Professional Documents
Culture Documents
“STATUS EPILEPTIKUS”
DI RUANG 7A IRNA IV
RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Disusun oleh :
IRMA INDRIANA
2015.01.016
Laporan pendahuluan konsep askep denga status epilepikus ini telah disetujui dan di sahkan
pada tanggal :
(IRMA INDRIANA )
( ) ( )
Kepala Ruangan
( )
A. DEFINISI
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang
tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan
yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang
terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara
luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat
dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika
berlangsung 30 menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang yang
terjadi lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan. Definisi
operasional status epileptikus yang dipakai saat ini untuk dewasa dan anak, yaitu
bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau terdapat 2 atau
B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab utama SE pada anak adalah infeksi (meningitis dan
Akut
sedera anoksia)
Influenza
Exantema Subitum
Cerebral Dysgenesis
Idiopatik/Kriptogenik (5%-19%)
C. FAKTOR RESIKO
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air
panas
2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
3. Faktor mental: stress, gangguan emosi
D. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut (Turner, 2006) :
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.
E. Patofisiologi
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana
tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel
pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan
syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks
dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
2) Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
4) Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktifitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di
antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus
lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.Davis LE,
King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease - an introductory text.
New york: Demos medical publishing; 2005.
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak
(Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di
antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia
- yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA)
receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang
kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical.
Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh
glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara,
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali
lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gatedcalcium channel
terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang
fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini
terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.Hughes R.
Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
F. Manifestasi Klinis
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai separuh tubuh,
gerakan adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status epileptikus.
Keluarga penderita yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali
dengan jelas. Enam puluh sampai delapanpuluh persen status epileptikus dimulai
dengan gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran
lepas muatan listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer
lain. Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini
berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam
bentuk klinis seperti ini penderita berada dalam keadaan status epileptikus.
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-
Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga
terjadi.
1) Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
H. Pemeriksaan Penunjang
Terdiri dari pemeriksaan laboratorium yaitu darah CBC, elektrolit, glukosa,
fungsi ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada didugaan infeksi maka
dilakukan kultur darah, dan Imaging yaitu CT scan dan MRI untuk mengevaluasi
lesi struktural di otak, EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan
secepat mungkin jika pasien mengalami gangguan mental. Pungsi lumbar dapat
kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan subaraknoid.
Gambaran EEG status epileptikus Subtle generalized convulsive status
epilepticus with spike wave activity
I. KOMPLIKASI
Otak
a. Peningkatan Tekanan Intra Kranial
b. Oedema serebri
c. Trombosis arteri dan vena otak
d. Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
a. Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
b. Apnoe
c. Pneumonia
d. Hipoksia, hiperkapni
e. Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
a. Hipertensi
b. Oedema paru
c. Aritmia
d. Glikosuria, dilatasi pupil
e. Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
a. Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Metabolik dan Sistemik
b. Dehidrasi
c. Asidosis
d. Hiper/hipoglikemia
e. Hiperkalemia, hiponatremia
f. Kegagalan multiorgan
Idiopatik
a. Fraktur, tromboplebitis, DIC
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol
penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus
Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status
epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570
pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok
(pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang
berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik
dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat
tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam
mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan
memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau
Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang,
maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.
Anamnesis
1) Identitas pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir, umur,
tempat lahir, asal suku bangsa, agama, nama orang tua, pekerjaan orang tua,
demam terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum 3 tahun dengan peningkatan
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
mengalami kejang dan bahkan pada pasien dengan kejang demam kompleks
Biasanya orang tua klien mengatakan badan anaknya terasa panas, nafsu
makan anaknya berkurang, lama terjadinya kejang biasanya tergantung pada jenis
c) Riwayat kesehatan
(1) Riwayat perkembangan anak : biasanya pada pasien dengan kejang demam
(2) Riwayat imunisasi : Biasanya anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap
Saat sakit, biasanya anak mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan
muntahnya
2. Pemeriksaan fisik
2) TTV :
e. BB
f. Biasanya pada nak dengan kejang demam tidak terjadi penurunan berar badan
yang berarti
3) Kepala
4) Mata
Biasanya mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, lidah tampak kotor
6) Telinga
Biasanya bentuk simetris kiri-kanan, normalnya pili sejajar dengan katus mata,
keluar cairan, terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara, nyeri tekan
mastoid.
