesis

Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopath

Progressive Neurodegenerative Disorders

Idiopatik/Kriptogenik (5%-19%)

(Dikutip dari Singh RK dan Gaillard WD, 2009)

C. FAKTOR RESIKO
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air
panas
2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
3. Faktor mental: stress, gangguan emosi

D. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut (Turner, 2006) :
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.
E. Patofisiologi
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana
tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel
pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan
syaraf yang irreversibel.

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks
dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah


kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter
eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan
intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks sereprum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang.Lombardo MC. Gangguan kejang (Price, 2005).

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena


biokimiawi, termasuk yang berikut:5

1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
2) Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4) Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktifitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di
antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus
lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.Davis LE,
King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease - an introductory text.
New york: Demos medical publishing; 2005.

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik


seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan
pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin
akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan
asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang
terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat,
yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak
memadai.

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak
(Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di
antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia
- yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA)
receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang
kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical.
Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh
glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara,
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali
lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gatedcalcium channel
terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang
fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini
terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.Hughes R.
Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.

Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:


1) Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
a) Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
b) Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
c) Hipertensi, hiperpireksia
d) Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2) Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
a) Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
b) Depresi pernafasan
c) Disritmia jantung, hipotensi
d) Hipoglikemia, hiponatremia
e) Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia,
hipoksemia, trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%)

F. Manifestasi Klinis
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai separuh tubuh,
gerakan adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status epileptikus.
Keluarga penderita yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali
dengan jelas. Enam puluh sampai delapanpuluh persen status epileptikus dimulai
dengan gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran
lepas muatan listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer
lain. Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini
berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam
bentuk klinis seperti ini penderita berada dalam keadaan status epileptikus.
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-
Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga
terjadi.
1) Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

2) Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)


Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

3) Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

4) Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya
tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati
anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

5) Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens
pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
6) Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,


delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior),
retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave
discharges dari status absens.

7) Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8) Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.
Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi,
tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus
parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
G. Pemeriksaan Dan Diagnosis
Diagnosa dalam keadaan status epileptikus tidak sukar, akan tetapi
perawatannya memerlukan lebih banyak perhatian. Status epileptikus dapat timbul
karena berbagai sebab. Bilamana dokter dipanggil untuk menolong penderita, maka ia
tidak usah langsungmemberi obat untuk menghilangkan kejang umum yang hebat itu.
Dengan tenang harus menyelidiki dahulu penyakit yang mendasarinya.
1) Anamnesis:
a) Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
b) Tingkat kesadaran diantara kejang
c) Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga
d) Panas, trauma kepala
e) Riwayat persalinan, tumbuh kembang
f) Penyakit yang sedang diderita dan RPD.
2) Pemeriksaan fisik : pemeriksaan neurologi lengkap meliputi:
a) Tingkat Kesadaran
b) Pupil
c) Reflex fisiologis dan patologis
d) Tanda – tanda perdarahan
e) Lateralisasi
Pemeriksaan fisik akan dipersulit oleh konvulsi umum, maka dari itu
anamnesa harus dilakukan secara mendalam.

H. Pemeriksaan Penunjang
Terdiri dari pemeriksaan laboratorium yaitu darah CBC, elektrolit, glukosa,
fungsi ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada didugaan infeksi maka
dilakukan kultur darah, dan Imaging yaitu CT scan dan MRI untuk mengevaluasi
lesi struktural di otak, EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan
secepat mungkin jika pasien mengalami gangguan mental. Pungsi lumbar dapat
kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan subaraknoid.
Gambaran EEG status epileptikus Subtle generalized convulsive status
epilepticus with spike wave activity

I. KOMPLIKASI
Otak
a. Peningkatan Tekanan Intra Kranial
b. Oedema serebri
c. Trombosis arteri dan vena otak
d. Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
a. Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
b. Apnoe
c. Pneumonia
d. Hipoksia, hiperkapni
e. Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
a. Hipertensi
b. Oedema paru
c. Aritmia
d. Glikosuria, dilatasi pupil
e. Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
a. Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Metabolik dan Sistemik
b. Dehidrasi
c. Asidosis
d. Hiper/hipoglikemia
e. Hiperkalemia, hiponatremia
f. Kegagalan multiorgan
Idiopatik
a. Fraktur, tromboplebitis, DIC
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol
penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus
Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status
epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570
pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok
(pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang
berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan


Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan


Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik
dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam
mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan
memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau
Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang,
maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol penanganannya adalah sebagai berikut:

Stadium I (0-10 menit)


Pada kondisi ini, perbaikan fungsi kardio-respirasi adalah yang paling utama. Harus
dipatikan bahwa jalan napas pasien tidak terganggu. Dapat pula diberikan oksigen.
Jika diperlukan resusitasi dapat dilakukan
Stadium II (1-60 menit)
Pada stadium ini, perlu dilakukan pemeriksaan status neurologis dan tanda vital.
Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring terhadap status metabolik, analisa gas
darah dan status hematologi. Pemeriksaan EKG jika memungkinan juga perlu
dilakukan .
Selanjutnya dilakukan pemasangan infus dengan NaCl 0,9%. Bila direncakanan akan
digunakan 2 macam obat anti epilepsi, dapat dipakai 2 jalur infus. Darah sebanyak 50-
100 cc perlu diambil untuk pemeriksaan laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal
dan hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan
dan kadar AED).
Pemberian OAE emergensi berupa:
Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV –> evaluasi kejang
5 menit–> masih kejang (?) –>ulangi pemberian diazepam.
Selama penanganan ini, etiologi penyebab kejang harus dipastikan.
Stadium III (0-60/90 menit)
Jika kejang masih saja berlangsung, dapat diberikan:
Fenitoin IV 15-20 mg/kg dengan kecepatan <50 mg/menit (tekanan darah dan EKG
perlu dimonitor selama pemberian fenitoin). Jika masih kejang, dapat diberikan
fenitoin tambahan 5-10 mg/kgbb. Bila kejang berlanjut, berikan phenobarbital 20
mg/kgbb dengan kecepatan pemberian 50-75 mg/menit (monitor pernapasan saat
permberian phenobarbital). Pemberian phenobarbital dapat diulang 5-10
mg/kgbb. Pada pemberian phenobarbital, fasilitas intubasi harus tersedia karena
resikonya dalam menimbulkan depresi napas. Selanjutnya, dapat dipertimbangkan
apakah diperlukan pemberian vasopressor (dopamin).
Stadium IV (30-90 menit)
Bila selama 30-60 menit kejang tidak dapat diatasi, penderita perlu mendapatkan
perawatan di ICU. Pasien diberi propofol (2mg/kgBB bolus IV) atau midazolam
(0,1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopentone (100-250
mg bolus IV pemberian dalam 2o menit dilanjutkan bolus 50 mg setiap 2-3 menit),
dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir,
lalu lakukan tapering off. Selama perawatan, perlu dilakukan monitoring bangkitan
EEG, tekanan intrakranial serta memulai pemberian OAE dosis rumatan.

Perawatan pasien yang mengalami kejang :


a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
(pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu
untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk
mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c) Lepaskan pakaian yang ketat
d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f) Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk
memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi
karena tindakan ini.
h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena
kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i) Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran
salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk
membersihkan secret
j) Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode
ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama
atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus
diorientasikan terhadap lingkungan.
Konsep Asuhan Keperawatan pada Kasus Kejang Demam
1. Pengkajian

Anamnesis

1) Identitas pasien

Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir, umur,

tempat lahir, asal suku bangsa, agama, nama orang tua, pekerjaan orang tua,

penghasilan orang tua. Wong (2009), mengatakan kebanyakan serangan kejang

demam terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum 3 tahun dengan peningkatan

frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan.

2) Riwayat kesehatan

a) Keluhan utama

Biasanya anak mengalami peningkatan suhu tubuh >38,0⁰C, pasien

mengalami kejang dan bahkan pada pasien dengan kejang demam kompleks

biasanya mengalami penurunan kesadaran.

b) Riwayat penyakit sekarang

Biasanya orang tua klien mengatakan badan anaknya terasa panas, nafsu

makan anaknya berkurang, lama terjadinya kejang biasanya tergantung pada jenis

kejang demam yang dialami anak.

c) Riwayat kesehatan

(1) Riwayat perkembangan anak : biasanya pada pasien dengan kejang demam

kompleks mengalami gangguan keterlambatan perkembangan dan intelegensi

pada anak serta mengalami kelemahan pada anggota gerak (hemifarise).