7) Hidung
Biasanya penciuman baik, tidak ada pernafasan cuping hidung, bentuk simetris,
8) Leher
9) Dada
a) Thoraks
(1) Inspeksi, biasanya gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu
pernapasan
(2) Palpasi, biasanya vremitus kiri kanan sama
b) Jantung
batas kiri jantung : SIC II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang jantung), SIC V
Batas bawah kanan jantung disekitar ruang intercostals III-IV kanan, dilinea
parasternalis kanan.
10) Abdomen
11) Anus
12) Ekstermitas :
1. Atas : biasanya tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral
dingin.
2. Bawah : biasanya tonus otot mengalami kelemahan, CRT > 2 detik, akral
dingin.
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal,
nilai GCS: 9 – 7.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya), nilai
GCS: ≤ 3.
Tabel 2.1
Penilaian Kekuatan Otot
Respon Skala
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan pada Kasus Kejang Demam
NO NANDA NOC NIC
Manajemen pengobatan
a. Tentukan obat apa
yang di perlukan,
dan kelola menurut
resep dan/atau
protokol
b. Monitor efektivitas
cara pemberian obat
yang sesuai.
Manajemen kejang
a. Pertahankan jalan
nafas
b. Balikkan badan
pasien ke satu sisi
c. Longgarkan pakaian
d. Tetap disisi pasien
selama kejang
e. Catat lama kejang
f. Monitor tingkat
obatobatan anti
epilepsi
2. Ketidakefektifan perfusi Status sirkulasi Terapi oksigen
jaringan serebral Faktor a. Tekanan darah sistol a. Periksa mulut,
resiko b. Tekanan darah diastol hidung, dan sekret
c. Tekanan nadi trakea
a. Gangguan d. PaO2 (tekanan parsial b. Pertahankan jalan
serebrovaskuler oksigen dalam darah napas yang paten
b. penyakit neurologis arteri) c. Atur peralatan
e. PaCO2 (tekanan parial oksigenasi
karbondioksida dalam d. Monitor aliran
darah arteri oksigen
f. Saturasi oksigen e. Pertahankan posisi
g. Urine output pasien
h. Capillary refill. f. Observasi tanda-
Status neurologi tanda hipoventilasi
a. Kesadaran g. Monitor adanya
b. Fungsi sensorik dan kecemasan pasien
motorik kranial terhadap oksigenasi.
c. Tekanan intrakranial
d. Ukuran pupil Manajemen edema
e. Pola istirahat-tidur serebral
f. Orientasi kognitif a. Monitor adanya
g. Aktivitas kejang kebingungan,
h. Sakit kepala. perubahan pikiran,
keluhan pusing,
pingsan
b. Monitor tanda-tanda
vital
c. Monitor karakteristik
cairan serebrospinal :
warna,
kejernihan,konsistens
d. Monitor status
pernapasan: frekuensi,
irama, kedalaman
pernapasan,
PaO2,PaCO2, pH,
Bicarbonat
e. Catat perubahan pasien
dalam berespon
terhadap stimulus
f. Berikan anti kejang
sesuai kebutuhan
g. Batasi cairan
h. Dorong keluarga/orang
yang penting untuk
bicara pada pasien
i. Posisikan tinggi kepala
30° atau lebih.
Monitoring peningkatan
intrakranial
a. Monitor tekanan
perfusi serebral
b. Monitor jumlah,
nilai dan
karakteristik
pengeluaran cairan
serebrispinal (CSF)
c. Monitor intake dan
output
d. Monitor suhu dan
jumlah leukosit
e. Periksa pasien
terkait ada tidaknya
gejala kaku kuduk
f. Berikan antibiotik
g. Letakkan kepala
dan leher pasien
dalam posisi netral,
hindari fleksi
pinggang yang
berlebihan
h. Sesuaikan kepala
tempat tidur untuk
mengoptimalkan
perfusi serebral
i. Berikan agen
farmakologis untuk
mempertahankan
TIK dalam
jangkauanm tertentu.