(2) Riwayat imunisasi : Biasanya anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap

rentan tertular penyakit infeksi atau virus seperti virus influenza.

(3) Riwayat nutrisi

Saat sakit, biasanya anak mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan

muntahnya
2. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum biasnaya anak rewel dan kesadaran compos mentis

2) TTV :

a. Suhu : biasanya >38,0⁰C

b. Respirasi: pada usia 2- < 12 bulan : biasanya > 49 kali/menit

c. Pada usia 12 bulan - <5 tahun : biasanya >40 kali/menit

d. Nadi : biasanya >100 x/i

e. BB

f. Biasanya pada nak dengan kejang demam tidak terjadi penurunan berar badan

yang berarti

3) Kepala

Biasanya tampak simetris dan tidak ada kelainan yang tampak

4) Mata

Biasanya simetris kiri-kanan, skelera tidak ikhterik, konjungtiva anemis.

5) Mulut dan lidah

Biasanya mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, lidah tampak kotor

6) Telinga

Biasanya bentuk simetris kiri-kanan, normalnya pili sejajar dengan katus mata,

keluar cairan, terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara, nyeri tekan

mastoid.

7) Hidung

Biasanya penciuman baik, tidak ada pernafasan cuping hidung, bentuk simetris,

mukosa hidung berwarna merah muda.

8) Leher

Biasanya terjadi pembesaran KGB

9) Dada

a) Thoraks

(1) Inspeksi, biasanya gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu

pernapasan
(2) Palpasi, biasanya vremitus kiri kanan sama

(3) Auskultasi, biasanya ditemukan bunyi napas tambahan seperti ronchi.

b) Jantung

Biasanya terjadi penurunan atau peningkatan denyut jantung

inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat

palpasi: Ictus cordis di SIC V teraba

batas kiri jantung : SIC II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang jantung), SIC V

kiri agak ke mideal linea midclavicularis kiri.

Batas bawah kanan jantung disekitar ruang intercostals III-IV kanan, dilinea

parasternalis kanan, batas atasnya di ruang intercosta II kanan linea

parasternalis kanan.

Auskultasi: BJ II lebih lemah dari BJ I

10) Abdomen

biasanya lemas dan datar, kembung

11) Anus

biasanya tidak terjadi kelainan pada genetalia anak

12) Ekstermitas :

1. Atas : biasanya tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral

dingin.

2. Bawah : biasanya tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral

dingin.

13) Penilaian tingkat kesadaran

a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat

menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15-14.

b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan

sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.

c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,

berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11 - 10.


d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor

yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang

(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal,

nilai GCS: 9 – 7.

e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.

f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai

GCS: ≤ 3.

d. Penilaian kekuatan otot

Tabel 2.1
Penilaian Kekuatan Otot

Respon Skala

Kekuatan otot tidak ada 0


Tidak dapat digerakkan, tonus otot ada 1
Dapat digerakkan, mampu terangkat sedikit 2
Terangkat sedikit < 450, tidak mampu melawan gravitasi 3
Bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, namun tidak mampu 4
melawan tahanan pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kekuatan otot normal 5
(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013)
2. Kemungkinan diagnosa keperawatan yang akan muncul

a. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan


peningkatan sirkulasi otak

c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensasi

d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan ventilasi perfusi

e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


hipoksemia

f. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran

g. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan


neurologis atau kejang

h. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan


gangguan kejang
3. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan pada Kasus Kejang Demam
NO NANDA NOC NIC

1. Hipertermia a. Termoregulasi Perawatan demam


a. Pantau suhu dan
Batasan karakteristik Kriteria hasil : tanda-tanda vital
a. Apnea lainya
a. Merasa merinding
b. Bayi tidak dapat b. Monitor warna kulit
b. saat dingin
mempertahankan c. Berkeringat saat dan suhu
menyusu d. pana c. Monitor asupan dan
c. Gelisah e. Tingkat pernapasan sadari perubahan
d. Hipotensi f. Melaporkan kehilangan keluaran,
e. Kulitkemerahan g. kenyamanan suhu cairan yang tak di
f. Kulit terasa hangat h. Perubahan warna rasakan
g. Latergi i. kulit d. Beri obat atau
h. Kejang j. Sakit kepala cairan IV Tutup
i. Koma pasien dengan
j. Stupor selimut atau pakaian
k. Takipnea m. dengan ringan
l. Vasodilatasi e. Dorong konsumsi
cairan
Faktor yang f. Fasilitasi istirahat,
berhubungan terapkan pembatasan
aktivitas jika di
a. Peningkatan laju
perlukan
b. metabolisme Penyakit
c. Sepsis
g. Berikan oksigen
yang sesuai
h. Tingkatkan sirkulasi
udara
i. Mandikan pasien
dengan spon hangat
dengan hati-hati.
Pengaturan suhu
a. monitor suhu paling
tidak setiap 2 jam
sesuai kebutuhan
b. monitor dan
laporkan adanya
tanda gejala
hipotermia dan
hipertermia
c. tingkatka intake
cairan dan nutrisi
adekuat
d. berikan pengobatan
antipiretik sesuai
kebutuhan.

Manajemen pengobatan
a. Tentukan obat apa
yang di perlukan,
dan kelola menurut
resep dan/atau
protokol
b. Monitor efektivitas
cara pemberian obat
yang sesuai.

Manajemen kejang
a. Pertahankan jalan
nafas
b. Balikkan badan
pasien ke satu sisi
c. Longgarkan pakaian
d. Tetap disisi pasien
selama kejang
e. Catat lama kejang
f. Monitor tingkat
obatobatan anti
epilepsi
2. Ketidakefektifan perfusi Status sirkulasi Terapi oksigen
jaringan serebral Faktor a. Tekanan darah sistol a. Periksa mulut,
resiko b. Tekanan darah diastol hidung, dan sekret
c. Tekanan nadi trakea
a. Gangguan d. PaO2 (tekanan parsial b. Pertahankan jalan
serebrovaskuler oksigen dalam darah napas yang paten
b. penyakit neurologis arteri) c. Atur peralatan
e. PaCO2 (tekanan parial oksigenasi
karbondioksida dalam d. Monitor aliran
darah arteri oksigen
f. Saturasi oksigen e. Pertahankan posisi
g. Urine output pasien
h. Capillary refill. f. Observasi tanda-
Status neurologi tanda hipoventilasi
a. Kesadaran g. Monitor adanya
b. Fungsi sensorik dan kecemasan pasien
motorik kranial terhadap oksigenasi.
c. Tekanan intrakranial
d. Ukuran pupil Manajemen edema
e. Pola istirahat-tidur serebral
f. Orientasi kognitif a. Monitor adanya
g. Aktivitas kejang kebingungan,
h. Sakit kepala. perubahan pikiran,
keluhan pusing,
pingsan
b. Monitor tanda-tanda
vital
c. Monitor karakteristik
cairan serebrospinal :
warna,
kejernihan,konsistens
d. Monitor status
pernapasan: frekuensi,
irama, kedalaman
pernapasan,
PaO2,PaCO2, pH,
Bicarbonat
e. Catat perubahan pasien
dalam berespon
terhadap stimulus
f. Berikan anti kejang
sesuai kebutuhan
g. Batasi cairan
h. Dorong keluarga/orang
yang penting untuk
bicara pada pasien
i. Posisikan tinggi kepala
30° atau lebih.

Monitoring peningkatan
intrakranial
a. Monitor tekanan
perfusi serebral
b. Monitor jumlah,
nilai dan
karakteristik
pengeluaran cairan
serebrispinal (CSF)
c. Monitor intake dan
output
d. Monitor suhu dan
jumlah leukosit
e. Periksa pasien
terkait ada tidaknya
gejala kaku kuduk
f. Berikan antibiotik
g. Letakkan kepala
dan leher pasien
dalam posisi netral,
hindari fleksi
pinggang yang
berlebihan
h. Sesuaikan kepala
tempat tidur untuk
mengoptimalkan
perfusi serebral
i. Berikan agen
farmakologis untuk
mempertahankan
TIK dalam
jangkauanm tertentu.