Monitor tanda-tanda
vital
a. Monitor tekanan
darah, nadi, suhu
dan status
pernapasan dengan
cepat
b. Monitor kualitas dari
nadi
c. Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
d. Monitor pola
pernapasan
abnormal (misalnya,
cheynestokes,
kussmaul, biot,
apneustic, ataksia
dan bernapas
berlebihan)
e. Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
f. Monitor adanya
cushling triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
g. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign
3. Ketidakefektifan pola Status penrnapasan: Terapi oksigen
napas ventilasi a. Bersihkan mulut,
Batasan karakteristik Kriteria hasil hidung dan sekret
a. Frekuensi pernapasan trakea dengan tepat
a. Bradipnea
b. Irama pernapasan b. Pertahankan kepatenan
b. Dispnea c. Kedalama pernapasan jalan nafas
c. Penggunaan otot d. Penggunaan otot bantu
c. Berikan oksigen
bantu penapasan nafas
tambahan seperti yang
d. Penurunan kapasitas e. Suara nafas tambahan
diperintahkan
vital f. Retraksi dinding dada
g. Dispnea saat istirahat d. Monitor aliran oksigen
e. Penurunan tekanan
h. Atelektasis. e. Periksa perangkat
ekspirasi pemberian oksigen
f. Penurunan tekanan Status pernapasan : secara berkala untuk
inpsirasi kepatenan jalan nafas memastikan bahwa
g. Pernapasan bibir Kriteria Hasil : kosentrasi yang telah
h. Pernapasan cuping a. frekuensi pernapasan di tentukan sedang di
b. pernapasan cuping berikan
hidung
hidung f. Pastikan penggantian
i. Pola nafas abnormal
masker oksigen/kanul
j. Takipnea.
nasal setiap kali
Faktor yang
perangkat diganti
berhubungan
g. Pantau adanya
a. Cedera medula tandatanda keracunan
spinalis oksigen dan kejadian
b. Gangguan neurologis atelektasis.
c. Nyeri Monitor neurologi
a. Pantau ukuran pupil,
bentuk kesimetrisan
dan reaktivitas
b. Monitor tingkat
kesadaran
c. Monitor GCS
d. Monitor status
pernapasan.
4. Gangguan pertukaran gas Status pernafasan : pertukaran Monitor vital sign
gas Tindakan keperawatan:
berhubungan dengan Kriteria hasil: a. Memonitor tekanan
a. Tekanan parsial darah, nadi, suhu, dan
ketidakseimbangan
oksigen dalam darah status pernafasan,
ventilasi arteri(po2) b. Memonitor Denyut
b. Tekanan parsial jantung
oksigen dalam darah c. Memonitor suara
arteri(pco2) paruparu
c. Saturasi oksigen d. Memonitor warna kulit
d. Keseimbangan e. Meniai CRT
ventilasi perfusi Monitor pernafasan
e. Dyspnea pada saat a. Tindakan keperawatan:
istirahat Memonitortingkat,
f. Sianosis irama, kedalaman, dan
respirasi
b. Memonitor gerakan
dada
c. Monitor bunyi
pernafasan
d. Auskultasi bunyi paru
e. Memonitor dyspnea
dan hal yang
meningkatkan dan
memperburuk
5. Ketidakefektifan perfusi Cardiopulmonaly status Terapi oksigen
jaringan perifer (Status kardiopulmonal)
a. Monitor kemampuan
Kriteria hasil : pasien dalam
mentoleransi
a. Tekanan darah
kebutuhan oksigen
b. Sistolik saat makan
c. Tekanan darah b. Observasi cara
d. diastolik masuknya oksigen
e. Nadi perifer yang menyebabkan
f. Saturasi oksigen hipoventilalsi
g. Indeks kardio c. Monitor perubahan
h. Sianosis warna kulit pasien
i. Edema perifer d. Monitor posisi
j. Kedalaman pasien untuk
pernafasan membantu
masuknya oksigen
Status pernafasan
e. Monitor keefektifan
a. Menilai pernafasan terapi oksigen
b. Irama pernafasan f. Memonitor
c. Kedalaman penggunaan oksigen
pernafasan saat pasien
d. Volume tidal beraktivitas
e. Saturasi oksigen
Menajemen sensasi
f. sianosis
perifer
g. Clubbing of finger
h. Gasping a. Memonitor
(terengahengah) perbedaan terhadap
rasa
tajam,tumpul,panas
Vital sign atau dingin
b. Monitor adanya mati
a. Rentang nadi radial rasa,rasa geli.