Monitor tanda-tanda
vital
a. Monitor tekanan
darah, nadi, suhu
dan status
pernapasan dengan
cepat
b. Monitor kualitas dari
nadi
c. Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
d. Monitor pola
pernapasan
abnormal (misalnya,
cheynestokes,
kussmaul, biot,
apneustic, ataksia
dan bernapas
berlebihan)
e. Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
f. Monitor adanya
cushling triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
g. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign
3. Ketidakefektifan pola Status penrnapasan: Terapi oksigen
napas ventilasi a. Bersihkan mulut,
Batasan karakteristik Kriteria hasil hidung dan sekret
a. Frekuensi pernapasan trakea dengan tepat
a. Bradipnea
b. Irama pernapasan b. Pertahankan kepatenan
b. Dispnea c. Kedalama pernapasan jalan nafas
c. Penggunaan otot d. Penggunaan otot bantu
c. Berikan oksigen
bantu penapasan nafas
tambahan seperti yang
d. Penurunan kapasitas e. Suara nafas tambahan
diperintahkan
vital f. Retraksi dinding dada
g. Dispnea saat istirahat d. Monitor aliran oksigen
e. Penurunan tekanan
h. Atelektasis. e. Periksa perangkat
ekspirasi pemberian oksigen
f. Penurunan tekanan Status pernapasan : secara berkala untuk
inpsirasi kepatenan jalan nafas memastikan bahwa
g. Pernapasan bibir Kriteria Hasil : kosentrasi yang telah
h. Pernapasan cuping a. frekuensi pernapasan di tentukan sedang di
b. pernapasan cuping berikan
hidung
hidung f. Pastikan penggantian
i. Pola nafas abnormal
masker oksigen/kanul
j. Takipnea.
nasal setiap kali
Faktor yang
perangkat diganti
berhubungan
g. Pantau adanya
a. Cedera medula tandatanda keracunan
spinalis oksigen dan kejadian
b. Gangguan neurologis atelektasis.
c. Nyeri Monitor neurologi
a. Pantau ukuran pupil,
bentuk kesimetrisan
dan reaktivitas
b. Monitor tingkat
kesadaran
c. Monitor GCS
d. Monitor status
pernapasan.
4. Gangguan pertukaran gas Status pernafasan : pertukaran Monitor vital sign
gas Tindakan keperawatan:
berhubungan dengan Kriteria hasil: a. Memonitor tekanan
a. Tekanan parsial darah, nadi, suhu, dan
ketidakseimbangan
oksigen dalam darah status pernafasan,
ventilasi arteri(po2) b. Memonitor Denyut
b. Tekanan parsial jantung
oksigen dalam darah c. Memonitor suara
arteri(pco2) paruparu
c. Saturasi oksigen d. Memonitor warna kulit
d. Keseimbangan e. Meniai CRT
ventilasi perfusi Monitor pernafasan
e. Dyspnea pada saat a. Tindakan keperawatan:
istirahat Memonitortingkat,
f. Sianosis irama, kedalaman, dan
respirasi
b. Memonitor gerakan
dada
c. Monitor bunyi
pernafasan
d. Auskultasi bunyi paru
e. Memonitor dyspnea
dan hal yang
meningkatkan dan
memperburuk
5. Ketidakefektifan perfusi Cardiopulmonaly status Terapi oksigen
jaringan perifer (Status kardiopulmonal)
a. Monitor kemampuan
Kriteria hasil : pasien dalam
mentoleransi
a. Tekanan darah
kebutuhan oksigen
b. Sistolik saat makan
c. Tekanan darah b. Observasi cara
d. diastolik masuknya oksigen
e. Nadi perifer yang menyebabkan
f. Saturasi oksigen hipoventilalsi
g. Indeks kardio c. Monitor perubahan
h. Sianosis warna kulit pasien
i. Edema perifer d. Monitor posisi
j. Kedalaman pasien untuk
pernafasan membantu
masuknya oksigen
Status pernafasan
e. Monitor keefektifan
a. Menilai pernafasan terapi oksigen
b. Irama pernafasan f. Memonitor
c. Kedalaman penggunaan oksigen
pernafasan saat pasien
d. Volume tidal beraktivitas
e. Saturasi oksigen
Menajemen sensasi
f. sianosis
perifer
g. Clubbing of finger
h. Gasping a. Memonitor
(terengahengah) perbedaan terhadap
rasa
tajam,tumpul,panas
Vital sign atau dingin
b. Monitor adanya mati
a. Rentang nadi radial rasa,rasa geli.
b. Rentang pernafasan c. Diskusikan tentang
c. Tekanan darah sistolik adanya kehilangan
d. Tekanan darah diastol sensasi atau
e. Tekanan nadi perubahan sensasi
b. Kedalaman saat d. Minta keluarga
inspirasi untuk memantau