b. Rentang pernafasan c. Diskusikan tentang
c. Tekanan darah sistolik adanya kehilangan
d. Tekanan darah diastol sensasi atau
e. Tekanan nadi perubahan sensasi
b. Kedalaman saat d. Minta keluarga
inspirasi untuk memantau
perubahan warna
kulit setap hari
7. Gangguan pertumbuhan pertumbuhan Stimulasi Tumbuh
dan perkembangan Kembang
Kriteria hasil:
a. kaji tingkat tumbuh
a. Persentil berat badan untuk
kembang anak
usia
b. ajarkan untuk
b. Percentil berat untuk
intervensi dengan
c. tinggi
terapi rekreasi dan
d. Tingkatberat badan
aktivitas
e. Massa tubuh
c. berikan aktivitas yang
1. Penggunaan disiplin
sesuai, menarik, dan
yang sesuai usia
dapat dilakukan oleh
2. Merangsang
anak
perkembangan kognitif
d. Rencanakan bersama
3. Merangsang
anak aktivitas dan
pembangunan
sasaran yang
memberikan
kesempatan untuk
keberhasilan
e. Berikan pendkes
stimulasi tumbuh
kembang anak pada
keluarga
Manajemen nutrisi
a. Kaji adanya alergi
makanan
b. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
c. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake
Fe
d. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein
dan vitamin C
e. Berikan substansi gula
f. Yakinkan diet yang
dimakan mengandung
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
f. Berikan makanan yang
terpilih ( sudah
dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
g. Monitor jumlah nutrisi
dan kandungan kalori
h. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
i. Kaji kemampuan
pasien untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
8. Resiko cidera Kontrol resiko Manajemen lingkungan
Faktor resiko Kriteria hasil : a. Sediakan lingkungan
yang aman untuk
1) Eksternal a. Klien terbebas dari cidera
pasien
b. Klien mampu menjelaskan
a. Gangguan fungsi b. Identifikasi kebutuhan
cara atau metode untuk
kognitif keamanan pasien sesuai
mencegah cidera
b. Agens nosokomial dengan kondisi fisik
c. Klien mampu menjelaskan
c. Dan fungsi kognitif
faktor resiko dari
2) Internal pasien dan riwayat
lingkungan
a. Hipoksia jaringan penyakir dahulu pasien
d. Menggunakan fasilitas
b. Gangguan sensasi d. Memasang side rail
kesehatan yang ada
(akibat dari cedera tempat tidur
e. Mampu mengenali
medula spinalis, dll) e. Menyediakan tempat
perubahan status
c. Malnutrisi. tidur yang aman dan
kesehatan.
bersih
f. Membatasi
Kejadian jatuh pengunjunng
g. Memberikan
a. Jatuh dari tempat tidur penerangan yang cukup
b. Jatuh saat di pindahkan. h. Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.
Manajemen kejang
a. Pertahankan jalan nafas
b. Balikkan badan pasien
ke satu sisi
c. Longgarkan pakaian
d. Tetap disisi pasien
selama kejang
e. Catat lama kejang
f. Monitor tingkat
obatobatan anti epilepsi
dengan benar.
Pencegahan jatuh
a. Identifikasi perilaku
dan faktor yang
mempengaruhi
resiko jatuh
b. Sediakan
pengawasan ketat
dan /atau alat
pengikatan
Sumber : Nanda Internasional (2015-2017) & NIC-NOC (2016)
DAFTAR PUSTAKA
Darto Saharso. 2010. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Mansjoer, Arif; dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta: FKUI.
Kedaruratan pada anak. UKK Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Indonesia. Tata Laksana
Syok Pada Anak. Manado : Juli 2011
Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No. 004/Rek/PP
IDAI/III/2014 http://www. idai.com
Saz EU, Karapinar B, Ozcetin M, Polat M, Tosun A. Serdaglu G, et al. Convulsive status
epilepticus in children. Seizure. 2011; 20:115-118
Friedman JN. Emergency management of the paediatric patient with generalized convulsive
status epilepticus. Paediatr Child Health. 2011;11:2.