perubahan warna
kulit setap hari
7. Gangguan pertumbuhan pertumbuhan Stimulasi Tumbuh
dan perkembangan Kembang
Kriteria hasil:
a. kaji tingkat tumbuh
a. Persentil berat badan untuk
kembang anak
usia
b. ajarkan untuk
b. Percentil berat untuk
intervensi dengan
c. tinggi
terapi rekreasi dan
d. Tingkatberat badan
aktivitas
e. Massa tubuh
c. berikan aktivitas yang
1. Penggunaan disiplin
sesuai, menarik, dan
yang sesuai usia
dapat dilakukan oleh
2. Merangsang
anak
perkembangan kognitif
d. Rencanakan bersama
3. Merangsang
anak aktivitas dan
pembangunan
sasaran yang
memberikan
kesempatan untuk
keberhasilan
e. Berikan pendkes
stimulasi tumbuh
kembang anak pada
keluarga
Manajemen nutrisi
a. Kaji adanya alergi
makanan
b. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
c. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake
Fe
d. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein
dan vitamin C
e. Berikan substansi gula
f. Yakinkan diet yang
dimakan mengandung
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
f. Berikan makanan yang
terpilih ( sudah
dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
g. Monitor jumlah nutrisi
dan kandungan kalori
h. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
i. Kaji kemampuan
pasien untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
8. Resiko cidera Kontrol resiko Manajemen lingkungan
Faktor resiko Kriteria hasil : a. Sediakan lingkungan
yang aman untuk
1) Eksternal a. Klien terbebas dari cidera
pasien
b. Klien mampu menjelaskan
a. Gangguan fungsi b. Identifikasi kebutuhan
cara atau metode untuk
kognitif keamanan pasien sesuai
mencegah cidera
b. Agens nosokomial dengan kondisi fisik
c. Klien mampu menjelaskan
c. Dan fungsi kognitif
faktor resiko dari
2) Internal pasien dan riwayat
lingkungan
a. Hipoksia jaringan penyakir dahulu pasien
d. Menggunakan fasilitas
b. Gangguan sensasi d. Memasang side rail
kesehatan yang ada
(akibat dari cedera tempat tidur
e. Mampu mengenali
medula spinalis, dll) e. Menyediakan tempat
perubahan status
c. Malnutrisi. tidur yang aman dan
kesehatan.
bersih
f. Membatasi
Kejadian jatuh pengunjunng
g. Memberikan
a. Jatuh dari tempat tidur penerangan yang cukup
b. Jatuh saat di pindahkan. h. Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.
Manajemen kejang
a. Pertahankan jalan nafas
b. Balikkan badan pasien
ke satu sisi
c. Longgarkan pakaian
d. Tetap disisi pasien
selama kejang
e. Catat lama kejang
f. Monitor tingkat
obatobatan anti epilepsi
dengan benar.
Pencegahan jatuh
a. Identifikasi perilaku
dan faktor yang
mempengaruhi
resiko jatuh
b. Sediakan
pengawasan ketat
dan /atau alat
pengikatan
Sumber : Nanda Internasional (2015-2017) & NIC-NOC (2016)
DAFTAR PUSTAKA

Darto Saharso. 2010. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Huff, Steven. 2013. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/

Mansjoer, Arif; dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta: FKUI.

Kedaruratan pada anak. UKK Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Indonesia. Tata Laksana
Syok Pada Anak. Manado : Juli 2011

Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No. 004/Rek/PP
IDAI/III/2014 http://www. idai.com

Mastrangelo MC. A diagnostic work-up and therapeutic options in management of pediatric


status epilepticus. World J Pediatr. 2012;8:2

Kravljanac R, Jovic N, Djuric M, Jankovic B, Pekmezovic T. Outcome of status epilepticus


in children treated in the intensive care unit: a study of 302 cases. Epilepsia. 2011; 52(2):358-
63

Saz EU, Karapinar B, Ozcetin M, Polat M, Tosun A. Serdaglu G, et al. Convulsive status
epilepticus in children. Seizure. 2011; 20:115-118

Friedman JN. Emergency management of the paediatric patient with generalized convulsive
status epilepticus. Paediatr Child Health. 2011;11:2.

You might also like